Anda di halaman 1dari 2

Politik Maaf dan Puncak Intelektualitas Prabowo

Muhammad Muchlas Rowi

Aktif sebagai penulis dan aktif di banyak organisasi


Konten dari Pengguna
7 Februari 2024 8:01 WIB

PERTARUNGAN intelektual dan politik mencapai puncaknya di debat terakhir Calon


Presiden dan wakil Presiden akhir pekan lalu. Para pendukung, tim sukses, anggota KPU
dan Bawaslu yang memenuhi Jakarta Convention Center [JCC] harap-harap cemas.

Apakah para peserta debat bakal jual beli serangan. Atau sekedar saling lempar visi misi
normatif saja.
Pun demikian para pemirsa di depan layar televisi. Ada yang sudah bersiap mencatat dan
mencuplik bagian mana saja yang bisa mereka cuit di media sosial. Lainnya ada yang
memilih berdoa agar capres jagoannya tampil memukau.
Di episode terakhir, para capres diuji tak hanya sekedar keintelektualannya tapi juga sikap
dan gesture yang ditampilkan.
Hasilnya cukup mengejutkan, semua capres ternyata memilih untuk cari aman. Setelah di 4
episode sebelumnya mereka manfaatkan sebagai momentum konsolidasi suara. Kini,
mereka memilih untuk menyasar sekira 30-an persen undecides voters.
Tak ada serangan personal atau pembunuhan karakter seperti di debat-debat sebelumnya.
Semua berjalan tenang dan banjir apresiasi.

Meski begitu, lewat mata kamera yang tajam, semua calon tak bisa berpura-pura dan
menyembunyikan karakter dasarnya. Anies tetap memunculkan kesan cerdasnya, lalu
Prabowo menjadi lebih tulus dan bijaksana, semenatra Ganjar makin angkuh.

Transformasi Prabowo
Meski sering beda pandangan dengan Rocky Gerung, kali ini saya satu suara dengannya.
Terutama saat menanggapi bagian terakhir debat kelima Pilpres 2024. Kata Bung Rocky,
semua episode debat yang melibatkan para capres, menjadi panggung milik Anies.
Tapi khusus di debat kelima, dan di bagian closhing statement, Prabowo telah menunjukkan
ketulusan dengan meminta maaf kapada lawan debatnya. Hal yang tak bisa dilakukan
Ganjar maupun Anies.
“Di debat terakhir ini, di closhing statement ketulusan ada pada Prabowo. Eish, anda boleh
hina tapi seseorang yang angkuh dan tiba-tiba menundukkan kepala, dan serius
mengatakan saya meminta maaf,” ujar Rocky Gerung.

Tentu saja gesture ini memberi kesan berbeda di tengah sisa masa kampanye yang makin
memanas. Semua pihak banyak yang tak menyangka.
Jutaan mata menjadi saksi, momen paling emosional dari pemilihan presiden dan wakil
presiden yang diselenggarakan KPU mendadak adem ayem. Suasana tegang di lokasi
debat, langsung berubah menjadi cair dan santai.
Debat yang juga seringkali jadi panggung sandiwara, kini berubah menjadi ajang ketulusan
dan kedewasaan. Dialog yang mereka bangun jadi lebih konstruktif atau solutif meminjam
bahasanya Prabowo Subianto.
Publik juga disajikan pertunjukkan bahwa politik tak melulu harus dipenuhi oleh saling
serang. Melainkan jadi ajang buat mikirin perubahan dan pertumbuhan bangsa ke arah yang
lebih baik.
Prabowo bahkan mengaku dirinya sepakat dalam isu-isu mendasar. Seperti kesehatan,
pendidikan, kebudayaan yang dilontarkan Anies maupun Ganjar.

Hebatnya, Prabowo Subianto memperlihatkan kedewasaan yang luar biasa dalam debat
terakhir. Tidak hanya berbicara tentang kebijakan dan visi politiknya, Prabowo menunjukkan
sesuatu yang jauh lebih mendalam: kemampuannya untuk meminta maaf.
Tentu saja meminta maaf bukan berarti tanda kelemahan, tetapi tanda kedewasaan dan
kematangan intelektual. Ini jadi ciri jika seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk
mengakui ketidaksempurnaan dan mau belajar dari kesalahan.
Prabowo tak cuma mengakui kesalahannya, tetapi juga berkomitmen untuk bertindak
dengan lebih baik di masa depan, menunjukkan bahwa ia siap menerima masjkan bahkan
kritik untuk menjadi pemimpin yang lebih baik.
Ini sekkaligus membenarkan kesaksian mantan presiden ketiga, BJ Habibie tentang
Prabowo. Seorang intelektual yang lahir dari keluarga intelektual. Baik ayah maupun
kakeknya adalah seorang begawan ekonomi.

Puncak intelektualitas
Gesture Prabowo dalam The Last battle ini bukan hanya tentang permintaan maaf pribadi,
tetapi juga tentang mengubah paradigma politik secara keseluruhan. Dalam dunia politik
yang penuh bumbu dan retorika keras ini mengirimkan pesan kuat bahwa kejujuran,
kerendahan hati, dan keterbukaan harus menjadi bagian integral dari kepemimpinan.
Lebih dari sekadar tindakan simbolis, permintaan maaf Prabowo membuka jalan untuk
membangun jembatan antara berbagai pihak yang terlibat dalam politik. Ini merupakan
panggilan untuk rekonsiliasi dan persatuan, mengundang dialog yang mendalam dan
konstruktif di antara mereka yang mungkin pernah merasa terluka atau diabaikan.
Dalam polarisasi politik yang makin memecah belah masyarakat saat ini, gestur Prabowo
menawarkan harapan yang segar. Ini adalah pengingat bahwa di balik perbedaan politik,
kita semua manusia yang rentan terhadap kesalahan, tetapi juga mampu belajar dan
berkembang. Meminta maaf bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda kekuatan sejati dari
seorang pemimpin yang memimpin dengan hati.

Gesture prabowo yang meminta maaf kepada semua calon presiden juga sejalan dengan
apa yang disampaikan fenomonolog, Edmund Husserl tentang pentingnya menemukan “inti
dari pengalaman manusia yang murni.”
Kata Husserl, sikap seseorang terhadap lingkungan dan pengalaman memengaruhi cara
kita memahami dan berinteraksi dengan dunia. Pemahaman yang dalam dan reflektif
tentang pengalaman subjektif dapat dianggap sebagai manifestasi dan intelektualitas paling
puncak.
Ini juga mengingatkan kita akan perkataan Gusdur bahwa orang yang paling ikhlas dan tulus
kepada rakyat itu adalah Prabowo Subianto.
***
Muhammad Muchlas Rowi
pegiat literasi media dan Dosen Manajemen IBM Bekasi

Anda mungkin juga menyukai