Audit Keselamatan Cipularang (Final)

SAFETY AUDIT TOL CIPULARANG
SAFETY AUDIT
JALAN TOL CIPULARANG
LAPORAN BIDANG MANAJEMEN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS
JAKARTA, Agustus 2006

DAFTAR ISI
Hal
Daftar Isi i
1. Latar Belakang 1
2. Dasar 2
3. Maksud dan Tujuan 2
4. Ruang Lingkup Pekerjaan 2
5. Pelaksanaan Pekerjaan 3
6. Hasil Pemeriksaan Lapangan 4
7. Langkah langkah Penanganan 13
8. Rekomendasi 17
9. Kesimpulan 19
Lampiran I
Hasil Pengamatan lapangan Safety Audit
Lampiran II
Hasil pengamatan lapangan Manajemen Lalulintas
Lampiran III
An Introduction to Roadside Hazard Management
Lampiran IV
A Brief outline of design and installation Considerations
for road signs, markings and Delineation.
i
ii
SAFETY AUDIT
JALAN TOL CIPULARANG
1. LATAR BELAKANG
“Kecelakaan lalu lintas adalah suatu kejadian yang bersifat jarang, acak,
dipengaruhi banyak factor dan selalu didahului oleh suatu situasi dimana satu
atau beberapa orang gagal menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Odgen
1996)”
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu masalah yang luar biasa besar yang
dihadapi oleh Pemerintah Indonesia. Masalah kecelakaan lalu lintas telah
mengakibatkan kerugian materi kurang lebih Rp. 30,85 Trilyun (US$ 3,5 billions) belum
termasuk biaya perawatan, kehilangan jiwa dan produktifitas. Mengingat dampak
kecelakaan lalu lintas yang begitu luar biasa tersebut perlu dilakukan upaya-upaya
penanganan dan pencegahannya. Pencegahan kecelakaan lalu lintas merupakan upaya
pengendalian faktor-faktor penyebab kecalakaan lalu lintas agar semaksimal mungkin
dalam batasan yang dapat diantisipasi dan disikapi oleh pengguna jalan dan atau orang
yang berada disekitarnya. Faktor-faktor utama penyebab kecelakaan adalah Sarana,
Prasarana, Manusia dan Lingkungan. Masing-masing faktor memiliki karakteristik yang
berbeda. Karena itu faktor-faktor penyebab kecelakaan lalu lintas harus memenuhi
standard dan persyaratan agar semaksimal mungkin dapat diantisipasi dan disikapi oleh
pengguna jalan dan atau orang disekitarnya.
Audit keselamatan jalan merupakan suatu tindakan preventif dalam keselamatan

lalu lintas jalan. Audit keselamatan jalan merupakan tindakan proaktif sebelum terjadinya
kecelakaan lalu lintas di jalan. Audit keselamatan jalan dilaksanakan sedini mungkin dari
mulai tahapan rencana dan desain sampai tahap sebelum dioperasikan.
Audit keselamatan mempunyai potensi terbesar dalam meningkatkan keselamatan

jalan dan merupakan langkah yang paling efektif dalam hal biaya bila dapat
diaplikasikan sejak dalam tahapan rencana dan desain. Audit keselamatan jalan
merupakan bagian dari strategi keselamatan lalu lintas jalan dalam strategi manajemen
keselamatan jalan jangka panjang. Selain itu audit keselamatan jalan merupakan satu
bagian dari program rekayasa dan manajemen keselamatan lalu lintas jalan bukanlah
satu-satunya alat bagi pemerintah untuk diterapkan dalam upaya meningkatkan
keselamatan lalu lintas jalan.
“A road safety audit is a formal safety performance examination of an existing

or future road or traffic project, in which an independent, qualified team reports on
the project’s crash potential and safety performance (Austroad 2002).”
“ Suatu bentuk pengujian formal dari suatu ruas jalan yang ada dan yang
akan datang atau suatu proyek lalu lintas, atau berbagai pekerjaan yang
berinteraksi dengan pengguna jalan, yang dilakukan secara independen, oleh
suatu tim penguji yang di dalam melihat potensi kecelakaan dan kinerja
keselamatan suatu ruas jalan.”
1
Demikian pula halnya dengan Jalan Tol Cipularang yang membentang antara
Cikampek – Padalarang dengan panjang kurang lebih 54 km juga menghadapi masalah
kecelakaan lalu lintas. Data PT Jasa Marga menunjukkan bahwa dalam kurun waktu
April 2005 s/d April 2006 telah terjadi 181 kecelakaan dengan korban 27 orang
meninggal dunia, 134 luka berat dan 176 luka ringan. Data kecelakaan tersebut diatas
menunjukkan bahwa sejak dioperasikan April 2005 Jalan Tol Cipularang menghadapi
permasalahan kecelakaan lalu lintas yang sangat serius disamping masalah konstruksi
di beberapa lokasi.
Untuk itulah Badan Pengatur Jalan Tol melakukan Safety Audit yang menyeluruh
terhadap Jalan Tol Cipularang yang dilaksanakan secara terkoordinasi dan
komperehensif. Pelaksanaan Safety Audit Jalan Tol Cipularang dibagi menjadi 3 (tiga)
bidang pemeriksaan yaitu :
1. Bidang Konstruksi dan Geoteknik;
2. Bidang Geometrik Jalan;
3. Bidang Manajemen dan Keselamatan Lalu Lintas Jalan.
Dalam pelaksanaan audit keselamatan jalan harus memperhatikan aspek pemakai

jalan, kendaraan dan prasarana jalan beserta lingkungannya. Dengan penekanan aspek
yang akan diteliti, maka laporan audit keselamatan jalan di Tol Cipularang juga akan
ditekankan pada aspek-aspek tersebut diatas.
2. DASAR
1. Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2. Undang-undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan;
3. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.60 Tahun 1993 Tanggal 9 September 1993
tentang Marka Jalan;
tentang Rambu-Rambu lalu Lintas di Jalan;
tentang Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
6. Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.3 Tahun 1994 Tanggal 17 Januari 1994
tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan;
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor.392/PRT/M/2005 Tanggal 31 Agustus
2005 perihal Standart Minimal Pelayanan Jalan Tol;
8. Surat Perintah Pelaksanaan Tugas Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No.
KP.003/3273/LLAJ tanggal 23 Agustus 2006 tentang kunjungan lapangan Safey
Audit Jalan Tol Cipularang;
9. Surat Kasubdit Audit Keselamatan tanggal 16 Agustus 2006 perihal Jadwal/Schedule
Pemeriksaan Lapangan Bidang Manajemen dan Keselamatan Lalu Lintas Safety
Audit Jalan Tol Cipularang;
10. Nota Dinas/Memorandum Direktur Keselamatan Transportasi Darat tanggal 14
Agustus 2006 No.39/KTD/VIII/06 perihal Persiapan Pelaksanaan Safety Audit Jalan
Tol Cipularang.
3. MAKSUD DAN TUJUAN
2
Survai Safety Audit Jalan Tol dilaksanakan dengan tujuan agar mendapatkan data yang
digunakan sebagai bahan untuk menganalisa ulang dan mengantisipasi terhadap
kemungkinan adanya penambahan rambu/Perlengkapan jalan lainnya yang meyangkut
keamanan, kenyamanan dan keselamatan para pengguna jalan tol.
4. RUANG LINGKUP PEKERJAAN
1. Pengumpulan data sekunder yang berupa gambar rencana (as built drawing), data
kerusakan, dan data kecelakaan
2. Pelaksanaan pemeriksaan yang melibatkan berbagai unsur yang berkepentingan
3. Identifikasi potensi permasalahan keselamatan bagi pengguna jalan dan pengaruh
lainnya dari pembangunan jalan tol
4. Identifikasi penyebab dan solusi penanganannya (countermeasure)
5. Memberikan rekomendasi tentang solusi penanganannya (countermeasure) atas
potensi bahaya dan ancaman terhadap keselamatan pengguna jalan tol
5. PELAKSANAAN PEKERJAAN
Dalam pelaksanaan pemeriksaan akan dibagi dalam 2 (dua) sub-bidang
1. Sub-bidang Manajemen Lalu Lintas

2. Sub-bidang Keselamatan Lalu Lintas
Masing-masing sub-bidang terdiri dari 1 (satu) orang ketua dan 2 orang anggota dan
dikoordinir oleh 1 (satu) orang koordinator.
Survai pelaksanaan safety Audit Jalan Tol Cipularang dilaksanakan selama 2 (dua)
minggu, yang terbagi dalam Bidang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas yang
melaksanakan survey pada tanggal 24 s.d 26 Agustus 2006 dan bidang Keselamatan
Lalu Lintas yang melaksanakan survai pada tanggal 28 s.d 30 Agustus 2006.
Tahapan pelaksanaan audit keselamatan tol Cipulranag untuk Bidang Manajemen dan
Keselamatan Lalu Lintas berdasarkan Ruang Lingkup Pekerjaan untuk Bidang
Manajemen dan Keselamatan Lalu Lintas. Jadwal / Schedule Pemeriksaan Lapangan
Bidang Manajemen dan Keselamatan Lalu Lintas sebagai berikut :
Tahap 1
Pertemuan dengan Badan Pembina Jalan Tol (BPJT), Puslitbang Jalan PU, dan ITB
Bandung untuk konsolidasi pelaksanaan audit keselamatan di jalan tol Cipularang antar
3 (tiga) sub-bidang yaitu:
a. Bidang Geoteknik dan konstruksi;

b. Bidang Geometrik Jalan.
c. Bidang Manajemen dan Keselamatan Lalu Lintas.
Disepakati bahwa lingkup tugas masing-masing bidang akan koneksitas dengan lingkup
tugas tim lainnya.
Tahap 2
3
Pertemuan dengan PT Jasa Marga sebagai pemilik jalan Tol Cipularang untuk
membahas data-data sekunder yang diperlukan dalam pelaksanaan audit yang antara
lain berupa data as built drawing, pembagian seksi ruas jalan tol, data kecelakaan 1
(satu) tahun terakhir sejak jalan tol dioperasikan, serta dukungan operasional
pemeriksaan lapangan.
Tahap 3
Pelaksanaan Pemeriksaan lapangan jalan tol Cipularang kedua arah dengan jadwal
schedule dalam lampiran laporan ini. Selama pelaksanaan pemeriksaan lapangan tim
didampingi petugas jasa marga serta menyediakan rompi atau yellow jacket.
Pemeriksaan dilaksanakan pada siang serta malam hari untuk melihat kinerja jalan tol
secara keseluruhan, baik terhadap fasilitas perlengkapan jalan, pengamanan terhadap
obyek-obyek di pinggir badan jalan, serta pemeriksaan secara random terhadap
kecepatan kendaraan yang beroperasi di jalan tol. Sebagai bahan referensi digunakan
check-list dari Audit Keselematan Jalan dari Pedoman Konstruksi dan Bangunan untuk
jalan yang telah beroperasi untuk jalan arteri bukan tol.
Tahap 4
Analisa terhadap data yang telah dikumpulkan baik data sekunder yang berupa as built
drawing dan lainnya maupun data lapangan dilakukan dengan memperhatikan semua
aspek keselamatan lalu lintas jalan.
Tahap 5
Penyusunan rekomendasi serta saran tindak lanjut (counter-measure) untuk

