Anda di halaman 1dari 65

2.

2 SMALL CLAIM COURT - PENEGAKAN HUKUM ACARA


PERDATA KHUSUS
SMALL CLAIM COURT

Small Claim Court telah lama berkembang di Negara- Negara dengan system
hukum Common Law maupun system hukum civil law, diantaranya di Negara-negara
maju seperti Amerika, Inggris, Kanada, Jerman dan Belanda selain itu di benua Amerika
Latin, Afrika dan Asia.

Latar belakang terbentuknya small claim court dikarenakan forum penyelesaian


sengketa bisnis melalui pengadilan yang efisien, cepat dan biaya perkara murah bagi
perkara yang jumlah nilai perkaranya kecil diperlukan dalam dunia bisnis yang bertujuan
untuk meningkatkan kepercayaan para investor dalam dan luar negeri guna
mengembangkan dunia bisnis.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dinilai tidak efektif dan efisien
sehingga mengakibatkan terganggunya atau terhambatnya kegiatan bisnis. Hal tersebut
disebabkan proses berperkara ke pengadilan harus menempuh prosedur beracara yang
sudah ditetapkan dan tidak boleh dilanggar sehingga memerlukan waktu yang lama,
tidak melindungi kerahasiaan, serta memberikan hasil adanya pihak yang dimenangkan/
dikalahkan yang akan memperpanjang waktu penyelesaian berikutnya. Hasil penelitian
dari Bank Dunia (The World Bank International Finance Corporation-Doing Business)
salah satu factor hambatan dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia adalah
penyelesaian sengketa pada pengadilan tingkat pertama yang tidak efisien, jangka waktu
penyelesaian yang lama dan biaya perkara yang tinggi serta biaya pengacara yang
tinggi.

Hal lainnya adalah penyelesaian sengketa secara non litigasi (secara damai) yang
didasarkan pada kesepakatan para pihak, ternyata hasilnya tidak memiliki kekuatan
mengikat secara formal bagi para pihak, meskipun undang-undang mengharuskan agar
kesepakatan para pihak tersebut dituangkan ke dalam bentuk akta tertulis dan
didaftarkan ke pengadilan negeri. Dalam system hukum acara perdata yang berlaku,
bahwa terhadap akta hasil kesepakatan yang telah dicapai tersebut tidak dapat langsung
dimohonkan ke pengadilan untuk dijadikan putusan perdamaian hakim melainkan untuk
itu para pihak harus tetap menempuh dengan mengajukan gugatan ke pengadilan
dengan melampirkan akta kesepakatan tersebut, lalu dalam persidangan diputus oleh
hakim berdasarkan akta perdamaian yang telah dicapai para pihak di luar pengadilan
tersebut dengan putusan perdamaian hakim.

Cara penyelesaian sengketa non litigasi lainnya adalah melalui arbitrase yang
bersifat yudisial (melalui proses peradilan) meskipun arbitrase bukan merupakan badan
peradilan melainkan adalah lembaga penyelesaian sengketa. Dalam praktiknya, melalui
lembaga arbitrase juga seringkali tidak mencapai penyelesaian sengketa (bisnis) secara
efektif dan efisien, karena sekalipun telah ada pengaturan yang jelas tentang
kewenangan mengadili yang absolute antara pengadilan dengan arbitrase, para pihak
yang bersengketa seringkali masih juga mengajukan sengketanya ke pengadilan dan
pengadilan memeriksa serta memutus perkara tersebut mengakibatkan penyelesaian
sengketa menjadi tidak efektif dan efisien lagi.

Upaya yang juga telah dilakukan untuk mengatasi penyelesaian sengketa perdata
secara berlarut-larut adalah dengan dibentuknya mekanisme mediasi di pengadilan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, mewajibkan seluruh perkara perdata yang diajukan ke pengadilan
(kecuali undang-undang menentukan lain) harus diselesaikan secara mediasi di
pengadilan. Namun proses ini juga tidak efektif dan tidak mencapai sasaran untuk
mengurangi penumpukan perkara di pengadilan.

Penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan niaga (commercial court) yang


memiliki kewenangan sebagai pengadilan yang menyelesaikan masalah- masalah
sengketa perniagaan, namun berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku,
kompetensi pengadilan niaga hanya terbatas pada kepailitan dan sengketa hak atas
kekayaan intelektual, bukan pengadilan atas sengketa bisnis secara keseluruhan.

Kemanfaatan adanya small claim court sangat dibutuhkan bagi penyelesaian


sengketa yang timbul dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh pengusahaan mikro,
kecil dan menengah (UMKM). Small claim court menawarkan kepada konsumen untuk
menyelesaikan sengketa melalui system pengadilan yang cepat bagi perolehan ganti
rugi . Small claim court merupakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa konsumen
untuk mendapatkan kompensasi dalam jumlah yang tidak besar yang timbul
konvensional yang sering di luar jangkauan konsumen rata-rata dengan nilai klaim yang
rendah, sejumlah besar Negara maju telah memperkenalkan prosedur pengadilan
disederhanakan untuk klaim kecil. Prosedur-prosedur ini dirancang sebagai alternative
traditional informal dispute resolution untuk proses pengadilan sipil yang
memungkinkan individu untuk menyelesaikan sengketa dan pemulihan hak dengan
biaya dan beban tidak proporsional dengan jumlah klaim yang diajukan. Menjadi
independen, mengikat dan dapat dilaksanakan, small claim court menawarkan
konsumen manfaat utama dari system peradilan tanpa biaya tinggi, keterlambatan dan
komplesitas prosedur yang berhubungan dengan pengadilan biasa.

Beberapa Negara yang telah menyetujui proses peradilan secara small claim
court di pengadilan bagi nilai sengketa kecil, diantaranya Australia, Austria, Kanada,
Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Meksiko, Belanda,
Norwegia, Polandia, Portugal, Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat. Prosedur yang
berlaku di Negara-negara tersebut beraneka ragam, diantaranya pada jenis prosedur,
jenis sengketa dan sengketa/ klaim yang dapat diadili, biaya perkara yang dibebankan
kepada pihak, dan aksesibilitas secara keseluruhan kepada konsumen (consumer
friendliness).
Salah satu contoh di Amerika Serikat, pelaksanaan small claim court, sengketa-
sengketa yang dapat diajukan berupa kasus perdata yang berkaitan terhadap :

a. Utang piutang berdasarkan perjanjian : rekening yang belum dibayar untuk barang
dan jasa yang dijual dan dikirimkan pinjaman yang belum dibayar, sewa yang belum
dibayar dan upah yang belum dibayar.

b. Klaim untuk kerusakan property, pengembalian property, cidera akibat perbuatan


dan pelanggaran kontrak.

Namun beberapa sengketa yang tidak dapat diajukan melalui small claim court misalnya
perbedaan pendapat mengenai judul untuk real property, pengembalian kepemilikan
real property, penggusuran, klaim terhadap pemerintah, tindakan untuk menyita atau
menegakan hukum, klaim yang timbul dari malpraktik professional, klaim untuk
tunjangan perkawinan, klaim yang timbul dari pengesahan hakim.

Small claim court lebih sering disebut sebagai Tribunal Small Claim atau Small
Claims Procedure yang dianggap sebagai pengadilan dengan prosedur yang cepat yang
pada umumnya dipisahkan tetapi di bawah yurisdiksi pengadilan pertama. Dengan
adanya pengadilan yang memiliki prosedur penyelesaian sengketa yang cepat maka
akan banyak sengketa yang ditangani secara cepat dengan verifikasi yang sederhana.

Small claim court dimaksudkan untuk meningkatkan akses ke pengadilan dengan


menyediakan layanan yang bersifat cepat, murah dan adil bagi para pihak yang
kekurangan dari segi financial. Tingginya biaya proses hukum dapat menjadi penghalang
untuk memperoleh keadilan, terutama dalam kasus dimana jumlah gugatannya tidak
banyak. Untuk mengatasi hal tersebut, biaya pengajuan gugatan ke pengadilan
diupayakan sangat terjangkau.

Untuk menyeimbangkan prosedur beracara dan meminimalkan biaya litigasi,


tidak ada pihak yang diwakili oleh Penasihat Hukum. Sebaliknya para pihak harus muncul
secara pribadi dan menyampaikan gugatan sendiri. Proses peradilan juga dilakukan
secara informal. Prosedur informal dan sederhana dari pengadilan akan menjadi efektif
dan memungkinkan orang untuk mengajukan kasusnya sendiri dengan mudah.

Melihat pengertian dari small claim court sebagai mekanisme penyelesaian


sengketa perdata melalui pengadilan namun dengan menggunakan penerapan hukum
acara yang singkat, sederhana dan cepat (berbeda dengan penyelesaian perkara pada
umumnya) dan tujuannya adalah untuk dapat menyelesaikan sengketa perdata
(khususnya bisnis) yang nilai gugatannya kecil sehingga dapat diselesaikan secara efisien
dan efektif, maka mekanisme small claim court dapat dijadikan sebagai salah satu
penunjang tercapainya/ terlaksananya asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa asas peradilan
dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Sederhana adalah pemeriksaan
dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efektif dan efisien. Yang dimaksud
dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Cepat
dimaksud disini adalah waktu penyelesaian yang jelas dan pasti.

Jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui small claim court yaitu perkara-
perkara dengan nilai gugatan kecil yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan
ditangani oleh hakim tunggal yaitu perkara perdata yang nilai ekonomi gugatannya
relative kecil dan tidak memerlukan proses administrasi perkara serta pembuktian yang
kompleks serta dapat diselesaikan dengan hukum acara singkat/ sederhana, seperti
sengketa konsumen, utang piutang, jual beli barang, klaim kerusakan barang, biaya jasa
pelayanan, sengketa UMKM, dan sengketa-sengketa lain yang timbul dengan adanya
perjanjian/ kontraktual.

Dalam system peraturan perundang-undangan mengenai small claim court diatur


dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 yang telah diubah dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana. Peraturan ini
dikeluarkan untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik, mengingat dalam hukum
acara perdata yang berlaku tidak diatur mengenai cara menyelesaikan perkara/ gugatan
yang nilai gugatannya kecil, semua gugatan perdata diselesaikan dengan mekanisme
hukum acara yang sama, sementara dalam praktiknya di masyarakat seringkali nilai
gugatannya kecil sehingga tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk
mengajukan gugatan. Idealnya mengenai gugatan sederhana diatur dalam undang-
undang hukum acara perdata yang sampai saat ini masih berupa rancangan undang-
undang

2.3 CLASS ACTION


CLASS ACTION

Class action sudah sejak lama dikenal di beberapa Negara misalnya di Inggris
yang dikenal sejak tahun 1873 yang diatur dalam Supreme Court of Judicatur Act 1873
yang memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menjatuhkan putusan yang
bersifat deklaratif atas pemulihan yang adil (equitable remedies) terhadap suatu hal yang
diderita kelompok yang anggotanya berjumlah banyak. Pada tahun 1965 terjadi
perubahan substansial yang pada pokoknya mengatur representative action, yaitu
gugatan perwakilan kelompok yang mendasarkan pada syarat anggota kelompoknya
banyak, terdapat kesamaan kepentingan dan gugatan itu untuk kepentingan seluruh
anggota.

Di Amerika Serikat, class action dikenal pada tahun 1912 yang diatur pada US
Federal Equity Rule pada tahun 1938 yang diperbaharui dengan Federal Rule of Civil
Procedure yang memperkenalkan 3 jenis class action yaitu True Class Action, Hybrid
Class Action, Spirious Class Action. Kemudian pada tahun 1966 diperbaharui kembali
dengan perubahannya mengatur ketentuan harus ada sejumlah besar anggota, dengan
kata lain orang yang membentuk kelas atau kelompok harus banyak dan antara anggota
dengan wakil kelompok mempunyai permasalahan hukum dan fakta serta tuntutan yang
sama.

Di Indonesia, class action baru dikenal secara resmi pada tahun2002 dengan
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 yang memberikan
pengertian bahwa class action secara umum adalah gugatan yang berisi tuntutan melalui
proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai
wakil kelompok. Perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya
untuk dan atas nama kelompok, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang
diwakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok yang diwakilinya.

Dalam pengajuan gugatan tersebut tidak perlu disebutkan secara individual satu
per satu identitas kelompok yang diwakili (yang terpenting kelompok yang diwakili
dapat diidentifikasikan). Selain itu antara seluruh anggota kelompok dengan wakil
kelompok harus terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan :

1. Kesamaan kepentingan (common interest) ;

2. Kesamaan penderitaan (common grievance) ;

3. Apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota.

Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002, class action


merupakan suatu cara pengajuan gugatan perdata biasa yang dilakukan oleh sejumlah
orang banyak. Peraturan tidak menentukan secara limitative berapa banyak jumlah
orang yang dapat mengajukan gugatan yang menjadi ukuran adalah orang yang banyak
sekali jumlahnya sehingga akan tidak efisien dan efektif lagi bila mengajukan
gugatannya langsung atau melalui kuasa hukumnya. Oleh karenanya sejumlah orang
banyak yang merasa dirugikan tersebut harus mewakilkan kepada wakil kelompok untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan.

Orang yang menjadi wakil kelompok tersebut bertindak untuk diri sendiri dan
sekaligus mewakili anggota kelompok yang jumlahnya banyak, karena antara yang
mewakili dan yang diwakili mempunyai kesamaan fakta dan dasar hukum. Hal ini berarti
bahwa wakil kelompok juga harus merupakan pihak yang menderita kerugian sama
dengan mereka yang diwakilinya. Wakil kelompok akan mewakili anggota kelompok
yang menderita kerugian sama untuk merepresentasikan jenis- jenis kerugian yang
diderita oleh sejumlah orang banyak yang akan mengajukan gugatan tersebut.

Tujuan dari class action untuk mengembangkan penyederhanaan akses


masyarakat memperoleh keadilan serta mengefektifkan efisiensi penyelesaian
pelanggaran hukum yang merugikan banyak orang, karena cukup hanya diajukan dalam
satu gugatan saja. Selain itu, class action dapat ditempuh apabila memiliki fakta atau
dasar hukum yang sama, berhadapan dengan Tergugat yang sama. Apabila gugatan
diselesaikan secara sendiri-sendiri, penyelesaiannya akan tidak efektif dan tidak efisien
bahkan dimungkinkan terdapat putusan yang saling bertentangan.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam class action adalah harus ada wakil
kelompok dan anggota kelompok. Wakil Kelompok adalah mereka yang mewakili
sejumlah banyak orang yang memiliki kepentingan sama untuk mengajukan gugatan,
dimana wakil kelompok ini juga menderita kerugian yang sama dengan anggota
kelompok yang diwakilinya. Wakil kelompok (class representative) bertindak mengambil
inisiatif sebagai Penggugat, mengajukan gugatan untuk dan atas nama diri sendiri serta
sekaligus untuk dan atas nama seluruh anggota kelompok yang jumlahnya banyak.

Anggota kelompok adalah mereka yang menjadi anggota dari kelompok dengan
jenis kerugian yang sama, mengingat penetuan kelompok didasarkan pada kesamaan
kerugian yang diderita baik oleh kelompok maupun wakil kelompok. Anggota kelompok
kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok untuk mengajukan gugatan ganti rugi
perdata secara berkelompok. Anggota kelompok (class members) diwakili oleh wakil
kelompok tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok dengan syarat :

1. Jumlah anggota harus banyak ;

2. Sedemikian rupa banyaknya, sehingga penyelesaian perkara tidak efektif dan efisien
ditempuh melalui gugatan kumulasi (gugatan biasa).

Maka dapat disebutkan bahwa syarat formil dari class action adalah adanya anggota
kelompok (class members), adanya perwakilan kelompok (class representative), adanya
kesamaan fakta atau dasar hukum gugatan, dan adanya kesamaan jenis tuntutan dari
anggota kelompok dan perwakilan kelompok.

Berkenaan dengan anggota kelompok, pasal 2 huruf (a) PERMA Nomor 1 Tahun
2002 tentang Class Action menyebutkan bahwa jumlah anggota kelompok sedemikian
banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-
sendiri atau secara bersama-sama dalam gugatan. Karenanya unsur anggota kelompok
adalah jumlah orang/ anggotanya sedemikian banyak, sehingga tidak efektif dan efisien
penyelesaian perkara melalui proses kumulasi objektif dan subjektif. Apabila anggotanya
hanya terdiri dari 5 atau 10 orang dianggap tidak memenuhi syarat berperkara melalui
system class action karena lebih efektif dan efisien melalui gugatan kumulasi.

Perwakilan kelompok yaitu orang yang tampil bertindak mengambil inisiatif


mengatasnamakan diri sebagai wakil kelompok. Jumlah wakil kelompok boleh terdiri dari
satu orang saja atau terdiri dari beberapa orang, bergantung pada banyaknya jumlah
kelompok yang ditetapkan berdasarkan kesamaan kerugian yang diderita ; sedangkan
kedudukan dan kapasitas wakil kelompok sebagai kuasa menurut hukum. Syarat menjadi
wakil kelompok adalah memiliki kejujuran dan memiliki kesungguhan melindungi
kepentingan anggota kelompok. Wakil kelompok inilah yang mengajukan gugatan untuk
dan atas nama dirinya sendiri dan seluruh anggota kelompok yang diwakilinya
didasarkan pada kesamaan kerugian yang diderita sebagai dasar gugatannya. Wakil
kelompok atau para wakil kelompok dapat mengajukan gugatan secara langsung
bersama-sama atau member kuasa kepada kuasa hukum dengan surat kuasa.

Wakil kelompok atau kuasa hukumnya mengajukan permohonan kepada


pengadilan untuk minta ditetapkan apakah dapat memenuhi syarat untuk perkara/
gugatannya diajukan dengan mekanisme class action atau tidak.Apabila gugatan
tersebut memenuhi syarat untuk diajukan secaa class action maka hakim akan
menetapkan bahwa perkara tersebut dapat diajukan secara class action. Kemudian wakil
kelompok harus memberitahukan kepada seluruh anggota kelompok bahwa gugatannya
dapat diajukan melalui cara perwakilan kelompok.

Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media


cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintahan (kecamatan, kelurahan atau
Desa), kantor pengadilan atau secara langsung kepada anggota yang bersangkutan
sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim. Anggota kelompok
harus menentukan sikap apakah mereka akan menyatakan setuju untuk ikut menggugat
atau tidak setuju untuk ikut menggugat. Pernyataan ini harus dibuat secara tertulis.

Bagi anggota kelompok yang tidak setuju diberi hak menggugat yaitu
menyatakan diri dengan tegas keluar sebagai anggota kelompok dan hal itu dilakukan
dalam batas waktu tertentu (Pasal 8 ayat 1) PERMA tersebut. Dengan adanya tindakan
menggugat kepadanya tidak mengikat putusan yang dijatuhkan pengadilan (Pasal 8 ayat
2).

