Anda di halaman 1dari 11

Musyawarah Perempuan Nasional Untuk Perencanaan Pembangunan

Waktu : Selasa, 18 April

Tempat : Kantor Bupati

Kegiatan musyawarah perempuan nasional hari ke 2 di buka oleh ibu Ulfa dengan menyapa teman-
teman yang hadir secara online.

Hari ini melanjutkan sidang 1 yang belum selesai dan akan dimulai dengan pemutaran 3 video
testimony yang kemarin sempat terkendala pemutarannya dan akan dilanjutkan ddengan
pembahasan isu ke 8 hingga ke 9 .

Tayangan video

 Kupang, oleh ibu Erni. Kami di kabupaten kupang memilki masalah tentang perlindungan
sosial yang hampir sama dengan wilayah-wilayah lain yang ada di Indonesia. Yang
bermasalah sehingga membuat akses perempuan miskin, disabilitas kdan keplompok
marginal lain . bagaimana masalah’’ program perlindungan sosial iukami respon melalui
permberdayaan peremupuan. Kami membuka layanan dalam seminggu itu 5 kali, namun ibu
bapak jangan membayngkan yang melakukan layanan di pos pengaduan mereka yng
bersersagm. Yang melakukan pealayann di po adalah mama akar rumput, yang
pendidikannya, tetapi dari mereka inilah data itu didapat, di desa oubelo mereka
menemukan 1 orang kepala keluarga perempuan yag miskin dia juga disabilitas dan tinggal
beras, karetu kepesaertaan mereka itu di non aktifkan , hal yang sama juga merek atemukan
di desa tanah merah, ada 2 orang keluar, mereka itu adalah penerima program PKH, merea
tidak bisa mencairkan karena, selain itu proses penyaluran atau pencairan bantuian itu
dilakukan di , sementara meeka memiliki keterbatasan fisik, sampai saat ini pos pengaduan
mengadvokasi. Dan pendaan identitas hukum dan juga berkaitan dengan perbaikan
pendataan. Ini adalah moel-model pemberdayaan, ini seharusnya menjadi inovasi
pemerintah untuk memeprcepat pemenuhan ha katas perlindungan sosial bagi perempuan
miskin,kelomppok rentan dan Kelompok margina lainnya, terimakasih
 Aisyah dari pangkep Sulawesi selatan.

Setelah penayangan testimony di lanjutkan dengan pembahasan 2 isu yang tertunda pada hari
pertama musyawarah.

