Anda di halaman 1dari 3

Harvey Moeis Suami Sandra Dewi Tersangka Korupsi Komoditas Timah

Jakarta - Harvey Moeis, suami aktris Sandra Dewi ditahan Kejaksaan Agung (Kejagung) di kasus
korupsi komoditas timah. Dalam kasus ini sudah ada 16 tersangka yang diumumkan Kejagung, salah
satunnya Harvey Moeis. Selain suami Sandra Dewi ada juga 'crazy rich' Helena Lim yang menjadi
tersangka di kasus tersebut. Perkara ini diduga terjadi dalam kurun periode 2015-2022.

Harvey ditahan setelah terlebih dahulu menjalani pemeriksaan di Gedung Kartika Jampidmil
Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (27/3). Setelah selesai diperiksa, Harvey keluar mengenakan rompi
tahanan berwarna merah jambu (pink). Dia tampak memakai masker putih.

Petugas kemudian menggiring Harvey ke mobil tahanan untuk dibawa ke Rutan Salembang
cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. "Untuk kepentingan penyidikan yang bersangkutan
dilakukan tindakan penahanan di Rutan Salemba Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk 20 hari ke
depan," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi,
di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (27/3/2024) malam.

Kasus yang menjerat Harvey Moeis sebagai tersangka sama dengan kasus yang menjerat “crazy
rich” Helena Lim. Dia diduga terlibat kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha
Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015 sampai dengan 2022.

"Setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif, tim penyidik memandang telah cukup alat bukti,
sehingga yang bersangkutan kita tingkatkan statusnya sebagai tersangka, yaitu saudara HM, selaku
perpanjangan tangan dari PT RBT," ujar Kuntadi.

Kuntadi mengatakan Harvey jadi tersangka dalam perannya sebagai selaku perpanjangan tangan
dari PT RBT. Harvey disebut pernah menghubungi mantan Direktur Utama PT Timah Tbk tahun
2016-2021, MRPT alias RZ.

"Adapun kasus posisi pada perkara ini, bahwa sekira tahun 2018 sampai dengan 2019. Saudara
HM ini menghubungi Direktur Utama PT Timah yaitu saudara MRPT atau Saudara RZ dalam rangka
untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah," ucap Kuntadi. "Yang
bersangkutan dalam kapasitas mewakili PT RBT, namun bukan sebagai pengurus PT RBT,"
tambahnya.

Kasus ini bermula ketika pada 2018, tersangka ALW selaku Direktur Operasi PT Timah Tbk
periode 2017-2018 bersama Tersangka MRPT selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan Tersangka
EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih
sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya. Hal itu diakibatkan oleh masifnya
penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah Tbk.

Atas kondisi tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE, yang
seharusnya menindak kompetitor, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan
membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa
melalui kajian terlebih dahulu.

Guna melancarkan aksinya untuk mengakomodasi penambangan ilegal tersebut, tersangka ALW
bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-
olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.

Pasal yang disangkakan kepada tersangka adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-
Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 jo Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang
RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP.

Total sudah ada 16 tersangka kasus korupsi yang ditahan dalam kasus ini. Berikut rinciannya:

1. SG alias AW selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka


Belitung
2. MBG selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung
3. HT alias ASN selaku Direktur Utama CV VIP (perusahaan milik Tersangka TN alias AN)
4. MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021
5. EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018
6. BY selaku Mantan Komisaris CV VIP
7. RI selaku Direktur Utama PT SBS
8. TN selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN
9. AA selaku Manajer Operasional tambang CV VIP
10. TT, Tersangka kasus perintangan penyidikan perkara
11. RL, General Manager PT TIN
12. SP selaku Direktur Utama PT RBT
13. RA selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT
14. ALW selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 dan Direktur Pengembangan
Usaha tahun 2019 s/d 2020 PT Timah Tbk
15. Helena Lim selaku manager PT QSE
16. Harvey Moeis Perpanjangan tangan PT RBT
Kerugian Lingkungan di Kasus Timah Seret Suami Sandra Dewi Diduga Rp 271 T

Kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang menyeret suami Sandra Dewi, Harvey Moeis
mengakibatkan kerugian lingkungan yang tak sedikit. Total kerugiannya diduga mencapai Rp 271
triliun. Dikutip detikNews, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menetapkan Harvey sebagai
tersangka ke-16 dalam kasus di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015
sampai 2022 tersebut. Sebelumnya, Helena Lim juga menjadi tersangka dalam kasus tersebut.

Dalam catatan detikcom Kamis (28/3/2024), sebelumnya Kejagung menyampaikan kerugian


lingkungan berdasarkan penghitungan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang
Hero Saharjo. Penghitungan kerugian lingkungan itu disampaikan Bambang dalam jumpa pers di
Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (19/2/2024). Menurut Bambang, setidaknya kerugian kerusakan
hutan di Bangka Belitung (Babel) akibat kasus tersebut mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp
271 triliun.

"Totalnya kerugian itu yang harus juga ditanggung negara adalah Rp 271.069.687.018.700," kata
Bambang. Jumlah itu, imbuh Bambang, merupakan penghitungan kerugian kerusakan lingkungan
dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan. Ia juga merinci penghitungan kerugian dalam kawasan
hutan dan nonkawasan hutan. "Di kawasan hutan, kerugian lingkungan ekologisnya itu Rp 157,83
triliun, ekonomi lingkungannya Rp 60,276 triliun, pemulihannya itu Rp 5,257 triliun. Totalnya saja
untuk yang di kawasan hutan itu adalah Rp 223.366.246.027.050," paparnya. "Dan kemudian yang
nonkawasan hutan biaya kerugian ekologisnya Rp 25,87 triliun dan kerugian ekonomi lingkungannya
Rp 15,2 triliun dan biaya pemulihan lingkungan itu adalah Rp 6,629 triliun. Jadi total untuk yang
nonkawasan hutan APL adalah Rp 47,703 triliun," tambahnya.

Lebih jauh Bambang mendata total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung
sekitar 170.363.064 hektare. Namun luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya
88.900,462 hektare. "Dan dari luasan yang 170 ribu (hektare) ini, ternyata yang memiliki IUP itu
hanya 88.900,661 hektare, dan yang non-IUP itu 81.462,602 hektare," ujar dia.

Penghitungan itu, lanjut Bambang, dilakukan merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
(Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup. "Kami menghitung berdasarkan Permen LH Nomor 7 Tahun 2014,"
ujar Bambang. Pada kesempatan yang sama, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak
Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung, Kuntadi mengatakan angka kerugian kerusakan
lingkungan hidup itu berbeda dengan kerugian keuangan negara. Ia menuturkan jumlah kerugian
negara dalam kasus ini masih dihitung.

Anda mungkin juga menyukai