Dapat disimpulkan bahwa class action hanya mengenai cara mengajukan


gugatan saja yang dilakukan melalui perwakilan kelompok dalam hal penggugatnya
banya sekali sehingga tidak efektif dan efisien lagi bila mengajukan gugatan langsungg
atau menggunakan kuasa hukum, sedangkan gugatannya adalah gugatan ganti rugi
perdata biasa. Proses pemeriksaan perkaranya dilakukan dalam 2 (dua) tahapan
pemeriksaan, yaitu tahap proses pemeriksaan awal yang tunduk pada ketentuan Pasal 5
PERMA tersebut dan tahap pemeriksaan biasa yang tunduk kepada hukum acara yang
ditentukan dalam HIR/RBg.

Pemeriksaan awal merupakan tahap pemeriksaan atau pembuktian tentang sah


atau tidak persyaratan gugatan perwakilan kelompok yang diajukan, Hakim wajib
memeriksa dan mempertimbangkan criteria gugatan perwakilan kelompok yang
bersangkutan. Apabila dari pemeriksaan awal ditetapkan oleh hakim bahwa perkara
gugatan tersebut dapat diajukan secara class action, maka pemeriksaan perkara akan
dilanjutkan dengan proses pemeriksaan gugatan biasa.

Pihak yang bertanggung jawab terhadap biaya perkara adalah wakil kelompok
yang bertanggung jawab terhadap biaya perkara. Anggota kelompok yang bertindak
sebagai wakil kelompok untuk mengajukan gugatan untuk kepentingan kelompok
dianggap menurut hukum sebagai orang yang atas kehendak sendiri bersedia dan rela
memikul biaya yang timbul. Apabila wakil kelompok terdiri dari beberapa orang, baik
sendiri- sendiri maupun secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala biaya
perkara, pengacara dan pemberitahuan. Anggota kelompok tidak dapat dipaksa member
kontribusi biaya, melainkan anggota kelompok secara sukarela memberikan kontribusi
biaya.

Pihak Tergugat dalam gugatan perwakilan kelompok adalah satu atau beberapa
orang yang ditunjuk untuk mempertahankan dan membela kepentingan orang banyak
atau perwakilan Tergugat yang bertindak membela kepentingan kelompok Tergugat
(defendant class)

.4 KEBIJAKAN SOSIAL, KEBIJAKAN KRIMINAL DAN


KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
KEBIJAKAN SOSIAL, KEBIJAKAN KRIMINAL DAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA.

Suatu upaya menuju dan mencapai cita-cita bangsa setelah Proklamasi kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa membentuk pemerintah negara
Indonesia. Dibentuknya pemerintah negara Indonesia berkehendak/berupaya
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kehendak demikian
dapat diartikan sebagai upaya perlindungan masyarakat (social defence). Di sisi lain
pemerintah negara Indonesia juga berupaya memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian
upaya pemerintah negara Indonesia disamping melindungi masyarakat (social defence),
sekaligus mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan upaya
demikian merupakan tujuan nasional.

Tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat (social welfare) serta perlindungan


masyarakat (social defence) merupakan tujuan nasional dalam pelaksanaan Kebijakan
Sosial (Social Policy).

Upaya pencapaian tujuan nasional (social welfaredan social defence), melalui


pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat
dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945. Penyelenggaraan negara dilaksanakan melalui pembangunan nasional
dalam segala aspek kehidupan bangsa.

Pada akhirnya, upaya pembangunan nasional adalah tercapainya kualitas kehidupan


masyarakat adil dan makmur. Pencapaian kualitas kehidupan masyarakat adil dan
makmur yang diupayakan oleh pemerintah Indonesia melalui pembangunan nasional
yang berkesinambungan/berkelanjutan (sustainable development)termasuk
pembangunan hukum nasional yang oleh pemerintah Indonesia diprogramkan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) ada dalam Visi dan Misi Program Legislasi
Nasional Tahun 2005-2009 (Keputusan DPR –RI NO.01/DPR RI/III/2004-2005)
(selanjutnya digunakan kata Prolegnas) sebagai berikut; “Pembangunan hukum nasional
merupakan bagian dari sistem pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan
tujuan negara untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial, melalui suatu sistem hukum nasional. Program pembangunan hukum
perlu menjadi prioritas utama karena perubahan terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki implikasi yang luas dan mendasar
dalam sistem ketatanegaran yang perlu diikuti dengan perubahan-perubahan di bidang
hukum/penataan sistem hukum”.

Pembangunan sistem hukum nasional yang pada muaranya betujuan mewujudkan


kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, oleh Prolegnas diberi makna
sebagai sistem hukum yang menganut asas kenusantaraan yang tetap mengakui
keanekaragaman atau heterogenitas hukum seperti hukum adat, hukum Islam, hukum
agama lainnya, hukum kontemporer dan hukum barat, serta merumuskan berbagai
simpul yang menjadi titik taut fungsional di antara aneka ragam kaidah yang ada melalui
unifikasi terhadap hukum-hukum tertentu yang dilakukan, baik secara parsial, maupun
dalam bentuk kodifikasi. Dengan demikian pembangunan sistem hukum nasional perlu
memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Perhatian tersebut
merupakan hal yang wajar, karena sistem hukum yang saat ini berlaku di Indonesia
diantaranya KUHP/WvS disusun berdasarkan nilai-nilai kemasyarakatan yang
liberal individual dan tentu berbeda dengan nilai-nilai kemasyarakatan yang religius
dan kekeluargaan Dalam rangka pembangunan sistem hukum nasional, Prolegnas tahun
2005-2009 merumuskan visi dan misi serta arah kebijakan yang menjadi
parameter penentuan, penetapan dan prioritas rancangan undang-undang. Visi
pembangunan hukum nasional, yaitu terwujudnya negara hukum yang adil dan
demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk
peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan kebenaran
yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk mencapai visi tersebut, maka misi yang ditetapkan Prolegnas di antaranya,
mewujudkan materi hukum di segala bidang dalam rangka penggantian terhadap
peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan, dan
kebenaran, dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Misi
tersebut diwujudkan dalam upaya pembaharuan sistem hukum, di antaranya
pembaharuan sistem hukum pidana. Dalam upaya demikian, tampak bahwa hukum
pidana merupakan bagian/sub-sistem dari sistem hukum (“legal system”) yang terdiri
dari “legal substance”, “legal structure” dan “legal culture”.Dengan demikian jika
dikaitkan dengan pembaharuan sistem hukum pidana, meliputi pembaharuan “substansi
hukum pidana”, pembaharuan “struktur hukum pidana” dan pembaharuan
“budaya hukum pidana”. Dilihat dari sudut penegakannya, sistem hukum pidana
dapat dimaknai sebagai “sistem penegakan hukum pidana atau sistem
pemidanaan”. Dilihat dari sudut berprosesnya, sistem pemidanaan terdiri dari sub-
sistem Hukum Pidana Materiil, sub-sistem Hukum Pidana Formil dan sub-sistem
Hukum Pelaksanaan Pidana.

Salah satu upaya dalam mencegah terjadinya perbuatan pidana dengan pelaksanaan
Pengabdian Kepada masyarakat melalui penyuluhan:

Pemberdayaan Muslimat Nahdlatul UlamaDalam Mengemplementasikan Nilai Karakter


Religius Dan Perduli Lingkungan Di Era Covid 19 Dengan Program PengajianDi
Kecamatan Medan Marelan

2.5 KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN


Pengertian “kebijakan” dan pengertian “sistem”

Kata “kebijakan/policy” dalam “Webster’s New World College Dictionary”sebagaimana


terumuskan di bawah ini, berkaitan dengan:

1. Government or polity, political wisdom or cunning,


2. Wise, expedient or prudent conduct or management, conduct or management,

4. A principle, plan, or couse of action, as pursued by a government, organization,


individual, etc. (foreign policy).

Dapat dipahami bahwa ruang lingkup kebijakan/policy mencakup, 1. Pemerintah atau


pemerintahan, kebijaksanaan politik atau kecerdikan, 2. Bijaksana, atau perilaku bijaksana
atau manajemen 3. Sebuah prinsip, rencana, atau penyebab terjadinya tindakan oleh
individu atau organisasi pemerintah seperti kebijakan luar negeri.Kata kebijakan dalam
“Kamus Besar Bahasa Indonesia” dari kata dasar “bijak” yang berarti selalu menggunakan
akal budinya, pandai, mahir. Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan organisasi
dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran, garis haluan. Kata dasar
“bijak” dalam bahasa Inggris berarti, able, smart, experienced, wise, sedangkan kebijakan
berartiwisdom dan policy.
Dengan demikian dalam pengertian kebijakan terkandung berbagai hal, yaitu:

1. Rangkaian konsep dan asas sebagai dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan,
2. Merupakan cara bertindak di bidang pemerintahan,
3. Sebagai pernyataan cita-cita tujuan atau prinsip,
4. Sebagai pedoman manajemen dalam usaha mencapai sasaran dan
juga merupakan garis haluan,
5. Keempat hal di atas, di samping dilandasi penggunaan akal budi,
juga kemampuan atau kecerdikan.

Difinisi “sistem/system” dalam “businessdictionary”adalah

1. Set of detailed methods, procedures, and routines established or formulated to


carry out a specific activity, perform a duty, or solve a problem.
2. Organized, purposeful structure regarded as a 'whole' consisting of interrelated
and interdependent elements (components, entities, factors, members, parts etc.).
These elements continually influence one another (directly or indirectly) to
maintain their activity and the existence of the system, in order to achieve the
common purpose the 'goal' of the system. All systems have (a) inputs, outputs,
and feedbackmechanisms, (b) maintain an internal steady-state
(called homeostasis) despite a changing external environment, (c)
display properties that are peculiar to the whole (called emergent properties) but
are not possessed by any of the individual elements, and (d) have boundaries that
are usually defined by the system observer.

Dari difinisi di atas dapat diketahui bahwa sistem merupakan 1. Set /kumpulan metode
rinci, prosedur, dan rutinitas yang didirikan atau diformulasikan untuk melaksanakan
suatu aktivitas tertentu, melakukan tugas, atau memecahkan masalah. 2. Terorganisir,
struktur tujuan dianggap

sebagai 'keseluruhan' yang terdiri dari unsur yang saling terkait dan saling tergantung
(komponen, badan, faktor, anggota, bagian dll). Unsur-unsur ini terus-menerus
mempengaruhi satu sama lain (langsung atau tidak langsung) untuk menjaga aktivitas
mereka dan keberadaan sistem, dalam rangka mencapai tujuan bersama yang 'tujuan'
dari sistem. Semua sistem memiliki (a)input, output, dan mekanisme umpan balik,
(b) mempertahankan steady-state internal (disebut homeostasis) meskipun lingkungan
eksternal yang mengalami perubahan, (c) menampilkan sifat yang khas dengan (sifat
yang muncul disebut) keseluruhan tetapi tidak dimiliki oleh salah satu elemen individu,
dan (d) memiliki batas-batas yang biasanya didefinisikan oleh sistem pengamat.
Difinisi konsep sistem di atas merupakan bagian dari alam semesta (dengan ekstensi
yang terbatas dalam ruang dan waktu), lebih kuat dan ada korelasi antara satu bagian
dari sistem dan lainnya, dari antara bagian dari sistem dan bagian luar sistem. Kosep
sistem tersebut juga merupakan berbagai bagian dari hasil ciptaan alam semesta.
Bagian-bagian dari alam semesta yang memiliki korelasi kuat satu sama lain. Untuk
setiap sistem ada korelasi dominan yang bagian-bagiannya memiliki
gravitasi, elektromagnetik hubungan atau komunikasi.

2.6 Pengertian Dan Ruang Lingkup Kebijakan Sistem


Pemidanaan
Secara teoritik pengertian dan ruang lingkup sistem pemidanaan dilihat dari sudut
fungsional/luas dan substantif/sempit. Sistem pemidanaan dari sudut
fungsional/luas,merupakan keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) mengenai
bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga
seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Dengan pengertian demikian, sistem
pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-
sistem Hukum Pidana Materiil / Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formil dan sub
sistem Hukum Pelaksana Pidana.

Sistem pemidanaan dari sudut substantif/sempitmerupakan keseluruhan aturan


perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana dan pemidanaan. L.H.C Hulsman
mengemukakan makna sistem pemidanaan dengan “The sentencing system is the
statutory rules relating to penal sanction and punishment.. Dalam makna demikian
sistem pemidanaan terkait dengan ketentuan pidana, karenanya dia merupakan suatu
proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, sehingga dia mencakup
keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana
ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi
(hukum) pidana.

Pengertian sistem pemidanaan yang dikemukakan oleh L.H.C Hulsman di atas meliputi
“Aturan Umum”/”General Rules” dan “Aturan Khusus”/”Special Rules”. Keterjalinan antara
kedua aturan tersebut ada dalam rumusan Pasal 103 KUHP berbunyi; “Ketentuan-
ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-
perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana,
kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Bab I sampai dengan Bab VIII berada
dalam Buku Kesatu KUHP dan terdiri dari rumusan Pasal 1 sampai dengan Pasal 85,
sedang Bab IX terdiri dari Pasal 86 sampai dengan Pasal 101. Ketentuan Pasal 1 sampai
dengan Pasal 85 KUHP merupakan sub –sistem dari kebijakan sistem
pemidanaan merupakan suatu keterjalinan yang utuh, artinya rumusan ketentuan
jenis pidana tidak dapat dipisah-lepaskan dengan ketentuan tentang pedoman dan
aturan pemidanaan
Ruang lingkup sistem pemidanaan di atas dapat juga dipahami dari bagan berikut ini :

Ruang lingkup sistem pemidanaan yang dianalisis dalam disertasi ini adalah dalam
makna fungsional/luas, sehingga seluruh ketentuan perundang-undangan yang
dianalisis difokuskan dalam kebijakan perumusan sistem pemidanaan hukum pidana
materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana sedangkan analisis
terhadap ruang lingkup sistem pemidanaan dalam makna substantif/sempit lebih
bersifat melengkapi, bukan merupakan tujuan utamanya.

KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN (DILENGKAPI


DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN)13KEBIJAKAN SOSIAL, KEBIJAKAN KRIMINAL
DAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA2011Kebijakan sistem pemidanaan merupakan bagian
dari kebijakan hukum pidana oleh karenanya juga merupakan usaha
mewujudkan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian kebijakan
sistem pemidanaan juga merupakan bagian dari pembaharuan hukum Pidana

3.2 CITIZEN LAWSUIT


CITIZEN LAWSUIT

Dalam praktik peradilan mulai sering diajukan jenis gugatan perdata yang berasal
dari hukum acara perdata asing yang tidak dikenal dalam system hukum Indonesia,
dalam hal ini diantaranya actio popularis atau citizen lawsuit

Actio popularis atau gugatan warga Negara terhadap penyelenggaran Negara


tidak dikenal dalam system hukum civil law sebagaimana yang diterapkan di Indonesia
melainkan lahir dari Negara- Negara yang menganut system common law seperti
Amerika Serikat. Pada intinya merupakan mekanisme bagi warga Negara untuk
menggugat tanggung jawab penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi
hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum
sehingga menjadi ruang lingkup peradilan perkara perdata.

Syahdeni memberikan pengertian dari actio popularis yakni prosedur pengajuan


gugatan yang melibatkan kepentingan umum secara perwakilan. Dalam hal ini
pengajuan gugatan ditempuh dengan acuan bahwa setiap warga Negara tanpa kecuali
mempunyai hak membela kepentingan umum.
Menurut Gokkel, action popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh
setiap warga Negara tanpa pandang bulu dengan pengaturan oleh Negara. Selanjutnya
oleh Kottenhagen-Edzes, action popularis dapat diberi batasan sebagai pengajuan
gugatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang terhadap adanya perbuatan melawan
hukum dengan mengatasnamakan kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut.Dengan demikian setiap
warga Negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat Negara atau pemerintah
atau siapa saja yang dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dan nyata-nyata
merugikan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat luas.

Dalam action popularis (dalam system common law dikenal dengan istilah citizen
lawsuit) yakni hak mengajukan gugatan bagi warga Negara atas nama kepentingan
umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil inisiatif mengajukan
gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian secara langsung, dan juga
tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya.

Bentuk gugatan action popularis di Indonesia digagas oleh Komisi Hukum


Nasional pada tanggal 6 Februari 2008 melalui tulisan yang berjudul “Menggagas Bentuk
Gugatan Actio Popularis” anatara lain disampaikan bahwa :”Tidak dapat dipungkiri
bahwa akhir- akhir ini sering kali kepentingan umum tidak menjadi prioritas utama,
beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkadang kurang mendapat respon
masyarakat akibat penetapan yang tertutup tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Dalam kesempatan tersebut disarankan untuk mulai menyusun RUU tentang Actio
Popularis yang memberikan hak gugat kepada warga Negara apabila ada kebijakan
pemerintah yang merugikan kepentingan umum.

Salah satu contoh praktik peradilan citizen lawsuit di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dalam pertimbangan putusan hakim menerima gugatan ini adalah :”setiap warga
Negara tanpa kecuali, mempunyai hak membela kepentingan umum”. Dengan demikian
setiap warga Negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat Negara atau
pemerintah, atau siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum yang nyata-
nyata merugikan kepentingan publik dan kesejahteraan luas.

Beberapa contoh kasus gugatan action popularis yang pernah didaftarkan di


Indonesia antara lain gugatan atas nama Munir cs atas penelantaran Negara terhadap
TKI Migran yang dideportasikan di Nunukan, gugatan yang diajukan oleh LBH APIK atas
kasus kenaikan BBM, gugatan oleh LBH Jakarta atas operasi yustisi terhadap tukang
becak, dan gugatan yang juga diajukan oleh LBH Jakarta atas penyelenggaraan ujian
nasional.

Pada umumnya action popularis mempunyai kesamaan dengan gugatan secara


class action yaitu sama-sama merupakan pengajuan gugatan yang melibatkan
kepentingan umum secara perwakilan oleh seorang atau lebih. Namun jika ditinjau dari
prinsip hukum acara perdata terdapat perbedaan yang prinsip dari kedua proses
gugatan tersebut, jika dalam actio popularis yang berhak mengajukan gugatan adalah
setiap orang hanya atas dasar bahwa sebagai anggota masyarakat, tanpa ada keharusan
bahwa orang tersebut merupakan pihak yang mengalami kerugian secara langsung,
sedangkan dalam class action tidak setiap orang yang berhak mengajukannya,
melainkan hanya salah satu atau beberapa orang yang merupakan anggota dari
sekelompok orang yang ikut mengalami kerugian secara langsung.

Dalam action popularis yang mengajukan gugatan bukanlah yang


berkepentingan langsung dan juga bukan pihak yang mewakili mereka yang
berkepentingan langsung berdasarkan pemberian kuasa, melainkan setiap orang tanpa
kecuali. Hal ini bertentangan dengan asas dalam hukum acara perdata yang
menyebutkan bahwa barang siapa yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan
tuntutan hak atau gugatan (asas point d’interest point d’action) artinya bahwa hanya
yang berkepentinganlah yang dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Kepentingan yang dimaksud adalah bukan kepentingan sembarangan, namun


kepentingan hukum secara langsung yaitu kepentingan yang dilandasi dengan adanya
hubungan huku tersebut langsung dialami sendiri oleh penggugat secara konkrit.
Kepentingan hukum secara langsung mempunyai hubungan sebab akibat dan harus
dialaminya sendiri.

