Anda di halaman 1dari 4

Sekolah bersifat inklusi adalah sekolah dengan pendekatan pendidikan yang

memberikan kesempatan dan akses pendidikan yang sama pada seluruh kalangan tanpa
tebang pilih. Prinsip persamaan kesempatan serta hak pada sekolah inklusi tercermin
pada aturan tidak diperbolehkannya membeda-bedakan secara fisik, emosional, dan
mental terhadap peserta didik. Sekolah inklusi bukan hanya diperuntukkan bagi peserta
didik dengan keterbatasan, tetapi juga bagi seluruh peserta didik. Hal ini sejalan dengan
pandangan pendidikan di Indonesia yaitu tidak membatasi usaha peserta didik dalam
memperolah pendidikan hanya karena perbedaan latar belakang atau perbedaan kondisi
awal (Herawari, 2010). Dalam sekolah inklusi, anak inklusi akan turut serta dalam kelas
reguler atau biasa selama proses pembelajaran dengan teman sebayanya. Semua peserta
didik pada sekolah inklusi diletakkan pada kelas yang sama. Program pendidikan inklusi
bersifat menantang, layak, dan perlu untuk disesuaikan dengan kebutuhan setiap peserta
didik yang dilaksanakan melalui bantuan serta dukungan guru supaya peserta didik dan
tujuan pendidikan berhasil (Stainback dalam Herawati, 2010).
Atas dasar sejumlah pendapat mengenai sekolah inklusi diatas, dapat
dirumuskan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah dengan layanan pendidikan yang
turut menyertakan dan tidak memisahkan anak berkebutuhan khusus sehingga mereka
dapat mengikuti kelas reguler bersama teman sebayanya. Sekolah inklusi memiliki
konsep memberikan kesempatan yang sama pada seluruh peserta didik untuk
mendapatkan hak pendidikan. Dalam pelaksanaan sekolah inklusi juga menyesuaikan
dengan tingkat kebutuhan peserta didik tanpa diskriminasi.
Dewasa ini, penyelengaraan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
diwarnai oleh sistem Pendidikan Nasional. Seperti yang tercatat pada UU RI No. 20
Tahun 2003 pasal 31 mengenai Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
yang menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik
yang mempunyai tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
keterbatasan fisik, mental, emosional, sosial, dan atau mempunyai kecenderungan
kecerdasan serta bakat istimewa. Hal ini didukung oleh terdapatnya Peraturan
Pemerintah RI No, 17 Tahun 2010 pasal 130 ayat 2 yang menyebutkan bahwa peserta
didik dengan kebutuhan khusus dapat mengenyam pendidikan melalui satuan
pendidikan keagamaan, dan/atau satuan pendidikan kejuruan. Secara lebih lanjut,
ketentuan tentang program pendidikan khusus diatur pula dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 pasal 1 mengenai
pendidikan inklusif teruntuk peserta didik dengan keterbatasan dan mempunyai potensi
bakat istimewa dan/atau potensi kecerdasan. Dengan kata lain, pendidikan inklusi
adalah layanan pendidikan yang diadakan untuk seluruh peserta didik yang mempunyai
keterbatasan dan mempunyai potensi bakat istimewa atau potensi kecerdasan untuk
mengenyam pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan atau kelas
yang sama dengan peserta didik pada umumnya. Maka, pelayanan pendidikan untuk
ABK tidak lagi hanya terkhusus di SLB saja, akan tetapi dapat diterapkan pada sekolah
umum atau reguler.
Kesenjangan antara ABK dengan peserta didik normal merupakan permasalahan
yang masih acapkali terjadi pada saat ini. ABK masih saja mendapat perlakuan
diacuhkan atau dijauhi karena dinilai mempunyai pengaruh yang buruk terhadap peserta
didik yang normal. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan karakter, khususnya
karakter peduli sosial dan toleransi, belum tertanam baik pada peserta didik pada
umumnya. Pendidikan saat ini mempergunakan kurikulum 2013 yang mengedepankan 4
aspek. Keempat aspek tersebut yakni pedulu spiritual, sosial, pengetahuan, dan aspek
keterampilan. Selain itu, kurikulum 2013 berfokus untuk mengembangkan serta
menanamkan nilai-nilai karakter.
Pengertian dari istilah karakter dapat dimengerti sebagai nilai dasar yang
membangun pribadi seseorang, terbentuk oleh lingkungan, dan dapat digunakan sebagai
pembeda antara manusia satu dengan yang lain, serta tercermin dalam sikap dan
perilaku dalam kehidupan sehari-hari (Muchlas, 2012). Karakter memiliki sifat melekat
pada individu-individu. Karakter juga memiliki keterkaitan dengan tuhan, sesama
manusia, diri, serta lingkunga yang tercipta dalam perasaan, perkataan, pikiran dan
perbuatan yang berdasar pada norma hukum, tata krama, agama, adat istiadat, dan
budaya (Munir,2010)
Berdasarkan sejumlah keterangan mengenai pemahaman makna karakter diatas
dapat dirumuskan bahwa karakter adalah sekumpulan tata nilai yang tertanam dalam
diri seseorang guna membedakannya dengan orang lain, serta sebagai dasar atau arahan
dalam berpikir, bertindak, bersikap. Apabila sifat yang dimiliki individu atau
lingkungan baik, maka dapat terbentuk karakter yang baik, dan begitu pula sebaliknya.
Pendidikan karakter dipahami sebagai usaha untuk membantu seseorang dalam
memahami, peduli, serta berperilaku dengan berlandaskan nilai-nilai luhur. Tiga pokok
dalam pendidikan karakter ialah mengetahui, melakukan, dan mencintai kebaikan
(Lickona dalam Aisyah, 2018) . Pendidikan karakter juga berupa sebuah usaha
sungguh-sungguh dalam menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai luhur pada peserta
didik (Asmani, 2011).
