Desain Batik
Pendahuluan:
- Konsep Rintang Warna
- Tradisi Batik
- Batik sebagai Ungkapan Falsafah Hidup
01
Fakultas Desain Desain Produk A71196CA Nina Maftukha
dan Seni Kreatif Waridah Muthi’ah
Abstract Kompetensi
Ulasan dan referensi tentang konsep Mahasiswa memahami tentang konsep
merintang warna, tradisi lama batik, merintang warna, tradisi lama batik,
serta batik sebagai ungkapan sebuah serta batik sebagai ungkapan sebuah
falsafah hidup falsafah hidup
Pembahasan
RAGAM TEKSTIL NUSANTARA
Dengan kekayaan suku bangsanya yang beraneka ragam, Nusantara menjadi tempat
tumbuh dan berkembangnya berbagai macam produk budaya, termasuk di antaranya kain
atau cita. Sebagai sandang, kain merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan
manusia. Akan tetapi, dalam kebudayaan tradisional, kain tak hanya dipandang sekadar
sebagai penahan tubuh dari paparan cuaca atau sebagai penutup aurat. Kain bisa memiliki
beragam makna dan nilai, mulai dari makna yang melekat pada hakikat kain itu sendiri,
hingga makna yang dikenakan pada kain tersebut oleh adat atau kebudayaan tertentu.
Makna dan nilai kain di Nusantara tidak hanya dilihat dari material pembentuknya. Nilai kain
dapat dipengaruhi oleh hal-hal lain seperti strata sosial sang pemilik, waktu pemakaian,
teknik pembuatan, serta nilai-nilai lain yang bersifat transenden. Dalam banyak kasus, nilai-
nilai ini ditunjukkan oleh desain kain itu sendiri, baik dari segi warna maupun ragam hias.
Dalam khasanah tekstil Nusantara, batik bukan satu-satunya teknik tekstil yang memiliki
sejarah panjang dan nilai budaya yang tinggi. Selain batik, Nusantara juga kaya akan teknik
hias tekstil lain, baik yang termasuk ke dalam golongan reka latar (surface design) maupun
reka rakit (structure design).
Pada dasarnya, perbedaan kedua golongan tersebut lebih ke arah kapan desain motif
tersebut dibuat. Jika penerapan teknik reka latar adalah pada helain kain yang sudah jadi,
penerapan teknik reka rakit adalah pada kain yang belum jadi.
Secara global, teknik reka latar dibagi menjadi teknik hias menggunakan benang
(needlework), lukis (painting), cetak (printing), dan rintang warna. Yang termasuk ke dalam
teknik needlework adalah teknik sulam (embroidery), kerut (smocking, shirring), tempel
(applique), patchwork, dan lain sebagainya. Teknik lukis mencakup teknik lukis langsung di
atas kain (freehand painting) dan teknik lukis menggunakan airbrush (airbrush painting).
Adapun stensil digolongkan ke dalam teknik cetak bersama dengan teknik cetak saring
(sablon), cap, dan cetak menggunakan mesin. Sedangkan teknik rintang warna adalah eknik
yang menggunakan media lain sebagai penghalang masuknya pewarna pada sebagian
kain. Yang termasuk ke dalam teknik ini adalah batik malam (hot-wax batik), batik malam
dingin (biasa dikerjakan pada sutra), dan ikat celup (tie dye).
k
a
e
R
T
K
E
t
i
k
r
a
R
L
c
t
a
f
r
u
S
( e
r
u
t
c
I
T
S
g
i
s
e
DLn
)
PENGERTIAN BATIK
Secara etimologi, kata ‘batik’ berasal dari kata ‘tik’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘kecil’.
Dalam Kesusasteraan Jawa Kuno dan Pertengahan, ada kitab berjudul “Serat Nitik” yang
menerangkan proses batik, dihubungkan dengan makna filsafat. Setelah Keraton Kartosuro
pindah ke Surakarta, muncul istilah “mbatik” dari istilah “ngembat titik” yang berarti membuat
titik. Melihat akar kata ini, bisa disimpulkan bahwa kata ‘batik’ dapat diartikan sebagai
gambar yang serba rumit (Riyanto, 1997)
Seperti dikemukakan oleh Hamzuri (1981:1), batik adalah suatu cara membuat desain pada
kain dengan cara menutup bagian-bagian tertentu dari kain dengan malam lebah. Senada
dengan pengertian itu, hasil Konsensus Nasional 12 Maret 1996 menetapkan bahwa batik
dijabarkan sebagai karya seni rupa pada kain, dengan pewarnaan rintang, yang
menggunakan lilin batik sebagai perintang warna.
Dari pengertian di atas, batik dapat diartikan sebagai sebuah teknik hias pada permukaan
2012 Desain Batik PusatBahan Ajar dan eLearning
Waridah Muthi’ah, M.Ds http://www.mercubuana.ac.id
Dalam konteks tekstil dan ragam hias, rintang warna diartikan sebagai suatu teknik untuk
mengaplikasikan suatu media perintang tahan air pada kain atau benang dalam pola
tertentu dengan tujuan untuk menghalangi masuknya zat warna pada bidang tersebut,
sehingga bagian yang tak terkena warna tersebut membentuk motif atau pola tertentu.
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa batik adalah satu dari sekian teknik rintang warna
yang berkembang di Nusantara. Selain batik, dalam cakupan teknik reka latar, terdapat
teknik lain seperti ikat celup, batik malam dingin, serta teknik proto-batik. Sedangkan dalam
cakupan reka rakit, yang termasuk ke dalam teknik rintang warna adalah teknik tenun ikat.
Teknik ikat celup (tie dye) berkembang di berbagai belahan dunia dengan istilah
yang berbeda-beda. Di India, teknik ini dikenal sebagai bandhani, sedangkan kain
yang dihasilkan dikenal dengan nama bandhana. Di Jepang, berkembang teknik ikat
celup yang disebut sebagai shibori. Di Indonesia sendiri, terdapat berbagai istilah
untuk menyebut teknik ini dan kain yang dihasilkan, misalnya jumputan, pelangi, dan
sasirangan (Kalimantan).
Pada dasarnya, teknik ikat celup melibatkan dua teknik, yakni teknik dasar untuk
memanipulasi bentuk permukaan kain (melipat, memuntir, mengusutkan,
menggulung, menyelipkan benda lain) serta teknik untuk mengaplikasikan material
perintang, baik untuk menahan bentuk bahan yang dihasilkan setelah proses
pertama ataupun untuk benar-benar menahan masuknya pewarna pada kain
(membungkus, mengikat, melilit, menjahit). Kombinasi kedua teknik tersebut dapat
menghasilkan beragam kemungkinan motif.
Lilin dingin digunakan sebagai media perintang pada pembuatan lukis sutra.
Berbeda dengan malam panas (malam kuning/malam lebah) yang digunakan pada
batik tulis atau cap biasa, malam dingin yang disebut gutta ini tidak perlu
dipanaskan untuk dapat ditorehkan ke atas permukaan kain. Namun, gutta dapat
menghasilkan efek yang sama, yakni menahan masuknya warna pada kain. Dalam
lukis sutra, gutta sering dipakai untuk membuat outline motif, dikombinasikan
dengan teknik pewarnaan lukis, sehingga menghasilkan motif akhir yang indah dan
berwarna-warni.
Proto Batik
Teknik pembatikan praklasik yang tidak menggunakan malam lebah atau malam
kuning sebagai perintang warna disebut sebagai teknik proto-batik (Hasanuddin,
2001). Medium yang digunakan dapat beragam, asalkan masih memiliki sifat dan
fungsi yang sama, yakni dapat menahan masuknya warna. Medium perintang yang
dapat dan lazim digunakan antara lain bubur/pasta ketan dan ekstrak kentang.
Adapun alat yang digunakan bukan canting tembaga, melainkan kuas bambu atau
ranting kayu, sehingga sejajar dengan teknik colet.