mengantisipasi masalah keselamatan yang berpotensi terjadi kecelakaan serta untuk
langkah-langkah penanganan untuk mengurangi tingkat fatalitas dari suatu kecelakaan
dengan mengedepankan prinsip “forgiving road”.
6. HASIL PEMERIKSAAN LAPANGAN
A. AUDIT KESELAMATAN
Dalam pelaksanaan audit keselamatan ini untuk mendapatkan hasi yang mendetail
dilakukan inventarisir dan investigasi untuk setiap 200 meter panjang segmen jalan.
Hasil inventarisasi tersebut tertera pada lampiran I.
Berdasarkan pemeriksaan lapangan yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan

bahwa masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian dan peningkatan serta
perbaikan untuk meningkatkan kondisi keselamatan jalan tol Cipularang. Secara
ringkas hasil pemeriksaan lapangan dapat disampaikan sebagai berikut :
a. Rambu Lalu Lintas
Rambu lalu lintas sebagai alat untuk pelaksanaan manajemen lalu lintas yang
berfungsi untuk mengatur, mengarahkan dan menuntun arus lalu lintas di Jalan
Tol Cipularang berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan jumlahnya dirasakan
sangat kurang. Terutama rambu-rambu peringatan dan petunjuk yang berfungsi
4
untuk mengarahkan dan menuntun arus lalu lintas.
Secara lebih spesifik yang terutama dirasakan sangat kurang adalah rambu
peringatan untuk tikungan, tanjakan dan turunan. Khusus untuk tikungan selain
diperlukan rambu peringatan adanya tikungan juga diperlukan rambu chevron
untuk memberikan guidance kepada pengemudi untuk melalui tikungan.
Kalaupun sudah dilengkapi dengan chevron namun dirasakan masih kurang
sehingga tidak memberikan effek psikologis kepada pengemudi. Bahkan ditemui
pula rambu chevron yang salah dalam penempatannya.
Gambar : penempatan rambu cevron yang keliru, seharusnya pada tikungan bukan
pada jalan lurus.
Untuk Rambu petunjuk (RPPJ) khususnya untuk exit tol di Jatiluhur dan
Cikamuning belum memadai terutama untuk informasi kendaraan apa saja yang
diharuskan keluar exit Jatiluhur dan Cikamuning. Hal ini dirasakan berbahaya
karena berpengaruh terhadap keputusan pengemudi untuk exit atau tetap di
jalan tol.
Rambu RPPJ di exit Rambu RPPJ di exit

Jatiluhur (Km. 84) Cikamuning (Km. 116)
membingungkan membingungkan
Selain itu untuk exit Sadang/Purwakarta yang terletak tepat di tikungan juga
5
dirasakan berbahaya. Exit Sadang/Purwakarta ini juga tidak dilengkapi dengan

decelaration lane yang memadai untuk memisahkan lalu lintas yang akan exit tol
dengan yang tetap menggunakan jalan tol. Untuk itu perlu dilengkapi dengan
Rambu petunjuk yang jelas.
Exit tol Sadang/ Purwakarta tidak dilengkapi decelaration lane
Selain daripada itu, hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan bahwa di Jalan Tol
Cipularang terdapat lebih dari 1 (satu) spesifikasi rambu yang telah dipasang.
b. Marka Jalan
Disebagian besar tempat, marka jalan banyak sudah terkelupas dan kurang
begitu terlihat baik pada siang hari dan malam hari. Hal ini cukup membahayakan
karena marka jalan berfungsi untuk menuntun pengemudi dalam berlalu lintas.
Marka jalan sudah banyak yang terkelupas dan kurang terlihat
c. Delineator/Guide Post
Delineator/guide post yang dipasang di jalan tol Cipularang mempunyai fungsi

sebagai salah satu penuntun pengemudi dalam mengemudikan kendaraannya di
Jalan Tol selain marka dan rambu-rambu lalu lintas khususnya di malam hari.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan guide post yang terpasang di jalan Tol
Cipulrang masih jauh dari memadai baik dari segi jumlah dan kualitas. Di banyak
tempat guide post tertutup oleh vegetasi.
6
Guide Post kurang memadai
d. Median barrier
Barrier di tengah jalan tol Cipularang tahap 2 (Sadang – Padalarang) berbeda

spesifikasi dengan Tahap 1 (Dawuan-Sadang). Untuk Tahap 1 sudah dilengkapi
dengan double concrete barrier dengan ketinggian 120 cm. Sedangkan untuk
Tahap 2 hanya menggunakan single barrier dengan ketinggian 90 cm. Dengan
ketinggian rata-rata lampu kendaraan bermotor 115 cm, maka untuk malam hari
mengganggu pengemudi kendaraan karena silau lampu dari arah lalu lintas yang
berlawanan. Selain itu dengan single barrier pemasangan rambu peringatan,
rambu petunjuk KM, dan rambu chevron akan melebihi lebar barrier. Hal ini tentu
saja sedikit banyak akan mengganggu lalu lintas di lajur paling kanan.
Berdasarkan hasil Berita Acara Tim Laik Fungsi Jalan Tol Cipularang Tahun 2005
telah direkomendasikan bahwa untuk menggunakan double concrete barrier
dengan spesifikasi yang sama dengan Tahap 1.
Median barrier kurang tinggi sehingga sorot lampu

dari arah berlawanan menyilaukan
e. Guard rail
Guard rail adalah salah satu perlengkapan jalan yang berfungsi sebagai
pengaman untuk kendaraan yang lepas kendali sehingga fatalitas dari suatu
kecelakaan lalu lintas dapat dikurangi. Guard rail yang terpasang masih sangat
jauh dari memadai. Terutama dari segi jumlah. Sebagian besar saluran drainase
yang terbuka disisi jalan tol tanpa dilindungi dengan pengaman. Sangat
kontradiktif dengan himbauan PT. Jasa Marga bahwa penyebab utama
kecelakaan adalah mengantuk dan pecah ban. Drainase terbuka dengan lebar
rata-rata 2-3 meter dengan kedalaman 3 meter dengan jarak 1,5 meter dari
pinggir jalan dapat menjadikan kecelakaan ringan menjadi mematikan. Demikian
7
pula halnya dengan timbunan dengan ketinggian lebih dari 1 meter tanpa
dilindungi pengaman dengan kemiringan kurang dari 4:1 . Berdasarkan data
kecelakaan lalu lintas di Jalan Tol Cipularang selama 1 (satu) tahun yang
diperoleh dari PT. Jasa Marga menunjukkan bahwa sebagian kecelakaan fatal
terjadi di saluran drainase.
Tidak ada guard rail pada sisi jalan yang berbahaya
f. Roadside Hazardous Object
Selain saluran drainase yang terbuka dan embankment dengan kemiringan

kurang dari 4:1, beberapa obyek lainnya juga seperti tiang rambu, tiang lampu
penerangan jalan, pohon dan sebagainya yang mempunyai diameter lebih dari
10 cm dapat dikategorikan sebagai obyek pinggir jalan yang berbahaya.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan terlihat masih banyak tiang lampu

penerangan jalan dan tiang rambu lalu lintas yang terletak di pinggir jalan belum
terlindungi oleh pagar pengaman, dan bahkan ujung salah satu jembatan/culvert
juga tidak dilindungi oleh pengaman.
Tiang lampu tanpa pengaman Saluran drainase yang terbuka

berpotensi menimbulkan bahaya
g. Pemasangan MCB di bahu jalan
Di beberapa lokasi dijumpai adanya Movable Concrete Barrier (MCB) yang

dipasang di bahu jalan yaitu Km 72.200, KM 90.400 dan KM 104.600 sangat
berbahaya. Hal ini dapat dilihat pada KM 72,200 dimana pada lokasi ini bekas-
bekas kecelakaan jelas terlihat antara bekas jejak tapak ban serta bekas
serpihan kaca. Pemasangan MCB pada lokasi ini dimaksudkan untuk menutup
8
akses yang ada di pinggir jalan tol. Namun demikian dengan pemasangan MCB
tersebut telah menjadi salah satu titik rawan kecelakaan.
Demikian pula halnya dengan KM 90.400 dan 104.600, pemasangan MCB pada
lokasi ini adalah dimaksudkan untuk mencegah Bus angkutan umum berhenti
untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Penyebab utama dari masalah
ini adalah sejak dioperasikannya jalan tol Cipularang hampir semua Bus
angkutan umum antar kota menggunakan jalan tol, sehingga terjadi kekosongan
pelayanan di jalan arteri yang menyebabkan penumpang memilih untuk
menunggu di pinggir jalan tol. Walaupun demikian, pemasangan MCB di bahu
jalan tidak memecahkan akar masalah yang ada bahkan justru membuat lokasi
ini rawan terjadi kecelakaan. Data kecelakaan menunjukkan lokasi ini menjadi
salah satu Black-Spot.
MCB pada KM 72,200
MCB pada KM 90,400
MCB pada KM 104,600
h. Lajur Pendakian
Untuk daerah-daerah tanjakan di Tol Cipularang telah disediakan beberapa lajur

pendakian khusus untuk kendaraan berat yaitu bus dan mobil barang. Namun
9
demikian lajur pendakian tersebut belum memadai dari segi keselamatan lalu
lintas. Sebagian besar lajur pendakian dimulai pada posisi jalan yang sudah
menanjak. Hal ini memberikan sedikit ruang bagi kendaraan berat karena
kendaraan berat memerlukan ancang-ancang(persiapan) yang cukup untuk
melalui tanjakan.
Demikian pula halnya dengan akhir dari lajur pendakian, sebagian berakhir pada
saat posisi masih menanjak. Sebagian lagi pada posisi di puncak tanjakan dan
sebagian lagi berakhir pada tepat setelah melalui puncak tanjakan dan pada
posisi jalan menikung.
Berdasarkan diskusi dengan pihak proyek diketahui bahwa dalam tahapan

design lajur pendakian dibangun bila gradient tanjakan 4% atau lebih dan akan
diakhiri bila gradient tanjakan kurang dari 4% walaupun masih dalam posisi
menanjak. Bila rencana kendaraan Golongan IIA dan IIB diperbolehkan
menggunakan jalan Tol Cipularang, maka akan dibutuhkan lajur pendakian yang
lebih panjang dan akan membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Lajur pendakian kurang panjang
i. Escape Ramp
Di jalan Tol Cipularang telah terpasang 1 (satu) buah escape Ramp pada jalur
Bandung-Jakarta. Namun pemasangan escape ramp tersebut kurang memadai
karena tanpa ada informasi tentang keberadaan escape ramp tersebut dan
letaknya disisi kiri pada tikungan ke kiri.
Demikian halnya dengan lajur pendakian, kebutuhan akan escape ramp akan
lebih banyak bila kendaraan Golongan IIA dan Golongan IIB diperbolehkan
menggunakan jalan tol. Setidaknya minimal 5 (lima) escape ramp lagi yang
diperlukan.
Escape ramp kurang memadai
10
j. Median breaks
Hasil pemeriksaan lapangan djumpai adanya kurang lebih 12 median breaks di