1. Isu ke 8 kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh BaKTI ibu Lusi.
Ibu Lusi menyapa tamu undangan. Ibu Lusi akan emnyampaikan presentasi terkait dengan isu
perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Secara khusus kami manyampaikan
bahwa dalam implementasi program INKLUSI yayasan BaKTI bekerja di 7 kabupaten/kota di 5
provinsi di Indonesia Timur. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan apresiasi kepada
teman-teman mitra secara khusus juga pemerintah daerah dan kabupaten/kota yang sudah
bekerja sama dengan mitra kami di masing-masing wilayah. Kami bekerja di kabupaten Kupang
bersama dengan umedaya Nusantara di kabupaten Lombok Timur dengan LSI, kemudian di Kota
Ambon dengan rumah generasi, di kota Pare-pare dengan LP2M Pare-pare, di tanah Toraja
dengan Yesma dan di Sulawesi Tenggara dengan rumpun perempuan Sultra dan juga di
kabupaten Maros. Saya akan menyampaikan situasi dan kondisi kekerasan terhadap perempuan
dan anak yang saat ini kalau kita lihat data terus menerus meningkat dari tahun ke tahun baik itu
data yang dikumpulkan oleh Komnas Perempuan maupun juga data kementrian pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak. Kalau kita lihat data-data ini, salah satu bentuk kekerasan
seksual yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun itu adalah kekerasan seksual terhadap
perempuan, anak termasuk penyandang disabilitas. Dari data-data ini mengapa kemudian
kekerasan semakin meningkat ? maka salah satu yang menjadi penyebab adalah persoalan
budaya patriarki, sama dengan isu-isu lainnya bahwa budaya patriarki juga masih menjadi
permasalahan didalam meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Begitu juga
pemahaman dalam masyarakat, masih banyak persoalan-persoalan yang turut timbul, karena
memang banyak kasus-kasus kekerasan yang kemudian tidak terlaporkan atau orang enggan
melapor karena masih ada stigma terhadap korban, khususnya korban-korban kekerasan
seksual. Selain itu juga, masyarakat banyak yang belum mengetahui kemana mereka akan
melapor karena jarak yang jauh misalnya kalau dari desa ke kabupaten untuk mendapatkan
layanan maka ini juga masih menjadi tantangan selain itu juga belum tersedianya layanan-
layanan di tingkat terdekat dari komunitas, misalnya ditingkat desa atau di tingkat kelurahan, ini
yang kemudian menjadi salah satu tantangan didalam korban atau masyarakat melaporkan
kasu-kasus yang terjadi. Selain itu juga akses, misalnya akses untuk mendapatkan layanan
misalnya transportasi, kemudian jarak yang masih jauh. Ini juga yang menjadi persoalan apalagi
kadang kala untuk penanganan kasus itu dibutuhkan biaya yang begitu besar untuk misalnya
bolak-balik melapor, kemudian diambil keterangan, pemeriksaan saksi dan seterusnya. Jadi
masih ada persoalan-persoalan di tingkat masyarakat yang masih menjadi permasalahan
sehingga orang sub melapor atau ketika dia melaporkan kasusnya tidak tertangani dengan baik,
sehingga kemudian hal-hal ini yang kemudian menjadi juga reseden buruk bagi keinginan orang
untuk melapor, sehingga kadang kala orang mengatakan bahwa daripada saya melaporkan tidak
di respon mending saya diam saja. Belum lagi dukungan keluarga yang masih sangat kurang.
Khususnya untuk kasus-kasus kekerasan seksual banyak yang akhirnya diselesaikan secara
kekeluargaan, bahkan banyak kasus yang kemudian korban dinikahkan dengan pelaku karena
untuk alasan menutup aib. Aib ini bisa karena adat istiadat, budaya bisa juga karena pemahaman
agama untuk menghindari perzinahan dan seterusnya. Permasalahan pada lembaga layanan
disetiap daerah itu masih banyak sekali daerah yang belum memiliki lembaga layanan. Misalnya
LBH atau lembaga-lembaga layanan yang focus pada isu-isu perempuan dan anak itu masih
sangat terbatas. Umumnya mereka hanya berada pada ibukota provinsi. Selain keterbatasan
layanan juga keterbatasan sumber daya. Sumber Daya Manusia misalnya terkait dengan
kapasitasnya juga termasuk sumber daya pendamping korban, ini juga masih sangat kurang
meskipun juga banyak lembaga-lembaga yang sudah melatih pendamping-pendamping ditingkat
komunitas tetapi itu belum merata pada seluruh wilayah. Kemudian ada perubahan dari dulunya
layanan di pemerintah itu P2TP2 menjadi UPTD PPA, perubahan ini kadang kala dipahami oleh
pemerintah di kabupaten/kota untuk bermitra dengan lembaga layanan. Kalau dulu d P2TPA
lembaga layanan ini bisa masuk kedalam struktur kepengurusan P2TP2A, tetapi dengan struktur
UPTD PPA sekarang ini yang pemahaman ditingkat daerah masih sulit untuk mengintegrasikan
lembaga layanan di dalam layanan UPTD PPA. Sehingga kemudian salah satu yang penting untuk
kita lihat adalah bagaimana agar pendampingan di komunitas ini bisa optimal, agar korban-
korban yang ada di tingkas desa dan kelurahan itu memiliki tempat untuk melaporkan kasusnya
ketika mereka mengalami kekerasan. Selain itu juga, ini untuk mengatasi akses terhadap
kabupaten/kota jadi setidaknya ada dulu layanan yang tersedia di tingkat komunitas, sehigga
persoalan mereka bisa langsung ditangani pada saat itu, karena untuk kasus-kasus kekerasan ini
memang butuh respon yang cepat. Kemudia juga pendamping-pendamping ini atau layanan di
tingkat komunitas ini bisa menjadi sarana untuk merujuk ke layanan tingkat kabupaten/kota
yaitu di UPTD PPA, tetapi memang didalam penanganan kasus atau pengadaan LBK, pelayanan-
layanan di tingkat desa/kelurahan ini juga memang perlu dipikirkan karena juga masih perlu
dukungan pemerintah khususnya dukungan pemerintah desa. Begitu juga dengan penanganan
kasus litigasi melalui proses hukum, misalnya .laporan ke kepolisian kemudian penuntutan di
kejaksaan dan pemeriksaan di sidang pengadilan ini juga masih sangat terbatas khususnya untuk
kasus-kasus kekerasan seksual. Meskipun sebenarnya sudah ada Undang-Undang TPKS, tetapi di
dalam implementasinya berdasarkan pengalaman teman-teman yang bekerja untuk layanan bagi
pendamping kurang lebih sudah 1 tahun undang-undang ini dtitetapkan, disahkan tapi kemudian
masih banyak persepsi yang berbeda dari aparat penegak hukum tentang implementasi dari
