Anda di halaman 1dari 18

(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA

Volume 13 Number 2 Oktober 2022


Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

MENYINGKAP TEORI SEKSUALITAS PSIKOANALISA


SIGMUND FREUD DAN USAHA PENERAPANNYA
DALAM PENDIDIKAN SEKSUALITAS
Dismas Kwirinus
STFT Widya Sasana Malang
e-mail korespondensi: dismas96kwirinus@gmail.com

Abstrak : Fokus penelitian ini menjelaskan tentang seksualitas psikoanalisa dan pendidikan. Peneliti
bermaksud pertama-tama melihat teori seksualitas Freud dan berusaha mencari jalan bagaimana cara
penerapannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang menghasilkan data-data
berupa kata-kata dan tulisan atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan, menganalisis, tahap-tahap, makna dan memberi tanggapan atas teori
seksualitas psikoanalisa dan mewujudkannya lewat usaha penerapan dalam pendidikan seksualitas.
Peneliti juga ingin menyumbangkan pemikiran untuk pendidikan seksualitas yang dewasa ini dianggap
perlu. Agar dengan pemikiran ini dapat membantu orang tua dan pendidik dalam melaksanakan
pendidikan seksualitas pada bayi, anak-anak dan remaja. Pendidikan seksualitas terasa begitu penting
dewasa ini. Hal ini mengingat dampak negatif dari kemajuan teknologi yang dapat membawa
penyalahgunaan kodrat seksual. Dengan adanya pendidikan seksualitas pada anak-anak penyalahgunaan
seksual yang tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat, agama, hukum dan moral paling tidak bisa
terkurangi dan terkendali.
Kata kunci: Seksualitas, Psikoanalisa, Sigmund Freud, Pendidikan Seksualitas.

Abstract: The focus of this research is on psychoanalytic sexuality and education. The researcher intends
to first look at Freud's theory of sexuality and try to find ways to apply it. This study uses a descriptive
qualitative method that produces data in the form of words and in writing or verbally from the people and
observed behavior. This study aims to describe, analyze, the stages, meanings and provide responses to
the psychoanalytic theory of sexuality and make it happen through efforts to apply it in sexuality
education. Researchers also want to contribute ideas for sexuality education which is currently
considered necessary. So that with this in mind can help parents and educators in carrying out sexuality
education in infants, children and adolescents. Sexuality education feels so important today. This is
considering the negative impact of technological advances that can bring abuse of sexual nature. With
the existence of sexuality education in children, sexual abuse that is not in accordance with the norms of
society, religion, law and morals can at least be reduced and controlled.
Keywords: Sexuality, Psychoanalysis, Sigmund Freud, Sexuality Education.

.
SUBMIT: 6 September 2022 REVIEW: 7 September 2022 ACCEPTED: 8 September 2022

556
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

PENDAHULUAN Dari latar belakang pemilihan tema ini,


Dalam perkembangannya seorang maka tema tersebut menimbulkan persoalan
manusia mengalami juga perkembangan bagi peneliti. Bagaimana sesungguhnya teori
seksualitas. Perkembangan seksualitas ini seksualitas Sigmund Freud itu? Apakah teori
sejalan dengan perkembangan kepribadian seksualitas Freud dapat sungguh-sungguh
seseorang. Dengan kata lain, perkembangan diterapkan dalam pendidikan seksualitas yang
kepribadian seseorang diikuti pula oleh dewasa ini dianggap penting? Berangkat dari
perkembangan seksualitasnya. Karena itu, status questionis ini, ada beberapa literatur
tanpa adanya integritas antara perkembangan yang peneliti gunakan diantaranya, yaitu
kepribadian dan perkembangan seksual dapat (Bettelheim, 1969; Bertens, 2016; Mackenzi,
mengakibatkan penyimpangan seksual atau 2020; Davidoff, 1987; Ernerst, 2000; Kuntojo,
penyalah gunaan kodrat seksual. Artinya 2015; Asrori, 2005) dan tentunya karya-karya
penggunaan seksual yang tidak sesuai dengan Sigmund Freud, 1953; 1955; 1964.
fungsi seksual bagi manusia itu sendiri, yaitu Konsep psikoanalisa menelorkan
untuk prokreasi. beberapa teori yang sangat urgen. Teori-teori
Dewasa ini penggunaan seksualitas tersebut antara lain: teori mimpi, teori
banyak disalahgunakan oleh manusia. Ini kepribadian, teori narcisme dan teori
dapat dilihat dengan adanya perkembangan seksualitas. Dari teori-teori yang ditelorkan ini
kehidupan homoseksual, kumpul kebo, hamil peneliti mengambil salah satu teori, yaitu teori
di luar pernikahan dan free sex (Hilyati, 2019). seksualitas. Dari teori seksualitas ini peneliti
Penyalahgunaan ini tentunya menjadi mencoba menerapkannya dalam bidang
persoalan bagi orang tua, pendidik, pendidikan. Locus-nya terletak pada
pemerintahan dan agama. Persoalan ini pendidikan seksualitas dari masa bayi sampai
tentunya memerlukan pemecahan agar tidak dengan masa remaja atau pubertas.
terjadi penyalahgunaan di bidang seksualitas.
Sigmun Freud, seorang tokoh besar METODE
dalam psikoanalisa, mencoba menunjukkan Metode yang digunakan dalam
dan menyajikan teori seksualitas yang sejalan penelitian ini adalah studi literer dari karya-
dengan perkembangan kepribadian seseorang, karya Freud dan karya-karya mengenai teori
yaitu sejak masa bayi dan mengalami Freud. Dengan kata lain metode yang peneliti
perubahan pada masa pubertas (Bertens, gunakan adalah metode penelitian kualitatif
2016). Dengan melihat perkembangan deskriptif yang menghasilkan data-data dan
seksualitas ini maka pentinglah pendidikan penekanannya terdapat pada nilai (Salim,
seksualitas diberikan kepada anak-anak dan 2021). Metode kualitatif deskriptif atau
remaja sedini mungkin. Agar dengan demikian Metode deduktif kualitatif bertolak dari prinsip
mereka dapat mengalami perkembangan umum ke hal-hal khusus atau dari teori ke
seksualitas yang terintegrasi, sehingga aplikasi-praktis (Sudhiarsa, 2018). Selain itu
karenanya mereka dapat lebih menghargai dan peneliti juga melihat disiplin ilmiah lainnya,
bertanggungjawab atas peranan seksualitas seperti psikologi, filsafat dan pendidikan. Hal
masing-masing. ini sebagai bahan perbandingan terhadap teori
Bertumpu dari pentingnya seksualitas Freud tersebut.
dalam perkembangan seseorang, maka peneliti
mencoba mengangkatnya ke dalam sebuah HASIL DAN PEMBAHASAN
tulisan yang bertemakan: “Seksualitas Sigmund Freud lahir pada tanggal 6 Mei
Psikoanalisa dan Pendidikan”. Dari tema ini 1856 di Freiberg, kota kecil di daerah
peneliti mengambil judul: “Menyingkap Teori Moravia, yang pada waktu itu merupakan
Seksualitas Psikoanalisa Sigmund Freud dan daerah kekaisaran Austria – Hongaria,
Usaha Penerapannya dalam Pendidikan sekarang termasuk Cekoslowakia. Ia berasal
Seksualitas”. Dari judul ini nampaklah bahwa dari suatu keluarga Yahudi. Ketika ia berusia
peneliti ingin melihat teori seksualitas empat tahun, keluarganya pindah ke Wina. Di
Sigmund Freud untuk pendidikan seksualitas ibu kota Austria ini ia menetap selama 82
pada bayi, anak-anak dan remaja, yang saat ini tahun. Andaikata kaum Nazi tidak menduduki
dianggap perlu. Austria pada tahun 1937, yang mennyebabkan

