2.2 Small Claim Court - Penegakan Hukum Acara Perdata Khusus
2.2 Small Claim Court - Penegakan Hukum Acara Perdata Khusus
Small Claim Court telah lama berkembang di Negara- Negara dengan system
hukum Common Law maupun system hukum civil law, diantaranya di Negara-negara
maju seperti Amerika, Inggris, Kanada, Jerman dan Belanda selain itu di benua Amerika
Latin, Afrika dan Asia.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dinilai tidak efektif dan efisien
sehingga mengakibatkan terganggunya atau terhambatnya kegiatan bisnis. Hal tersebut
disebabkan proses berperkara ke pengadilan harus menempuh prosedur beracara yang
sudah ditetapkan dan tidak boleh dilanggar sehingga memerlukan waktu yang lama,
tidak melindungi kerahasiaan, serta memberikan hasil adanya pihak yang dimenangkan/
dikalahkan yang akan memperpanjang waktu penyelesaian berikutnya. Hasil penelitian
dari Bank Dunia (The World Bank International Finance Corporation-Doing Business)
salah satu factor hambatan dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia adalah
penyelesaian sengketa pada pengadilan tingkat pertama yang tidak efisien, jangka waktu
penyelesaian yang lama dan biaya perkara yang tinggi serta biaya pengacara yang
tinggi.
Hal lainnya adalah penyelesaian sengketa secara non litigasi (secara damai) yang
didasarkan pada kesepakatan para pihak, ternyata hasilnya tidak memiliki kekuatan
mengikat secara formal bagi para pihak, meskipun undang-undang mengharuskan agar
kesepakatan para pihak tersebut dituangkan ke dalam bentuk akta tertulis dan
didaftarkan ke pengadilan negeri. Dalam system hukum acara perdata yang berlaku,
bahwa terhadap akta hasil kesepakatan yang telah dicapai tersebut tidak dapat langsung
dimohonkan ke pengadilan untuk dijadikan putusan perdamaian hakim melainkan untuk
itu para pihak harus tetap menempuh dengan mengajukan gugatan ke pengadilan
dengan melampirkan akta kesepakatan tersebut, lalu dalam persidangan diputus oleh
hakim berdasarkan akta perdamaian yang telah dicapai para pihak di luar pengadilan
tersebut dengan putusan perdamaian hakim.
Cara penyelesaian sengketa non litigasi lainnya adalah melalui arbitrase yang
bersifat yudisial (melalui proses peradilan) meskipun arbitrase bukan merupakan badan
peradilan melainkan adalah lembaga penyelesaian sengketa. Dalam praktiknya, melalui
lembaga arbitrase juga seringkali tidak mencapai penyelesaian sengketa (bisnis) secara
efektif dan efisien, karena sekalipun telah ada pengaturan yang jelas tentang
kewenangan mengadili yang absolute antara pengadilan dengan arbitrase, para pihak
yang bersengketa seringkali masih juga mengajukan sengketanya ke pengadilan dan
pengadilan memeriksa serta memutus perkara tersebut mengakibatkan penyelesaian
sengketa menjadi tidak efektif dan efisien lagi.
Upaya yang juga telah dilakukan untuk mengatasi penyelesaian sengketa perdata
secara berlarut-larut adalah dengan dibentuknya mekanisme mediasi di pengadilan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, mewajibkan seluruh perkara perdata yang diajukan ke pengadilan
(kecuali undang-undang menentukan lain) harus diselesaikan secara mediasi di
pengadilan. Namun proses ini juga tidak efektif dan tidak mencapai sasaran untuk
mengurangi penumpukan perkara di pengadilan.
Beberapa Negara yang telah menyetujui proses peradilan secara small claim
court di pengadilan bagi nilai sengketa kecil, diantaranya Australia, Austria, Kanada,
Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Meksiko, Belanda,
Norwegia, Polandia, Portugal, Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat. Prosedur yang
berlaku di Negara-negara tersebut beraneka ragam, diantaranya pada jenis prosedur,
jenis sengketa dan sengketa/ klaim yang dapat diadili, biaya perkara yang dibebankan
kepada pihak, dan aksesibilitas secara keseluruhan kepada konsumen (consumer
friendliness).
Salah satu contoh di Amerika Serikat, pelaksanaan small claim court, sengketa-
sengketa yang dapat diajukan berupa kasus perdata yang berkaitan terhadap :
a. Utang piutang berdasarkan perjanjian : rekening yang belum dibayar untuk barang
dan jasa yang dijual dan dikirimkan pinjaman yang belum dibayar, sewa yang belum
dibayar dan upah yang belum dibayar.
Namun beberapa sengketa yang tidak dapat diajukan melalui small claim court misalnya
perbedaan pendapat mengenai judul untuk real property, pengembalian kepemilikan
real property, penggusuran, klaim terhadap pemerintah, tindakan untuk menyita atau
menegakan hukum, klaim yang timbul dari malpraktik professional, klaim untuk
tunjangan perkawinan, klaim yang timbul dari pengesahan hakim.
Small claim court lebih sering disebut sebagai Tribunal Small Claim atau Small
Claims Procedure yang dianggap sebagai pengadilan dengan prosedur yang cepat yang
pada umumnya dipisahkan tetapi di bawah yurisdiksi pengadilan pertama. Dengan
adanya pengadilan yang memiliki prosedur penyelesaian sengketa yang cepat maka
akan banyak sengketa yang ditangani secara cepat dengan verifikasi yang sederhana.
Jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui small claim court yaitu perkara-
perkara dengan nilai gugatan kecil yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan
ditangani oleh hakim tunggal yaitu perkara perdata yang nilai ekonomi gugatannya
relative kecil dan tidak memerlukan proses administrasi perkara serta pembuktian yang
kompleks serta dapat diselesaikan dengan hukum acara singkat/ sederhana, seperti
sengketa konsumen, utang piutang, jual beli barang, klaim kerusakan barang, biaya jasa
pelayanan, sengketa UMKM, dan sengketa-sengketa lain yang timbul dengan adanya
perjanjian/ kontraktual.
Class action sudah sejak lama dikenal di beberapa Negara misalnya di Inggris
yang dikenal sejak tahun 1873 yang diatur dalam Supreme Court of Judicatur Act 1873
yang memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menjatuhkan putusan yang
bersifat deklaratif atas pemulihan yang adil (equitable remedies) terhadap suatu hal yang
diderita kelompok yang anggotanya berjumlah banyak. Pada tahun 1965 terjadi
perubahan substansial yang pada pokoknya mengatur representative action, yaitu
gugatan perwakilan kelompok yang mendasarkan pada syarat anggota kelompoknya
banyak, terdapat kesamaan kepentingan dan gugatan itu untuk kepentingan seluruh
anggota.
Di Amerika Serikat, class action dikenal pada tahun 1912 yang diatur pada US
Federal Equity Rule pada tahun 1938 yang diperbaharui dengan Federal Rule of Civil
Procedure yang memperkenalkan 3 jenis class action yaitu True Class Action, Hybrid
Class Action, Spirious Class Action. Kemudian pada tahun 1966 diperbaharui kembali
dengan perubahannya mengatur ketentuan harus ada sejumlah besar anggota, dengan
kata lain orang yang membentuk kelas atau kelompok harus banyak dan antara anggota
dengan wakil kelompok mempunyai permasalahan hukum dan fakta serta tuntutan yang
sama.
Di Indonesia, class action baru dikenal secara resmi pada tahun2002 dengan
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 yang memberikan
pengertian bahwa class action secara umum adalah gugatan yang berisi tuntutan melalui
proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai
wakil kelompok. Perwakilan kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya
untuk dan atas nama kelompok, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang
diwakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok yang diwakilinya.
Dalam pengajuan gugatan tersebut tidak perlu disebutkan secara individual satu
per satu identitas kelompok yang diwakili (yang terpenting kelompok yang diwakili
dapat diidentifikasikan). Selain itu antara seluruh anggota kelompok dengan wakil
kelompok harus terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan :
3. Apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota.
Orang yang menjadi wakil kelompok tersebut bertindak untuk diri sendiri dan
sekaligus mewakili anggota kelompok yang jumlahnya banyak, karena antara yang
mewakili dan yang diwakili mempunyai kesamaan fakta dan dasar hukum. Hal ini berarti
bahwa wakil kelompok juga harus merupakan pihak yang menderita kerugian sama
dengan mereka yang diwakilinya. Wakil kelompok akan mewakili anggota kelompok
yang menderita kerugian sama untuk merepresentasikan jenis- jenis kerugian yang
diderita oleh sejumlah orang banyak yang akan mengajukan gugatan tersebut.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam class action adalah harus ada wakil
kelompok dan anggota kelompok. Wakil Kelompok adalah mereka yang mewakili
sejumlah banyak orang yang memiliki kepentingan sama untuk mengajukan gugatan,
dimana wakil kelompok ini juga menderita kerugian yang sama dengan anggota
kelompok yang diwakilinya. Wakil kelompok (class representative) bertindak mengambil
inisiatif sebagai Penggugat, mengajukan gugatan untuk dan atas nama diri sendiri serta
sekaligus untuk dan atas nama seluruh anggota kelompok yang jumlahnya banyak.