Undang-Undang TPKS ini. Ada daerah yang sudah bisa menerapkan tetapi ada daerah misalnya
kepolisiannya tidak bisa menerapkan, jadi misalnya kalau korbannya anak maka mereka masih
menggunakan Undang-Undang perlindungan anak. Begitu juga kalau korbannya dewasa mereka
masih menggunakan KUHPidana, sehingga ini yang juga menjadi tantangan di masyarakat,
khususnya di penegakan hukum karena pemerintah ataupun juga aparat penegak hukum itu
senantiasa menganggap masih membutuhkan kebijakan-kebijakan turunan, sementara progress
untuk penyusunan kebijakan turunan itu juga samapai saat ini baru dimulai sehingga itu juga
masih butuh proses yang cukup panjang. Jadi dengan adanya undang-undang ini tidak otomatis
implementasi tentang penanganan kasus-kasus kekerasan seksual khususnya daerah-daerah
yang jauh dari pusat informasi itu bisa diimplementasikan oleh aparat penegak hukum. Begitu
juga persektif dan kapasitas aparat penegak hukum didalam menerapkan nantinya Undang-
Undang TPKS, karena masih banyak yang juga masih sangat mengacu pada hukum acara pidana
yang ada dalam KUHP, padahal di Undang-Undang TPKS ini hukum acaranya itu juga sudah lebih
longgar, lebih luas diangkut daripada didalam hukum acara pidana. Kemudian permasalahan
UPTD PPA, kami bersama mitra di 7 kabupaten/kota saat ini sedang melakukan penguatan
pembentukan dan penguatan UPTD PPA. Pembentukan UPTD PPA ini tidak mudah karena ini
juga melalui proses yang panjang, dari tingkat kabupaten kemudian koordinasi ke tingkat
provinsi, lalu juga ke Kemendagri, ke Kementrian pemberdayaan perempuan dan anak, dan
seterusnya. Ketika misalnya tidak ada pendampingan yang kuat dari pemerintah provinsi
terhadap kabupaten/kota maka ini prosesnya akan lambat, dan sampai sekarang kalau kita lihat
dari data yang ada baru kurang lebih setengah dari kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki
UPTD PPA. Mesikpun mereka juga sudah membentuk UPTD PPA tetapi dari implementasinya itu
juga masih sangat terbatas, misalnya anggarannya, meskipun sebenarnya kalau kita lihat sudah
ada dukungan misalnya dana alokasi khusus dari APBN tetapi kadang kala kapasitas UPTD di
daerah itu kadang kala juga masih sangat terbatas, misalnya didalam pendokumentasian kasus
padahal sebenarnya dokumentasi kasus didalam simponi itu yang menjadi indicator
diberikannya dana DAK, kalau UPTDnya tidak mendokumentasikan kasusnya melalui simponi
ataupun juga mereka kesulitan untuk mendapatkan data atau informasi dari korban maka ini
juga yang menjadi tantangan sehingga belum tentu dana alokasi khusus yang disediakan itu bisa
diakses oleh UPTD. Belum lagi tantangan lain misalnya sekarang ini kelihatannya dinas DP3A di
kabupaten/kota itu digabungkan dengan dinas-dinas lain. Ini juga yang semakin mengurangi
alokasi anggaran yang sebenarnya sudah kurang, yang pada saat DP3A nya berdiri sendiri itu
sudah kurang anggarannya, setelah digabung itu tentu akan lebih kurang lagi. Saya kira ini juga
akan berpengaruh pada UPTD PPA yang ada termasuk DP3A didalam menyusun kegiatan
ataupun menangani kasus-kasus kekerasan. Belum lagi kalau bicara tentang perspektif INKLUSI,
misalnya ada keterbatasan soal tenaga professional, masih banyak daerah yang tidak memiliki
psikolog, masih banyak daerah yang belum memiliki juru Bahasa isyarat, sehingga bagaimana
kemudian korban-korban kekerasan seksual yang difabel, ini bisa kasusnya ditangani kalau tidak
tersedia fasilitas, infrastruktur dan juga akomodasi yang layak bagi difabel didalam melaporkan
kasus-kasusnya jadi kemudian banyak yang kasusnya berhenti karena pihak kepolisian tidak bisa
menerjemahkan misalnya keterangan korban kedalam BAP atau juga dari segi pembuktian itu
juga terkendala. Ini saya kira tantangan-tantangan ini juga perlu kita lihat, termasuk sebenarnya
SOP, SOP UPTD PPA ini juga perlu dikuatkan, karena juga daerah atau kabupaten/kota juga
memiliki keterbatasan dalam menyusun SOP yang responsive gender, ramah anak dan inklusif.
Saya kira memang pendampingan dari provinsi maupun kementrian harus intens dilakukan,
sehingga SOPnya bisa ditetapkan dan bisa diterapkan untuk pelaksanaannya. Memang usulan-
usulan kami terkait dengan isu kekerasan terhadap perempuan dan anak ini adalah agar semua
kabupaten/kota ini membentuk UPTD PPA, pembentukkan ini tentu juga diharapkan sejalan
dengan program dan anggaran, jadi bukan hanya terbentuk secara struktur tapi juga dengan
program dan anggaran termasuk SOP yang akomodatif bagi, misalnya tadi perempuan, anak dan
difabel, kemudian juga layanan-layanan berbasis komunitas yang sudah dibentuk di tingkat desa
dan kelurahan itu juga diharapkan bisa terintegrasi dengan layanan UPTD PPA jika UPTD PPA
tidak bisa membentuk sendiri di kabupaten/kota, sehingga memang perlu keterbukaan untuk
kerja sama dengan lembaga-lembaga layanan bersama dengan pemerintah. Begitu juga dengan
alokasi dana desa, saya kira memang melalui DRPPA ini juga bisa menjadi salah satu cara untuk
mengalokasi anggaran bagi penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
di tingkat desa. Terkait juga dengan peningkatan kapasitas penyedia layanan, secara khusus bagi
pihak-pihak atau sector-sektor yang bekerja untuk layanan bagi perempuan dan anak korban
kekerasan. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan, sekian dan terima kasih selanjutnya
mendengarkan 4 testimoni dari daerah terkait situasi dan kondisi kekerasan terhadap
perempuan dan anak
1. Kendari oleh ibu Husnawati. Adalah penyebab tingginya, juga semkain banyak pihak
yang menyediakan layanan. Sehingga korban tidak mendapat layanan public malahan
mendapat stigma negative. Namun kenyataannya pemerintah pusat mengubah. Salah
satu kasus yang masilh mengalami, pasca disahkannya uu tpks. APH itu masih, selain
tantangan AP, misalnya konseling. Bik ketersediaan fasilitasnya. Dan tidak dibarengi
dengan, dan hukuman bagi pelaku. Untuk penanganan korban. Hal ini juga sudah mulai
dikerjakan oleh, Kelompok ini menjadi . tersedianya. Oleh karena itu, program sehingga
pencegahan dan pendampingan, yang menjangkau. Akhir kata
2. Papua Selatan oleh ibu Rini lestari.
3. Pulau Morotai ibu Ona Djangoan.
4. Kepala dinas DP3AK jawa Timur.