Selain itu, Penggugat harus dapat membuktikan adanya hubungan antara dirinya
dengan hak atau kepentingan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 163 HIR yang
menyebutkan bahwa barangsiapa mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu
peristiwa maka harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (asas actori incumbit
probation). Jadi, menurut hukum acara perdata yang berlaku, Penggugat haruslah pihak
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung dengan objek gugatan.

Pengecualian beracara dengan surat kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 123
HIR berlaku bagi action popularis/ citizen lawsuit. Dalam citizen lawsuit, hak mengajukan
gugatan bagi warga Negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat,
sehingga orang yang mengambil inisiatif untuk mengajukan gugatan tidak harus
memerlukan surat kuasa dari anggota masyarakat yang diwakilinya kepada pihak yang
akan mengajukan gugatan ke pengadilan atas nama kepentingan umum.

Pemberlakuan action popularis di peradilan Indonesia didasarkan pada asas


bahwa hakim wajib menggali nilai- nilai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat seperti diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 selain
itu didasarkan pada hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara
yang diajukan kepadanya sekalipun undang-undangnya tidak jelas atau belum ada.

3.4 ANTI SLAPP DALAM UU NO.32 TAHUN 2009


ANTI SLAPP DALAM UU NO.32 TAHUN 2009

Pasal 66 UU No.32 tahun 2009 tentang UUPPLH Setiap orang yang memperjuangkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun
digugat secara perdata Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban
dan/pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran atau perusakan
lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan
dari Terlapor melalui pemidanaan dan / atau gugatan perdata dengan tetap
memperhatikan kemandirian peradilan.

SK KMA No.36/ Tahun 2013 Tentang Pedoman Penanganan Perkara LH Pasal 66 UU


PPLH adalah Anti Slapp ( Anti-Strategic Law suit Againts Public Participation) yang
merupakan perlindungan hukum bagi pejuang LH dalam memperjuangkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat.

Pengaturan tentang Anti Slapp disuarakan pertama kali dalam RDP U DPRRI dengan
beberapa organisasi LH pada saat pembahasan RUUPPLH, karena banyaknya gugatan
perdata/ laporan pidana terhadap para pejuang LH.Usulan tersebut disetujui yg
kemudian diimplementasikan dalam Pasal 66 UUPPLH.

Slapp menggunakan mekanisme peradilan untuk menyerang target / korban dengan


maksud untuk membungkam atau mengintimidasi partisipasi masyarakat yang
memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dijamin oleh konstitusi
sebagai hak asasi manusia.

Pengembangan kebijakan Anti SLAPP selalu dikaitkan dengan perlindungan hukum


terhadap pihak- pihak yang mengaktualisasikan hak warga Negara maupun kelompok
masyarakat untuk berperan serta dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.

Peran serta masyarakat untuk turut serta melindungi lingkungan hidup yang baik dan
sehat tersebut sering mendapat perlawanan dari pelaku usaha yang diduga / telah
melakukan pencemaran lingkungan hidup sebagai akibat dari kegiatan / aktifitas
usahanya, disebut sebagai SLAPP : Strategic Law suit Againts Public Participation.

Meskipun telah ada aturan bahwa pemerhati/ pejuang lingkungan yang


memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat tidak dapat digugat ataupun
dilaporkan polisi sebagaimana bunyi Pasal 66 UU PPLH, namun
fenomenamenggugatdanataumelaporkanpidanaparapejuanglingkunganterusterjadi.

Indonesia tidak memiliki regulasi khusus yang mengatur tentang Anti Slapp selain yang
terdapat dalam Pasal 66 UUPPLH dan SKKMA No.36 Tahun 2013 Di Negara lain seperti
30 negara bagian di USA, Canada, Australia dan Filipina telah mengatur Anti Slapp dalam
hukum materiil dan formil mereka

3.5 UU anti- SLAPP


UU anti- SLAPP di berbagai Negara bagian di Amerika Serikat, menggunakan 3 tes untuk
melihat perlindungan hukum yang efektif terhadap partisipasi masyarakat melalui anti-
SLAPP, yaitu :

1. Komunikasi : harus mencakup advokasi public dan komunikasi dengan pemerintah,


baik langsung maupun tidak langsung dan dalam bentuk kesaksian, surat, laporan
adanya kejahatan,unjuk rasa secara damai, atau petisi

2.Forum:Forum yang ditempuh harus mencakup badan pemerintah, baik itu badan
federal Negara bagian maupun lokal, legislatif, eksekutif,dan pengadilan,atau pejabat-
pejabat yang dipilih oleh rakyat.

3. Prevention and Cure: adanya early review yang efektif oleh pengadilan terhadap
gugatan SLAPP yang diajukan dan memberlakukan beban pembuktian kepada yang
mengajukan gugatan. Kedua hal ini (early review dan beban pembuktian ) berfungsi
untuk memberikan warning bagi potential gugatan SLAPP di masa mendatang.

Dalam perkara perdata,Tergugat menyatakan dalam provisi, eksepsi maupun gugatan


rekonvensi bahwa gugatan yang diajukan kepadanya adalah SLAPP, sedangkan dalam
perkara pidana, Terdakwa menyatakan dalam pembelaan bahwa dakwaan yang diajukan
kepadanya adalah SLAPP, dan harus diputuskan terlebih dahulu dalam putusan sela

SK KMA mengukuhkan Pasal 66 UUPPLH sebagai ketentuan Anti SLAPP yang bertujuan
memberikan perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup dalam
memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

KASUS BERINDIKASIKAN SLAPPDI INDONESIA :

Seorang saksi ahli (Basuki Wasis) digugat secara perdata (dengan dalil perbuatan
melanggar hukum) yang diajukan oleh Terpidana kasus korupsi.

3.6 Posita gugatan


Posita gugatan : ahli telah menyampaikan pendapat tentang perhitungan kerugian
ekologi dan ekonomi akibat perbuatan Terdakwa dalam suatu persidangan perkara
tipikor.

Majelis hakim menjatuhkan putusan sela yang menerima eksepsi kuasa hukum Basuki
Wasis dan menyatakan gugatan Nur Alam tidak dapat diterima.Majelis hakim juga
menegaskan dalam pertimbangan hukumnya bahwa setiap ahli yang memberikan
keterangan dalam persidangan tidak dapat digugat perdata ataupun pidana
(perkaraNomor47/Pdt.G/LH/2018/PNCbi)

2.Perkara pidana dengan klasifikasi perkara pelanggaran jabatan.


Berawal dari penolakan Robandi, dkk terhadap bantuan pangan dari PT Bangka Asindo
Agri(BAA) kepada masyarakat yang berada di wilayah administrasi Rukun Tetangga (RT)
Robandi,dkk.

PT BAA kemudian melaporkan Robandi, dkk karena dianggap tidak memiliki lagi
kewenangan sebagai ketua RT untuk membuat surat penolakan bantuan pangan.

Sebelumnya Robandi, dkk juga menjadi pihak dalam perkara perdata lingkungan
melawan PT BAA. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sungai liat dalam putusan sela
menyatakan menerima eksepsi dari kuasa hukum Robandi,dkk.

Dalam eksepsinya, kuasa hukum mendalilkan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
karena merupakan perkara SLAPP. Walaupun putusan sela ini tidak mempertimbangkan
SLAPP, namun konsepsi perlindungan pembela/pejuang lingkungan yang terlihat dalam
nuansa putusan inimerupakan perkembangan hukum yang penting
(perkaraNomor454/Pid.B/2020/PNSgl)

Setelah memperbaiki surat dakwaannya,Jaksa Penuntut Umum kemudian mengajukan


kembali perkara atas nama Robandi dkk, dan para Terdakwa diputus serta dinyatakan
bersalah oleh Majelis Hakim dan dijatuhi pidana selama 1(satu) bulan penjara,meskipun
dalam perkara tersebut Penasihat Hukum Terdakwa telah menghadirkan ahli yang
member pendapat tentang Anti Slapp, namun Majelis hakim tidak mempertimbangkan
tentang indikasi Slapp yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa dalam
keberatannya terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum

4.2 PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA


Pembaharuan hukum pidana Indonesia didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

-KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana
nasional Indonesia.

-Perkembangan Hukum Pidana diluar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun
hukum pidana administrasi telah menggeser keberadaan system hukum pidana dalam
KUHP. Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu system hukum
pidana yang berlaku dalam system hukum pidana nasional.

-Dalam beberapa hal telah juga terjadi duplikasinorma hukum pidana antara norma
hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar
KUHP.
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dalam RUU KUHP

KUHP yang berlaku saat ini tidak mengatur mengenai konsep yang dianut berkaitan
dengan pengertian Tindak Pidana maupun Pertanggun jawaban Pidana. Keadaan ini
sering kali menimbulkan perdebatan dan juga perbedaan dalam penegakan hukum
pidana di Indonesia. Sekali pun pada dasarnya kebanyakan para pengajar hukum pidana
Belanda dipengaruhi oleh pandangan yang bersifat monistis, yang pada
dasarnya melihat persoalan “pertanggungjawaban”sebagai bagian dari “tindak pidana”.
Hal ini berarti bahwa dalam suatu “tindak pidana” dengan sendirinya mencakup pula
kemampuan bertanggungjawab.

Sudah sejak lama di Indonesia berkembangan pemikiran yang bersifat


dualistis, diantaranya secara khusus dipengaruhi oleh pemikiran Prof.
Moelyatno sebagaimana disampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar
di Universitas Gajah mada, yang pada dasarnya beranggapan bahwa konsep
yang memisahkan “tindak pidana” dengan persoalan
“pertanggungjawaban pidana”dianggap lebih sesuai dengan cara berpikir bangsa
Indonesia.

Konsep inilah tampaknya telah digunakan sebagai salah satu dasar


dalam memperbaharui KUHP, sebagaimana tampak dalam judul bab II (buku I)
yaitu “Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”.

Tiga PilarPembaharuan Hukum Pidana

Dipengaruhi oleh penggunaan konsepdualistis dimaksud di atas,


pilarpembahuran hukum pidana Indonesia meliputi:

-Tindak Pidana (Criminal Act)

-Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Responsibility)

-Pidana dan Pemidanaan (Punishment and Treatment System)

Tindak Pidana

1. Berkaitan dengan pengertian“Tindak Pidana”, RUU KUHP telah


merumuskan sebagai “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana”. Perumusan tersebut tampaknya belum
mencakuppengertian tindak pidana dalam delikmateril, seperti halnya dalam
tindak pidana pembunuhan. Kelemahan ini tentunya tidak mempunyai relevansi
terkait dengan tindak pidana korupsi yang selama ini tidak dirumuskan sebagai
delikmateril.
2. RUU KUHP memandang setiap “tindak pidana” sebagai bersifat melawan hukum,
kecuali bila dapat dibuktikan bahwa terdapat alasanpembenar, yang meliputi :
perbuatan melaksanakan undang-undang, adanya perintah jabatan, keadaan
darurat, pembelaan secara terpaksa, dan perbuatan
dinyatakan tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat
(dianutnyaajaran melawan hukum secara materil yang dirumuskan dalam pasal 11
ayat (2) RUU KUHP). Perumusan tersebut di atas, lebih menjamin kemudahan
dalam proses penuntutan, karena Penuntut Umum tidak diwajibkan untuk
membuktikan dipenuhinyaunsur melawan hukum. Sekalipun hal ini sesungguhnya
sudah merupakan hal biasa dalam praktek penegakan hukum pidana di
Indonesia, namun KUHP saat ini sesungguhnya tidak pernah mengatur secara
tegas
3. RUU KUHP tidak membagi tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran”,
karenanya RUU KUHP hanya terdiri dari 2 buku, yaitu Buku I tentang Ketentuan
Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana.RUU KUHP mengklasifikasikan Tindak
Pidana berdasarkan bobot tindak pidana yaitu: Sangat Ringan, Berat, dan “Sangat
Berat/Sangat Serius”. Dengan demikian RUU KUHP tidak mengenal kategori
tindak pidana sebagai “Tindak Pidana Luar Biasa” atau “Extra Ordinary Crime”.
Sekalipun bila kita mencermati secara lebih mendalam, tampaknya RUU KUHP
juga masihmenempatkan beberapa tindak pidana tertentu sebagai tindak pidana
yang memperoleh perlakuan khusus, seperti tindak pidana Makar, tindak pidana
Terorisme, dan tindak pidana Narkotika.
4. RUU KUHP mengatur tentang kemungkinan untuk mengkualifikasi
perbuatan “permufakatanjahat” sebagai tindak pidana pidana dalam tindak
pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang. Dalam RUU
KUHP, permufakatanjahat dikualifikasi sebagai tindak pidana dalam tindak pidana
: Makar, Penghianatanthd Negara, Sabotase, Terorisme, Makar thd
Negara Sahabat, Menimbulkan Kebakaran, ledakan, dan Banjir, Membahayakan
Orang dan Keamanan Umum, Psikotropika, PencucianUang. RUU KUHP
tidak mengkualifikasi “permufakatanjahat” untuk melakukan tindak pidana
korupsi sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana.
5. RUU KUHP juga mengatur tentang pemidanaan terhadap “perbuatan persiapan”
terhadap tindak pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan dalam undang-
undang. Dalam RUU KUHP, “perbuatan persiapan” dikualifikasi sebagai tindak
pidana, apabila dilakukan berkaitan dengan tindak pidana :Makar, Sabotase dan
Terorisme. RUU KUHP tidak mengkualifikasi “perbuatan persiapan” melakukan
tindak korupsi sebagaiperbuatan yang dapat dipidana, padahal berkaitan dengan
hal ini, UNCAC (artcicle 27) telah menganjurkan kepada negara peserta untuk
mengadopsi.
6. RUU KUHP telah pula merumuskan definisi tentang “permulaan
pelaksanaan” yang merupakan salah satu syarat untuk mengkualifikasi perbuatan
sebagai suatu “percobaan tindak pidana”. Perumusan definisi ini
tentuberdampakpositif khususnya dapat memudahkan dan memberikan
kepastian hukum dalam menentukan suatu perbuatan sebagai “percobaan tindak
pidana”. Secara tidak langsung, perumusan ini tentunya juga memudahkan untuk
membedakan suatu perbuatan, apakah merupakan “percobaan tindak pidana”
atau semata-mata sebagai suatu “persiapan tindak pidana” .
7. RUU KUHP telah juga mendefinisikan tentang “tindak pidana
korporasi” sebagaimana dirumuskan dalam pasal 48 RUU KUHP,
sebagai berikut :“Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kedudukanfungsional dalam
strukturorganisasikorporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau
demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atauberdasarkan
hubungan lain, dalam lingkupusahakorporasi tersebut, baik sendiri-sendiri
atau bersama-sama”Rumusan tersebut berbeda dengan rumusan sebagaimana
diatur dalam pasal 20 UU Tipikor, yang telah dirumuskan secara lebih luas karena
dapat dilakukan oleh setiap orang baik berdasarkan hubungan kerjamaupun
berdasarkan hubungan lain. Sementara dalam RUU KUHP menjadi dibatasi hanya
apabila perbuatan dilakukan oleh orang-orang dalam kedudukanfungsional
tertentu dalam korporasi. Perbedaan ini dapat membawa perdebatan hukum,
khususnya terkait dengan apakah dalam hal ini, UU Tipikor tetap dapat
dikecualikan sebagai lexspesialis. Dalam arti bahwa dalam penegakan tindak
pidana korupsi terhadap korporasi, kriteria “perbuatan korporasi” yang digunakan
tetap mengacu pada UU Tipikor dan bukan pada buku I KUHP (bila kemudian
RUU telah menjadi UU). Padahal buku I dengan sendirinya berlaku terhadap
ketentuan pidana di luar KUHP.

4.3 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


1. RUU KUHP pada dasarnya mensyaratkan “kesengajaan”
sebagaibentuk pertanggungjawaban pidana, hanya dalam hal tertentu dimana
undang-undang secara tegas menyatakan bahwa suatu tindak pidana dapat
dipidana sekalipun hanya dilakukan dengan “kealpaan”.

2. Dianutnya asas culpabilitas, “tiada pidana tanpa kesalahan” yang


dirumuskan dalam RUU KUHP merupakan hal positif dalam memandu penegakan
hukum pidana. Asas culpabilitas dan ditegaskannya bahwa pertanggungjawaban
pidana dalam bentuk “kealpaan” hanyalah bila dinyatakan secara tegas dalam
undang-undang, akanberpengaruhterhadap penegakan tindak pidana korupsi.
UU Tipikor seperti pasal 2 dan pasal 3 nya yang tidak mencantumkanunsur
“sengaja”harus dipandang disyaratkan adanya kesengajaan. Keadaan ini
sangat mungkinakanmenyebabkanlolosnya beberapa terdakwa tindak pidana
korupsi yang disebabkan pada keberhasilannya untuk membuktikan
ketiadaan “kesengajaan”. Namun hal ini tidak berarti negative karena pidana tidak
pernah dimaksudkan untuk menghukum mereka yang tidak berhatijahat.
3. Asas Culpabilitas dalam RUU KUHP ternyatatelah diberikan
pengecualian sebagaimana dinyatakan dalam pasal 38 RUU yang menyatakan :(1)
Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukanbahwa
seseorang dapat dipidana semata-mata karena telahdipenuhinyaunsur-
unsurtindak pidana tersebut tanpamemperhatikan adanya kesalahan.(2) Dalam
hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang
dapatdipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan olehorang
lain. Strict liability sebagaimana dirumuskan dalam pasal 38 ayat(1) dan
Vicarious Liability sebagaimana dirumuskan dalam pasal 38 ayat (2), dalam
penjelasannya hanyalah dapatdijatuhkan terhadap tindak pidana tertentu yang
dinyatakan secara tegas dalam undang-undang. Kedua hal ini tidak ditemukan
dalam tindak pidana korupsi, artinya strict liability dan vicarious liability tidak
berlaku dalam tindak pidana korupsi.

4. Disampingalasanpemaaf sebagaimana telah diatur dalam KUHP, seperti


adanya dayapaksa, pembelaanterpaksa yang melampaui batas, perintah jabatan
yang diberikan tanpa wewenang dan kemampuanbertanggungjawab, RUU
KUHP(pasal 42) juga mengatur tentang “kesesatan” sebagai alasanpemaaf.
Tentang hal ini, dua bentuk bentukkesesatan, yaitu kesesatan fakta dan kesesatan
hukum dinyatakan sebagai alasanpemaaf kecuali jika kesesatan itu patut
dipersalahkan kepadanya. Secara teoritik menerima “kesesatan” (dwaling) sebagai
alasanpemaafbukanlah hal yang keliru dan juga bukan merupakan hal baru dalam
praktek penegakan hukum pidana. Hal yang perlu untuk diperhatikan dalam
penerapanalasanpemaaf ini adalah agar kesempatan ini tidak disalahgunakan
oleh suatu peradilan tidak jujur. Dalam system peradilan pidana yang koruptif,
alasankesesatan hukum dapat dengan mudah disalahgunakan.

