Anda di halaman 1dari 12

VOL. 38 NO.

2, DESEMBER 2021, HAL 173-184

ETIKA PENERAPAN MOTIF BATIK TRADISIONAL DALAM DESAIN ALAS KAKI


Ethics of Traditional Batik Motif Application on Footwear Design

Edi Eskak¹ dan Heru Budi Susanto²


¹ Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No. 7 Yogyakarta, Indonesia
² Politeknik ATK Yogyakarta, Jl. Prof. Dr. Wirdjono Prodjodikoro, Sewon, Bantul, Yogyakarta, Indonesia

Korenspondesi Penulis
Naskah Masuk : 07 Juli 2021
Email : eskakedi@gmail.com, eskak@kemenperin.go.id. Revisi : 11 Agustus 2021
Disetujui : 13 Agustus 2021

Kata kunci: : etika, penerapan, motif batik, batik larangan, desain alas kaki
Keywords: ethics, application, batik motif, batik larangan, footwear design

ABSTRAK
Keunikan dan keindahan motif batik tradisional telah banyak menginspirasi desainer untuk
menerapkannya pada berbagai desain produk baru, salah satunya pada desain alas kaki. Pada motif-
motif batik yang bersifat profan, penerapan unsur estetika tersebut tidak menjadi permasalahan etika.
Namun pada motif-motif tradisional yang memiliki makna religi dan filosofis yang tinggi, penerapan
motif pada produk alas kaki menjadi hal yang kurang sepatutnya. Desain alas kaki memiliki
kekhususan yaitu penggunaan pada bagian tubuh paling bawah manusia, sehingga identik dengan
makna: bawah, rendah, dan diinjak-injak. Hal ini perlu diperhatikan secara khusus oleh para desainer
dalam memberikan motif hias pada desain alas kaki. Pada beberapa kasus, ada desainer yang
menerapkan motif batik larangan keraton pada desain alas kaki. Oleh karena itu, kajian terkait hal ini
perlu dilakukan, agar kesalahan semacan itu tidak terjadi. Metode penulisan yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif. Kajian ini berguna untuk mengetahui motif-motif batik tradisional yang harus
dipahami kekhususannya, sehingga dapat menghindari kesalahan penerapannya dalam desain. Bijak
dalam penerapan motif batik tradisional pada desain alas kaki merupakan upaya menghargai kearifan
lokal.

ABSTRACT
The uniqueness and beauty of traditional batik motifs have inspired many designers to apply them to
various new product designs, one of which is the application of footwear designs. In profane batik
motifs, the application of these aesthetic elements does not become an ethical problem. However, for
traditional motifs that have high religious and philosophical meanings, the application of motifs to
footwear products is inappropriate. Footwear design has a specificity, which is the use of the lowest
part of the human body, so it is synonymous with the meaning: down, low, and trampled on. This part
requires special attention of the designers in providing decorative motifs footwear designs. In some
cases there are designers applied batik larangan (prohibition palace batik) motifs footwear designs.
Therefore, it is necessary to carry out this study so that such errors do not need to occur. The study
method used is descriptive qualitative. This study is useful for knowing traditional batik motifs that
must be understood specifically, so as to avoid mistakes in its application in design. Being wise to
implement traditional batik motif in footwear design as local wisdom effort.

ejournal.kemenperin.go.id/dkb
DOI 10.22322/dkb.V36i1.4149 - ISSN: E 2528-6196 / P 2087-4294
Akreditasi Kemenristekdikti 30/E/KPT/2018 173
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