Ibu Ulfa mengajak tamu undangan memberikan tepuk tangan untuk presentasi yang dibawakan oleh
BaKTi. Sebelum masuk sesi ke 9 kita akan mendengarkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak
yang sejak kemarin disebut. Selanjutnya sesi 9 dari PKBI dipersilahkan.

2. Isu 9 perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum oleh PKBI.
Sambutan dan salam dari PKBI, akan menceritakan tentang pengalaman ketika sampai saat ini
kami mendampingi warga atau perempuan di lapas di dua provinsi dan presentasi saya dipagi
hari ini lebih ke bercerita saja, sebenarnya PKBI untuk pendampingan, untuk APH kami memang
sudah berproses kurang lebih 10 tahun dari tahun 2012 namun untuk perempuan di lapas kami
masih belajar kerena ini baru tahun ke dua kami beraktivitas dan melakukan pendampingan
disana. Dalam presentasi pagi ini, saya akan menyampaikan ini melalui video presentasi, jadi
nanti akan ada video yang diputar dan ada beberapa hal yang akan di higtlight juga tapi sebelum
video ini diputar yang perlu saya sampaikan adalah saya perempuan dan tahun kemarin pertama
kali mengunjungi lapas perempuan, dan sungguh berharga juga kebetulan saat itu adalah hari
ulang tahun saya untuk dapat kesempatan berkunjung kesana dan berdialog dengan rekan-rekan
kita yang ada disana. Satu mungkin fakta yang juga akan kami sampaikan melalui presentasi ini
adalah kami menyampaikan tentang data apa yang kami lakukan di PKBI selama 2 tahun ini, tapi
kami juga menyampaikan beberapa studi yang kami lakukan. Jujur saja PKBI juga sangat belajar
dengan proses ini, apa fakta pertama yang kami temukan adalah itu sangat sedikit kami
menemukan kajian studi terkait dengan perempuan di lapas dibandingkan dengan laki-laki di
lapas, itu untuk mencari datanya luar biasa dan akhirnya saya dapat memunculkan itu dengan
mengambil data-data yang tidak hanya dari Indonesia. Kami perlu untuk belajar dan melihat
jurnal, baik itu jurnal hukum, jurnal gender, terkait dengan perempuan dilapas. Oleh karena itu
saya minta kepada panitia untuk bisa memutar video presentasinya sambil saya juga akan
menghigtlight beberapa hal terkait tantangan-tantangan baik yang kami temukan maupun dari
jurnal-jurnal tersebut yang saya sajikan dalam presentasi ini. sambil menunggu videonya, satu
juga yang kita lihat bahwa penjara saat ini itu memang dibuat sangat maskulin sedangkan kita
sangat mengetahui bahwa perempuan itu memiliki yang sangat variatif. Perempuan dan anak
yang berhadapan dengan hukum ini adalah pengalaman PKBI mendampingi warga binaan atau
masyarakat perempuan di lapas perempuan di Bengkulu dan juga di Semarang. Ini adalah data
umum yang kami dapat data kami pada saat ini per April 2023 di Semarang itu ada 257 WBPP
dengan klasifikasinya ada 4 orang lansia, ada 2 ibu hamil, ada 2 ibu menyusui dan ada 1 anak
juga yang baru lahir, dan ini yang di Bengkulu ada 93 WBPP, lansia 15 orang, 1 hamil, ada usia
anak 1 orang kemudian ada ODHIV 1 orang, berbalita 1 orang, dan dari data yang kami lihat itu
bahwa kasus yang paling banyak itu adalah yang berkaitan dengan narkotika. Ini adalah analisis
masalah yang kami lihat baik dari apa yang kami temukan di lapangan maupun dari jurnal yang
telah kami catat :
1. Yang pertama stereotype
2. Kekerasan juga kami temukan disana, belum lagi bias gender juga terjadi disana
3. Terbatas layanan dasar
4. Beban ganda
5. Kemiskinan

Ini hal-hal penyebab yang kami lihat. Pertama terkait dengan realasi kuasa, kemudian gender
memperkuat stigma sehingga rentan penolakan dan penyedia layanan ketika mereka datang.
Belum lagi juga ada kebijakan-kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap perempuan dan
terbatasnya juga dukungan bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum (paralegal) untuk
perempuan itu masih minim dan pos pengaduannya masih terbatas.

Untuk strategi mengatasi masalah yang telah dilakukan. Yang pertama adalah organisasi
kesehatan khususnya kespro itu adalah pendekatan pertama yang kami lakukan, terutama
lakukan pemberdayaan bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum, ini yang kami lakukan
konseling individu dan juga konseling Kelompok untuk pemulihan dan membangun kembali nilai
positif bagi mereka, karena kebanyakan dari mereka adalah jiwa menutup diri, kemudian adanya
KDS. Kemudian strategi mengatasi masalah yang telah dilakukan mempersiapkan integrase sosial
bagi WBPP yang bisa diterima kembali oleh keluarganya, yang ketiga yaitu melakukan advokasi
untuk pemenuhan layanan dasar dan perlindungan bagi WBPP. Kemudian memperluas jejaring
dengan lembaga pelatihan kerja untuk memperkuat bengkel kerja di LPP serta meningkatkan
keterampilan dari LPP yang berguna selepas keluar dari LPP, jadi menyediakan beberapa
fasilitas, bekerja sama dengan pihak swasta, kemudian merekabulasikan dan juga ada di
Semarang sudah bekerja sama dengan salah satu perusahaan disana dia tetap dapat bekerja
disana, karena dari data kami melihat bahwa ada WBPP itu juga sebagai kepala keluarga tapi dia
berada didalam. Berikut usulan yang kami lakukan, pertama kolaborasi dengan pemerintah dan
intitusi pendidikan untuk memastikan adanya kebijakan inklusi bagi WBP mengacu pada
Bangkok rules dan Beijing 25+, dan kita juga melihat saat ini ABH perempuan itu masih
ditempatkan didalam lapas perempuan belum berada dalam lapas anak atau LPKA (Lembaga
Pemulihan Khusus Anak) sehingga otomatis anak perempuan tersebut tidak mendapat layanan
pendidikan, karena sudah beda tempatnya dan saya harus stop disitu terlebih dahulu dengan
setelah ini dilanjut dengan pemutaran testimony dari teman-teman WBP.

