Anda di halaman 1dari 56

HUBUNGAN MOTIVASI DIRI DENGAN AKTIVITAS FISIK

PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II DI


PUSKESMAS PATIMUAN

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :
WAHYU SARWONO AJI
NIM. 108 116 008

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronik yang terjadi

pada jutaan orang di dunia, diakibatkan karena kekurangan produksi insulin

oleh pankreas atau insulin yang diproduksi tidak dapat digunakan secara efektif

oleh tubuh (Nurjana, 2019). Menurut Arifin (2017), diabetes melitus (DM)

merupakan salah satu penyakit gangguan metabolik yang diakibatkan oleh

salah satu fungsi organ tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau

tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Sehingga

terjadi peningkatan kadar gula di dalam darah atau disebut juga dengan

hiperglikemia. Dari seluruh kasus Diabetes mellitus (DM), 90% merupakan

Diabetes mellitus (DM) tipe 2 (Nurjana, 2019).

Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai

oleh peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang

progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin (Soegondo, 2011 dalam

Katuuk, 2019). Berdasarkan International Diabetes Federation (IDF) pada

tahun 2015, prevalensi tertinggi kejadian penyakit Diabetes mellitus (DM) di

dunia adalah regional mediterania (Timur Tengah) sebanyak 13,7 % diikuti

oleh regional Asia Tenggara sebanyak 8,6% (Rusdi,Afriyeni, 2019). Prevalensi

diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2018 terdapat jumlah kasus DM

(1.5%). Pada tahun 2018 jumlah kasus DM tertinggi urutan utama terdapat di

Provinsi DKI berjumlah (3.5%), Provinsi Jawa Tengah mendapat urutan ke 12


dari 34 Provinsi dengan jumlah (2.1%) (Riskesdas, 2018). Sedangkan

kabupaten Cilacap, tahun 2018 kejadian DM mencapai 4.090 orang. Data

Puskesmas Patimuan Bulan Maret Tahun 2020, didapatkan angka kasus

Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 sebanyak 109 kasus, yang terdiri dari 7 Desa.

Yang meliputi Desa Bulupayung 10 kasus, Desa Cinyawang 25 kasus, Desa

Patimuan 40 kasus, Desa Purwodadi 8 kasus, Desa Sidamukti 17 kasus, Desa

Rawaapu 5 kasus, Desa Cimrutu 4 kasus.

Salah satu faktor penyebab diabetes melitus tipe 2 adalah aktivitas fisik

(Priscila, 2017). World Health Organization (WHO, 2018) mendefinisikan

aktivitas fisik sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang

membutuhkan pengeluaran energi. Data non-communicable disease country

profiles (2011) menjelaskan bahwa aktivitas fisik rendah di Indonesia sebesar

31,9% pada laki-laki dan 27,9% pada perempuan dengan total 29,9% dari

keseluruhan penduduk pada tahun 2010 (WHO, 2011). Data Kemenetrian

Kesehatan RI (2018) menunjukan proporsi aktivitas fisik masyarakat Indonesia

pada rentang usia 50- 54 tahun sebanyak 63,3% menunjukan aktivitas kurang,

sedangkan 78,8% menunjukan aktivitas cukup.

Menurut (Musdalifah, 2017), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

aktivitas fisik yaitu: umur, jenis kelamin, tingkat perkembangan tubuh,

kesehatan fisik, emosi, pekerjaan, keadaan nutrisi. Aktivitas fisik yang kurang

akan menyebabkan pembakaran kalori atau proses metabolisme tubuh tidak

optimal hal tersebut dapat mempengaruhi kadar gula darah (Risty & Isnaeni,

2017). Ketika aktivitas tubuh tinggi, penggunaan glukosa oleh otot akan ikut

meningkat. Sintesis glukosa endogen akan ditingkatkan untuk menjaga agar


kadar glukosa dalam darah tetap seimbang. Pada keadaan normal, keadaan

homeostasis ini dapat dicapai oleh berbagai mekanisme dari sistem hormon,

saraf, dan regulasi glukosa (Herwanto, 2016). Ketika tubuh tidak dapat

mengkompensasi kebutuhan glukosa yang tinggi akibat aktivitas fisik yang

berlebihan, maka kadar glukosa tubuh akan menjadi terlalu rendah

(hipoglikemia). Sebaiknya, jika kadar glukosa darah melebihi kemampuan

tubuh untuk menyimpanya disertai dengan aktivitas fisik yang kurang, maka

kadar glukosa darah menjadi lebih tinggi dari normal atau hiperglikemia

(ADA, 2015).

Penelitian Ramadhanisa, Larasati dan Mayasari (2013), mengenai

hubungan aktivitas fisik dengan kadar HbA1c pada pasien diabetes melitus tipe

2 telah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung maka dapat diambil kesimpulan bahwa 27 orang

responden melakukan aktivitas fisik kurang (57.8%), 33 orang responden

memiliki kadar HbA1c buruk (71.7%). Terdapat hubungan antara aktivitas

fisik dengan kadar HbA1c (p=0.001). Penelitian lain yang dilakukan oleh

Veridiana dan Nurjana (2019), tentang hubungan perilaku konsumsi dan

aktivitas fisik dengan diabetes mellitus di Indonesia, Terdapat hubungan antara

perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung berupa biskuit dan aktivitas

fisik dengan kejadian DM di Indonesia. Sedangkan perilaku konsumsi buah

segar, sayur, makanan/minuman manis, makanan

berlemak/berkolesterol/gorengan dan mie instan tidak ada hubungan dengan

kejadian DM di Indonesia. Faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi

kejadian DM adalah aktivitas fisik setelah dikontrol oleh perilaku konsumsi.


Semakin berat aktivitas fisik yang dilakukan maka semakin sedikit

kemungkinan terkena DM, tidak hanya itu saja faktor lain yang mempengaruhi

aktivitas fisik salah satunya adalah motivasi diri (Kusuma & Hidayati, 2013).

Motivasi diri adalah dorongan dari dalam yang digambarkan sebagai

harapan, keinginan, dan sebagainya yang bersifat menggiatkan atau

menggerakan individu untuk bertindak atau bertingkah laku guna memenuhi

kebutuhan (Sarinah & Mahdalena, 2017). Motivasi terbagi atas dua jenis, yaitu

motivasi intrinsic dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul dalam diri individu

dan motivasi ekstrinsik timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu

(Nursalam, 2015). Motivasi diri akan membuat self efficacy pada pasien

diabetes mellitus terbentuk sehingga muncul keyakinan diri pasien yang kuat

untuk mendukung perbaikan penyakitnya dan meningkatkan manajemen

perawatan diri seperti rajin berolahraga setiap hari, menetapkan jadwal, jumlah,

dan jenis makanan serta meminum obat dengan teratur dan rajin memeriksa

kadar gula darah setiap bulannya (Manullang et al, 2019).

Bertalia dan Purnama tahun (2016), dalam penelitianya tentang kepatuhan

diet pasien DM dengan motivasi pada 30 responden, berdasarkan motivasi

pasien diketahui bahwa lebih banyak responden yang memiliki motivasi

kurang baik yaitu sebesar 53,3% sedangkan motivasi yang baik sebesar 46,7%.

Penelitian lain yang dilakukan Indrawati et al. (2012) menyatakan terdapat

hubungan yang signifikan antara motivasi terhadap diet DM dan responden

yang mempunyai motivasi tinggi berpeluang 7 kali untuk patuh menjalankan

diet dibandingkan dengan responden dengan motivasi rendah.


Studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 11 Maret

2020 di Puskesmas Patimuan, dari hasil wawancara yang dilakukan didapat

data rata-rata pasien penderita DM memiliki motivasi diri rendah dan aktivitas

fisik rendah. Dari 7 orang penderita DM didapatkan 2 orang memiliki motivasi

diri dan aktivitas fisik baik, 5 orang memiliki motivasi diri dan aktivitas fisik

kurang. Pada program pengelolaan penyakit kronis (prolanis) di Puskesmas

Patimuan terdapat 58 orang penderita DM Tipe 2 yang aktif mengikuti

program pengelolaan penyakit kronis.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik meneliti tentang,

“Hubungan Motivasi Diri Dengan Aktivitas Fisik Pada Penderita Diabetes

Mellitus Tipe II Di Puskesmas Patimuan”. Efek dari motivasi diri yang rendah

dapat menyebabkan aktivitas fisik yang kurang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan hasil studi pendahuluan yang dilakukan,

dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu adakah “Hubungan Motivasi Diri

Dengan Aktivitas Fisik Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “Hubungan

Motivasi Diri Dengan Aktivitas Fisik Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe

II”.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui motivasi diri pada penderita Diabetes Mellitus Tipe II.
b. Untuk mengetahui aktivitas fisik pada penderita Diabetes Mellitus Tipe

II.

c. Untuk mengetahui hubungan motivasi diri dengan aktivitas fisik pada

penderita Diabetes Mellitus Tipe II.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan gambaran secara

nyata, mengembangkan teori serta menambah wawasan ilmu pengetahuan

berkenaan dengan Hubungan Motivasi Diri Dengan Aktivitas Fisik Pada

Penderita Diabates Mellitus Tipe II.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Puskesmas

Memberikan informasi tentang Hubungan Motivasi Diri Dengan

Aktivitas Fisik Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II.

b. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi Hubungan

Motivasi Diri Dengan Aktivitas Fisik Pada Penderita Diabetes Mellitus

Tipe II. Selain itu juga dapat dijadikan acuan dalam tindakan asuhan

keperawatan.

c. Bagi Peneliti

Peneliti ini dapat memberikan wawasan mengenai informasi

Hubungan Motivasi Diri Dengan Aktivitas Fisik Pada Penderita

Diabetes Mellitus Tipe II, mengaplikasikan mata kuliah Metodologi


Riset dan Riset Keperawatan, serta merupakan pengalaman dalam

melakukan penelitian.

E. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai “Hubungan Motivasi Diri Dengan Aktivitas Fisik

Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II” belum pernah dilakukan. Penelitian

yang pernah dilakukan adalah:

1. Peneliti yang dilakukan oleh Khairunnisa,dkk (2017), dengan judul

“Hubungan Motivasi Diri Dan Pengetahuan Gizi Terhadap Kepatuhan Diet

Dm Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Rawat Jalan Di RSUD

Karanganyar”.

Tujuan: untuk mengetahui hubungan antara motivasi diri dan pengetahuan

gizi terhadap kepatuhan diet DM pada pasien diabetes mellitus tipe II rawat

jalan di RSUD Karanganyar.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan

menggunakan pendekatan Cross Sectional. Jumlah subjek sebanyak 52

responden yang diperoleh dengan cara accidental sampling. Data motivasi

diri, pengetahuan gizi, dan kepatuhan diet didapatkan dari hasil kuesioner.

Analisis pada penelitian ini menggunakan uji statistik Chi Square. Sebagian

besar responden memiliki motivasi diri baik (51,7%), memiliki pengetahuan

gizi baik (48,1%), dan patuh menjalankan diet (57,7%). Ada hubungan

antara motivasi diri dengan kepatuhan diet DM pada pasien DM tipe II

rawat jalan di RSUD Karanganyar, dengan nilai p=0,002 (OR= 6,222; 95%

CI= 1,836-21,090).
Kesimpulan: Tidak ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan

kepatuhan diet DM pada pasien DM tipe II rawat jalan di RSUD

Karanganyar, dengan nilai p=0,376 (OR= 1,651; 95% CI= 0,543-5,020).

Persamaan: Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah pada salah satu variabelnya sama-sama motivasi diri dan

desain penelitian sama-sama menggunakan cross sectional study.

Perbedaan: Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

dilakukan pada variabelnya hanya hubungan motivasi diri dan pengetahuan

gizi terhadap kepatuhan diet DM. Sedangkan pada penelitian yang akan

peneliti yang dilakukan, variabelnya yaitu motivasi dan aktivitas fisik pada

penderita DM tipe 2. Metode penelitian dengan menggunakan metode

korelasi Spearman Rank dan rancangan cross sectional study. Responden

dan tempat penelitian adalah pasien rawat jalan di RSUD Karanganyar,

sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan, responden adalah pasien

puskesmas Patimuan.

2. Peneliti yang dilakukan oleh Holy,dkk (2015), dengan judul “Hubungan

Pola Makan, Aktivitas Fisik Dan Riwayat Penyakit Keluarga Terhadap

Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Bunda Margonda

Depok”.

Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui hubungan pola makan, aktivitas

fisik dan riwayat penyakit keluarga terhadap penyakit diabetes melitus tipe

2 di Rumah Sakit Umum Bunda Margonda Depok Tahun 2015. Metode:

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain penelian cross sectional

.Metode pengambilan sampel menggunakan teknik accidental sampling


terhadap 34 orang pasien penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Bunda

Margonda Depok Tahun 2015. Instrumen penelitian yang digunakan berupa

kuesioner, dimana jawaban dari kuesioner dianalisa dengan menggunakan

uji chi-square yang diolah dengan menggunakan SPSS.

Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi dari tiga

variabel yaitu pola makan nilai p-value 0.044 < α (0.05), aktivitas terhadap

penyakit diabetes mellitus tipe 2 nilai p-value 0.634 > α (0.05) dan riwayat

penyakit keluarga nilai p-value 0.102 > α (0.05), yang mempunyai

hubungan terhadap diabetes mellitus tipe 2 adalah variabel pola makan.

Perlu adanya penyuluhan lebih terhadap masyarakat mengenai pola makan

yang baik dan sehat.

Persamaan: Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah pada salah satu variabelnya sama-sama aktivitas fisik dan

desain penelitian sama-sama menggunakan cross sectional study.

Perbedaan: Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan di

lakukan pada variabelnya hanya Hubungan Pola Makan, Aktivitas Fisik Dan

Riwayat Penyakit Keluarga Terhadap Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2.

Sedangkan pada penelitian yang akan peneliti yang dilakukan, variabelnya

yaitu motivasi dan aktivitas fisik pada penderita DM tipe 2.

3. Peneliti yang dilakukan oleh Heni,dkk (2013), dengan judul “Hubungan

Antara Motivasi Dengan Efikasi Diri Pasien DM Tipe 2 Di PERSADIA

Salatiga”,

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara

motivasi dengan efikasi diri pasien DM tipe 2 di PERSADIA Salatiga.


Metode: Desain dalam penelitian ini adalah analitik cross sectional dengan

jumlah sampel 110 pasien DM tipe 2. Analisa data menggunakan Chi

square, uji t independen, dan regresi logistik berganda.

Kesimpulan: Hasil penelitian didapatkan bahwa karakteristik responden

tidak ada yang berhubungan dengan efikasi diri kecuali pekerjaan (p

value=0,000; α=0,05) dan pendidikan (p value=0,049; α=0,05). Ada

hubungan antara dukungan keluarga dengan efikasi diri (p value=0,045;

α=0,05), ada hubungan antara depresi dengan efikasi diri (p value 0,022; α:

0,05), dan motivasi berhubungan dengan efikasi diri (p value 0,000; α:

0,05). Responden yang memiliki motivasi baik berpeluang 4,315 kali untuk

memiliki efikasi diri baik dibanding dengan responden yang memiliki

motivasi kurang baik setelah dikontrol oleh pekerjaan, pendidikan,

dukungan keluarga, dan depresi (OR 95% CI: 0,082-6,874)

Persamaan: Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah pada salah satu variabelnya sama-sama motivasi diri dan

desain penelitian sama-sama menggunakan cross sectional study.

Perbedaan: Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

dilakukan pada variabelnya hanya hubungan antara motivasi dengan efikasi

diri pasien DM tipe 2. Sedangkan pada penelitian yang akan peneliti yang

dilakukan, variabelnya yaitu motivasi dan aktivitas fisik pada penderita DM

tipe 2.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

1. Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronik yang

terjadi pada jutaan orang di dunia, diakibatkan karena kekurangan produksi

insulin oleh pankreas atau insulin yang diproduksi tidak dapat digunakan

secara efektif oleh tubuh. Insulin merupakan hormon yang berfungsi untuk

menjaga keseimbangan kadar gula darah. Kurangnya insulin dalam tubuh

dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi glukosa di dalam

darah (hiperglikemia). DM dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu tipe

1 dan tipe 2. DM tipe 1 disebabkan oleh kurangnya produksi insulin,

sedangkan tipe 2 disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif. Dari

seluruh kasus DM, 90% merupakan DM tipe 2 (Nurjana, 2019).

DM adalah penyakit metabolik akibat dari kurangnya insulin efektif baik

oleh karena adanya disfungsi sel beta pankreas atau ambilan glukosa perifer

atau keduanya pada DM tipe 2 atau kurangnya insulin absolut pada DM tipe

1 dengan tanda tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai gejala klinis

akut (poliuria, polidipsia, penurunan berat badan) dan ataupun gejala kronik

atau kadang-kadang tanpa gejala (Nastiti, & Hanif, 2018).

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit gangguan

metabolik yang diakibatkan oleh salah satu fungsi organ tubuh tidak dapat

memproduksi cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin yang


diproduksi secara efektif. Sehingga terjadi peningkatan kadar gula di dalam

darah atau disebut juga dengan hiperglikemia (Arifin, 2017).

Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang

ditandai dengan hiperglikemia (ADA, 2015). Hiperglikemia adalah suatu

kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah melebihi

batas normal (Ernawati,dkk, 2020).

2. Klasifikasi Diabetes Mellitus

a. Diabetes Tipe 1

American Diabetes Association (2016) diabetes tipe 1 disebabkan

oleh kerusakan sel beta pankreas yang menyebabkan kurangnya hormon

insulin. International Diabetes Federation (2011) menyatakan bahwa

dari semua Penderita diabetes mellitus 3-5% adalah diabetes tipe 1.

b. Diabetes Tipe 2

International Diabetes Federation (2011) menyatakan bahwa

diabetes tipe 2 kombinasi antara resistensi insulin dan kekurangan

hormon insulin yang dipengaruhi oleh gaya hidup serta terjadi 95% dari

semua penyakit diabetes melitus dan banyak terjadi pada usia

pertengahan dan lansia tapi meningkat pada obesitas di anak-anak,

dewasa dan dewasa muda. Trisnawati dan Setyorogo (2013) faktor

resiko diabetes melitus tipe 2 adalah umur, riwayat diabetes mellitus,

aktivitas fisik, Indeks Massa Tubuh, tekanan darah, stress dan kadar

kolesterol. International Diabetes Federation (2015) menyatakan


bahwa gejala diabetes mellitus tipe 2 ini adalah sering buang air kecil,

banyak minum, penurunan berat badan dan penglihatan kabur.

c. Diabetes Gestasional (GDM)

Satu dari dua puluh lima wanita yang hamil mengalami diabetes

gestasional (International Diabetes Federation, 2011). Diabetes

gestasional yang tidak terdiagnosa dan tidak ditangani dengan benar

dapat menyebabkan berat badan yang berlebih pada bayi, meningkatkan

angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir serta bayi yang tidak

normal (International Diabetes Federation, 2011). Diabetes gestasional

bersifat sementara dan dapat meningkat atau menghilang setelah bayi

lahir namun harus dalam pengawasan medis dan pengobatan yang tepat

selama kehamilan (Hasdianah, 2012).

d. Diabetes Tipe Spesifik

American Diabetes Association (2016) diabetes tipe spesifik adalah

diabetes yang disebabkan oleh sindrom monogenik diabetes seperti

diabetes pada bayi baru lahir dan Maturity-onset diabetes of the young

(MODY), penyakit eksokrin pankreas seperti fibrosis kistik dan akibat

obat kimia seperti penggunaan glukoktikoid dalam pengobatan

HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ. MODY adalah kelainan

autosom dominan dimana perjalanan penyakit sering kurang dari 25

tahun yang mempunyai tanda dan gejala yang menyerupai diabetes tipe

1 atau diabetes tipe 2 (Susanto, 2014).


3. Manifestasi Klinik Diabetes Mellitus

Adapun manifestasi klinis dari diabetes mellitus berdasarkan

klasifikasinya yaitu :

a. Diabetes Mellitus Tipe 1

Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1

tahun 2015, sebagian besar penderita DM Tipe 1 mempunyai riwayat

perjalanan klinis yang akut. Poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis,

penurunan berat badan yang cepat dalam 2-6 minggu sebelum diagnosis

ditegakkan, kadang-kadang disertai polifagia dan gangguan

penglihatan. Manifestasi klinis pada diabetes mellitus tipe 1 tergantung

pada tingkat kekurangan insulin dan gejala yang ditimbulkan bisa

ringan hingga berat. Orang dengan DM Tipe 1 membutuhkan sumber

insulin eksogen (eksternal) untuk mempertahankan hidup.

b. Diabetes Mellitus Tipe 2

Penyandang DM tipe 2 mengalami awitan manifestasi yang lambat

dan sering kali tidak menyadari penyakit sampai mencari perawatan

kesehatan untuk beberapa masalah lain. Manifestasi yang biasa muncul

yaitu poliuria dan polidipsia, polifagia jarang dijumpai dan penurunan

berat badan tidak terjadi. Manifestasi lain juga akibat hiperglikemia:

penglihatan buram, kelelahan, parestesia, dan infeksi kulit (Lemone,

Burke, Bauldoff, 2015).


4. Patofisiologi Diabetes Mellitus

DM tipe 2 resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta

pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-

2. Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan

lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel

beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),

gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alpha pankreas

(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak

(resistensi insulin), ke semuanya ikut berperan dalam menimbulkan

terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2 (Perkeni, 2015).

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal

berikut:

1. Kegagalan sel beta pankreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2

ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetes

yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1

agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan

memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam meningkat.

3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin

yang multiple di intra selular, akibat gangguan fosforilasi tirosin

sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan

sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.

4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek anti lipolisis dari

insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam


lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan FFA

akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi

insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.

Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxicity.

5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar

dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai

efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like

polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotropic polypeptide

atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM

tipe- 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Di

samping hal tersebut inkretin segera dipecah oleh keberadaan enzim

DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit.

6. Sel Alpha Pankreas: Sel-α pankreas merupakan organ ke-6 yang

berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α

berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya

di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP

dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu

yang normal.

7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam

patogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa

sehari. 90% dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui

peran SGLT2 (Sodium Glucose coTransporter) pada bagian convulated

tubulus proksimal, sedangkan 10% sisanya akan diabsorbsi melalui

peran SGLT1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya


tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan

ekspresi gen SGLT2.

8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada

individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan

hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari

resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat

akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.

5. Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar

glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya

glukosuria. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma

vena. Penggunaan darah utuh, vena, ataupun kapiler tetap dapat

dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik

yang berbeda (Perkeni, 2015).

Menurut (Perkeni, 2015), Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan

melalui tiga cara yaitu:

a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma

sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis

diabetes melitus.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya

keluhan klasik.

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan

beban 75 glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan


pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki

keterbatasan tersendiri.

Menurut (Perkeni, 2015), apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi

kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok

toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu

(GDPT):

a. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO

didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140–199 mg/dL

(7,8-11,0 mmol/L).

b. GDPT: Diagnosis dapat ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa

plasma puasa didapatkan antara 100–125 mg/dL (5,6–6,9 mmol/L) dan

pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam kurang dari 140 mg/dL .

Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan

kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.

Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan

pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak

dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat

ditemukan pada penyandang diabetes melitus. Kecurigaan adanya diabetes

melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

a. Keluhan klasik diabetes mellitus: poliuria, polidipsia, polifagia dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.


6. Komplikasi Diabetes Mellitus

a. Hipoglikemia

Fatimah (2015) menyatakan bahwa hipoglikemia banyak terjadi

pada diabetes mellitus tipe 1 yang dapat menyebabkan sel-sel otak

tidak mendapatkan patokan makanan yang cukup sehingga sel-sel

tersebut akan rusak. Hipoglikemia merupakan penyebab kematian 2-

4% penderita diabetes mellitus (Lestari dan Sunaryo, 2016).

Hasdianah (2012) menyatakan bahwa saat kadar gula darah penderita

diabetes mellitus <60 mg/dL dapat mengkonsumsi karbohidrat

kompleks atau saat hipoglikemia berat penderita diabetes dapat

diberikan injeksi insulin untuk mengembalikan kadar gula darahnya.

b. Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah kondisi saat kadar gula darah >250 mg/dL

dengan gejala poliuria, polidipsi, pernafasan bau keton, mual muntah

sampai koma (Hasdianah, 2012). Hiperglikemia kronik diabetes akan

mengakibatkan kerusakan jangka panjang atau tidak berfungsinya

beberapa organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh

darah (Lestari dan Sunaryo, 2016). Hiperglikemia dapat diturunkan

salah satunya dengan melakukan senam diabetes, karena aktivitas

berolahraga dapat meningkatkan sensitivitas hormon insulin sehingga

dapat memperbaiki kadar gula darah (Salindeho, Mulyadi & Rottie.

2016).
c. Penyakit Ginjal (Nefropati)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rajasa, Afriwardi &

Zein. (2016) sebanyak 67,1% penderita diabetes mellitus mengalami

nefropati diabetik. Rusaknya ginjal disebabkan akibat ginjal harus

bekerja secara ekstra untuk menyaring gula yang berkadar tinggi di

peredaran darah (Padila, 2012). Pasien yang mengalami nefropati

diabetikum akan mempengaruhi pola makan penderita diabetes

melitus karena penurunan filtrasi glomerulus ginjal mengakibatkan

penumpukan toksin uremik dan adanya pembatasan konsumsi protein

(Mardewi dan Suastika, 2016).

d. Retinopati

Retinopati disebabkan akibat rusaknya pembuluh darah yang

memberi makan retina (Hasdianah, 2012). Rusaknya pembuluh darah

pada retina disebabkan karena kadar gula darah yang tinggi akan

menyebabkan viskositas darah meningkat yang nantinya akan

menghambat aliran darah kedaerah mata (Padila, 2012).

e. Penyakit Jantung

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rajasa, Afriwardi &

Zein. (2016) penyakit jantung yang di akibat diabetes mellitus sebesar

23,3%. Menurut Departemen Kesehatan (2013) faktor resiko ketiga

terjadinya penyakit jantung adalah diabetes mellitus. Penyakit jantung

atau kardiopati diabetik terjadi akibat aterosklerosis atau penyempitan

pembuluh darah karena kenaikan kadar kolesterol yang disebabkan


oleh hiperglikemia yang terjadi dalam jangka waktu yang lama

(Hasdianah, 2012).

f. Neuropati

Neuropati yang terjadi pada penderita diabetes mellitus dapat

terjadi akibat hiperglikemia yang terjadi berkepanjangan dan

menyebabkan aliran darah menjadi terhambat karena hemokonsentrasi

darah meningkat (Padila, 2012). Neuropati perifer dapat

mempengaruhi ekstremitas bawah dan kaki akibat hiperglikemia yang

meracuni saraf akan menyebabkan keracunan saraf dan apoptosis

sehingga rusaknya pembuluh darah mikro dan terhambatnya sirkulasi

darah ke ekstremitas bawah (Kurniawan dan Wuryaningsih, 2016).

Neuropati perifer menyebabkan 15% penderita diabetes mellitus

mengalami ulkus diabetikum (Mulya & Betty, 2014).

7. Penatalaksanaan

Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia

Tahun 2011, terdapat empat pilar penatalaksanaan DM, yaitu (Perkeni,

2011):

a. Edukasi

Edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi

dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan mengenai kondisi pasien

dan untuk mencapai perubahan perilaku. Pengetahuan tentang

pemantauan glukosa darah mandiri, tanda, dan gejala hipoglikemia serta

cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.

b. Terapi nutrisi medis


Terapi nutrisi medis merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Prinsip pengaturan makanan penyandang diabetes

hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu

makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat

gizi masing-masing individu. Pada pasien diabetes perlu ditekankan

pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan

jumlah makanan, terutama pada pasien yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin. Diet pasien DM yang utama adalah

pembatasan karbohidrat kompleks dan lemak serta peningkatan asupan

serat.

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani berupa aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga

secara teratur 3-4 kali seminggu selama 30 menit. Latihan jasmani

selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan

dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan

berupa latihan yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,

jogging, dan berenang. Latihan jasmani disesuaikan dengan usia dan

status kesehatan.

d. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan

makanan dan latihan jasmani. Terapi berupa suntikan insulin dan obat

hipoglikemik oral, diantaranya adalah metformin dan glibenklamid.

Metformin adalah obat golongan biguanid yang berfungsi

meningkatkan sensitivitas reseptor insulin. Selain itu, metformin juga


mencegah terjadinya glukoneogenesis sehingga menurunkan kadar

glukosa dalam darah. Masa kerja metformin adalah 8 jam sehingga

pemberiannya 3 kali sehari atau per 8 jam. Metformin digunakan untuk

menjaga kadar glukosa sewaktu tetap terkontrol (Wicaksono, 2013).

Glibenklamid adalah golongan sulfonilurea yang mempunyai efek

utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan

merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal

ataupun kurang. Penggunaan obat golongan sulfonilurea lebih efektif

untuk mengontrol kadar gula 2 jam setelah makan (Wicaksono, 2013;

Andrew, 2005).

B. Motivasi Diri

1. Definisi

Motivasi dalam Bahasa latin disebut movere yang berarti dorongan dalam

diri manusia untuk bertindak atau berperilaku. Kata motivasi tidak terlepas

dari kata kebutuhan. Kebutuhan merupakan suatu potensi dalam diri

manusia yang ditanggapi dan direspon. Jika kebutuhan terpenuhi, maka

akan muncul kembali keinginan untuk memenuhinya (S. Notoatmodjo,

2010). Menurut Sutrisno (2011: 109) Motivasi adalah suatu faktor yang

mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, oleh karena

itu motivasi seringkali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku

seseorang. Motivasi juga merupakan pikiran seseorang dalam memandang

tugas atau tujuannya. Motivasi adalah suatu perubahan energi pribadi

seseorang untuk mencapai tujuan (Hamalik,1992 dalam Wayan 2017).


Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah

keadaan dalam diri seseorang yang mendorong keinginan individu untuk

melakukan tugas tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motivasi yang ada

pada seseorang akan mewujudkan perilaku yang diarahkan untuk mencapai

keputusan.

2. Tipe Motivasi

Self-Determination Theory (SDT) mengemukakan dua tipe motivasi yaitu

motivasi intrinsik (autonomous motivation) dan motivasi ekstrinsik

(controlled motivation) (Deci & Ryan, 1985 dalam Butler, 2002).

a. Motivasi intrinsik (autonomous motivation)

Pada motivasi intrinsik, individu melakukan aktivitas didasarkan

pada pilihan dan minat yang disenanginya daripada pengaruh atau

tekanan dari luar. Pilihan individu ini menjadi dasar suatu kesadaran

akan kebutuhan mereka dan interpretasi dari lingkungan. Individu

terbebas dari tekanan dan imbalan dari luar yang didesain untuk

mengontrol prilaku, bukan tidak mungkin ada pengaruh dari luar,

namun individu harus mampu beradaptasi dan mempertahankan

otonominya. Individu yang secara intrinsik termotivasi akan secara

langsung melakukan perawatan dirinya dan memelihara kesehatannya

(seperti kontrol gula darah dan pencegahan komplikasi).

b. Motivasi ekstrinsik (controlled motivation)

Menurut SDT, pusat orientasi motivasi ekstrinsik ini adalah

penerimaan atau konflik nyata atau perebutan kekuasaan antara yang


mengontrol (pemberi perawatan dan keluarga) dengan yang dikontrol

(pasien).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi

Teori tentang motivasi dapat dipahami bahwa individu terdapat

bermacam motif yang mendorong dan menggerakkan manusia untuk

melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan dan memenuhi

kebutuhan hidup untuk mempertahankan eksistensinya (Syamsul,2012).

Motivasi dipengaruhi oleh:

1. Interaksi sosial

Interaksi sosial dinyatakan bahwa dengan individu lain akan

mempengaruhi motivasi bertindak. Semakin sering seseorang

berinteraksi dengan orang lain akan semakin mempengaruhi motivasi

seseorang untuk melakukan tindakan tertentu.

2. Proses kognitif

Proses kognitif yaitu informasi yang masuk pada seseorang diserap

kemudian diproses dan pengetahuan tersebut untuk kemudian

mempengaruhi tingkah laku. Wahyusumidjo (2010) mengklasifikasikan

faktor yang mempengaruhi motivasi menjadi 2, yaitu:

1. Faktor Internal

Segala sesuatu dari dalam individu seperti kepribadian,

sikap,pengalaman, pendidikan dan cita-cita.

a. Sifat kepribadian

b. Intelegensi atau pengetahuan

c. Sikap
2. Faktor Eksternal

a. Pengaruh lingkungan

b. Pendidikan

c. Agama

d. Sosial ekonomi

e. Kebudayaan

f. Orang tua

g. Saudara.

4. Teori motivasi

Motivasi dalam pendekatan modern pada teori dan praktik terbagi

menjadi lima kategori : (Stoner & Freeman dalam Nursalam, 2015).

1. Teori kebutuhan

Teori kebutuhan berfokus pada kebutuhan seseorang untuk hidup

berkecukupan. Dalam praktiknya, teori kebutuhan berhubungan dengan

apa yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut

teori ini, motivasi akan dimiliki seseorang pada saat belum mencapai

tingkat kepuasan tertentu pada kehidupan, sehingga kebutuhan yang

telah terpuaskan tidak akan lagi menjadi motivasi untuk melakukan

sesuatu. Faktor yang memotivasi atau faktor yang menjadi penyebab

kepuasaan diantaranya adakah prestasi, pengakuan, tanggung jawab,

dan kemajuan.

2. Teori keadilan

Teori keadilan didasarkan pada asumsi. Dalam teori ini yang


menjadi faktor utama adalah evaluasi individu atau keadilan dari suatu

penghargaan yang diterima. Teori ini menjelaskan bahwa individu akan

termotivasi jika apa yang mereka dapatkan seimbang dengan usaha

yang telah dilakukan.

