Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KONSEP DAN TEORI PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK DARI SUDUT


PANDANG TEORI PSIKOANALISA (SIGMUND FREUD)

Disusun untuk memenuhi syarat Tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
Tahun Ajaran 2024/2025

Dosen Pengampu :
Dr. Happy Karlina Marjo, M.Pd., Kons.

Kelompok 1
PPKN B

Disusun Oleh:
1. Davina Shafa Salsabila (1401623060)
2. Meisya Yudithia (1401623074)
3. Shafira Putri Damayanti (1401623078)
4. Teguh Pribadi (1401623037)

MATA KULIAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL
2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya
dengan segala rahmat-Nyalah akhirnya kami bisa menyusun makalah dengan tema
“Konsep dan Teori Perkembangan Peserta Didik dari Sudut Pandang Teori
Psikoanalisa (Sigmund Freud)” ini tepat pada waktunya. Tidak lupa kami
menyampaikan rasa terimakasih kepada Ibu Happy Karlina Marjo selaku dosen
pengampu mata kuliah Perkembangan Peserta Didik yang telah memberikan tugas
ini sehingga kami bisa mendapatkan banyak tambahan pengetahuan khususnya
terhadap materi yang akan dibahas ini. Terimakasih juga kepada teman-teman kami
yang telah memberikan waktunya untuk berdiskusi sehingga makalah ini akhirnya bisa
tersusun dengan baik dan benar.

Kami berharap semoga makalah yang telah disusun ini bisa memberikan
banyak manfaat serta menambah pengetahuan terutama tentang Perkembangan
peserta didik dari sudut pandang teori psikoanalisa. Namun terlepas dari itu, kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
yang lebih baik lagi di masa depan.

Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 19 Februari 2024

Penulis
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Psikoanalisis Sigmund Freud
2.2 Struktur Kepribadian Sigmund Freud
2.3 Dinamika Kepribadian
2.4 Mekanisme Pertahanan Ego
2.5 Tahap-tahap Perkembangan Kepribadian
2.6 Implikasi Teori Perkembangan
2.7 Psikoanalisis Freud terhadap Pendidikan
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu psikologi mulai diakui sebagai ilmu mandiri sejak tahun 1879 ketika
Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama di Jerman. Sejak
saat itu, ilmu psikologi berkembang pesat dengan munculnya berbagai aliran-
aliran didalamnya. Salah satu aliran dalam ilmu psikologi tersebut adalah
konsep kepribadian. Konsep ini pun akhirnya dimaknai oleh banyak ahli dengan
definisi yang beragam, salah satunya pemaknaan konsep kepribadian dari
aliran psikoanalisis (Ja’far: 2015).
Teori psikoanalisis adalah teori yang berusaha menjelaskan hakikat dan
perkembangan kepribadian. Unsur-unsur yang diutamakan dalam teori ini
adalah motivasi, emosi dan aspek-aspek internal lainnya. Teori ini
mengasumsikan bahwa kepribadian berkembang ketika terjadi konflik-konflik
dari aspek-aspek psikologis tersebut, yang pada umumnya terjadi pada anak-
anak atau usia dini. Salah satu aliran ilmu psikologi adalah psikoanalisis yang
dikembangkan oleh Sigmund Freud. Freud mengembangkan teori
psikoanalisis berdasarkan pengalaman dengan pasien-pasiennya, analisis
mimpi, dan kajian luas tentang literatur ilmu pengetahuan. Menurut Freud,
teorinya berevolusi mengikuti observasi dan data yang didapatkannya.
Meskipun demikian, Freud tetap konsisten pada ide-ide dasar psikoanalisis.
Dalam psikoanalisis, Freud mengemukakan gagasan bahwa alam
bawah sadar/tak sadar jauh lebih besar dari alam sadar. Ia juga memandang
manusia sebagai makhluk yang ditentukan oleh dorongan-dorongan tak sadar
dan naluri biologis. Gagasan ini dianggap revolusioner pada masanya. Teori
psikoanalisis Freud banyak mendapat kritik, tetapi juga memberi pengaruh
besar tidak hanya bagi psikologi dan psikiatri, tetapi juga bidang-bidang lain
seperti sosiologi, antropologi, politik, filsafat, sastra dan seni. Dalam psikologi
khususnya, pengaruh psikoanalisis tampak pada banyak teori kepribadian
modern yang mengambil atau setidaknya mempersoalkan gagasan-gagasan
Freud.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa konsep dasar dari teori psikoanalisa Sigmund Freud
(id, ego, dan superego).
2. Untuk mengetahui bentuk mekanisme pertahanan diri pada individu
(regresi, proyeksi, represi, reaksi formasi, sublimasi dan fiksasi).
3. Untuk mengetahui tahapan perkembangan psikoseksual (tahap oral, anal,
phallic, laten dan genital).
4. Untuk mengetahui implikasi teori perkembangan psikoanalisis Sigmund
Freud terhadap penyelenggaraan pendidikan.
5. Untuk mengetahui contoh kasus dan penyelesaiannya dalam teori
psikoanalisa (Sigmund Freud).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Psikoanalisis Sigmund Freud