1. Dari Jateng, Semarang


2. Dari Bengkulu

Itu adalah 2 testimoni dari teman-teman kita yang di Bengkulu dan di Semarang, dan saya juga
ingin menambahkan sedikit ini juga dari jurnal yang kami dapatkan, data kesehatan dari
International Health itu menyampaikan juga ternyata penyakit yang paling banyak diderita oleh
teman-teman kita yang ada di lapas itu adalah yang pertama 69% itu adalah sakit kepala,
kemudian ada sakit nyeri punggung ada beberapa yang terkait dengan flu tapi sisanya itu bisa
dibilang seperti berkaitan dengan kesehatan reproduksi bagaimana mereka akhirnya ada
permasalahan dengan waktu atau periodnya mereka yang kadang datang kadang tidak yaitu
mungkin penyebabnya stress tadi, kemudian vagina building. PKBI yang memang kami bergerak
di organisasi kesehatan khususnya kespro itu yang dapat kami lakukan, baik itu bekerja sama
dengan sector kesehatan yang ada dilokasi, dengan puskesman kemudian dengan hospital yang
ada disana, tapi juga dengan klinik-klinik yang PKBI lakukan. Dua layanan yang kami lakukan rutin
itu, yang pertama koordinasi khususnya melalui konseling, konselor di PKBI dan juga yang kedua
klinik kami melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin khususnya seperti papsmir, ivo itu
kami lakukan disana. Saya rasa ini cukup untuk presentasi kami di PKBI setelah ini kami akan
mendengarkan 1 lagi rekan kami yang cukup jauh dari Sulut, akan ada satu lagi pemaparan dari
narasumber kita dari kepala UPTD PPA Sulut.

Selanjutnya kita akan masuk kedala sesi penajaman dari sesi 8 dan 9, saya akan membuka
meminta kepada bapak dan ibu jika ada yang ingin memberikan usulan-usulan untuk penajaman
di topik kita.

1. Ibu Ratna Bataramunti dari Asosiasi LBH APIK Indonesia, sebuah organisasi yang menaungi
18 kantor LBH-LBH APIK di 18 provinsi, kita ada di Aceh dan juga di Jayapura. Saya mungkin
ingin mempertajam dari isu sama perempuan berhadapan dengan hukum khususnya terkait
problem dari UPTD PPA yang kami tangkap selama pendampingan dilapangan dan juga
berdasarkan beberapa riset yang terakhir riset yang dilakukan oleh invit yang kebetulan kami
terlibat didalamnya itu kami melakukan dengan sekitar 7 sampai 10 UPTD dari berbagai
provinsi yang sangat dikeluhkan adalah pertama-tama minim SDM bahkan ada UPTD yang
tenaganya hanya 5 orang dan juga anggaran yang sangat sedikit dan juga terakhir adanya
DAK dari ibu Menteri yaitu dana alokasi khusus terlalu sulit untuk diakses, problemnya
adalah juga karena sebenarnya sudah lama dari kami yang dari lembaga layanan berbasis
masyarakat. Jadi sejak ada Permen dari tahun 2018 yaitu perubahan dari P2TP2A menjadi
UPTD PPA itu memang terjadi birokrasi, jadi yang semuanya dibentuk langsung oleh UPTD
PPA padahal tidak semua UPTD PPA yang mampu merekrut tenaganya, padahal dulu di
tahun 2010 itu namanya P2TP2A itu memungkinkan adanya integrasi layanan dengan
pemerintah dan juga mengefektifkan PPD berbasis rumah sakit, sebenarnya itu efektif
adalah berbasis rumah sakit karena korban itu datang ke rumah sakit tapi kemudian layanan-
layanan lain langsung bisa datang kelokasi tersebut untuk memberikan layanan. Jadi
problemnya yang kedua adalah dengan adanya UU TPKS kita harus menuju ke One Top
Service, jadi layanan terpadu dan terintegrasi, jadi bukan korban yang diajak keliling
sekalipun ada mobil dari PPA tapi itukan, yang harusnya one top servicenya di satu lokasi,
bisa berbasis rumah sakit yang disitu lengkap ada layanan terutama juga layanan dari
kepolisian. Karena ini akan selalu jadi dilema, dimana satu sisi korban butuh pemulihan tapi
disisi lain penegakan hukum melakukan, mengumpulkan barang bukti yang seringkali
menjadi dilemma akhirnya akses keadilan bagi korban kekerasan itu tidak terjadi karena
lama prosesnya karena tadi itu. jadi kedepan saya kira kita sedang berada dalam Perpres
UPTD PPA, kita harus memperjuangkan agar perpres ini benar-benar responsive, benar-
benar mengatur layanan yang terpadu, terintegrasi di satu lokasi dan juga yang berbasis
komunitas, karena banyak sekali dari Morotai dari mana-mana itu bagaimana mereka
mengakses UPTD yang itu hanya dikota-kota di kabupaten dan juga provinsi. Kita harus
punya yang berbasis sampai di bawah, mengefektifkan puskesmas, pos-pos kesehatan dan
kami dari CSO kita sudah mengajukan KPPA, draft kami ini sedang kami perjuangkan supaya
benar-benar merespon persoalan yang terjadi saat ini. kemudian yang kedua terkait PBH ini
memang sayang sekali, kita hanya melihat korban dalam tanda kutip yang dimuka hukum dia
sebagai korban, karena kita tau, banyak sekali korban kekerasan bias gender yang kemudian
di depan hukum dia sebagai tersangka atau dia sebagai pihak yang misalnya dalam kasus-
kasus perdata, menyelesaikan kasus KDRT misalnya itu melalui jalur . tapi dia tuh harusnya
tetap sebagai korban tetap harus dihitung dan juga tetap harus bisa mendapatkan haknya.
Jadi saya kira mungkin kedepan soal PBH ini benar-benar bisa masuk kedalam semua
pendataan dan juga akses layanan. Jadi jangan sampai kita menganggap yang hanya
tersangka itu pasti pelaku, padahal kasus-kasus kita dilapangan perempuan KDRT di
dilaporkan kembali, atau perempuan yang dilaporkan atas pencemaran nama baik, jadi itu
sebelum adanya UU TTPKS, tapi sampai sekarang UU ITE itu tidak dihapus jadi masih tetap
menjadi ancaman yang menjerat korban-korban dari kasus-kasus yang berbasis online. Saya
kira kita harus memperhatikan soal mendefinisikan kembali bahwa tersangkat atau pihak
misalnya harus kembali kepada PBH, perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah
bisa jadi korban, bisa jadi dia tersangka dan bisa jadi dia pengguggat atau tergugat. Nah itu
harusnya kita konsisten, UPTD PPA maupun pendataan simponi hamper semua yang kita
lakukan itu harus melihat PBH secara utuh jadi bukan hanya mereka yang korban dalam
tanda kutip korban dari tindak pidana. Terima kasih.