Di Indonesia, teknik seperti ini hadir pada kain Galumpang di Sulawesi, Sarita dan
Ma’a (Manwa) di Toraja, Simbut di Banten, dan ma’a. Teknik-teknik ini terbilang tua,
banyak di antaranya yang disinyalir sudah punah atau sangat langka. Kain Simbut,
misalnya, yang disinyalir sudah ada sejak Abad ke-18 M (Heringa, 2000).
Sedangkan sarita diperkirakan berasal dari sebelum abad ke-18. Kain sarita tertua
yang ada saat ini berasal dari tahun 1880, yang terpajang di Museum Kete Kesu,
2012 Desain Batik PusatBahan Ajar dan eLearning
Waridah Muthi’ah, M.Ds http://www.mercubuana.ac.id
Sarita menjadi salah satu perlengkapan upacara adat di Toraja. Kain berwarna
terang dianggap sebagai pembawa rezeki, yang acap digunakan untuk acara
pernikahan atau kelahiran bayi. Sedangkan sarita berwarna gelap digunakan saat
rambusolo (upacara kematian). Kain ini biasa dibentang di atas peti mati,
disampirkan di atas tongkonan (rumah adat Toraja) keluarga yang berduka, dan dari
ujung tongkonan kain diikatkan ke leher kerbau yang akan dipotong. Dipercaya
sarita menjadi jembatan orang yang meninggal menuju ke dunia roh nenek moyang.
Tak hanya di Indonesia, teknik serupa juga pernah berkembang di Jepang dan Cina,
yakni dalam proses serupa-stensil untuk membuat motif lukis dan cap pada kain. Di
Jepang, dikenal teknik batik yang disebut rozome/roketsuzome, yang juga dikenal
dengan nama rokechi.
Rokechi merupakan teknik cap malam pada kain yang diperkirakan berasal dari
sekitar abad ke-7 dan 8 M. Teknik ini dianggap kurang popular, sehingga sempat
menghilang dan baru kembali digunakan pada sekitar awal abad ke-17 sebagai
teknik stensil. Alih-alih menggunakan canting seperti teknik batik, metode ini
menggunakan berbagai jenis kuas untuk menghasilkan efek yang beragam. Kuas
yang dipakai di antaranya Rofude (untuk mengoleskan malam panas ke kain)
Surikomi (untuk mencampur warna), irosashi (untuk membuat detail kecil), Jizome
atau Hikizome (kuas besar dan datar untuk membuat latar). Penggunaan kuas
memungkinkan efek warna yang bergradasi. Selain kuas, teknik ini juga dapat
menggunakan stensil atau roller.
Selain rokechi, dikenal juga teknik rintang warna menggunakan pasta beras ketan
yang disebut sebagai tsutsugaki. Pasta ioni diaplikasikan melalui semacam
tabung/pipet (tsutsu). Jika menggunakan stensil, teknik ini disebut sebagai
katazome. Teknik ini digunakan untuk membuat ‘furoshiki’ (kain pembungkus),
futonji (sprei futon), tansu (pelapis furniture), dan pakaian seperti kimono.
(Fujioka, 1989)
Tenun Ikat
Tenun ikat memiliki sejarah dan tradisi yang panjang di Nusantara. Teknik ini
tersebar di berbagai pulau dan suku bangsa, dengan berbagai variasi mulai dari
teknik hingga motif yang dihasilkan.
Untuk mengerti mengenai teknik tenun ikat, terlebih dahulu perlu memahami
mengenai struktur dasar kain. Kain tenun biasanya terdiri dari dua struktur benang,
yakni lungsi dan pakan. Sebutan lungsi dan pakan ini dilihat dari posisi benang pada
saat dipasang di alat tenun. Lungsi (weft thread) adalah benang yang terpasang di
alat tenun, dan membentuk struktur vertikal kain, sedangkan pakan (warp thread)
adalah benang yang terpasang pada teropong, dan membentuk struktur horizontal
kain saat ditenunkan ke benang-benang lungsi.