PIDANA DAN PEMIDANAAN

1. Berkaitan dengan sanksi pidana, RUU KUHP mengatur ancaman maksimum


bagi pelaku suatu “percobaan tindak pidana” dengan maksimum satu perdua
(1/2) dari maksimum pidana yang dapat dijatuhkan bilamana tindak pidana
tersebut merupakan tindak pidana yang selesai. Dalam kaitan ini UUTipikor
mengancam pidana yang lebih berat dari apa yang sekarang diatur dalam KUHP
(mengurangi ancaman pidana dengan 1/3 dari pidana maksimum), yaitu dengan
mengancam pidana yang sama antara pelaku percobaan tindak pidana dengan
pelaku tindak pidana yang selesai. Sementara RUU KUHP justru mengatur
ancaman pidana yang lebih ringan dari apa yang selama ini diatur dalam KUHP.
Keadaan ini juga berlaku terhadap tindak pidana korupsi, karena dalam RUU
KUHP tidak diatur adanya pengecualian. Sesungguhnya dalam kaitan ini RUU
KUHP mengatur tentang pengecualian terhadap percobaan tindak pidana
tertentu, yaitu percobaan tindak pidana terorisme, percobaan tindak pidana
genosida, percobaan tindak pidana kemanusiaan, percobaan tindak
pidana pengangkutan orang untuk diperdagangkan, percobaan tindak pidana
pencucianuang, dimana dikecualikan untuk dapat dijatuhi dengan maksimum
pidana yang diancamkan dalam tindakpidana-tindak pidana tersebut.

2. Terhadap mereka yang membantu melakukan tindak pidana, RUU KUHPmengatur


ancaman pidana yang sama sebagaimana diatur dalam KUHP, yaitu dengan
pengurangan 1/3 (satu pertiga) dari maksimum pidana yang diancamkam dalam
tindak pidana bersangkutan. Pengecualian yang diatur dalam RUU
KUHP diberikan kepada pembantuan tindak pidana genosida, pembantuan
tindak pidana kemanusiaan, pembantuan tindak pidana pengangkutan orang
untuk diperdagangkan, pembantuan tindak pidana pencucianuang, dimana
dikecualikan untuk dapat dijatuhi dengan maksimum pidana yang diancamkan
dalam tindakpidana-tindak pidana tersebut. Dalam hal inipun, RUU KUHP
tidak memberikan pengecualian bagi pembantuan dalam tindak pidana
korupsi, sebagaimana telah diatur dalam UU Tipikor. Tidak diperoleh informasi,
apakah hal ini disebabkan oleh adanya pendirian dari penyusun RUU KUHP,
bahwa untuk tindak pidana korupsi telah diatur dalam UU Tipikor atau semata-
mata tidak melihat tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang
perlu mendapatpengecualian sebagaimana tindak pidana-tindak pidana
tersebut. Sayamenduga hal terakhir inilah yang lebih mendasari perbedaan
perlakuan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam hal ini penyusun RUU KUHP
tampaknya telah beranggapan bahwa tindak pidana korupsi adalah merupakan
suatu tindak pidana yang tidak seberat atau kurang serius bila dibandingkan
dengan tindak pidana genosida, tindak pidana kemanusiaan, tindak pidana
pengangkutan orang untuk diperdagangkan, dan tindak pidana pencucianuang.
Pikiran semacam ini kiranya merupakan pikiran yang tidak berdasarkan realitas
sosial di Indonesia. Pada hemat saya dalam realitas sosial d Indonesia , tindak
pidana korupsi setidaknya sama seriusnya dengan tindak pidana-tindak pidana
dimaksud di atas.
3. Pidana tambahan berupa “pembayaranuangpengganti” sebagaimana
diatur dalam UU Tipikor tidak dikenal dalam RUU KUHP.
“PembayaranuangpenggantI” dalam UU Tipikor besarannya ditentukan
berdasarkan “hasil tindak pidana korupsi yang diperoleh Pelaku”. Harus diakui
“pembayaranuangpengganti” masihmengandung beberapa kelemahan,
seperti: Besarnyauangpenggantiyang didasarkan pada hasil kejahatanyang
diperolehdan bukan diperhitungkan dari jumlahkerugian,
belumdiperhitungkannyakerugian lain (social cost) sebagai akibat dari tindak
pidana korupsi, dan digunakannya kurungan pengganti dalam hal uangpengganti
tidak dibayar yang melemahkan tujuan pemulihankerugian dari pidana
tambahanpembayaranuangpengganti. Terlepas dari kelemahan-kelemahan
tersebut, “pembayaranuangpengganti” telah berkontribusi dalam upaya
pemulihankerugian yang diakibatkan tindak pidana korupsi.RUU KUHP mengatur
tentang pidana tambahan “pembayarangantikerugian”, apakah pidana tambahan
ini dapat juga dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pertanyaan ini
diajukan dengan mengingat pidana tambahan ini hanya dijatuhkan untuk
dibayarkan kepada korban kejahatan atau ahli warisnya, sementara dalam tindak
pidana korupsi sekalipun sesungguhnya dapat pula menimbulkan
kerugian terhadap anggota masyarakat namun pada umumnya tidak
bersifat kerugianindividual. Secara umum kerugian dalam tindak
pidanakorupsi selaludianggap sebagai kerugiannegara. Apabila
ketentuan “pembayarangantikerugian” dapat digunakan dalam tindak pidana
korupsi maka hal ini akan lebih baik bila dibandingkan dengan
“pembayaranuangpengganti”. “Pembayarangantikerugian”, akan dapat
menjangkaupemulihankerugian yang lebih lengkap karena tidak didasarkan pada
hasil kejahatan yang diperoleh, dan dapat menjangkau pula segalakerugian-
kerugian yang merupakan ekses dari tindak pidana korupsi yang
bersangkutan.Sebagai catatan, pidana tambahanbaik berupa
“pembayarangantirugi” maupun pidana tambahan lainnya tidak
pernah diancamkan dalam tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam RUU
KUHP. Sementara dalam tindak lainnya, pidana tambahankerap diancamkan. Atas
dasar hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pidana tambahan
termasuk “pencabutan hak memilih dan dipilih” tidak dapat dijatuhkan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi.
4. Berkaitan dengan pemidanaan perlu dicermati tentang diaturnya
beberapa ketentuan pemidanaan yang rawan terhadap adanya penyalahgunaan,
baik dalam kaitan dengan penegakan tindak pidana pada umumnya ataupun
secara khusus dalam penegakan tindak pidana korupsi. Ketentuan tersebut
adalah :-Judicial pardon sebagaimana diatur dalam pasal 55 ayat (2) yang
memungkinkan Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana dengan alasan-alasan
tertentu terhadap suatu peristiwa pidana yang dinyatakanterbukti.-Perubahan
atau penyesuaian pidana sebagaimana diatur dalam pasal 57 RUU KUHP, yang
dapat berupa pencabutan atau penghentiansisa pidanaatau tindakan atau
penggantianjenis pidana atau tindakan. Ketentuan semacam ini dibutuhkan untuk
menjamin agar pemidanaan dapat senantiasa dilakukan
dengan mempertimbangkan aspek keadilan maupun kemanusiaan. -
Kemungkinan menjatuhkan pidana denda terhadap tindak pidana yang
hanya diancam dengan pidana penjara dengan pertimbangan yang berkaitan
dengan tujuan pemidanaan maupun pedoman pemidanaan.
5. RUU KUHP belum mengatur kekhususan tentang daluarsa bagi tindak
pidana korupsi sebagaimana diamanatkandalam article 29 UNCAC. Kekhususan
tersebut dapat berupa tenggang waktu yang lebih panjang ataupun kekhususan
mengenai penetapan awal penghitungandaluarsa.

4.4 Kebijakan Hukum Pidana


Istilah kebijakan dapat diambil dari istilah "policy" (Inggris) atau“politiek”
(Belanda).5MenurutBarda Nawawi Arief,istilah “kebijakanhukum pidana” dapat pula
disebut dengan istilah “politik hukum pidana”,yang dalam kepustakaan asing istilah
“politik hukum pidana” ini seringdikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal
policy”, “criminal lawpolicy” atau “strafrechtspolitiek”.Pengertian kebijakan atau politik
hukumpidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.
Menurut Sudartopolitik hukum adalahusaha untuk mewujudkan peraturan-
peraturanyang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.

Selanjutnya,Sudartomenyatakan bahwa melaksanakan “politik hukumpidana” berarti


mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidanayang paling
baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dandaya guna.Melaksanakan “politik hukum
pidana” berarti usaha mewujudkanperaturan perundang-undangan pidana yang sesuai
dengan keadaan dan situasipada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang.Usahapenanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
jugamerupakan bagian dari usaha penegakkan hukum (khususnya penegakkanhukum
pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik ataukebijakan hukum
pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakkanhukum (law enforcement
policy).

Masalah Pokok Dalam Hukum Pidana

Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat pada hakikatnyamerupakan


bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Dalam menggunakansarana hukum pidana
(penal),Nigel Walkersebagaimana dikutip oleh BardaNawawi Arief mengingatkan adanya
“prinsip-prinsip pembatasan” (thelimiting principles) yang sepatutnya mendapat
perhatian, antara lain:

 Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;


 Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak
merugikan/mebahayakan;
 Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat
dicapai secara lebih efektif dengan sarana lain yang lebih ringan;
 Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian atau bahaya yang timbul
dari pidana lebih besar dari pada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana
itu sendiri; dan.Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak
mendapa tdukungan kuat dari publik

Namun demikian, dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana, dalam artikebijakan
menggunakan/mengoperasionalisasikan hukum pidana, masalahsentral atau masalah
pokok sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauhkewenangan mengatur dan
membatasi tingkah laku manusia (wargamasyarakat/pejabat) dengan hukum
pidana.12Dilihat dari sudut dogmatis-normatif, masalah pokok atau materi/substansi
dari hukum pidana (materiil)terletak pada masalah mengenai
 Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana;
 Syaratapa yang seharusnya
dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorangyang
melakukan perbuatan itu; dan
 Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu.

4.5 Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Politik


Menurut Barda Nawawi Arief dalam kebijakan legislatif/formulatif selama ini, tidak ada
suatu perbuatan yang secara formal dikualifikasikan sebagai “kejahatan/tindak pidana
politik”. Oleh karena itu,dapat dikatakan bahwa istilah “kejahatan/delik politik” bukan istilah
yuridis, tetapi hanya merupakan istilah umum (“public term”) dan istilah/sebutan teoritis
ilmiah(“scientific term”). Di kalangan publik dan kalangan ilmiah pun masih belum ada
kesamaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan politik, dan apa yang
menjadi ruang lingkupnya. Selanjutnya dikatakan belum adanya kesamaan pendapat itu
wajar, karena orang dapat memberikan arti dan muatan bermacam-macam terhadap kejahatan
politik, antara lain sebagai berikut:

1. Kejahatan terhadap negara/keamanan negara;


2. kejahatan terhadap sistem politik;
3. Kejahatan terhadap sistem kekuasaan;
4. Kejahatan terhadap nilai-nilai dasar atau hak-hak dasar (HAM)
dalambermasyarakat/bernegara/berpolitik;
5. Kejahatan yang mengandung unsur/motif politik;
6. Kejahatan dalam meraih/mempertahankan/menjatuhkan kekuasaan;
7. Kejahatan terhadap lembaga-lembaga politik;
8. Kejahatan oleh negara/penguasa/politikus;i.Kejahatan penyalahgunaan kekuasaan

Bahkan menurut Stephen Schafer yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
kejahatan dalam pengertian yang sangat luas adalahkejahatan politik.16Adapun
menurut Radbruch sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adji mengemukakan, bahwa suatu
delik politik sering lebih berbahaya sifatnya dari delik-delik biasa dan bahaya tersebut
justru disebabkan sebagian karena adanya keyakinan dibelakang perbuatannya.

.6 Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Politik Dalam Konsep


RUUKUHP
Tindak Pidana Terhadap KeamananNegaradimuat dalam Pasal 212-263 KUHP Bab I Konsep
KUHP yang terdiri dari 5 (lima) bagian, antaralain:

1. Bagian KesatuTindak Pidana terhadap Ideologi Negara


2. Bagian KeduaTindak Pidana Makar
3. Bagian KetigaTindak Pidana terhadap Pertahanan dan KeamananNegara
4. Bagian KeempatTindak Pidana Terorisme
5. Bagian KelimaTindak Pidana Terhadap Penerbangan dan SaranaPenerbangan.
Melihat konsep tahun 2008 dimana tindak pidana keamanan Negaradalam Buku II Bab I
dimasukkan delik-delik yang relatif baru. Misalnya,mengenai larangan “menyebarkan atau
mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-lenimisme” dan “larangan mendirikan
organisasi yang berasaskan komunisme/marxisme-leninisme baik di luar dan
dalam negeri.Mengenai delik dengan melawan hukum meniadakan atau mengganti Pancasila.
Mengenai delik sabotase terhadap instalasi Negaraatau instalasi militer dan juga sabotase
dengan tindakan menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok
yang menguasai hajat hidup orang banyak.Mengenai tindak pidana menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda
orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis ataulingkungan hidup atau fasilitas umum atau fasilitas internasional.

Dalam konsep KUHP,mengenai besarnya ancaman pidana, tindak-tindak pidana politik dapat
dikatakan sama untuk tiap deliknya, seperti kebijakan formulasi pidana yang baru untuk
menghindari disparitas pemidanaan. Diatur pula tentang pidana maksimal dan pidana
minimal khusus bagi tiap-tiap tindak pidana yang termasuk berat dan sangat berat/sangat
serius. Selain itu, jugadilengkapi pencantuman pidana denda dengan sistem kategori, sesuai
dengan bobot tindak pidananya.Misalnya,Pasal 104 KUHP ancaman pidananya pidana mati
atau seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, sama halnya
dengan Pasal 215 Konsep dimana ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 5(lima) tahun. Yang membedakan di
dalam Konsep dicantumkan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

Dalam Konsep dihilangkan rumusan kesengajaan dalam suatu perbuatan, mengacu kepada
suatu kenyataan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika orang tersebut melakukan
perbuatan dengan sengaja. Jadi semua rumusan tindak pidana dalam Konsep dianggap
semuanya dilakukan dengan sengaja, kecuali pasal-pasal tersebut menentukan dengan tegas
bahwa tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dikenakan pidana. Dalam hal ini
ada alasan pembenar seperti pada Pasal31-35 Konsep

5.2 Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum


Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum ialah :

1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig).


2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).4.Antara perbuatan
dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.

Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Suryatin, yang mengatakan
: Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya
dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur pertama
adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undangan.Perbuatan itu
menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada
sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.

Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai
berikut :

1. Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.


2. Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan dan
akibat harus ada sebab musabab.
3. Harus ada kesalah di pihak yang berbuat

Dibanding kedua unsur-unsur tersebut di atas, jelas terlihat perbedaannya, dimana


menurut pendapat Abdulkadir Muhammad, unsur-unsur perbuatan melawan hukum
yang dikemukakannya lebih luas, jika dibandingkan dengan unsur-unsur perbuatan
melawan hukum yang dikemukakan oleh R. Suryatin. Kalau perbuatan yang dikemukakan
Abdulkadir Muhammad lebih luas, yaitu terhadap hukum yang termasuk di dalamnya
Undang-undang. Sedangkan perbuatan yang dikemukakan R.Suryatin, hanya terhadap
hubungan kausal (sebab musabab), menurut R. Suryatin digabungkan dengan unsur
perbuatan itu menimbulkan kerugian.

Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum


yaitu :

1. Perbuatan itu harus melawan hukum adalah Prinsipnya tentang unsur yang
pertama ini telah dikemukakan di dalam sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-
syarat perbuatan melawan hukum. Dalam unsure pertama ini, sebenarnya
terdapat dua pengertian, yaitu “perbuatan “ dan “melawan hkkum”. Namun
keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan itu dapat
dibuktikan dengan dua cara, yaitu dengan cara penafsiran bahasa, melawan
hukum menerangkan sifatnya dari perbuatan itu dengan kata lain “melawan
hukum” merupakan kata sifat, sedangkan “perbuatan” yang sifatnya “melawan
hukum”, maka terciptalah kalimat yang menyatakan “perbuatan melawan hukum”.
Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Cara penafsiran hukum ini terhadap
kedua pengertian tersebut, yaitu “perbuatan”, untuk jelasnya telah diuraikan di
dalam sub bab di atas, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Pengertian
perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya meliputi hak orang lain, dan
kewajiban si pembuat yang bertentangan atau hanya melanggar hukum/undang-
undang saja. Pendapat ini dikemukakan sebelum adanya arrest Hage Road Tahun
1919. Sedangkan dalam arti luas, telah meliputi kesusilaan dan kepatutan ysng
berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang-barang orang lain.
Pendapat ini dikemukakan setelah pada waktu arrest Hage Road Tahun 1919
digunakan.
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian. Kerugian yang dimaksud di dalam
unsur kedua ini, undang-undang tidak hanya menjelaskan tentang ukurannya dan
yang termasuk kerugian itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat dari
kerugian tersebut, yaitu materiil dan imateriil. “ Kerugian ini dapat bersifat
kerugian materil dan kerugian immaterial, Apa ukurannya, apa yang termasuk
kerugian itu, tidak ada ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang
sehubungan dengan perbuatan melawan hukum”

5.3 Untuk Perbuatan Melawan Hukum


Cara untuk menentukan kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan melawan hukum
tersebut. Karena undang-undang sendiri tidak ada menentukan tentang ukurannya dan
apa saja yang termasuk kerugian tersebut. Undang-undang hanya menentukan sifatnya,
yaitu materil dan immaterial. Termasuk kerugian yang bersifat materil dan immaterial ini
adalah :

1. Materil, maksudnya bersifat kebendaan (zakelijk). Contohnya: Kerugian karena


kerusakan tubrukan mobil, rusaknya rumah, hilangnya keuntungan, keluarnya
ongkos barang dan sebagainya.
2. Immaterial, maksudnya bersifat tidak kebendaan. Contohnya: dirugikan nama
baik seseorang, harga diri, hilangnnya kepercayaan orang lain, membuang
sampah (kotoran) di pekarangan orang lain hingga udara tidak segar pada ornag
itu atau polusi, pencemaran lingkungan, hilangnya langganan dalam
perdagangan. Berdasarkan pernyataan di atas, apakah contoh-contoh tersebut
telah memenuhi ukuran dari kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan
hukum. Hal ini dapat saja terjadi, akrena undang-undang itu sendiri tidak
ada mengaturnya. Namun demikian bukan berarti orang yang dirugikan tersebut
dapat menuntut kerugian orang lain tersebut sesuka hatinya. Karena ada
pendapat yang mengatakan :Hoge Roadberulang-ulang telah memutuskan,
bahwa kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya
sama dengan ketentuan yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian (Pasal
1246-1248), walaupun ketentuan tersebut tidak dapat langsung diterapkan . akan
tetapi jika penerapan itu dilakukan secara analogis, masih dapat diperkenankan.
Dalam praktek hukumnya, pernyataan di atas dapat dibuktikan kebenarannya,
bahwa secara umum pihak yang dirugikan selalu mendapat ganti kerugian dari si
pembuat perbuatan melawan hukum, tidak hanya kerugian yang nyata saja, tetapi
keuntungan yang seharusnya diperoleh juga diterimanya. Dengan demikian,
kerugian yang dimaksud pada unsure kedua ini, dalam prakteknya dapat
diterapkan ketentuan kerugian yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian.
Walaupun penerapan ini hanya bersifat analogi. Namun tidak menutup
kemungkinan terlaksananya penerapan ketentuan tersebut terhadap perbuatan
melawan hukum. Alasannya, karena tidak adanya pengaturan lebih lanjut dari
Undang-undang tentang hal tersebut, sehingga masalah ini dapat merupakan
salah satu masalah pengembangan hukum perdata, yang layak untuk diteliti.
3. Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan.Kesalahan dalam uraian ini, ialah
perbuatan yang disengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan atau yang
perbuatan itu melawan hukum (onrechtmatigedaad). Menurut hukum perdata,
seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnnya dapat disesalkan bahwa ia
telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan.
Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari pada
dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-kira. Dapat dikira-kira itu harus diukur
secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan
tertentu perbuatan seharusnya dilakukan/tidak dilakukan

Berdasarkan pendapat di atas, berarti perbuatan melawan hukum itu adalah perbuatan
yang sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan yang dapat dikira-kira atau
diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal sebagai tindakan yang dilakukan atau
tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan demikian, melakukan atau tidak melakukan
dapat dikategorikan ke dalam bentuk kesalahan. Pendapat di atas dapat dimaklumi,
karena sifat dari hukum adalah mengatur, yang berarti ada larangan dan ada suruhan.
Jika seseorang melakukan suatu perbuatan, perbuatan ma dilarang oleh undang-
undang, maka orang tersebut dinyatakantelah bersalah. Kenudian jika seseorang tidak
melakukan perbuatan, sementara perbuatan itu merupakan perintah yang harus
dilakukan, maka orang tersebut dapat dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian
kesalahan dari maksud pernyataan di atas.

