Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebangkrutan

Kebangkrutan secara umum pada penelitian ini diungkapkan pada

Undang-Undang No. 4 tahun 1998 yaitu, adalah keadaan dimana suatu institusi

dinyatakan oleh keputusan pengadilan bila debitur memiliki dua atau lebih

kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan

dapat ditagih. Kebangkrutan secara undang-undang ini, seperti yang diungkapkan

oleh Altman pada tahun 1968 mengenai penggolongan Financial Distress

kedalam empat istilah umum, diantara lain:

a. Economic Failure

Terjadi ketika pendapatan perusahaan tidak dapat menutup total biaya

termasuk biaya modal. Usaha yang mengalami hal tersebut dapat

meneruskan operasinya sepanjang kreditur berkeinginan untuk

menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat

pengembalian (return) di bawah tingkat bunga pasar

b. Business Failure

Seringkali digunakan untuk menggambarkan berbagai macam kondisi

bisnis yang tidak memuaskan. Business Failure mengacu pada sebuah

perusahaan berhenti beroperasi karena ketidakmampuannya untuk

menghasilnya keuntungan atau mendatangkan penghasilan yang cukup

untuk menutupi pengeluaran.

11
12

c. Insolvency

Dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1) Technical Insolvency, merupakan kondisi dimana perusahaan tidak

mampu memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo sebagai akibat

dari ketidakcukupan arus kas.

2) Insolvency in bankcruptcy sense, merupakan kondisi dimana total

kewajiban lebih besar dari nilai pasar total asset perusahaan.

d. Legal Bankcruptcy

Sebuah bentuk formal kebangkrutan dan telah disahkan secara hukum.

Kebangkrutan/Kepailitan menurut Ridwan S. Sundjaja et al. (2012)

kepailitan suatu perusahaan tidak terjadi secara mendadak, tetapi dimulai dari

kesulitan keuangan terlebih dahulu sebagai pertanda akan terjadinya suatu

kepailitan perusahaan. Kemudian dalam bukunya tersebut beliau mencatumkan

pendapat dari Ross (2008), dimana kesulitan keuangan adalah situasi dimana arus

kas operasi tidak mencukupi untuk membiayai kewajiban sekarang yang ada

seperti membayar hutang usaha atau membayar bunga, dan hal ini memaksa

perusahaan untuk mengambil tindakan perbaikan.

Selanjutnya menurut Almilia dan Herdiningtyas (2005) Financial Distress

merupakan keadaan dimana perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi

kewajiban-kewajiban kepada debitur karena perusahaan mengalami kekurangan

dan ketidakcukupan dana, dimana total kewajiban lebih besar daripada total asset,

serta tidak dapat mencapai tujuan ekonomi perusahaan; yaitu profit.


13

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli pada paragraf sebelumnya, maka

dapat disimpulkan bahwa secara general kebangkrutan adalah sebuah puncak dari

kegagalan dalam mengelola suatu usaha yang disebabkan oleh financial distress

(kesulitan keuangan) yang menahun, sehingga memaksa perusahaan untuk

memberhentikan kegiatan operasionalnya. Kemudian Financial Distress itu

sendiri merupakan suatu fenomena yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan,

dimana kinerja perusahaan mengalami penurunan yang disebabkan oleh faktor

internal dan eksternal sehingga perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban-

kewajibannya.

Menurut Damodaran (2001) dalam Chalendra (2013:24) faktor penyebab

financial distress dari dalam perusahaan lebih bersifat mikro, yaitu diantara lain:

1. Kesulitan arus kas

Terjadi ketka penerimaan pendapatan perusahaan dari hasil operasi

perusahaan tidak cukup menutupi beban-beban usaha yang timbul atas

aktivitas operasi perusahaan. Kesulitan arus kas juga disebabkan

adanya kesalahan manajemen ketika mengelola aliran kas perusahaan

untuk pembayaran aktivitas perusahaan yang memperburuk kondisi

keuangan perusahaan.

2. Besarnya jumlah hutang

Kebijakan pengambilan hutang perusahaan untuk menutupi biaya

yang timbul akibat operasi perusahaan untuk menutupi biaya yang

timbul akibat operasi perusahaan akan menimbulkan kewajiban bagi

perusahaan untuk mengembalikan hutang di masa depan.


14

3. Kerugian dalam kegiatan operasional perusahaan selama beberapa

tahun

Kerugian ini menimbulkan arus kas negatif dalam perusahaan. Hal

ini dapat terjadi karena beban operasional lebih besar dari pendapatan

yang diterima perusahaan.

Kemudian faktor eksternal perusahaan lebih bersifat makro, dan cakupannya lebih

luas. Faktor eksternal ini berupa kebijakan pemerintah yang dapat menambah

beban usaha yang di tanggung perusahaan, misalnya tarif pajak atau pada kasus

penelitian ini adalah tarif cukai rokok yang dapat menambah beban perusahaan.

Selain itu masih ada kebijakan suku bunga pinjaman yang menungkat,

menyebabkan beban bunga yang ditanggung perusahaan meningkat.

Sedangkan dalam kaitannya dengan penelitian ini, variable kebangkrutan

menjadi sebuah perhitungan financial distress karena erat kaitannya dengan

kinerja perusahaan yang dapat diukur melalui sebuah proses analisis laporan

keuangan menggunakan rasio keuangan.

Menurut Bernstein (1983:3) Analisis laporan keuangan mencakup

penerapan metode dan teknik analisis untuk laporan keuangan dan data lainnya

untuk melihat dari laporan itu ukuran-ukuran dan hubungan tertentu yang sangat

berguna dalam pengambilan keputusan. Kemudian Bernstein (1983) pun

mengemukakan tujuan analisis laporan keuangan yaitu, screening, forecasting,

diagnosis, evaluation dan understanding.

Melalui kegiatan forecasting, seorang analisis dapat meramalkan atau

mengestimasi kondisi keuangan perusahaan dimasa yang akan datang. Kemudian


15

pengertian kata “Estimasi” sendiri menurut kamus besar bahasa Indonsia

merupakan suatu “Perkiraan” atau kegiatan menduga-duga sesuatu hal yang akan

terjadi dimasa yang akan datang.

Maka dari itu menurut beberapa uraian dan pendapat para ahli pada

paragraf sebelumnya dapat disimpulkan bahwa suatu “Estimasi Kebangkrutan”

adalah suatu kegiatan meramalkan atau menduga suatu kebangkrutan atau dalam

penelitian ini kita sebut financial distress pada suatu perusahaan dimasa yang

akan datang.

2.1.1 Model Altman (Z-Score)

Model Altman (Z-Score) adalah model multivariate untuk memprediksi

kepailitan perusahaan. Edward Altman mengembangkan model skor Z (1968)

dengan menggunakan rasio laporan keuangan dan analisis diskriminan berganda

untuk memprediksi kepailitan bagi perusahaan manufaktur yang merupakan

perusahaan go public. Model ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1968 dan

dikembangkan dalam beberapa variasi pada tahun 1983. Model ini menggunakan

data akuntansi dan data pasar keuangan, dengan menggunakan teknik statistik,

model ini dapat membuat penerapan analisa laporan keuangan menjadi menarik.

Dalam menggunakan model ini dibutuhkan laporan keuangan yaitu neraca, daftar

laba rugi, data harga pasar saham (bagi perusahaan publik) sehingga model ini

mudah untuk dipahami dan diterapkan.


16

Rumus model Z-Score Altman yang pertama untuk perusahaan

manufaktur terbuka (Altman, 1968 dalam Ridwan S. Sundjaja 2012:213) sebagai

berikut:

Z (0) = 1,2 (X1) + 1,4(X2) + 3,3(X3) + 0,6 (X4) + 1,0(X5)

Dimana:

X1 = modal kerja / total aktiva

X2 = laba ditahan / total aktiva

X3 = laba sebelum bunga dan pajak / total aktiva

X4 = nilai pasar ekuitas / total kewajiban

X5 = penjualan / total aktiva

Z (0) = indeks kepailitan

Hasil dari perhitungan rumus diatas akan menghasilkan suatu nilai/skor

yang dikategorikan sebagai berikut:

Tabel 2.1
Z-Score dan Indikasinya

Z-Score Indikasi
<1,81 Perusahaan pailit
1,81<Z<2,99 Daerah ragu-ragu artinya ada kemungkinan kesalahan
mengklasifikasikan perusahaan atau perusahaan bisa pailit dan bisa
tidak pailit
>2,99 Perusahaan tidak pailit
Sumber : Altman, 1968 dalam Ridwan S. Sundjaja, 2012:214