PENDAHULUAN Berdasarkan lingkungan


Keindahan utama dari kain batik perkembangannya, motif batik dapat
tradisional adalah pada motif hiasnya yang dibedakan menjadi dua yaitu motif
unik. Keindahan motif batik tradisional telah tradisional dan motif modern. Motif
banyak menginspirasi desainer untuk tradisional adalah motif-motif lama,
menerapkannya pada desain alas kaki peninggalan nenek moyang sehingga
(Rahmawati, 2014). Penerapan ini bertujuan penggambarannya masih mengikuti kaidah-
tambahan memperindah produk sehingga kaidah (pakem) ketradisionalannya. Motif
diharapkan mampu menarik minat modern adalah motif pengembangan yang
konsumen untuk membelinya. Motif-motif sudah meninggalkan kaidah-kaidah batik
khas batik tradisional tersebut umumnya tradisional. Motif-motif tradisional ada yang
merupakan motif batik yang sudah dikenal mencapai puncak estetikanya baik secara
oleh masyarakat seperti: Motif Parang, Motif bentuk maupun makna filosofisnya, yang
Kawung, Motif Sidomukti, Motif Sekar Jagad, kemudian disebut sebagai Motif Batik Klasik
dan lain sebagainya (Eskak et al, 2018; (Hamzuri, 1994). Motif-motif batik klasik
Susanto, 2018; Salma, 2020). umumnya merupakan batik dari keraton-
keraton Jawa. Oleh karena itu, pemakaian
Motif Batik motif-motif batik klasik tertentu diatur oleh
Motif batik adalah gambar hias atau raja, termasuk juga siapa saja yang boleh
ornamen yang tertera pada lembaran kain memakainya, tidak semua orang dapat
atau bahan/media lainnya yang proses memakainya. Titah raja tentang pelarangan
pembuatannya dengan proses teknik batik. (awisan dalem) pemakaian motif batik dari
Motif merupakan elemen utama dalam keraton oleh masyarakat umum ini
suatu seni hias atau seni ornamen (Gustami, kemudian dikenal dengan istilah “batik
2008), yang berfungsi untuk memperindah larangan” (Motif Batik Larangan Kraton
permukaan karya/produk (Wulandari & Yogyakarta, 2018; Ningrum, 2020).
Salma, 2019). Motif batik juga berfungsi
untuk menunjukkan identitas berkaitan Motif Batik Larangan
dengan cipta karya sebagai pribadi, Sejak zaman kerajaan dahulu,
perusahaan, maupun identitas kedaerahan masyarakat di Jawa telah mengenal
(Sartika et al, 2017). Selain aspek teknis pembedaan kelas sosial. Adanya struktur
dalam motif batik juga mengandung makna pemerintahan kerajaan yang
filosofis (BSN, 2019), di balik visualisasi memberlakukan stratifikasi sosial dalam
motif hiasnya. Kekayaan motif-motif batik kehidupan masyarakat, menyebabkan apa
tradisional merupakan aset budaya yang yang berlaku untuk bangsawan dalam
dapat dimanfaatkan di era industri kreatif keraton tidak boleh digunakan oleh
untuk kegiatan ekonomi produktif yang masyarakat biasa (Raffles, 2014). Hal ini
dapat menunjang peningkatan pendapatan tercermin juga dalam aturan batik larangan,
masyarakat (Yoga & Eskak, 2015). yaitu batik dari keraton yang tidak boleh
dipakai oleh masyarakat umum.

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
174
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

Motif batik larangan adalah motif- mencanangkan batik motif Parang menjadi
motif batik yang penggunaannya terikat busana kebangsawanan tertinggi (raja dan
dengan aturan-aturan tertentu di keraton, keluarga), serta Semen Gedhe Sawat
artinya masyarakat umum tidak boleh Gurdha, Udan Liris, dan Rujak Senthe juga
memakainya. Motif batik larangan ditetapkan sebagai batik larangan dan
merupakan batik sakral yang diyakini hanya kaum bangsawan tertentu yang
memiliki kekuatan spiritual maupun makna boleh mengenakannya (Condronegoro,
filosofis tinggi yang terkandung dalam 2010; Susanto, 2018; Aji, 2019).
motif batiknya. Motif sakral pada batik Motif batik larangan Keraton Surakarta
dipercaya mampu menciptakan suasana yang menonjol termaktub dalam Serat
kebatinan yang memancarkan aura Tatakrama Kedhaton, manuskrip Jawa yang
kewibawaan para bangsawan pemakainya ditulis dengan huruf Jawa krama alus berisi
(Prasetyo, 2010; Kusrianto, 2013). tentang busana adat yang ditulis oleh raja
Adapun yang termasuk batik larangan Pakubuwana IV. Naskah ini adalah naskah
di Keraton Yogyakarta yang diunggah tahun 1788-1820. Serat Tatakrama
dalam situs resmi Keraton Yogyakarta Kedhaton menceritakan tentang tatacara
www.kratonjogja.id tanggal 19 Maret 2018, para abdi dalem dalam berbusana dan
antara lain Parang Rusak
disebutkan: berhubungan dengan masyarakat keraton.
Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Adapun tata cara diperuntukkan untuk para
Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen abdi dalem yang sudah mempunyai
Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, pangkat maupun yang belum. Tata cara ini
Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan disebut tatapara. Pembedaan penggunaan
Huk. Berdasarkan penelusuran sejarah, motif batik yang dikenakan oleh raja
setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki dengan yang dikenakan oleh patih,
kewenangan untuk menetapkan motif batik pangeran putra sentana, panewu mantri,
tertentu ke dalam batik larangan. Parang kaliwon wadana, bupati wadana. Motif batik
Rusak adalah motif pertama yang larangan yang paling utama adalah
dicanangkan sebagai pola larangan oleh pemakaian Motif Parang hanya boleh
Sultan Hamengku Buwono I pada tahun dikenakan oleh raja dan keluarga raja yang
1785. Saat pemerintahan Sultan Hamengku berkuasa (Ningrum, 2020). Hal itu
Buwono VII (bertahta pada tahun 1877 – menandakan bahwa raja merupakan tokoh
1920), batik larangan ditekankan pada Motif tertinggi dan sentral, penguasa yang
Huk dan Kawung. Kedua motif tersebut merupakan pengejawantahan utusan Tuhan
ditekankan larangannya karena memiliki yang berkuasa di bumi (Muslich, 2010;
kandungan makna filosofis kepemimpinan Perwita, 2013; Widyastuti, 2016).
(hanya boleh dipakai oleh para bangsawan). Batik larangan di keraton-keraton Jawa
Batik motif larangan lainnya adalah motif bukanlah berwujud peraturan perundang-
Semen, Udan Liris, Sawat, Parang, dan undangan yang berlaku positif dalam
Cemukiran (Condronegoro, 1995; Indreswari, hukum negara Republik Indonesia, yang
2014; Ningrum, 2020). Pada tahun 1927 Sri mengikat dan berkonsekuensi hukum
Sultan Hamengku Buwono VIII secara langsung, tetapi berupa aturan