Kemudian ada pendapat lain yang menyatakan bahwa “kesalahan itu dapat terjadi,
karena: disengaja dan tidak disengaja” Tentunya yang dimaksud dengan disengaja dan
tidak disengaja dalam pernyataan di atas adalah dalam hal perbuatan Apakah perbuatan
itu tidak disengaja. Tentang disengaja berarti kesalahan itu dapat terjadi dan dilakukan
akibat dari suatu kelalaian. Jika kelalaian dapat dianggap suatu unsur dari kesalahan,
maka menurut pandangan hukum, kodrat manusia sebagai makhlukyang tidak pernah
luput dari kesalahan dan kesilapan, merupakan suatu pedoman dasar di dalam
menentukan bahwa perbuatan itu termasuk ke dalam suatu perbuatan yang melawan
hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi. Tetapi di dalam kenyataannya, kenapa masih
banyak orang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, dapat menghindari
dirinya dari tuduhan dan gugatan tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan
hukum yang ditunjukkan kepadanya.

Perbuatan yang memang disengaja, berarti sudah ada niat dari pelakunya atau si
pembuat. Tetapi jika perbuatan itu tidak disengaja untuk dilakukan, dalam arti unsure
kesilapan, suatu contoh dalam hal pembayaran harga barang dalam jual beli tanah yang
dilakukan si pembeli, apakah si pembeli dapat dikatakan telah melakukan perbuatan
melawan hukum, menurut pendapat di atas. Atau seorangkasir pada suatu bank, yang
silap melakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah. Apakah perbuatan si kasir
tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dan kepadanya dapat digugat Pasal
KUH Perdata tersebut.

5.4 Perkembangan Teori Melawan Hukum


Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdt. Rumusan norma dalam pasal ini unik, tidak seperti
ketentuan-ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365 KUHPerdt. lebih
merupakan struktur norma daripada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap.
Oleh karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUPerdt. senantiasa memerlukan
materialisasi di luar KUHPerdt.42 Oleh karena itu perbuatan melawan hukum
berkembang melalui putusan-putusan pengadilan dan melalui undang-undang.
Perbuatan Melawan Hukum dalam KUHPerdt.43 diatur dalam buku III tentang
Perikatan. Perbuatan melawan hukum Indonesia yang berasal dari Eropa Kontinental
diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdt. sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdt. Pasal-pasal
tersebut mengatur bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum

Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdt. pada awalnya memang
mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme Pengertian
yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang46.
Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama dengan
melawan undang-undang (onwetmatige daad). Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge
Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang
pedagang menjual mesin jahit merek “Singer” yang telah disempurnakan. Padahal
mesin itu sama sekali bukan produk Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan hurufhuruf
yang besar, sedang kata-kata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang
terbaca adalah “Singer” saja. Ketika pedagang itu digugat di muka pengadilan, H.R.
antara lain mengatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan
melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan
dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.

Pada putusan berikutnya, Hoge Raad berpendapat sama dalam kasus Zutphense
Juffrouw. Perkara yang diputuskan tanggal 10 Juni 1910 itu bermula dari sebuah
gudang di Zutphen. Iklim yang sangat dingin menyebabkan pipa air dalam gudang
tersebut pecah, sementara kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas. Namun
penghuni di tingkat atas tersebut tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup
kran induk tersebut;sekalipun kepadanya telah dijelaskan, bahwa dengan tidak
ditutupnya kran induk, akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan dalam
gudang akibat tergenang air. Perusahaan asuransi telah membayar ganti kerugian atas
rusaknya barang-barang tersebut dan selanjutnya menggugat penghuni tingkat atas di
muka pengadilan. Hoge Raad memenangkan tergugat dengan alasan, bahwa tidak
terdapat suatu ketentuan undang-undang yang mewajibkan penghuni tingkat atas
tersebut untuk mematikan kran induk guna kepentingan pihak ketiga. Dengan kata lain
Hoge Raad di Belanda memandang perbuatan melawan hukum secara legistis.

Pemandangan legistis itu kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan
Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen v. Lindenbaum yang dikenal sebagai
drukkers arrest. Pada perkara ini Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan
hukum secara luas. Dalam perkara ini, Cohen seorang pengusaha percetakan telah
membujuk karyawan percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy pesanan
dari langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga
Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke perusahaan Cohen.
Selanjutnya Lindenbaum menggugat Cohen untuk membayar ganti kerugian
kepadanya. Gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (rechtbank).
Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan Negeri dengan
pertimbangan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu kewajiban hukum,
namun tidak berlaku bagi Cohen karena undang-undang tidak melarang dengan tegas
bahwa mencuri informasi adalah melanggar hukum.

Hoge Raad membatalkan


keputusan Hof atas dasar pertimbangan, bahwa dalam keputusan Pengadilan Tinggi
makna tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dipandang secara
sempit sehingga yang termasuk di dalamnya hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara
langsung dilarang oleh undang-undang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak
dilarang oleh undang-undang sekalipun perbuatan-perbuatan ini bertentangan dengan
keharusan dan kepatutan, yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat bukan
merupakan perbuatan melawan hukum.

Dengan adanya arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi
lebih luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang
melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu (a) perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku47 dan (b) melanggar hak subyektif orang lain, tetapi juga (c)
perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaedah yang mengatur
tata susila d) kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki
seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga
masyarakat.

Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum,


tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi
perbuatan tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa
seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi
faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi
sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan dengan sesama warga masyarakat.

5.5 Pengertian Onrechtmatigedaad


Istilah onrechtmatigedaad dalam bahasa Belanda lazimnya mempunyai arti
yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek (BW).
Untuk selanjutnya akan digunakan istilah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdt.) sebagai pengganti BW. Pasal ini diartikan berbeda-beda di antara
ahli hukum, ada yang mengartikannya sebagai Perbuatan Melanggar Hukum dan
ada pula yang mengartikannya sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Pasal 1365
KUHPerdt. selengkapnya berbunyi:
Code Civil Perancis mengatur mengenai Perbuatan Melawan Hukum dalam Titel
IV Chapter II artikel 1382 sampai dengan artikel 1386 dengan judul Delicts and
Quasi Delicts. Artikel 1382 Code Civil Perancis menyatakan bahwa: “Any act
whatever of man which causes damage to another obliges him by whose fault it
accorred to make reparatio”

R. Wirjono Projodikoro mengartikan kata onrechtmatigedaad sebagai perbuatan melanggar


hukum.Menurutnya perkataan “perbuatan” dalam rangkaian kata-kata “perbuatan melanggar
hukum” dapat diartikan positif melainkan juga negatif, yaitu meliputi juga hal yang orang
dengan berdiam diri saja dapat dikatakan melanggar hukum karena menurut hukum
seharusnya orang itu bertindak. Perbuatan negatif yang dimaksudkan bersifat “aktif” yaitu
orang yang diam saja, baru dapat dikatakan melakukan perbuatan hukum, kalau ia sadar,
bahwa ia dengan diam saja adalah melanggar hukum. Maka yang bergerak bukan tubuhnya
seseorang itu, melainkan pikiran dan perasaannya. Jadi unsur bergerak dari pengertian
“perbuatan” kini pun ada. Perkataan “melanggar” dalam rangkaian kata-kata “perbuatan
melanggar hukum” yang dimaksud bersifat aktif, maka menurut beliau perkataan yang paling
tepat untuk menerjemahkan onrechtmatigedaad ialah perbuatan melanggar hukum karena
istilah perbuatan melanggar hukum menurut Wirjono Prodjodikoro ditujukan kepada hukum
yang pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan hukum adat

oleh Mariam Darus Badrulzaman, dengan mengatakan: “Pasal 1365 KUHPerdt. menentukan
bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain
mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut”
Selanjutnya dikatakan bahwa “Pasal 1365 KUHPerdt. ini sangat penting artinya karena
melalui pasal ini hukum yang tidak tertulis diperhatikan oleh undang undang.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dan I.S. Adiwimarta dalam menerjemahkan buku H.F.A.
Vollmar juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum. Selain itu istilah yang sama
juga digunakan oleh M.A. Moegni Djojodirjo dalam bukunya yang berjudul Perbuatan
Melawan Hukum. Digunakannya terminologi Melawan hukum bukan Melanggar Hukum
oleh M.A. Moegni Djojodirjo karena dalam kata “melawan” melekat sifat aktif dan pasif.
Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang
menimbulkan kerugian pada orang lain, jadi sengaja melakukan
gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan tersebut”.
Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan sengaja diam saja atau dengan
lain perkataan apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga menimbulkan kerugian pada orang
lain, maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya

Rosa Agustina sependapat dengan Mariam Darus Badrulzaman bahwa terminologi melawan
hukum mencakup substansi yang lebih luas, yaitu baik perbuatan yang didasarkan pada
kesengajaan maupun kelalaian Mariam Darus Badrulzaman dalam Rancangan Undang-
Undang (RUU) Perikatan berusaha
merumuskannya secara lengkap sebagai berikut:

1. Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalainnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut;
2. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau
bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan
kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang lain;
3. Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan wajib dilakukannya,
disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya
melanggar hukum.

Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorpsi
perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan melawan hukum. Sebab dalam
konsep itu pengertian melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan
undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis).

Di dalam Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek konsep onrechtmatigedaad terdapat pada


Buku 6 Titel 3 Artikel 162.60 Berdasarkan rumusan yang terdapat pada Nieuw Nederlands
Burgerlijk Wetboek maka dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan melawan hukum adalah
perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang
bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang
menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya
dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut
hukum. Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum
adalah sebagai berikut :

1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban


kontraktual atau kewajiban quasi kontraktual yang menerbitkan hak untuk meminta
ganti rugi;
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi
orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, di mana perbuatan atau
tidak berbuat tersebut baik merupakan suatau perbuatan biasa maupun bisa juga
merupakan suatu kecelakaan;
3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana
ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi
kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi;
4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat
dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi
terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya;
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap konrak, atau lebih
tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang
diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual;
6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum
melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi
dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan;
7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak pelaku perbuatan tersebut. Namun
begitu, dalam praktek ternyata mesin tersebut terlalu rumit sehingga sering kali terasa
berada jauh dari jangkauan keadilan

Menurut Sudargo Gautama istilah perbuatan melawan hukum telah lama memusingkan para
ahli hukum yang harus mempergunakan undang-undang. Dalam hukum Barat, pengertian
perbuatan melawan hukum semakin lama memperlihatkan sifat semakin meluas. Semakin
banyak perbuatan-perbuatan yang dahulu tidak termasuk “melawan hukum” sekarang
termasuk istilah itu.63 Indonesia telah menganut pengertian perbuatan melawan hukum
dalam arti yang luas. Hal ini dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung RI No. 3191
K/Pdt./1984 tentang kasus Masudiati v I Gusti Lanang Rejeg.64 Mahkamah Agung
memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan Tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan bahwa Tergugat telah melanggar norma
kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri
Penggugat. Dengan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat
yang merupakan hukum tidak tertulis maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Indonesia
telah menganut penafsiran luas mengenai perbuatan melawan hukum

5.6 Teori Relativitas (Schutznormtheorie) Dalam


Perbuatan Melawan Hukum
Teori Relativitas (Schutznormtheorie) Dalam Perbuatan Melawan Hukum

Teori relativitas berasal dari hukum Jerman yang dibawa ke negeri Belanda oleh Gelein
Vitringa. Kata “schutz” secara harafiah berarti “perlindungan”, sehingga dengan istilah
“schutznorm” secara harafiah berarti “norma perlindungan”. Teori relativitas atau
schutznormtheorie merupakan pembatasan dari ajaran yang luas dari perbuatan yang
melawan hukum. Schutznormtheorie mengajarkan, bahwa perbuatan yang bertentangan
dengan kaidah hukum dan karenanya adalah melawan hukum, akan menyebabkan si
pelaku dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan
tersebut, bilamana norma yang dilanggar itu dimaksudkan untuk melindungi penderita.
Contoh penerapan schutznormtheorie dapat dilihat pada keputusan Hoge Raad Belanda
tanggal 17 Januari 1958. Schutznormtheorie tidak hanya mengenai norma hukum yang
diatur dalam undang-undang saja tetapi juga hukum yang tidak tertulis seperti norma
kepatutan, norma kesusilaan dan sebagainya.

Schutznormtheorie berasal dari suatu relativitas dari perbuatan yang melawan hukum,
dengan pengertian umpamanya, bahwa perbuatan tertentu dari A adalah melawan
hukum terhadap B, tetapi tidak melawan hukum terhadap C. Ada kemungkinan bahwa C
menderita kerugian karena perbuatan A, tetapi ia tidak dapat meminta ganti kerugian
kepada A karena perbuatannya itu melawan hukum terhadap B dan tidak terhadap C.
Schutznormtheorie sungguh kental dengan pro dan kontra. Di negeri Belanda, para ahli
hukum yang mendukung diterapkannya teori ini antara lain Telders, Van der Grinten, dan
Molengraaf. Bahkan Putusan Hoge Raad lebih banyak yang mendukung
schutznormtheorie. Adapun para ahli hukum Belanda yang menentang penerapan
Schutznormtheorie antara lain, Scholten, Ribius, Wetheim.

Meyers berpendapat bahwa Schutznorm hanya tepat diberlakukan terhadap perbuatan


melawan hukum oleh penguasa. Namun demikian, penerapan schutznormtheorie
sebenarnya dalam kasus kasus tertentu sangat bermanfaat karena alasan-alasan sebagai
berikut :

1. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt. tidak diperluas secara
tidak wajar;
2. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap kasus di mana hubungan
antara perbuatan dengan ganti rugi hanya bersifat normatif atau kebetulan saja;
3. Untuk memperkuat berlakunya unsur “dapat dibayangkan” (forseeability)
terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira-kira (proximate causation).

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa karena KUHPerdt. tidak memberikan indikasi


tentang berlaku atau tidaknya teori schutznorm ini, hakim tidak harus bahkan tidak
selamanya layak untuk menerapkan teori ini. Setidaknya hakim hanya cocok untuk
menggunakan teori ini kasus per kasus dan menjadi pedoman bagi hakim serta menjadi
salah satu dari sekian banyak alat penolong dalam mewadahi eksistensi unsur keadilan
dalam putusannya yang menyangkut dengan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan
penafsiran luas tersebut di atas, pelanggaran hukum perdata tidak saja meliputi
pelanggaran terhadap undang-undang tetapi meliputi pula pelanggaran terhadap
hukum tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Melanggar hak subyektif orang lain
dan melanggar kewajiban hukum pelaku merupakan pelanggaran yang tercakup dalam
undang-undang (absolute) sedangkan bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan
merupakan pelanggaran terhadap hukum tidak tertulis (relatif). Setelah adanya Arrest
tanggal 31 Januari 1919, pengadilan-pengadilan selalu menganut penafsiran luas
mengenai perbuatan melawan hukum

Pembuat undang-undang modern menyadari bahwa undang-undang tidak dapat


mengatur semua hal dan karena itu menyerahkan kepada penilaian hakim untuk
mengambil keputusan. Membuat peraturan-peraturan secara terinci, suatu hal yang
tidak mungkin dilakukan karena tidak dapat menampung semua hal yang mungkin
timbul kemudian hari. Peraturan yang terlalu rinci akan memungkinkan bagi peneliti
yang rajin untuk mencari kelemahan-kelemahannya sebagai bahan argumentasi. Oleh
karenanya bidang di mana hakim memberikan keputusan terakhir menjadi semakin
luas

Hal-Hal Yang Menghilangkan Sifat Melawan Hukum

Seperti halnya dalam hukum Pidana, demikian pula dalam hukum perdata,
adakalanya terdapat hal-hal yang menghilangkan sifat melawan hukum (alasan
pembenar). Rosa Agustina menyatakan ada 4 hal yang pada umumnya telah lazim
sebagai alasan pembenar yaitu

1. Keadaan memaksa (overmacht); Pengertian dari overmacht ialah salah satu


paksaan/dorongan yang datangnya dari luar yang tak dapat dielakkan atau harus
dielakkan. Overmacht adakalanya merupakan alasan pembenar
(rechtvaardigingsgrond) dan adakalanya alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond),
hal ini karena keadaan overmacht mempunyai sifat yang berbeda dan tidak harus
menimbulkan akibat yang sama. Overmacht memiliki bentuk tertentu, yaitu
noodtoestand yang timbul disebabkan oleh konflik kewajiban-kewajiban.
Terdapat noodtoestand apabila kewajiban untuk tidak melakukan suatu
perbuatan karena melawan hukum ditiadakan oleh suatu kewajiban lain atau
suatu kepentingan yang lebih tinggi tingkatnya. Overmacht dapat bersifat mutlak
(absolut) atau relatif. Disebut mutlak apabila setiap orang dalam keadaan
terpaksa harus melakukan perbuatan yang pada umumnya merupakan perbuatan
melawan hukum73, sedangkan disebut relatif apabila seseorang melakukan
perbuatan melawan hukum oleh karena suatu keadaan, di mana ia terpaksa
melakukan perbuatan tersebut daripada mengorbankan kepentingan sendiri
dengan risiko yang sangat besar
2. Pembelaan darurat atau terpaksa (noodweer); Di dalam pembelaan terpaksa,
seseorang melakukan perbuatan yang terpaksa untuk membela diri sendiri atau
orang lain, kehormatan atau barang terhadap serangan yang tiba-tiba
yangbersifat melawan hukum. Setiap orang yang diserang orang lain berhak
untuk membela diri. Jika dalam pembelaan tersebut, ia terpaksa melakukan
perbuatan melawan hukum, maka sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut
menjadi hilang. Untuk menentukan bahwa perbuatan tersebut merupakan bela
diri, harus ada serangan yang ditujukan kepadanya dan pembelaan diri tidak
boleh melampaui batas. Oleh karena diserang dengan golok, untuk membela diri
maka orang tersebut menggunakan tongkat dan dipakai memukul tangan si
penyerang, sehingga tangannya patah. Dalam hal ini perbuatan tersebut tidak
merupakan perbuatan melawan hukum.
3. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang;
Perbuatan tidak merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu
dilakukan karena melaksanakan undang-undang. Polisi yang menahan seseorang
dan merampas kemerdekaannya; hakim yang menghukum terdakwa; panitera
yang melakukan sitaan tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Suatu
perbuatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan
wewenang yang diberikan oleh undang-undang adalah melawan hukum apabila
wewenang tersebut disalahgunakan atau dalam hal detournement de pouvoir
4. Melaksanakan Perintah Atasan
Perbuatan orang yang melakukan perintah atasan yang berwenang, bukan
merupakan perbuatan melawan hukum. Perintah atasan hanya berlaku sebagai
alasan pembenar bagi orang yang melaksanakan perintah tersebut. Tidak
menutup
kemungkinan, bahwa pemerintah atau penguasa yang memberi perintah tersebut
bertindak melawan hukum. Di dalam praktek, alasan pembenar ini tidak begitu
penting karena biasanya penguasa yang digugat dan bukan pegawai yang
melakukan perbuatan tersebut

Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa hal-hal yang menghilangkan sifat


melanggar hukum ditinjau dari “perbuatannya” dengan tidak memandang tubuh dan
kedudukan dari subyek perbuatan melawan hukum adalah75
1. Hak pribadi;
2. Pembelaan diri (noodweer);
3. Keadaan memaksa (overmacht).
Sedangkan hal-hal mengenai subyek perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan subyek tersebut meskipun telah melakukan perbuatan melawan hukum
tidak dapat dipertanggungjawabkan ialah
1. Perintah kepegawaian (ambtelijk bevel);
2. Hak menghakimi sendiri (eigen richting).