3. Teori harapan

Teori ini menjelaskan tentang cara memilih dan bertindak atau

bertingkah laku berdasarkan harapan.

4. Teori penguatan

Teori penguatan menunjukkan tentang bagaimana konsekuensi

tingkah laku di masa lalu yang akan mempengaruhi tindakan di masa

depan. Proses ini digambarkan sebagai berikut:

Rangsangan -> Respon -> Konsekuensi -> Respon masa depan.

Teori ini menjelaskan bahwa seseorang akan termotivasi apabila ia

memberikan respon pada rangsangan terhadap pola tingkah laku yang

konsisten sepanjang waktu.

5. Teori prestasi

Teori ini menjelaskan bahwa kebutuhan individu diperoleh dari

waktu ke waktu dan dibentuk oleh pengalaman hidup seseorang. Ada

tiga jenis kebutuhan motivasi yaitu kebutuhan untuk berprestasi,

berafiliasi dan berkuasa.

5. Mengukur Motivasi

Pengukuran motivasi pasien DM tipe 2, salah satunya dikembangkan

oleh William, Freedman dan Deci (1998 dalam Butler, 2002) menggunakan

Treatment Self-Regulation Questionnaire (TSRQ). TSRQ mengukur


motivasi otonomi (intrinsik) dan motivasi kontrol (ekstrinsik). TSRQ pada

mulanya digunakan untuk mengkaji perilaku sehat secara umum seperti

alasan perubahan diet dan latihan fisik serta alasan berhenti merokok

(William, Grow, Freedman, Ryan & Deci, 1996 dalam Butler, 2002). Sesuai

perkembangannya maka dikembangkan TSRQ khusus untuk diabetes.

TSRQ terdiri dari 17 item untuk mengukur motivasi otonomi dan kontrol,

yang meliputi medikasi, pemeriksaan gula darah, diet dan latihan teratur.

Instrumen ini terdiri dari 4 poin skala likert yaitu 1 untuk tidak benar sampai

4 untuk sangat benar. Nilai total yang tinggi merefleksikan motivasi yang

baik (Butler, 2002).

C. Aktivitas Fisik

1. Pengertian

Aktivitas fisik sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka

yang membutuhkan pengeluaran energi (WHO, 2018).

Aktivitas fisik merupakan salah satu cabang olahraga yang memiliki

kegiatan dengan menggerakan anggota tubuh sehingga membuat otot-otot

serta rangka tubuh melakukan pergerakan dan akan membakar lemak dan

menurunkan kolesterol pada tubuh (Saputra, 2019).

2. Jenis aktivitas fisik

WHO, 2015 menjelaskan bahwa aktivitas fisik dapat digolongkan

menjadi tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut:


a. Aktivitas fisik berat

Aktivitas fisik berat adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan

minimal selama 10 menit sampai denyut nadi dan napas meningkat

lebih dari biasanya, contohnya ialah menimba air, mendaki gunung, lari

cepat, menebang pohon, mencangkul, dll.

b. Aktivitas fisik sedang

Aktivitas fisik sedang apabila melakukan kegiatan fisik sedang

contohnya (menyapu, mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih

dengan durasi beraktivitas minimal 150 menit dalam satu minggu.

c. Aktivitas ringan

Aktivitas fisik yang hanya memerlukan sedikit tenaga dan biasanya

tidak menyebabkan perubahan dalam pernapasan atau ketahanan

(endurance), contoh : berjalan kaki, berdandan, duduk, menonton TV,

aktivitas main handphone.

3. Faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik

Menurut (Musdalifah, 2017) beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi aktivitas fisik yaitu:

a. Umur

Aktifitas fisik yang dilakukan oleh setiap orang dapat meningkat

mulai dari umur 25-30 tahun. Semakin orang mengalami kenaikan

proporsi umur maka aktivitas yang dilakukan akan mengalami penurunan

kekuatan otot untuk melakukan aktivitas.


b. Jenis kelamin

Aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan awa mulanya

sama, akan tetapi bila seseorang telah menginjak masa remaja, dewasa

maka laki-laki memiliki proporsi aktivitas paling tinggi.

c. Tingkat perkembangan tubuh

Jika tingkat perkembangan tubuh seseorang tumbuh secara

proporsional, postur, pergerakan refleks akan berfungsi secara optimal.

Akan tetapi bila perkembangan tubuh seseorang tidak berkembang secara

proporsional maka fungsi tubuh dalam melakukan aktivitas fisik tidak

optimal.

d. Kesehatan fisik

Berbagai penyakit, cacat tubuh dan imobilisasi akan mempengaruhi

pergerakan tubuh.

e. Emosi

Rasa gembira dan aman dapat mempengaruhi tingkat aktivitas tubuh

seseorang. Kesulitan dan keresahan dapat menghilangkan semangat, yang

kemudian dapat menyebabkan kurangnya aktivitas.

f. Pekerjaan

Seseorang yang bekerja di kantor kurang melakukan aktivitas bila

dibandingkan dengan pegawai pabrik industri dan petani atau buruh.


g. Keadaan nutrisi

Kurangnya nutrisi dapat menyebabkan kelemahan otot, dan jika

porsi makan terlalu banyak maka tubuh akan mengalami obesitas dimana

obesitas dapat menyebabkan pergerakan menjadi kurang bebas.

4. Pengukuran aktivitas fisik

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur aktivitas fisik menurut

FAO/WHO/UNU (dalam Jannah, 2018), yaitu dengan menggunakan alat

ukur Physical Activity Levels (PAL) yang merupakan besarnya energi yang

dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. PAL ditentukan

dengan rumus sebagai berikut:

Σ PAR
PAL=
W

Keterangan:

PAL = Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik).

PAR = Physical Activity Rasio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap

jenis aktivitas per satuan waktu tertentu, terlampir).

W = Alokasi waktu dalam 24 jam.

Tabel 2.1
Kategori Tingkat Aktivitas Fisik Berdasarkan Nilai PAL
Kategori Nilai PAL
Ringan (sedentary lifestyle) 1,4 – 1,69

Sedang (active or moderate active lifestyle) 1,7 – 1,99

Berat (vigorous or vigorously active 2,00 – 2,40

lifestyle)
Sumber: FAO/WHO/UNU (dalam Jannah, 2018).
8. Kerangka teori
Faktor yang mempengaruhi motivasi:
a. Faktor eksternal
1. Sifat pribadi Faktor Risiko Komplikasi
2. Intelegensi atau Umur, riwayat DM, aktifitas a. Hipoglikemia
pengetahuan fisik, indeks massa tubuh, b. Hiperglikemia
tekanan darah, stress dan c. Penyakit ginjal
3. sikap kolesterol
b. Faktor internal d. Retinopati
1. Pengaruh lingkungan e. Penyakit jantung
2. Pendidikan f. Neuropati
3. Agama DM TIPE II
4. Sosial ekonomi
5. Kebudayaan
6. Orang tua
7. Saudara
Empat pilar penatalaksanaan
DM: Faktor yang mempengaruhi aktifitas fisik:
1. Edukasi 1. Umur
Motivasi
2. Terapi nutrisi medis Aktifitas fisik 2. Jenis kelamin
3. Latihan jasmani 3. Tingkat perkembangan tubuh
4. Terapi farmakologis 4. Kesehatan fisik
Edukasi terapi nutrisi medis/ pengaturan
makan pada penderita DM tipe II meliputi: 5. Emosi
Keteraturan jadwal makan, jenis, dan 6. Pekerjaan
jumlah makanan, serta penggunaan obat 7. Keadaan nutrisi
penurun glukosa darah/ insulin pada pasien
Bagan 2.1 Kerangka Teori
(Trisnawati & Setyorogo, 2013; Perkeni, 2011; Musdalifah, 2017; Sutrisno, 2011; Fatimah, 2015; Hasdianah, 2012; Rajasa, 2016; Padila, 2012).
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan bagian dari kerangka teori yang akan menjadi

panduan dalam melaksanakan penelitian. Berdasarkan landasan teori yang

diuraikan pada studi kepustakaan, maka secara sistematis kerangka konsep

pada penelitian dapat digambarkan dalam skema, sebagai berikut:

Variabel bebas (independent) Variabel terikat (dependent)

Motivasi diri Aktivitas fisik

Faktor yang mempengaruhi


1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Tingkat perkembangan
tubuh
4. Kesehatan fisik
5. Emosi
6. Pekerjaan
7. Keadaan nutrisi

Bagan 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan:

: Area yang diteliti

: Area yang tidak diteliti, akan dikontrol dalam kriteria inklusi


B. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil

sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut.

Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian maka hipotesis ini dapat

benar atau salah. (Notoatmodjo, 2018).

Hipotesis diartikan sebagai dugaan atau jawaban sementara, mungkin

benar mungkin juga salah. Meskipun hipotesis adalah suatu dugaan namun

hipotesis tidaklah asal membuat. Dugaan tersebut didasarkan atas teori-teori

yang terdapat di dalam berbagai buku, atau hasil-hasil penelitian terdahulu

yang pernah dilakukan. (Machfoedz, 2013).

Hipotesis adalah pernyataan awal peneliti mengenai hubungan antar

variabel yang merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan hasil

penelitian. Didalam pernyatan hipotesis terkandung variabel yang akan

diteliti dan hubungan antar variabel-variabel tersebut. Pernyataan hipotesis

mengarahkan peneliti untuk menentukan desain penelitian, teknik pemilihan

sampel, pengumpulan dan metode analisis data (Dharma, 2011).

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Hipotesis alternatif (Ha)

Terdapat hubungan antara motivasi diri dengan aktivitas fisik pada

penderita diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas Patimuan.

2. Hipotesis nol (H0)

Tidak ada hubungan antara motivasi diri dengan aktivitas fisik pada

penderita diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas Patimuan.


C. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variable Penelitian

Variable penelitian merupakan suatu objek, atau sifat, atau atribut atau

nilai dari orang atau kegiatan yang mempunyai bermacam-macam variasi

antara satu dengan lainnya yang di tetapkan oleh peniliti dengan tujuan

untuk di pelajari dan di tarik kesimpulan (Wibowo, 2014). Sedangkan

menurut Sugiono, (2010) variabel penelitian adalah segala sesuatu yang

berbentuk apa saja yang di tetapkan oleh peneliti untuk di pelajari

sehingga di peroleh informasi tentanhg hal tersebut kemudian di tarik

kesimpulannya. Variabel dari penelitian ini adalah motivasi diri dan

aktivitas fisik pada penderita diabetes miletus tipe 2.

2. Definisi Operasional

Saryono (2008) mengemukakan definisi operasional di buat untuk

memudahkan pegumpulan data dan menghindari perbedaan interpretasi

serta membtasi ruang lingkup variabel. Sedangkan menurut Notoatmodjo

(2010), definisi operasional adalah uraian tentang batasan variable yang

dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variable yang bersangkutan.
Tabel 3.1
Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala

1. Variabel Suatu dorongan dari Kuesioner dari Total skor


bebas: dalam diri individu TSRQ, 17 item motivasi: 17-68 Ordinal
maupun dari luar pernyataan terdiri Dikelompokkan
Motivasi diri individu untuk dari medikasi, menjadi 2 yaitu:
kontrol gula darah, 1: baik (≥ 80%
melakukan
diet dan latihan fisik, nilai total atau ≥
manajemen Penilaian 54.4)
perawatan DM menggunakan skala 0: kurang baik
likert: (<80% nilai total
1: sangat tidak setuju atau < 54.4)
2: tidak setuju
3: setuju
4: sangat setuju
2. Variabel Kegiatan sebagai Data diperoleh Untuk keperluan Ordinal
terikat : gerakan tubuh yang menggunakan alat analisis data, data
dihasilkan oleh otot ukur Physical dikategorikan
Aktivitas fisik rangka yang Activity Levels menjadi:
(PAL) 1. Ringan jika
membutuhkan
Rumus: nilai PAL =
pengeluaran energi
Σ PAR 1,4 – 1,69
PAL= 2. Sedang jika
W
nilai PAL =
1,7 – 1,99
3. Berat jika nilai
PAL = 2,00 –
2,40

D. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi cross

sectional. Pengumpulan data dan informasi serta pengukuran antara variabel

independen dan dependen dilakukan pada waktu yang sama. Desain studi cross

sectional ini cocok digunakan untuk menganalisis subjek penelitian dalam


jumlah besar karena mudah dilaksanakan, sederhana, ekonomis dalam hal

waktu dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat (Notoatmodjo, 2018).

Desain cross sectional adalah suatu desain penelitian epidemiologi yang

mempelajari prevalensi, distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan

(faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan, penyakit, atau

karakteristik kesehatan lainnya secara serentak, pada individu – individu dari

suatu populasi dalam satu saat (Murti dalam Wijayanti, 2019). Penelitian

dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara motivasi diri dengan aktivitas

fisik pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas patimuan.


E. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti

dan telah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh peneliti

(Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah pendertita

diabetes mellitus tipe 2 di puskesmas Patimuan sejumlah 109 orang, yang

terdiri dari 7 Desa. Yang meliputi Desa Bulupayung 10 kasus, Desa

Cinyawang 25 kasus, Desa Patimuan 40 kasus, Desa Purwodadi 8 kasus,

Desa Sidamukti 17 kasus, Desa Rawaapu 5 kasus, Desa Cimrutu 4 kasus.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau

sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Nursalam,

2011). Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah penderita diabetes

mellitus tipe 2 di puskesmas patimuan yang memenuhi kriteria inklusi.

a. Besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan

formula sederhana untuk populasi kecil yaitu lebih kecil dari 10.000

(Notoatmodjo, 2018).

N
n=
1+N (d 2 )

Keterangan:

n : Jumlah sampel

N : Jumlah populasi
d : Derajat kesalahan, dalam penelitian ini ditentukan sebesar 10%

Dengan demikian, Jumlah sampel dapat dihitung sebagai berikut:

109
n=
1+109 (0 , 012 )
109
n=
1+1 , 09
109
n=
2, 09
n = 52,15 dibulatkan menjadi 52 responden.

Untuk antisipasi ditambahkan 10% dari jumlah sampel yang ada,

jadi total sampel 52 + 5 = 57 responden.

b. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

teknik cluster random sampling, yaitu berdasarkan kelompok-kelompok

individu atau cluster. Teknik ini digunakan bila sampel objek yang akan

diteliti atau sumber data sangat luas (Dharma, 2011). Pengambilan

sampel dilakukan pada saat kegiatan prolanis.

c. Penentuan Sampel

1) Kriteria inklus

a) Penderita DM tipe 2 yang berusia > 25 tahun.

b) Jenis kelamin.

c) Tidak sedang sakit fisik ketika penelitian di lakukan .

d) Memiliki emosi yang stabil.

e) Tidak cacat tubuh.

f) Memiliki pekerjaan.
g) IMT ( indeks masa tubuh ).

2) Kriteria eksklusi

a) Penderita DM tipe 2 yang keluar dari sampel penelitian.

b) Penderita DM tipe 2 yang keluar dari sampel penelitian.

d. Pemilihan sampel

Pemilihan sampel dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

1) Menentukan cluster

Sampel dalam penelitian ini dikelompokkan dalam beberapa

Desa dalam satu Kecamatan terdiri dari 7 Desa.

2) Memilih sampel

Dari 7 desa tersebut, akan diambil sejumlah sampel. Cara

menghitung jumlah sampel tiap tingkat kelas dengan memakai

rumus sebagai berikut:

jumlah penderita tiap desa


Sampel= X 57
jumlah total penderita dmtipe 2

Dari rumus tersebut, maka jumlah sampel tiap-tiap tingkat

disajikan pada tabel dibawah ini.


Tabel 3.2
Sampel pada tiap Desa Patimuan penderita dm tipe 2 Tahun 2020.
Jumlah Perhitungan Jumlah
No Desa
Populasi sampel Sampel
1 40 40 21
Patimuan x 57
109
2 25 25 13
Cinyawang x 57
109
3 17 17 9
Sidamukti x 57
109
4 10 10 5
Bulupayung x 57
109
5 8 8 4
Purwodadi x 57
109
6 5 5 3
Rawaapu x 57
109
7 4 4 2
Cimrutu x 57
109

Jumlah 109 57

Sumber:Data sekunder tahun 2020.

F. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Patimuan pada bulan Mei – Juli

2020.

G. Etika Penelitian

Aqdia (2019), menjelaskan dalam bukunya bahwa etika penelitian

dalam keperawatan ada 3, yaitu :

1. Informed Consent

adalah kuesioner yang akan diebrikan sebelum melakukan

penelitian. Informed Consent merupakan lembar kuesioner yang

didalamnya berisi kalimat pernyataan bahwa subjek bersedia menjadi


responden penelitian. Jika subjek bersedia menandatangi lembar ini maka

subjek dapat dimasukkan dalam responden penelitian peneliti, tetapi jika

subjek tidak bersedia maka peneliti harus tetap menghargai keputusan

yang diambil oleh subjek.

2. Anonimity (tanpa nama)

Anonimity artinya peneliti tidak perlu encantumkan nama

responden, hal ini bertujuan untuk menjaga privasi dari responden.

Peneliti cukup memberikan kode disetiap lembar kuesioner untuk

masing-masing responden.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Confidentiality yaitu peneliti harus dapat merahasiakan informasi

atau masalah-masalah yang dianggap menjadi rahasia oleh responden.

Peneliti boleh membagikan informasi hanya pada kelompok tertentu dan

tim medis yang memang membutuhkan informasi responden untuk

kepentingan tertentu.

4. Justice (keadilan)

Justice Peneliti memberikan kesempatan yang sama bagi responden

yang memenuhi kriteria untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Selain

itu, peneliti memberikan kesempatan yang sama dengan responden untuk

mengungkapkan perasaannya baik sedih maupun senang. Responden

juga memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama tampa

membedakan gender, agama, etnis dan sebagainya.


H. Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Diperoleh melalui pengisian kuesioner yang berisi pertanyaan yang

akan diamati dan responden memberikan jawaban dengan mengisi

kuesioner. Adapun prosedur dalam pengumpulan data pada peneliti ini

adalah sebagai berikut :

a. Responden diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan

penelitian.

b. Setelah responden bersedia menjadi sampel penelitian, selanjutnya

responden diberikan informed consent dan dimintai tanda tangan.

c. Responden diberi kuesioner selanjutnya diminta agar mengisi sendiri

belangko kuesioner tersebut sesuai petunjuk penelitian semua item

pertanyaan dijawab sampai selesai.

d. Setelah selesai pengisian, kuesioner dikembalikan kepada petugas

pengumpul data dan dilakukan pemeriksaan seperlunya.

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang sudah tercatat dalam buku atau

pun suatu laporan namun dapat juga merupakan hasil laboratorium atau

dokumentasi. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari pengurus

prolanis Puskesmas Patimuan tentang jumlah data penderita DM tipe 2 di

Puskesmas Patimuan.
I. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh

peneliti dalam mengumpulkan data untuk mempermudah hasil penelitian dan

hasilnya lebih baik sehingga data dapat lebih mudah untuk diolah (Saryono,

2011). Alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah

kuesioner. Kuesioner berupa daftar pertanyaan yang tersusun dengan baik,

ada dalam bentuk pertanyaan sehingga responden tinggal mengisi dan

memberi jawaban pada kolom kuesioner.

Kuesioner aktivitas fisik diadopsi dari Jannah, (2018) dengan judul

penelitian Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Obesitas Pada Anak Sekolah

di SDN 1 Sigli Kabupaten Pidie dan mempunyai nilai R hitung (0,823) yang

lebih besar dari R tabel (0,444) sehingga dinyatakan reliabel. Kuesioner stres

diadopsi dari Lovibond dan Lovibond (1995 dalam Fadilla & Fitri, 2014)

mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,91 yang diolah berdasarkan penilaian

Alpha Cronbach’s.

Kuesioner motivasi diri diadopsi dari Ariani,Y, (2011), peneliti

melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner yang digunakan

dalam penelitian ini pada 30 orang responden di Poliklinik Endokrin RSUP

H. Adam Malik Medan. Untuk kuesioner motivasi pernyataan nomor 13 tidak

valid, setelah pernyataan tersebut dibuang, kuesioner motivasi menjadi valid

dan reliabel dengan alpha 0.909 dan r hitung 0.367. tersebut dibuang,

kuesioner motivasi menjadi valid dan reliabel dengan alpha 0.909 dan r

hitung 0.367.
J. Prosedur Pengumpulan Data

Menurut Sugiono (2013) instrument penelitian dapat berupa test

pedoman wawancara, pedoman observasi dan kuisioner. Dalam penelitian ini

instrument yang digunakan penelitian pengisian kuesioner. Kuesioner berisi

daftar pertanyaan kode responden, inisial, jenis kelamin, alamat. Kuesioner

sudah tersusun dengan baik, sehingga responden tinggal memberikan tanda

tangan yang ada pada petunjuk pengisian kuesioner. Dalam pengumpulan

data dari responden kuesioner dibagikan langsung kepada responden dan

membacakan seluruh isi kuesioner oleh peneliti, kusioner dibagikan kepada

57 responden dan dalam pembagian dan pengisian kuesioner tidak ada

responden yang menolak saat diminta mengisi, setelah semua terisi kuesioner

langsung diminta kembali oleh peneliti, kemudian dilakukan pengolahan data

dan analisa data.

K. Rencana Pengolahan Data Dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul dalam penelitian diolah dengan tahapan-

tahapan sebagai berikut:

a. Cleaning, yaitu pengetikan kembali data yang sudah dientri untuk

mengetahui ada kesalahan atau tidak.

b. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian

formulir atau kuesioner (Notoatmodjo, 2018). Pada penelitian ini,


peneliti memeriksa data yang diperoleh, baik mengenai identitas

responden maupun jawaban.

c. Coding

Coding adalah mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi

data angka atau bilangan (Notoatmodjo, 2018). Coding pada penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1) Motivasi diri

a. Sangat tidak setuju :1

b. Tidak setuju :2

c. Setuju :3

d. Sangat setuju :4

2) Aktivitas fisik

a) Ringan :1

b) Sedang :2

c) Berat :3

d. Scoring

Scoring, adalah pemberian skor atau bobot terhadap item-item

kuesioner berdasarkan pola scoring sebangai berikut :

1. Motivasi diri.

Penilaian motivasi diri dilakukan dengan menjumlahkan seluruh

item soal dengan skor tertinggi SS (sangat setuju) 4, selanjutnya S

(setuju), skor 3, selanjutnya TS (tidak setuju), skor 2, selanjutnya

dikategorikan menjadi nilai rendah STT (sangat tidak setuju), skor

1. Setelah di total dikelompokkan menjadi 2 yaitu:


1: baik (≥ 80% nilai total atau ≥ 54.4)

0: kurang baik (<80% nilai total atau < 54.4)

2. Aktivitas fisik

Penilaian aktivitas fisik dilakukan dengan perhitungan seluruh

item jawaban dengan skor berat jika nilai PAL 2,00 – 2,40,

selanjutnya dikategorikan menjadi nilai sedang jika nilai PAL, 1,7 –

1,99, selanjutnya dikategorikan menjadi nilai rendah jika nilai PAL,

1,4 – 1,69.

e. Tabulating

Tabulating adalah membaut tabel-tabel data, sesuai dengan tujuan

penelitian atau yang diinginkan oleh peneliti (Notoatmodjo, 2018). Pada

penelitian ini, data akan dikelompokkan sesuai dengan kategori yang

telah ditentukan.

2. Analisa Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi

dengan mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam

unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana

yang penting dan yang dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga

mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Analisa data

dilakukan secara bertahap melalui proses komputerisasi. Langkah terakhir


dalam penelitian adalah melakukan analisa data. Analisa data dilakukan

secara bertahap dan melalui proses komputerisasi (Notoatmodjo, 2018).

a. Analisa univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi

dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2018). Untuk

menghitung distribusi frekuensi karakteristik responden, motivasi diri

dan aktivitas fisik pada penderita diabetes mellitus tipe 2 yang

dilakukan dengan komputerisasi.

b. Analisa bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui dua variabel yang

diduga memiliki hubungan atau korelasi (Notoatmodjo, 2018).

Analisa untuk menguji hipotesis asosiatif atau hubungan bila datanya

berbentuk ordinal adalah dengan menggunakan teknik statistik

korelasi Spearman Rank (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian ini,

analisa ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara motivasi diri

dengan aktivitas fisik pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di

Puskesmas Patimuan. Selanjutnya analisa data dilakukan dengan

komputerisasi.

Raharjo (2015) menjelaskan bahwa interpretasi korelasi

Spearman Rank adalah sebagai berikut:


1) Ho ditolak bila nilai sig < 0,05. Artinya terdapat korelasi yang

signifikan antara variabel yang dihubungkan

2) Ho diterima bila nilai sig > 0,05. Artinya tidak terdapat korelasi

yang signifikan antara variabel yang dihubungkan

Raharjo (2015) menjelaskan bahwa untuk mengetahui

interpretasi korelasi hubungan, maka digunakan tabel interpretasi

sebagai berikut:

Tabel 3.3
Pedoman Interpretasi Korelasi
Interval Tingkat Hubungan
0,00 – 0,25 Sangat lemah
0,26 – 0,50 Cukup
0,51 – 0,75 Kuat
0,76 – 0,99 Sangat kuat
1,00 Sempurna
DAFTAR PUSTAKA

ADA (American Diabetes Association), 2016. Diabetes Management Guidelines.


http://www.ndei.org/ADA-diabetes-management-guidelinesdiagnosisA1C-
testing.aspx.html.

Amirudin, R . 2014. Diabetic Mellitus Type 2 in Wajo South Sulawesi Indonesia.


Internatioanl Journal of Current Research and Academic Review, 2 (12) :
1- 8.

Bryer, M. 2012. 100 Tanya Jawab Mengenai Diabetes. Jakarta Barat: PT Indeks.

Bustan, M.N., 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta.
CDC. 2011. Family History as a Tool for Detecting Children at Risk for
Diabetes and Cardiovascular Disease. (online)
http://www.cdc.gov/ncbddd/pediatricetics/genetics_workshop/detecting.ht
ml.

Depkes R.I., 2014. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Pusdatin Kementerian


Kesehatan RI.

Diabetes UK. 2010. Diabetes in the UK: Key Statistics on Diabetes.

Diana, Nuriman., Sety, La OM & Tina, Lymbran. 2018. Analisis Faktor Risiko
Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Usia Dewasa Muda di RSUD
Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 3 (2), 1-9.

Dinas Kesehatan Cilacap. 2016. Profil Kesehatan Kabupaten Cilacap Tahun


2018.Cilacap.Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap.

Dinkes, Jateng.Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. 2013,


Semarang: Dinkes Jateng.

Ewadh. M. J, 2014. Evaluation of Amylase Activity in Patients with Type 2


Daibetes Mellitus. American Journal of BioScience. Vol. 2, No. 5, 2014,
pp. 171-174. doi: 10.11648/j.ajbio.20140205.11 diakses pada : 13 April
2019

Fatmawati, Ari, 2010. Faktor Resiko Kejadian DM tipe 2 Pasien Rawat Jalan (Studi
Kasus di Rumah Sakit Umum Daerah Sunan Kalijaga Demak. Tesis
Universitas Negeri Semarang.

Fatmawati. N.R 2015 DM tipe 2 J MAJORITY | Volume 4 Nomor 5 | Februari


2015.

Ganz ML, Wintfeld N, Li Q, Alas V, Langer J,Hammer M. 2014. The Association


of Body Mass Index with The Risk of Type 2 Diabetes: A Case–Control
Study Nested in An Electronic Health Recordssystem in the United States.
Diabetology & Metabolic Syndrome, 6(1), 50.

Gusti & Erna. 2014. Hubungan Faktor Risiko Usia, Jenis Kelamin, Kegemukan
dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah
Kerja Puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah. Volume 8. No.1 : 39-44.

Hasdianah. 2012. Mengenal Diabetes Mellitus Pada Orang Dewasa dan Anak –
Anak Dengan Solusi Herbal. Yogyakarta : Nuha Medika.

Hasdianah. 2014. Pemanfaatan Gizi, Diet dan Obesitas. Nuha Medika. Yogyakarta.

IDF, 2011, One Adult In Ten Will Have Diabetes by 2003.


(http://www.idf.org/media-events/press-releases/2011/diabetes-atlas8th-
edition)

IDF. 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International Diabetes Federation
2013.http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf.

Isnaini, Nur & Ratnasari. 2018. Faktor Risiko Mempengaruhi Kejadian Diabetes
Tipe Dua. Jurnal Keperawatan Dan Kebidanan Aisyah, 14 (1), 59-68.

Jelantik I.M.G., Haryati E., 2014. Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin,
Kegemukan Dan Hipertensi Dengan Kejadian Diabetes Mellitus Tipe II Di
Wilayah Kerja Puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah. 8(1):39-44

Kaban, S. 2007. Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Kota Sibolga Tahun 2005. Majalah
Kedokteran Nusantara. Vol 4 No. 2.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang


Kemenkes Ri

Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta : Kemenkes RI;
2015

Kurniawan, A.A., & Wuryaningsih, Y.N.2016.Rekomendasi Latihan Fisik untuk


Diabetes Mellitus Tipe 2.Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana Vol.01
No.03 September 2013. Diakses pada 12 Maret 20120, Dari
bikdw.ukdw.ac.id/index.php/bikdw/article/download/22/23.

Kusmiran, E, 2011. Kesehatan reproduksi remaja dan wanita. Jakarta: Salemba


Medika

Maulana, D.J Heri. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta. EGC

Mihardja, L. 2009. Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Gula Darah


pada Penderita Diabetes Mellitus dalam Majalah Kedokteran Indonesia.
Jakarta.
Mumpuni Y.R., Wulandari A., 2011. Cara Jitu Mengtasi Kolesterol. Yogyakarta:
Andi.

Notoatmodjo, S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta;


2005.

Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2012.

Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta


2007.

Nursalam. Proses dan dokumentasi keperawatan, konsep dan praktek.Jakarta :


Salemba Medika; 2011.

Padila. 2012. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika

Palimbunga TM., Ratag, BT & Kaunang, WPJ. 2017. Faktor-Faktor yang


Berhubungan dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di RSU GMIM
Pancaran Kasih Manado. Media Kesehatan, 9(3), 48-59.

Pandelaki. K, Hendromartono dan Gatut. S, 2006, Naskah Lengkap Pertemuan


Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
FKUH, Makassar.

Pangemanan D, Mayulu N. 2014. Analisis Faktor Resiko Penyebab Terjadinya


Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Dipuskesmas
Wawonasa. Jurnal e-Biomedik.

PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. Jakarta: PERKENI; 2011.

Permana, H. 2008. Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta pada Diabetesi.


Universitas Padjadjaran. Bandung. http://indodiabetes.com/ (Diakses
tanggal 11 maret 2019)

Powers. C.A., 2010. Diabetes Mellitus. In: Longo. D., Fauci. A., Kasper. D.,
Hauser. S., Jameson. J., Loscalzo. J., Harrison’s Principle of Internal
Medicine 18th Edition. New York: McGraw Hill. Page 1968-3002

Putri, Dafriani. 2017. Hubungan Pola Makan dan Aktifitas Fisik Terhadap Kejadian
Diabetes Melitus di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD dr. Rasidin Padang.
NERS: Jurnal Keperawatan, 13 (2), 70-77.

Saryono. 2011. Metodologi penelitian keperawatan. Purwokerto: UPT. Percetakan


dan Penerbitan UNSOED.

Setiarini, Agus, Heri 2011. Komplikasi Kardiovaskular Dan Ginjal Pada Diabetes.
http: www.dokteragus.blogspot.com , diakses tanggal 15 maret 2020
Smeltzer & Bare. 2010. Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta : EGC

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif,


dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2013. “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan Kombinasi (Mixed


Methods)”. Edisi Keempat. Bandung: ALFABETA.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sunaryo, dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Penerbit Andi

Sutanto. 2010. Cekal (Cegah dan Tangkal) Penyakit Modern Hipertensi, Stroke,
Jantung, Kolestrol, dan Diabetes. Yogyakarta: C.V Andi Offset.

Tahir AC, Asmarani, & Adriyani A. 2017. Analisis Faktor Risiko Obesitas dan
Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Kendari. Medula, 4(2), 322-331

Toharin,S.N.R.,Cahyati.W.H, &Zainafree.I. 2015. Hubungan Modifikasi Gaya


Hidup dan Kepatuhan Konsumsi Obat Antidiabetik dengan Kadar Gula
Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Rs Qim Batang Tahun
2013.Unnes Journal of Public Health. Diakses 03 maret 2020, Dari
Journal.unnes.ac.id/artikel_sju/ujph/5193.

Trisnawati, KS., Setyorogo, Soedijono. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes


Mellitus Tipe 2 Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat
Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan. Vol 5 No. 1 : 6-11

WHO. Global Report On Diabetes. France: World Health Organization; 2015

Wibowo . 2014 . Perilaku Dalam Organisasi . Edisi 1-2 . Jakarta : Rajawali Pers.

Wicaksono., 2013. Type II Diabetes Mellitus Uncontrolled Blood Glucose with


Neurophaty Diabetic. Medula . 1:3

World Health Organization. 2016. World Health Statistics. Dunia : WHO

Yovina.S, 2012. Kolesterol. Pinang Merah Publisher, Yogyakarta.

Zieve, David. 2012. Hypertension – Overview. 2012. [http://nlm.nih.gov/


medlineplus/ency/anatomyvideos/000072.htm]. diakses tanggal 4 maret
2020.

Jannah, M. (2018). Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Obesitas Pada Anak

Sekolah di SDN 1 Sigli Kabupaten Pidie. Jurnal Kesehatan Global, 1(3), 110.

https://doi.org/10.33085/jkg.v1i3.3928.

Anda mungkin juga menyukai