557
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

Freud mengungsi ke Inggris, mungkin ia akan diuraikan secara singkat tentang teori
melangsungkan hidupnya di ibu kota Austria seksualitas Freud tersebut.
itu. Freud akhirnya meninggal pada tahun
1939 di London (Storr, 1989). Arti seksualitas
Selama hidupnya di ibu kota Austria, Pengertian seksualitas dalam
Wina, Freud belajar ilmu kedokteran di psikoanalisa Freud mempunyai arti yang luas.
Universitas Wina. Ia bekerja dalam Seksualitas bukan hanya hubungan organ
laboratorium Profesor Bruecke, ahli dalam genital di masa dewasa, melainkan juga segala
bidang fisiologi (1876-1882). Sebagai dokter kegiatan seperti menyusu, mengisap, buang air
ia bertugas di rumah sakit umum Wina, kecil dan makan. Kegiatan seksualitas yang
dengan memusatkan perhatian terutama pada demikian sudah terjadi sejak masa kanak-
anatomi otak (1882-1885). Selang beberapa kanak. Selain itu seksualitas dalam
waktu ia mengadakan riset tentang kokaine, psikoanalisa dapat juga berarti cinta dan
sejenis obat bius (1884-1887). Pada tahun hubungan dengan orang lain. Cinta dan
1886 ia menikah dengan Martha Bernays. Dan hubungan dengan orang lain ini merupakan
karena alasan ekonomis ia mengurangi riset pemenuhan libido pada masa kanak-kanak dan
ilmiah dan membuka praktik sebagai dokter ditujukan kepada ibu dan bapak (Go, 1985).
saraf (Miller, 1964). Cinta dan hubungan dengan orang lain
Freud kemudian meneruskan penelitian tersebut merupakan desakan seksual yang
di bidang neurologi dan setelah berkunjung ke dialami oleh setiap orang. Dalam psikoanalisa
Berlin ia menulis beberapa karangan penting desakan-desakan seksual tersebut bersumber
tentang cacat otak pada anak-anak. Lama- antara lain pada mulut, dubur dan kelamin.
kelamaan perhatiannya bergeser dari Freud said: “it is an erogenous part and a
neurologi ke psikopatologi. Karena somatic source of partial urges” (Freud,
terpengaruh oleh Breuer, maka kira-kira 1953). Desakan ini memenuhi berbagai
sekitar tahun 1888 ia mulai memanfaatkan pemenuhan dan selamat masa
hipnose dan sugesti dalam praktik medisnya perkembangannya desakan tersebut dapat
(Rubin, Zick, dan Elton, 1981). Namun, diarahkan keberbagai sasaran atau objek.
akhirnya Freud tidak puas dengan metode ini.
Ia kemudian karena penemuannya beralih ke Seksualitas pada masa kanak-kanak
metode asosiasi bebas. Dari metode asosiasi Hal yang paling penting dalam
bebas inilah yang kelak melahirkan psikoanalisa ialah gagasan bahwa
psikoanalisa. Peneliti akan mengurai konsep perkembangan seksualitas sudah dimulai sejak
psikoanalisa, dengan menunjukkan fase-fase masa kanak-kanak (Drajati, 2020). Dengan
perkembangan menurut Freud. Dengan ini kata lain desakan seksual itu bukan baru
peneliti bermaksud untuk menunjuk adanya terjadi di masa pubertas, melainkan sudah ada
kaitan antara teori Freud yang satu dengan di masa anak-anak dalam fase-fase oral, anal,
yang lain. genital. Fase-fase inilah yang kemudian
mempengaruhi seseorang dalam
Sekilas Seksualitas dari Psikoanalisa perkembangan kepribadiannya. Dengan kata
Teori seksualitas Sigmund Freud lain fase-fase inilah yang menentukan watak,
merupakan salah satu teori yang penting di penghayatan dan sikap seksual seseorang.
bidang penyelidikan seksualitas manusia. Perkembangan seksualitas sudah terjadi
Teori ini membawa banyak pengaruh dan dimasa anak-anak maka orang tua sangant
pertentangan antara para ahli psikologi. berpengaruh terhadap perkembangan anak-
Namun, disadari atau tidak teori ini penting anaknya. Orang tua harus dapat
untuk menilai manusia dari sudut mengendalikan keinginan, sifat buruk dan
seksualitasnya. Teori ini memperlihatkan emosi anak serta kecenderungan-
bahwa perkembangan seksualitas anak-anak kecenderungannya yang negatif. Freud sendiri
sudah dimulai sejak masa bayi dan mengalami dalam hal ini mengemukakan bahwa
perkembangannya pada masa pubertas, serta kehidupan emosi pada tahun-tahun pertama
adanya berbagai pervensi dalam kehidupan kehidupan anak harus berlangsung dengan
seseorang. Untuk itu pada bagian ini akan baik, agar tidak menjadi masalah setelah

558
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

dewasa nantinya. Berlangsung dengan baik, seksual sesungguhnya tertuju kepada


artinya anak dapat berprilaku yang sesuai pengembangbiakan dan pemuasan naluri-
dengan masa perkembangannya. Dengan naluri lain hanya dipentingkan sebagai
berperilaku yang sesuai pada masa persiapan serta penganjuran ke arah
perkembangannya inilah, maka kelak anak persetubuhan. Di lain pihak, pilihan objek
tidak mengalami fiksasi (Gunarsa, 1997). menyisihkan otoerotisme, sehingga semua
Pendapat Freud ini menunjukkan bahwa naluri mencari pemuasannya dalam hubungan
perkembangan seksualitas sudah terjadi di dengan orang yang dicintainya (Ruch, 1984).
masa anak-anak. Ini juga berarti bahwa adanya Namun, pemuasan pada masa pubertas ini
desakan-desakan seksualitas pada masa anak- tidak selalu dapat tercapai seperti apa yang
anak sudah menginginkan pula adanya diinginkan. Halangan-halangan ini terjadi
pemenuhan. Karena itu pendidikan seksualitas karena pendidikan yang mereka terima.
hendaknya ditanamkan sejak sedini mungkin, Sehingga sudah sejak mula mereka
agar perkembangan anak serasi dengan mengalami represi terhadap sejumlah naluri
perkembangan umurnya. yang sangat kuat, dan terbentuklah daya-daya
psikis seperti misalnya rasa malu, rasa jijik,
Perubahan seksualitas pada masa pubertas takut dan moralitas. Daya-daya ini bagaikan
Seksualitas sudah terdapat pada masa penjaga yang mempertahankan represi
kanak-kanak. Seksualitas yang terdapat pada tersebut. As a result, when puberty reaches its
masa kanak-kanak ini mengalami peak of sexual needs, these psychic structures
perkembangannya. Jadi sudah sedari mula act as embankments that channel the flow of
seorang anak mempunyai naluri-naluri dan needs into normal channels and do not allow
aktivitas-aktivitas seksual untuk the repressed ones to re-emerge (Freud, 1964)
dikembangkan lebih lanjut (Indracaya, 2000). dan dapat juga kita katakan bahwa segala
Namun, aktivitas seksualitas pada masa kanak- fiksasi pada masa pubertas terjadi akibat tidak
kanak ini berbeda dengan masa pubertas. terpenuhnya naluri seksual yang begitu kuat
Aktivitas seksualitas pada masa kanak-kanak dan adanya represi pada masa pubertas ini.
cenderung hanya untuk mencari kesenangan
bagi dirinya sendiri. Artinya, segala tingkah Perlunya Pendidikan Seksualitas
laku, seperti menyusui dan buang air besar, Perlunya pendidikan seksualitas sudah
hanya terarah untuk kesenangan dirinya kita rasakan sejak lama, terlebih pada zaman
sendiri. Sebaiknya sebelum masa pubertas modern ini. Perkembangan dunia modern
kesenangan tidak hanya terarah pada dirinya, dengan segala bentuk kecanggihan
melainkan juga terarah pada objek-objek di teknologinya membuat anak-anak tidak dapat
luar dirinya. menutup mata terhadap perilaku seksual.
Objek seksualitas pada masa pubertas Anak-anak dan remaja dengan mudah dapat
ini tidak hanya mengarah pada orang tua, melihat gambar-gambar porno, film-film,
tetapi juga mengarah kepada teman-teman buku-buku murahan dipinggiran jalan serta
jenis kelamin yang sama atau jenis kelamin omongan-omongan yang dangkal dari teman-
yang lain. Sehingga bagi mereka mustahil temannya (Isnatul, 2018). Semua ini
perasaan-perasaan cinta tanpa seksualitas merupakan dampak dari perkembangan dunia
(Gunarsa, 1997). Perubahan aktivitas pada modern. Hal ini jelas menunjukkan kebutuhan
masa pembentukkan ini menyebabkan adanya pengertian seksualitas yang benar dari pihak
banyak pertentangan di dalam diri anak. anak.
Pertentangan ini merupakan pertentangan Namun di lain pihak anak tetap diracuni
kejiwaan dalam pembentukan watak oleh prinsip tabu dan kotor dalam bidang
seksualnya. Sehingga biasanya pada akhiri seksualitas. Orang tua melarang anak untuk
masa pubertas watak seksual seseorang sudah mengetahuinya. Akibatnya anak berusaha
terbentuk (Freud, 1964). mengetahuinya dari buku-buku yang
Dalam masa pubertas ini hidup seksual menyajikan berbagai bentuk adegan perbuatan
anak disusun dan dikoordinir oleh dua arah. seksual. Atau anak membaca buku-buku
Di satu pihak, semua naluru berada di bawah pendidikan seksualitas yang sesungguhnya,
penguasaan (zona genital), sehingga hidup namun karena tidak adanya bimbingan maka

559
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

anak akan tetap buta dengan masalah ini. Hal Pengaruh lingkungan ini bukan hanya
yang lebih parah adalah rusaknya kehidupan yang bersifat positif, tetapi juga yang bersifat
moral dalam bidang seksualitas ini. Sebab negatif atau membahayakan dirinya. Pengaruh
bagaimanapun kebutuhan akan pengetahuan yang membahayakan inilah yang dapat
ini tetap mendesak anak. Anak-anak tetap membuat anak terjerumus ke jalan yang tidak
memiliki keinginan untuk menyalurkan sesuai dengan hakikat penggunaan seksualitas.
kebutuhan seksualnya. Freud sendiri Atau anak mendapat perlakuan dari pihak
mengatakan bahwa kebutuhan ini merupakan tertentu untuk memenuhi keinginan nafsu
kebutuhan yang lahir dari sendirinya dalam mereka, yang mungkin datang dari pihak yang
diri anak-anak. tidak bertanggung jawab atau dari pihak yang
memang mengalami ganguan seksual.
Dari pihak anak didik Dari pengaruh dan bahaya lingkungan
Seksualitas bukan barang yang “jadi”, inilah yang membuat pendidikan seksualitas
atau menurut istilah Piet Go, seksualitas bukan menjadi sangat perlu diberikan kepada anak-
melulu anugerah yang sudah “selesai”, “siap anak dan remaja. Agar anak-anak dan remaja
pakai”, “tinggal pakai”, melainkan juga tugas dapat menghindari diri dari bahaya lingkungan
yang membudaya yang memerlukan di satu pihak dan di lain pihak anak juga
pendidikan oleh para pengasuh dan proses memperoleh bekal untuk hidupnya kemudian
belajar pada anak (Go, 1985). Dari keterangan hari di tengah-tengah masyarakat.
ini jelaslah bahwa untuk mengerti arti dan
tujuan seksualitas perlu pendidikan. Tujuan Pendidikan Seksualitas
Pendidikan seksualitaslah yang akan membuka Selain perlunya pendidikan seksualitas,
sisi gelap arti dan tujuan seksualitas itu. Agar pendidikan ini juga memiliki tujuan. Tujuan
dengan demikian anak-anak dapat menerima ini hendaknya merupakan pegangan yang
dan menghormati seksualitas serta ingin dicapai dalam pendidikan seksualitas
mempersiapkan dirinya untuk menghayati tersebut. Dengan menjawab apa tujuan
seksualitasnya yang sesuai dengan fase-fase pendidikan seksualitas berarti kita menjawab
biologisnya. pertanyaan apa pendidikan seksualitas itu.
Disamping itu perlu diingat bahwa Banyak definisi yang diberikan untuk
seksualitas merupakan dimensi integral pribadi menjawab apa itu pendidikan seksualtas,
manusia (Go, 1985). Kalau hal ini merupakan termasuk juga tujuannya. Menurut Piet Go,
dimensi integral, maka anak mempunyai hak ada tiga tujuan mengapa pendidikan
atas pendidikan seksualitas. Anak mempunyai seksualitas diberikan, yaitu mengembangkan
hak, sebagai pribadi manusia, untuk pengetahuan seksualitas yang menyeluruh,
mengetahui seksualitas ini. Anak tidak dapat membuat anak mampu untuk menerima
ditutup mantanya untuk melihat dan seksualitasnya sebagai dimensi integral
mengetahui seksualitas secara umum. Kita kemanusiaan dan menghayatinya dengan
harus memberikan hak anak secara layak dan penuh tanggung jawab dan melindungi anak
pantas. Karena itu perlulah pendidikan terhadap pengaruh dan bahaya lingkungan
sekusalitas dilihat dari hak anak-anak. Agar (Go, 1985). Ketiga tujuan ini merupakan
anak dapat menerima dan menghayati tujuan pokok pendidikan seksualitas itu.
seksualitasnya secara integral pula di dalam Ketiga tujuan ini pula yang kiranya hendak
pribadinya. dicapai dalam pendidikan seksualitas.