Psikoanalisis merujuk pada bidang studi yang pertama kali diperkenalkan pada
sekitar tahun 1900 oleh Sigmund Freud. Fokus teori psikoanalisis terletak pada aspek-
aspek fungsi dan pertumbuhan mental manusia. Disiplin ilmu ini merupakan bagian
integral dari bidang psikologi, yang telah memberikan kontribusi signifikan dan
membentuk landasan penting bagi pemahaman psikologi manusia (Minderop, 2013:
11). Sigmund Freud lahir di Freiberg, Moravia, pada tanggal 6 Mei 1856, di wilayah
yang saat itu merupakan bagian dari Austria-Hongaria. Freud berasal dari latar
belakang keluarga Yahudi, dengan ayahnya, Jacob Freud, yang bekerja sebagai
pedagang atau agen tekstil. Pendidikan kedokteran Freud dilakukan di Wina, ia juga
bekerja di laboratorium Profesor Brücke. Pada zamannya, penemuan psikoanalisis
mengangkat Freud sebagai tokoh berpengaruh, dan istilah "psikoanalisis" sendiri
mulai muncul pada tahun 1896.
Terdapat tiga prinsip pokok dalam teori Freud, yakni prinsip konstansi, prinsip
kesenangan, dan prinsip realitas. Prinsip konstansi berusaha menjaga agar tingkat
ketegangan psikis tetap serendah mungkin atau setidaknya stabil dengan
menghindari peningkatan ketegangan melalui strategi "pertahanan" dan pelepasan
energi psikis. Prinsip kesenangan memprioritaskan penghindaran dari
ketidaknyamanan dan maksimalkan pencapaian kesenangan. Dalam konteks ini,
prinsip kesenangan dianggap sebagai versi subjektif dari prinsip konstansi, di mana
ketidaknyamanan terkait dengan peningkatan ketegangan psikis, sementara
kesenangan terkait dengan penurunan ketegangan psikis.
Pada tahap awal kehidupan psikis, terutama pada masa anak-anak, subjek
(yang mencari kesenangan) secara bertahap harus mempertimbangkan realitas,
menyebabkan penundaan dalam memenuhi kepuasan secara langsung. Inilah saat
muncul prinsip realitas, di mana prinsip kesenangan disesuaikan dengan realitas.
Dengan demikian, kehidupan psikis diwarnai oleh konflik antara daya psikis yang
beroperasi berdasarkan ketiga prinsip tersebut. Terdapat keterhubungan yang jelas
antara psikoanalisis dan kesusastraan yang perlu ditekankan dalam kesimpulan. Baik
atau buruk, teori Freud memandang bahwa dorongan mendasar dari perilaku manusia
adalah untuk menghindari rasa sakit dan mencapai kenikmatan (Eagleton, 2010: 278).