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 175
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

tradisional yang dipatuhi oleh masyarakat untuk melindungi dan mengelola


pendukung adat istiadat tersebut. lingkungan hidup secara lestari. Undang-
Masyarakat umum yang tidak terpaut undang ini harus dijabarkan lagi dalam
dengan hukum adat tersebut tentu akan peraturan-peraturan daerah secara spesifik
lebih beradab jika menghargai dan menyesuaikan kearifan lokal daerahnya
menghormatinya, termasuk desainer alas masing-masing (Kristiyanto, 2017). Kearifan
kaki. Dalam hal ini desainer memegang lokal turut membentuk lingkungan
peranan hulu yang penting untuk kehidupan yang harmonis dalam
memahami dan menghindari penerapan masyarakat.
motif batik larangan pada desain alas kaki.
Desain Aklas Kaki
Desain alas kaki (footwear design)
merupakan perancangan bentuk dan hiasan
untuk produk alas kaki manusia. Alas kaki
dalam hal ini adalah pelindung telapak kaki
dan pembungkus kaki (footwear), jadi
bukan dalam pengertian papan kayu
ataupun selembar kain tebal untuk alas
penopang kaki. Produk alas kaki
mempunyai fungsi fisik untuk melindungi
Gambar 1. Motif Parang Rusak Barong
kaki manusia saat berjalan serta fungsi
(Condronegoro, 2010; Ningrum, 2020)
keindahan sebagai produk fesyen.
Sejarah awal mula kehadiran alas kaki
Gambar 1 adalah Motif Parang Rusak
sulit diketahui karena sejak masa prasejarah
Barong yang merupakan contoh batik
sudah ditemukan artefak benda yang
larangan dari Keraton Surakarta maupun
berfungsi sebagai alas kaki yang digunakan
Keraton Yogyakarta. Motif batik ini memiliki
oleh manusia. Pengetahuan alas kaki
ukuran lebih dari 10 cm hingga tak terbatas,
diketahui dari cerita legenda, artefak, serta
dan hanya boleh dikenakan oleh raja dan
pada relief-relief bangunan kuno. Pada
putra mahkota (Condronegoro, 2010;
2000 SM, di Mesir telah dikenal
Ningrum, 2020).
perdagangan komoditas alas kaki (Huey &
Batik larangan merupakan kearifan
Proctor, 2011). Perkembangan alas kaki
lokal yang mesti dihargai dan dihormati.
(pengetahuan, teknologi, serta desain
Istilah kearifan lokal telah ada dalam
produknya) semakin berkembang pesat
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
mengikuti perkembangan zaman.
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Perkembangan desain alas kaki di Indonesia
Lingkungan Hidup. Secara yuridis formal
banyak bergayut dengan tren yang sedang
kearifan lokal telah disebutkan dalam Pasal
terjadi, salah satunya adalah tren batik
1 ayat (30) yang menyatakan bahwa
(Salma et al, 2012; Melani, 2019), sehingga
kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang
muncullah desain alas kaki bermotif batik
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
176
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

dengan penyerapan pasar yang dinamis data, display, dan penarikan kesimpulan
(Fahreza, 2020). (Sugiyono, 2020).
Desain alas kaki memiliki kekhususan
yaitu perancangan produk fungsional untuk PEMBAHASAN
penggunaan pada bagian tubuh paling Dewasa ini kebanggaan masyarakat
bawah manusia yaitu kaki, sehingga identik terhadap batik semakin meningkat, yang
dengan makna: bawah, rendah, dan diinjak- merupakan salah satu efek dari pengakuan
injak. Hal ini perlu diperhatikan secara UNESCO pada tanggal 02 Oktober 2009
khusus oleh para desainer dalam terhadap batik sebagai warisan budaya
memberikan motif batik sebagai penghias dunia dari Indonesia (Salma & Eskak, 2019).
pada desain alas kaki. Pada beberapa kasus, Hal ini telah meningkatkan pula penyerapan
ada desainer yang menerapkan motif batik pasar terhadap berbagai produk batik
larangan keraton pada desain alas kaki. Bagi (Kemenperin, 2020). Produsen batik pun
masyarakat umum, memakai batik motif menyikapinya dengan meningkatkan
larangan saja sudah merupakan produksi dan diversifikasi desain produk
pelanggaran terhadap norma tradisional, batik (Salma et al, 2012). Salah satu hasil
apalagi menerapkannya pada desain alas diversifikasi produk batik adalah penerapan
kaki, tentu ini merupakan pelanggaran etika. motif batik tradisional pada desain alas kaki.
Penerapan motif-motif batik yang Namun pada praktiknya sering dijumpai
bersifat profan dalam desain alas kaki, tidak kesalahan-kesalahan penerapan motif batik
menimbulkan permasalahan etika. Namun tradisional pada desain produk alas kaki.
pada motif-motif batik yang memiliki Penerapan motif tradisional secara
makna religi dan filosofis yang tinggi, tentu serampangan tanpa mengindahkan nilai-
saja penerapannya menjadi hal yang kurang nilai yang dijunjung oleh suatu masyarakat
sepatutnya. Oleh karena itu perlu dilakukan tertentu memang tidak langsung menuai
kajian ini agar kesalahan-kesalahan akibat hukum. Namun dampaknya dalam
semacam itu tidak terjadi. Kajian ini berguna pemasaran produk dapat menunjukkan
untuk mengetahui motif-motif batik yang adanya reaksi masyarakat, salah satunya
harus dipahami kekhususannya, sehingga adalah tidak mendapatkan pasar atau
desainer dapat menghindari kesalahan produk terserap pasar namun jumlahnya
dalam penerapannya untuk desain alas kaki. sedikit dan tidak menutup biaya produksi.
Hal ini dapat merugikan perusahaan,
METODOLOGI PENELITIAN sehingga perlu dihindari. Salah satu merek
Metode penulisan yang digunakan suvenir populer di Yogyakarta memiliki
adalah deskriptif kualitatif yang umumnya produk motif batik larangan dikombinasi
dipakai dalam fenomenologi sosial. Tulisan dengan gambar punokawan yang dicetak
ini menganalisis fenomena penerapan motif pada produk sandal berkualitas bagus
batik tradisional pada desain alas kaki dengan harga kompetitif, namun kurang
dengan filsafat postpositivisme. Analisis laku. Menurut Sari (2021), di gerai yang
data kualitatif dilakukan dengan: reduksi dijaganya, apabila pengunjung tertarik akan
sebuah produk, umumnya kemudian

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 177
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

membelinya. Namun, berbeda kasus penggayaan atau stilasi dari sumber


dengan produk sandal di atas. Banyak inspirasi motif batik larangan; dan (5)
pengunjung yang tertarik dan mengamati, Menghindari penerapan motif batik
namun urung membelinya. Pada kasus lain, larangan.
toko online yang menawarkan sepatu
dengan motif batik larangan, kurang Penerapan Motif Batik yang Tidak
mendapatkan respon dari konsumen Melanggar Norma Hukum
(Sepatu Batik Parang, 2016; The Warna Penerapan motif batik dalam desain
Sepatu Parang, 2018; Sepatu Flatshoes Batik alas kaki bertujuan untuk memperindah
Parang, 2021). Masyarakat Jawa atau luar tampilan suatu produk alas kaki. Penerapan
Jawa yang memahami dan menghargai unsur estetika tersebut diharapkan
motif batik larangan tentu akan meningkatkan daya tarik dari produk yang
mengurungkan membeli produk alas kaki dibuat. Ketika suatu produk memiliki daya
tersebut. tarik yang kuat diharapkan produk tersebut
Peraturan batik larangan di keraton- dapat laris di pasaran sehingga
keraton Jawa bukanlah berwujud peraturan mendatangkan keuntungan yang maksimal.
perundang-undangan yang berlaku positif Namun ketika launching produk ke pasar
sebagai hukum negara, tetapi berupa dan mendapat sukses besar tetapi ada
aturan tradisional yang dipatuhi oleh prosedur desain yang “kurang jelas”
masyarakat lokal para penyokong budaya terutama keabsahan pengambilan objek
tradisional tersebut. Eksistensi suatu nilai visual yang digunakan, maka akan dapat
tradisional harus dihargai sebagai kearifan mendatangkan permasalahan hukum. Hal
lokal. Mengapresiasi suatu kearifan lokal tersebut dapat terjadi karena unsur
pada dasarnya adalah menjunjung tinggi kesengajaan, kelalaian, ataupun
sikap toleransi sehingga meminimalisasi ketidaktahuan ketika mengambil ide atau
bibit-bibit persinggungan SARA (suku, objek visual desain. Oleh karena itu, sumber
agama, ras dan antar golongan). Desainer ide desain harus jelas secara hukum,
alas kaki dapat berperan dalam hal-hal dengan melakukan studi atau penelitian
seperti ini dengan memiliki wawasan yang terlebih dahulu sehingga desainer dapat
luas tentang kebudayaan, sehingga bersikap terhindar dari kemungkinan pelanggaran
bijak dalam merancang desain. atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) karya
Adapun hal yang dapat dilakukan seni ataupun desain industri milik
untuk menghindari permasalahan dari orang/perusahaan lain.
penerapan motif batik tradisional secara Sebagai contoh motif batik yang sudah
serampangan pada desain alas kaki adalah dilindungi hukum adalah motif batik dari
dengan melakukan beberapa tindakan daerah Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa
sebagai beikut: (1) Penerapan motif batik Tengah. Beberapa motif batik Lasem telah
yang tidak melanggar norma hukum; (2) memiliki HKI, di antaranya: Motif Latoh,
Penerapan motif batik profan; (3) Sekar Jagad Lasem, dan Watu Pecah Kricak
Menghindari penerapan motif batik sakral (Mastur, 2019). Motif batik tersebut telah
pada desain alas kaki; (4) Melakukan mendapat perlindungan hukum di dalam

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
178
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

hukum positif di Indonesia (Mastur, 2019). bentuk alam, bentuk imajinasi yang tidak
Kepemilikan HKI tersebut merupakan upaya terkait dengan simbol-simbol religi atau
preventif untuk melindungi dari disakralkan oleh masyarakat tertentu.
pembajakan ataupun upaya menduplikasi Penerapan motif profan dalam desain alas
tanpa izin. Perlindungan secara hukum atas kaki bertujuan untuk keindahan secara
karya suatu ciptaan telah diatur dalam visual, tidak memiliki makna lain selain
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, memperindah produk agar disukai
yaitu Pasal 1 ayat (1) tentang hak cipta, konsumen. Hal ini sekaligus untuk
Pasal 1 ayat (2) tentang pencipta, dan Pasal menghindari permasalahan-permasalahan
1 ayat (3) tentang ciptaan. Motif batik yang berkaitan dengan kerugian produsen
tersebut dilindungi karena mempunyai nilai akibat produknya kurang laku di pasaran,
seni, baik dalam kaitannya dengan gambar, atau bahkan diboikot oleh masyarakat.
corak, maupun komposisi warna. Penerapan motif batik profan dapat dilihat
Pemanfaatannya oleh pihak lain harus dalam Gambar 3 dan Gambar 4.
berdasarkan izin dari pemilik HKI, dan
apabila terdapat pelanggaran HKI, pelaku
dapat dituntut secara hukum.

Gambar 3. Penerapan motif profan pada alas

Gambar 2. Motif Latoh dari Lasem yang kaki kelom geulis, teknik: batik kayu
diaplikasikan pada sandal high heels
(infografis diolah: Edi Eskak, 2021)

Menerapkan Motif Batik Profan


Motif batik profan adalah motif batik
yang bersifat keduniawian dan tidak bersifat
sakral atau berkaitan dengan religi tertentu.
Profan berarti sesuatu yang biasa, umum,
tidak disucikan, tidak yang religius
(Muhammad, 2013). Motif profan umumnya
berupa benda-benda yang memiliki makna
netral sehingga relatif tidak bersinggungan
dengan isu-isu SARA (suku, agama, ras, dan
antar golongan).
Motif-motif batik profan antara lain Gambar 4. Penerapan motif profan pada alas
kaki, teknik: batik kulit
adalah: bunga, daun, buah, benda, alat,

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 179
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

Gambar 3 merupakan produk sandal yang disakralkan karena berisi


wanita kelom geulis yang terbuat dari kayu tulisan/gambar rajah doa-doa suci dalam
dengan dekorasi/finishing batik (batik kayu). kaligrafi Arab. Penggunaan kain batik Motif
Gambar 4 merupakan produk sandal Besurek pada mulanya hanya terbatas
terbuat dari kulit dengan dekorasi/finishing untuk upacara-upacara adat seperti dipakai
batik (batik kulit). Batik selain dapat untuk pengapit pengantin pria khususnya
diaplikasikan pada tekstil juga dapat destar atau topi khas Bengkulu pada prosesi
diaplikasikan secara langsung pada bahan pernikahan (Putro, 2016). Penerapan motif
kayu, kulit, dan bahan-bahan lain yang sakral seperti ini dalam desain alas kaki
dapat dibatik (Sukaya et al, 2018). merupakan tindakan yang tidak dapat
dibenarkan.
Menghindari Penerapan Motif Batik Motif-motif batik sakral antara lain
Sakral pada Desain Alas Kaki berupa: lambang, logo, bendera, kaligrafi
Motif batik sakral adalah motif batik suci, flora dan fauna yang disucikan, serta
yang memiliki makna-makna religi atau bentuk imajinasi yang berkait dengan
simbol-simbol kesucian yang berkaitan simbol-simbol religi atau disakralkan oleh
dengan keagamaan atau kepercayaan masyarakat tertentu. Motif batik larangan
tertentu. Sakral berarti suci, keramat, juga merupakan contoh motif batik dari
berkaitan dengan religi (Muhammad, 2013). keraton yang disakralkan. Penyakralan
Motif sakral wujudnya umumnya berupa benda ataupun simbol-simbol tersebut
simbol-simbol yang bermakna suci bagi bukan sebagai perilaku syirik atau
masyarakat pendukungnya. Simbol-simbol menyekutukan Tuhan dengan benda, tetapi
bermakna yang dijunjung tinggi sebagai justru merupakan perilaku kehati-hatian dan
religi sehingga memiliki sensitivitas yang penghormatan terhadap simbol-simbol
rawan bersinggungan dengan isu-isu SARA religi itu sendiri. Penerapan motif sakral
(suku, agama, ras, dan antar golongan). pada desain alas kaki dapat diartikan
sebagai bentuk penghinaan terhadap
masyarakat pendukung religi ataupun
budaya tersebut. Hal ini dapat memicu
konflik dalam masyarakat, oleh karena itu
sebaiknya tidak menerapkan simbol-simbol
religi atau motif batik yang disakralkan
dalam desain alas kaki.

Melakukan Penggayaan (Stilasi) dari


Sumber Inspirasi Motif Batik Larangan
Gambar 5. Motif Besurek dari Bengkulu yang Seniman ataupun desainer memiliki
masih disakralkan (Putro, 2016).
kemampuan kreatif sebagai solusi dalam
menyelesaikan gambar kerja (desain)
Gambar 5 adalah Motif Besurek dari
maupun permasalahan pekerjaan dalam
Bengkulu, merupakan contoh motif batik
lingkup yang lebih luas. Ketika menghadapi

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
180
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

sumber ide penciptaan karya yang dilarang proses berkreasi tersebut, berkarya
untuk ditiru, maka dengan kreativitas yang seni/desain dapat dilakukan dengan niteni,
dimiliki, seorang seniman atau desainer nirokke, nambahi (mengingat, meniru,
dapat mengolah bentuk-bentuk visual dari menambahi). Berkarya seni dengan
objek sumber inspirasi dan kemudian mengingat bentuk/teknik yang ingin ditiru,
distilasi menjadi bentuk-bentuk baru yang dilanjutkan menirukan dahulu/belajar, baru
sudah memiliki pembeda dari objek kemudian menambahi/inovasi untuk
sebelumnya. Stilasi adalah membuat bentuk menghasilkan karya seni/desain baru. Alur
baru dengan gaya (style) yang berbeda merancang desain sebagai sebuah proses
(Susanto, 2018). Stilasi dapat menghasilkan pembelajaran ini merupakan salah satu
karya yang lebih sederhana, juga dapat konsep pembelajaran dari Ki Hadjar
menjadi lebih rumit, bahkan dapat menjadi Dewantara yang dipandang masih relevan
lebih indah dari objek sebelumnya. untuk diterapkan dalam berkreativitas dan
Pembedaan menjadi bentuk baru tersebut berinovasi karya seni/desain pada era
sudah tidak termasuk dalam penjiplakan sekarang ini.
karya HKI ataupun melanggar motif batik
larangan. Gambar 6 merupakan hasil stilasi Menghindari Penerapan Motif Batik
dari ide motif larangan menjadi motif baru Larangan
yang profan untuk aplikasi pada desain alas
kaki, sekilas karakter khas dari bentuk Motif
Parang masih terlihat dalam motif yang
baru.

Gambar 7. Contoh penerapan motif larangan


dalam desain sepatu yang melanggar nilai-
nilai kearifan lokal
Gambar 6. Stilasi dari ide motif larangan
menjadi motif baru yang profan untuk aplikasi Sudah secara jelas dapat dipahami
pada desain alas kaki bahwa motif batik larangan adalah motif-
motif batik yang penggunaannya terikat
Konsep berkreativitas seperti tersebut
dengan aturan-aturan tertentu di keraton,
di atas merupakan pengejawantahan
artinya masyarakat umum tidak boleh
pembelajaran untuk menemukan inovasi,
memakainya. Penerapan untuk fungsi
seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara
sebagai busana (bagian atas tubuh) pun
yaitu konsep “niteni, nirokke, nambahi”
tidak diperbolehkan, apalagi untuk
(Andayani, Subekti & Sari, 2021). Dalam
penerapan dalam desain alas kaki.

