Korenspondesi Penulis
Naskah Masuk : 07 Juli 2021
Email : eskakedi@gmail.com, eskak@kemenperin.go.id. Revisi : 11 Agustus 2021
Disetujui : 13 Agustus 2021
Kata kunci: : etika, penerapan, motif batik, batik larangan, desain alas kaki
Keywords: ethics, application, batik motif, batik larangan, footwear design
ABSTRAK
Keunikan dan keindahan motif batik tradisional telah banyak menginspirasi desainer untuk
menerapkannya pada berbagai desain produk baru, salah satunya pada desain alas kaki. Pada motif-
motif batik yang bersifat profan, penerapan unsur estetika tersebut tidak menjadi permasalahan etika.
Namun pada motif-motif tradisional yang memiliki makna religi dan filosofis yang tinggi, penerapan
motif pada produk alas kaki menjadi hal yang kurang sepatutnya. Desain alas kaki memiliki
kekhususan yaitu penggunaan pada bagian tubuh paling bawah manusia, sehingga identik dengan
makna: bawah, rendah, dan diinjak-injak. Hal ini perlu diperhatikan secara khusus oleh para desainer
dalam memberikan motif hias pada desain alas kaki. Pada beberapa kasus, ada desainer yang
menerapkan motif batik larangan keraton pada desain alas kaki. Oleh karena itu, kajian terkait hal ini
perlu dilakukan, agar kesalahan semacan itu tidak terjadi. Metode penulisan yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif. Kajian ini berguna untuk mengetahui motif-motif batik tradisional yang harus
dipahami kekhususannya, sehingga dapat menghindari kesalahan penerapannya dalam desain. Bijak
dalam penerapan motif batik tradisional pada desain alas kaki merupakan upaya menghargai kearifan
lokal.
ABSTRACT
The uniqueness and beauty of traditional batik motifs have inspired many designers to apply them to
various new product designs, one of which is the application of footwear designs. In profane batik
motifs, the application of these aesthetic elements does not become an ethical problem. However, for
traditional motifs that have high religious and philosophical meanings, the application of motifs to
footwear products is inappropriate. Footwear design has a specificity, which is the use of the lowest
part of the human body, so it is synonymous with the meaning: down, low, and trampled on. This part
requires special attention of the designers in providing decorative motifs footwear designs. In some
cases there are designers applied batik larangan (prohibition palace batik) motifs footwear designs.
Therefore, it is necessary to carry out this study so that such errors do not need to occur. The study
method used is descriptive qualitative. This study is useful for knowing traditional batik motifs that
must be understood specifically, so as to avoid mistakes in its application in design. Being wise to
implement traditional batik motif in footwear design as local wisdom effort.
ejournal.kemenperin.go.id/dkb
DOI 10.22322/dkb.V36i1.4149 - ISSN: E 2528-6196 / P 2087-4294
Akreditasi Kemenristekdikti 30/E/KPT/2018 173
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
174
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
Motif batik larangan adalah motif- mencanangkan batik motif Parang menjadi
motif batik yang penggunaannya terikat busana kebangsawanan tertinggi (raja dan
dengan aturan-aturan tertentu di keraton, keluarga), serta Semen Gedhe Sawat
artinya masyarakat umum tidak boleh Gurdha, Udan Liris, dan Rujak Senthe juga
memakainya. Motif batik larangan ditetapkan sebagai batik larangan dan
merupakan batik sakral yang diyakini hanya kaum bangsawan tertentu yang
memiliki kekuatan spiritual maupun makna boleh mengenakannya (Condronegoro,
filosofis tinggi yang terkandung dalam 2010; Susanto, 2018; Aji, 2019).
motif batiknya. Motif sakral pada batik Motif batik larangan Keraton Surakarta
dipercaya mampu menciptakan suasana yang menonjol termaktub dalam Serat
kebatinan yang memancarkan aura Tatakrama Kedhaton, manuskrip Jawa yang
kewibawaan para bangsawan pemakainya ditulis dengan huruf Jawa krama alus berisi
(Prasetyo, 2010; Kusrianto, 2013). tentang busana adat yang ditulis oleh raja
Adapun yang termasuk batik larangan Pakubuwana IV. Naskah ini adalah naskah
di Keraton Yogyakarta yang diunggah tahun 1788-1820. Serat Tatakrama
dalam situs resmi Keraton Yogyakarta Kedhaton menceritakan tentang tatacara
www.kratonjogja.id tanggal 19 Maret 2018, para abdi dalem dalam berbusana dan
antara lain Parang Rusak
disebutkan: berhubungan dengan masyarakat keraton.
Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Adapun tata cara diperuntukkan untuk para
Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen abdi dalem yang sudah mempunyai
Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, pangkat maupun yang belum. Tata cara ini
Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan disebut tatapara. Pembedaan penggunaan
Huk. Berdasarkan penelusuran sejarah, motif batik yang dikenakan oleh raja
setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki dengan yang dikenakan oleh patih,
kewenangan untuk menetapkan motif batik pangeran putra sentana, panewu mantri,
tertentu ke dalam batik larangan. Parang kaliwon wadana, bupati wadana. Motif batik
Rusak adalah motif pertama yang larangan yang paling utama adalah
dicanangkan sebagai pola larangan oleh pemakaian Motif Parang hanya boleh
Sultan Hamengku Buwono I pada tahun dikenakan oleh raja dan keluarga raja yang
1785. Saat pemerintahan Sultan Hamengku berkuasa (Ningrum, 2020). Hal itu
Buwono VII (bertahta pada tahun 1877 – menandakan bahwa raja merupakan tokoh
1920), batik larangan ditekankan pada Motif tertinggi dan sentral, penguasa yang
Huk dan Kawung. Kedua motif tersebut merupakan pengejawantahan utusan Tuhan
ditekankan larangannya karena memiliki yang berkuasa di bumi (Muslich, 2010;
kandungan makna filosofis kepemimpinan Perwita, 2013; Widyastuti, 2016).
(hanya boleh dipakai oleh para bangsawan). Batik larangan di keraton-keraton Jawa
Batik motif larangan lainnya adalah motif bukanlah berwujud peraturan perundang-
Semen, Udan Liris, Sawat, Parang, dan undangan yang berlaku positif dalam
Cemukiran (Condronegoro, 1995; Indreswari, hukum negara Republik Indonesia, yang
2014; Ningrum, 2020). Pada tahun 1927 Sri mengikat dan berkonsekuensi hukum
Sultan Hamengku Buwono VIII secara langsung, tetapi berupa aturan
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 175
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
176
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
dengan penyerapan pasar yang dinamis data, display, dan penarikan kesimpulan
(Fahreza, 2020). (Sugiyono, 2020).
Desain alas kaki memiliki kekhususan
yaitu perancangan produk fungsional untuk PEMBAHASAN
penggunaan pada bagian tubuh paling Dewasa ini kebanggaan masyarakat
bawah manusia yaitu kaki, sehingga identik terhadap batik semakin meningkat, yang
dengan makna: bawah, rendah, dan diinjak- merupakan salah satu efek dari pengakuan
injak. Hal ini perlu diperhatikan secara UNESCO pada tanggal 02 Oktober 2009
khusus oleh para desainer dalam terhadap batik sebagai warisan budaya
memberikan motif batik sebagai penghias dunia dari Indonesia (Salma & Eskak, 2019).
pada desain alas kaki. Pada beberapa kasus, Hal ini telah meningkatkan pula penyerapan
ada desainer yang menerapkan motif batik pasar terhadap berbagai produk batik
larangan keraton pada desain alas kaki. Bagi (Kemenperin, 2020). Produsen batik pun
masyarakat umum, memakai batik motif menyikapinya dengan meningkatkan
larangan saja sudah merupakan produksi dan diversifikasi desain produk
pelanggaran terhadap norma tradisional, batik (Salma et al, 2012). Salah satu hasil
apalagi menerapkannya pada desain alas diversifikasi produk batik adalah penerapan
kaki, tentu ini merupakan pelanggaran etika. motif batik tradisional pada desain alas kaki.
Penerapan motif-motif batik yang Namun pada praktiknya sering dijumpai
bersifat profan dalam desain alas kaki, tidak kesalahan-kesalahan penerapan motif batik
menimbulkan permasalahan etika. Namun tradisional pada desain produk alas kaki.
pada motif-motif batik yang memiliki Penerapan motif tradisional secara
makna religi dan filosofis yang tinggi, tentu serampangan tanpa mengindahkan nilai-
saja penerapannya menjadi hal yang kurang nilai yang dijunjung oleh suatu masyarakat
sepatutnya. Oleh karena itu perlu dilakukan tertentu memang tidak langsung menuai
kajian ini agar kesalahan-kesalahan akibat hukum. Namun dampaknya dalam
semacam itu tidak terjadi. Kajian ini berguna pemasaran produk dapat menunjukkan
untuk mengetahui motif-motif batik yang adanya reaksi masyarakat, salah satunya
harus dipahami kekhususannya, sehingga adalah tidak mendapatkan pasar atau
desainer dapat menghindari kesalahan produk terserap pasar namun jumlahnya
dalam penerapannya untuk desain alas kaki. sedikit dan tidak menutup biaya produksi.
Hal ini dapat merugikan perusahaan,
METODOLOGI PENELITIAN sehingga perlu dihindari. Salah satu merek
Metode penulisan yang digunakan suvenir populer di Yogyakarta memiliki
adalah deskriptif kualitatif yang umumnya produk motif batik larangan dikombinasi
dipakai dalam fenomenologi sosial. Tulisan dengan gambar punokawan yang dicetak
ini menganalisis fenomena penerapan motif pada produk sandal berkualitas bagus
batik tradisional pada desain alas kaki dengan harga kompetitif, namun kurang
dengan filsafat postpositivisme. Analisis laku. Menurut Sari (2021), di gerai yang
data kualitatif dilakukan dengan: reduksi dijaganya, apabila pengunjung tertarik akan
sebuah produk, umumnya kemudian
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 177
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
178
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
hukum positif di Indonesia (Mastur, 2019). bentuk alam, bentuk imajinasi yang tidak
Kepemilikan HKI tersebut merupakan upaya terkait dengan simbol-simbol religi atau
preventif untuk melindungi dari disakralkan oleh masyarakat tertentu.
pembajakan ataupun upaya menduplikasi Penerapan motif profan dalam desain alas
tanpa izin. Perlindungan secara hukum atas kaki bertujuan untuk keindahan secara
karya suatu ciptaan telah diatur dalam visual, tidak memiliki makna lain selain
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, memperindah produk agar disukai
yaitu Pasal 1 ayat (1) tentang hak cipta, konsumen. Hal ini sekaligus untuk
Pasal 1 ayat (2) tentang pencipta, dan Pasal menghindari permasalahan-permasalahan
1 ayat (3) tentang ciptaan. Motif batik yang berkaitan dengan kerugian produsen
tersebut dilindungi karena mempunyai nilai akibat produknya kurang laku di pasaran,
seni, baik dalam kaitannya dengan gambar, atau bahkan diboikot oleh masyarakat.
corak, maupun komposisi warna. Penerapan motif batik profan dapat dilihat
Pemanfaatannya oleh pihak lain harus dalam Gambar 3 dan Gambar 4.
berdasarkan izin dari pemilik HKI, dan
apabila terdapat pelanggaran HKI, pelaku
dapat dituntut secara hukum.
Gambar 2. Motif Latoh dari Lasem yang kaki kelom geulis, teknik: batik kayu
diaplikasikan pada sandal high heels
(infografis diolah: Edi Eskak, 2021)
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 179
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
180
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
sumber ide penciptaan karya yang dilarang proses berkreasi tersebut, berkarya
untuk ditiru, maka dengan kreativitas yang seni/desain dapat dilakukan dengan niteni,
dimiliki, seorang seniman atau desainer nirokke, nambahi (mengingat, meniru,
dapat mengolah bentuk-bentuk visual dari menambahi). Berkarya seni dengan
objek sumber inspirasi dan kemudian mengingat bentuk/teknik yang ingin ditiru,
distilasi menjadi bentuk-bentuk baru yang dilanjutkan menirukan dahulu/belajar, baru
sudah memiliki pembeda dari objek kemudian menambahi/inovasi untuk
sebelumnya. Stilasi adalah membuat bentuk menghasilkan karya seni/desain baru. Alur
baru dengan gaya (style) yang berbeda merancang desain sebagai sebuah proses
(Susanto, 2018). Stilasi dapat menghasilkan pembelajaran ini merupakan salah satu
karya yang lebih sederhana, juga dapat konsep pembelajaran dari Ki Hadjar
menjadi lebih rumit, bahkan dapat menjadi Dewantara yang dipandang masih relevan
lebih indah dari objek sebelumnya. untuk diterapkan dalam berkreativitas dan
Pembedaan menjadi bentuk baru tersebut berinovasi karya seni/desain pada era
sudah tidak termasuk dalam penjiplakan sekarang ini.
karya HKI ataupun melanggar motif batik
larangan. Gambar 6 merupakan hasil stilasi Menghindari Penerapan Motif Batik
dari ide motif larangan menjadi motif baru Larangan
yang profan untuk aplikasi pada desain alas
kaki, sekilas karakter khas dari bentuk Motif
Parang masih terlihat dalam motif yang
baru.
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 181
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
Walaupun ada pelanggaran baik secara melanggar norma hukum; (2) Penerapan
sengaja maupun karena ketidaktahuan motif batik profan; (3) Menghindari
desainer, maka tulisan ini diharapkan dapat penerapan motif batik sakral pada desain
menyadarkan para pelanggar, serta dapat alas kaki; (4) Melakukan penggayaan atau
memberi pengetahuan bagi yang belum stilasi dari sumber inspirasi motif batik
mengetahuinya. larangan; dan (5) Menghindari penerapan
Gambar 7 merupakan contoh motif batik larangan.
pelanggaran penerapan motif larangan
(Motif Parang) dalam desain alas kaki. Saran
Pelanggaran terhadap motif larangan Desainer dapat berperan dalam
seperti ini sama artinya produsen siap untuk menjaga keharmonisan masyarakat dengan
ditolak oleh konsumen yang memahami berkarya desain yang menghargai dan
budaya Jawa. Hal ini akan lebih berimbas menghormati kearifan lokal. Penerapan
karena masyarakat Jawa merupakan motif batik tradisional dalam desain alas
konsumen terbesar di Indonesia (Pitoyo, & kaki perlu memperhatikan hal-hal di atas,
Triwahyudi, 2017; Utami, 2017). Penolakan untuk menghindari permasalahan hukum,
oleh konsumen tentu merupakan hal yang boikot produk, produk tidak laku, dan lain
dihindari oleh produsen. sebagainya yang dapat merugikan
produsen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan KONTRIBUSI PENULIS
Karakteristik yang kuat dari motif-motif Edi Eskak dan Heru Budi Susanto
batik tradisional telah banyak menginspirasi adalah penulis sekaligus kontributor utama
desainer untuk diterapkan dalam berbagai dalam tulisan: Penerapan Motif Batik
desain produk baru, salah satunya adalah Tradisional dalam Desain Alas Kaki ini.
penerapan dalam desain alas kaki. Motif
batik memiliki keindahan dan keluwesan UCAPAN TERIMA KASIH
untuk diterapkan pada berbagai produk Terimakasih kepada Balai Besar
baru, dan dapat meningkatkan keindahan Kerajinan dan Batik (BBKB), Balai
serta identitas yang kuat pada karya desain. Pengembangan Industri Persepatuan
Indonesia (BPIPI), Politeknik ATK Yogyakarta,
Namun secara khusus, penerapannya dalam
serta pihak-pihak yang memberikan
desain alas kaki perlu memperhatikan etika
informasi dan koreksi untuk bahan
sehingga terhindar dari pelanggaran penulisan ini.
terhadap HKI maupun norma-norma sosial.
Pelanggaran oleh desainer terhadap HKI DAFTAR PUSTAKA
dan norma sosial masih kerap terjadi, hal ini Andayani, A., Subekti, H., & Sari, D. A. (2021).
Relevansi Konsep Niteni, Nirokke, Nambahi
disebabkan karena ketidaktahuan dan
dari Ajaran Ki Hajar Dewantara dalam
kelalaian desainer. Oleh karena itu, ketika Konteks Pembelajaran Sains. Pensa: E-
menerapkan motif batik dalam desain alas Jurnal Pendidikan Sains, 9(1), 1–6. Retrieved
kaki, perlu memperhatikan hal-hal sebagai from
berikut: (1) Penerapan motif yang tidak
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
182
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 183
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184
Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
184