Terimakasih, saya mencatat ada 3 point besar nanti mungkin bisa saya sampaikan, masih ada
penanya

2. Ibu Rina Prasarani dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia karena ini terkait dengan
kekerasan seksual dan juga perlindungan hukum, dari sisi penanganan itu sendiri informasi
untuk penyandang disabilitas itu masih belum, bagaimana prosesnya bagaimana cara
pelaporan dan bagaimana dia bisa terlindungi hak-haknya, itu perempuan penyandang
disabilitas sangat rentan tercabut haknya, mulai dari pencegahan informasi-informasi yang
diberikan tidak aksessebel, Bahasa-bahasa yang digunakan tidak mudah untuk penyandang
disabilitas intelektual misalnya untuk mengerti ataupun penyandang disabilitas tentang
perkembangan. Dalam proses penanganan, mulai dari pelaporan misalnya tidak ada system-
sistem yang mempermudah, seperti misalnya system jemput bola karena perempuan
penyandang disabilitas itu banyak sekali yang memang mereka tidak punya akses untuk
keluar, dank arena tidak punya akses untuk keluar dia juga tidak punya mitra ataupun kawan
atau siapapun yang bisa dia mintakan untuk diberi kuasa untuk pelaporan tersebut dan
selama ini juga ada saluran-saluran yang digunakan untuk meng aksessembel laporan awal
128 ataupun saluran 110 itu tidak aksesebel untuk teman-teman yang tuli misalnya, jadi
memang platform-platform untuk pelaporan harus disediakan dalam bentuk yang bervariasi
sehingga semua peragaman perempuan di Indonesia bisa akses untuk pelaporan tersebut
dengan cepat, mudah dan terjangkau. Tahun 2010 sepertinya ada SK menteri tentang pusat
informasi, layanan komunikasi penyandang disabilitas yang tadinya ini memang di
integrasikan dengan P2TP2A, namun dalam implementasinya ini masih belum berjalan
sampai sekarang sudah berganti dan ini sangat penting sekali dimana teman-teman yang
untuk penanganan kasus-kasus kekerasan seksual ataupun perempuan disabilitas yang
berhadapan dengan hukum harus paham betul tentang bagaimana cara memberikan akses
kita bagi perempuan penyandang disabilitas. Visum gratis untuk perempuan korban
kekerasan ini masih belum semua daerah gratis jadi harus ada satu upaya untuk tidak boleh
ada lagi daerah yang tidak memberikan alokasi dananya untuk visum gratis bagi korban
kekerasan seksual karena ini sangat penting sekali, sehingga harus bisa dilakukan di awal
pelaporan, dan perempuan penyandang disabilitas kami harapkan sama kedudukannya di
lapangan di depan hukum, baik dia sebagai korban maupun saksi dan kesaksiannya harus
dapat diterima sehingga sesuai dengan PP Nomor 39 tahun 2020 tentang akomodasi yang
layak bagi penyandang disabilitas di peradilan itu harus langsung dilakukan penilaian
terhadap pelapor, dimana personal ini untuk mengidentifikasi seorang penyandang
disabilitas agar aksesibilitas dapat terpenuhi selama proses peradilan. Bukan menentukan
apakah kesaksiannya bisa diterima atau tidak. Yang terakhir yang kemarin sudah sempat
saya sampaikan adalah mengenai aborsi aman untuk korban kekerasan seksual ini belum
ada mekanisme siapa yang akan menanggung biayanya. Itu saja terimakasih.
3. Ibu Atas mengucapkan terima kasih, saya bukan ingin bertanya tapi ingin menandaskan
bahwa pertama saya terimakasih sekali kepada pihak bapenas dan KPPA dan seluruh CSO
perempuan menyelenggarakan acara ini karena sangat-sangat penting kita bersama-sama
dua hari ini diberi kesempatan untuk bersama membuat langkah-langkah apa kedepannya,
karena benar sekali kita tidak ada kemajuan, selama ini kita menulis dalam laporan-laporan
ke UM akhirnya kita melihat bahwa kemajuan implementasinya hampir tidak ada. Jadi kami
sangat mengharapkan juga tadi teman-teman mengatakan ada Undang-Undang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual, kemudian UPTD tadi itu mohon seperti PKBI itu sudah sejak tahun
57 kita, jadi mohon di ikutsertakan dari banyak CSO lain yang sudah selalu menerima
pengaduan maupun pelayanan, pendampingan itu harus diikutsertakan tidak bisa hanya
UPTDnya saja, dan juga tingkat desa selama ini kita melihat selalu tingkat kabupaten padahal
terjadinya di desa-desa. Jadi mohon ini menjadi perhatian dan sekali lagi untuk remaja,
Cuma remaja 25 juta betapa yang setengahnya adalah remaja putri yang begitu mereka itu
relasi kuasa yang selalu masih takut sama pacarnya harus kita ajarkan dua-duanya tentunya.
Laki harus respect kepada perempuan dan perempuan harus tau negosiasi dan sebagainya.
Terimakasih Leonora, dan terimakasih untuk semuanya.