2.2 Struktur Kepribadian Sigmund Freud


Freud menguraikan pembagian psikisme manusia menjadi tiga bagian: id
(berlokasi di tingkat bawah sadar) sebagai penyimpan dorongan dan sumber energi
psikis; ego (berlokasi di antara alam sadar dan bawah sadar) sebagai penengah yang
mendamaikan tuntutan dorongan dan larangan superego; dan superego (sebagian
mengawasi dan menghalangi pemuasan pulsipulsi yang dipengaruhi oleh pendidikan
dan identifikasi pada orang tua) (Minderop, 2013: 21).

a) Id (das Es)
Id diibaratkan sebagai penguasa absolut yang memprioritaskan kepuasan instan
tanpa mempertimbangkan realitas. Ego berfungsi sebagai perdana menteri yang
menanggapi kebutuhan masyarakat dan mempertimbangkan realitas. Superego,
sebagai pendeta, menekankan nilai-nilai moral dan bijak untuk mengimbangi
dorongan rakus id. Id, berada di alam bawah sadar, menggerakkan manusia untuk
memenuhi kebutuhan dasar dan beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan
(Minderop, 2013: 21).
b) Ego (das Ich)
Ego berada di antara dua kekuatan yang saling bertentangan dan berupaya
memenuhi kesenangan individu dengan mempertimbangkan realitas. Fungsi utama
ego mencakup penalaran, penyelesaian masalah, dan pengambilan keputusan. Ego
merupakan pemimpin utama dalam kepribadian, mampu mengambil keputusan
rasional demi kemajuan individu seperti pemimpin perusahaan dalam mengelola
perusahaan. Baik id maupun ego tidak memiliki moralitas, karena keduanya tidak
mempertimbangkan nilai-nilai moral (Minderop, 2013: 22).
c) Superego (das Über Ich)
Struktur ketiga adalah superego, yang mencakup moralitas dalam kepribadian.
Superego, mirip dengan hati nurani, mengenali nilai baik dan buruk. Seperti id,
superego tidak mempertimbangkan realitas kecuali ketika impuls id dapat terpuaskan
secara moral. Superego berfungsi sebagai mediasi dalam pertimbangan moral,
misalnya, ketika ego ingin menjaga karir dengan menghindari kehamilan, namun id
menginginkan kenikmatan hubungan seksual. Dalam situasi ini, superego muncul dan
menengahi dengan penilaian moral tentang tindakan tersebut (Minderop, 2013: 22-
23).
2.3 Dinamika Kepribadian
Kehidupan mental dibagi menjadi tingkat-tingkat dan bagian-bagian pikiran yang
merujuk pada struktur atau komposisi kepribadian, sementara kepribadian sendiri
memiliki peran aktif. Freud mengusulkan prinsip motivasional atau dinamik untuk
menjelaskan kekuatan-kekuatan yang mendorong tindakan manusia. Menurut Freud,
motivasi manusia didorong oleh keinginan untuk mencapai kenikmatan dan
mengurangi tegangan serta kecemasan. Motivasi ini dipicu oleh energi fisik yang
berasal dari insting-insting (Semiun, 2006: 68).