Teknik tenun tradisional di Indonesia umumnya menggunakan tiga jenis alat tenun,
yakni:
Alat tenun gendong adalah jenis alat tenun paling tradisional yang biasa ditemukan
di daerah Pasifik. Alat tenun yang termasuk ke dalam kategori alat tenun horizontal
ini berupa sebentuk rangka sederhana yang bagian ujungnya dapat ditalikan pada
kayu atau tonggak lain, sementara ujung satunya lagi dipasang pada tubuh
penenun. Bentuk ini disebut sebagai alat tenun gendong karena keberadaan balok
melintang yang berfungsi sebagai penahan di punggung penenun, yang juga
memiliki fungsi untuk menjaga ketetatan kain. Alat tenun seperti ini biasa ditemukan
pada berbagai daerah di Indonesia, khususnya di pulau-pulau dan suku-suku
pedalaman seperti Kalimantan, NTT, NTB, Alor, Lombok, dan lain sebagainya.
Alat tenun gedok merupakan pengembangan dari alat tenun gendong. Berbeda
dengan alat tenun gendong, alat tenun gedok terbuat dari rangka kayu yang lebih
permanen, biasanya diletakkan secara horizontal di atas lantai. Nama “gedok”
berasal dari bunyi yang dihasilkan oleh alat tenun pada saat memadatkan kain.
Sama seperti alat tenun gendong, alat tenun ini juga masih mengandalkan peran
penenun untuk menjaga keketatan kain, yang diperlihatkan oleh keberadaan kayu
penyangga punggung. Baik pada pemakaian alat tenun gendok maupun gedok,
penenun duduk berselonjor di lantai.
Adapun alat tenun bukan mesin berkembang pada era industrialisasi. Alat tenun ini
berbentuk kotak, dengan Berbeda dengan kedua alat tenun sebelumnya, kendati
2012 Desain Batik PusatBahan Ajar dan eLearning
Waridah Muthi’ah, M.Ds http://www.mercubuana.ac.id
Berbeda dengan teknik-teknik rintang warna lain yang sebelumnya dibahas, tenun
ikat merupakan teknik reka rakit (structure design). Dalam teknik ini, motif dibuat
pada benang-benang penjalin tenunan (benang lungsi dan/atau pakan), yang akan
tampak begitu kain selesai ditenun.
Pada teknik tenun ikat tradisional, benang-benang lusi atau pakan diikat dengan
material tahan air, baik berupa tali dari serat alam ataupun sintetis (tali rafia),
membentuk motif atau pola tertentu. Setelah itu, benang akan dicelup dalam larutan
pewarna dan dijemur. Setelah ikatan dibuka, benang-benang yang sudah bermotif
ini akan dipasang sesuai pada tempatnya dalam struktur tenunan, entah di alat
tenun untuk menempati peran sebagai benang lungsi (tenun ikat lungsi), pada
teropong untuk menempati peran sebagai benang pakan (tenun ikat pakan), atau
keduanya (tenun ikat ganda). Proses berikutnya adalah menenun. Dalam teknik ini,
biasanya struktur tenunan berupa tenun polos (1-1)
Secara global, tenun ikat dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan
tekniknya, yakni tenun ikat pakan, tenun ikat lungsi, dan tenun ikat ganda.
Pada teknik ini, ikatan diterapkan pada benang lungsi, yang kemudian akan
dipasang pada alat tenun.
Berbeda dengan teknik tenun lungsi, pada teknik ini, ikatan diterapkan pada
benang pakan, yang kemudian akan dimasukkan ke dalam teropong.
Pada tenun ikat ganda, ikatan diterapkan pada benang pakan dan lungsi.
Kombinasi dari keduanya akan menghasilkan motif. sehingga terkesan lebih
halus.