Dari pihak lingkungan Mengembangkan pengertian seksualitas yang


Anak dalam kehidupan tidak lepas dari menyeluruh
lingkungan. Dalam bidang seksualitas Tujuan pertama pendidikan seksualitas
pengaruh lingkungan ini amat besar. adalah mengembangkan pengertian anak
Lingkungan bukan hanya tempat ia berada dan tentang secara menyeluruh berarti menyangkut
orang-orang yang ada di sampingnya, tetapi aspek pengertian, baik intelektual, religius,
juga masyarakat secara luas, massa, cara dan sosiologis, psikologis maupun pengertian
gaya hidup serta pandangan masyarakat yang personal dan sosial (Monk, 1994). Pengertian
pluralistis (Syah, 2010). seksualitas secara menyeluruh ini tidak berarti

560
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

anak-anak menerima informasi penuh Melindungi anak terhadap pengaruh dan


mengenai seluk-beluk seksualitas, tetapi anak- bahaya lingkungan
anak diajak untuk mengerti seksualitas dirinya Tujuan yang penting lainnya dalam
dan juga seksualitas orang lain. Sehingga ia pendidikan seksualitas ialah melindungi anak-
dapat mengerti tingkah laku seksualitas dirinya anak terhadap pengaruh dan bahaya
dan dapat pula mengharagi seksualitas orang lingkungan (Go, 1985). Tujuan ini bersifat
lain secara menyeluruh (Pomeroy, 1973). kontrol dan pelindung bagi anak-anak.
Pengertian secara menyeluruh di sini Walaupun pendidikan seksualitas menurut
jelas bukan hanya pada taraf pengetahuan Lester A. Kirkendall bukan pertama-tama
belaka, tetapi juga memperhatikan manusia untuk mengontrol melarang ekspresi seks,
sebagai keseluruhan personal dan sosial. tetapi menunjukkan kemampuan yang banyak
Dengan demikian anak mengetahui sekali dari seksualitas manusia (Schulz, &
hubungannya dengan orang lain, baik orang Williams, 1969). Namun, sikap mengontrol ini
tua, kakak-adik, teman wanita-pria di mana dia juga penting. Hal ini untuk melindungi anak-
berada (Hattlinger, 1967). Meskipun anak dari bahaya dan pengaruh lingkungan,
pengetahuan saja tidak cukup, tetapi serta segi-segi negatif film-film, buku-buku,
pengetahuan juga penting. Hal ini karena televisi, majalah, media sosial, alat
manusia berpijak pada pengetahuan. Maka komunikasi lainnya dan berbagai macam
yang terbaik adalah memberikan pendidikan pengaruh lainnya yang membahayakan anak-
seksualitas secara menyeluruh, baik anak. Agar dengan adanya pendidikan
pengetahuan maupun juga soal sikap yang seksualitas anak-anak mendapat fondasi yang
tepat dalam tingkah laku seksual. kuat, supaya sebagai mahluk seksual ia
berfungsi secara efektif sebagai pria dan
Membuat anak mampu menerima dan wanita selama hidupnya.
menghayati seksualitasnya
Pendidikan seksualitas bagi anak-anak Syarat-syarat dan Tuntutan Pendidikan
tidak hanya cukup membuat anak mampu Seksualitas
untuk menerima, tetapi juga harus membuat Ada banyak syarat dan tuntutan dalam
anak mampu untuk menerima seksualitasnya pendidikan seksualitas. Semua syarat dan
dengan penuh tanggung jawab (Go, 1985). tuntutan ini dapat dipergunakan sejauh kita
Jadi, dengan pendidikan seksualitas anak mau. Namun, ada empat syarat dan tuntutan
diajak untuk bertanggung jawab terhadap yang penting dalam pendidikan seksualitas,
seksualitasnya, sehingga anak dapat melihat yaitu tidak netral, tidak indokterinasi, proses
seksualitasnya sebagai dimensi integral bertahap, perlunya kebenaran dan teladan dan
kemanusiaan. Artinya anak dididik untuk pendidikan dijalankan secara implisit dan
menerima seksualitasnya secara positif eksplisit (Go, 1985). Sebagai syarat dan
walaupun seksualitas baginya tidak selalu tuntutan maka keempat syarat dan tuntutan ini
dialami dan dirasakan sebagai positif. perlu diperhatikan. Sebab syarat-syarat dan
Senada dengan pendapat ini, Mackenzi tuntutan ini merupakan pedoman kita dalam
C, menyatakan bahwa sexuality education to menjalankan pendidikan seksualitas kepada
strengthen family life, to foster self- anak-anak.
understanding and self-respect, to develop
abilities for healthy human relationships and Tidak netral dalam pendidikan seksualitas
to enhance skills for responsible introductions Pendidikan seksualitas tidak sama
and for responsible marriage and attitude dengan memberikan informasi dan netral,
towards parents (Mackenzi, 2020). Jadi, sebagai salah satu unsur dalam pendidikan
jelaslah bahwa pendidikan seksualitas seksualitas. Pendidikan seksualitas yang
merupakan dimensi integral kemanusiaan yang diberikan hendaknya bersifat mendampingi
harus dijalankan dengan penuh tanggung anak dan menilai dan menginterpretasikan
jawab. Agar dengan demikian anak-anak antropologis data dan gejala seksualitas. Ini
mampu bertindak sesuai dengan norma-norma berarti kita tidak membiarkan anak begitu saja
kehidupan manusia. anak merima informasi tentang seksualitas.
Orang tua tidak membiarkan begitu saja anak

561
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

menilai dan mengartikan apa itu seksualitas. dan umurnya, jadi berdasarkan fase-fase
Kita tidak bisa bersikap netral atau acuh tak perkembangan anak.
acuh terhadap masalah seksualitas ini, Dengan memperhatikan fase-fase
melainkan kita harus bersikap mendampingi perkembangan, maka pengertian anak terhadap
anak dalam memahami dan mengertikan seksualitas dapat lebih menyeluruh. Artinya
seksualitas. Sehingga pengertian mereka anak tidak hanya mengetahui seksualitas
mengenai seksualitas tidak berat sebelah (Go, sebagai pengetahuan, tetapi anak juga
1985). memiliki pengertian seksualitas sebagai
keseluruhan personal dan sosial.
Pendidikan seksualitas tidak indokterinasi
Salah satu sayarat pendidikan Adanya kebenaran dan teladan dalam
seksualitas ialah tidak indokterinasi. pendidikan seksualitas
Indokterinasi berarti mencecoki seseorang, Pendidik kadang kala takut untuk
bersifat paksaan, untuk menelan suatu ideologi menyatakan arti seksualitas yang sebenarnya,
atau ajaran tanpa diberi kesempatan untuk sehingga mereka “berbohong” kepada anak
berpikir atau mengolah bahan yang diberikan. didiknya. Hal ini mengakibatkan anak mencari
Indokterinasi ini merupakan pelanggaran atas sendiri kebenaran dari mulut orang lain.
hak-hak asasi manusia, serta tidak Perbuatan anak demikian bisa membahayakan
menghormati pribadi manusia. Hal seperti ini penegertiannya mengenai arti seksualitas yang
yang tidak dapat diterapkan dalam pendidikan sesungguhnya. Pendidik hendaknya
seksualitas justru harus memperhatikan mengatakan kebenaran mengenai seksualitas
disposisi dan situasi dari anak didik tersebut itu.
(Go, 1985). Dalam menyatakan kebenaran bukan
Dengan memperhatikan disposisi dan berarti pendidik, baik orang tua maupun
situasi dari anak-anak didik, maka pendidikan instansi yang berwenang, membuka sejelas-
seksualitas yang diterapkan dapat bersifat jelasnya tanpa memperhatikan situasi anak.
membimbing, meyakinkan dan Tetapi pendidik hendaknya menyatakan
membangkitkan pengertian anak terhadap kebenaran dengan melihat situasi dan fase-fase
penggunaan seksualitasnya. Untuk itu dari perkemabangan anak tersebut. Selain itu
pendidik harus benar-benar memperhatikan pendidikan seksualitas juga memerlukan
syarat-syarat pendidikan seksualitas ini. Agar teladan dari pihak pendidik (Sarwono, 2000).
dapat mempunyai sikap penuh keyakinan dan Anak-anak akan menerima penjelasan
bertanggung jawab terhadap seksualitasnya, dan mengerti apa yang dijelaskan, bila
sehingga proses personalisasi dan sosialisasi di pendidik menunjukkan perbuatan yang penuh
bidang seksualitas bisa berasil. teladan. Artinya pendidik hendaknya memiliki
perbuatan yang baik, sehingga anak
Proses bertahap mempercayai perkataan pendidiknya. Karena
Pendidikan seksualitas yang diberikan itu bentuk terbaik dari pendidikan seksualitas
kepada anak-anak tidak sekali jadi, melainkan adalah menampilkan perkawinan yang
memerlukan usaha yang panjang. Dengan kata memuaskan dan membahagiakan (Tukan,
lain pendidikan seksualitas memerlukan usaha 1984). Sebab dengan perkawinan yang
yang terus menerus dari pihak pendidik memuaskan dan membahagiakan ini anak
(Ernerst, 2000). Inilah yang dimaksud dengan dapat meneladan apa yang telah diperbuat oleh
proses bertahap itu. pendidiknya. Rasanya bagaimana mungkin
Pendidikan seksualitas sama seperti pendidik yang memiliki teladan negatif
bentuk pendidikan yang lain, yang bermula terhadap seksualitas dapat memberikan
sejak anak lahir. Pendidikan yang sudah pendidikan yang positif kepada anak didiknya?
diberikan sejak anak membuka matanya dan Suatu pertanyaan yang perlu disimak dengan
melihat wajah ibunya yang tersenyum, baik oleh para pendidik.
demikian juga dengan pendidikan seksualitas
sudah dimulai sejak anak lahir (Tukan, 1984). Pendidikan seksualitas secara implisit dan
Pendidikan seksualitas yang diberikan sejak eksplisit
lahir ini harus mengikuti perkembangan anak