Mba Leonora mengucapkan terima kasih kepada ibu Atas dan kepada teman-teman semua yang
sudah memberikan masukan penguatan untuk topik 8 dan 9 ini dan kami dari panitia juga masih
menyediakan waktu untuk menuliskan didalam metaplane jika masih ada usulan-usulan
penguatan, ada alat tulisnya di meja masing-masing silahkan, boleh untuk menulis disana dan
nanti dapat diserahkan kembali ke panitia karena setelah sesi siang nanti kami akan
merumuskan semua usulan-usulan ini, penajaman-penajaman ini untuk semua yang sudah kita
bahas disidang 1 dari kemaren sampa hari ini ada 9 topik. Itu saja sepertinya dari saya, dari sesi
sidang 1 ini. Mba Leonora mengajak tamu undangan untuk bertepuk tangan.

Ibu Ulfa menyatakan bahwa kita sudah mengakhiri 9 isu di sidang pertama dan mengajak tamu
undangan untuk bertepuk tangan. Kita akan segeran mendengarkan pemaparan dari ibu Deputi
kesetaraan gender untuk Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, kita tepuk tangan untuk ibu
Leni R rosalin, silahkan ibu.

Ibu Deputi memberikan salam dan mengucapkan terima kasih kita masuk pada sesi menjelaskan
tentang Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang merupakan inisiasi dari
kementrian PPPA, waktu itu kita datangi dengan MOU dengan kementrian desa pembangunan
daerah tertinggal dan transmigrasi pada tahun 2021 eksekusinya dimulai pada tahun 2022 dan
saat ini banyak sekali desa-desa dan kelurahan yang juga sudah melakukan secara mandiri, kita
punya banyak sekali masalah tapi kita juga punya banyak sekali regulasi dan kita juga punya
banyak sekali target-target. Dari kemaren kita bicara tentang target-target yang harus dicapai ,
dan semua dari sesi isu 1 sampai isu 9 yang baru saja selesai itu kita melihat banyak sekali
permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak, kalau kita kelaskan sementara menjadi 9 isu,
tapi didalam 9 isu itu sendiri sebenarnya masih ada banyak isu-isu lainnya. Bagaimana isu itu dan
bagiamana dengan adanya regulasi yang banyak tersebut dan bagaimana juga kita harus
mencapai target-target baik itu yang ditetapkan secara global maupun yang ditetapkan oleh
pemerintah negara. Bapak Presiden sekarang memberikan 5 Arahan, kemarin juga sudah
disampaikan oleh ibu menteri. 5 arahan ini sebenarnya yang pertama adalah bagaimana kita
menjawab isu tentang ekonomi perempuan dibidang kewirausahaan, yang kedua bagaimana
sebetulnya peran dari ibu dan keluarga dalam pengasuhan dan pendidikan, yang ketiga
kekerasan terhadap anak, kemudian anak yang bekerja atau pekerja anak disini Pemberdayaan
perempuan

1. Peningkatan peran ibu dimungkinkah jika paud yang beroperasi 2 jam sekali untuk anak-
anak, dimungkinkah mereka membuka jam operasionalnya berdasarkan jam kerja orang
tuanya. Tidak boleh ada 1 anakpun yang tidak mengasuh, yang paling dekat orang tua anak
itu berada. Jika. Menjadi perhatian di pemda provinsi, yang tertinggi Sulawesi barat.
2. Untuk DKRPPA nya punya 5w +1h. pada saat kami mengembangkan jumlah desa ada jadi
inilah yang menjadi tumpuan kita, data dasarny adalah, dari masing-masing provinsi kami
kembangkan ke dalam, yang dalam perjalannya provinsinya bertambah, kabupaten/kota
bertambah. Arahan ibu menteri,. Mengapa DKRPPA penting diwujudkan, kita tentunya
harapannya bisa meraih, untuk siapa, fous utamanya adalah untu bagi perempuan dan anak,
tapi pastinyaperempuan tidak bisa melakukan semuanya sendiri terlebih ada entity keluarga
disana. Akan terus berkembang mengikuti leveling. Prinsip yang harus dilakukan pada saat
mengembangkan. Implementasinya. Bagaimana mewujudkannya, ada 5 hal dan yang harus
melakukannya adalah dari desa yang bersangkutan, peran dari pendamping desa, mengajak
peran kuncinya juga berada dari peran pemerintah kabupaten/kotanya. Itu yang jadi tiap
tahun kita review, kita evaluasi. Siapa yang terlibat, tentunya semua stockholder terutama
perangkat desa, misalnya dari himpunan perempuan disabilitas. Kita membka akses untuk
perempuan disabilitas untuk bisa membuka akses. Bagaimana desa bisa mengidentifikasi
dan memiliki data untuk, sehingga memerlukan interfensi yang berbeda-beda. Koordinasi
kelembagaannya, kerangka kerja , tentunya ini seklai lagi proses in harus kuat. Peran
partisipasi masyrakat. Pemantauan dan evaluasi.
10 indicator dari DKRPPA. Bagaimana desa-desa yang menjadi binaan inklusi. bagaimana
merespon isu-isu yang.
Sumber pembiayayan disana bagaimana bisa merespon isu-isu yang dihadapi perempuan
dan anak di des, ika tadi kita menggunakan asumsi perempuan dan anak, kekuatan yang
harus di bangun. Untuk memperkuat leadership perempuan di desa bisa kita tonjolkan. Dan
juga teman-teman cso, kekerasan, intinya tidak boleh ada kekerasan. Kepala desa ataupun
pak lurah ingin mengebangkan menjadi desa, pengelomppokan ini, untuk membuat desain,
apabila kita kaitkan dengan keluarga maka income keluarga akan meningkat. Terkait dengan
pengasuhannya akan lebih baik, dan pada ujung terakhirnya bisa menurunnya pekerja anak
turun. Mikta adalah, ipm akan naik. Ikg (indeks ketimpangan gender).