Anggota kelompok adalah mereka yang menjadi anggota dari kelompok dengan
jenis kerugian yang sama, mengingat penetuan kelompok didasarkan pada kesamaan
kerugian yang diderita baik oleh kelompok maupun wakil kelompok. Anggota kelompok
kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok untuk mengajukan gugatan ganti rugi
perdata secara berkelompok. Anggota kelompok (class members) diwakili oleh wakil
kelompok tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok dengan syarat :
2. Sedemikian rupa banyaknya, sehingga penyelesaian perkara tidak efektif dan efisien
ditempuh melalui gugatan kumulasi (gugatan biasa).
Maka dapat disebutkan bahwa syarat formil dari class action adalah adanya anggota
kelompok (class members), adanya perwakilan kelompok (class representative), adanya
kesamaan fakta atau dasar hukum gugatan, dan adanya kesamaan jenis tuntutan dari
anggota kelompok dan perwakilan kelompok.
Berkenaan dengan anggota kelompok, pasal 2 huruf (a) PERMA Nomor 1 Tahun
2002 tentang Class Action menyebutkan bahwa jumlah anggota kelompok sedemikian
banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-
sendiri atau secara bersama-sama dalam gugatan. Karenanya unsur anggota kelompok
adalah jumlah orang/ anggotanya sedemikian banyak, sehingga tidak efektif dan efisien
penyelesaian perkara melalui proses kumulasi objektif dan subjektif. Apabila anggotanya
hanya terdiri dari 5 atau 10 orang dianggap tidak memenuhi syarat berperkara melalui
system class action karena lebih efektif dan efisien melalui gugatan kumulasi.
Bagi anggota kelompok yang tidak setuju diberi hak menggugat yaitu
menyatakan diri dengan tegas keluar sebagai anggota kelompok dan hal itu dilakukan
dalam batas waktu tertentu (Pasal 8 ayat 1) PERMA tersebut. Dengan adanya tindakan
menggugat kepadanya tidak mengikat putusan yang dijatuhkan pengadilan (Pasal 8 ayat
2).
Pihak yang bertanggung jawab terhadap biaya perkara adalah wakil kelompok
yang bertanggung jawab terhadap biaya perkara. Anggota kelompok yang bertindak
sebagai wakil kelompok untuk mengajukan gugatan untuk kepentingan kelompok
dianggap menurut hukum sebagai orang yang atas kehendak sendiri bersedia dan rela
memikul biaya yang timbul. Apabila wakil kelompok terdiri dari beberapa orang, baik
sendiri- sendiri maupun secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala biaya
perkara, pengacara dan pemberitahuan. Anggota kelompok tidak dapat dipaksa member
kontribusi biaya, melainkan anggota kelompok secara sukarela memberikan kontribusi
biaya.
Pihak Tergugat dalam gugatan perwakilan kelompok adalah satu atau beberapa
orang yang ditunjuk untuk mempertahankan dan membela kepentingan orang banyak
atau perwakilan Tergugat yang bertindak membela kepentingan kelompok Tergugat
(defendant class)
Suatu upaya menuju dan mencapai cita-cita bangsa setelah Proklamasi kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa membentuk pemerintah negara
Indonesia. Dibentuknya pemerintah negara Indonesia berkehendak/berupaya
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kehendak demikian
dapat diartikan sebagai upaya perlindungan masyarakat (social defence). Di sisi lain
pemerintah negara Indonesia juga berupaya memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian
upaya pemerintah negara Indonesia disamping melindungi masyarakat (social defence),
sekaligus mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan upaya
demikian merupakan tujuan nasional.
Untuk mencapai visi tersebut, maka misi yang ditetapkan Prolegnas di antaranya,
mewujudkan materi hukum di segala bidang dalam rangka penggantian terhadap
peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan, dan
kebenaran, dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Misi
tersebut diwujudkan dalam upaya pembaharuan sistem hukum, di antaranya
pembaharuan sistem hukum pidana. Dalam upaya demikian, tampak bahwa hukum
pidana merupakan bagian/sub-sistem dari sistem hukum (“legal system”) yang terdiri
dari “legal substance”, “legal structure” dan “legal culture”.Dengan demikian jika
dikaitkan dengan pembaharuan sistem hukum pidana, meliputi pembaharuan “substansi
hukum pidana”, pembaharuan “struktur hukum pidana” dan pembaharuan
“budaya hukum pidana”. Dilihat dari sudut penegakannya, sistem hukum pidana
dapat dimaknai sebagai “sistem penegakan hukum pidana atau sistem
pemidanaan”. Dilihat dari sudut berprosesnya, sistem pemidanaan terdiri dari sub-
sistem Hukum Pidana Materiil, sub-sistem Hukum Pidana Formil dan sub-sistem
Hukum Pelaksanaan Pidana.
Salah satu upaya dalam mencegah terjadinya perbuatan pidana dengan pelaksanaan
Pengabdian Kepada masyarakat melalui penyuluhan:
1. Rangkaian konsep dan asas sebagai dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan,
2. Merupakan cara bertindak di bidang pemerintahan,
3. Sebagai pernyataan cita-cita tujuan atau prinsip,
4. Sebagai pedoman manajemen dalam usaha mencapai sasaran dan
juga merupakan garis haluan,
5. Keempat hal di atas, di samping dilandasi penggunaan akal budi,
juga kemampuan atau kecerdikan.
Dari difinisi di atas dapat diketahui bahwa sistem merupakan 1. Set /kumpulan metode
rinci, prosedur, dan rutinitas yang didirikan atau diformulasikan untuk melaksanakan
suatu aktivitas tertentu, melakukan tugas, atau memecahkan masalah. 2. Terorganisir,
struktur tujuan dianggap
sebagai 'keseluruhan' yang terdiri dari unsur yang saling terkait dan saling tergantung
(komponen, badan, faktor, anggota, bagian dll). Unsur-unsur ini terus-menerus
mempengaruhi satu sama lain (langsung atau tidak langsung) untuk menjaga aktivitas
mereka dan keberadaan sistem, dalam rangka mencapai tujuan bersama yang 'tujuan'
dari sistem. Semua sistem memiliki (a)input, output, dan mekanisme umpan balik,
(b) mempertahankan steady-state internal (disebut homeostasis) meskipun lingkungan
eksternal yang mengalami perubahan, (c) menampilkan sifat yang khas dengan (sifat
yang muncul disebut) keseluruhan tetapi tidak dimiliki oleh salah satu elemen individu,
dan (d) memiliki batas-batas yang biasanya didefinisikan oleh sistem pengamat.
Difinisi konsep sistem di atas merupakan bagian dari alam semesta (dengan ekstensi
yang terbatas dalam ruang dan waktu), lebih kuat dan ada korelasi antara satu bagian
dari sistem dan lainnya, dari antara bagian dari sistem dan bagian luar sistem. Kosep
sistem tersebut juga merupakan berbagai bagian dari hasil ciptaan alam semesta.
Bagian-bagian dari alam semesta yang memiliki korelasi kuat satu sama lain. Untuk
setiap sistem ada korelasi dominan yang bagian-bagiannya memiliki
gravitasi, elektromagnetik hubungan atau komunikasi.
Pengertian sistem pemidanaan yang dikemukakan oleh L.H.C Hulsman di atas meliputi
“Aturan Umum”/”General Rules” dan “Aturan Khusus”/”Special Rules”. Keterjalinan antara
kedua aturan tersebut ada dalam rumusan Pasal 103 KUHP berbunyi; “Ketentuan-
ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-
perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana,
kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Bab I sampai dengan Bab VIII berada
dalam Buku Kesatu KUHP dan terdiri dari rumusan Pasal 1 sampai dengan Pasal 85,
sedang Bab IX terdiri dari Pasal 86 sampai dengan Pasal 101. Ketentuan Pasal 1 sampai
dengan Pasal 85 KUHP merupakan sub –sistem dari kebijakan sistem
pemidanaan merupakan suatu keterjalinan yang utuh, artinya rumusan ketentuan
jenis pidana tidak dapat dipisah-lepaskan dengan ketentuan tentang pedoman dan
aturan pemidanaan
Ruang lingkup sistem pemidanaan di atas dapat juga dipahami dari bagan berikut ini :
Ruang lingkup sistem pemidanaan yang dianalisis dalam disertasi ini adalah dalam
makna fungsional/luas, sehingga seluruh ketentuan perundang-undangan yang
dianalisis difokuskan dalam kebijakan perumusan sistem pemidanaan hukum pidana
materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana sedangkan analisis
terhadap ruang lingkup sistem pemidanaan dalam makna substantif/sempit lebih
bersifat melengkapi, bukan merupakan tujuan utamanya.