Sebagaimana disebutkan dalam Groeneveldt (1880), catatan tertua mengenai kain hias di
Nusantara ditemukan dalam Sejarah Dinasti Liang (502-557) dan Sejarah Baru Dinasti
T’ang (618-906) yang menyebutkan kain bergambar bunga yang dipakai masyarakat
Nusantara. Kendati masih belum jelas bahwa kain yang disebutkan di sana dibuat dengan
teknik batik, jenis kain yang serupa ditemukan berulang kali dalam catatan-catatan
perjalanan bangsa Tionghoa pada sekitar abad ke-10 hingga ke-15. Bukti yang lebih
signifikan ditemukan dalam kitab Yingya Shenglan (1416), Xingcha Shenglan (1436), dan
Sejarah Dinasti Ming (1368-1643), yang selain menyinggung perihal kain bermotif bunga,
juga menyebutkan lilin malam sebagai produk yang dihasilkan oleh negeri yang diperkirakan
berada di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini kian diperkuat oleh seni arca era Klasik Muda
yang menggambarkan motif hias pada kain yang kemungkinan dibuat dengan teknik batik.
Diperkirakan, pada masa ini, batik yang dihasilkan hanya menggunakan satu warna dasar
dengan pewarna alam (Hasanuddin, 2001)
Tak hanya dalam catatan Tionghoa, sumber Indonesia seperti prasasti juga menyebutkan
tanda-tanda keberadaan batik praklasik, meskipun secara tersirat. Hal ini terlihat dari
penyebutkan jenis-jenis sandang, alat dan bahan pembuat batik, serta pekerjaan
masyarakat yang berhubungan dengan proses pembuatan batik. Secara lengkap, beberapa
catatan dan prasasti yang menyebutkan tanda-tanda keberadaan batik pada era klasik
Kerajaan Hindu-Buddha (abad ke-6 hingga 15 Masehi), sebagaimana dinyatakan oleh
Hasanuddin (2004), dapat dirangkum sebagai berikut:
• Pekerjaan
• Beragam sandang
» Sima: daerah bebas pajak yang tidak boleh dimasuki mangalila drwya haji
(Sofwan Noerwidi: 2007)
– Impor kain India wdihan bwat klin putih (Prasasti Juruhan 876 M), kain bwat
waitan (Prasasti Taji 901 M), kain bwat lor (Prasasti Saranan 929 M) (hal.202)
Batik tidak hanya dibuat dengan media malam sebagai perintang. Pada teknik proto-batik
seperti pada kain sarita dan maa, ragam hias dibuat dengan cara melukiskan media
perintang bubur ketan, sebelum dikeringkan dan dicelup pewarna (Hasanuddin, 2001).
Teknik semacam ini juga ditemukan di Jepang.
Daftar Pustaka
Heringa, Rens & Herman C. Veldhuisen. 1996. Fabric of Enchantment: Batik from The North
Coast of Java. Los Angeles: Los Angeles County Museum of Art in association with
Weatherhill Inc., New York.
Hasanudin. 2004. Disertasi Kajian Media (Bahan dan Proses) pada Batik Praklasik di
Pesisiran Pulau Jawa (Studi Kasus: Batik Pekalongan). Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Groeneveldt, W.P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Taman Mini Indonesia Indah. (1997). Seri Buku Indonesia Indah “Batik”. Jakarta: Yayasan
Harapan Kita.
Taman Mini Indonesia Indah. (1997). Seri Buku Indonesia Indah “Tenunan Indonesia”.
Jakarta: Yayasan Harapan Kita.
Taman Mini Indonesia Indah. (1997). Seri Buku Indonesia Indah “Kain-kain Non Tenun”.
Jakarta: Yayasan Harapan Kita.
Wilson, Kax. Japanese Textile History dalam History of Textiles. Diambil dari
http://char.txa.cornell.edu/japantex.htm. Diunggah pada 19 Oktober 2016.
SUMBER GAMBAR
Endropoetro, Terry. (2016). Sarita, Batik Jelita dari Toraja. [online]. Negeri {Kita} Sendiri.
Blog. Diambil dari http://blog.negerisendiri.com/blogpage.php?judul=196. Diunggah pada 19
Oktober 2016.
Fujioka, Mamoru. (1989). The Best in International Textile Design - Japanese Style: Textile
Dyeing Patterns. Kyoto Shoin