562
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

Pendidikan seksualitas pada anak-anak Anak yang hidup dalam keluarga


perlu diberikan secara implisit dan eksplisit. mempunyai hak atas pendidikan seksualitas.
Artinya secara terus-menerus diberikan, baik Hak anak ini menunjukkan tanggung jawab
secara langsung maupun tidak langsung. orang tua atas pendidikan seksualitas anaknya.
Secara langsung diberikan bukan berarti Namun dari sisi lain orang tua merasa tidak
pendidik terus-menerus berbicara mengenai perlu pendidikan seksualitas pada anaknya.
seksualitas, melainkan bahwa seluruh suasana Sebab mereka berpendapat “pendidikan
keluarga atau sekolah harus mewarnai seksualitas tak pernah ada pada zaman kami,
sedemikian rupa, sehingga secara tidak tanpa pendidikan seksualitas kami tidak
langsung sudah mempunyai efek pendidikan menjadi lebih jelek” (Shofwatun, 2017).
(Go, 1985). Pendapat ini sudah diterima, sebab zaman
Pendidikan di sini mempunyai peranan sudah berubah. Di mana-mana dapat kita
menciptakan suasana dan sikap langsung atau rasakan adanya perubahan hubungan manusia
tak langsung mewarnai pendidikan seksualitas. dengan lingkungannya. Ada lebih banyak
Sehingga efek pendidikan dapat dirasakan tekanan dan godaan yang dihadapi manusia.
anak didik. Salah satu suasana yang perlu Juga terdapat lebih banyak kebebasan. Karena
diciptakan yaitu komunikasi antara anak didik itu, dituntut tanggung jawab yang lebih besar
dan pendidik, sehingga dengan komunikasi lagi.
yang lancar pendidikan seksualitas mudah Pendapat orang tua di atas sebenarnya
dibicarakan bersama-sama (Kuntojo, 2015). dikarenakan oleh ketidaktahuan mereka untuk
melaksanakan pendidikan seksualitas. Ini de
Pelaksana Pendidikan Seksualitas facto masih banyak orang tua, karena faktor
Pada uraian-uraian terdahulu secara praktis, tidak sanggup melaksanakannya.
implisit sudah tersirat siapa-siapa saja sebagai Cukup banyak orang tua yang menganggap
pelaksana pendidikan seksualitas. Namun, seksualitas tabu dan kotor untuk dibicarakan.
pada bagian ini secara eksplisit peneliti akan Hal ini merupakan suatu tanda bahwa sikap
menerangkan siapa-siapa saja yang berperan mereka sendiri terhadap seksualitas belum
dalam pendidikan seksualitas. Secara umum siap.
dapat dikatakan di sini bahwa orang tua dan
guru sekolah memegang peranan penting Guru – Sekolah
dalam pendidikan seksualitas. Selain orang tua yang bertanggung
Peran orang tua dan guru dalam jawab atas pendidikan seksualitas anak. Para
pendidikan seksualitas tidak dapat disangkal guru atau tenaga pendidik juga berperan
lagi. Banyak pendapat yang dapat kita penting dalam pendidikan seksualitas pada
temukan mengenai peran orang tua dan guru. anak didiknya. Peranan sekolah dalam hal ini
Memang organisasi, instansi dan siapa saja cukup besar. Sekolah dapat memberikan
yang berkehendak baik dapat menjadi informasi teknis dan ilmiah tentang seksualitas
pendidik seksualitas. Namun, orang tua dan kepada anak didiknya. Namun, sejauh
gurulah yang paling berperan dalam manakah peran sekolah dalam hal ini?
pendidikan seksualitas ini. Hal ini disebabkan Peran sekolah atas pendidikan
karena anak-anak lebih banyak bergaul dengan seksualitas berdasarkan prinsip subsidiar (Go,
orang tua dan guru. 1985). Secara negatif prinsip subsidiar berarti
bahwa kelompok yang lebih tinggi jangan
Orang tua mencampuri urusan kelompok atau individu
Orang tua memiliki tanggung jawab yang lemah. Adapun secara positif prinsip
yang pertama dan utama dalam pendidikan subsidiar berarti bahwa kelompok yang lebih
seksualitas kepada anaknya. Hal ini karena tinggi turun tangan seperlunya, bila kelompok
anak hidup dalam dunia keluarga. Di mana ia atau individu yang lebih rendah karena alasan
dibesarkan dan dilahirkan. Keluarga adalah apa pun de facto tidak memenuhi tugasnya.
sekolah dan seksualitas adalah bagian dari
belajar tentang hidup yang baru di mulai sejak Kerjasama antara orang tua dan sekolah
masa anak-anak (Shofwatun, 2017). Di atas sudah kita lihat pentingnya
peran orang tua dan sekolah atas pendidikan

563
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

seksualitas pada anak didik. Orang tua dan dari apa yang dilihatnya dalam interaksi
memegang peranan pertama dan utama dalam perkawinan orang tuanya. Pendidikan informal
pendidikan di bidang ini, sedangkan sekolah seperti inilah yang merupakan pendidikan
bertanggung jawab berdasarkan fungsi seksualitas yang tepat, yang menerapkan sikap
subsidiar dalam pendidikan seksualitas. Hanya dan nilai seksualitas pada anak-anak.
persoalannya sejauh mana sekolah dapat Sedangkan guru atau pihak sekolah
memberikan pendidikan seksualitas yang dapat memberikan pendidikan ayng bersifat
diberikan orang tua dalam keluarga? Dengan informal. Artinya guru dapat memberikan
kata lain, di mana batas wawenang sekolah informasi teknis dan ilmiah seputar pendidikan
dalam pendidikan seksualitas ini? seksualitas ini, dengan memperhatikan
Di kalangan ilmiahwan Behavioral atau perkembangan manusia secara biologis,
tingkah laku ada anggapan bahwa pendidikan psikologis, sosiologis dan moral religius
seksualitas adalah tugas bersama antara orang (Corey, 1988). Misalnya, pendidikan yang
tua (keluarga) dan guru (sekolah), dengan ingin menerapkan arti seksualitas, khususnya
catatan, peran orang tua lebih ditekankan arti menstruasi untuk anak putri kelas VI SD.
(Lundian, 1969). Banyak informasi teknis dan Guru tidak hanya terpaku pada pokok
ilmiah tentang seksualitas dapat diberikan oleh menstruasi saja, melainkan ketika berbicara ia
pihak sekolah. Tetapi pendidikan dasar yang harus membayangkan tentang kehidupan
informal tentang seksualitas harus diberikan remaja, kehidupan perkawinan dan kehidupan
dalam kelompok (Tukan, 1984). masa tua. Pokok persoalan lain juga harus
Pandangan ilmuan Behavioral ini turut menyertai keterangannya mengenai
peneliti angap cukup tepat. Sebab pendidikan menstruasi tersebut. Jadi, jelaslah bahwa guru
seksualitas yang ideal apabila orang tua dan sekolah dapat memberikan informasi teknis
guru bekerja sama dibidang ini. Orang tua dan ilmiah dengan memperhatikan disiplin
hendaknya memberi pendidikan seksualitas ilmiah lainnya. Sekolah dapat memberikan
dasar yang informal (Lundian, 1969). Artinya pengetahuan kepada anak didiknya sebagai
orang tua memberikan pelajaran mengenai bekal dikemudian hari.
sikap-sikap dan nilai-nilai seksualitas secara
informal dalam keluarga. Pentingnya Usaha Penerapan Teori Seksualitas Freud
memerikan sikap-sikap dan nilai-nilai dasar dalam Pendidikan Seksualitas
seksualitas ini kepada anak didik, karena Setelah melihat uraian-uraian mengenai
sikap-sikap dan nilai-nilai ini merupakan dasar teori seksualitas Freud, maka tibalah saatnya
pengertian bagi anak didik (Asrori, 2005). Jadi melihat bagaimana penerapannya dalam
pendidikan seksualitas bukan hanya pendidikan seksualitas. Penerapan teori Freud
memberikan informasi mengenai organ seks, ini sebagai suatu usaha untuk menyumbangkan
melainkan terutama membentuk sikap dan pemikiran dalam rangka pendidikan
nilai terhadap seksualitas. Pendidikan ini dapat seksualitas pada anak-anak dan remaja.
dijalankan secara informal dalam keluarga. Dalam usaha penerapan ini, peneliti
Misalnya, orang tua menampilkan perkawinan tidak memberikan metode atau kurikulum bagi
yang memuaskan dan membahagiakan. Orang orang tua atau guru untuk menerapkan teori
tua memiliki keyakinan yang jujur, seksualitas Freud dalam pendidikan
berdasarkan pengalaman mereka sendiri, seksualitas. Artinya, peneliti tidak
bahwa seksualitas dan hubungan manusiawi memberikan metode atau kurikulum tertentu
dalam perkawinan adalah satu bagian yang tak secara mendetail. Peneliti juga tidak
terpisahkan. Sikap ini bisa tampak dalam memberikan bagaimana orang tua atau sekolah
kehangatan, simpatik dan komunikasi antara secara bersama-sama melaksanakan
suami istri. Dari gambaran ini diharapkan anak pendidikan seksualitas ini. Melainkan hanya
dapat mengetahui bagaimana dua manusia memberikan gambaran dasar yang perlu untuk
yang berbeda seksualitasnya bisa hidup pendidikan seksualitas, yang didasarkan atas
selaras. Bagaimana seorang suami dan seorang teori seksualitas Freud. Gambaran ini
istri bisa menunjukkan hormat dan cinta satu merupakan dasar yang dapat dipakai dalam
terhadap yang lainnya. Semua ini tergantung pendidikan seksualitas. Dengan kata lain,
pada komunikasi antara anak dan orang tua gambaran ini berupa dasar yang perlu bagi