Jalan Tol Cipularang. Median breaks di jalan tol dimaksudkan untuk pelayanan
emergency jalan tol. Namun demikian minimal 4 median breaks di tol Cipularang
sebaiknya ditutup karena posisinya pada tikungan, sehingga membahayakan lalu
lintas.
Median breaks (KM. 69.800) posisi

pada tikungan, berbahaya, sebaiknya
ditutup
k. Enforcement
Berdasarkan data kecelakaan yang didapat dari PT. Jasa Marga menunjukkan
bahwa sebagian besar penyebab kecelakaan adalah kecepatan tinggi.
Pengamatan lapangan dengan menggunakan speed gun juga menunjukkan data
yang sama. Untuk Mobil jenis sedan dan kendaraan ringan rata-rata
kecepatannya adalah 110-115 km/jam padahal batas kecepatan yang
diperbolehkan adalah maksimal 80 km/jam. Sedangkan untuk kendaraan berat
kecepatan rata-rata 50 km/jam untuk jalan datar dan 40 km/jam untuk jalan
tanjakan. Perbedaan kecepatan yang cukup besar ini akan menjadi potensi
kecelakaan terutama kecelakaan jenis tabrakan belakang (rear end). Upaya-
upaya untuk penegakan hukum atas batas kecepatan tidak berjalan dengan
semestinya.
Truk berat dengan kecepatan rata-rata

40 s/d 50 km/jam
l. Lain-lain
Selama pengamatan lapangan ditemui adanya beberapa gangguan terhadap lalu

lintas. Salah satunya adalah banyaknya pejalan kaki yang berada di bahu jalan
dan menyeberang jalan tol . Hal ini tentu saja sangat membahayakan pejalan
kaki tersebut dan lalu lintas. Hal ini memerlukan perhatian serius dari PT Jasa
Marga untuk bekerjasama dengan instansi terkait guna pengendalikan pejalan
11
kaki di jalan tol.
Pejalan kaki pada bahu jalan tol,

membahayakan
Selain itu, dijumpai pula adanya asap dari pembakaran jerami hasil panen padi di
sawah disekitar jalan tol. Asap pembakaran jerami tersebut akan mengganggu
keselamatan lalu lintas di jalan tol.
Pembakaran ilalang maupun jerami disekitar

jalan tol berpotensi besar menimbulkan
bahaya asap
B. MANAJEMEN LALU LINTAS
Hasil dari survai pelaksanaan Safety Audit Jalan Tol Cipularang dari Aspek
Rekayasa dan manajemen lalu lintas secara ringkas :
1) Pada prinsipnya kelengkapan rambu telah dipasang sesuai dengan spek teknis
yag ditentukan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat dan pada tahun 2005
telah dikeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat pada tanggal
12 Juli 2006 No.SK.984/AJ.401/DRJD/2005 tentang Pengaturan Lalu Lintas
yang Bersifat Perintah dan/atau Larangan Pada Ruas Jalan Tol Cikampek-
Purwakarta-Padalarang (Cipularang), akan tetapi terdapat beberapa rambu yang
belum dicantumkan dalam lampiran Peraturan Dirjen Perhubungan Darat dan
terdapat beberapa rambu yang masih dibutuhkan sesuai dengan perkembangan
keadaan yang ada, seperti :
 Pada beberapa titik km disarankan adanya penambahan guardrail

dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah rawan kecelakaan, seperti
pada km. 102, 102+600, 110 + 400
 Pada km 91 + 450 terdapat rambu portable larangan berbalik arah bagi

seluruh kendaraan, disarankan agar menjadi rambu permanen mengingat
12
pada km tersebut memang dibutuhkan rambu guna keselamatan para

pengguna jalan tol.
2) Terdapat beberapa rambu petunjuk batas kecepatan yang harus

diseragamkan/disesuaikan antara tulisan dan papan rambu, guna memudahkan
para pengguna jalan tol dalam membaca rambu dalam kecepatan tinggi.
3) Pada km. 116 + 800 terdapat guardail dengan bahan reflektor menggunakan
twinlight dan pada ruas 91 + 150 terdapat rambu perintah ”turunkan kecepatan
maks. 60 km/jam” yang tiang rambunya mengunakan kayu, hal itu bertujuan
untuk meminimalkan rambu tersebut hilang/dicuri.
4) Pada arah masuk pintu Tol Jatiluhur terdapat rambu larangan parkir dan
larangan berhenti yang berjumlah lebih dari 3 (tiga) buah dan rambu peringatan
pengarah tikungan yang letaknya berhimpitan, disarankan agar rambu
peringatan pengarah tikungan ke kiri agar dipindahkan untuk memudahkan
pengguna jalan tol dalam melihat rambu dan seharusnya rambu tersebut terletak
pada sisi kiri jalan.
5) Pada km. 117 + 000 terdapat jalur penyelamat, yang apabila terjadi rem blong
maka para pengemudi masuk jalur tersebut, akan tetapi disarankan untuk
dibuatkan rambu petunjuk mengenai jalur tesebut sehingga memudahkan para
pengguna jalan tol yang belum memahami fungsi dari jalur tersebut.
6) Untuk bahan rambu pengganti alumunium, pada prinsipnya kami tidak

berkeberatan asalkan sesuai dengan persyaratan teknis yang ada, sehingga
tidak membahayakan bagi para pengguna jalan.
7) Pada km 127 s.d 120 arah Bandung – Jakarta dan km. 5 s.d 1 arah Bandung –
Pasteur disarankan agar dibuat escape lane yang bertujuan agar jika ada
kendaraan yang mogok atau terjadi tabrakan, tidak mengganggu pengguna jalan
tol yang lain dan arus tol pun akan tetap lancar.
13
7. LANGKAH-LANGKAH PENANGANAN (COUNTER-MEASURES)
Dengan berdasarkan pada hasil pemeriksaan lapangan diusulkan beberapa langkah

penanganan untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas di jalan tol Cipularang.
Langkah-langkah penanganan tersebut harus mencakup factor-faktor yang menjadi
penyebab kecelakaan lalu lintas di jalan Tol. Faktor-faktor tersebut meliputi
manusia, jalan, kendaraan serta lingkungan. Sangat mungkin untuk mempengaruhi
factor-faktor tersebut diatas guna menjadikan jalan tol lebih selamat antara lain :
Manusia - Penegakan hukum terhadap aturan lalu lintas

- Penyuluhan kepada pengemudi antara lain tentang
penggunaan sabuk keselamatan
- Pendidikan publik (Public education)
- Rambu lalu lintas yang lebih jelas dan komunikatif
terhadap pengemudi
- Memodifikasi lingkungan yang bisa memberikan efek
psikologis terhadap pengemudi
- Dan sebagainya
Prasarana Jalan - Peningkatan Standar Desain yang digunakan

- Lebar lajur dan lebar badan jalan
- Bahu jalan pada titik-titik tertentu diperlukan lebar yang
lebih sebagai tempat pemberhentian kendaraan dalam
keadaan dauruat
- Delineasi
- Dan sebagainya
Kendaraan - Standar keamanan kendaraan

- Standar peralatan keselamatan (sabuk keselamatan)
- Uji kelaikan jalan reguler
- Anti-lock Braking Systems (ABS)
Lingkungan - Asap pembakaran sawah

- Tata Guna lahan
- Dan sebagainya.
Di banyak peristiwa kecalakaan disebabkan oleh kombinasi 2 (dua) atau lebih

faktor. Langkah-langkah pencegahan tidaklah harus dating dari factor yang
dominant sebagai penyebab kecelakaan. Salah satu contoh yang dapat diajukan
adalah bila penyebab kecelakaan adalah faktor manusia, pencegahan dapat
dilakukan dengan memodifikasi jalan dan lingkungan menjadi lebih simple dan jelas
bagi pengemudi serta fasilitas lainnya untuk mengurangi tingkat fatalitas
kecelakaan.
Demikian halnya dengan langkah-langkah penanganan dan pencegahan

kecelakaan di jalan tol Cipularang bukan hanya mengurangi jumlah kecelakaan tapi
juga mengurangi fatalitas dari kecelakaan.
14
Dari 12 item yang menjadi fokus perhatian diusulkan beberapa langkah penanganan
dan pencegahan (countermeasures)
a. Rambu Lalu Lintas
Melengkapi rambu-rambu lalu lintas yang dirasakan kurang terutama rambu

tikungan yang dilengkapi dengan rambu chevron. Rambu chevron yang
dibutuhkan adalah 3 buah minimal harus terlihat waktu memasuki tikungan.
Rambu lalu lintas sebagai alat untuk pelaksanaan manajemen lalu lintas yang
berfungsi untuk mengatur, mengarahkan dan menuntun arus lalu lintas di Jalan
Tol Cipularang.
Untuk Rambu petunjuk (RPPJ) khususnya untuk exit tol di Jatiluhur dan
Cikamuning perlu dikaji lebih lanjut rambu petunjuk dan informasi tambahan
lainnya untuk kendaraan apa saja yang diharuskan keluar exit Jatiluhur dan
Cikamuning. Untuk exit Cikamuning dan Jatiluhur perlu dibuatkan decelaration
lane yang memadai untuk memisahkan kendaraan berat yang akan keluar tol
dengan lalu lintas lainnya yang menggunakan jalan tol.
Selain itu untuk exit Sadang/Purwakarta yang terletak tepat di tikungan

diperlukan rambu informasi tambahan serta melengkapi dengan decelaration
lane yang memadai.
Untuk spesifikasi rambu yang terpasang harus mengacu peda peraturan yang
berlaku sehingga tidak menimbulkan gangguan lalu lintas.
b. Marka Jalan
Di lokasi-lokasi dimana marka jalan sudah mengelupas perlu upaya perbaikan

dengan pengecatan ulang. Serta menggunakan marka jalan yang lebih baik
kualitasnya. Pertegas lagi untuk marka tepi (edge line marking) untuk
memberikan panduan yang baik untuk pengemudi. Sedangkan untuk marka
kuning yang terletak di lajur kanan perlu ditingkatkan kinerjanya karena baik pada
siang dan malam hari marka kuning tersebut kurang performasinya. Untuk
jangka panjang perlu dipikirkan alternatif penggunaan teknologi cold-plastic yang
berumur lebih lama dan kinerja lebih baik daripada thermo-plastic.
c. Delineator/Guide Post
Perlu pemasangan delineator yang kurang dan hilang serta menggunakan

delineator yang lebih jelas terlihat. Perlunya perawatan rutin agar delinetaor/
guide post yang tertutup vegetasi dapat terlihat kembali. Sedangkan reflektor
yang digunakan haruslah memenuhi satndar yang telah ditetapkan sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Direkomendasikan untuk menggunakan reflektor
yang lebih besar sehingga akan lebih terlihat.
d. Median barrier
Sesuai dengan rekomendasi dari Tim Laik Fungsi yang telah merekomendasikan
untuk menggunakan double concrete barrier dengan soesifikasi yang sama
dengan Tahap 1. Apabila hal ini dirasakan mahal maka diperlukan barier
pencegah cahaya silau.
e. Guard rail
15
Guard rail adalah salah satu perlengkapan jalan yang berfungsi sebagai
pengaman untuk kendaraan yang lepas kendali sehingga fatalitas dari suatu
kecelakaan lalu lintas dapat dikurangi. Lindungi semua saluran drainase yang
terbuka dengan guard rail. Demikian juga halnya dengan timbunan yang lebih
tinggi dari 1 meter dengan kemiringan kurang dari 4:1 harus dilindungi oleh gurad
rail. Serta lindungi obyek tetap yang terletak di pinggir jalan yang berupa tiang
lampu penerangan jalan, tiang rambu petunjuk dan lainnya dengan guard rail.
f. Roadside Hazardous Object
Lindungi semua obyek-obyek pinggir jalan tol dengan pengaman. Bila

memungkinkan Selain saluran drainase yang terbuka dan embankment dengan
kemiringan kurang dari 4:1, beberapa obyek lainnya juga merupakan adalah
tiang rambu, tiang lampu penerangan jalan, pohon dan sebagainya yang
mempunyai diameter lebih dari 10 cm dapat dikategorikan sebagai obyek pinggir
jalan yang berbahaya. Bila memungkinkan tempatkan semua obyek yang
berbahaya di luar area bebas (clear zone)
g. Pemasangan MCB di bahu jalan
Untuk KM 69.800 sebaiknya MCB yang segera disingkirkan dan digantikan

dengan guard rail atau barrier lainnya yang sesuai.
Demikian pula halnya dengan KM 99.300, MCB pada lokasi ini segera
dihilangkan dan diikuti dengan penegakan hukum yang tegas. Sedangkan untuk
akar permasalahan karena kekosongan angkutan umum sedang dibicarakan di
Ditjen Hubdat.
h. Lajur Pendakian
Untuk memperbaiki lajur pendakian memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk
jangka panjang perbaikan lajur pendakian perlu dilaksanakan. Sedangkan untuk
jangka pendek yang perlu dilaksanakan adalah penambahan informasi
peringatan tentang keberadaan lajur pendakian, khususnya awal dan akhir lajur
pendakian.
i. Escape Ramp
Demikian pula halnya dengan keberadaan escape ramp sangat perlu diberikan
informasi kepada para pengguna jalan tol lokasi dan kegunaan dari escape ramp
tersebut. Selain itu perlu dipenuhi pula standar material untuk isi dari escape
ramp tersebut.
Untuk jangka panjang bila kendaraan Golongan IIA dan IIB diperbolehkan
menggunakan jalan tol maka khusus untuk Jalur Bandung- Jakarta dengan
turunan yang panjang diperlukan lebih kurang 5 (lima) escape lagi untuk
antisipasi kerusakan pada kendaraan Golongan IIA dan Golongan IIB.
j. Median breaks
Hasil pemeriksaan lapangan djumpai adanya kurang lebih 12 median breaks di

Jalan Tol Cipularang. Median breaks di jalan tol dimaksudkan untuk pelayanan
16
emergency jalan tol. Minimal 4 median breaks di tol Cipularang sebaiknya ditutup
karena posisinya pada tikungan, sehingga membahayakan lalu lintas. Namun
demikian perlu pula dipertimbangkan emergency assistance management untuk
mendukung kegiatan emergency.
k. Enforcement
Batas kecepatan untuk jalan tol tidak begitu jelas. Untuk itu diperlukan rambu-
rambu batas kecepatan yang lebih jelas sehingga dapat dilihat dan dipahami oleh
pengemudi. Direkomendasikan untuk memasang rambu batas kecepatan secara
berpasangan (kiri dan kanan jalan), bila perlu pemasangan rambu batas
kecepatan ini diulang untuk setiap jarak tertentu misalnya setiap 2-3 km. Selain di
sepanjang jaln tol perlu pula dipasang batas kecepatan di setiap exit dan entry
jalan tol, sehingga pengemudi tahu batas kecepatan yang diijinkan.
Sedangkan untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran batas kecepatan

adalah wewenang POLRi. Namun demikian untuk menjadikan penegakan hukum
batas kecepatan ini akan lebih efektif perlu adanya penerapan e-enforce yang
aturannya sedang dalam pembahasan di DPR.
l. Lain-lain
Diperlukan strategi khusus untuk mencegah orang berada di jalan tol ataupun
menyeberang jalan tol. Diperlukan pendekatan yang lebih intensif terhadap
masyarakat di sekitar jalan tol.
Sedangkan untuk penumpang angkutan umum yang menunggu di jalan tol
penyelesaiannya seiring dengan penyelesaian kekosongan angkutan umum di
jalan tol.
Selain dari catatan tersebut diatas, seluruh rekomendasi yang telah disampaikan
oleh Philip Jordan dalam Black-spot investigation di Jalan Tol Cipularang belum
ditindaklanjuti oleh pihak PT. Jasa Marga. Rekomendasi yang disampaikan oleh
Philip Jordan sangat relevan untuk dilaksanakan mengingat rekomendasi tersebut
untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas di jalan tol Cipularang.
17
8. TINDAK LANJUT KEBIJAKSANAAN YANG DAPAT DIAMBIL
a. Jangka Pendek
Untuk jangka pendek hal-hal yang segera diselesaikan adalah sebagai berikut:
1) Melengkapi rambu-rambu lalu lintas yang dirasakan kurang terutama rambu

tikungan yang dilengkapi dengan rambu chevron. Rambu chevron yang
dibutuhkan adalah 3 buah minimal harus terlihat waktu memasuki tikungan.
2) Untuk Rambu petunjuk (RPPJ) khususnya untuk exit tol di Jatiluhur dan
Cikamuning perlu dikaji lebih lanjut rambu petunjuk dan informasi tambahan
lainnya untuk kendaraan apa saja yang diharuskan keluar exit Jatiluhur dan
Cikamuning. Untuk exit Cikamuning dan Jatiluhur perlu dibuatkan
decelaration lane yang memadai untuk memisahkan kendaraan berat yang
akan keluar tol dengan lalu lintas lainnya yang menggunakan jalan tol.
3) Spesifikasi rambu harus memenuhi ketentuan yang berlaku.
4) Perlu pemasangan delineator yang kurang dan hilang serta menggunakan

delineator yang lebih jelas terlihat. Perlunya perawatan rutin agar
delinetaor/ guide post yang tertutup vegetasi dapat terlihat kembali.
Sedangkan reflektor yang digunakan haruslah memenuhi satndar yang
telah ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Direkomendasikan
untuk menggunakan reflektor yang lebih besar sehingga akan lebih terlihat.
5) Di lokasi-lokasi dimana marka jalan sudah mengelupas perlu upaya

perbaikan dengan pengecatan ulang. Serta menggunakan marka jalan
yang lebih baik kualitasnya. Pertegas lagi untuk marka tepi (edge line
18
marking) untuk memberikan panduan yang baik untuk pengemudi.

Sedangkan untuk marka kuning yang terletak di lajur kanan perlu
ditingkatkan kinerjanya karena baik pada siang dan malam hari marka
kuning tersebut kurang performasinya.
6) Untuk KM 72.200 sebaiknya MCB yang segera disingkirkan dan digantikan

dengan guard rail atau barrier lainnya yang sesuai.
7) Demikian pula halnya dengan KM 90.400, MCB pada lokasi ini segera
dihilangkan dan diikuti dengan penegakan hukum yang tegas. Sedangkan
untuk akar permasalahan karena kekosongan angkutan umum sedang
dibicarakan di Ditjen Hubdat.
8) Pemasangan anti-glare untuk mengurangi glare/silau cahaya lampu

kendaraan dari arah berlawanan.
9) Penambahan informasi peringatan tentang keberadaan lajur pendakian,

khususnya awal dan akhir lajur pendakian.
10) Exit lane untuk rest area salah dalam penggunaan markanya yaitu marka
utuh. Perlu diganti dengan perbaikan marka putus.
11) Informasi yang jelas tentang keberadaan escape ramp.
12) Direkomendasikan untuk memasang rambu batas kecepatan secara

berpasangan (kiri dan kanan jalan), bila perlu pemasangan rambu batas
kecepatan ini diulang untuk setiap jarak tertentu misalnya setiap 2-3 km.
Selain di sepanjang jaln tol perlu pula dipasang batas kecepatan di setiap
exit dan entry jalan tol, sehingga pengemudi tahu batas kecepatan yang
diijinkan.
b. Jangka Panjang
1) Sesuai dengan rekomendasi dari Tim Laik Fungsi yang telah

merekomendasikan untuk menggunakan double concrete barrier dengan
soesifikasi yang sama dengan Tahap 1.
2) Lindungi semua saluran drainase yang terbuka dengan guard rail. Demikian
juga halnya dengan timbunan yang lebih tinggi dari 1 meter dengan
kemiringan kurang dari 4:1 harus dilindungi oleh gurad rail. Serta lindungi
obyek tetap yang terletak di pinggir jalan yang berupa tiang lampu
penerangan jalan, tiang rambu petunjuk dan lainnya dengan guard rail.
3) Minimal 4 median breaks di tol Cipularang sebaiknya ditutup karena

posisinya pada tikungan, sehingga membahayakan lalu lintas. Namun
demikian perlu pula dipertimbangkan emergency assistance management
untuk mendukung kegiatan emergency.
4) Memperbaiki lajur pendakian khususnya awal dan lajur pendakian perlu

diperpanjang untuk memberikan ruang dan waktu bagi kendaraan berat.
Apabila kendaraan Golongan IIA dan IIB diperbolehkan menggunakan jalan
19
tol Cipularang akan dibutuhkan lajur pendakian yang lebih panjang.
5) Material untuk mengisi escape ramp perlu disesuaikan dengan standar

escape ramp. Untuk jangka panjang bila Kendaraan Golongan IIA dan IIB
akan diperlukan minimal 5 (lima) lagi escape ramp khususnya untuk jalur
Bandung-Jakarta dengan turunan yang panjang.
6) Decelaration and acceleration lane untuk rest-area perlu disediakan serta

informasi tambahan yang lebih terlihat dan jelas tentang keberadaan rest-
area untuk tempat istirahat menghindari kelelahan pengemudi.
7) Diperlukan strategi khusus untuk mencegah orang berada di jalan tol

ataupun menyeberang jalan tol. Diperlukan pendekatan yang lebih intensif
terhadap masyarakat di sekitar jalan tol.
8) Dimasa mendatang perlu dipikirkan untuk pelaksanaan e-enforcement yang

sekarang sedang tahap pembahasan Undang Undang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dengan DPR. Dengan pelaksanaan e-enforcement
penegakan hukum khususnya batas kecepatan akan lebih efektif untuk
mencegah pengemudi kendaraan untuk melampaui batas kecepatan yang
pada akhirnya akan lebih meningkatkan kesalamatan di tol Cipularang.
9. KESIMPULAN
Dari pelaksanaan Safety Audit Jalan Tol Cipularang bidang Manajemen dan
Keselamatan Lalu lintas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
 Rambu Lalu Lintas jumlahnya dirasakan sangat kurang terutama untuk rambu
peringatan dan petunjuk yang berfungsi untuk mengarahkan dan menuntun
arus lalu lintas.
 SpesifikasiTeknis rambu dan marka masih kurang.
 Guide post yang terpasang masih jauh dari memadai baik dari segi jumlah
maupun kualitasnya.
 Barrier tengah jalan sebaiknya menggunakan double concrete barrier dengan
ketinggian 120 cm.
 Guard rail yang terpasang masih jauh dari memadai.
 Pengguna jalan cenderung melampaui batas kecepatan yang diijinkan.
 Masih banyaknya objek pinggir jalan yang berbahaya (Roadside Hazardous
Object) seperti tiang lampu penerangan jalan maupun tiang rambu lalu lintas.
 Terdapat Movable Concrete Barrier (MCB) yang dipasang dibahu jalan yang
berpotensi besar menimbulkan bahaya. Pemasangan ini dimaksudkan untuk
mencegah bus angkutan umum berhenti untuk menaikkan dan menurunkan
penumpang.
20
 Lajur pendakian khusus untuk kendaraan berat belum memadai, sebagian

besar lajur pendakian dimulai pada posisi yang sudah menanjak. Demikian
pula akhir lajur berakhir pada posisi masih menanjak maupun masih pada
posisi puncak tanjakkan.
 Escape ramp pada tol Cipularang hanya ada satu buah dengan kondisi yang
kurang memadai. Kebutuhan escape ramp akan lebih banyak apabila
kendaraan golongan IIA dan IIB diperbolehkan menggunakan jalan tol.
 Penempatan dan posisi median breaks dijalan Tol Cipularang yang saling
berdekatan kurang aman dari segi keselamatan.
21
LAMPIRAN II
Gambar : Marka pada jalan Tol Cipularang
Gambar : Rambu yang menggunakan tiang kayu
Gambar : Rambu larangan
1
Gambar : Rambu peringatan yang terpasang double di Tol

Jatiluhur
Gambar : Rambu peringatan pengarah tikungan yang dipasang di jalur lurus
Gambar : Rambu larangan dan perintah
2
Gambar : Pelanggaran yang ditemukan dikarenakan tidak ada rambu larangan

padahal jalan tersebut menuju ke pintu tol
Gambar :
Contoh kurangnya guard rail dan
beberapa kendaraan yang parkir di ruas
jalan tol yang kurang mendukung
keselamatan
3
Gambar : Contoh bahan daun rambu dan reflector dari twinlight
4
LAMPIRAN III
AN INTRODUCTION TO ROADSIDE HAZARD MANAGEMENT
In this session you will learn:

 About fixed roadside hazards, and clear zones
 Why roadside safety is important in road safety audit
 About forgiving roadsides
 The 5-part strategy for providing safer roadsides
 The different types of crash barrier (and that crash barrier itself can be a
hazard)
 That poles and posts can be made forgiving.
1. INTRODUCTION
The concept of the forgiving roadside has been one of the fundamental platforms of
responsible road authorities seeking to improve the safety of their road network for the
past 35 years. Extensive crash testing and research has led to the development of
"softer" roadside options such as frangible lighting poles and sign posts, impact
attenuators, rigid, semi-rigid and flexible safety barriers, flattened slopes (batters) and
the use of terms such as recovery area and clear zones.
This paper provides the road safety engineer with some of the knowledge required to
identify potential roadside hazards and to suggest possible alternative treatments. This
session outlines:
 the idea of the forgiving roadside, and how this should be reflected in the cross-
sectional elements of road designs,
 the "clear zone" concept and how it can be used to identify potential safety issues,
 options for the treatment of individual roadside hazards such as bridges and culverts,
utility poles, signposts and trees, and
 how road safety audits can be a valuable tool for identifying issues at all stages of
a project in the pursuit of a safer roadside environment.
2. BACKGROUND
A roadside hazard is any roadside object or feature, with a diameter greater than 100mm
that is located on or near the roadway and which is likely to create a danger to the
occupants or riders of any vehicle leaving the carriageway. Collisions with roadside
objects are a concern not only because of the numbers of crashes occurring but also
because of their severity. The likelihood of this type of collision resulting in a fatality or
serious injury is generally greater than most other crash types.
The best way to reduce run-oft-road collisions is to ensure that vehicles never leave the
road. However, motorists will continue 10 leave the road for many reasons including
fatigue, excessive speed, interaction with other vehicles, poor road condition or even
vehicle failure. The role of auditors is to recognize this inevitability and to help to create a
system that minimizes the possibility of severe consequences.
3. THE FORGIVING ROADSIDE
An ideal roadside is one providing wide, flat run-off areas with sufficient clearance to
1
roadside obstacles to allow for all errant drivers to regain control of their vehicle before a
collision occurs. In practice, however, especially in nations such as Indonesia, the cost of
providing such a roadside is prohibitive and there will always be some roadside
obstacles that present some measure of risk to errant drivers. The objective of roadside
hazard management is to keep this risk to an acceptable level.
This implies that not all roadside hazards will require treatment on every occasion since
the probability of a collision involving some of them will be so low as to make any
potential crash savings much less than the cost of treating the hazard. An immovable
object such as a bridge end post located less than a meter from the edge of carriageway
is a far more significant hazard than an electricity pole located 30m away, simply
because the and post is far more likely to be struck by an errant vehicle. A driver has
little time to recover control within that one meter.
Through the use of the terms "recovery area" and "clear zone", attempts have been
made to priorities the treatment of roadside hazards at different locations. It is also
generally true that the earlier in a project a potential hazard can be identified (via a road
safety audit) the more likely it can be remedied at a lower cost. It costs less to alter a
drawing than to modify a road feature after it has been constructed.
3.1 Recovery Area
The recovery area is the part of the roadside in which an errant vehicle could
be expected to come to rest safely or pass through before rejoining the traffic
lane. By definition the recovery area is primarily dependent on traffic speed.
Early studies in the United States of America indicated that, on high speed,
open roads with flat side slopes, between 80-85% of vehicles could be
expected to recover within 30ft (or 9m) from the edge of carriageway.
But, the distance that a vehicle will travel after leaving the carriageway is not
only dependent on speed; it will also depend on the adjacent batter slope and
the horizontal and vertical alignment of the road at that point. For instance, the
required recovery area is greater on the outside of curves or where there is a
significant batter slope away from the carriageway.
3.2 Clear Zone
Having noted that the true "recovery area" can be impractically large, the
concept of a clear zone, or an area within the recovery area which is kept free
of unprotected hazards, is an attempt to define an area which reflects the
probability of a collision occurring at a particular site. The clear zone width is
not only dependent on traffic speed and roadside geometry, but also on traffic
volume. Figure 1 (below) is used in Victoria to determine appropriate clear zone
widths for selected traffic volumes and speeds on straight roads with flat
roadside areas.
Vic Roads (1997) gives details of adjustments required to the above clear zone
width to allow for the effects of curves and batters. It should be noted that the
family of curves shown in Figure 1 is based on limited empirical data and
current practices.
They deliberately result in a compromise between road safety, economic

considerations and environmental practicality in recognition of the fact that we
2
simply cannot afford to provide a recovery area adjacent to a section of road

that will be wide enough to ensure that every errant vehicle can recover safety.
A road safety auditor should be aware of this, and use these curves as a guide
while keeping in mind the individual site conditions and the speed
characteristics of traffic at the site.
3.3 Treatment Strategies
The definition of an appropriate clear zone width is the first step in developing a
rational roadside hazard management strategy. Ideally, the clear zone width
should be kept clear of unprotected roadside hazards (an object with a
diameter of 100mm or greater is generally considered to be a fixed object
capable of causing serious injury to the occupants of a colliding vehicle). For
any particular roadside hazard that lies within the clear zone, there are five
options available:
(i) remove the hazard
(ii) relocate the hazard to a safer location
(iii) alter the hazard to reduce impact severity
(iv) install impact attenuation or redirection devices to guard the hazard
(v) manage the traffic to keep the vehicles on the road
The decision on how best to treat a roadside hazard is dependent on the likely
severity of an impact with that hazard.
3.4 Roadside Cross-Section
The creation of a forgiving roadside requires consideration of the slope of the

roadside, whether the road is on embankment, or in cut, and the shape of any
longitudinal drains. AASHTO (1989) provides many examples of how to deal
with these cross-sectional features.
3.4.1.1.1 Embankments
Generally, embankment slopes of 4:1 or flatter, if smooth and traversable,
present little hazard to the occupants of cars and provide an opportunity
for an errant vehicle to recover. However, trucks have different needs and
roads with high truck volumes benefit from having roadside slopes flatter
than 6:1 to reduce
3
Slopes of between 3:1 arid 4:1 are generally too steep to allow recovery
of control of the vehicle. Vehicles encroaching on to such slopes can be
expected to travel all the way to the bottom. Therefore, these slopes
should be kept clear of fixed obstacles and they should not be considered
as part of the clear zone. Slopes steeper than 3: 1 are critical - on these
slopes a vehicle is likely to overturn. These slopes should either be
flattened or protected by an approved safety barrier.
3.4.2 Cut Batters

Longitudinal cut batters, if kept smooth and free of obstacles, and with
adequate rounding at the foot of the batter, will generally not represent a
significant roadside hazard. They can however lead to overturning and, in
the case of jagged rock cuts, snagging of the vehicle.
4. DRAINAGE STRUCTURES
All roads must have provision for pavement drainage. Road safety engineers need to
be aware of the potential impact of open drains and culverts on roadside safety.
Table drains along the side of roads may represent a hazard to errant vehicles under
the following circumstances:
(i) where restrictive right of way results in steeper than desirable batter slopes
along the drain. Generally where either the front or back slope of the table
drain is steeper than 3:1, depending on depth, the drain could cause a
problem. To overcome this, drains should be designed with a flat bottom and
ample rounding of both the top and base of batters.
(ii) Where there are significant hazards (particularly culvert headwalls or trees)
within the area of the drain since the drain itself will act as a funneling device
towards the object.
(iii) when there is a need to construct access across the table drain, either as a
median crossover, to provide access to private property, or at intersecting
roads. Because these accesses are most likely to be struck head-on by
vehicles, slopes of 10:1 are desirable but up to 6:1 may be permissible. In
these situations the most difficult task is dealing with the ends of pipes or
culverts that will carry the water under the access embankment. Old style mass
concrete headwalls with blunt ends are not acceptable.
FIGURE 2 -EMBANKMENT GUIDE
4
4.1 Cross Culverts
Cross culverts, which vary in size from 450mm diameter pipes to large box
culverts,
can be safely treated in a number of ways. Small pipes or culverts can be

made safe by cutting the pipe or laying back headwalls to match the
surrounding batter slope. This will generally be enough to make the batter fully
traversable and for pipes up to about 900mm diameter this will generally be
sufficient treatment. Pipes larger than 900mm will generally require the addition
of a grate or series of bars to prevent the vehicle being trapped by the drop into
the opening.
For larger pipes and culverts that cannot readily be made traversable, it may be
possible to extend the culvert outside the clear zone or terminate it close to the
road and provide a safety barrier. The choice between these two options
should be based on an economic analysis that includes not only the capital
cost associated with extending the culvert, but also the cost of the increased
likelihood of a collision with the roadside barrier located close to the
carriageway. It should be remembered that the auditor's role is to highlight
potential hazards. The project manager makes the decision about the final
treatment.
4.2 Parallel Culverts
Blunt concrete end walls placed at the invert of a table drain are an
unnecessary and particularly dangerous roadside hazard. Since most of these
culverts are of relatively small diameter they can be treated in much the same
way as cross culverts to be made traversable. Again standard designs are
available for grated pipe ends (generally only required above 600mm diameter)
and sloping headwalls.
There are other ways to eliminate these culverts such as by realigning the table
drain (so that the culvert is located further away), In the case of accesses that
are not used frequently (as is the case for many farm accesses on rural roads)
providing an all-weather crossing of the table drain to allow access during
5
wetter months.
4.3 Krebs
With modern vehicle suspensions, 150mm high barrier kerbs do not represent
a significant hazard to errant vehicles, except on high-speed carriageways
where they may trip a spinning or slipping vehicle and cause it to over-turn.
The auditor should be aware however of the dangers of barrier kerb. It is

possible for the vertical face of the kerb to impart severe sideways forces on
the vehicle tires thereby wrenching the steering wheel from the driver's hand as
it spins.
5. SAFETY BARRIERS
Safety barriers -despite their name -can themselves constitute a hazard. All
reasonable steps should be taken to eliminate the need for these through good
design. But, not all safety barriers can be eliminated, so it is important that they be
used only where appropriate and that their installation be undertaken correctly.
There are two categories of safety barrier -longitudinal barriers and crash cushions.
o Longitudinal barriers are placed generally parallel to traffic flow. They function by
capturing and redirecting errant vehicles away from potential hazards. They are
classified by their rigidity into the following types:
 flexible e.g. wire rope barriers
 semi-rigid e.g. steel W-beam guard fence
 rigid e.g. concrete median barrier or bridge railings.
o Crash cushions are generally placed transverse to the traffic flow and function
primarily by decelerating errant vehicles to a controlled stop. Modern crash
cushions also have the ability to redirect errant vehicles that strike the side of the
cushion.
5.1 Warrants for safety barriers
Safety barriers are costly to install and maintain. They also represent a hazard to
errant vehicles. During design therefore every effort should be made to eliminate the
need for roadside barriers. Their use and installation should always be audited
critically and carried out according to manufacturer instructions.
The primary purpose of a longitudinal barrier is to protect motorists from a collision

with a fixed roadside object which is likely to be more severe than a collision with the
barrier it self. While barriers may occasionally be used to protect pedestrians or other
bystanders (e.g. road workers) from vehicular traffic, it is important that this be
considered only as a last resort and generally in low speed environments. In these
cases the primary purpose of the barrier is to be an impenetrable shield, not
necessarily a system that will smoothly redirect errant vehicles.
Barriers should not be installed only because vehicles are running off the road, or
have the potential to run off the road, especially if the resulting damage and injuries
without a barrier are minor. Similarly the decision to shield fixed roadside objects is
6
one that must take into account the nature of the object itself and the likelihood that it
will be hit. Given that the recommended clear zone width is set to take into account
the probability of a collision, consideration should be given to shielding any fixed'
object within the clear zone, provided the severity of collision with the barrier is less
severe than a collision with the hazard.
On the basis of previous research relating embankment heights and slopes to crash
severity, warrants have been developed for the use of guard fence on embankments.
Figure 2 provides guidance on when it is appropriate to consider guard fence
installation on embankments. MSHTO (1989) provides similar curves, as well as
some modifications to the basic curves to take into account the probability of
encroachment and the cost of installing a safety barrier by relating the warrants to
traffic volumes and speeds as well as embankment height and slope.
However, a decision to install a roadside barrier must also take account of the
increased likelihood of a collision through the installation of 25m (minimum length
required for correct performance) of barrier to protect a hazard (maybe only one
meter wide!)
5.2 Longitudinal Barriers

The most common types of safety barriers are the blocked-out, steel W-beam
guard fence and the concrete median barrier. However, flexible wire rope
systems are now an acceptable alternative in certain circumstances, and are
becoming very common.
5.2.1 Flexible barriers

Flexible wire rope systems are now widely used in many countries around
the world. These barriers consist of a number (generally three or four) of
long wire ropes held in place by steel posts at spacing in the order of
2.4m. The ropes deflect when struck by an errant vehicle, guiding the
vehicle along the barrier while the posts progressive collapse. The posts
absorb the kinetic energy of the vehicle, slowing it down. Where
adequate deflection width is available, wire rope safety barrier systems
provide much more forgiving roadside barriers than the more rigid
systems. Advice should be sought from the manufacturer when it is
proposed for use.
5.2.2 Semi-rigid (steel W-beam guard fence) barriers

As with all safety barriers the guard fence is required to serve dual and
conflicting roles. It must be capable of redirecting and/or containing an
errant vehicle while, at the same time, not imposing intolerable
deceleration forces on the vehicle occupants.
Blocked out W-beam guard fence is made up of a number of components

each with an important part to play in the successful operation of the
guard fence during a collision. These components are:
o The W-beam rail- this steel rail must be strong enough to withstand
the high axial tensile stresses, as well as bending stresses, which
develop as the kinetic energy of the vehicle is dissipated through
distortion and crushing of the vehicle, the rail and the soil. Individual
7
rail sections must also be securely connected to the next length, and
overlapped away from the direction of the oncoming traffic to avoid
snagging.
o The posts (timber or steel) -provide rigidity to the whole system and to
hold the W-beam rail at the correct height both before and during a
collision. It is vitally important that the posts are spaced correctly and
are the correct length, not only above ground level, but below it as
well.
o The blocks -prevent snagging on the posts and help to avoid vehicle
rollover by providing restraining forces above the centre of gravity of
the vehicle.
o The anchorages -are essential for the W-beam to develop its full
tensile strength by providing a restraining force at either end. A
common anchorage is an adaptation of the original Breakaway Cable
Terminal (BCT).
o The terminals -the BCT incorporates slotted W-beam rails that
crumple if the barrier is stuck end-on, reducing the possibility of the
rails spearing a vehicle.
The road safety audit team needs to have a detailed understanding of the
functions and use of steel beam guard fence, and the appropriate
construction details covering such things as beam height, post spacing
and length, barrier offset, terminal flare and the terminal itself.
5.2.3 Rigid (concrete) Barriers

Concrete barriers are safety barriers known as "rigid'. These are primarily
used at locations where little or no movement of the barrier can be
tolerated.
Concrete barriers are generally constructed as permanent road fixtures,

but pre-cast units that can be placed on the roadway (eg TRIC-BLOC)
are being increasingly used at major road works sites to provide
separation between construction and traffic areas. Pre-cast units should
be designed so they can be held together to form a continuous "chain".
As they are not permanently fixed to the roadway they do have some
movement on impact. They have an advantage over cast in-situ concrete
barriers in that they can have a non-continuous footing that is beneficial
at locations where drainage must be allowed beneath the barrier.
While concrete barriers can be very effective, care is required to ensure

that the ends of the barriers are correctly protected. There have been
many recorded incidents of vehicles striking the unprotected end of
barriers, often resulting in fatalities. Common ways to end a rigid barrier
include curving the barrier through a radius of 40m or thereabouts so that
the end is positioned outside the clear zone, or fitting a crash attenuator.
While the development of concrete barriers has led to a fairly detailed

understanding of the shape requirements to satisfactorily dissipate the
energies involved in a collision, it must be remembered that most
concrete barriers are very rigid systems that do not deform in any way.
Therefore in all but very shallow angle collisions they may represent a
8
more significant hazard to errant vehicles than semi-rigid or flexible

systems. The greater the offset to such a rigid barrier the greater is the
probability of high angle impacts resulting in severe crashes.
5.3 Crash Cushions/Impact attenuators
Crash cushions (also known as impact attenuators) are designed to gradually

decelerate striking vehicles to a controlled stop. They are ideally suited for use
at locations where fixed objects cannot be treated in any other way ego
concrete median barrier ends, bridge piers etc.
Two common types of impact attenuator are the Guard Rail Energy Absorbing
Terminal (GREAT) and the QUADGUARD, both are patented systems from
Energy Absorption Systems Ltd. Most other crash cushions are also patented
systems. Advice on their use and construction details is available through the
manufacturers. Because of their specialised use and cost, the advice of
experts in the field should be sought when recommending or considering the
use of impact attenuators.
6. ROADSIDE OBJECTS
6.1 Roadside Utility Poles

At present there is no accepted design for treating utility poles carrying live
overhead services in order to make them frangible. Therefore options for
treatment are limited to the following:
(i) removal -either by interpoling (ie replacing a particular hazardous pole
with
one or two in less vulnerable locations), minimising the number of poles
through the use of joint-use facilities, or under grounding of cables.
(ii) relocation -the increased use of aerial bundle cables and offset cross
arms now make this process much simpler. Ideally, poles are moved to
an area outside the clear zone. However, safety gains can also be
achieved by relocating poles to a less vulnerable position within the clear
zone.
(iii) protection -protection via the use of safety barriers is often difficult in
urban areas because of the problems of limited lengths, widths and
multiple end treatments but this is an option nevertheless.
(iv) delineation -delineation of individual poles should be used strictly as a
last resort and should only be viewed as a temporary treatment.
6.1.1 Frangible Poles
A frangible pole is one that will yield or break when impacted by a vehicle.
They are an option to be used at locations where poles do not carry live
overhead services (electricity). As mentioned previously, there is as yet
no acceptable frangible treatment for poles carrying live conductors. This
is due to the disruption that can be caused by power losses and surges
and also because the presence of live wires on or near the ground after a
collision may present a greater danger than the pole itself. Frangible
9
poles are therefore most commonly used at locations that support only
street lighting. There are two types of frangible street lighting poles
available - slip-base and impact absorbing.
Slip-base poles
 A slip-base pole is designed to separate from its base when struck by an errant
vehicle, allowing the vehicle to pass over the base and underneath the falling pole.
Since the mechanism involves the pole falling to the ground, slip base poles are
most appropriate in higher speed areas, areas clear of overhead services, areas with
few pedestrians, and little adjacent development or car parking.
 The correct failure mode of this type of pole is straightforward but needs attention to
detail in practice. Common faults associated with the installation of slip-base poles
include:
 incorrectly tightened hold down bolts. If the bolts are too tight the pole acts a rigid
pole and the safety features are lost, too loose and the pole can be knocked over by
the forces of excessive wind loading. 80Nm per bolt is the correct torque required.
 base section set too low so that the surrounding ground impedes the free movement
of the pole during impact.
 base section set too high so that it will snag an impacting vehicle.
 pole placed too close to bottom of cut batters again impeding free movement.
 hold down bolts concreted in position so that collapse mechanism is inoperable –
again creating a rigid pole.
 base plate not aligned correctly to direction of traffic flow.
 circular washer broken at bolts enabling the slip based pole to "walk" off the base
under cyclic wind load.
 use in low speed locations e.g. at roundabouts, parking areas, where the striking
vehicle does not have sufficient speed to satisfactorily clear the falling pole.
Impact Absorbent Poles

An impact absorbent pole is designed to collapse progressively, absorbing the force
of an impacting vehicle by wrapping itself around the vehicle and decelerating it to a
controlled stop. Because the pole remains attached to the base this type of pole is
most suited to locations where vehicle speeds are lower, or pedestrian and
development activity higher.
6.2 Sign Supports

Signs need to be seen -and for this they need to be placed near the roadway.
This
can itself cause conflict. In general, most sign supports should be fully
collapsible ego small bore galvanised pipes for small signs, break-away or slip
base for larger signs or protected by some type of safety barrier.
Points to note in a road safety audit with regard to sign supports and sign
placement are:
(i) is the sign necessary?
(ii) even small sign supports (i.e. 50mm steel pipe) represent a significant
hazard to motorcyclists, cyclists and sometimes pedestrians. Their
location should always be critically audited.
(iii) wherever possible signs should be located behind guard fence, or on
existing poles.
10
(iv) are the slip base or break-away mechanisms installed correctly.
6.3 Trees
Collisions with trees contribute significant numbers to the statistics on fixed roadside
object collisions. Ideally the clear zone width should be kept clear of trees with a
mature trunk diameter in excess of 100mm. Most road authorities have guidelines
that provide advice on clearance requirements for tree planting, taking account of
sight distance needs as well as roadside safety. In mountainous parts of Indonesia,
as long as speeds are kept low, there is potential to use trees on the down hill side of
a road to act as "crash barriers" and also a crude form of delineation. While vehicle
speeds are low (under about 40km/h) the trees of Indonesia possibly provide positive
road safety inputs. However, if vehicle speeds increase substantially (due to
improved roads or any reason) the placement of such trees will need to be carefully
reviewed. The following advice therefore refers to trees that are not intended and
purposely used to reduce the risk of serious injury on mountain roads.
The consideration of existing trees located within the clear zone is a difficult and
sensitive task. Any proposal to indiscriminately clear a 9m wide strip of mature native
trees will create concern. When faced with this dilemma, the auditor as well as the
road manager should be aware of other options available, besides clear felling, to
increase the safety of the section of road.
The first approach should be to try and ensure that as much assistance as possible
is given to the motorist to remain on the road. This can include sealing gravel
shoulders, improving the pavement and/or pavement surface, upgrading roadside
delineation through the use of raised reflective pavement markers (RRPM's), wide or
tactile edge lining, more closely spaced post mounted delineators, better advisory
signing and road improvements such as curve reconstruction.
Where there is a history of collisions with roadside trees a proposal to selectively

remove the trees within the clear zone over a period of 10 years or so, should allow
the establishment of replacement planting at a more appropriate offset from the
carriageway. In some locations this has been achieved by purchasing a strip of land
outside the existing road reserve for planting purposes.
This technique allows the desired clear zone to be achieved over a period of time
without the trauma associated with a concentrated program of tree clearing. Where
there are large and significant trees close to the carriageway that will never be able
to be removed, the use of roadside barriers may be warranted.
6.4 Other Roadside Objects
Road safety audit teams need to consider other roadside objects, including:
(i) roadside fencing -as discussed earlier, roadside fencing for control of
pedestrian or vehicular movement should be constructed without horizontal
rails which might spear an errant vehicle. It should not restrict sight lines
near intersections.
(ii) bus shelters/houses/ stock piles -these should be appropriately located.
11
7. BRIDGES
There are a great many bridges in Indonesia. New road projects will often have a
bridge (or many bridges) included. A road safety audit team needs to consider safety
at bridges because of the special treatments that have been designed for them.
7.1 Piers
With "road over road" bridges the question of protection of central or outer piers
arises frequently. Given that bridge piers these days are designed for impact
loading it is suggested that if the pier is within the clear zone for the road in
question then it should be protected, usually by W-beam guardrail or concrete
barriers.
Pedestrian overpasses however, represent a different problem in that piers
may not be designed to withstand an impact from a heavy vehicle and
therefore may need protection even if they are outside the clear zone. In
circumstances where W-beam guardrail is used it may even be applicable to
reduce the post spacing to 1 m in the vicinity of the pier to ensure there is no
break through. The more rigid concrete barriers can also be used at locations
with significant exposure to heavy vehicles.
7.2 Railings and End Posts

A bridge railing is a longitudinal barrier designed to prevent a vehicle running
off the edge of a bridge. As such it is designed to have little or no deflection.
Modern bridge railings should be designed in accordance with the latest bridge
codes.
7.3 Approach Guardrail

The construction of approach guardrail to the rigid bridge end post is also an
aspect that requires close scrutiny in a road safety audit. Standard designs for
different types of bridge end post indicate the need for a gradual stiffening of
the approach guardrail (from the normal guard fence with 2.5m post spacing to
a stiffened section with 1 m post spacing), and finally larger posts. This
transition from a semi-rigid approach barrier to the rigid bridge railing is
essential to redirect the vehicle past the end post where it could otherwise
snag.
The length of the approach guardrail should be determined from an analysis of

the appropriate clear zone and the need to protect vehicles from driving over
the edge of embankments or into rivers. In some locations an earth berm
constructed behind the approach guardrail will provide added insurance
against break through of the railing.
Large culverts present similar problems to bridges except that they are usually
not as expensive to construct. Therefore they offer an opportunity for the
structure to be lengthened -ending outside the clear zone. A less rigid barrier
can be installed away from the edge of the culvert.
8. CONCLUSION
In considering the roadside safety of new or planned projects, road safety auditors
need
to be able to identify departures from agreed standards or construction practices.
12
This will often mean giving consideration to features where trade offs between safety
and cost have come down in favour of the cheapest capital cost solution to the
extent that safety has been compromised. The same is true for audits of the existing
network where an auditor should be looking to promote the adoption of an orderly
roadside hazard management program, based on a cost-effective approach to
identifying and treating all roadside hazards. The need for such an approach is
essential if the number and severity of fixed object collisions is to be reduced.
Indonesia needs audit teams that are knowledgeable in roadside hazard
management
9. REFERENCES
1. AASHTO (1989) American Association of State Highways & Transportation

Officials -Roadside Design Guide.
2. AS1742 (Parts 1-13) -Australian Standard Manual of Uniform Traffic Control
Devices.
3. AUSTROADS (1992) -Bridge Design Code.
4. VicRoads (1991) -Standard Drawings for Roadworks -Road Design
Department,
Feb. 1991.
13
14
LAMPIRAN IV
A BRIEF OUTLINE OF DESIGN AND INSTALLATION CONSIDERATIONS FOR ROAD

SIGNS, MARKINGS AND DELINEATION.
Drivers receive about 90% of all their necessary driving information visually. Two of the
most common ways for engineers to give information to motorists is via signs and
markings. These are so commonly used that they can sometimes be taken for granted,
and may often be incorrectly, inefficiently or unsafely used.
Signs/markings can be most effective by keeping in mind the 5C’s of good signage in all
road safety engineering work. The 5 C’s of good signage are that signs (and markings)
should be:
 CONSPICUOUS – the sign has to be seen (eg placing a sign behind a bridge
pier is not acceptable)
 CLEAR – the shape and colour of the sign, as well as the legend/symbol,
have to be able to be readily identified.
 COMPREHENSIBLE – the sign has to be able to be understood (eg a sign
written in the Swedish language on the road to Denpassar would not be
acceptable)
 CREDIBLE – the message conveyed by the sign has to be believable to the
drivers otherwise they will tend to ignore it (eg a kangaroo warning sign on a
National Highway in Indonesia would quickly be ignored).
 CONSISTENT – identical traffic situations should be managed by the use of
the same sign, thereby reducing driver reaction times, and improving driver
understanding. (all direction signs should be the same colour and shape, with
words and arrows). Confirmation signs are useful because they reinforce to
drivers that they are on the route they want to be on.
Signs and pavement markings are generally installed as part of a standard