6.2 Pengantar Perjanjian BAKU


Penerapan perjanjian baku dimaksudkan untuk mempermudah transaksi atau proses jual
beli antara pelaku usaha dengan konsumen. Namun penentuan klausul-klausul secara
sepihak oleh pelaku usaha di dalam perjanjian tersebut memiliki kelemahannya
tersendiri, yaitu celah untuk mengalihkan tanggung jawab yang bertentangan dengan
hak-hak dasar konsumen, misalnya untuk mendapatkan ganti rugi. Perlunya
perlindungan hukum untuk menjaga pemenuhan hak-hak konsumen dalam setiap
perjanjian baku menjadi salah satu fokus dari proyek ASEAN-Jerman PROTECT.

ASEAN-Jerman PROTECT merupakan proyek yang dilaksanakan


oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH dan didanai
oleh Kementerian Federal untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Jerman (BMZ).
Proyek ini bertujuan untuk mewujudkan pasar yang mengakomodasi kepentingan pelaku
usaha dan konsumen secara berimbang, serta mendukung inisiatif negara-negara
anggota ASEAN, baik di tingkat regional maupun nasional, demi terwujudnya
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dinamis dan berorientasi pada masyarakat. Bersama
dengan ASEAN Committee on Consumer Protection(ACCP), kami memfasilitasi dialog
dan kerja sama antara 10 negara anggota ASEAN untuk mencapai komitmen-
komitmennya yang tertuang dalam ASEAN Strategic Action Plan on Consumer
Protection (ASAPCP) 2016-2025.

Secara khusus di Indonesia, proyek ASEAN-Jerman PROTECT, antara lain,


berupaya meningkatkan efektivitas perlindungan konsumen melalui kerja sama
dengan berbagai pemangku kepentingan untuk melakukan kegiatan advokasi
masyarakat dalam topik-topik pilihan. Dalam kesempatan ini, kami bekerja sama dengan
ahli-ahli perlindungan konsumen mengenai perjanjian baku. Sebagaimana
diketahui, pengaturan mengenai perjanjian baku, atau lebih spesifik mengenai klausula-
klausula di dalamnya, sudah dimuat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Namun, sejalan perkembangan dunia saat ini, terutama pesatnya laju


digitalisasi ekonomi yang juga berpengaruh dalam pengadaan perjanjian baku digital,
penting bagi pemerintah serta lembaga terkait dan pelaku usaha untuk memahami
lebih lanjut mengenai masalah-masalah yang sering ditemukan dalam
penggunaan perjanjian baku tradisional maupun digital di Indonesia. Dengan adanya
rancangan perubahan UUPK, buku ini juga akan membahas rencana pengaturan
perjanjian baku di masa depan sebagai solusi masalah yang dihadapi pada saat ini.
6.3 Pengertian Perjanjian Baku
UUPK tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku, tetapi digunakan istilah
klausula baku. Pada Pasal 1 butir 10 pengertian klausula baku adalah setiap aturan atau
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pengaturan mengenai
pencantuman klausula baku dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk
menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha berdasarkan
prinsip kebabasan berkontrak. Para ahli hukum juga mendefinisikan pengertian
perjanjian baku.

Abdulkadir Muhammad menjelaskan perjanjian baku adalah perjanjian yang menjadi


tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang
mengadakan hubungan hukum dengan pelaku usaha, yang distandarisasikan atau
dibakukan adalah meliputi model, rumusan dan ukuran. Hodius merumuskan perjanjian
baku adalah konsep perjanjian tertulis disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya
dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu.

Munir Fuady menjelaskan yang dimaksud dengan kontrak baku adalah suatu kontrak
tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut. Bahkan sering
kali kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah
satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para
pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa
perubahan dalam klausul-klausulnya. Pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai
kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-
klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak
baki sangat berat sebelah

Sutan Remi Sjahdeni menjelaskan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh
klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum
dibakukan hanyalah beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah,
warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang
diperjanjikan

Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah
yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar
artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen
yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam
perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.

Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang
cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban
umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas. Namun adakalanya
kedudukan dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada
akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu
pihak

Dalam praktik dunia usaha juga menunjukan bahwa keuntungan kedudukan tersebut
sering diterjemahkan dengan pembuatan klausula baku dalam setiap dokumen atau
perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainya. Take
it or leave it . Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini cenderung
merugikan pihak yang kurang dominan tersebut. Terlebih lagi dengan sistem
pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak
yang cenderung merugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan
pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat
dalam perjanjian yang ada.

Melihat kenyataan bahwa barganing position konsumen pada praktiknya jauh di bawah
para pelaku usaha maka Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan
perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman
klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha
6.4 Ciri-ciri dan Klasifikasi Perjanjian Baku
Salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Menurut Mariam Darus
Badrulzaman, yaitu bahwa debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian itu, juga
tidak dapat dibenarkan, karena perjanjian baku pada umumnya dibuat dengan tetap
memungkinkan pihak lain (bukan pihak yang merancang perjanjian baku) untuk
menentukan unsur essensial dari perjanjian, sedangkan klausula yang pada umumnya
tidak dapat ditawar adalah klausula yang merupakan unsur aksidentalia dalam perjanjian.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi empat
jenis, yaitu :

 Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang


isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu.
Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai
posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.
 Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh
kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak
majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat
dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
 Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang
isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum
tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas
tanah(bentuknya tertulis).
 Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat
adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan
untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan
notaris atau advokat yang bersangkutan(dipersiapkan terlebih dahulu secara
massal dan kolektif).

Pelaku Usaha, Hak-haknya dan Kewajibanya

Pasal 1 ayat (3) UUPK memberi pengertian Pelaku Usaha, yaitu setiap
orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi. Penjelasan Pelaku Usaha yang termasuk dalam pengertian ini
adalah perusahaan, korporasi, BUMN, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena meliputi
grosir,leveransir,pengecer, dan sebagainya. Cukup luasnya pengertian pelaku usaha
dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam
masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai
produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasil bahan baku,
pembuat suku cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen,
dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang
membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; improtir suatu produk dengan
maksud untuk menjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau berbentuk
distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas
dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan

Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK sama dengan cakupan produsen yang dikenal
di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam
pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencangkup eksportir atau pelaku usaha
diluar negeri, karena UUPK membatasi orang perseorangan atau badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia.

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan konsumen
menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak
begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak
pihak yang digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut memberikan
rincian sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi negara Masyarakat Uni Eropa),
sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan
mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk. Dalam Pasal 3
Directive ditentukan bahwa :

1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau
pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang
nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk,
menjadikan dirinya sebagai produsen.
2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang
yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing,
atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdangangan dalam
Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Directive ini, dan
akan bertanggung gugat sebagai produsen.
3. Dalam hal ini produsen atau suatu produk tidak dikenal dengan
identitasnya, maka setiap levelansir/ supplier akan bertanggung gugat sebagai
produsem, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam
waktu yang tidak begitu lama mengenai identitas produsen atau orang yang
menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam
kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan
tidak menunjukkan identitas importit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), sekalipun nama produsen dicantumkan.

6.5 Penerapan Syarat-syarat Baku pada Prinsip- Prinsip


Perkreditan
Syarat-syarat baku dalam perjalanan sejarahnya makin lama makin panjang. Ternyata
selalu ada kejadian-kejadian yang memerlukan satu pengaturan kontraktuil. Syarat-
syarat baku yang bertambah demikian dari luar mirip dengan buku undang-undang.
Sedangkan ketentuan-ketentuan undang-undang secara hukum, jadi otomatis, dapat
diterapkan, maka syaratsyarat baku- kecuali dalam hal syarat yang biasanya selalu
dipakai- harus diikutsertakan. Prakteknya, cara pengikutsertaan syarat-syarat baku yang
paling banyak terjadi yaitu melalui: (a) penandatanganan, (b) pemberitahuan di atas
dokumen-dokumen kontrak atau kertas surat, (c) penunjukan dalam dokumendokumen
kontrak, (d) pemberitahuan atau penunjukan di atas kertas pengumuman (Compendium
Hukum belanda: 143). Demikian pula halnya dengan perjanjian pemberian kredit yang
menyertakan syarat-syarat baku dalam bentuk klausula-klausula yang telah dibakukan.

Sebagaimana kita ketahui, salah satu jenis layanan jasa perbankan yang cukup klasik
disamping menghimpun dana dari masyarakat adalah juga menyalurkan dana kepada
masyarakat yang kemudian disebut dengan pemberian kredit. Secara sederhana dapat
pula dikemukakan, bahwa kredit adalah kepercayaan atau saling percaya antara kreditur
dan debitur. Jadi apa yang telah disepakati wajib ditaati. Dari rumusan di atas tampak
bahwa hubungan hukum antara pemberi kredit dalam hal ini bank (kreditur) dan
penerima kredit dalam hal ini nasabah (debitur) didasarkan kepada perjanjian yang
dalam praktik perbankan dikenal sebagai perjanjian kredit bank

Dasar hukum dari suatu kredit adalah sebagai berikut (Fuady, 2002: 112): 1) Kontrak
kredit, 2) Undang-undang, terutama Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang
tentang Jaminan

Hutang (termasuk Undang-Undang Hak Tanggungan), 3 ) Peraturan perundang-


undangan lainnya,

4) Yurisprudensi tentang perkreditan, 5) Kebiasaan, terutama kebiasaan perbankan

Berpijak dari uraian tersebut di atas maka kontrak kredit merupakan salah satu dasar
hukum dari pemberian kredit. Kontrak kredit ini merupakan perjanjian tertulis yang isinya
telah ditentukan dan ditetapkan oleh pihak bank (kreditur) sehingga pihak nasabah bank
(debitur) harus menerima isi perjanjian tersebut tanpa hak untuk melakukan negosiasi
kembali. Perjanjian ini disebut juga dengan perjanjian baku dalam pemberian kredit.

Terkait dengan pemberian kredit terhadap nasabah maka pihak perbankan harus
menentukan bahwa
nasabah (debitur) dapat dipercaya. Untuk mengetahui bahwa nasabah dapat dipercaya
guna memperoleh kredit maka pada umumnya dunia perbankan menggunakan prinsip-
prinsip perkreditan sebagai pisau analisis, prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut
:

1. Prinsip Kepercayaan. Karena kredit berarti kepercayaan, maka dalam hal


pemberian kredit haruslah ada kepercayaan dari kreditur bahwa dana tersebut
akan bermanfaat bagi debitur dan kepercayaan dari kreditur bahwa debitur dapat
mengembalikan dana tersebut.
2. Prinsip Kehati-hatian. Agar kredit atau pembiayaan tidak menjadi macet, maka
dalam memberikan kredit dan pembiayaan, haruslah cukup kehati-hatian dari
pihak kreditur
dengan menganalisis dan mempertimbangkan semua faktor yang relevan. Untuk
itu perlu dilakukan pengawasan terhadap suatu pemberian kredit.
3. Prinsip Sinkronisasi
Prinsip sinkronisasi (matching) merupakan suatu prinsip yang mengharuskan
adanya sinkronisasi antara pinjaman dengan assets/income dari debitur.
4. Prinsip Kesamaan Valuta
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah sedapatdapatnyan adanya kesamaan
antara jenis valuta untuk kredit/ pembiayaan dengan penggunaan dana tersebut,
sehingga risiko fluktuasi mata uang dapat dihindari

6.6 PEMBATALAN PERJANJIAN BAKU YANG


MELANGGAR UNDANG-UNDANG
Perjanjian baku adalah perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya,
walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak
mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak
lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung
oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut,
kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18
Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Permasalahan mulai muncul ketika adanya kontrak atau perjanjian ditetapkan secara
sepihak oleh salah satu pihak yang lazimnya dilakukan oleh pelaku usaha, yang disebut
dengan nama kontrak baku atau kontrak adhesi (standard contract) yang isi atau
klausula dari perjanjian tersebut mengandung keadaan yang cenderung tidak fair bagi
konsumen dengan pencantuman klausula yang bersifat membatasi kewajiban pelaku
usaha dalam pelaksanaan perjanjian yang disebut dengan nama klausula eksonerasi.

Dalam praktik pelaksanaan perjanjian kerjasama, ada kalanya para pihak tidak dapat
melaksanakan kewajibannya karena adanya wanprestasi (ingkar janji). Wanprestasi
artinya adalah tidak memenuhi prestasi yang merupakan kewajiban debitur yang telah
ditetapkan dalam suatu perikatan. Dalam hal ini konsumen (Dedek Cahyo) selaku pihak
kedua telah melakukan wanprestasi.

Wanprestasi yang dilakukan telah melanggar ketentuan perjanjian antara pihak Pelaku
Usaha dengan konsumen. Bahwa dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, sebagai
akibat dari perbuatan konsumen yang tidak mematuhi atau melaksanakan kewajiban
hukumnya kepada Pelaku Usaha dengan kewajiban hukum konsumen sebagaimana
yang telah disebutkan dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10Agustus 2006
(konsumen tidak menyerahkan uang setoran kepada Pelaku Usaha sesuai dengan yang
telah ditentukan di dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006).

Pelaku Usaha walaupun telah mengakhiri hubungan hukum antara Pelaku Usaha dengan
Konsumen dengan membatalkan Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus
2006 dan oleh karena itu Konsumen harus menyerahkan Armada Taxi objek Perjanjian
Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 tersebut kepada Pelaku Usaha, namun
Konsumen tidak menyerahkan kendaraan bermotor Armada Taxi tersebut kepada Pelaku
Usaha selaku pemiliknya. Perbuatan Konsumen yang tidak menyerahkan Armada Taxi
tersebut kepada Pelaku Usaha selaku pemiliknya terhitung setelah berakhirnya atau
dibatalkannya Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 dan tetap
menguasai dan mengusahai atau mengoperasikan Armada Taxi tersebut hingga
sampai dengan sekarang, adalah merupakan perbuatan tanpa hak atau perbuatan
yang bertentangan dengan hukum dan dapat dikategorikan sebagai Perbuatan
melawan hukum.

Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian
obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk
menyerahkan atau membayar sesuatu. Sedangkan perjanjian non obligator adalah
perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar
sesuatu.

Perjanjian obligator terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

a.Perjajian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang
membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah. Sedangkan
perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah
pihak. Misalnya jual beli

b.Perjanjian Cuma-cuma dan Perjanjian Atas Beban. Perjanjian cuma-cuma adalah


perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang
lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam
meminjam tanpa bunga dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas
beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu melakukan prestasi
berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain, contoh
perjajian atas beban adalah jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam dengan bunga.

c.Perjanjian konsensuil, Perjanjian Riil dan Formil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian
yang mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian
jual beli dan perjanjian sewa menyewa.8 Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang
tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penyerahan
obyek perjanjian atau bendanya. Misalnya perjanjian penitipan barang dan
perjanjian pinjam pakai.9 Perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan
kata sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu. Sesuai dengan apa yang
telah ditentukan oleh undang-undang. Contohnya jaminan fidusia

d.Perjanjian Bernama, Perjanjian Tak Bernama dan Perjanjian Campuran. Perjanjian


bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dalam undang-undang. Perjanjian
tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang.
Misalnya perjanjian leasing, franchising dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran
adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama.
Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan campuran dari perjanjian sewa
menyewa dan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika
baju dan membersihkan kamar)

Perjanjian non obligator terbagi menjadi:

a.Zakelijk overeenkomst adalah perjajian yang menetapkan suatu hak dari seseorang
kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah

b.Bevist overeenkomst adalah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari
suatu kewajiban.

c.Liberatior overeenkomst adalah perjanjian dimana seorang membebaskan pihak lain


dari suatu kewajiban

d.Vaststelling overeenkomst adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi


dan luas perhubungan hukum diantara para pihak

KEPAILITAN PT

Dalam Pasal 1 (1) Undang-undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan


dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa Kepailitan adalah sita
umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.
Syarat dari pailit1 itu adalah:
1
Adrian Sutedi., Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm.31
a. Ada dua atau lebih Kreditur tidak mampu membayar utang, pada satu
Kreditur sudah jatuh tempo
b. Ada dua atau lebih Kreditur
c. Adanya Utang
d. Utang itu harus sudah jatuh tempo dan telah dapat ditagih.
e. Satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
f. Debitur dalam keadaan berhenti membayar (insolvent)
Debitur berhenti membayar utangnya disebut dengan “Insovable”.
Suatu perseroan itu dikatakan sudah Pailit jika sudah ada keputusan Pengadilan
baik itu permohonan debitur ataupun kreditur karena adanya utang yang sudah
jatuh tempo tapi tidak dilakukan pelunasan.
Undang-undang Kepailitan itu tujuannya adalah :
a. Memberikan perlindungan hukum bagi kreditur jika beberapa kreditur
meminta pelunasan utang pada waktu bersamaan.
b. Melindungi kreditur lainnya jika ada kreditur yang ingin menjual dan
mendapatkan pelunasan utang dari debitur.
c. Melindungi kreditur terhadap tindakan nakal dari debitur dengan menjual
atau mengalihkan harta kekayaannya atau memberikan keuntungan pada
kreditur lainnya.