564
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

pendidikan anak, entah itu untuk orang tua pendidikan seksualitas bagi bayi sangat
maupun guru. penting. Ibu merupakan faktor pertama dalam
Dalam usaha pendidikan seksualitas ini pelaksanaan pendidikan seksualitas. Ini
peneliti menggunakan fase-fase perkembangan disebabkan karena ketergantungan masa bayi
anak, yang sesuai menurut fase-fase lebih besar kepada ibu dari pada ayah. Ayah
perkembangan seksualitas Freud. Jelasnya baru kemudian mendapat giliran untuk
peneliti menggunakan fase-fase perkembangan dijadikan objek yang penting (Gunarsa, 1997).
sejak masa bayi sampai dengan masa pubertas, Karena itu fase oral merupakan masa di mana
dengan menyamakan umur-umur tertentu pada bayi memperoleh kepuasan, kenikmatan dan
fase-fase Freud. Dengan demikian maksud rasa aman dengan mengisap dan menyusu,
peneliti dan arah penjelasan yang jelas maka pendidikan seksualitas pada masa bayi
mengenai apa-apa saja yang perlu diberikan ini harus pula diarahkan pada fase ini.
pada fase-fase tertentu. Pendidikan seksualitas pada masa bayi jelas
bukan pengenalan akan organ-organ seksual,
Pada Masa Bayi 0-1 Tahun melainkan suatu pendidikan yang
Masa bayi mengarahkan bayi pada sikap kegiatan
Masa bayi menurut Freud adalah masa seksualitas yang sesuai pada fase ini. Artinya,
oral. Masa bayi atau masa oral ini merupakan pendidikan seksualitas yang dapat membawa
fase pertama perkembangan psikoseksual, di anak untuk memenuhi kepuasannya dan
mana bayi memperoleh dan merasakan menghentikannya bila fase oral ini telah
kepuasan dan kenikmatan yang bersumber berakhir. Pendidikan seperti ini menyebabkan
pada daerah mulutnya (Koeswara, 2001). bayi berkembang sesuai dengan fasenya dan
Kepuasan dan kenikmatan ini timbul karena kelak tidak mengalami gangguan atau fiksasi
adanya hubungan antara rasa lapar, kemudian dalam kehidupannya lebih lanjut.
gelisah dan minum atau makanan (air susu) Dari uraian di atas jelaslah bahwa peran
yang diberikan kepada bayi. Kegiatan yang ibu dalam pendidikan seksualitas begitu
dijalankan bayi dengan oral ini akan penting. Bayi betul-betul tergantung pada
mengakibatkan kepuasan, sehingga ibunya. Tanpa perhatian yang khusus pada
kegelisahannya ketika lapar akan berkurang. masa ini, maka bayi akan terganggu
Kegelisahan sang bayi menunjukkan perkembangan kepribadiannya. Dalam
bahwa ia sangat tergantung pada ibunya. pendidikan seksualitas ibu harus dapat melihat
Ketergantungan ini dikarenakan ia tidak dapat sampai batas mana seorang bayi sudah cukup
memenuhi kebutuhannya sendiri. Untuk itu dalam taraf kepuasan oral (Latipun, 2001).
peran ibu di sini sangat penting, agar ia bisa Pada umumnya fase oral ini sampai bayi
memperoleh sesuatu untuk perkembangan berumur dua tahun. Sesudah itu ia akan
dirinya. memasuki fase selanjutnya.
Menurut Freud kegiatan masa bayi
dengan mulut ini dihubungkan dengan Masalah disapih sebagai sebuah pengalaman
kepuasan dan kenikmatan yang bersifat traumatis
libidinal. Hal ini tampak dari perkembangan Menyapih diartikan sebagai penghentian
bayi selanjutnya, di mana segala bentuk kegiatan mengisap susu oleh ibu. Menyapih ini
kegiatan yang dihubungkan dengan mulut oleh beberapa ahli dianggap mempunyai arti
akan menimbulkan juga kenikmatan. yang sangat penting, karena mempunyai
Misalnya, ibu jari yang dimasukan ke mulut hubungan yang erat dengan kepuasan oral
juga akan menimbulkan kenikmatan pada (Gunarsa, 1997). Kepuasan oral yang didapat
bayi. Kenyataan ini terlihat bahwa yang bayi dengan mengisap dan menyusu,
menjadi sumber kenikmatan ialah mulut membawanya pada rasa kepuasan, kenikmatan
(Gunarsa, 1997). dan ketenangan. Dan dengan menyapih itu
dapat menimbulkan perasaan kehilangan
Peran tokoh ibu dalam kehidupan bayi kepuasan, apalagi menyapih ini dilakukan
Sungguh tak dapat disingkap bahwa terlalu dini pada bayi. Menyapih yang terlalu
peran ibu dalam kehidupan bayi sangat dini dapat menimbulkan kerinduan untuk
penting. Ini berarti juga peran ibu dalam dapat terus dipenuhinya kepuasan oral itu,

565
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

sehingga kekecewaan yang dialaminya pada tahun). Pada fase-fase ini terdapat beberapa
saat ini mempunyai efek di kemudian hari, dorongan untuk mencari kenikmatan dengan
yaitu terbentuknya karakter yang bersifat melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Dan
pesimis dan sadis. Sebaliknya masa menyapih terdapat pula kecenderungan-kecenderungan
yang terlalu lama, juga dipenuhinya kepuasan pada fase-fase ini.
oral yang lama, akan mempengaruhi Pada fase anal, setelah masa oral, anak
terbentuknya aspek kepribadian yang bersifat memindahkan pusat kenikmatan dari daerah
optimis (Gunarsa, 1997). mulut ke daerah anus (dubur). Rangsangan
Dalam pendidikan seksualitas seorang pada daerah anus ini berkaitan erat dengan
ibu harus memperhatikan sungguh-sungguh kegiatan buang air besar, karena keduanya
proses menyapih ini. Ibu harus memberikan merupakan sumber kenikmatan secara
kemungkinan bayi untuk mempelajari proses libidinal (Alwisol, 2005). Reaksi orang tua
ini. Untuk itu ibu hendaknya memperhatikan bersikap senang dan menolak. Senang apabila
tiga proses menyapih. Pertama, dihentikannya anak melakukan aktivitas yang kurang baik.
kegiatan menyapih. Kedua, digantikannya Reaksi ini dapat menumbuhkan sikap malu
makanan cair dengan makanan padat atau pada anak-anak. Masa ini berhubungan pula
lunak. Dan ketiga, mengurangi kontak antara dengan soal kebersihan dan keteraturan.
bayi dengan ibunya (Gunarsa, 1997). Dengan Apabila orang tua memperlihatkan sikap yang
memperhatikan ketiga proses ini ibu dapat terlalu keras, maka anak akan memperlihatkan
membawa bayinya pada sikap untuk menerima pula sikap yang menentang (negativisme).
penghentian kegiatan dengan mencari Karena itu orang tua harus bersikap bijak pada
kepuasan oral. masa ini. Hal ini disebabkan anak tidak lagi
Tanpa memperhatikan ketiga proses di bersifat pasif, tetapi anak muali mau
atas, untuk membawa bayi pada proses menentukan dirinya sendiri. Walaupun anak
berikutnya, akan menyebabkan kekecewaan, sudah mulai mau menentukan dirinya sendiri,
sedih, pesimis, rasa takut dan gelisah. Bila namun ia selalu merasa ragu-ragu terhadap
bayi kelak dewasa maka pengalaman disapih dirinya sendiri dan terhadap perbuatannya.
ini dapat menjadi trauma baginya. Ia memiliki Orang tua tidak membiarkan anak mengatur
rasa takut hidup berhadapan dengan orang dirinya sendiri, melainkan menuntun anak
lain. Ia memiliki keinginan untuk kembali untuk berbuat dengan penuh sikap
kepada kehidupan di dalam kandungan dan ia kelembutan. Dari sudut perkembangan
berusaha untuk mencari kenikmatan itu sosialnya, anak mulai bisa melakukan sendiri
dengan berbagi cara. beberapa aktivitas yang tadinya bisa dilakukan
Bagi Freud rasa takut ini merupakan orang lain baginya.
tanda-tanda keinginan yang bersifat naluriah Layaknya fase oral, fase anal juga
dan menuntut pemuasannya (Freud, 1953). dibagi atas dua fase, yaitu sub fase
Misalnya, keinginan untuk mengisap. pengeluaran kotoran dan sub fase penahanan
Keinginan ini merupakan ekspresi asrat kotoran (Gunarsa, 1997). Kedua sub fase ini
seksual, untuk memperoleh kesenangan fisik merupakan kegiatan anak untuk mendapatkan
dengan jalan menggunakan mulut. Dalam kepuasan dan sekaligus juga sebagai reaksi
pendidikan seksualitas ibu harus terhadap sikap orang tua yang tidak
mengembangkan rasa baru untuk mencapai menyenangkan dirinya. Pada pengeluaran
kepuasan. Berhasil atau tidaknya pendidikan kotoran tampak sikap ‘mengotori’
yang dilaksanakan dapat dilihat dari masih lingkungannya. Anak di sini bersikap masa
atau tidaknya kegiatan oral ini pada bayi. bodoh, serampangan dan tidak rapi.
Sedangkan pada kegiatan menahan kotoran
Pada Masa Anak-anak 2-5 Tahun merupakan kepuasan lain untuk menunjukkan
Masa anak-anak bahwa ia tidak mau ‘diatur’ oleh orang lain.
Masa anak-anak berkisar sekitar umun Anak di sini bersifat kaku, keras kepala,
2-5 tahun. Berdasarkan pendapat Freud, kerapian yang berlebih-lebihan.
setelah melihat fase-fase perkembangannya, Pada fase ini dapat terjadi fiksasi kelak
masa anak-anak dapat dibagi atas dua fase, kemudian hari, apabila anak tidak dapat
yaitu fase anal (2-3 tahun) dan fase falis (3-5 mengalami kepuasan dalam fase ini. Fiksasi

