Anda di halaman 1dari 2

Peneliti berasumsi bahwa responden yang memiliki aktivitas fisik ringan tetapi menderita

diabetes mellitus disebabkan karena responden memiliki aktivitas yang kurang gerak.
Kurangnya aktivitas fisik akan menyebabkan peningkatan kadar gula darah dalam tubuh.
Pada orang yang jarang melakukan aktivitas maka zat makanan yang masuk ke dalam tubuh
tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula.

Asumsi penliti didukung oleh teori Perkeni (2019) yang mengatakan bahwa kurang
beraktivitas dapat menyebabkan berat badan seseorang bertambah dan tubuh kekurangan
sensitivitas insulin, yang dapat menyebabkan diabetes. Mekanisme aktivitas fisik dapat
memperlambat atau mencegah berkembangnya diabetes mellitus yaitu menurunnya resistensi
insulin, meningkatnya toleransi glukosa, penurunan jaringan adiposa, penurunan kadar lemak
sentral, perubahan terhadap jaringan otot.

Asumsi peneliti sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari and Purnama (2019)
menunjukan bahwa aktivitas fisik sebgaian besar responden adalah ringan dan tidak pernah
melakukan olahraga. Sebagian besar mereka memilih duduk santai di rumah dan menonton TV,
sehingga menyebabkan kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan dan menyebabkan rasa malas yang
berkepanjangan.

Peneliti berasumsi bahwa responden yang memiliki aktivitas sedang dan berat tetapi
menderita diabetes mellitus disebabkan karena faktor usia. Seseorang cenderung memiliki
resiko terkena diabetes mellitus pada usia > 45 tahun. Risiko tersebut akan semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Umumnya seseroang akan mengalami
penurunan fisiologis secara drastis pada usia setelah 45 tahun. Semakin bertambahnya usia
seseorang tentunya akan terjadi penurunan fisiologis dan metabolik, termasuk penurunan
proses metabolisme tubuh pada organ pankreas.

Asumsi peneliti sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan, Fahrurazi and
Jalpi (2020) yang menunjukan adanya hubungan antara umur dengan kejadian diabetes
melitus yang didapatkan pada saat penelitian sebagaimana dasarnya setiap orang pasti akan
mengalami yang namanya pertambahan usia dan usia itu sendiri menjadi sebagai faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang. Risiko seseorang terkena diabetes melitus akan
semakin meningkat setelah usia menginjak 45 tahun dan akan meningkat secara dramatis
setelah usia menginjak 65 tahun, hal itu disebabkan karena pada saat usia tersebut mulai
terjadi intoleransi glukosa dan pada saat usia tersebut juga terjadi penurunan dan perubahan
fisiologis serta fungsi organ tubuh terutama organ pankreas dalam memproduksi insulin
sehingga menyebabkan resistensi dan produksi insulin berkurang yang berakibat pada
ketidakstabilan kadar gula darah, maka dari itu diabetes sering muncul setelah seseorang
memasuki usia rawan tersebut.

Menurut asumsi peneliti terkait responden yang memiliki aktivitas fisik ringan namun tidak
terkena diabetes mellitus yaitu responden memiliki pola makan yang teratur dan memiliki
pengetahuan sehingga rajin melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan sehingga
mendapakan edukasi mengenai diabetes mellitus. Karena tingkat pengetahuan, responden
mampu mengatur pola makan dan mengatur jadwal makannya.

Asumsi peneliti didukung oleh teori Perkeni (2021) mengenai pilar penatalaksanaan diabetes
mellitus yang dua diantaranya yaitu edukasi dan terapi nutrisi medis. Edukasi merupakan
tujuan promosi hidup sehat, sehingga harus dilakuakan sebagai upaya pencegahan dan
merupakan bagian yang sangat penting bagi pengelolaan glukosa darah pada kasus DM
secara holistik (Perkeni, 2021). Terapi nutrisi atau merencanakan pola makanan agar tidak
meningkatkan indeks glikemik kasus diabetes mellitus. Faktor yang dapat berpengaruh
terhadap respon glikemik makanan yaitu cara memasak, proses penyiapan makanan, bentuk
makanan serta komposisi yang terdapat pada makanan (Perkeni, 2021).

Menurut asumsi peneliti terkait responden yang memiliki aktivitas fisik sedang dan berat
namun tidak terkena diabetes mellitus yaitu aktivitas sedang dan berat akan memicu kinerja
otot lebih keras, sehingga kadar gula darah yang ada di dalam tubuh akan diubah menjadi
energi dan penumpukan kadar gula darah dapat dihindari. Hal ini akan mengoptimalkan
kinerja otot dalam membantu menyerap kadar gula darah, sehingga mengakibatkan kadar
gula dalam darah akan diubah menjadi energi.
Asumsi peneliti sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alidya (2022) yang
menunjukan aktivitas fisik tinggi dapat dilakukan untuk mengeluarkan lebih banyak energi
didalam tubuh dibandingkan dengan dengan aktivitas fisik rendah. Aktivitas fisik juga
mempunyai peran dalam mengatur kadar glukosa darah.

Anda mungkin juga menyukai