Anda di halaman 1dari 9

Hukum Ketenagakerjaan

“Kuis Besar 3”

DISUSUN OLEH:

Imam Alfazri Winarto – 111710045

Manajemen Sumber Daya Manusia

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MA CHUNG

2019
Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Hubungan Industrial Secara Tripartit

A. Pendahuluan
Perselisihan atau perkara dimungkinkan terjadi dalam setiap hubungan antar
manusia, bahkan mengingat subjek hukumpun telah lama mengenal badan hukum, maka
para pihak yang terlibat di dalamnya pun semakin banyak . Dengan semakin
kompleksnya corak kehidupan masyarakat, maka ruang lingkup kejadian atau peristiwa
perselisihanpun meliputi ruang lingkup semakin luas, diantaranya yang sering mendapat
sorotan adalah perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial
biasanya terjadi antara pekerja/buruh dan perusahaan atau antara organisasi buruh dengan
organisasi perusahaan. Dari sekian banyak kejadian atau peristiwa konflik atau
perselisihan yang penting adalah solusi untuk penyelesaiannya yang harus betul-betul
objektif dan adil.
Saat ini perkembangan industri di Indonesia sangat pesat, dalam pelaksanaannya
sering kali terjadi konflik kepentingan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh.
Disinilah peranan hukum ketenagakerjaan atau UndangUndang ketenagakerjaan
dibutuhkan, yang digunakan sebagai dasar penyelesaian perselisihan hubungan industrial
antara Pekerja atau Buruh dengan Pengusaha.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 untuk penyelesaian perselisihan
dapat melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
mengedepankan musyawarah untuk mufakat (win-win solution) agar dengan demikian, proses
produksi barang dan jasa tetap berjalan sebagaimana mestinya. Penyelesaian melalui pengadilan
dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan hubungan industrial adalah
Pengadilan Khusus yang dibentuk dilingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa,
mengadili dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial menurut UU Nomor 2 Tahun 2004, selain dapat ditempuh
melalui jalur pengadilan, dapat juga melalui jalur di luar pengadilan yaitu melalui perundingan
bipartite, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Banyak kasus yang berkaitan mengenai bagaimana pemerintah terlibat dalam
penyelesaian perselisihan industrial. Sebagai pihak ketiga yang harusnya mengedepankan sebuah
sikap netral ketika menghadapi perselisihan maka sudah seharusnya ketegasan akan sangat
penting bagi pemerintah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana upaya Pemerintah untuk mencegah dan mengatasi terjadinya perselisihan
hubungan Indistrial ?
2. Bagaimana peran pemerintah dalam menangani konflik pemutusan hubungan kerja
karyawan PT Gunung Mas di Kabupaten Pangkep?

C. Pembahasan
Sebuah hubungan industrial dapat dipengaruhi oleh liberalisasi ekonomi yang saat
ini sedang menjadi sebuah konsep pemikiran budaya pada hubungan industrial.
Karakteristik liberalism yang paling kedepan adalah individualism yang jelas-jelas
bertentangan dengan pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, dan sebagai sumber ideal
dari hubungan industrial. Hal ini telah berakibat secara nyata kepada konsisi masyarakat
industrial.
Fakta sosial didukung oleh data primer juga data skunder menunjukkan bahwa
masih ada ganjalan yang mengganggu keharmonisan hubungan industrial antara lain:
1. Ketidak adilan dalam pengaturan hubungan kerja
Kaidah-kaidah yang tertuang dalam peraturan perusahaan maupun PKB
(Perjanjian Kerja Bersama) cenderung memberatkan pihak pekerja/ buruh.
Karena nya dapat dilihat sebagai kaidah-kaidah atau normanorma yang tidak taat
asas, sehingga menimbulkan ketidak puasan bagi pekerja/ buruh. Dominasi pihak
yang kuat (pengusaha/ majikan) terhadap pihak yang lemah (pekerja/ buruh)
masih terjadi.
2. Penggunaan Tenaga Asing tanpa memperhatikan kepentingan Tenaga Kerja/
Buruh Indonesia
Dengan semakin melimpah jumlah angkatan kerja yang tidak diimbangi
dengan perluasan lapangan kerja telah mempersempit peluang kerja. Persoalan
pekerja/ buruh semakin sulit dikernakan skill mereka umumnya masih lemah.
Sehingga dengan alasan peningkatan kwalitas produk, dalam keadaan semakin
meluasnya pengangguran justru para pengusaha berupaya untuk mendatangkan
tenaga asing di perusahaannya. Hal seperti ini walaupun ada keuntungan bagi
pengusaha tapi jelas suatu kondisi yang sangat merugian bagi pekerja/ buruh di
Indonesia. Terutama bagi tenaga kerja/ buruh yang sudah punya skill tapi
diperlakukan secara diskriminatif oleh pihak pengusaha/ majikan.
3. Kurang memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan buruh/ pekerja
Kepentingan buruh untuk kesejahteraan dan terpeliharanya kesehatan,
khususnya masalah upah dan kesempatan istirahat masih kurang diperhatikan.
Sehingga rutinitas kerja yang monoton dan melelahkan dapat menjadi gangguan
kesehatan yang serius. Sementara upah yang didapat tidak cukup untuk
kesejahteraan keluarga termasuk untuk terpeliharaanya kesehatan.
4. Kurang diperhatikannya keselamatan buruh
Banyaknya kasus TKI yang mendapat siksaan pisik dan membawa
kematian di Luar Negeri, menunjukkan rapuhnya perlindungan ketenaga kerjaan.
Seharusnya mendapat tanggapan dan solusi jalan keluar oleh pihak pemerintah.
Jangan sampai nasib malang para TKI terulang terus. Mereka di Indonesia
kesulitan lapangan kerja, pergi keluar negeri untuk mendapat pekerjaan tapi
nyatanya ditemukan dengan ancaman keselamatan terhadap jiwanya.
5. Kurang diperhatikannya karier bagi pekerja/ buruh
Kesempatan untuk pendidikan lebih tinggi dan kesempatan jenjang
pekerjaan banyak hambatan, dikernakan banyak pengusaha/ majikan masih
memikirkan kepentingan sepihak hanya untuk cari keuntungan (profet) semata.
Karenanya peluang pendidikan dan pengalaman dianggap sebagai suatu
pemborosan. Akibatnya untuk memperoleh izin mengikuti pendidikan/
perkuliahan sering dihambat.
6. Kurang diperhatikannya kesejahteraan pekerja/ buruh
Kesejahteraan pekerja/buruh masih rendah, belum memenuhi standar
kehidupan minimal. Penggunaan dana Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
belum optimal untuk digunakan dalam peningkatan kesejahteraan pekerja. Dari
realitas sosial tersebut ada kecenderungan bahwa pihak pengusaha dalam rangka
efektivitas dan evisiensi faktor produksi cenderung untuk menjadikan pekerja/
buruh target kebijakan yang menguntungkan sepihak, sehinga pekerja/ buruh
menjadi pihak yang banyak dirugikan.
Sistem Hukum Ketenagakerjaan/ Hukum Perburuhan pada dasarnya adalah suatu
upaya untuk menertibkan konflik antara pekerja/ buruh dengan pengusaha/ majikan ke
dalam sebuah system rasionalitas legal. Adapun yang menjadi tujuannya adalah untuk
menemukan sebuah kompromi yang akan memenangkan “konsensus‟ terbesar. Gejala
sosial menunjukkan bahwa dengan berjalannya waktu dan berjalannya proses aktivitas
hubungan industrial yang hingga kini belum mencerminkan adanya kedamaian industrial,
ada kesan bahwa pemerintah cenderung ambigu dalam menyikapi konflik antara pekerja/
buruh dengan pengusaha/ majikan. Disatu sisi pemerintah mengakui adanya konfik atai
perselisihan yang terhindarkan, tetapi disisi lain pemerintah sepertinya menghindar untuk
ambil posisi dalam hal antisipasi untuk harmonisasi hukungan antar para pihak.
Untuk terwujudnya harmonisasi hubungan industrial pemerintah telah melakukan
berbagai upaya. Upaya tersebut diaktualisasikan dengan cara mendamaikan para pihak
untuk kebebasan berserikat dan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam rangka pencapaian stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 1957
pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dengan harapan melalui diundangkannya undang-
undang tersebut akan dapat membatasi pemogokan yang banyak terjadi pada saat itu, dan
diharapkan akan terwujud kedamaian industrial. Yang dengan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1957 tersebut dibentuk system arbitrase wajib melalui P4 (Panitia
Penyelesaioan Perselisihan Perburuhan). Dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957
tersebut nyatanya pemerintah berhasil untuk meredam mogok pekerja/ buruh, meskipun
pihak pengusaha/ majikan dalam posisi yang cukup direpotkan karena sering diwarnai
kebijakan untuk kenaikan upah karena tuntutan pekerja/ buruh ditengah inflasi yang
tinggi.
Walaupun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk hubungan harmonis
antara pekerja/ buruh dengan pengusaha/ majikan tapi karena banyak kendala yang
dihadapi maka untuk optimalisasi dan realisasinya masih perlu waktu dan kerja keras lagi
Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat
Buruh, politik hukum pemerintah bermaksud untuk memberikan legitimasi setingkat
undang-undang kepada keberadaan Serikat Pekerja/ Serkat Buruh. Hal ini adalah
pengakuan realitas hukum terhadap Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Pekerja/ buruh
Indonesia dengan adanya undang-undang tersebut bebas untuk membentuk organisasinya