Dengan mempertimbangkan sejumlah pendapat mengenai pendidikan karakter
pada paragraf-paragraf sebelumnya, dapat dimengerti bahwa pendidikan karakter adalah
sebuah jenis pendekatan mengajar yang dilaksanakan secara sadar dan terorganisir guna
memberi jalan untuk peserta didik memahami nilai-nilai kebaikan dan luhur. Hal ini
diharapkan dapat berdampak positif pada bangsa dan negara.
Nilai dasar karakter peserta didik merupakan landasan dari pendidikan karakter.
Dalam kurikulum 2013 menurut Kemendiknas (2011) , terdapat 18 nilai dasar karakter
yang berusaha ditumbuhkan pada peserta didik. Nilai-nilai tersebut ialah sikap disiplin,
jujur, toleransi, kreatif, mandiri, kerja keras, religius, peduli sosial, rasa ingin tahu,
gemar membaca, semangat kebangsaan, bersahabat/komunikatif, menghargai prestasi,
cinta damai, peduli lingkungan, bertanggung jawab, peduli sosial dan cinta tanah air.
Agar nilai-nilai karakter itu dapat tertanam, maka diperlukan pembiasaan karakter-
karakter tersebut dalam perilaku. Maka, penyisipan pendidikan nilai karakter dalam
mata pelajaran maupun kegiatan pembelajaran diperlukan, baik secara langsung
ataupun tersirat. Terdapat sejumlah indikator pada setiap nilai dasar. Penelitian ini
mengkaji secara khusu pada indikator nilai toleransi dan peduli sosial. Penetapan
indikator ditujukan guna mengestimasi sejauh apa penerapan nilai karakter toleransi dan
peduli sosial pada sebuah lembaga pendidikan.
Menurut Kemendiknas (2011) karakter peduli sosial dapat dicirikan dengan
indikator perilaku seperti membangun kerukunan warga kelas, melakukan aksi sosial,
menyediakan fasilitas kegiatan untuk menyumbang, memfasilitasi kegiatan yang
bersifat sosial, dan berempati kepada sesama teman kelas. Pada karakter toleransi,
Supriyanto (2017) menyatakan tiga aspek yang membentuk karakter tolerasi, ketiganya
ialah aspek menghargai perbedaan dan individu, aspek kedamaian, dan aspek kesadaran.
Menghargai kebaikan orang lain, terbuka, dan reseptif tercakup dalam aspek kesadaran.
Sedangkan saling menghargai dan menghargai diri sendiri tecakup dalam aspek
menghargai perbdeaan dan individu. Aspek terakhir yaitu aspek kedamaian mencakup
cinta, tidak takut, dan peduli.
Tiap dimensi dari sebuah nilai karakter memiliki urgensi yang baik untuk
dimiliki oleh peserta didik. Dengan adanya karakter tersebut, peserta didik dapat
menjadi manusia dengan moral dan budi yang luhur, terutama nilai karakter toleransi
dan peduli sosial. Metode yang dapat ditempuh untuk menanamkan karakter toleransi
dan peduli sosial salah satunya dengan melakukan habituasi serta pembudayaan
karakter-karakter terebut di sekolah. Hasil penilitan Masrukhan (2016) mendukung
metode ini dengan temuan bahwa pendidikan karater peduli sosial mampu dibangun
dengan kegiatan : (1) Infak yang dirutinkan, secara langung diberikan contoh oleh guru,
peneguran siswa yang acuh terhadap temannya oleh guru, menjaga kondisi dengan kode
etik, tata tertib dan poster ajakan yang berhubungan dengan peduli sosial, kerja
kelompok juga dapat dilakukan; (2) Mengintegrasikan materi pembelajaran dengan
karakter peduli sosial; serta (3) membentuk kegiatan untuk sekolah yang disesuaikan
dengan indikator perilaku peduli sosial.
Soryani (2015) mendukung pendapat tersebut dalam temuan penelitiannya yang
mejelaskan upaya menanamkan sikap toleransi pada peserta didik oleh pengajar mampu
dicapai dengan kegiatan rutin, kebijakan sekolah, mengkondisikan kegiatan spontan,
keteladanan, melatih siswa melihat perbedaan sejak dini, mengintergrasikan nilai
pendidikan karakter dalam mata pelajaran, dan membantu melihat persamaan.
Berdasarkan sejumlah pendapat tersebut, penanaman nilai karakter peduli sosial
serta toleransi dapat dicapai melalui pembiasaan dan pembudayaan kegiatan yang
memiliki kedua nilai tersebut. Tujuan dari penanaman kedua karakter ini ialah agar
peserta didik dapat menghargai serta menerima kelebihan maupun kekurangan teman
yang berkebutuhan khusus. Dengan penanaman karakter ini pula anak dengan
kebutuhan khusus akan merasa tidak dibedakan dan mampu menumnuhkan rasa percaya
diri dan semangat menjalani hidup. Penanaman kedua karakter ini dapat dilakukan
melalui pendekatan pengajaran sekola inklusi.
Yogyakarta merupakan kota pelajar dimana ada banyak Lembaga sekolah
maupun perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Salah satu contoh Pendidikan inklusi
yang diterapkan di Lembaga sekolah adalah SD Tumbuh Yogyakarta. Dijelaskan oleh
Luthfi Putri, selaku guru di SD Tumbuh, bahwa karakter peduli sosial yang ada pada
murid SD Tumbuh terkategorikan baik. Dari latar belakang tersebut, pnelitian ini
berusaha mendeskripsikan pendidikan karakter perilaku sosial pada SDN Tumbuh di
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai