Anda di halaman 1dari 2

RESENSI BUKU DIFABEL BERHADAPAN DENGAN HUKUM

Identitas Buku
Judul : Difabel Berhadapan Dengan Hukum
Penulis : Purwanti, Saro Zulhendra, Moh. Syafi’ie
Editor : Puguh Indrawan
Tebal Buku : 241 Halaman
Penerbit Buku : SIGAB (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel)
Tahun Terbit : 2017
Cetakan : 1 (Pertama)
ISBN : 978-602-70134-6-9

Difabel dipahami sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda tetapi mampu melakukan
aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Walaupun masih banyak masyarakat
yang memandang difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan
ketidakmampuan. Secara garis besar, setidaknya ada dua paham yang cukup dominan
mewarnai perkembangan sejarah sosial dalam konteks ini, yaitu pandangan medis dan sosial
model. Di Indonesia, difabel lebih dipahami sebagai jurusan pelayanan kesehatan dan sosial.
Penangannya juga belum sempurna dan masih berada di bawah tanggung jawab Departemen
Kesehatan RI; khusus untuk pengobatan dan perawatannya. Sementara untuk pelayanan dan
rehabilitasi, tugas dan tanggung jawabnya dibebankan kepada Departemen Sosial.

Selain itu, masih ada beberapa anggapan negatif terhadap difabel. Anggapan negatif ini
biasanya berujung pada tindakan yang tidak adil. Beberapa ketidakadilan yang dialami
difabel diantaranya : Marginalisasi Pendidikan bagi Difabel, Subordinasi Difabel (misalnya
difabel dipaksa bersekolah di sekolah khusus saja), Anggapan Negatif pada Difabel, dan
Kekerasan pada Difabel yang dapat dipicu oleh mitos yang salah atau kekerasan yang
dilakukan oleh orang terdekatnya. Dalam kajian SIGAB, setiap difabel pada umumnya
membutuhkan biaya tambahan dalam hidupnya. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor
yaitu kesehatan, transportasi, komunikasi, dan rendahnya pendapatan keluarga. Masalah
lainnya, difabel belum termasuk dalam kriteria kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS). Sedangkan semua jaminan nasional bahkan bantuan hukum menerapkan
standar kemiskinan secara ekonomi sebagai prasyarat untuk mengaksesnya.

.Sistem peradilan di Indonesia memiliki banyak tantangan. Terkadang prosesnya sulit


dipahami, apalagi oleh mereka yang bukan praktisi hukum. Beberapa kalangan (terutama
difabel) harus diberikan pandangan yang realistis mengenai tantangan apa yang akan mereka
hadapi pada proses peradilan. Beberapa diantaranya adalah tidak ada standar untuk putusan,
prosesnya memakan waktu, biaya tinggi, kurang koordinasi, diskriminasi terhadap difabel
dan ketidaksensitifan gender, pengetahuan yang tidak memadai tentang bagaimana
melindungi korban difabel, dan masih banyak lagi. Adapun proses peradilan pidana dimulai
dari penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, pelaksanaan putusan, dan pemasyarakatan
Berdasarkan beberapa pengalaman yang terjadi, difabel korban kekerasan atau keluarganya
kesulitan untuk menceritakan kejadian yang terjadi. Beberapa efek sosial dan emosional yang
dialami difabel korban kekerasan diantaranya adalah perasaan kehilangan kontrol dan
kurangnya rasa aman, hilangnya kepercayaan kepada orang lain, stigma sosial dan rasa malu,
rasa rendah diri, respon emosional yang kuat, dan menunjukkan tingkah laku seksual. Dalam
buku difabel berhadapan dengan hukum dijelaskan juga tentang bagaimana cara berinteraksi
dengan difabel secara umum, difabel korban kekerasan seksual, maupun difabel yang sudah
dibagi kekhususannya. Selain itu juga dipaparkan bagaimana cara memberikan dukungan
secara emosional dan melindungi korban, hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan kepada
korban, serta memberikan layanan kepada difabel korban kekerasan.

Mengapa Difabel Membutuhkan Bantuan?


Difabel dan keluarganya sering merasa tidak dapat melakukan apa-apa. Kadangkala mereka
menyalahkan diri sendiri atau mereka malu atas apa yang telah terjadi pada mereka. Mereka
merasa tidak berhak untuk bicara mengenai kekerasan yang mereka alami atau bahkan untuk
mencari keadilan sekalipun. Padahal mereka berhak untuk memilih langkah-langkah hukum
yang akan dilakukan. Selain itu, tak kalah penting untuk memahami kekerasan atau
penyiksaan yang telah korban alami. Berikut beberapa langkah yang diberikan konseling
mengenai proses hukum kepada DIBHa. Langkah pertama, menyusun profile assessment
yang mencakup tujuan membuat profile assessment, profile assessment, dan sebagainya.
Langkah kedua, mendengarkan cerita dan menyusun kronologi kasus yang dapat mencakup
pemberian konseling. Langkah ketiga, menganalisa kasus. Langkah keempat, mengkaji ulang
langkah-langkah hukum. Langkah kelima, mendampingi DIBHa selama proses advokasi
litigasi dan non litigasi.

Dalam buku Difabel Berhadapan dengan Hukum dipaparkan juga terkait bentuk-bentuk
kekerasan terhadap anak, pertimbangan khusus bagi anak yang terlihat dalam proses hukum,
hak-hak anak, anak sebagai saksi korban dalam proses hukum, peraturan mengenai anak yang
melakukan tindak pidana, bagaimana berbicara dengan anak korban kekerasan, serta tentang
perempuan difabel. Selain itu, dicantumkan juga form kronologi kasus, surat pelimpahan
kuasa, tanda bukti lapor, surat panggilan, SPPHP, berita acara pemeriksaan, hasil
pemeriksaan medis (meliputi disabilitas dan psikologis), surat perintah penghentian
penyidikan, permohonan salinan putusan dan salinan putusan, serta penyelesaian sengketa di
luar pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai