Anda di halaman 1dari 4

Muncul ketidaksetaraan gender, sebagai contoh dalam pekerjaan lebih mengutamakan

kemampuan para kaum pria.

Contoh:

.PEMBAHASAN Perusahaan Terbatas industri karet yang disebut dengan Deliwork didirikan pada
tahun 1956 oleh badan usaha modal asing milik perusahaan Jepang. Perusahaan ini pada awalnya
bergerak dalam industri peralatan rumah tangga yang bahan bakunya terbuat dari karet, seperti
sarung tangan, sepatu, alas kaki, dan sebagainya. Dalam perkembangannya perusahaan industri
karet tidak saja memproduksi kebutuhan rumah tangga tetapi sudah memproduksi jenis ban untuk
kebutuhan kendaraan bermotor (seperti ban dalam, ban luar). Pengurangan peran negara terhadap
perusahaan – perusahaan swasta dilakukan melalui privatisasi (penguasaan oleh swasta/asing) atas
sektor publik, hal ini terjadi karena seluruh perusahaan swasta sudah mengalami neoliberalm.
Neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pengurangan peran negara, artinya pengelolaan
negara dikendalikan oleh korporat, (perusahaan swasta/asing). Akibat dari keputusan-keputusan
politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan perusahaan swasta baik
domestik maupun asing. Disisi lain, gelombang neoliberalis di segala bidang pasca reformasi, telah
memberikan kesempatan kepada kekuatan kapitalis global untuk makin menancapkan pengaruhnya
di Indonesia. Dengan bantuan dana dari investor asing dan swasta, mereka banyak mendapat
kemudahan dalam kebijakan, peraturan perundangan yang sangat liberal di pengaruhi oleh
kepentingan pihak swasta. Neo-liberalis menganjurkan penghapusan campur tangan pemerintah
dalam urusan ekonomi. Tidak ada pembatasan untuk produksi pabrik, tidak ada pembatasan atas
perdagangan bebas, tidak ada cukai. Penerapan usaha individual mendorong munculnya usaha
bebas, persaingan bebas, yang berarti bebas bagi pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan
sebesarbesarnya. Buruh perempuan yang bekerja di sektor industri mengalami penindasan
disebabkan relasi patriarki. Sistem patriarki meletakkan perempuan tersubordinasi dalam lingkup
keluarga dan pekerjaan di sektor industri dengan menempatkan laki-laki sebagai penguasa. Sistem
patriarki sebagai salah satu kajian alternatif terhadaprelasi kuasa patriarki dalam kehidupan sosial,
dalam bentuk : (
Ketidaksetaraan Gender dalam Lingkungan Kerja

Oleh
Sheila Sabiila & Mochammad Sa’id
Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang

Ketidaksetaraan gender merupakan topik yang telah lama diperbincangkan di


Indonesia. Ketidaksetaraan gender di Indonesia disebabkan karena adanya budaya
patriarki yang telah lama melekat dalam budaya Indonesia (Susanto, 2015). Budaya
patriarki memposisikan laki-laki untuk mendominasi dan memegang kekuasaan
dalam peran kepemimpinan dibandingkan dengan perempuan. Dengan adanya
budaya patriarki, timbul perasaan terbelenggu pada perempuan yang
melahirkan diskriminasi, dan menimbulkan hambatan pada penyerataan akses di
masyarakat. Laporan The Global Gender Gap Report tahun 2020 yang mengkaji
ketidaksetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan menunjukkan
bahwa Indonesia menempati posisi 85 dari 153 negara di dunia dalam kesetaraan
gender. Posisi ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 2018 (Forum, 2019).
Salah satu permasalahan ketidaksetaraan gender yang masih terjadi di Indonesia
hingga kini adalah ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja. Isu ini menyoroti
keterbatasan perempuan dalam kesempatan kerja dan ketidaksetaraan perlakuan
bagi pekerja perempuan di lingkungan kerja. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di
Indonesia tahun 2015 berada pada 48-51%, jauh lebih rendah dari laki-laki
sebesar 83-84%(Ketenagakerjaan, 2015).

Perbedaan Kuantitatif dan Kualitatif


Hal yang paling disoroti dari ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja
yaitu adanya perbedaan kuantitatif dan perbedaan kualitatif antara pekerja laki-
laki dan pekerja perempuan. Perbedaan kuantitatif merujuk kepada perbedaan upah,
perbedaan upah juga biasa disebut dengan istilah gender pay gap.Sedangkan
perbedaan kualitatif merujuk pada perbedaan tipe pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Perbedaan kualitatif juga
menyoroti kesulitan para pekerja perempuan untuk menduduki posisi jabatan
tinggi, yang biasa disebut dengan glass ceiling.

Stereotip Gender
Faktor lainnya yang menjadi pendukung ketidaksetaraan gender dalam lingkungan
kerja yaitu adanya stereotip gender. Stereotip merupakan sebuah persepsi yang
diajukan oleh individu maupun kelompok mengenai kualitas yang memuat adanya
perbedaan pada kelompok lainnya (Schneider, 2004). Stereotip juga dapat disebut
sebagai ide pemikiran yang membentuk suatu kepercayaan. Stereotip gender ini
memiliki ekspetasi terkait karakteristik dan kepribadian yang timbul antara laki-laki
dan perempuan (Steg,Buunk, & Rothengatter, 2008). Adanya stereotip gender ini
memberikan label bahwa laki-laki dan perempuan memiliki sifat yang sangat bertolak
belakang. Sifat maskulin pada laki-laki merujuk pada sifat yang
agresif, independent, dan agentic. Sedangkan sifat feminim pada perempuan
merujuk pada sifat yang emosional, communal, dan sering berorientasi untuk berada
di rumah (Steg, Buunk, & Rothengatter, 2008).

Dalam pekerjaan, kelompok sangat memperhitungkan peran kepemimpinan dan


peran gender (Sany & Rahardja, 2016). Peran kepemimpinan berasal dari gagasan
bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifatagentic yang dimiliki oleh laki-laki,
sedangkan perempuan memiliki karakteristik communal. Sifat agentic ditandai
dengan perilaku individu yang tegas, percaya diri, dan suka mengatur pegawainya.
Sedangkan karakteristik communal ditandai dengan perilaku yang memedulikan
kesejahteraan orang lain, memiliki simpatik yang tinggi, dan suka menolong.
Pada stereotip yang terbangun, perempuan tidak layak untuk menempati kursi
kepemimpinan karena karakteristik communal yang dimilikinya. Kursi kepemimpinan
dianggap sesuai dan dinilai positif apabila ditempati oleh laki-laki karena peran yang
ditunjukkan dari sifat agnetic. Sehingga, apabila kursi kepemimpinan ditempati oleh
perempuan, peran ini dianggap tidak sesuai dan dinilai secara negatif karena peran
dan kompetensinya akan dipertanyakan.

Glass Ceiling
Glass ceiling merupakan peristiwa di mana pekerja perempuan sulit atau tidak dapat
mencapai posisi tinggi seperti yang bisa didapatkan oleh pekerja laki-laki (Adams &
Funk, 2012). Metafora glass ceilingmenunjukkan bahwa terdapat penghalang yang
tinggi yang tidak tampak secara jelas, tetapi sangat dirasakan. Glass
ceiling dapat terjadi oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu karakteristik
kepemimpinan menurut gender dan perbedaan gaya kepemimpinan menurut
gender.
Karakteristik Kepemimpinan Menurut Gender

Terdapat konotasi gender pada manajemen pekerjaan karena adanya ungkapan


“think manager, think male” (Steg, Buunk, & Rothengatter, 2008). Ungkapan tersebut
memiliki arti bahwa kedudukan manajer selalu erat dengan laki-laki. Timbulnya
ungkapan tersebut karena karakteristik pemimpin biasanya disamakan dengan
karakteristik yang dimiliki oleh laki-laki pada umumnya, dibandingkan dengan
karakteristik yang dimiliki oleh perempuan. Walaupun sebagian orang menganggap
bahwa sifat feminin pada karakteristik perempuan juga melekat pada karakteristik
pemimpin, tetapi secara umum saat mereka diminta untuk mendeskripsikan
karakteristik pemimpin mereka tetap menyebutkan laki-laki.

Perbedaan Gaya Kepemimpinan Menurut Gender


Pada 1970an hingga 1980an, banyak peneliti yang menggunakan model dua-dimesi
kepemimpinan untuk membedakan antara kepemimpinan task-
oriented dan interpersonal-oriented. Kepemimpinan task-orientedmenunjukkan
sikap lebih profesional, berorientasi pada tugas dan pekerjaan, dan
mempertahankan standar kinerja yang tinggi yang dimiliki oleh laki-laki. Sedangkan
kepemimpinan interpersonal-orientedmenunjukkan gaya yang lebih fleksibel,
bersikap ramah, kekeluargaan, dan membantu pegawai yang dimiliki oleh
perempuan.

Kemudian, pada studi terbaru dilakukan penelitian dengan menggunakan perbedaan


antara gaya kepemimpinan transformasional yang sering ditunjukkan oleh
perempuan dan gaya transaksional yang sering ditunjukkan oleh laki-laki.
Hasil studi tersebut menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang cocok dimiliki oleh
seorang pemimpin lebih condong kepada gaya transformasional dibandingkan
transaksional(Steg, Buunk, & Rothengatter, 2008). Tetapi banyak argumen yang
tidak setuju terhadap hal ini, ketidaksetujuan ini membuktikan
adanya ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja.

SARAN
Ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja mengakibatkan pekerja perempuan
tidak mendapatkan hak yang sama dengan pekerja laki-laki. Baik laki-laki maupun
perempuan seharusnya memperoleh hak yang sama tanpa memandang gender
sebagai tolak ukur. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan
ketidaksetaraan gender yaitu dengan menghapuskan stereotip gender di lingkungan
masyarakat. Dengan hilangnya stereotip gender ini maka akan menghapuskan
penilaian subjektif antara laki-laki dan perempuan. Cara lainnya yang dapat
dilakukan yaitu dengan memberikan kesempatan kepada pekerja perempuan untuk
mengembangkan kemampuan yang dimiliki secara maksimal. Sehingga diharapkan
ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja dapat teratasi.

Written by Sheila Sabiila & Mochammad Sa’ide


https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/832-ketidaksetaraan-gender-dalam-lingkungan-
kerja

Anda mungkin juga menyukai