Dalam praktik peradilan mulai sering diajukan jenis gugatan perdata yang berasal
dari hukum acara perdata asing yang tidak dikenal dalam system hukum Indonesia,
dalam hal ini diantaranya actio popularis atau citizen lawsuit
Dalam action popularis (dalam system common law dikenal dengan istilah citizen
lawsuit) yakni hak mengajukan gugatan bagi warga Negara atas nama kepentingan
umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil inisiatif mengajukan
gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian secara langsung, dan juga
tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya.
Salah satu contoh praktik peradilan citizen lawsuit di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dalam pertimbangan putusan hakim menerima gugatan ini adalah :”setiap warga
Negara tanpa kecuali, mempunyai hak membela kepentingan umum”. Dengan demikian
setiap warga Negara atas nama kepentingan umum dapat menggugat Negara atau
pemerintah, atau siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum yang nyata-
nyata merugikan kepentingan publik dan kesejahteraan luas.
Selain itu, Penggugat harus dapat membuktikan adanya hubungan antara dirinya
dengan hak atau kepentingan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 163 HIR yang
menyebutkan bahwa barangsiapa mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu
peristiwa maka harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (asas actori incumbit
probation). Jadi, menurut hukum acara perdata yang berlaku, Penggugat haruslah pihak
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung dengan objek gugatan.
Pengecualian beracara dengan surat kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 123
HIR berlaku bagi action popularis/ citizen lawsuit. Dalam citizen lawsuit, hak mengajukan
gugatan bagi warga Negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat,
sehingga orang yang mengambil inisiatif untuk mengajukan gugatan tidak harus
memerlukan surat kuasa dari anggota masyarakat yang diwakilinya kepada pihak yang
akan mengajukan gugatan ke pengadilan atas nama kepentingan umum.
Pasal 66 UU No.32 tahun 2009 tentang UUPPLH Setiap orang yang memperjuangkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun
digugat secara perdata Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban
dan/pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran atau perusakan
lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan
dari Terlapor melalui pemidanaan dan / atau gugatan perdata dengan tetap
memperhatikan kemandirian peradilan.
Pengaturan tentang Anti Slapp disuarakan pertama kali dalam RDP U DPRRI dengan
beberapa organisasi LH pada saat pembahasan RUUPPLH, karena banyaknya gugatan
perdata/ laporan pidana terhadap para pejuang LH.Usulan tersebut disetujui yg
kemudian diimplementasikan dalam Pasal 66 UUPPLH.
Peran serta masyarakat untuk turut serta melindungi lingkungan hidup yang baik dan
sehat tersebut sering mendapat perlawanan dari pelaku usaha yang diduga / telah
melakukan pencemaran lingkungan hidup sebagai akibat dari kegiatan / aktifitas
usahanya, disebut sebagai SLAPP : Strategic Law suit Againts Public Participation.
Indonesia tidak memiliki regulasi khusus yang mengatur tentang Anti Slapp selain yang
terdapat dalam Pasal 66 UUPPLH dan SKKMA No.36 Tahun 2013 Di Negara lain seperti
30 negara bagian di USA, Canada, Australia dan Filipina telah mengatur Anti Slapp dalam
hukum materiil dan formil mereka
2.Forum:Forum yang ditempuh harus mencakup badan pemerintah, baik itu badan
federal Negara bagian maupun lokal, legislatif, eksekutif,dan pengadilan,atau pejabat-
pejabat yang dipilih oleh rakyat.
3. Prevention and Cure: adanya early review yang efektif oleh pengadilan terhadap
gugatan SLAPP yang diajukan dan memberlakukan beban pembuktian kepada yang
mengajukan gugatan. Kedua hal ini (early review dan beban pembuktian ) berfungsi
untuk memberikan warning bagi potential gugatan SLAPP di masa mendatang.
SK KMA mengukuhkan Pasal 66 UUPPLH sebagai ketentuan Anti SLAPP yang bertujuan
memberikan perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup dalam
memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Seorang saksi ahli (Basuki Wasis) digugat secara perdata (dengan dalil perbuatan
melanggar hukum) yang diajukan oleh Terpidana kasus korupsi.
Majelis hakim menjatuhkan putusan sela yang menerima eksepsi kuasa hukum Basuki
Wasis dan menyatakan gugatan Nur Alam tidak dapat diterima.Majelis hakim juga
menegaskan dalam pertimbangan hukumnya bahwa setiap ahli yang memberikan
keterangan dalam persidangan tidak dapat digugat perdata ataupun pidana
(perkaraNomor47/Pdt.G/LH/2018/PNCbi)
PT BAA kemudian melaporkan Robandi, dkk karena dianggap tidak memiliki lagi
kewenangan sebagai ketua RT untuk membuat surat penolakan bantuan pangan.
Sebelumnya Robandi, dkk juga menjadi pihak dalam perkara perdata lingkungan
melawan PT BAA. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sungai liat dalam putusan sela
menyatakan menerima eksepsi dari kuasa hukum Robandi,dkk.
Dalam eksepsinya, kuasa hukum mendalilkan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
karena merupakan perkara SLAPP. Walaupun putusan sela ini tidak mempertimbangkan
SLAPP, namun konsepsi perlindungan pembela/pejuang lingkungan yang terlihat dalam
nuansa putusan inimerupakan perkembangan hukum yang penting
(perkaraNomor454/Pid.B/2020/PNSgl)
-KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana
nasional Indonesia.
-Perkembangan Hukum Pidana diluar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun
hukum pidana administrasi telah menggeser keberadaan system hukum pidana dalam
KUHP. Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu system hukum
pidana yang berlaku dalam system hukum pidana nasional.
-Dalam beberapa hal telah juga terjadi duplikasinorma hukum pidana antara norma
hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar
KUHP.
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dalam RUU KUHP
KUHP yang berlaku saat ini tidak mengatur mengenai konsep yang dianut berkaitan
dengan pengertian Tindak Pidana maupun Pertanggun jawaban Pidana. Keadaan ini
sering kali menimbulkan perdebatan dan juga perbedaan dalam penegakan hukum
pidana di Indonesia. Sekali pun pada dasarnya kebanyakan para pengajar hukum pidana
Belanda dipengaruhi oleh pandangan yang bersifat monistis, yang pada
dasarnya melihat persoalan “pertanggungjawaban”sebagai bagian dari “tindak pidana”.
Hal ini berarti bahwa dalam suatu “tindak pidana” dengan sendirinya mencakup pula
kemampuan bertanggungjawab.
Tindak Pidana
Namun demikian, dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana, dalam artikebijakan
menggunakan/mengoperasionalisasikan hukum pidana, masalahsentral atau masalah
pokok sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauhkewenangan mengatur dan
membatasi tingkah laku manusia (wargamasyarakat/pejabat) dengan hukum
pidana.12Dilihat dari sudut dogmatis-normatif, masalah pokok atau materi/substansi
dari hukum pidana (materiil)terletak pada masalah mengenai
Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana;
Syaratapa yang seharusnya
dipenuhi untuk mempersalahkan/mempertanggungjawabkan seseorangyang
melakukan perbuatan itu; dan
Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu.
Bahkan menurut Stephen Schafer yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
kejahatan dalam pengertian yang sangat luas adalahkejahatan politik.16Adapun
menurut Radbruch sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adji mengemukakan, bahwa suatu
delik politik sering lebih berbahaya sifatnya dari delik-delik biasa dan bahaya tersebut
justru disebabkan sebagian karena adanya keyakinan dibelakang perbuatannya.
Dalam konsep KUHP,mengenai besarnya ancaman pidana, tindak-tindak pidana politik dapat
dikatakan sama untuk tiap deliknya, seperti kebijakan formulasi pidana yang baru untuk
menghindari disparitas pemidanaan. Diatur pula tentang pidana maksimal dan pidana
minimal khusus bagi tiap-tiap tindak pidana yang termasuk berat dan sangat berat/sangat
serius. Selain itu, jugadilengkapi pencantuman pidana denda dengan sistem kategori, sesuai
dengan bobot tindak pidananya.Misalnya,Pasal 104 KUHP ancaman pidananya pidana mati
atau seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, sama halnya
dengan Pasal 215 Konsep dimana ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 5(lima) tahun. Yang membedakan di
dalam Konsep dicantumkan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Dalam Konsep dihilangkan rumusan kesengajaan dalam suatu perbuatan, mengacu kepada
suatu kenyataan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika orang tersebut melakukan
perbuatan dengan sengaja. Jadi semua rumusan tindak pidana dalam Konsep dianggap
semuanya dilakukan dengan sengaja, kecuali pasal-pasal tersebut menentukan dengan tegas
bahwa tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dikenakan pidana. Dalam hal ini
ada alasan pembenar seperti pada Pasal31-35 Konsep
Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh R. Suryatin, yang mengatakan
: Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya
dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur pertama
adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undangan.Perbuatan itu
menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada
sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.
Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai
berikut :
1. Perbuatan itu harus melawan hukum adalah Prinsipnya tentang unsur yang
pertama ini telah dikemukakan di dalam sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-
syarat perbuatan melawan hukum. Dalam unsure pertama ini, sebenarnya
terdapat dua pengertian, yaitu “perbuatan “ dan “melawan hkkum”. Namun
keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan itu dapat
dibuktikan dengan dua cara, yaitu dengan cara penafsiran bahasa, melawan
hukum menerangkan sifatnya dari perbuatan itu dengan kata lain “melawan
hukum” merupakan kata sifat, sedangkan “perbuatan” yang sifatnya “melawan
hukum”, maka terciptalah kalimat yang menyatakan “perbuatan melawan hukum”.
Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Cara penafsiran hukum ini terhadap
kedua pengertian tersebut, yaitu “perbuatan”, untuk jelasnya telah diuraikan di
dalam sub bab di atas, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Pengertian
perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya meliputi hak orang lain, dan
kewajiban si pembuat yang bertentangan atau hanya melanggar hukum/undang-
undang saja. Pendapat ini dikemukakan sebelum adanya arrest Hage Road Tahun
1919. Sedangkan dalam arti luas, telah meliputi kesusilaan dan kepatutan ysng
berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang-barang orang lain.
Pendapat ini dikemukakan setelah pada waktu arrest Hage Road Tahun 1919
digunakan.
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian. Kerugian yang dimaksud di dalam
unsur kedua ini, undang-undang tidak hanya menjelaskan tentang ukurannya dan
yang termasuk kerugian itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat dari
kerugian tersebut, yaitu materiil dan imateriil. “ Kerugian ini dapat bersifat
kerugian materil dan kerugian immaterial, Apa ukurannya, apa yang termasuk
kerugian itu, tidak ada ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang
sehubungan dengan perbuatan melawan hukum”
Berdasarkan pendapat di atas, berarti perbuatan melawan hukum itu adalah perbuatan
yang sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan yang dapat dikira-kira atau
diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal sebagai tindakan yang dilakukan atau
tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan demikian, melakukan atau tidak melakukan
dapat dikategorikan ke dalam bentuk kesalahan. Pendapat di atas dapat dimaklumi,
karena sifat dari hukum adalah mengatur, yang berarti ada larangan dan ada suruhan.
Jika seseorang melakukan suatu perbuatan, perbuatan ma dilarang oleh undang-
undang, maka orang tersebut dinyatakantelah bersalah. Kenudian jika seseorang tidak
melakukan perbuatan, sementara perbuatan itu merupakan perintah yang harus
dilakukan, maka orang tersebut dapat dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian
kesalahan dari maksud pernyataan di atas.
Kemudian ada pendapat lain yang menyatakan bahwa “kesalahan itu dapat terjadi,
karena: disengaja dan tidak disengaja” Tentunya yang dimaksud dengan disengaja dan
tidak disengaja dalam pernyataan di atas adalah dalam hal perbuatan Apakah perbuatan
itu tidak disengaja. Tentang disengaja berarti kesalahan itu dapat terjadi dan dilakukan
akibat dari suatu kelalaian. Jika kelalaian dapat dianggap suatu unsur dari kesalahan,
maka menurut pandangan hukum, kodrat manusia sebagai makhlukyang tidak pernah
luput dari kesalahan dan kesilapan, merupakan suatu pedoman dasar di dalam
menentukan bahwa perbuatan itu termasuk ke dalam suatu perbuatan yang melawan
hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi. Tetapi di dalam kenyataannya, kenapa masih
banyak orang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, dapat menghindari
dirinya dari tuduhan dan gugatan tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan
hukum yang ditunjukkan kepadanya.
Perbuatan yang memang disengaja, berarti sudah ada niat dari pelakunya atau si
pembuat. Tetapi jika perbuatan itu tidak disengaja untuk dilakukan, dalam arti unsure
kesilapan, suatu contoh dalam hal pembayaran harga barang dalam jual beli tanah yang
dilakukan si pembeli, apakah si pembeli dapat dikatakan telah melakukan perbuatan
melawan hukum, menurut pendapat di atas. Atau seorangkasir pada suatu bank, yang
silap melakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah. Apakah perbuatan si kasir
tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dan kepadanya dapat digugat Pasal
KUH Perdata tersebut.
Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdt. pada awalnya memang
mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme Pengertian
yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang46.
Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama dengan
melawan undang-undang (onwetmatige daad). Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge
Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang
pedagang menjual mesin jahit merek “Singer” yang telah disempurnakan. Padahal
mesin itu sama sekali bukan produk Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan hurufhuruf
yang besar, sedang kata-kata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang
terbaca adalah “Singer” saja. Ketika pedagang itu digugat di muka pengadilan, H.R.
antara lain mengatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan
melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan
dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.
Pada putusan berikutnya, Hoge Raad berpendapat sama dalam kasus Zutphense
Juffrouw. Perkara yang diputuskan tanggal 10 Juni 1910 itu bermula dari sebuah
gudang di Zutphen. Iklim yang sangat dingin menyebabkan pipa air dalam gudang
tersebut pecah, sementara kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas. Namun
penghuni di tingkat atas tersebut tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup
kran induk tersebut;sekalipun kepadanya telah dijelaskan, bahwa dengan tidak
ditutupnya kran induk, akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan dalam
gudang akibat tergenang air. Perusahaan asuransi telah membayar ganti kerugian atas
rusaknya barang-barang tersebut dan selanjutnya menggugat penghuni tingkat atas di
muka pengadilan. Hoge Raad memenangkan tergugat dengan alasan, bahwa tidak
terdapat suatu ketentuan undang-undang yang mewajibkan penghuni tingkat atas
tersebut untuk mematikan kran induk guna kepentingan pihak ketiga. Dengan kata lain
Hoge Raad di Belanda memandang perbuatan melawan hukum secara legistis.
Pemandangan legistis itu kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan
Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen v. Lindenbaum yang dikenal sebagai
drukkers arrest. Pada perkara ini Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan
hukum secara luas. Dalam perkara ini, Cohen seorang pengusaha percetakan telah
membujuk karyawan percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy pesanan
dari langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga
Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke perusahaan Cohen.
Selanjutnya Lindenbaum menggugat Cohen untuk membayar ganti kerugian
kepadanya. Gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (rechtbank).
Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan Negeri dengan
pertimbangan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu kewajiban hukum,
namun tidak berlaku bagi Cohen karena undang-undang tidak melarang dengan tegas
bahwa mencuri informasi adalah melanggar hukum.
Dengan adanya arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi
lebih luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang
melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu (a) perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku47 dan (b) melanggar hak subyektif orang lain, tetapi juga (c)
perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaedah yang mengatur
tata susila d) kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki
seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga
masyarakat.
oleh Mariam Darus Badrulzaman, dengan mengatakan: “Pasal 1365 KUHPerdt. menentukan
bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain
mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut”
Selanjutnya dikatakan bahwa “Pasal 1365 KUHPerdt. ini sangat penting artinya karena
melalui pasal ini hukum yang tidak tertulis diperhatikan oleh undang undang.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dan I.S. Adiwimarta dalam menerjemahkan buku H.F.A.
Vollmar juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum. Selain itu istilah yang sama
juga digunakan oleh M.A. Moegni Djojodirjo dalam bukunya yang berjudul Perbuatan
Melawan Hukum. Digunakannya terminologi Melawan hukum bukan Melanggar Hukum
oleh M.A. Moegni Djojodirjo karena dalam kata “melawan” melekat sifat aktif dan pasif.
Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang
menimbulkan kerugian pada orang lain, jadi sengaja melakukan
gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan tersebut”.
Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan sengaja diam saja atau dengan
lain perkataan apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga menimbulkan kerugian pada orang
lain, maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya
Rosa Agustina sependapat dengan Mariam Darus Badrulzaman bahwa terminologi melawan
hukum mencakup substansi yang lebih luas, yaitu baik perbuatan yang didasarkan pada
kesengajaan maupun kelalaian Mariam Darus Badrulzaman dalam Rancangan Undang-
Undang (RUU) Perikatan berusaha
merumuskannya secara lengkap sebagai berikut:
1. Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalainnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut;
2. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau
bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan
kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang lain;
3. Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan wajib dilakukannya,
disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya
melanggar hukum.
Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorpsi
perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan melawan hukum. Sebab dalam
konsep itu pengertian melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan
undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus
diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis).
Menurut Sudargo Gautama istilah perbuatan melawan hukum telah lama memusingkan para
ahli hukum yang harus mempergunakan undang-undang. Dalam hukum Barat, pengertian
perbuatan melawan hukum semakin lama memperlihatkan sifat semakin meluas. Semakin
banyak perbuatan-perbuatan yang dahulu tidak termasuk “melawan hukum” sekarang
termasuk istilah itu.63 Indonesia telah menganut pengertian perbuatan melawan hukum
dalam arti yang luas. Hal ini dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung RI No. 3191
K/Pdt./1984 tentang kasus Masudiati v I Gusti Lanang Rejeg.64 Mahkamah Agung
memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan Tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan bahwa Tergugat telah melanggar norma
kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri
Penggugat. Dengan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat
yang merupakan hukum tidak tertulis maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Indonesia
telah menganut penafsiran luas mengenai perbuatan melawan hukum
Teori relativitas berasal dari hukum Jerman yang dibawa ke negeri Belanda oleh Gelein
Vitringa. Kata “schutz” secara harafiah berarti “perlindungan”, sehingga dengan istilah
“schutznorm” secara harafiah berarti “norma perlindungan”. Teori relativitas atau
schutznormtheorie merupakan pembatasan dari ajaran yang luas dari perbuatan yang
melawan hukum. Schutznormtheorie mengajarkan, bahwa perbuatan yang bertentangan
dengan kaidah hukum dan karenanya adalah melawan hukum, akan menyebabkan si
pelaku dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan
tersebut, bilamana norma yang dilanggar itu dimaksudkan untuk melindungi penderita.
Contoh penerapan schutznormtheorie dapat dilihat pada keputusan Hoge Raad Belanda
tanggal 17 Januari 1958. Schutznormtheorie tidak hanya mengenai norma hukum yang
diatur dalam undang-undang saja tetapi juga hukum yang tidak tertulis seperti norma
kepatutan, norma kesusilaan dan sebagainya.
Schutznormtheorie berasal dari suatu relativitas dari perbuatan yang melawan hukum,
dengan pengertian umpamanya, bahwa perbuatan tertentu dari A adalah melawan
hukum terhadap B, tetapi tidak melawan hukum terhadap C. Ada kemungkinan bahwa C
menderita kerugian karena perbuatan A, tetapi ia tidak dapat meminta ganti kerugian
kepada A karena perbuatannya itu melawan hukum terhadap B dan tidak terhadap C.
Schutznormtheorie sungguh kental dengan pro dan kontra. Di negeri Belanda, para ahli
hukum yang mendukung diterapkannya teori ini antara lain Telders, Van der Grinten, dan
Molengraaf. Bahkan Putusan Hoge Raad lebih banyak yang mendukung
schutznormtheorie. Adapun para ahli hukum Belanda yang menentang penerapan
Schutznormtheorie antara lain, Scholten, Ribius, Wetheim.
1. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt. tidak diperluas secara
tidak wajar;
2. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap kasus di mana hubungan
antara perbuatan dengan ganti rugi hanya bersifat normatif atau kebetulan saja;
3. Untuk memperkuat berlakunya unsur “dapat dibayangkan” (forseeability)
terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira-kira (proximate causation).
Seperti halnya dalam hukum Pidana, demikian pula dalam hukum perdata,
adakalanya terdapat hal-hal yang menghilangkan sifat melawan hukum (alasan
pembenar). Rosa Agustina menyatakan ada 4 hal yang pada umumnya telah lazim
sebagai alasan pembenar yaitu
Munir Fuady menjelaskan yang dimaksud dengan kontrak baku adalah suatu kontrak
tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut. Bahkan sering
kali kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah
satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para
pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa
perubahan dalam klausul-klausulnya. Pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai
kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-
klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak
baki sangat berat sebelah
Sutan Remi Sjahdeni menjelaskan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh
klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum
dibakukan hanyalah beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah,
warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang
diperjanjikan
Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah
yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar
artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen
yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam
perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang
cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban
umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas. Namun adakalanya
kedudukan dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada
akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu
pihak
Dalam praktik dunia usaha juga menunjukan bahwa keuntungan kedudukan tersebut
sering diterjemahkan dengan pembuatan klausula baku dalam setiap dokumen atau
perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainya. Take
it or leave it . Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini cenderung
merugikan pihak yang kurang dominan tersebut. Terlebih lagi dengan sistem
pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak
yang cenderung merugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan
pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat
dalam perjanjian yang ada.
Melihat kenyataan bahwa barganing position konsumen pada praktiknya jauh di bawah
para pelaku usaha maka Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan
perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman
klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha
6.4 Ciri-ciri dan Klasifikasi Perjanjian Baku
Salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Menurut Mariam Darus
Badrulzaman, yaitu bahwa debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian itu, juga
tidak dapat dibenarkan, karena perjanjian baku pada umumnya dibuat dengan tetap
memungkinkan pihak lain (bukan pihak yang merancang perjanjian baku) untuk
menentukan unsur essensial dari perjanjian, sedangkan klausula yang pada umumnya
tidak dapat ditawar adalah klausula yang merupakan unsur aksidentalia dalam perjanjian.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi empat
jenis, yaitu :
Pasal 1 ayat (3) UUPK memberi pengertian Pelaku Usaha, yaitu setiap
orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi. Penjelasan Pelaku Usaha yang termasuk dalam pengertian ini
adalah perusahaan, korporasi, BUMN, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena meliputi
grosir,leveransir,pengecer, dan sebagainya. Cukup luasnya pengertian pelaku usaha
dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam
masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai
produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasil bahan baku,
pembuat suku cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen,
dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang
membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; improtir suatu produk dengan
maksud untuk menjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau berbentuk
distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas
dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan
Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK sama dengan cakupan produsen yang dikenal
di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam
pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencangkup eksportir atau pelaku usaha
diluar negeri, karena UUPK membatasi orang perseorangan atau badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia.
Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan konsumen
menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak
begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak
pihak yang digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut memberikan
rincian sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi negara Masyarakat Uni Eropa),
sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan
mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk. Dalam Pasal 3
Directive ditentukan bahwa :
1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau
pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang
nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk,
menjadikan dirinya sebagai produsen.
2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang
yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing,
atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdangangan dalam
Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Directive ini, dan
akan bertanggung gugat sebagai produsen.
3. Dalam hal ini produsen atau suatu produk tidak dikenal dengan
identitasnya, maka setiap levelansir/ supplier akan bertanggung gugat sebagai
produsem, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam
waktu yang tidak begitu lama mengenai identitas produsen atau orang yang
menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam
kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan
tidak menunjukkan identitas importit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), sekalipun nama produsen dicantumkan.
Sebagaimana kita ketahui, salah satu jenis layanan jasa perbankan yang cukup klasik
disamping menghimpun dana dari masyarakat adalah juga menyalurkan dana kepada
masyarakat yang kemudian disebut dengan pemberian kredit. Secara sederhana dapat
pula dikemukakan, bahwa kredit adalah kepercayaan atau saling percaya antara kreditur
dan debitur. Jadi apa yang telah disepakati wajib ditaati. Dari rumusan di atas tampak
bahwa hubungan hukum antara pemberi kredit dalam hal ini bank (kreditur) dan
penerima kredit dalam hal ini nasabah (debitur) didasarkan kepada perjanjian yang
dalam praktik perbankan dikenal sebagai perjanjian kredit bank
Dasar hukum dari suatu kredit adalah sebagai berikut (Fuady, 2002: 112): 1) Kontrak
kredit, 2) Undang-undang, terutama Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang
tentang Jaminan
Berpijak dari uraian tersebut di atas maka kontrak kredit merupakan salah satu dasar
hukum dari pemberian kredit. Kontrak kredit ini merupakan perjanjian tertulis yang isinya
telah ditentukan dan ditetapkan oleh pihak bank (kreditur) sehingga pihak nasabah bank
(debitur) harus menerima isi perjanjian tersebut tanpa hak untuk melakukan negosiasi
kembali. Perjanjian ini disebut juga dengan perjanjian baku dalam pemberian kredit.