Ibu Ulfa membuka sesi tanya jawab


1. Kak Lusi, mengucapkan terima kasih, kalau kita melihat kebijakan kewenangan desa,
sehingga ini juga menjadi tantangan desa untuk membuat kebijakan-kebijakan, di
program inklusi, mendorong desa inklusi, kami mengintegrasikan 10 indikator drppa,
apakah ini bisa memungkinkan. Bagaimana sinergitas antar sector ini ? kementrian desa
dengan kemetrian.
Terkait dengan, tantangan di daerah aldalaha terkait keberadaan pendamping.
Sementara kita menujuk kepada undang-undang bantuan hukum. Menggunakan kata
pendamping. Tapi tetap ketika mereka sudah dilatih oleh, ketika mereka akan
mendampingi, sehingga legitimasi kartu pendamping, ini harus menjadi kesadaran,
ternyata di uptdnya tidak bisa sebanyak ini, karena inisiatif masyarakat sipil, dari.
2. Nini Sigad mengucapkan terima kasih, terkait drppa ini tidak menyebutkan secara
khusus , perempuan difabel sering tertinggalkan. Yang selama ini tidak mendapatkan
kesempatan dalam berpartisispasi, ketika berbicara perempuan diwilayah tersebut
difabel dan perempuan marginal lainnya tertinggal. Kira-kira strategi apa yang dilakukan,
3. Rini prasarani, pada saat program-program GEDSI dilakukan, seharusnya dilakukan
secara berkala, disini juga dibutuhkan peran-peran uptd sehingga bisa melahirkan,
terkait dnegan pendamping korban, kita juga punya pendamping disabilitas, sehingga
pada saat ada, itu bisa berspektif .
4. Lembata, tanggapan terkat drppa mungkin dari kementrian
5. Lombok, utusan-utusan keterwakilan perempuan, tapi sampai di desa sering terpental
lewat delegasi terpilih regulasi yang terpilih. Bagaimana caranya agar drppa bisa berjalan
di desa ?
6. Dari Youtube
7. Lombok Barat. Bahwa selama ini ikut musrembang,
8. Wonosobo, terkait 5 AP,

Ibu deputi menjawab

1. Karena di inklusi ada 10 isu, di DRPPA juga ada 10 indikator, keterkaitannya sangat kuat
dengan desa inklusi maupun desa drppa, tidak. Itu keluar itu nanti jumalh
perempuannya, ini anaknya, ini disabilitas, ini perempuan pekerja migrant, sehingga kita
akan ketemu, kementrian lembaganya disini. siapa melkukan apa dan ditingkatan mana,
jaid kita hrus kuat di data. Pendamping yang harus kita bangun ada di desa, kita kawa
pendamping desa yang ada di kami, karena pendamping ini harus, kepala desa juga
harus tau, untuk hwdi tadi agar ditingkatkan perangkat desa. Hwdi punya pendamping
yang ekspert untuk mendampingi.
Bahwa pekerja migrant di Indonesia rentan menjadi penyandang disabilitas baru, bahwa pekerja
migrant di Indonesia itu minim.

Perempuan pekerja disabilitas, terutama pada akses dan tingkat partisipasi kerja, tapi sebebnarnya
ini juga perlu terus meneru di advokasikan, dan untk pekerja perempuan disabilitas rentan
mengalami

Regulasi, dan kerjasama multi pihak, karena berkatan dngan norma agama. Maka kemudian ini
memndjai penting untung menysun perda dan perdes dan juga perpre sebagai payung hukum, yang
sangat penting karena tadi, maka kerja smaa dengan.

Ekonomi perempuan, tentu ini smeua butuh kemitraan untuk peningkatan ekonomi uangu usaha ,
perlu advokasi di tngkat desa,

Kepemimpinan perempuan, bahw auntuk gender ini terlihat sangat, teruatama peraturan dan
kbijakan.

Sidang ke 2

Kita akan menarik pembelajaran dan praktek baik yang telah dilakukan oleh 8 mitra inklusi. berikut
videonya.

1. Aisyiah
2. Kemitraan
3. BaKTI
4. KAPAL Perempuan
5. PKBI
6. SIGAB
7. Migrant Care
8. PEKKA

Selesai pemaparan video musyawarah perempuan di tutup dengan foto bersama dan sambutan oleh
ibu Misi.

Anda mungkin juga menyukai