Di Indonesia kepailitan Perseroan itu bersifat terbatas dalam arti bisa saja
perseroan itu beropersional jika memberikan pencerahan yang baik bagi
perseroan dan memberikan keuntungan pada perseroan dalam hal:
1. Pengoperasian perseroan itu dapat memberikan keuntungan bagi PT.
2. Adanya kerja keras dan kesungguhan yang kuat sehingga menimbulkan
harapan bahwa PT tersebut akan sehat kembali.
3. Adanya penilaian dan masih membuka kemungkinan dilangsungkan
operasional Perseroan karena memiliki prospek yang baik untuk
kedepannya adanya persetujuan Hakim Pengawas, Kurator, Panitia
Kreditur.
Keputusan Pailit yang di jatuhkan oleh Hakim adalah karena harta kekayaan
dari Perseroan tidak mencukupi untuk membayar utang, akan tetapi setelah
berakhirnya kepailitan, bubar atau tidaknya perseroan itu tergantung pada
adanya permohonan pembubaran perseroan.
Akan tetapi dalam Undang-undang PT Pasal 142 mengatakan PT itu hanya
dapat bubar jika:
a. Adanya keputusan dari RUPS
b. Jika menurut Anggaran Dasar sudah berakhir jangka waktu berdirinya
Perseroan
c. Selain itu adanya Keputusan Pengadilan
d. Adanya Keputusan Pengadilan Niaga tentang kepailitan yang telah
mempunyai kekuatan tetap karena harta kekayaan perseroan tidak dapat
untuk membayar utangnya.
e. Harta kekayaan perseroan yang pailit dalam insolvensi.
f. Izin usaha dari perseroan itu telah di cabut.
Oleh karena Undang-undang Kepailitan mengandung azas kelangsungan
usaha, tidak hanya untuk melindungi kepentingan kreditur atau dari para pihak2
yang berkepen tingan saja tapi lebih dari itu melindungi kepentingan Negara
dan ekonomi nasional dalam masyarakat.
Juga dalam hal suatu Korporasi yang dinyatakan paillit yang belum
membayar upah buruh berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa upah buruh merupakan hal yang harus didahulukan jika
Korporasi itu pailit dengan pertimbangan bahwa kedudukan dari pengusaha
jauh lebih tinggi maka harus dilindungi hal ini sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 280 (2) oleh sebab upah buruh adalah hak yang konstitusional
maka harus didahulukan.
Dalam Undang-undang Kepailitan Pasal 39(2) jelas dikatakan bahwa segala
upah yang belum di bayar sesudah atau sebelum pailitnya Korporasi dianggap
sebagai utang maka upah wajiB untuk di bayar, jadi berdasarkan keputusan
Mahkamah Konstitusional No 67/PUU-XI/2013 memberikan suatu perobahan
yang sangat besar karena tagihan dari Upah Buruh di utamakan dari pada
tagihan Kreditur Seperatis.
Juga dalam hal perusahaan asuransi dalam Undang-undang Per Asuransian
No 40 tahun 2014 Pasal 52 (1) dan (2)
(1) Dalam hal perusahaan Asuransi, Asuransi Syari’ah, perusahaan
Reasuransi atau Reasuransi Syari’ah dipailitkan atau dilikwidasi hak
pemegang polis tertanggung atau peserta atas pembahagian harta
kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada pihak
lain.
(2) Jika perusahaan Asuransi atau perusahaan Re Asuransi itu di pailitkan
atau di Likwidasi maka dana Asuransi digunakan terlebih dahulu untuk
memenuhi kewajiban pada pemegang polis, Tertanggung atau pihak lain
yang berhak atas manfaat dari Asuransi.
Berdasarkan pada Pasal 52(1) bahwa pemegang polis adalah orang yang
diutamakan menerima pembayaran di banding dengan Kreditur lainnya dan
pemegang polis adalah merupakan Kreditur Preferen.
Jika hal itupun dihadapkan dengan Undang Kepailitan maka berlaku azas
Lex
Specialis Derogat Lex Generalis sehingga yang berlaku adalah Undang-undang
Ke Asuransian yang jelas mengatur bahwa pemegang polis Asuransi adalah
memiliki kedudukannya sebagai Kreditur Preferen yang Privilege bukan
Kreditur Preferen yang Speratis karena pemegang polis bukan pemegang
jaminan hak kebendaan seoerti hak Jaminan, Fidusia dan Hipotik jadi khusus
mengenai Asuransi baik itu KUHPerdata maupun Undang-undang Kepailitan
akan tunduk pada peraturan PerAsuransian karena Undang no 40 tahun2014
telah mengaturnya secara khusus seperti apa yang tercantum dalam Pasal 52(1).
Dalam Undang- undang Kepailitan dan PKPU No.dalam Pasal 185
menyatakan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab terhadap utang
dari perseroan sebesar saham yang dimilikinya, meskipun sudah dilakukan
pelelangan dan harta kekayaan perseroan tidak mencukupi pembayaran utang
pada debitur.
Hal ini menimbulkan akibat:
a. Pengurus hanya sebagai penerima mandat dari perseroan (functus
officio)
b. Direksi dari PT sebagai pengelola ataupun badan hukum lainnya
“terpasung” walaupun sebenarnya ia berhak karena jabatannya.
c. Hakim Pengawas mempunyai kewajiban untuk tetap mengawasi
pelaksanaan kepailitan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
dan Kurator mengawasi seluruh harta yang masuk dalam untuk
Budel Pailit.
d. Selama masa kepailitan PT tidak bertanggungjawab terhadap
perbuatan yang dilakukan oleh Pengurus, ia harus
bertanggungjawab secara pribadi kecuali hal itu memberikan
keuntungan pada PT
Ada beberapa cara yang dilakukan oleh Kurator sebagai solusi dalam
kepailitan karena sifat tanggungjawab terbatas dari Perseroan itu demi
kepentingan dari para kreditor :
1. Dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54
mengatur boleh diadakan Kompensasi Piutang Kreditur dengan Debitur
asal tidak bertentangan dengan undang-undang.
2. Meminta diadakan Actio Pauliana (1341 KUHPerdata) agar pihak debitur
membatalkan transaksi pada pihak ketiga yang merugikan kreditur Pasal
41 dan Pasal 42 Undang-undang Kepailitan dan PKPU
3. PT yang sudah dinyatakan Pailit, Perseroan tidak bertanggungjawab
terhadap tindakan Debitur pada pihak ketiga kecuali hal itu
menguntungkan Perseroan.(Pasal 25 Undang-undang Kepailitan)
4. Dalam Pasal 6 (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU pihak ketiga
yang merasa dirugikan dapat mengugugat PT melalui Kurator.
Yang berhak mengajukan Pailit adalah :
a. Kreditur
b. Debitur
c. Bank Indonesia
d. Badan Pengawas Pasar Modal
e. Mentri Keuangan.
Akan tetapi jika debitur itu adalah Perusahaan efek, Bursa efek, Lembaga
Kliring Lembaga Penyimpanan dan penjamin maka permohonan pailit diajukan
ke Otoritas Jasa Keuangan (Undang-undang No 37 Tahun 2004 Pasal ayat 4),
karena OJK yang mengawasi lembaga ini karena badan hukum tersebut
menghimpun dana dari masyarakat dan di investasikan dalam bentuk effek.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, tentang OJK Pasal 5 (1) Fungsi,
tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan Jasa Keuangan di
sektor Pasar Modal, Peransuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK”.
Jelaslah Pengadilan Niaga adalah yang berwenang memeriksa, mengadili
dan memberi Putusan terhadap kasus Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU).
Tiap keputusan pailit yang dilakukan oleh Pengadilan Niaga tidak mengenal
upaya hukum Banding tetapi mengenal apa yang disebut upaya hukum luar
biasa yaitu Peninjauan Kembali (Herzening).
Timbul pertanyaan di mana gugatan Pailit itu dilakukan:
a. Daerah hukum tempat Domicile Debitur
b. Jika debitur melarikan diri melepaskan tanggunjawabnya maka gugatan
dilakukan di daerah hukum Domicili terahir dari Debitur
c. Jika badan hukum itu berupa PT, Fa maka di lajukan di derah hukum dari
badan hukum itu sendiri.
d. Juga dalam hal debitur tidak berdomisili di Negara Indonesia maka
permohonan dapat di ajukan di wilayah hukum Negara Indonesia tempat
di mana di kantor pusatnya beroperasional.
e. Jika merupakan badan hukum lihat di anggaran dasar tempat
operasionalnya.

HAK
PEKERJA
Undang undang Cipta Kerja mengatur hak dari pekerja jika terjadi
pemutusan hubungan kerja maka pengusaha wajib membayar uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang didasarkan pada
lamanya masa kerja pekerja itu dengan ketentuan sbb:

a. Jika pekerja itu sudah menjalani masa kerja kurang dari satu tahun
maka ia berhak menerima upah satu bulan.

b. Jika masa kerjanya satu tahun tapi kurang dari dua tahun pekerja itu
berhak menerima upah dua bulan gaji.

c. Dalam hal pekerja itu masa kerjanya dua tahun lebih tapi kurang dari
tiga tahun maka pekerja berhak atas upah tiga bulan gaji.

d. Pekerja yang masa kerjanya tiga tahun atau lebih tapi kurang dari
empat tahun, yang bersangkutan berhak menerima empat bulan upah.

e. Jika masa kerja pekerja itu empat tahun atau lebih tapi kurang dari
lima tahun menerima lima bulan gaji

f. Disamping masa kerja dari pekerja mencapai lima tahun lebih tapi
kurang dari enam tahun maka pekerja berhak lima bulan gaji.

g. Masa kerja pekerja sudah mencapai enam tahun atau kurang dari tujuh
tahun maka pekerja berhak menerima upah enam bulan gaji

h. Demikian juga halnya jika masa kerja pekerja itu tujuh tahun atau
kurang dari delapan tahun maka pekerja mendapat delapan bulan gaji

i. Jika masa kerjanya delapan tahun atau kurang dari delapan bulan
maka pekerja berhak atas sembilan bulan gaji.(Pasal 40 ayat 2 Perpem
35 tahun 2021)

Uang Pesangon adalah uang yang diperoleh karena pekerja itu kehilangan
pekerjaan, keadaan ini sangat ditakutkan oleh pekerja karena lapangan kerja
sangat sedikit sedangkan yang mencari pekerjaan banyak.

Disamping itu Undang-undang Cipta Kerja juga mengatur Uang


Penghargaan bagi pekerjaan yang juga didasarkan masa kerja dengan perincian
sbb:

a. Jika masa kerja pekerja itu 3 tahun atau lebih tapi kurang dari 6 tahun
akan menerima uang penghargaan sebanyak 2 bulan gaji.
b. Jika masa kerja 6 tahun lebih tetapi kurang dari 9 tahun pekerja mendapat
uang pengharaan diterima sebanyak 3 bulan gaji.

c. Jika masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun mendapat 4
bulan gaji.

d. Jika masa kerja 12 tahun atau lebih tapi kurang 15 tahun mendapatkan
uang penghargaan sebanyak 5 bulan gaji.

e. Pekerja yang masa kerjanya 15 tahun lebih atau kurang 18 tahun


mendapat 6 bulan upah

f. Juga dalam hal pekerja yang telah menjalani masa kerja 18 tahun lebih
tapi kurang 21 tahun akan mendapatkan 7 bulan upah.

g. Selain itu jika masa kerja sudah mencapai 21 tahun tapi belum mencapai
24 tahun akan mendapat upah 8 bulan gaji

h. Pekerja yang sudah menjalani tugas mencapai 24 tahun atau lebih


mendapat 10 bulan gaji. (Pasal 40 ayat 3 Perpem 35 tahun 2021)

Undang-undang Cipta kerja juga mengatur tentang Uang Pengganti Hak


yang harus diterima oleh pekerja dengan syarat:

a. Adanya cuti tahunan yang belum di ambil dan belum gugur

b. Biaya untuk pekerja dan keluarga ditempat di mana pekerja diterima


bekerja

c. Disamping apa yang diatur dalam perjanjian kerja dan perjanjian kerja
bersama atau adanya peraturan perusahaan.(Perpem Pasal 40 ayat 4 No
35 tahun 2021)

Jadi jelaslah bahwa Undang-undang Cipta Kerja mengatur:

a. Adanya Uang Pesangon

b. Uang Penghargaan Masa Kerja dan

c. Adanya Uang Pengganti Hak

Ketiga-tiga ketentuan diatas berdasarkan pada masa kerja dari pekerja


seperti yang

telah dijelaskan di atas


Dalam Undang-undang Cipta Kerja ada diatur bahwa Pengusaha dapat
memutuskan hubungan kerja pada pekerja dengan alasan:

1. Perusahaan melakukan peleburan atau penggabungan atau pengambil


alihan di mana pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau
pengusaha juga tidak menerima pekerja.

2. Adanya efisiensi dalam perusahaan karena perusahaan mengalami


kerugian baik yang diikuti dengan penutupan perusahaan atau dengan
tidak menutup perusahaan.

3. Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun


sehingga terpaksa di tutup.

4. Adanya forcemajeure (keadaan memaksa) sehingga perusahaan terpaksa


ditutup.

5. Perusahaan dalam keadaan insolven

6. Perusahaan Pailit

7. Terjadinya pemutusan hubungan kerja karena permohonan dari pekerja


dengan alasan Pengusaha melakukan :

a. Menghina dan menganiaya dan mengaacam pekerja

b. Membujuk pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan


dengan Undang-undang

c. Pengusaha tidak membayar upah selama tiga bulan ber-turut2


meskipun pada waktu yang lewat upah di bayarkan dengan tepat
waktu

d. Ingkar janji terhadap pekerja terhadap apa yang telah diperjanjikan

e. Pekerja diminta untuk melakukan pekerjaan yqang tidak sesuai


dengan apa yang telah di janjikan semula.

f. Pengusaha memberikan pekerjaan yang mengacam jiwa nyawa dan


kesehatan dari pekerja dan pekerjaan itu juga tidak ada dalam item
perjanjian yang dilakukan oleh para pihak.
8. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memutuskan
bahwa Pengusaha tidak melakukan ketentuan g pada pekerja yang
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja.

9. Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri dengan syarat:

a. Permohonan diajukan 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri


secara tertulis

b. Pekerja tidak dalam ikatan dinas

c. Masih tetap melakukan pekerjaanya sampai pada tanggal pengunduran


diri pekerja.

1. Perusahaan melakukan penggabungan peleburan atau pemisahan perusahaan,


jika pekerja tidak mau melanjutkan pekerjaan atau perusahaan tidak lagi
menerima pekerja itu maka pekerja berhak:

a. Uang Pesangon, hal ini disesuai dengan kriteria lamanya pekerja.(Pasal


40 ayat 1)

b. Uang Penghargaan Masa Kerja sesuai dengan lamanya pekerja sudah


melakukan pekerjaan.(Pasal 40 Ayat 2)

c. Uang Pengganti Hak, juga di dasarkan pada kriteria lamanya pekerja


sudah bekerja (Pasal 40 ayat 3).

2. Terjadinya Pengambil Alihan Perusahaan, sehingga ada perubahan terhadap


syarat2 kerja. Dalam hal ini pekerja tidak mau melanjutkan pekerjaan maka
Perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja, maka pekerja berhak:

a. Mendapat uang pesangaon 0.5% yang perhitungannya di dasarkan pada


lamanya pekerjaan itu sudah bekerja sesuai dengan apa yang ditentukan
di atas berdasarkan kriteria apa yang diatur dalam Pasal 40 ayat 2.

b. Mendapat uang penghargaan masa kerja, sesuai dengan kriteria yang


ditetapkan dalam Pasal 40 Ayat 3.

c. Mendapat uang penggantian hak yang ketentuannya di dasarkan pada


Pasal 40 Ayat 4.

4. Perusahaan melakukan efisiensi disini pekerja berhak untuk mendapatkan:

a. Uang Pesangon berdasarkan kriteria yang diatur dalam Pasal 40 ayat 2.


b. Uang Penghargaan Masa Kerja dengan kriteria yang telah ditentukan
dalam Pasal 40 ayat 3

c. Uang Pengganti Hak dengan kriteria yang dicantumkan dalam Pasal 40


ayat 4.

Jika terjadi perselisihan karena adanya penolakan pekerja atas pemutusan


hubungan kerja yang dilakukan oleh Pengusaha akan diselesaikan secara
Bipatrit yaitu antara buruh Pekerja dengan Pengusaha atau antara Serikat
Pekerja dengan Serikat Pengusaha kalaupun ini juga tidak berhasil maka
dilakukan jalur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Undang-undang PT ini adalah merupakan suatu pilar sebagai suatu dasar


hukum bagi dunia usaha dalam mengahadapi perekonomian dunia dan
kemajuan iptek untuk kedepan.

7.6 Syarat-syarat Penggabungan Perusahaan


Dalam UU PT ada diatur tentang penggabungan perseroan menganut metode statutory
Merger, yakni perusahaan yang digabungkan membuat kesepakatan untuk melakukan
perjanjian Merger. Sehingga seluruh harta, hak, dan kewajiban perusahan yang digabungkan
dia ambil alih oleh perusahaan penerima penggabungan.

Akibatnya perusahaan yang digabungkan membubarkan diri, tapi perusahaan penerima


penggabungan terus hidup untuk melanjutkan aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan yang
digabungkan. Konsekwensinya semua pemegang saham menerima penggantian dalam bentuk
saham di perusahaan penerima penggabungan sebagai kompensasi atas saham yang dimiliki
sebelumnya di perusahaan yang digabungkan. ketentuan ini jelas diatur dalam UU PT, yaitu
:

1. Dalam UU PT Pasal 1 angka 9 yang mengatakan Penggabungan adalah perbuatan


hukum. Perbuatan hukum sendiri bermakna sebagai perbuatan yang dilakukan subjek hukum,
diatur oleh hukum, dan menimbulkan akibat hukum tertentu;

2. UU PT Pasal 123 (3) menentukan bahwa rancangan penggabungan setelah mendapat


persetujuan Dewan Komisaris dari setiap perseroan diajukan kepada Rapat Umum Pemegang
Saham (selanjutnya disingkat dengan RUPS) masing-masing perseroan untuk mendapat
persetujuan;
3. UU PT Pasal 123 (4) bahwa bagi perseroan tertentu yang akan melakukan
penggabungan selain berlaku UU PT, juga perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
instansi sektoral terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

4. UU PT Pasal 122 (1) bahwa penggabungan dan peleburan perseroan mengakibatkan


perseroan yang menggabungkan diri atau meleburkan diri berakhir karena hukum;

5. UU PT Pasal 122 (3) huruf a bahwa aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan diri
atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan
atau perseroan hasil peleburan; dan

6. UU PT Pasal 122 (3) huruf b menentukan bahwa pemegang saham perseroan yang
menggabungkan diri karena hukum menjadi pemegang saham perseroan yang menerima
penggabungan atau perseroan hasil peleburan.