a) Naluri (Instinct)
Freud menggunakan istilah Jerman "trieb" untuk merujuk pada dorongan atau
stimulus dalam individu. Meskipun istilah ini dapat diterjemahkan sebagai insting,
Freud lebih memandangnya sebagai dorongan atau impuls. Bagi Freud, konsep
insting melibatkan aspek psikologis dan biologis, berada di batas antara fenomena
tubuh dan mental. Insting dapat didefinisikan sebagai ekspresi psikologis dari
rangsangan somatik bawaan sejak lahir. Manifestasi psikologisnya disebut hasrat,
sementara rangsangan fisik yang memicu hasrat disebut kebutuhan.
Secara khusus, Minderop (2013: 23-25) menjelaskan bahwa dalam konsep
Freud, naluri atau insting mencerminkan representasi psikologis dari kebutuhan tubuh
yang menghasilkan keadaan tegang dan terangsang. Bentuk naluri menurut Freud
adalah pengurangan tegangan, memiliki ciri regresif dan sifat konservatif dengan
tujuan memelihara keseimbangan dan memperbaiki kekurangan. Proses naluri ini
berlangsung berulang, dengan pola ketegangan, ketenangan, dan kembali tegang
(repetition compulsion).
b) Jenis-Jenis Naluri
Freud mengidentifikasi berbagai jenis naluri dalam manusia, yang dapat
dibedakan menjadi eros atau naluri kehidupan (life instinct) dan destructive instinct
atau naluri kematian (death instinct atau Thanatos). Naluri kehidupan berkaitan
dengan pemeliharaan ego. Bagi Freud, pengertian istilah insting atau naluri tidak
hanya merujuk pada gambaran sederhana yang sering dikaitkan dengan kata
tersebut. Insting dalam konteks bahasa Perancis dapat menggambarkan keterampilan
atau penyesuaian biologis bawaan, mirip dengan naluri yang dimiliki oleh hewan
tertentu. Karena istilah ini tidak dapat mencakup kompleksitas dunia manusia, Freud
menggunakan istilah lain yang disebut pulsi. Pulsi seksual disebut libido, sementara
pulsi non-seksual disebut alimentasi yang berhubungan dengan hasrat makan dan
minum (Minderop, 2013: 26).
c) Naluri Kematian dan Desires of Death
Freud meyakini bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua energi pokok,
pertama, naluri kehidupan (life instincts atau Eros) yang termanifestasi dalam perilaku
seksual, mendukung kehidupan dan pertumbuhan. Kedua, naluri kematian (death
instincts atau Thanatos) yang menjadi dasar tindakan agresif dan destruktif. Meskipun
keduanya tersembunyi di alam bawah sadar, keduanya tetap menjadi kekuatan
motivasi (Hilgard et al melalui Minderop, 2013: 27). Naluri kematian dapat mengarah
pada perilaku bunuh diri atau perilaku penghancuran diri (self-destructive behavior),
atau bahkan bersikap agresif terhadap orang lain (Hilgard et al melalui Minderop,
2013: 27).
d) Kecemasan (Anxiety)
Setiap situasi yang mengancam kenyamanan suatu organisme diasumsikan
dapat memicu kondisi yang disebut anxiety. Berbagai bentuk konflik dan frustasi yang
menghambat perkembangan individu menuju tujuan mereka menjadi salah satu
penyebab anxiety. Ancaman ini dapat berupa ancaman fisik, psikologis, dan berbagai
tekanan yang menyebabkan munculnya anxiety. Kondisi ini diikuti oleh perasaan tidak
nyaman yang mencakup rasa khawatir, takut, dan ketidakbahagiaan yang dapat
dirasakan pada berbagai tingkatan (Hilgard et al melalui Minderop, 2013: 28).
Freud menekankan pentingnya anxiety dan membedakan antara kecemasan
objektif (objective anxiety) dan kecemasan neurotik (neurotic anxiety). Kecemasan
objektif adalah respons realistis ketika seseorang merasakan bahaya dalam
lingkungannya, yang sebanding dengan rasa takut. Kecemasan neurotik timbul dari
konflik dalam alam bawah sadar individu, yang tidak disadari oleh individu tersebut
sehingga mereka tidak menyadari alasan di balik kecemasan tersebut (Hilgard et al
melalui Minderop, 2013: 28). Freud meyakini bahwa kecemasan, sebagai hasil dari
konflik bawah sadar, muncul dari pertentangan antara dorongan id (biasanya bersifat
seksual dan agresif) dan upaya pertahanan dari ego dan superego (Minderop, 2013:
28).