sendiri, karenanya pihak pengusaha/ majikan tidak boleh menghalanginya. Lebih
tegaslagi bahwa melalui Pasal 28 jo 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000,
memberikan sanksi pidana bagi yang melakukan tindakan menghalang-halangi aktivitas
serikat pekerja/ serikat buruh
Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, pemerintah dalam hal ini pembentuk undang-undang bermaksud
untuk memperbaiki perihal soal-soal formal ketenagakerjaan/ perburuhan, yaitu
mekanisme penyelesaian perselisihan sengketa hubungan industrial, yang tujuan
utamanya adalah untuk pencerahan dalam mewujudkan keadilan dalam hal penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Secara normatif Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
ini ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan pekerja/ buruh dalam
hal penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui proses penyelesaian
perselisihan yang adil, cepat, tepat dan murah. Dengan Undang-Undang 33 Indonesia.,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Loc.cit Pasal 152 ayat (2). Nomor 2 Tahun 2004
maka lahirlah P.H.I (Pengadilan Hubungan Industrial) menggantikan posisi P.4.D
(Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) dan P.4.P (Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat) lembaga penyelesaian perselisihan andalan dari Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Latar
belakang penyebab digantikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 adalah
dikarenakan lembaga yang menangani proses penyelesaian perselisihan dengan mengacu
pada undang-undang ini tidak mampu mewujudkan penyelesaian perselisihan perburuhan
secara cepat, tepat, adil dan murah.
Sengketa ketenagakerjaan tergolong sengketa publik yang dapat mengganggu
ketertiban umum dan stabilitas nasional, maka peluang pengaduan pelanggaran hak-hak
pekerja/ buruh tersebut dapat disalurkan untuk penyelesaiannya ke Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
yang berbunyi: “ Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa
hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tulisan
kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”. Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut, Lembaga Komnas HAM
dapat menampung seluruh laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia. Tetapi Komnas HAM belum efektif dalam hal penyelesaian hubungan
industrial, dan harapan masyarakat industrial tertumpu pada PHI (Pengadilan Hubungan
Industrial) untuk dapat menyelesaikan sengketa hubungan industrial.
Peran pemerintah sebagai regulator adalah menyiapkan arah untuk
menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturanperaturan.
Sebagai regulator, pemerintah memberikan acuan dasar kepada masyarakat sebagai
instrumen untuk mengatur dan menangani persoalan yang terjadi dari adanya pemutusan
hubungan kerja. Dalam menangani konflik antara perusahaan dan karyawan yang
diakibatkan dari adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) pemerintah dalam hal ini
Pemerintah dituntut mengeluarkan aturan ataupun kebijakan yang tujuannya untuk
menghasilkan kesepakatan antara pihak pekerja dan perusahaan untuk menciptakan iklim
yang kondusif. Perundingan Tripartit menjadi langkah yang ditempuh Dinas untuk
mempertemukan, melakukan negosiasi dan perundingan antara Serikat pekerja dan
perusahaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
Tripartit berperan sebagai forum komunikasi dan musyawarah antara pekerja,
pemerintah dan perusahaan untuk membahas tuntutan-tuntutan pekerja yang diputus
hubungan kerjanya. penyelesaian masalah PHK melalui pertemuan Tri Partit antara
pemerintah pengusaha/organisasi dan serikat pekerja sebagai perwakilan dari pekerja
yang artinya Tripartit sebagai perumus dalam memecahkan masalah. Dalam Undang-
Undang PPHI No.2 Tahun 2004 pasal 1 angka 10 disebutkan dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui perundingan Bipartit dan perundingan Tripartit
keduanya bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan kerja atau hubungan
industrial antara pengusaha/perusahaan/pemberi kerja dengan pekerja/buruh.
Perundingan Bipartit perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Sedangkan
perundingan Tripartit adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pihak
ketiga.
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai dinamisator dalam menangani
konflik antara pekeja yang diPHK dan perusahaan yaitu dengan membentuk LKS Triparti
(Lembaga Kerjasama Tripartit). LKS Tripartit (Lembaga kerjasama Tripartit) yaitu
sebuah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah guna memberikan pertimbangan,
saran dan pendapat kepada pemerintah terkait penyusunan kebijakan dan pemecahan
masalah ketenagakerjaan. Dinas Ketenagakerjaan sebagai Dinamisator dalam menangani
konflik pemutusan hubungan kerja karyawan PT Gunung Mas Persada Jaya di kabupaten
Pangkep telah terealisasi, dengan membentuk suatu tim dengan Undang-undang
Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 pasal 107 ayat 3 yaitu keanggotaan LKS Tripartit
terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh.
Dalam menyelesaikan perselisihan antara karyawan PHK dan PT Gunung Mas
Persada Jaya, Dinas Ketenagakerjaan telah mengadakan pertemuan yang selanjutnya
dilakukan Mediasi yang ditengahi oleh mediator.Tidak adanya mediator adalah menjadi
kekurangan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Pangkep, sehingga untuk menyelesaikan
masalah pemutusan hubungan kerja dan konflik antara pekerja dan perusahaan dimediasi
oleh mediator yang didatangkan dari Kabupaten Maros. Dinas Ketenagakerjaan masih
membutuhkan pelatihan dan bimbingan teknis hingga pegawai dapat mengembangkan
diri dan mampu memahami seluk-beluk pelaksanaan pekerjaan lebih mendalam dan dapat
meningkatkan kompetensi dan kinerja pegawai. Peran pemerintah dalam menangani
konflik pemutusan hubungan kerja karyawan PT Gunung Mas Persada Jaya masih
terkendala dengan kurang baiknya hubungan/komunikasi yang terjalin antara pihak
perusahaan dan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan perselisihan hubungan
industri terutama PHK yang terjadi.

D. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan dari upaya pemerintah untuk mengatasi perselisihan hubungan
industrial sudah sangat baik karena peraturan-peraturan yang dibuat sebenarnya sudah
tepat sasaran. Namun kendala-kendala di lapangan membuat peraturan tersebut tidak bisa
di terapkan dengan baik. Saran untuk pemerintah adalah bagaimana menegakkan
peraturan yang sudah dibuat agar permasalahan yang sama tidak terulang-ulang lagi
kedepannnya.
Peran pemerintah dalam menangani konflik pemutusan hubungan kerja karyawan
PT Gunung Mas Persada Jaya yaitu Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Pangkep memiliki
fungsi regulator, dinamisator, dan fasilitator. Factor diatas dan adanya kepercayaan dari
kedua belah pihak yang sedang berselisih membubat penyelesaian yang dilakukan
pemerintah berhasil.

Daftar Pustaka

Pradima, Akbar (2013). Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan

Toha, Suherman (2010). https://www.bphn.go.id/data/documents/penyelesaian_perselisihan_


hubungan_industrial.pdf

Charda, Ujang (2017). Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Dalam Hukum
Ketenagakerjaan Setetlah Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004

Fahrunnisa, Fatwal (2017). Peran Pemerintah Dalam Menangani Konflik Pemutusan Hubungan Kerja
Karyawan PT Gunung Mas di Kabupaten Pangkep

Anda mungkin juga menyukai