566
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

tersebut seperti, homoseksualitas, lesbian, Relasi ayah-ibu dan anak sebagai situasi
phobia dan infantilisme. Karena itu peran seksual
orang tua sangat dibutuhkan, agar kelak anak Freud berpendapat bahwa tingkah laku
berkembang sesuai dengan fase yang manusia yang bermacam-macam ini bisa
dialaminya. Sehingga nanti anak tidak dimengerti, kalau kita mencari motivasi dan
mengalami kesulitan dengan dirinya sendiri dorongan berbagai tingkah laku itu.
dan dengan orang lain. Menurutnya the behavior is based on a
principle called the pleasure principle, namely
Penghayatan jenis kelamin sendiri seeking comfort and avoiding painful feelings
Pada masa anak-anak mereka mulai (Freud, 1953). Salah satu segi pencari
mengenal lingkungannya, mengenal hubungan kenikmatan ialah seksualitas. Dorongan
dengan orang lain di luar orang tuanya, hanya tingkah laku untuk mencari kenikmatan ini
saja hubungan sosial masih bersifat sederhana disebabkan suatu energi yang terdapat pada
(Sobur, 1985). Pengenalannya terhadap orang manusia, yang biasa disebut libido. Libido ini
lain atau lingkungannya membawa efek lebih jelas kita hubungkan dengan oedipus
terhadap anak. Anak tidak mau diatur lagi oleh kompleks, di mana terjadi hubungan cinta
orang tuanya, namun dari sisi lain ia merasa antara anak laki-laki dengan ibunya dan anak
ragu-ragu dalam perbuatannya. Sikap keragu- perempuan dengan ayahnya. Hubungan ini
raguan dalam perbuatannya ini menimbulkan jelas merupakan situasi seksual, yang lebih
kesulitan dalam perkembangan dan dari sekedar saingan antara anak dan
identifikasi, seperti yang kita lihat pada fase orangtuanya. Namun, persaingan ini
anal dan falis. menimbulkan ketakutan dari anak. Untuk
Pendidikan seksualitas harus membawa menghilangkan ketakutan ini anak berusaha
anak untuk dapat memenuhi kebutuhan- mengidentifikasikan dirinya dengan orang tua.
kebutuhannya pada fase-fase ini. Agar ia dapat Sebab bagaimanapun anak berusaha
mencapai kepribadian yang normal dan tidak menghindarkan oedipus kompleks, baik yang
merasa ragu-ragu dalam perbuatannya untuk berupa persaingan seksual maupun yang
mengenal dirinya sendiri dan orang lain. Salah berupa persaingan sosial (Brouwer, 1985).
satu pendidikan seksualitas yang sangat
penting ialah membantu anak untuk Pada Masa Sekolah Dasar 6-12 Tahun
menghayati jenis kelaminnya sendiri. Sebab Masa sekolah dasar
dengan mengenal jenis kelaminnya sendiri Masa sekolah dasar berkisar antara
anak dapat mengenal dirinya sendiri dan umur 6 – 12 tahun. Berdasarkan pendapat
mengenal perbedaan dirinya dengan orang Freud, pada umur-umur sekian anak berada
lain. dalam fase latens. Fase ketika aktifitas seksual
Pengenalan dan penghayatan jenis dapat dikatakan tenang, terpendam dan tidak
kelamin sendiri ini merupakan langkah aktif. Sekaligus di dalam kelompok bisa
pertama pendidikan seksualitas di bidang timbul pembicaraan atau kenakalan seksual
informasi organ-organ tubuh. Karena anak (termasuk berbicara kotor), intensitasnya tidak
dapat mengenal dan menghayati dirinya sehebat ketika fase sebelumnya atau sesudah
sendiri, maka anak tidak merasa iri akan jenis fase latens.
kelamin lain. Sebaliknya ia akan merasa puas Pada masa sekolah dasar ini memang
dengan jenis kelaminnya sendiri. Hal ini jelas terjadi perkembangan yang hebat dan
akan memudahkan anak mengidentifikasikan kompleks pada seluruh aspek, seperti
dirinya dengan model ayah atau ibunya. perkembangan kognitif melalui pendidikan
Berhasilnya pengidentifikasian diri, kegiatan formal di sekolah, perkembangan moral dan
yang terdapat pada fase falis, akan sosial melalui hubungan yang luas dengan
menumbuhkan perkembangan yang normal lingkungan hidupnya. Ia juga mempelajari
pada anak. Dengan perkembangan yang dasar-dasar untuk bisa menyesuaikan diri
normal dan baik ini, maka efek negatif pada dalam lingkup sosial. Boleh dikata, pada fase
fase ini, seperti fikasi homoseksualitas, tidak ini anak ingin mengetahui banyak hal apa yang
akan ditemui kelak dalam kehidupannya. menarik bagi dirinya. Sehingga tidak heran
orang tua atau guru merasa kelabakan dalam

567
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak Begitu pula segala pengetahuan dan


didiknya. keterampilan yang dipeljarinya dapat pula
Berbeda pada fase sebelumnya, pada mempengaruhi kepribadian anak. Dampak dari
fase ini pendidikan seksualitas tidak hanya segala kegiatan pada fase ini mau tidak mau
menjadi tanggung jawab orang tua saja, mengakibatkan pula kehidpan anak
melainkan juga menjadi tanggung jawab guru dikemudian hari. Dampak ini bisa muncul
atau sekolah. Hal ini mengingat anak sudah kapan saja, baik secara sadar maupun secara
menginjak usia sekolah dan mengenal tidak sadar. Sebab dalam diri manusia terdapat
lingkungan lebih banyak dari sebelumnya. libido yang selalu ingin muncul keluar.
Karena situasi kejiwaan anak lebih Pendidikan seksualitas di sini
berkembang dari sebelumnya, maka pada fase mempunyai fungsi untuk menggerakkan
ini pendidik harus lebih berhati-hati dalam segala keinginan, kecenderungan, aktivitas
pelaksanaan pendidikan seksualitas. Selain itu anak ke bentuk tingkah laku yang baik.
orang tua dan guru selaku pendidik harus Pendidikan yang demikian penting diberikan
bersikap tegas. Sikap tegas sedemikian rupa sejak dini, sebab apa yang dilakukannya saat
akan memungkinkan semakin kecilnya anak ini mempengaruhi kepribadiannya kelak.
dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan yang Apabila kelak keinginan dan kecenderungan
tidak sesuai yang datang dari luar. Selain anak muncul ia sudah sikap menghadapinya.
bersikap tegas, orang tua dan guru juga harus Dia tidak mengalami frustrasi bila berhadapan
membina ingatan, kemauan, perasaan dan dengan masalah-masalah kehidupannya.
fantasi anak. Dengan demikian anak memiliki Pendidikan seksualitas dengan melihat
keseimbangan kepribadian, yang kelak hidup kemungkinan-kemungkinan yang akan datang,
di tengah-tengah orang lain. itulah yang perlu diberikan kepada anak-anak
didik.
Rangsangan lingkungan Pendidikan seksualitas akan berhasil,
Seperti sudah dikatakan di atas pada apabila adanya sikap tegas dari orang tua dan
masa sekolah dasar ini anak berusaha untuk guru. Sikap tegas ini mencakup penanaman
mengetahui lebih banyak hal-hal yang disiplin pada anak. Agar dengan demikian
dijumpai dan dialaminya, anak membina anak tahu mana yang boleh dan mana yang
hubungan dengan lingkungannya, termasuk tidak boleh dilakukannya. Namun, sikap tegas
teman-teman. Aktivitas ini jelas ini harus dilakukan dengan penuh cinta kasih.
mempengaruhi kehidupannya kelak dalam
lingkungan sosial. Karena itu dalam Pada Masa Pubertas – Remaja 12-21 Tahun
pendidikan seksualitas orang tua atau keluarga Masa pubertas – remaja
dan guru pihak sekolah harus membina Setelah peneliti memaparkan ketiga
rangsangan lingkungan yang positif untuk masa di atas berserta arah penerapan
perkembangan mereka. Salah satu rangsangan pendidikan seksualitas, maka sampailah kita
lingkungan yang baik, misalnya sikap pada masa yang terakhir dalam perkembangan
hubungan orang tua yang harmonis dalam anak, yaitu masa pubertas atau masa remaja.
perkawinan. Dengan tingkah laku perkawinan Masa ini merupakan masa peralihan atau
yang demikian, maka akan mempengaruhi transisi, sebelum masa dewasa.
anak pula dalam perkawinannya. Contoh lain, Menurut Freud, masa ini dapat disebut
misalnya guru menciptakan situasi penuh cinta fase pubertas atau fase genital. Berbeda
kasih dalam lingkungan sekolah. Rangsangan- dengan fase-fase sebelumnya, pada fase ini
rangsangan lingkungan yang positif sejatinya dorongan seks dalam arti yang sebenarnya
memang harus dibina pada masa sekolah dasar mulai muncul. Objek cinta berpindah dari apa
ini. Sebab rangsangan lingkungan, baik positif yang terjadi pada fase falis. Karena itu, fase
maupun negatif sangat mempengaruhi pubertas ini dapat dikatakan juga sebagai fase
kehidupan anak di kemudian hari. falis kedua atau fase genital (Gunarsa, 1986).
Pada fase genital ini terjadi
Sikap tegas dari orang tua – guru perkembangan pada arah cinta. Kalau tadinya
Lingkungan dapat mempengaruhi cinta hanya satu arah, yakni terpusat pada diri
kepribadian anak, baik positif maupun negatif. sendiri, maka sekarang cintanya bisa dua arah.