2.4 Mekanisme Pertahanan Ego


Freud menjelaskan mekanisme pertahanan ego (ego defence mechanism)
sebagai strategi yang digunakan individu untuk menghindari ekspresi terbuka dari
dorongan-dorongan das Es dan untuk mengatasi tekanan das Uber Ich pada das Ich.
Tujuan dari penggunaan mekanisme ini adalah agar kecemasan yang dialami individu
dapat diminimalkan atau disalurkan (Kuntojo, 2015: 46). Freud mengemukakan
bahwa mekanisme pertahanan ego ini bersifat kompleks dan memiliki berbagai jenis.
Berikut adalah tujuh jenis mekanisme pertahanan ego yang menurut Freud umum
ditemui (Koeswara, 2001: 46—48).
1. Represi: Mekanisme ini dilibatkan oleh ego untuk mengurangi kecemasan
dengan menekan dorongan-dorongan penyebab kecemasan ke dalam
ketidaksadaran.
2. Sublimasi: Merupakan mekanisme pertahanan ego yang bertujuan untuk
mencegah atau mengurangi kecemasan dengan mengubah dan
menyesuaikan dorongan primitif das es ke dalam bentuk perilaku yang dapat
diterima dan bahkan dihargai oleh masyarakat.
3. Proyeksi: Melibatkan pengalihan dorongan, sikap, atau perilaku yang
menimbulkan kecemasan kepada orang lain.
4. Displacement: Ekspresi dorongan yang menimbulkan kecemasan kepada
objek atau individu yang kurang berbahaya dibandingkan individu asal.
5. Rasionalisasi: Mengacu pada upaya individu untuk memutar balikkan
kenyataan, terutama kenyataan yang mengancam ego, melalui alasan tertentu
yang seakan masuk akal. Rasionalisasi dapat dibedakan menjadi dua: sour
grape technique dan sweet orange technique.
6. Pembentukan Reaksi: Merupakan usaha individu untuk mengatasi kecemasan
karena memiliki dorongan yang bertentangan dengan norma, dengan cara
berperilaku sebaliknya.
7. Regresi: Mengindikasikan usaha mengatasi kecemasan dengan berperilaku di
tingkat perkembangan yang lebih rendah dari seharusnya.

2.5 Tahap-tahap Perkembangan Kepribadian


Menurut Freud, struktur kepribadian individu sudah terbentuk pada akhir tahun
kelima, dan perkembangan selanjutnya sebagian besar merupakan penghalusan dari
struktur dasar tersebut. Freud menyatakan bahwa proses perkembangan kepribadian
melibatkan lima tahap yang berkaitan dengan kepekaan terhadap daerah-daerah
erogen atau bagian tubuh tertentu yang responsif terhadap rangsangan. Kelima tahap
perkembangan kepribadian tersebut adalah sebagai berikut (Kuntojo, 2005: 172—
173).
1. Fase Oral (Oral Stage): Berlangsung dari kelahiran hingga sekitar 18 bulan.
Bagian tubuh yang menjadi sensitif terhadap rangsangan pada fase ini adalah
mulut.
2. Fase Anal (Anal Stage): Kira-kira usia 18 bulan hingga 3 tahun. Pada tahap ini,
fokus sensitivitas terletak pada anus.
3. Fase Falis (Phallic Stage): Berkisar antara usia 3 hingga 6 tahun. Pada fase
falis, bagian tubuh yang menjadi sensitif adalah alat kelamin.
4. Fase Laten (Latency Stage): Berkisar antara usia 6 hingga pubertas. Dorongan
seksual pada tahap ini cenderung bersifat laten atau tertekan.
5. Fase Genital (Genital Stage): Dimulai ketika individu memasuki pubertas dan
seterusnya. Pada tahap ini, individu telah mengalami kematangan pada organ
reproduksi. Tahap-tahap ini mencerminkan perjalanan perkembangan
kepribadian yang melibatkan interaksi kompleks antara individu dan
lingkungannya, serta memunculkan karakteristik kepribadian yang unik pada
setiap tahapnya.