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 181
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

Walaupun ada pelanggaran baik secara melanggar norma hukum; (2) Penerapan
sengaja maupun karena ketidaktahuan motif batik profan; (3) Menghindari
desainer, maka tulisan ini diharapkan dapat penerapan motif batik sakral pada desain
menyadarkan para pelanggar, serta dapat alas kaki; (4) Melakukan penggayaan atau
memberi pengetahuan bagi yang belum stilasi dari sumber inspirasi motif batik
mengetahuinya. larangan; dan (5) Menghindari penerapan
Gambar 7 merupakan contoh motif batik larangan.
pelanggaran penerapan motif larangan
(Motif Parang) dalam desain alas kaki. Saran
Pelanggaran terhadap motif larangan Desainer dapat berperan dalam
seperti ini sama artinya produsen siap untuk menjaga keharmonisan masyarakat dengan
ditolak oleh konsumen yang memahami berkarya desain yang menghargai dan
budaya Jawa. Hal ini akan lebih berimbas menghormati kearifan lokal. Penerapan
karena masyarakat Jawa merupakan motif batik tradisional dalam desain alas
konsumen terbesar di Indonesia (Pitoyo, & kaki perlu memperhatikan hal-hal di atas,
Triwahyudi, 2017; Utami, 2017). Penolakan untuk menghindari permasalahan hukum,
oleh konsumen tentu merupakan hal yang boikot produk, produk tidak laku, dan lain
dihindari oleh produsen. sebagainya yang dapat merugikan
produsen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan KONTRIBUSI PENULIS
Karakteristik yang kuat dari motif-motif Edi Eskak dan Heru Budi Susanto
batik tradisional telah banyak menginspirasi adalah penulis sekaligus kontributor utama
desainer untuk diterapkan dalam berbagai dalam tulisan: Penerapan Motif Batik
desain produk baru, salah satunya adalah Tradisional dalam Desain Alas Kaki ini.
penerapan dalam desain alas kaki. Motif
batik memiliki keindahan dan keluwesan UCAPAN TERIMA KASIH
untuk diterapkan pada berbagai produk Terimakasih kepada Balai Besar
baru, dan dapat meningkatkan keindahan Kerajinan dan Batik (BBKB), Balai
serta identitas yang kuat pada karya desain. Pengembangan Industri Persepatuan
Indonesia (BPIPI), Politeknik ATK Yogyakarta,
Namun secara khusus, penerapannya dalam
serta pihak-pihak yang memberikan
desain alas kaki perlu memperhatikan etika
informasi dan koreksi untuk bahan
sehingga terhindar dari pelanggaran penulisan ini.
terhadap HKI maupun norma-norma sosial.
Pelanggaran oleh desainer terhadap HKI DAFTAR PUSTAKA
dan norma sosial masih kerap terjadi, hal ini Andayani, A., Subekti, H., & Sari, D. A. (2021).
Relevansi Konsep Niteni, Nirokke, Nambahi
disebabkan karena ketidaktahuan dan
dari Ajaran Ki Hajar Dewantara dalam
kelalaian desainer. Oleh karena itu, ketika Konteks Pembelajaran Sains. Pensa: E-
menerapkan motif batik dalam desain alas Jurnal Pendidikan Sains, 9(1), 1–6. Retrieved
kaki, perlu memperhatikan hal-hal sebagai from
berikut: (1) Penerapan motif yang tidak

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
182
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/pens Muslich, K. S. (2010). Moral Islam dalam serat


a/article/view/38483% Piwulang Pakubuwana IV. Yogyakarta:
BSN. (2019). Batik-Pengertian dan Istilah, SNI Global Pustaka Utama.
0239-2019. Jakarta, Republik Indonesia: Ningrum, N. S. (2020). Kenali Batik Parang Batik
Badan Standardisasi Nasional. Larangan Keraton Surakarta dan
Condronegoro, M. (1995). Busana Adat Keraton Yogyakarta. Retrieved July 6, 2020, from
Yogyakarta 1877-1937. Yogyakarta: Pustaka https://www.semarangpos.com/kenali-
Satama. batik-parang-batik-larangan-keraton-
Condronegoro, M. (2010). Memahami Busana surakarta-dan-yogyakarta-1044245
Adat Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Perwita, T. A. (2013). Kajian Batik Larangan Pola
Yayasan Pustaka Nusatama. Parang Barong di Keraton Kasunanan
Fahreza, S. K. (2020). Strategi Pemasaran Untuk Surakarta Hadiningrat. Universitas Sebelas
Sepatu Batik Four In One Multifungsi Maret. Retrieved from
(Setiawan Mungil) dalam Meningkatkan https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/39
Volume Penjualan. Universitas 810/Kajian-batik-larangan-pola-parang-
Muhammadiyah Malang. Retrieved from barong-di-Keraton-Kasunanan-Surakarta-
https://eprints.umm.ac.id/67198 Hadiningrat
Gustami, S. (2008). Nukilan Seni Ornamen Prasetyo, A. (2010). Batik Budaya Agung Warisan
Indonesia. Yogyakarta: Arindo Nusa Media. Budaya Dunia. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Hamzuri. (1994). Batik Klasik-Classical Batik. Putro, Y. H. (2016). Batik Bengkulu Kain Besurek,
Jakarta: Djambatan. Peninggalan Sentot Alibasyah? Retrieved
Huey, S. & Proctor, R. (2011). New Shoe: July 7, 2021, from
Contemporary Footwear Design. London: https://www.liputan6.com/regional/read/2
Laurence King Publishing Ltd. 615976/batik-bengkulu-kain-besurek-
Indreswari, A. G. (2014). Batik Larangan Di peninggalan-sentot-alibasyah
Keraton Yogyakarta Pada Masa Raffles, T. S. (2014). The History of Java.
Pemerintahan Sri Sultan HB VII. Corak, 3(2), Yogyakarta: Narasi.
169–178. Rahmawati, S. M. (2014). Desain Alas Kaki Casual
Kementerian Perindustrian. (2011). Produksi untuk Anak Perempuan Usia 8-12 Tahun
Batik Terus Meningkat. Retrieved July 5, dengan Eksplorasi dan Aplikasi Motif Batik
2021, from Anak. Institut Teknologi Sepuluh Nopembe,
https://kemenperin.go.id/artikel/872/Suara Surabaya. Retrieved from
karya-online.com, 3 Agustus 2011 https://repository.its.ac.id/id/eprint/81961
Kusrianto, A. (2013). Batik, Filosofi, Motif, dan Salma, I.R., & Eskak, E. (2019). The Existence of
Kegunaan. Yogyakarta: Andy Offset. Batik in the Digital Era. In S. G. Kaburuan, E.
Mastur, S. K. (2019). Perlindungan Hak Cipta R., Nainggolan O. T. P., Hapsari, P. D. and
Motif Batik Lasem dalam Undang-Undang Gunanto (Ed.), The 1st International
Nomor 28 Tahun 2014. Jurnal Ilmiah Ilmu conference on intermedia arts and creative
Hukum QISTIE, 12(2), 150–165. technology (CREATIVEARTS 2019) (pp. 40–
Melani, A. (2019). Sandal Batik dari Magetan 49). Yogyakarta: SCITEPRESS – Science and
Tembus Pasar Timur Tengah. Retrieved July Technology Publications, Lda: Portugal.
6, 2021, from https://doi.org/10.5220/000852600040004
https://surabaya.liputan6.com/read/405149 9
6/video-sandal-batik-dari-magetan- Salma, I. R., &, & Eskak, E. (2012). Redesain Motif
tembus-pasar-timur-tengah Batik Tradisional Berorientasi Pasar. In
Muhammad, N. (2013). Memahami Konsep Pengembangan Teknologi Manufaktur
Sakral dan Profan dalam Agama-Agama. untuk Menunjang Penguatan Daya Saing
Jurnal Substantia, 15(2), 268–280. Retrieved Bangsa (pp. A31–A35). Yogyakarta:
from file:///C:/Users/user/Downloads/seni Fakultas Teknologi Industri Universitas
profan.pdf Islam Indonesia.
Salma, I. R. (2020). Inspirasi Kearifan Lokal dalam
Pengembangan Motif Batik Nusantara. In

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki 183
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah. Vol. 38 No. 2, Desember 2021, hal. 173 - 184

Prosiding Seminar Nasional Industri


Kerajinan dan Batik 2020 (p. A.10).
Yogyakarta: Balai Besar Kerajinan dan Batik.
Retrieved from
https://proceeding.bbkb.web.id/index.php/
SNBK/article/view/54/38
Sartika, D., Eskak, E., & Sunarya, I. K. (2017). Uma
Lengge dalam Kreasi Batik Bima. Dinamika
Kerajinan Dan Batik, 34(2), 73–82.
Susanto, M. (2011). Diksi Rupa. Yogyakarta:
DictiArtLab.
Susanto, S. K. S. (1973). Seni Kerajinan Batik
Indonesia. Yogyakarta: Balai Penyelidikan
Batik.
Susanto, S. K. S. (2018). Seni Kerajinan Batik
Indonesia. (Tim Ahli BBKB, Ed.). Yogyakarta:
Penerbit ANDI.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta (2014). Republik Indonesia.
Widyastuti, S. H. (2016). Latar Sosial dan Politik
Penggunaan Busana Adat dan Tatakrama
di Surakarta dalam Serat Tatakrama
Kedhaton. Jurna Ikabudi, 4(10), 1–10.
https://doi.org/DOI:10.21831/ikadbudi.v4i1
0.12017
Wulandari, E. A., & Salma, I. R. (2019). Motif Ukir
dalam Kreasi Batik Khas Jepara. Dinamika
Kerajinan dan Batik, 36(1), 17–34.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22322/
dkb.v36i1.4777.g4020
Yoga, W. B. S., & Eskak, E. (2015). Ukiran Bali
dalam Kreasi Gitar Elektrik. Dinamika
Kerajinan dan Batik, 32(2), 117–126.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22322/
dkb.v32i2.1367.g1156

Eskak, E, dkk. Etika Penerapan Motif Batik Tradisional Dalam Desain Alas Kaki
184

Anda mungkin juga menyukai