Pelaksanaan Penggabungan Perseroan berdasar UU PT dan Peraturan pelaksanaannya


bersifat mengikat. Jika menyimpang maka berakibat pada batalnya Penggabungan Perseroan
tersebut.

Pengaturan penggabungan dalam UU PT bersifat pokok-pokok saja sedangkan pengaturan


yang lebih spesifik diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus seperti Undang-
Undang Perbankan, Undang-Undang Pasar Modal dan Peraturan Bank Indonesia.

Ada 11 (sebelas) tahap prosedur penggabungan PT :

1. Masa Persiapan

Para Direksi perusahaan yang digabungkan dan perusahaan penenerima penggabungan


sama-sama mengambil tindakan:

a. Membuat rencana penggabungan yang dituangkan dalam bentuk rancangan


penggabungan. Rancangan penggabungan tersebut sekurang-kurangnya memuat :

(1) Nama dan tempat kedudukan setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;

(2) Alasan serta penjelasan direksi perseroan yang melakukan penggabungan dan
persyaratan penggabungan;

(3) Tata cara peralihan dan konversi saham perseroan yang menggabungkan diri terhadap
saham perseroan yang menerima penggabungan;

(4) Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan yang menerima penggabungan;

(5) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a UU PT yang
meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap perseroan yang akan melakukan
penggabungan;

(6) Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari perseroan yang akan
melakukan penggabungan;
(7) Neraca proforma perseroan yang menerima penggabungan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;

(8) Cara menyelesaikan status, hak dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris dan
karyawan perseroan yang akan melakukan penggabungan diri;

(9) Cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap
pihak ketiga;

(10) Cara menyelesaikan hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan
Perseroan.;

(11) Nama anggota direksi dan dewan ;

(12) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan penggabungan ;

(13) Laporan mengenai keadaan, perkembangan dan hasil yang akan dicapai dari setiap
perseroan yang akan melakukan penggabungan;

(14) Kegiatan utama setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;

(15) Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang
mempengaruhi kegiatan perseroan yang melakukan penggabungan.

b. Dalam UU PT Pasal 127 (2), direksi perseroan yang melakukan penggabungan

wajib mengumumkan ringkasan rancangan penggabungan paling sedikit dalam 1 (satu) surat
kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan yang akan
melakukan penggabungan paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS). Pasal 127 ayat (3) UU PT bahwa pihak yang
berkepentingan dapat memperoleh rancangan penggabungan di kantor perseroan terhitung
dalam sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan, agar pihak-pihak
yang berkepentingan sudah mengetahui adanya rencana penggabunga. Jika merasa dirugikan
dengan penggabungan itu masih ada waktu berpikir sebelum penggabungan bagi kreditor.

Khusus untuk kreditur dalam UU PT Pasal 127 (4) kreditor dapat mengajukan keberatan
dalam jangka waktu 14 (empat belas) setelah pengumuman. Dalam UU PT Pasal 127(5) jelas
dikatakan jika kreditor tidak mengajukan keberatan berarti menyetujui penggabungan
tersebut. Pasal 127 ayat (6) UU PT apabila keberatan kreditor tersebut sampai dengan tanggal
diselenggarakan RUPS tidak mampu maka direksi harus menyampaikannya pada RUPS guna
mendapat penyelesaian Meskipun juga tidak dapat diselesaikan, maka penggabungan tidak
boleh dilakukan.

c. Suatu perseroan yang bergerak di bidang perbankan melakukan penggabungan, harus


mendapat persetujuan dari instansi terkait yakni BI.

2. Pemanggilan dan Penyelenggaraan RUPS


Dalam UU PT Pasal 123 (3) penggabungan harus mendapat persetujuan dewan komisaris perseroan
yang diajukan RUPS untuk mendapat persetujuan, dan 14 (empat belas) hari
setelah pengumuman tersebut, direksi perseroan melakukan RUPS.

3. Pelaksanaan Penggabungan

Pada RUPS gabungan dihadiri pemegang saham yang digabungkan dan penerima
penggabungan, direksi masing-masng perseroan yang melaksanakan penggabungan
melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

a. Akan melakukan penandatangan rancangan penggabungan (perjanjian Merger) yang


telah disetujui oleh RUPS dari tiap perseroan);

b. Adanya rancangan penggabungan yang telah disetujui RUPS bedasarkan Pasal 128 ayat
(1) UU PT dituangkan ke dalam akta penggabungan perseroan.

c. Segala saham-saham dari perusahaan penerima penggabungan dan pemegang saham perusahaan
yang digabungkan, secara konversi yang telah diatur dalam rancangan penggabungan, boleh
diadakan perjanjian jual beli saham antara direksi perseroan yang digabungkan dengan pemegang
saham yang menolak penggabungan perusahaan tersebut.

d. Dalam tandatangan perjanjian pengalihan harta, kewajiban izin, dari perseron yang
digabungkan kepada perseroan penerima. Ini dicatat, jika perseroan yang digabungkan pada
tahap pertama ditetapkan pembubaran perseroan tanpa likuidasi, maka seluruh aktiva dan
pasiva perseroan yang digabungkan akan beralih karena hukum kepada perseroan perima
penggabungan, sehingga tidak diperlukan tindakan hukum tersendiri untuk mengalihkannuya.

e. Adanya persetujuan rancangan akta perubahan aggaran dasar perseroan penerima


penggabungan, terutama berkaitan dengan :

1) Ke struktur permodalan;

2) Bagaimana susunan pemegang saham, jika pemegang saham perseroan yang


digabungkan menerima imbalan dalam bentuk saham pada perusahaan penerima
penggabungan;

3) Dalam hal jika jenis usaha perseroan yang digabungkan belum tercantum dalam
anggaran dasar perseroan penerima penggabungan.

Penentuan struktur, susunan pengurus perseroan penerima penggabungan.

4. Permohonan Izin Penggabungan

Peseroan yang bergerak dalam bidang-bidang tertentu seperti perbankan wajib mengajukam
permohonan izin penggabungan perseroan kepada intansi terkait.
5. Pengumuman Pelaksanaan Penggabungan

Dalam Pasal 133 ayat (1) UU PT Direksi Perseroan penerima penggabungan


wajib mengumumkan hasil penggabungan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya
penggabungan. Pasal 133 UU PT agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa
telah puluh) hari sejak tanggal :

a. Adanya persetujuan Menteri atas perubahan anggaran dasar sejak terjadi penggabungan;

b. Adanya pemberitahuan pada Menteri adanya perubahan anggaran dasar atau tidak
adanya perubahan anggaran dasar UU PT Pasal 21 ayat (3)

c. Adanya pengesahan Menteri atas akta pendirian perseroan dalam hal terjadi peleburan

6. Diselenggarakanya RUPS Perseroan Penerima Penggabungan

RUPS ini dihadiri oleh mantan pemegang saham perseroan yang digabungkan dalam
kedudukannya sebagai pemegang saham pada perseroan penerima penggabungan. RUPS ini
dengan tujuan mengesahkan naskah akta perubahan anggaran dasar perseroan penerima
penggabungan yang telah disetujui.

7. Adanya Pengajuan Permohonan Kepada Menteri Hukum dan HAM untuk


Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar

Dalam UU PT Pasal 21 ayat (2) direksi perseroan penerima penggabungan wajib meminta
pengesahan perubahan anggaran dasar pada Menteri Hukum dan HAM. Jika perubahan
anggaran dasar di luar yang diatur Pasal 21 ayat (2), direksi perseroan penerima
penggabungan cukup melakukan pemberitahuan perubahan anggaran dasar, direksi wajib
melampirkan salinan akta penggabungan perseroan. Jika penggabungan tidak disertai
perubahan anggaran dasar, direksi cukup menyampaikan akta penggabungan kepada Menteri
untuk dicatat di dalam daftar perseroan.

8. Adanya pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan oleh Menteri Hukum


dan HAM

Perubahan anggaran dasar tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan,


ketertiban umum dan/atau kesusilaan, Menteri mengesahkan perubahan anggaran tersebut.
Perubahan ini berlaku sejak tanggal :

a. Adanya persetujuan Menteri;

b. Harus ditetapkan dalam persetujuan Menteri; atau

c. Adanya pemberitahuan perubahan anggaran dasar yang diterima Menteri, sesuai dengan
tanggal yang ditetapkan dalam akta penggabungan.

9. Pembubaran perseroan yang Digabungkan


Pasal 147 ayat (1) UU PT menentukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal pembubaran perseroan, likuidator wajib memberitahukan :

a. Pada semua kreditor adanya pembubaran perseroan dengan cara mengumumkan


pembubaran perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia

b. Bahwa pembubaran perseroan dicatat oleh Menteri dalam daftar perseroan bahwa perseroan
dalam likuidasi.

Adanya pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik
Indonesia tersebut memuat :

a. Pembubaran perseroan dan dasar hukumnya;

b. Nama dan alamat likuidator;

c. Tata cara pengajuan tagihan;

d. Jangka waktu pengajuan tagihan

Dalam UU PT Pasal 147 (4) pemberitahuan kepada Menteri wajib melampirkan:

a. Dasar hukum pembubaran perseroan; dan

b. Pemberitahua kepada kreditor dalam surat kabar.

10. Pelaksanaan Likuidasi

Adanya pengumuman pembubaran perseroan, likuidator melakukan proses pemberesan atau


likuidasi terhadap aktiva dan pasiva perseroan yang digabungkan setelah pemberesan selesai
dilaksanakan RUPS Luar Biasa untuk menerima laporan dan pertanggungjawaban likuidator
atas segala tindakan dalam melaksanakan tugasnya dan membebaskan likuidator dari semua
kewajiban dan tanggung jawabnya atas segala tindakan yang dilakukannya dalam
pelaksanaan likuidasi.

Jika perseroan itu dibubarkan berdasarkan keputusan RUPS maka likuidatornya adalah orang
yang ditentukan oleh RUPS akan tetapi jika pembubaran perseroan itu berdasarkan keputusan
Pengadilan maka likuidatornya adalah diangkat oleh Pengadilan, meskipun pembubaran
perseroan itu dilakukan oleh Pengadilan tetapi tidak menunjuk siapa likuidatornya maka
direksi secara ex offio yang menjadi likuidator.

Pengadilan dapat mengangkat dan memberhentikan likuidator atas permintaan seseorang


melalui Kejaksaan karena tidak melaksanakan tugasnya karena utang perseroan melebihi
harta kekayaan perseroan. Likuidator bertanggungjawab terhadap RUPS atas likuidasi yang
dilakukannya dan sisa atas kekayaan likuidasi diberikan pada pemegang saham.

11. Pengumuman Selesainya Likuidasi Perseroan yang Digabungkan


Likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses
likuidasi dalam surat kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada
likuidator.

7.7 Pengaruh terjadinyanya Penggabungan Perusahaan


Tiap perusahaan berwarna untuk mengadakan restrukturisasi atau reorganisasi. Agar
usahanya dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain, baik di tingkat nasional
maupun tingkat internasional . Restrukturisasi artinya perusahaan harus merombak
secara mendasar seluruh mata rantai bisnis perusahaan yang bertujuan untuk mencapai
daya saing yang kompetitif, yang berarti tidak semata-mata untuk menjadikan
perusahaan tersebut tetap eksis namun juga dapat memenuhi tuntutan pasar.

Jadi pembaharuan itu meliputi juga aspek organisasi, manajemen, keuangan, dan hukum
jika perusahaan yang mengalami keuslitan keuangan, dan hukum. Jika perusahaan yang
mengalami kesulitan keuangan dan terancam pailit, maka upaya restrukturisasi
perusahaan merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan. Pembaharuan dalam
perusahaan itu dapat dilakukan dengan cara :

1. Melalui Merger dan Akuisisi;

2. Mengevaluasi kembali perusahaan holding dan Konsolidasi (regrouping holding and


consolidation)

3. Meningkatkan kerjasama operasional atau manajemen (joint operation or


management);

4. Meningkatkan kerjsama strategis (strategic alliance);

5. Memperkecil beberapa produk-produk atau cabang perusahannya (discontinue


some business or product or branches)

6. Membentuk beberapa perusahaan (break up the firm to some companies); dan

7. Likuidasi

Melakukan Merger sangat sulit akan tetapi bagi perusahaan yang terancam pailit, maka
Merger satu jalan yang dilakukan perusahaan untuk dapat melepaskan diri dari
kesulitannya karena hal ini berguna untuk :

1. Menutupi finansial dengan adanya penggabungan berarti terjadi penggabungan


dana sehingga menghasilkan produksi-produksi yang baru yang dimiliki perusahaan.

2. Membentuk manajemen yang efektif dan effisien.


3. Bertambahnya Pengusahaan Pasar dapat meningkatkan kekuatan menguasai pasar
dalam perdagangan

4. Mengatasi terjadinya Kepailitan Dalam perusahaan

Terjadinya Merger karena nilai perusahaan hasil Merger diharapkan akan lebih besar dari
jumlah nilai mandiri dari perusahaan-perusahaan yang bergabung (Merger). Menurut
Zvi Bodied an Robert C. Merton ada 3 alasan Merger, di samping alasan pajak dan tawar
menawar yang kesemuanya dilakukan oleh para manajer dalam rangka maksimalkan
kekayaan para pemegang saham dalam perseroan.

Ada 2 alasan Merger yaitu plausible reasons misalnya alasan economies of scale, strategic
benefit, complementary resources (kelompok alasan sinergi), tax shields, utilization of
surplus funds (alasan peluang adanya pertumbuhan), dan managerial effectiveness, yang
kesemuanya akan menciptakan nilai. Sedangkan dubious reasons misalnya
alasan diversification, lower financing costs misalnya alasan alasan diversification, lower
financing costs, dan earning growth yang tidak meningkatkan nilai dalam perusahaan
tersebut.

1. Adanya Sinergi (Sinergy)

Operating economies yang menghapuskan adanya fasilitas ganda (duplicate


facilities). Tenaga penjualan ada 2 perusahaan yang terpisah tapi wilayah penjualan
sama, setelah bergabung maka tenaga penjualan tersebut akan dapat diminimalkan.
Penghapusan fasilitas ganda mencakup manajemen, teknologi, dan riset. Di Amerika
pada tahun 1995 terjadi Merger di dunia perbankan, para analis luar menjelaskan secara
panjang lebar tentang Merger perbankan yaitu suatu usaha untuk merealisasikan
penghematan ongkos melalui Konsolidasi beragam kegiatan perbankan untuk
menghapus ongkos dan biaya teknologi yang mahal. Akibat sinergi ini dapat dilihat pada
pemasaran, akunting, pembelian, dulunya terdapat di masing-masing perusahaan yang
bergabung tersebut.

Alasan economies of scale (skala ekonomis), baik dalam produksi maupun dalam
distribusi produk, 2 atau lebih perusahaan-perusahaan yang bergabung (Merger)
tersebut Probabilitas terbesar dari sinergi terjadi pada suatu horizontal Merger”
“duplicate facilities” dapat dihilangkan

2. Perpajakan (Taxes)

Jelas Merger memberikan keuntungan dari sisi pajak. Pengurangan pembayaran pajak
kepada pemerintah merupakan salah satu sumber potensiel guna meningkatkan nilai
pemegang saham, bahkan apabila kesempatan pengurangan ongkos-ongkos produksi
dan distribusi melalui sinergi tidak diperoleh.
Perusahaan yang meng Akuisisi perusahaan yang rugi akan mendapatkan pengurangan
pajak dengan cara memanfaatkan kerugian pajak dari perusahaan yang rugi. Perusahaan
dengan keuntungan yang substansial dapat mengurangi keuntungan yang kena
pajaknya dengan cara mengAkuisisi perusahaan yang memiliki kerugian pajak yang
dapat dipindahkan.

Ada keuntungan pajak berupa pengurangan pajak hanya merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keputusan Merger dari sekian banyak pertimbangan untuk Merger.

3. Perluasan atau Ekspansi (Expansion)

Perluasan atau ekspansi merupakan alasan untuk Merger. Merger dengan motif
ekspansi ini juga untuk menghindar dari ongkos yang mahal dalam membentuk suatu
sistem distribusi kewilayahan, yaitu dengancara mengAkuisisi perusahaan yang sukses
(berhasil) di wilayah sasaran ekspansi.

4. Kekuatan Pasar (Market Power)

Dalam Merger bisa mempunyai kekuatan pasar dan membatasi persaingan, yaitu dengan
cara menggabungkan perusahaan pesaing ke dalam perusahaan sendiri. antitrust law.

5. Peluang Pertumbuhan (Growth Opportunities)

Suatu peluang pertumbuhan bagi perusahaan meskipun ada kelebihan dana tunai
untuk melakukan investasi, tapi tidak lagi ada kesempatan pertumbuhan yang cukup
karena telah mencapai tahap kematangan (maturation stage), karena telah Merger
dengan perusahaan yang memiliki prospek pertumbuhan yang besar dan keuntungan
yang baik. Jika dana berlebih diberikan pada pemegang saham (dividen), tidak
menguntungkan karena dividen tunai dikenakan pajak oleh Negara.

6. Likuiditas Perusahaan (Liquidity)

Merger akan memberikan pertumbuhan pendapatan per lembar saham yang lebih cepat
dan stabil, pertumbuhan dengan ongkos dan risiko yang kecil dibandingkan dengan
pendirian bisnis/perusahaan yang baru.

7. Struktur Rasio Utang Terhadap Modal (D/C Ratio)

Merger bisa menciptakan keseimbangan modal dalam perusahaan ini lebih baik jika
perusahaan yang memiliki rasio utang modal (D/C/ ratio) yang tinggi bergabung dengan
perusahaan yang memiliki D/C ratio yang rendah. Sehingga D/C ratio perusahaan akan
turun hingga ke level yang lebih dapat diterima dalam perusahaan itu.

8. Pendapatan (Earnings)
Dalam Merger mampu mengurangi menguapnya penerimaan pendapatan (volatility of
earnings).

9. Tenaga Manajerial (Managerial Skill)

Akibat Merger dapat menghasilkan tenaga-tenaga manajerial yang cakap yang


sebelumnya tidak ada di salah satu pihak perusahaan yang melakukan Merger, namun
tersedia di pihak perusahaan lainnya.

10. Keuntungan Teknologi (Technology Benefits)

Pelaksanaan Merger ini memberikan keuntungan teknologi, karena perusahaan


manufaktur computer dapat mempertimbangkan untuk bergabung dengan perusahaan
pembuat program perangkat lunak guna meningkatkan kekuatan pemasaran produknya
dan mendapatkan keuntungan yang kompetitif.

11. Kombinasi Sumber Pelengkap (Combining Complementary Resources)

Biasanya Merger dilakukan untuk saling melengkapi, beberapa perusahaan, suatu


perusahaan kecil yang memiliki produk yang unik tapi kekurangan dalam teknologi dan
pemasaran penjualan produknya maka dapat bergabung dengan perusahaan yang
memiliki teknologi rekayasa dan organisasi penjualan yang besar dari pada perusahaan
itu mengembangkan sendiri apa yang menjadi kekurangannya.

Anda mungkin juga menyukai