568
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

Ini merupakan tanda adanya perkembangan pernikahan. Sebab perbuatan seperti ini bisa
hubungan anak dengan lingkungan sosialnya. mengakibatkan anak pada usia remaja jatuh
Anak sudah memiliki kemampuan dalam free sex, yang secara berangsur-angsur
menyesuaikan diri. Kesulitan yang biasa pula bisa mengarah pada tingkah laku tuna
timbul ialah perbedaan-perbedaan norma, baik susila dan amoral lainnya.
dari orang tua si remaja maupun dari Pembinaan kematangan seksual dengan
masyarakat sekelilingnya. Perbedaan- pendidikan dapat membantu anak untuk
perbedaan ini sering menimbulkan mengatasi dorongan-dorongan seksualnya.
ketergantungan yang berhubungan dengan Pendidikan seksualitas untuk mengatasi
masalah seks pada remaja. dorongan seksual yang negatif dapat diberikan
dengan berbagai cara. Misalnya, orang tua
Pembinaan perasaan heteroseksualitas atau guru menciptakan suasana penuh cinta
Ciri heteroseksual pada masa pubertas dalam rumah atau sekolah. Dengan adanya
ini diikuti pada ciri homoseksual, sehingga suasana demikian anak tidak melarikan diri
pada masa ini anak ditandai oleh tendens dari rumah atau sekolah. Sebab pada
biseksualitas (tertarik pada seks sendiri dan umumnya usaha melarikan diri dari rumah
sekaligus juga pada jenis kelamin lain disebabkan oleh kerisauan seksual (Kartono,
(Kartono, 1981). Karena adanya tendens 1981). Dengan melarikan diri dari rumah,
biseksualitas ini anak remaja menjadi ragu- maka ada kemungkinan mereka berusaha
ragu dalam memilih objek cintanya. Misalnya, mengatasi kerisauan seksual ini dengan
tidak dapat menentukan kasih yang lebih besar melakukan hubungan seksual yang tidak
terhadap ayah atau terhadap ibunya, ragu-ragu semestinya mereka lakukan atau melakukan
memilih objek cinta di antara sekian banyak hubungan seks sebelum waktunya.
peminta, dibingungkan oleh dorongan Anak remaja yang sedang berada pada
biseksual dan heteroseksual. fase pubertas atau genital ini memang
Kesulitan yang menandai masa ini memerlukan perhatian yang besar. Sebab
hendaknya menjadi objek bagi pendidikan kesalahan atau kelalaian orang tua atau guru
seksualitas. Supaya anak tidak merasa ragu- pada fase ini dapat berakibat buruk bagi anak
ragu dan bingung akan objek cintanya, maka di kemudian hari. Sebaliknya, orang tua atau
orang tua dan guru harus mengarahkan guru yang penuh perhatian dapat
perasaan anak ke perasaan heteroseksual. mengakibatkan anak kelak hidup penuh
Pembinaan perasaan heteroseksual ini bisa tanggung jawab, baik bagi dirinya sendiri
dilakukan dengan memberikan kepastian akan maupun bagi masyarakat disekitarnya.
objek cinta yang sesungguhnya. Misalnya,
orang tua memberi contoh pada anaknya Seksualitas menuju cinta perkawinan
bahwa perkawinan mereka merupakan Pada fase pubertas anak sudah memiliki
interaksi yang saling melengkapi antara pria kematangan seksual di satu pihak dan di lain
dan wanita. Pendidikan seksualitas dalam hal pihak anak memiliki keraguan, kecemasan dan
pembinaan perasaan heteroseksual ini begitu ketidakstabilan psikis. Kematangan seksual
penting. Anak dapat dibantu dalam mencari dapat kita lihat dengan adanya pertumbuhan
kepastian objek cintanya. Sehingga kelak anak rambut pada kemaluan, mimpi basah pada
tidak jatuh dalam pervensi-pervensi yang anak laki-laki dan haid pada anak perempuan.
menggelisahkan orang tua dan masyarakat, Gejala-gejala ini biasanya sudah terdapat pada
seperti homoseksualitas, sadisme, narcisme anak berumur 11 tahun. Seperti haid misalnya
dan masturbasi. bisa terjadi lebih awal lagi, yaitu pada umur 9-
10 tahun (Tukan, 1986).
Pembinaan kematangan seksual Gejala-gejala yang terdapat pada fase ini
Pembinaan kematangan seksual juga di pihak lain menimbulkan kecemasan,
memainkan peranan penting, selain pembinaan kebimbangan dan ketidakstabilan psikis.
perasaan heteroseksual. Dengan pembinaan Menurut Freud, keadaan demikian disebabkan
kematangan seksual diharapkan anak tidak dorongan-dorongan libido dari diri manusia.
jatuh dalam dorongan seksual yang negatif, Di satu pihak dorongan-dorongan ini
seperti melakukan relasi seks sebelum menghendaki pemenuhan, di lain pihak adanya

569
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

ketakutan untuk memenuhi dorongan- mereka yang memperkaya pribadi. Hal ini
dorongan tersebut. Ketakutan ini disebabkan dapat ditunjukkan dengan adanya kebahagiaan
norma-norma yang melarang anak memenuhi dan keharmonisan dalam perkawinan.
dorongan-dorongan seksualnya. Di sekolah penerangan arti dan nilai
Menjadi ego ideal mau tidak mau seksualitas dan perkawinan dapat dilaksanakan
mereka harus memenuhi tuntutan dorongan dalam bentuk inforamtif. Guru dapat
tersebut. Nah, peranan orang tua dan guru menerangkan kepada anak didiknya arti dan
sangat dibutuhkan di sini. Dalam pendidikan nilai dari seksualitas dan perkawinan tersebut.
seksualitas orang tua dan guru harus bisa Maka perlulah juga kiranya guru
membantu anak didiknya untuk memenuhi mempersiapkan diri dalam menerangkan hal
kebutuhan seksual mereka. Seperti yang sudah ini. Penerangan arti dan nilai dari seksualitas
diakatakan di atas, pada masa ini ada dorongan dan perkawinan itu sendiri dapat dilaksanakan
untuk mencintai jenis lain, melakukan dengan berbagai cara. Misalnya, guru dapat
hubungan seksual dan cinta ke arah menerangkan arti dan nilai perkawinan dalam
perkawinan. Untuk itu orang tua dan guru bentuk pelajaran sastra, biologis ataupun
harus mempunyai garis yang jelas dan dalam pelajaran agama. Banyak cara yang
bijaksana. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat ditempuh oleh guru. Hanya satu hal
tidak merasa takut, cemas dan bimbang yang perlu di perhatikan dalam menerangkan
dengan tingkah lakunya. pendidikan seksualitas, yaitu perlu adanya
perhatian, pengertian akan kondisi anak didik
Penerangan arti dan nilai seksualitas dan dan penuh cinta kasih.
perkawinan Penerangan arti dan nilai seksualitas
Setelah kita melihat pentingnya dan perkawinan kepada anak didik demikian
pembinaan perasaan heteroseksual dan penting. Pendidik harus sedini mungkin
kematangan seksual serta pembinaan menanamkan arti dan nilai seksualitas dan
seksualitas menuju cinta perkawinan, maka perkawinan, yang bersifat persona dan sosial
pentinglah juga kiranya peneliti menerangkan itu. Bersifat persona (pribadi) artinya
arti dan nilai seksualitas dan perkawinan itu perkawinan merupakan cara persona
sendiri. Hal ini mengingat pada masa ini mewujudkan diri dan sekaligus nilai yang
merupakan masa peralihan sebelum masa memperkaya persona. Di dalamnya menuntut
dewasa. Di mana dalam masa dewasa kesetiaan, saling menghargai, menghormati,
seseorang sudah berada dalam pergaulan, memberi dan menerima. Adapun perkawinan
kegiatan dalam kebersamaan, perkawinan dan yang bersifat sosial berarti perkawinan
membesarkan keluarga. Boleh dikatakan pada tersebut memiliki fungsi prokreatif dan
masa dewasa orang bukan hanya tertarik pada edukatif dan juga perkawinan tersebut
lawan jenis, melainkan juga sudah memuncak memberikan status sosial kepada suami istri.
pada kesatuan seksual. Masa ini oleh Freud Dengan demikian mereka diakui sebagai
disebut masa aurat atau taraf aurat (Hall, bagian dari masyarakat yang ikut mengatur
1980). berbagai segi yang menyangkut kesejahteraan
Sebelum memasuki masa dewasa ini, umum atau kepentingan orang banyak.
maka pentinglah kiranya arti dan nilai dari
seksualitas dan perkawinan diberikan. Agar SIMPULAN
dalam perkawinan mereka kelak dapat Menyingkap teori seksualitas
menciptakan keluarga yang harmonis. psikoanalisa dan usaha penerapannya dalam
Pendidikan seksualitas dalam menerangkan pendidikan seksualitas memang tak mudah
arti dan nilai dari seksualitas dan perkawinan diselami. Sigmund Freud bapak psikoanalisa,
dapat dilakukan oleh orang tua dalam telah berusaha menyajikan teori seksualitasnya
keluarga, maupun oleh guru dalam sekolah. kepada kita. Teorinya memang terasa
Dalam keluarga penerangan arti dan berpengaruh di dalam segala bidang
nilai seksualitas dan perkawinan dapat penyelidikan tentang manusia, seperti
dilaksanakan dalam bentuk sikap dan suasana psikologi, filsafat dan pendidikan. Namun,
dalam perkawinan. Ayah dan ibu dapat lepas dari itu teori seksualitas Freud tetaplah
memperlihatkan suasana dalam perkawinan suatu teori. Ia tidak dapat menyingkap segala