2.6 Teori Mimpi


Teori mimpi, yang merupakan bagian integral dari karya Freud, memiliki peran
yang signifikan dalam perkembangan psikoanalisis. Freud memperhatikan adanya
persamaan antara mimpi dan peristiwa tidak sadar, seperti pada kasus psikosis
halusinasi akut di mana halusinasi muncul akibat tidak terwujudnya hasrat
tersembunyi. Mimpi dianggap berkaitan dengan hasrat terselubung, menjadi cara
alternatif untuk melihat pemenuhan hasrat kita. Pemahaman mimpi orang dewasa
dianggap lebih sulit karena penuh dengan teka-teki atau struktur yang kompleks,
sementara mimpi anak-anak memiliki struktur yang lebih sederhana dan lebih mudah
dimengerti.
Mimpi memiliki dua isi, yaitu isi manifest dan isi latent. Isi manifest adalah
gambaran-gambaran yang diingat setelah bangun, sedangkan isi latent sulit dipahami
karena tersembunyi. Isi latent merupakan teks asli yang bersifat primitif dan telah
diputar balik oleh isi manifest, yang kemudian harus disusun kembali untuk
menafsirkan mimpi, melibatkan teka-teki dan tumpang tindih.
Freud menjelaskan mekanisme atau cara kerja mimpi melibatkan empat proses
utama:
1. Proses figurasi, di mana pikiran diubah menjadi gambar untuk melihat hasrat
dalam bentuk nyata.
2. Proses kondensasi, yang melibatkan penghubungan beberapa pikiran
tersembunyi dalam suatu imaji atau gambar tunggal.
3. Proses pemindahan, yang terjadi ketika mimpi menonjolkan suatu yang
berlawanan arah dengan pikiran laten yang seharusnya diwujudkan,
menghindari pelacakan.
4. Proses simbolisasi, di mana gambaran mimpi sering terkait dengan pikiran
tersembunyi melalui hubungan analogis.
Teori mimpi mendekatkan sastra dengan psikoanalisis, di mana mimpi yang
diciptakan oleh sastrawan seringkali mirip dengan mimpi sejati dalam aktivitas psikis
bawah sadar. Freud melihat kesamaan antara karya sastra seperti "Oedipus Sang
Raja" karya Sophocles atau "Hamlet" karya Shakespeare dengan peristiwa bawah
sadar manusia, di mana terdapat hasrat tersembunyi. Hasil karya sastra dapat
memenuhi hasrat melalui sentuhan perasaan, menjadikannya dapat diterima oleh
berbagai kalangan dan waktu. Dengan adanya mimpi, kita dapat melihat masa kanak-
kanak umat manusia secara umum.
Selain itu, terdapat hubungan antara proses elaborasi dalam karya sastra dengan
pekerjaan mimpi. Mimpi diibaratkan sebagai tulisan, sebuah sistem tanda yang
menunjuk pada sesuatu yang berbeda, dengan persamaan dalam penafsiran mimpi
dan huruf hieroglif Mesir. Namun, perbedaan mencolok antara keduanya terletak pada
sifat linear dan logis tulisan, sementara mimpi bersifat figuratif dan tumpang tindih,
sulit dipahami secara langsung.

2.7 Implikasi Teori Perkembangan Psikoanalisis Freud terhadap Pendidikan


Dengan cara yang sederhana, penerapan teori Freud dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yakni menerapkan teori kepribadian dan menerapkan teori mimpi.
Penerapan teori kepribadian dilakukan dengan fokus pada pembahasan karakter
tokoh dalam suatu cerita. Langkah-langkahnya termasuk mengamati dan
mengidentifikasi pelaku serta watak tokoh, apakah bersifat impulsif atau penuh
pertimbangan. Perilaku yang paling mencolok pada tokoh cerita dianalisis dan
dihubungkan dengan perilaku lain untuk menunjukkan karakter tokoh.
Sementara itu, aplikasi teori mimpi memerlukan pendekatan semiotik agar dapat
memahami teori semiotika. Dalam mengklasifikasikan teori mimpi, penting untuk
memperhatikan cara kerja mimpi yang melibatkan proses figurasi, kondensasi,
pemindahan, dan simbolisasi. Analisis model teori mimpi ini tidak hanya mengandung
hubungan sebab-akibat, tetapi juga memperlakukan perilaku tokoh sebagai suatu
mimpi. Mimpi dalam konteks ini dianggap sebagai cara tersembunyi untuk memenuhi
hasrat. Langkah pertama adalah memilih karya sastra yang sesuai dengan teori
mimpi, terutama yang memiliki keunikan. Setelah itu, perilaku tokoh diidentifikasi dan
diintegrasikan, dianggap sebagai tanda yang diinterpretasi dan dihubungkan untuk
menemukan maknanya.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

4.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, Sarinah, Susilawati & Juanda. (2022). “Kajian Psikoanalisis Sigmund


Freud.” Jurnal Kependidikan. 7 (1), 29-30. Link:

Dyah, Putri. (2016). “Kepribadian Tokoh Utama Viktor Larenz Dalam Roman Die
Therapie Karya Sebastian Fitzek: Teori Psikoanalisis Freud.” 16-23. Link:

Helaluddin & Syawal, Syahrul. “Psikoanalisis Sigmund Freud dan Implikasinya dalam
Pendidikan.” 6-8. Link:

Anda mungkin juga menyukai