Terkait dengan pemberian kredit terhadap nasabah maka pihak perbankan harus
menentukan bahwa
nasabah (debitur) dapat dipercaya. Untuk mengetahui bahwa nasabah dapat dipercaya
guna memperoleh kredit maka pada umumnya dunia perbankan menggunakan prinsip-
prinsip perkreditan sebagai pisau analisis, prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut
:
Permasalahan mulai muncul ketika adanya kontrak atau perjanjian ditetapkan secara
sepihak oleh salah satu pihak yang lazimnya dilakukan oleh pelaku usaha, yang disebut
dengan nama kontrak baku atau kontrak adhesi (standard contract) yang isi atau
klausula dari perjanjian tersebut mengandung keadaan yang cenderung tidak fair bagi
konsumen dengan pencantuman klausula yang bersifat membatasi kewajiban pelaku
usaha dalam pelaksanaan perjanjian yang disebut dengan nama klausula eksonerasi.
Dalam praktik pelaksanaan perjanjian kerjasama, ada kalanya para pihak tidak dapat
melaksanakan kewajibannya karena adanya wanprestasi (ingkar janji). Wanprestasi
artinya adalah tidak memenuhi prestasi yang merupakan kewajiban debitur yang telah
ditetapkan dalam suatu perikatan. Dalam hal ini konsumen (Dedek Cahyo) selaku pihak
kedua telah melakukan wanprestasi.
Wanprestasi yang dilakukan telah melanggar ketentuan perjanjian antara pihak Pelaku
Usaha dengan konsumen. Bahwa dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, sebagai
akibat dari perbuatan konsumen yang tidak mematuhi atau melaksanakan kewajiban
hukumnya kepada Pelaku Usaha dengan kewajiban hukum konsumen sebagaimana
yang telah disebutkan dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10Agustus 2006
(konsumen tidak menyerahkan uang setoran kepada Pelaku Usaha sesuai dengan yang
telah ditentukan di dalam Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006).
Pelaku Usaha walaupun telah mengakhiri hubungan hukum antara Pelaku Usaha dengan
Konsumen dengan membatalkan Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus
2006 dan oleh karena itu Konsumen harus menyerahkan Armada Taxi objek Perjanjian
Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 tersebut kepada Pelaku Usaha, namun
Konsumen tidak menyerahkan kendaraan bermotor Armada Taxi tersebut kepada Pelaku
Usaha selaku pemiliknya. Perbuatan Konsumen yang tidak menyerahkan Armada Taxi
tersebut kepada Pelaku Usaha selaku pemiliknya terhitung setelah berakhirnya atau
dibatalkannya Perjanjian Kerjasama Operasi tertanggal 10 Agustus 2006 dan tetap
menguasai dan mengusahai atau mengoperasikan Armada Taxi tersebut hingga
sampai dengan sekarang, adalah merupakan perbuatan tanpa hak atau perbuatan
yang bertentangan dengan hukum dan dapat dikategorikan sebagai Perbuatan
melawan hukum.
Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian
obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk
menyerahkan atau membayar sesuatu. Sedangkan perjanjian non obligator adalah
perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar
sesuatu.
a.Perjajian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang
membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah. Sedangkan
perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah
pihak. Misalnya jual beli
c.Perjanjian konsensuil, Perjanjian Riil dan Formil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian
yang mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian
jual beli dan perjanjian sewa menyewa.8 Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang
tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penyerahan
obyek perjanjian atau bendanya. Misalnya perjanjian penitipan barang dan
perjanjian pinjam pakai.9 Perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan
kata sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu. Sesuai dengan apa yang
telah ditentukan oleh undang-undang. Contohnya jaminan fidusia
a.Zakelijk overeenkomst adalah perjajian yang menetapkan suatu hak dari seseorang
kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah
b.Bevist overeenkomst adalah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari
suatu kewajiban.
KEPAILITAN PT
Di Indonesia kepailitan Perseroan itu bersifat terbatas dalam arti bisa saja
perseroan itu beropersional jika memberikan pencerahan yang baik bagi
perseroan dan memberikan keuntungan pada perseroan dalam hal:
1. Pengoperasian perseroan itu dapat memberikan keuntungan bagi PT.
2. Adanya kerja keras dan kesungguhan yang kuat sehingga menimbulkan
harapan bahwa PT tersebut akan sehat kembali.
3. Adanya penilaian dan masih membuka kemungkinan dilangsungkan
operasional Perseroan karena memiliki prospek yang baik untuk
kedepannya adanya persetujuan Hakim Pengawas, Kurator, Panitia
Kreditur.
Keputusan Pailit yang di jatuhkan oleh Hakim adalah karena harta kekayaan
dari Perseroan tidak mencukupi untuk membayar utang, akan tetapi setelah
berakhirnya kepailitan, bubar atau tidaknya perseroan itu tergantung pada
adanya permohonan pembubaran perseroan.
Akan tetapi dalam Undang-undang PT Pasal 142 mengatakan PT itu hanya
dapat bubar jika:
a. Adanya keputusan dari RUPS
b. Jika menurut Anggaran Dasar sudah berakhir jangka waktu berdirinya
Perseroan
c. Selain itu adanya Keputusan Pengadilan
d. Adanya Keputusan Pengadilan Niaga tentang kepailitan yang telah
mempunyai kekuatan tetap karena harta kekayaan perseroan tidak dapat
untuk membayar utangnya.
e. Harta kekayaan perseroan yang pailit dalam insolvensi.
f. Izin usaha dari perseroan itu telah di cabut.
Oleh karena Undang-undang Kepailitan mengandung azas kelangsungan
usaha, tidak hanya untuk melindungi kepentingan kreditur atau dari para pihak2
yang berkepen tingan saja tapi lebih dari itu melindungi kepentingan Negara
dan ekonomi nasional dalam masyarakat.
Juga dalam hal suatu Korporasi yang dinyatakan paillit yang belum
membayar upah buruh berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa upah buruh merupakan hal yang harus didahulukan jika
Korporasi itu pailit dengan pertimbangan bahwa kedudukan dari pengusaha
jauh lebih tinggi maka harus dilindungi hal ini sesuai dengan Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 280 (2) oleh sebab upah buruh adalah hak yang konstitusional
maka harus didahulukan.
Dalam Undang-undang Kepailitan Pasal 39(2) jelas dikatakan bahwa segala
upah yang belum di bayar sesudah atau sebelum pailitnya Korporasi dianggap
sebagai utang maka upah wajiB untuk di bayar, jadi berdasarkan keputusan
Mahkamah Konstitusional No 67/PUU-XI/2013 memberikan suatu perobahan
yang sangat besar karena tagihan dari Upah Buruh di utamakan dari pada
tagihan Kreditur Seperatis.
Juga dalam hal perusahaan asuransi dalam Undang-undang Per Asuransian
No 40 tahun 2014 Pasal 52 (1) dan (2)
(1) Dalam hal perusahaan Asuransi, Asuransi Syari’ah, perusahaan
Reasuransi atau Reasuransi Syari’ah dipailitkan atau dilikwidasi hak
pemegang polis tertanggung atau peserta atas pembahagian harta
kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada pihak
lain.
(2) Jika perusahaan Asuransi atau perusahaan Re Asuransi itu di pailitkan
atau di Likwidasi maka dana Asuransi digunakan terlebih dahulu untuk
memenuhi kewajiban pada pemegang polis, Tertanggung atau pihak lain
yang berhak atas manfaat dari Asuransi.
Berdasarkan pada Pasal 52(1) bahwa pemegang polis adalah orang yang
diutamakan menerima pembayaran di banding dengan Kreditur lainnya dan
pemegang polis adalah merupakan Kreditur Preferen.
Jika hal itupun dihadapkan dengan Undang Kepailitan maka berlaku azas
Lex
Specialis Derogat Lex Generalis sehingga yang berlaku adalah Undang-undang
Ke Asuransian yang jelas mengatur bahwa pemegang polis Asuransi adalah
memiliki kedudukannya sebagai Kreditur Preferen yang Privilege bukan
Kreditur Preferen yang Speratis karena pemegang polis bukan pemegang
jaminan hak kebendaan seoerti hak Jaminan, Fidusia dan Hipotik jadi khusus
mengenai Asuransi baik itu KUHPerdata maupun Undang-undang Kepailitan
akan tunduk pada peraturan PerAsuransian karena Undang no 40 tahun2014
telah mengaturnya secara khusus seperti apa yang tercantum dalam Pasal 52(1).
Dalam Undang- undang Kepailitan dan PKPU No.dalam Pasal 185
menyatakan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab terhadap utang
dari perseroan sebesar saham yang dimilikinya, meskipun sudah dilakukan
pelelangan dan harta kekayaan perseroan tidak mencukupi pembayaran utang
pada debitur.