treatment for a particular situation or hazard. They should not be regarded as a
cure for all road and traffic management problems. Requests for signs to meet real
or imagined hazards should always be carefully examined to ensure that some
other solution will not be better. Some signs can have a dual role in promoting both
safety and orderly movement (for instance a direction sign at a road junction will
not only guide drivers to a destination but can also warn of the location of the
junction.
SOME PRINCIPLES FOR SIGNS AND MARKINGS
 Signs are not always an effective engineering solution to all safety problems. For
example, a hazardous intersection may be better treated by improved definition
of the hazardous area itself, rather than by warning signs.
 Signs or markings can seldom be used to solve problems caused by poor and
confusing road geometry. Geometric rearrangement may well be the only reliable
cure, ie channelisation of the intersection, or reconstruction of the curve to
provide a higher speed value.
 Like situations should be treated in a like manner, and standard devices should
always be used unless it can be clearly demonstrated that they do not fit the
case.
1
 All signs and markings should be properly maintained and replaced when worn
out, particularly reflective devices.
 Devices should be installed according to guides and warrants.
 Excessive numbers of signs should be avoided. Always ask:
are certain signs really needed?
do they serve any practical function?
can they be read and acted upon by a driver?
 Can an excessive number be replaced by fewer but larger signs
 Is a particular type of sign being used so often for purposes of lesser importance
that its value in solving more serious problems is degraded?
 Signs need to be of an adequate size and properly located, so that drivers can
read and act upon the message. Spacing should be such that a driver can
comprehend the messages on successive signs. As a general guide,
successive signs should be spaced at least 0.6 V metres apart, where V is
the 85th percentile speed of vehicles past the signs, in km/h.
 Signs should provide adequate advance warning of hazard or decision points, not
forgetting that the hazard or decision point itself needs to be adequately
delineated.
 Complex word messages and symbols should be avoided.
 The limitations on a driver’s ability to see and/or read messages conveyed by
pavement markings under certain geometric road conditions (around curves,
on crest vertical curves, etc.) should be recognised.
 Total reliance on pavement markings to guide or control drivers at locations of
special hazard should be avoided. For example, at a narrowing of pavement
(say, at a narrow bridge) edge lines, while good, may not be reliable at all
times. Hazard markers delineating the obstruction should also be installed.
 Long life materials should be used for line marking. Thermoplastic materials are
readily available for this. Although more expensive than paint, thermoplastic
materials last many times longer than paint. In Indonesia, where dust, rain
and heat quickly removes normal painted lines, thermoplastic should provide
a cost effective option.
DELINEATION
Delineation is the term given to the provision of signs, line marking and other
traffic devices in order to guide drivers, especially on substandard curves.
Roadway delineation is used to:
 Control the movement of vehicles by supplying visual information to the driver

that identifies the safe limits of the travelled way,
 regulate the direction of travel, lane changing and overtaking,
 mark lanes or zones where manoeuvres such as turns or parking are permitted,
required or restricted,
 improve lane discipline, particularly during night time driving, and
 aid in identifying potentially hazardous situations such as obstacles and
pedestrian crossings.
Delineation is of critical importance to the safe and efficient operation of the road
system. Most of the information that the driver uses to control a vehicle is visual.
Delineation is vital in enabling the driver to locate the vehicle on the roadway and to
make navigation and control decisions. Adequate delineation enables the driver to
2
keep the vehicle within the traffic lane (short range delineation), and plan the
immediate forward route-driving task (long range delineation).
Long-range delineation enables the driver to plan the forward route, and thus it
needs to be consistent and continuous. It is not restricted to locations where forward
visibility is particularly confusing or critical, but has application to a road as a whole.
The curve characteristics of direction and curvature may need to be assessed up to 9
seconds ahead. Detailed tracking data for actual curve negotiation is required 3
seconds ahead of the curve. Delineation devices fall into two groups - pavement
markings and roadside devices.
Pavement markings
Pavement markings are usually applied using either paint or a thermoplastic material.
Because they are required to operate at day and night, they should be highly
reflective, e.g. through the use of glass beads mixed into the paint. They also need
to be skid-resistant and durable. The message they convey must be clear and not
lead to confusion, and since any given symbol may be visible for only a very short
time, the message must be simple and clearly understood.
Raised reflective pavement markers

Raised reflective pavement markers (RRPM’s) are devices that are attached to the
road surface and raised slightly so as present a reflective face to oncoming traffic.
RRPM's provide better night time delineation than painted centre lines and edge
lines, especially under adverse weather conditions. Crash reductions of 15-18 per
cent have been reported. Such devices have also proven to be effective in reducing
encroachment across lines.
Roadside devices
Roadside devices include continuous devices such as guideposts, and devices used
only at individual sites such as bends or objects such as bridges and culverts.
Guide posts and post mounted delineators.

Guideposts are lightweight posts between 0.9-1.2 m high, located 0.6-3.0 m from the
edge of the outside lane. They should be low cost, easy to transport, cheap to install
and replace, resistant to extreme weather conditions, present no safety hazard to
road users, and present no psychological obstacle to road users keeping the vehicle
in the correct place on the road. They are available in a number of materials,
including timber, bamboo, fibreglass, aluminium and plastic.
They may be provided as isolated devices, for example to mark the presence of a
culvert, over a short section of road or continuously along an extended length of
road. In the last case, the driver should always be able to see at least two and
preferably three pairs of guideposts in his/her range of vision.
Guideposts should have a reflective device attached, often referred to as a post-

mounted delineator (PMD). These assist long range delineation at night, and are
made from reflective sheeting or from moulded plastic using the corner cube
principle. They should be designed to ensure a width adequately visible at long
distances, especially at night, and be high enough to avoid being soiled by road
splash, such as mud.
Chevron alignment markers (CAM’s)

These are a single post-mounted chevron with highly contrasting colours (black on
3
yellow). The use of these CAM’s should be restricted to those locations where
drivers need additional strong delineation to guide them through a curve. To
maintain their significance as an important form of delineation, they should not be
used at inappropriate locations (such as on traffic islands, roundabouts or other
locations that need a hazard marker post). They should only be used on bends
which are substandard compared to the adjacent bends.
CAM’s are placed in series around the outside of substandard curves, placed
approx. 1 metre off the edge of the shoulder. The first CAM is located at or near the
tangent point, and subsequent CAMs should be placed so that at least three CAMs
are visible at any one time to an approaching driver. CAM’s are suited where there is
a difference between approach speed and curve advisory speed of around 20 km/h,
with the CAMs spaced at:
0.12R + 4 metres (for V < 80 km/h) or

0.08R + 2 metres (for V > 80 km/h)
where V is the approach speed (km/h) and R is the curve radius (m).
The CAMs continue around the curve until the path ahead can be clearly
appreciated by the driver. The use of CAM’s should be reserved exclusively for curve
delineation, and not used for any other purpose (such as roundabouts, pedestrian
refuges, bridge end posts, etc) since such practices will reduce their effectiveness.
CAM’s have been shown to improve curve negotiation strategy, especially with
impaired drivers, and provide better long-range information on such curves than
guideposts. They have a crash reduction potential of 30%.
………………………………….
…………..

Audit Keselamatan Cipularang (Final)

Diunggah oleh

Informasi Dokumen

Judul Asli

Hak Cipta

Format Tersedia

Bagikan dokumen Ini

Bagikan atau Tanam Dokumen

Opsi Berbagi

Apakah menurut Anda dokumen ini bermanfaat?

Apakah konten ini tidak pantas?

Hak Cipta:

Format Tersedia

Audit Keselamatan Cipularang (Final)

Diunggah oleh

Hak Cipta:

Format Tersedia

SAFETY AUDIT TOL CIPULARANG

LAPORAN BIDANG MANAJEMEN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS

JAKARTA, Agustus 2006

3. Maksud dan Tujuan 2

4. Ruang Lingkup Pekerjaan 2

6. Hasil Pemeriksaan Lapangan 4

7. Langkah langkah Penanganan 13

Audit keselamatan jalan merupakan suatu tindakan preventif dalam keselamatan

Audit keselamatan mempunyai potensi terbesar dalam meningkatkan keselamatan

“A road safety audit is a formal safety performance examination of an existing

Dalam pelaksanaan audit keselamatan jalan harus memperhatikan aspek pemakai

3. MAKSUD DAN TUJUAN

4. RUANG LINGKUP PEKERJAAN

Dalam pelaksanaan pemeriksaan akan dibagi dalam 2 (dua) sub-bidang

1. Sub-bidang Manajemen Lalu Lintas

a. Bidang Geoteknik dan konstruksi;

Penyusunan rekomendasi serta saran tindak lanjut (counter-measure) untuk

6. HASIL PEMERIKSAAN LAPANGAN

Berdasarkan pemeriksaan lapangan yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan

a. Rambu Lalu Lintas

untuk mengarahkan dan menuntun arus lalu lintas.

Rambu RPPJ di exit Rambu RPPJ di exit

dirasakan berbahaya. Exit Sadang/Purwakarta ini juga tidak dilengkapi dengan

Exit tol Sadang/ Purwakarta tidak dilengkapi decelaration lane

Marka jalan sudah banyak yang terkelupas dan kurang terlihat

Delineator/guide post yang dipasang di jalan tol Cipularang mempunyai fungsi

Guide Post kurang memadai

Barrier di tengah jalan tol Cipularang tahap 2 (Sadang – Padalarang) berbeda

Median barrier kurang tinggi sehingga sorot lampu

Tidak ada guard rail pada sisi jalan yang berbahaya

f. Roadside Hazardous Object

Selain saluran drainase yang terbuka dan embankment dengan kemiringan

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan terlihat masih banyak tiang lampu

Tiang lampu tanpa pengaman Saluran drainase yang terbuka

g. Pemasangan MCB di bahu jalan

Di beberapa lokasi dijumpai adanya Movable Concrete Barrier (MCB) yang

MCB pada KM 72,200

MCB pada KM 90,400

MCB pada KM 104,600

Untuk daerah-daerah tanjakan di Tol Cipularang telah disediakan beberapa lajur

Berdasarkan diskusi dengan pihak proyek diketahui bahwa dalam tahapan

Lajur pendakian kurang panjang

Escape ramp kurang memadai

Hasil pemeriksaan lapangan djumpai adanya kurang lebih 12 median breaks di

Median breaks (KM. 69.800) posisi

Truk berat dengan kecepatan rata-rata

Selama pengamatan lapangan ditemui adanya beberapa gangguan terhadap lalu

kaki di jalan tol.

Pejalan kaki pada bahu jalan tol,

Pembakaran ilalang maupun jerami disekitar

B. MANAJEMEN LALU LINTAS

 Pada beberapa titik km disarankan adanya penambahan guardrail

 Pada km 91 + 450 terdapat rambu portable larangan berbalik arah bagi

pada km tersebut memang dibutuhkan rambu guna keselamatan para

2) Terdapat beberapa rambu petunjuk batas kecepatan yang harus

6) Untuk bahan rambu pengganti alumunium, pada prinsipnya kami tidak

7. LANGKAH-LANGKAH PENANGANAN (COUNTER-MEASURES)

Dengan berdasarkan pada hasil pemeriksaan lapangan diusulkan beberapa langkah

Manusia - Penegakan hukum terhadap aturan lalu lintas

Prasarana Jalan - Peningkatan Standar Desain yang digunakan

Kendaraan - Standar keamanan kendaraan

Lingkungan - Asap pembakaran sawah

Di banyak peristiwa kecalakaan disebabkan oleh kombinasi 2 (dua) atau lebih