570
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

perilaku kehidupan manusia secara tuntas. religius hanya sekedar ilusi dan kurang
Sebab manusia adalah multidimensional. melihat peran lingkungan serta aktivitas
Artinya, di dalam diri manusia terdapat natural dan spontan dari manusia. Sebagai
berbagai dimensi yang mempengaruhi hidup makhluk nafsu manusia seakan-akan tidak
dan perilakunya, seperti moral, sosial dan memiliki kehendak bebas. Dorongan-dorongan
agama. Selain itu manusia juga merupakan nafsu yang terdapat dalam diri manusia, secara
suatu misteri, yang tak habis-habisnya untuk sadar atau tak sadar, memberlenggun manusia
dibicarakan dan diungkapkan. Manusia untuk terus-menerus memenuhi dorongan-
sebagai subjek yang terus menerus dorongan tersebut. Tak terpenuhinya
dibicarakan, tapi ia tetap misteri yang tak dorongan-dorongan nafsu akan menimbulkan
mudah terungkap. kecemasan dalam diri manusia. Untuk
Banyak teori yang ingin menjelaskan menghindari kecemasan ini manusia
dan menyingkap siapa itu manusia, namun menciptakan agama. Agama dan sikap-sikap
segala teori hanya dapat mengungkapkan religiusnya nampak hanya sebagai ilusi belaka
sebagian kecil dari diri manusia itu. Salah satu dari manusia yang tak dapat memenuhi
diantaranya ialah teori seksualitas psikoanalisa dorongan-dorongan nafsunya. Dari
Sigmund Freud. Walaupun teori seksualitas pandangannya ini nampak Freud kurang
Freud ini mengungkapkan hanya sebagian melihat peran lingkungan, aktivitas natural dan
hidup manusia dan perilakunya, namun spontan beragam, perkembangan kepribadian
sebagai teori ia harus mendapat perhatian dari manusia dan bertingkah laku yang tidak hanya
kita. Sebagai teori di antara teori-teori yang disadari oleh nafsu-nafsu manusia belaka.
lain, teori seksualitas Freud sedikit banyak Namun, dari segi positif teori seksualitas
telah membantu kita untuk mengerti siapa itu Freud dapat membuka mata kita, bahwa
manusia. manusia mempunyai dimensi seksual yang
Freud dengan teori seksualitasnya harus diperhatikan dalam perkembangan
menekankan bahwa manusia adalah makhluk kepribadian manusia. Selain itu Freud
nafsu (Freud, 1953). Sebagai makhluk nafsu di menunjukkan kepada kita adanya fase-fase
dalam dirinya terdapat mekanisme-mekanisme perkembangan seksual dalam setiap manusia,
pertahanan untuk terus memperoleh kepuasan yang sudah dimulai sejak manusia masih bayi.
nafsu-nafsunya. Dorongan untuk memperoleh Di mana dalam perkembangan ini terdapat
kepuasan ini mau tidak mau membuat manusia dorongan-dorongan seksual, baik sadar, di
wajib untuk memenuhinya. Sebagai makhluk dalam diri setiap manusia (Go, 1985).
nafsu tidak hanya terdapat dalam diri manusia Sejalan dengan pendidikan seksualitas,
dewasa, tetapi sudah terdapat sejak manusia dalam teori seksualitas Freud, terdapat hal-hal
masih bayi. Perkembangan seksualitas bagi yang perlu dipertimbangkan, serta seksualitas
Freud sejalan dengan perkembangan sudah terdapat sejak manusia masih bayi.
kepribadian manusia, yang melewati berbagai Pentingnya pendidikan seksualitas baik formal
fase, yaitu fase anal, oral, falis, latens dan maupun informal (keluarga, masyarakat)
genital. Pada fase-fase perkembangan inilah maupun formal (sekolah), semakin terasa
dorongan-dorongan seksualitas harus dewasa ini. Sebab dengan adanya pendidikan
terpenuhi secara wajar. Tak terpuaskannya seksualitas pribadi anak dapat bertumbuh
dorongan-dorongan seksual pada masa dengan harmonis dan khususnya mereka dapat
perkembangan manusia, maka akan terjadi lebih menghargai kodrat seksualnya. Karena
fiksasi pada fase-fase tertentu. Fiksasi inilah pentingnya pendidikan seksualitas, maka pihak
yang mengakibatkan kepribadian yang orang tua, sekolah dan masyarakat. Harus
disharmonis pada masa dewasa (Gunarsa, ambil bagian dalam pendidikan ini.
1997). Teori seksualitas psikoanalisa Freud
Secara kristis teori seksualitas Freud, memang muncul dan berkembang di dunia
bila ditinjau dari berbagai disiplin ilmiah, Barat. Kita kadang-kadang mungkin
seperti filsafat, pendidikan dan psikologi, meragukan apakah teori Freud ini dapat
terdapat segi-segi positif dan negatif. Secara diterapkan di Timur yang berbeda terhadap
negatif Freud terlalu menekankan manusia masalah seksual. Sikap-sikap, seperti
sebagai makhluk nafsu, perbuatan-perbuatan keterbukaan, tingkah laku, tabu terhadap

571
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

kehidupan seks nampaknya memang berbeda. HI, Y.H. (2019). Pentingnya Pendidikan Seks
Namun, sebagai teori an sich tetap perlu Bagi Anak. Jurnal Al-Wardah Kajian
diketahui dan kita mencoba mengambil yang Perempuan, Gender dan Agama, (13) 1.
terbaik dari teori seksualitas Freud ini dan Indracaya, Anton. (2000). Menyingkap Tirai
kemudian mengusahakan penerapannya dalam psikologi, Psikoseksual & Seksologi.
pendidikan seksualitas yang memang Yogyakarta: Galang Press.
merupakan bagian integral pendidikan anak Isnatul, C. (2018). Psikoedukasi Pendidikan
dan remaja. Seks untuk Meningkatkan Sikap Oran
Tua dalam Pemberian Pendidikan Seks.
DAFTAR RUJUKAN Jurnal Intervensi Psikologi, 10 (2).
Alwisol. (2005). Psikologi Kepribadian. Kuntojo. (2015). Psikologi perkembangan.
Malang: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: Diction.
Malang. Koeswara, E. (2001). Teori-teori Kepribadian.
Bertens, K. (2016). Psikoanalisis Sigmund Bandung: PT Eresco.
Freud. Jakarta: Gramedia. Kartini, Kartono. (1981). Kamus Lengkap
----------. (1984). Memperkenalkan Psikologi. Jakarta: Rajawali Press.
Psikoanalisa: Lima Ceramah. Jakarta: Latipun. (2001). Psikologi Konseling. Malang:
Gramedia. Universitas Malang.
Bettelheim, B. (1969). Psychoanalysis and Lundian, Robert W. (1969). Personality: A
Education. Chicago Journal. University Behavioral Analysis. London: The
of Chicago. Macmillan Company.
Brouwer, M.A.W. (1985). Ayah dan Putranya. M. Asrori. (2005). Perkembangan Peserta
Gramedia: Jakarta. Didik. Malang: Wineka Media.
Corey, Gerald. (1988). Teori dan Praktik Mackenzi, C. (2020). Missouri Sex Education
Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Policy: Recommendation for Revision
Eresco. to Reduce Teen Pregnancy Rates.
Davidoff, Linda L. (1987). Introduction to Jurnal Sexuality Research and Social
Psycholog. New York: McGraw-Hill Policy, 17 (4).
Book Company. Miller, George A. (1964). Psychology: the
Drajati, E.N.L (2020). Psikologi Komunikasi Science of Mental. London: Pillguin
dan Kekerasan Seksualitas Pada Anak Books.
Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak Usia Monk, F. J., dkk. (1994). Psikologi
Dini, 5 (2). Perkembangan: Pengantar dalam
Ernerst, K. (2000). On Psychoanalysis and Berbagai Bagiannya. Yogyakarta:
Education. New York: McGraw-Hill Gadjah Mada University Press.
Book Company. Pomeroy, Wardell, B. (1973). Boy and Sex.
Freud, Sigmund. (1953). Three Essaison Penguins Books: London.
Sexuality. London: Hogart Press. Rubin, Zick dan Elton B. McNeil. (1981).
----------. (1955). Leonardo da Vinci: A Study Psychology of Being Human. New
in Psychosexuality. London: Hogart York: Harper"& Row Publisher.
Press. Ruch, John C. (1984). Psychology: The
----------. (1964). An Outline of Personality Science. California:
Psychoanalysis. London: Hogart Press. Wadsworth Publishing Company.
Go, Piet. (1985). Seksualitas dan Perkawinan. Sarwono, Sarlito Wirawan. (2000). Teori-teori
STFT Widya Sasana: Malang. Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Gunarsa, Singgih D. (1997). Dasar dan Teori Persada.
Perkembangan Anak. Jakarta: BPK Shofwatun, A. dan Nuqul, F.L. (2017).
Gunung Mulia. Eksplorasi Persepsi Ibu tentang
Hall, Calvin, S. (1980). A Primer of Freudian Pendidikan Seks untuk Anak. Jurnal
Psychologi. PT. Pembangunan: Jakarta. Ilmiah Psikologi, 4 (2).
Hattlinger, Richard, F. (1967). Living With Sex Sobur, Alex. (1985). Butir-Butir Mutiara
The Student’s Dilemma. Seabury Press Rumah Tangga. BPK Gunung Mulia:
Inc: London. Jakarta.

572
10.26418/j-psh.v13i2.57871
(J-PSH) JURNAL PENDIDIKAN SOSIOLOGI DAN HUMANIORA
Volume 13 Number 2 Oktober 2022
Page 556-573/ E-ISSN: 2715-1247 dan P-ISSN: 2087-84xx
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/index

Storr, Antony. (1989). Freud. New York:


Oxford University Press.
Syah, M. (2010). Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru. Bandung:
Rosdakarya.
Tukan, Suban, Johan. (2000). Pendidikan
Seksualitas. PKK-KAJ: Jakarta.

573
10.26418/j-psh.v13i2.57871

Anda mungkin juga menyukai