Hal ini menimbulkan akibat:
a. Pengurus hanya sebagai penerima mandat dari perseroan (functus
officio)
b. Direksi dari PT sebagai pengelola ataupun badan hukum lainnya
“terpasung” walaupun sebenarnya ia berhak karena jabatannya.
c. Hakim Pengawas mempunyai kewajiban untuk tetap mengawasi
pelaksanaan kepailitan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
dan Kurator mengawasi seluruh harta yang masuk dalam untuk
Budel Pailit.
d. Selama masa kepailitan PT tidak bertanggungjawab terhadap
perbuatan yang dilakukan oleh Pengurus, ia harus
bertanggungjawab secara pribadi kecuali hal itu memberikan
keuntungan pada PT
Ada beberapa cara yang dilakukan oleh Kurator sebagai solusi dalam
kepailitan karena sifat tanggungjawab terbatas dari Perseroan itu demi
kepentingan dari para kreditor :
1. Dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54
mengatur boleh diadakan Kompensasi Piutang Kreditur dengan Debitur
asal tidak bertentangan dengan undang-undang.
2. Meminta diadakan Actio Pauliana (1341 KUHPerdata) agar pihak debitur
membatalkan transaksi pada pihak ketiga yang merugikan kreditur Pasal
41 dan Pasal 42 Undang-undang Kepailitan dan PKPU
3. PT yang sudah dinyatakan Pailit, Perseroan tidak bertanggungjawab
terhadap tindakan Debitur pada pihak ketiga kecuali hal itu
menguntungkan Perseroan.(Pasal 25 Undang-undang Kepailitan)
4. Dalam Pasal 6 (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU pihak ketiga
yang merasa dirugikan dapat mengugugat PT melalui Kurator.
Yang berhak mengajukan Pailit adalah :
a. Kreditur
b. Debitur
c. Bank Indonesia
d. Badan Pengawas Pasar Modal
e. Mentri Keuangan.
Akan tetapi jika debitur itu adalah Perusahaan efek, Bursa efek, Lembaga
Kliring Lembaga Penyimpanan dan penjamin maka permohonan pailit diajukan
ke Otoritas Jasa Keuangan (Undang-undang No 37 Tahun 2004 Pasal ayat 4),
karena OJK yang mengawasi lembaga ini karena badan hukum tersebut
menghimpun dana dari masyarakat dan di investasikan dalam bentuk effek.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, tentang OJK Pasal 5 (1) Fungsi,
tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan Jasa Keuangan di
sektor Pasar Modal, Peransuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK”.
Jelaslah Pengadilan Niaga adalah yang berwenang memeriksa, mengadili
dan memberi Putusan terhadap kasus Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU).
Tiap keputusan pailit yang dilakukan oleh Pengadilan Niaga tidak mengenal
upaya hukum Banding tetapi mengenal apa yang disebut upaya hukum luar
biasa yaitu Peninjauan Kembali (Herzening).
Timbul pertanyaan di mana gugatan Pailit itu dilakukan:
a. Daerah hukum tempat Domicile Debitur
b. Jika debitur melarikan diri melepaskan tanggunjawabnya maka gugatan
dilakukan di daerah hukum Domicili terahir dari Debitur
c. Jika badan hukum itu berupa PT, Fa maka di lajukan di derah hukum dari
badan hukum itu sendiri.
d. Juga dalam hal debitur tidak berdomisili di Negara Indonesia maka
permohonan dapat di ajukan di wilayah hukum Negara Indonesia tempat
di mana di kantor pusatnya beroperasional.
e. Jika merupakan badan hukum lihat di anggaran dasar tempat
operasionalnya.
HAK
PEKERJA
Undang undang Cipta Kerja mengatur hak dari pekerja jika terjadi
pemutusan hubungan kerja maka pengusaha wajib membayar uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang didasarkan pada
lamanya masa kerja pekerja itu dengan ketentuan sbb:
a. Jika pekerja itu sudah menjalani masa kerja kurang dari satu tahun
maka ia berhak menerima upah satu bulan.
b. Jika masa kerjanya satu tahun tapi kurang dari dua tahun pekerja itu
berhak menerima upah dua bulan gaji.
c. Dalam hal pekerja itu masa kerjanya dua tahun lebih tapi kurang dari
tiga tahun maka pekerja berhak atas upah tiga bulan gaji.
d. Pekerja yang masa kerjanya tiga tahun atau lebih tapi kurang dari
empat tahun, yang bersangkutan berhak menerima empat bulan upah.
e. Jika masa kerja pekerja itu empat tahun atau lebih tapi kurang dari
lima tahun menerima lima bulan gaji
f. Disamping masa kerja dari pekerja mencapai lima tahun lebih tapi
kurang dari enam tahun maka pekerja berhak lima bulan gaji.
g. Masa kerja pekerja sudah mencapai enam tahun atau kurang dari tujuh
tahun maka pekerja berhak menerima upah enam bulan gaji
h. Demikian juga halnya jika masa kerja pekerja itu tujuh tahun atau
kurang dari delapan tahun maka pekerja mendapat delapan bulan gaji
i. Jika masa kerjanya delapan tahun atau kurang dari delapan bulan
maka pekerja berhak atas sembilan bulan gaji.(Pasal 40 ayat 2 Perpem
35 tahun 2021)
Uang Pesangon adalah uang yang diperoleh karena pekerja itu kehilangan
pekerjaan, keadaan ini sangat ditakutkan oleh pekerja karena lapangan kerja
sangat sedikit sedangkan yang mencari pekerjaan banyak.
a. Jika masa kerja pekerja itu 3 tahun atau lebih tapi kurang dari 6 tahun
akan menerima uang penghargaan sebanyak 2 bulan gaji.
b. Jika masa kerja 6 tahun lebih tetapi kurang dari 9 tahun pekerja mendapat
uang pengharaan diterima sebanyak 3 bulan gaji.
c. Jika masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun mendapat 4
bulan gaji.
d. Jika masa kerja 12 tahun atau lebih tapi kurang 15 tahun mendapatkan
uang penghargaan sebanyak 5 bulan gaji.
f. Juga dalam hal pekerja yang telah menjalani masa kerja 18 tahun lebih
tapi kurang 21 tahun akan mendapatkan 7 bulan upah.
g. Selain itu jika masa kerja sudah mencapai 21 tahun tapi belum mencapai
24 tahun akan mendapat upah 8 bulan gaji
c. Disamping apa yang diatur dalam perjanjian kerja dan perjanjian kerja
bersama atau adanya peraturan perusahaan.(Perpem Pasal 40 ayat 4 No
35 tahun 2021)
6. Perusahaan Pailit
5. UU PT Pasal 122 (3) huruf a bahwa aktiva dan pasiva perseroan yang menggabungkan diri
atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan
atau perseroan hasil peleburan; dan
6. UU PT Pasal 122 (3) huruf b menentukan bahwa pemegang saham perseroan yang
menggabungkan diri karena hukum menjadi pemegang saham perseroan yang menerima
penggabungan atau perseroan hasil peleburan.
1. Masa Persiapan
(1) Nama dan tempat kedudukan setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;
(2) Alasan serta penjelasan direksi perseroan yang melakukan penggabungan dan
persyaratan penggabungan;
(3) Tata cara peralihan dan konversi saham perseroan yang menggabungkan diri terhadap
saham perseroan yang menerima penggabungan;
(5) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a UU PT yang
meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap perseroan yang akan melakukan
penggabungan;
(6) Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari perseroan yang akan
melakukan penggabungan;
(7) Neraca proforma perseroan yang menerima penggabungan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
(8) Cara menyelesaikan status, hak dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris dan
karyawan perseroan yang akan melakukan penggabungan diri;
(9) Cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap
pihak ketiga;
(10) Cara menyelesaikan hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan
Perseroan.;
(13) Laporan mengenai keadaan, perkembangan dan hasil yang akan dicapai dari setiap
perseroan yang akan melakukan penggabungan;
(15) Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang
mempengaruhi kegiatan perseroan yang melakukan penggabungan.
wajib mengumumkan ringkasan rancangan penggabungan paling sedikit dalam 1 (satu) surat
kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan yang akan
melakukan penggabungan paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS). Pasal 127 ayat (3) UU PT bahwa pihak yang
berkepentingan dapat memperoleh rancangan penggabungan di kantor perseroan terhitung
dalam sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan, agar pihak-pihak
yang berkepentingan sudah mengetahui adanya rencana penggabunga. Jika merasa dirugikan
dengan penggabungan itu masih ada waktu berpikir sebelum penggabungan bagi kreditor.
Khusus untuk kreditur dalam UU PT Pasal 127 (4) kreditor dapat mengajukan keberatan
dalam jangka waktu 14 (empat belas) setelah pengumuman. Dalam UU PT Pasal 127(5) jelas
dikatakan jika kreditor tidak mengajukan keberatan berarti menyetujui penggabungan
tersebut. Pasal 127 ayat (6) UU PT apabila keberatan kreditor tersebut sampai dengan tanggal
diselenggarakan RUPS tidak mampu maka direksi harus menyampaikannya pada RUPS guna
mendapat penyelesaian Meskipun juga tidak dapat diselesaikan, maka penggabungan tidak
boleh dilakukan.
3. Pelaksanaan Penggabungan
Pada RUPS gabungan dihadiri pemegang saham yang digabungkan dan penerima
penggabungan, direksi masing-masng perseroan yang melaksanakan penggabungan
melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :
b. Adanya rancangan penggabungan yang telah disetujui RUPS bedasarkan Pasal 128 ayat
(1) UU PT dituangkan ke dalam akta penggabungan perseroan.
c. Segala saham-saham dari perusahaan penerima penggabungan dan pemegang saham perusahaan
yang digabungkan, secara konversi yang telah diatur dalam rancangan penggabungan, boleh
diadakan perjanjian jual beli saham antara direksi perseroan yang digabungkan dengan pemegang
saham yang menolak penggabungan perusahaan tersebut.
d. Dalam tandatangan perjanjian pengalihan harta, kewajiban izin, dari perseron yang
digabungkan kepada perseroan penerima. Ini dicatat, jika perseroan yang digabungkan pada
tahap pertama ditetapkan pembubaran perseroan tanpa likuidasi, maka seluruh aktiva dan
pasiva perseroan yang digabungkan akan beralih karena hukum kepada perseroan perima
penggabungan, sehingga tidak diperlukan tindakan hukum tersendiri untuk mengalihkannuya.
1) Ke struktur permodalan;
3) Dalam hal jika jenis usaha perseroan yang digabungkan belum tercantum dalam
anggaran dasar perseroan penerima penggabungan.
Peseroan yang bergerak dalam bidang-bidang tertentu seperti perbankan wajib mengajukam
permohonan izin penggabungan perseroan kepada intansi terkait.
5. Pengumuman Pelaksanaan Penggabungan
a. Adanya persetujuan Menteri atas perubahan anggaran dasar sejak terjadi penggabungan;
b. Adanya pemberitahuan pada Menteri adanya perubahan anggaran dasar atau tidak
adanya perubahan anggaran dasar UU PT Pasal 21 ayat (3)
c. Adanya pengesahan Menteri atas akta pendirian perseroan dalam hal terjadi peleburan
RUPS ini dihadiri oleh mantan pemegang saham perseroan yang digabungkan dalam
kedudukannya sebagai pemegang saham pada perseroan penerima penggabungan. RUPS ini
dengan tujuan mengesahkan naskah akta perubahan anggaran dasar perseroan penerima
penggabungan yang telah disetujui.
Dalam UU PT Pasal 21 ayat (2) direksi perseroan penerima penggabungan wajib meminta
pengesahan perubahan anggaran dasar pada Menteri Hukum dan HAM. Jika perubahan
anggaran dasar di luar yang diatur Pasal 21 ayat (2), direksi perseroan penerima
penggabungan cukup melakukan pemberitahuan perubahan anggaran dasar, direksi wajib
melampirkan salinan akta penggabungan perseroan. Jika penggabungan tidak disertai
perubahan anggaran dasar, direksi cukup menyampaikan akta penggabungan kepada Menteri
untuk dicatat di dalam daftar perseroan.
c. Adanya pemberitahuan perubahan anggaran dasar yang diterima Menteri, sesuai dengan
tanggal yang ditetapkan dalam akta penggabungan.
b. Bahwa pembubaran perseroan dicatat oleh Menteri dalam daftar perseroan bahwa perseroan
dalam likuidasi.
Adanya pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik
Indonesia tersebut memuat :
Jika perseroan itu dibubarkan berdasarkan keputusan RUPS maka likuidatornya adalah orang
yang ditentukan oleh RUPS akan tetapi jika pembubaran perseroan itu berdasarkan keputusan
Pengadilan maka likuidatornya adalah diangkat oleh Pengadilan, meskipun pembubaran
perseroan itu dilakukan oleh Pengadilan tetapi tidak menunjuk siapa likuidatornya maka
direksi secara ex offio yang menjadi likuidator.
Jadi pembaharuan itu meliputi juga aspek organisasi, manajemen, keuangan, dan hukum
jika perusahaan yang mengalami keuslitan keuangan, dan hukum. Jika perusahaan yang
mengalami kesulitan keuangan dan terancam pailit, maka upaya restrukturisasi
perusahaan merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan. Pembaharuan dalam
perusahaan itu dapat dilakukan dengan cara :
7. Likuidasi
Melakukan Merger sangat sulit akan tetapi bagi perusahaan yang terancam pailit, maka
Merger satu jalan yang dilakukan perusahaan untuk dapat melepaskan diri dari
kesulitannya karena hal ini berguna untuk :
Terjadinya Merger karena nilai perusahaan hasil Merger diharapkan akan lebih besar dari
jumlah nilai mandiri dari perusahaan-perusahaan yang bergabung (Merger). Menurut
Zvi Bodied an Robert C. Merton ada 3 alasan Merger, di samping alasan pajak dan tawar
menawar yang kesemuanya dilakukan oleh para manajer dalam rangka maksimalkan
kekayaan para pemegang saham dalam perseroan.
Ada 2 alasan Merger yaitu plausible reasons misalnya alasan economies of scale, strategic
benefit, complementary resources (kelompok alasan sinergi), tax shields, utilization of
surplus funds (alasan peluang adanya pertumbuhan), dan managerial effectiveness, yang
kesemuanya akan menciptakan nilai. Sedangkan dubious reasons misalnya
alasan diversification, lower financing costs misalnya alasan alasan diversification, lower
financing costs, dan earning growth yang tidak meningkatkan nilai dalam perusahaan
tersebut.
Alasan economies of scale (skala ekonomis), baik dalam produksi maupun dalam
distribusi produk, 2 atau lebih perusahaan-perusahaan yang bergabung (Merger)
tersebut Probabilitas terbesar dari sinergi terjadi pada suatu horizontal Merger”
“duplicate facilities” dapat dihilangkan
2. Perpajakan (Taxes)
Jelas Merger memberikan keuntungan dari sisi pajak. Pengurangan pembayaran pajak
kepada pemerintah merupakan salah satu sumber potensiel guna meningkatkan nilai
pemegang saham, bahkan apabila kesempatan pengurangan ongkos-ongkos produksi
dan distribusi melalui sinergi tidak diperoleh.
Perusahaan yang meng Akuisisi perusahaan yang rugi akan mendapatkan pengurangan
pajak dengan cara memanfaatkan kerugian pajak dari perusahaan yang rugi. Perusahaan
dengan keuntungan yang substansial dapat mengurangi keuntungan yang kena
pajaknya dengan cara mengAkuisisi perusahaan yang memiliki kerugian pajak yang
dapat dipindahkan.
Ada keuntungan pajak berupa pengurangan pajak hanya merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keputusan Merger dari sekian banyak pertimbangan untuk Merger.
Perluasan atau ekspansi merupakan alasan untuk Merger. Merger dengan motif
ekspansi ini juga untuk menghindar dari ongkos yang mahal dalam membentuk suatu
sistem distribusi kewilayahan, yaitu dengancara mengAkuisisi perusahaan yang sukses
(berhasil) di wilayah sasaran ekspansi.
Dalam Merger bisa mempunyai kekuatan pasar dan membatasi persaingan, yaitu dengan
cara menggabungkan perusahaan pesaing ke dalam perusahaan sendiri. antitrust law.
Suatu peluang pertumbuhan bagi perusahaan meskipun ada kelebihan dana tunai
untuk melakukan investasi, tapi tidak lagi ada kesempatan pertumbuhan yang cukup
karena telah mencapai tahap kematangan (maturation stage), karena telah Merger
dengan perusahaan yang memiliki prospek pertumbuhan yang besar dan keuntungan
yang baik. Jika dana berlebih diberikan pada pemegang saham (dividen), tidak
menguntungkan karena dividen tunai dikenakan pajak oleh Negara.
Merger akan memberikan pertumbuhan pendapatan per lembar saham yang lebih cepat
dan stabil, pertumbuhan dengan ongkos dan risiko yang kecil dibandingkan dengan
pendirian bisnis/perusahaan yang baru.
Merger bisa menciptakan keseimbangan modal dalam perusahaan ini lebih baik jika
perusahaan yang memiliki rasio utang modal (D/C/ ratio) yang tinggi bergabung dengan
perusahaan yang memiliki D/C ratio yang rendah. Sehingga D/C ratio perusahaan akan
turun hingga ke level yang lebih dapat diterima dalam perusahaan itu.
8. Pendapatan (Earnings)
Dalam Merger mampu mengurangi menguapnya penerimaan pendapatan (volatility of
earnings).