2.1.1.1 Modal Kerja Terhadap Total Aktiva

Rasio ini menunjukan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan

modal kerja bersih dari keseluruhan total aktiva yang dimilikinya. Modal kerja
17

yang dimaksud disini adalah perbedaan antara aktiva lancar dikurangi pasiva

lancar. Rasio ini secara eksplisit mengukur likuiditas dibandingkan dengan

total aktiva perusahaan. (Ridwan Sundjaja : 2012)

𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎
𝑴𝒐𝒅𝒂𝒍 𝑲𝒆𝒓𝒋𝒂 𝑻𝒆𝒓𝒉𝒂𝒅𝒂𝒑 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑨𝒌𝒕𝒊𝒗𝒂 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎

2.1.1.2 Laba Ditahan Terhadap Total Aktiva

Rasio ini menunjukan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan

laba ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba ditahan merupakan laba yang

tidak dibagikan kepada para pemegang saham. Dengan kata lain, laba ditahan

menunjukan berapa banyak pendapatan perusahaan yang tidak dibayarkan

dalam bentuk deviden kepada para pemegang saham. Rasio ini mengukur

akumulasi laba atau rugi perusahaan dan secara implisit mencerminkan usia

perusahaan. Sebagai contoh perusahaan yang berumur relative muda

mempunyai rasio yang rendah. (Ridwan Sundjaja : 2012)

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐷𝑖𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛
𝑳𝒂𝒃𝒂 𝑫𝒊𝒕𝒂𝒉𝒂𝒏 𝑻𝒆𝒓𝒉𝒂𝒅𝒂𝒑 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑨𝒌𝒕𝒊𝒗𝒂 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎

2.1.1.3 Laba Sebelum Bunga dan Pajak Terhadap Total Aktiva

Rasio ini mengukur produktivitas yang sebenarnya dari aktiva

perusahaan yang diluari beban bunga dan pajak. Rasio ini sangat sesuai untuk

mempelajari kepailitan perusahaan karena keberadaan perusahaan didasarkan

pada daya beli dari aktivanya. Ketidakmampuan membayar pada perusahaan


18

yang pailit terjadi karena total kewajiban melebihi nilai wajar aktiva

perusahaan. (Ridwan Sundjaja : 2012)

𝑳𝒂𝒃𝒂 𝑺𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝑩𝒖𝒏𝒈𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝑷𝒂𝒋𝒂𝒌 𝑻𝒆𝒓𝒉𝒂𝒅𝒂𝒑 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑨𝒌𝒕𝒊𝒗𝒂 =

𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘


𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎

2.1.1.4 Nilai Pasar Ekuitas Terhadap Total Kewajiban

Dalam rasio ini ekuitas diukur oleh gabungan nilai pasar dari saham

perusahaan yang terdiri dari saham biasa dan saham preferen. Kewajiban

termasuk kewajiban jangka pendek dan jangka panjang. Rasio ini menunjukan

berapa banyak nilai aktiva perusahaan dapat menurun (yang diukur oleh nilai

pasar ekuitas dan hutang) sebelum kewajiban melebihi aktiva sehingga

perusahaan menjadi tidak mampu untuk membayar kewajibannya. (Ridwan

Sundjaja : 2012)

𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 𝑷𝒂𝒔𝒂𝒓 𝑬𝒌𝒖𝒊𝒕𝒂𝒔 𝑻𝒆𝒓𝒉𝒂𝒅𝒂𝒑 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑲𝒆𝒘𝒂𝒋𝒊𝒃𝒂𝒏 =

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑃𝑎𝑠𝑎𝑟 𝐸𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠


𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏𝑎𝑛

2.1.1.5 Penjualan Terhadap Total Aktiva

Rasio ini menggambarkan kemampuan aktiva perusahaan menghasilkan

penjualan. Ukuran ini juga mengukur kemampuan manajemen dalam

menghadapi persaingan. (Ridwan Sundjaja : 2012 )

𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛
𝑷𝒆𝒏𝒋𝒖𝒂𝒍𝒂𝒏 𝑻𝒆𝒓𝒉𝒂𝒅𝒂𝒑 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑨𝒌𝒕𝒊𝒗𝒂 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎
19

2.2 Harga Saham

2.2.1 Pengertian Saham

Fahmi (2012:94) menyebutkan bahwa saham adalah tanda bukti

penyertaan kepemilikan modal/dana pada perusahaan kertas yang tercantum

dengan nilai nominal, nama perusahaan dan diikuti dengan hak dan

kewajiban yang dijelaskan kepada setiap pemegangnya, persediaan yang siap

untuk dijual. Sedangkan menurut Tandelilin (2010:81), saham merupakan

surat bukti kepemilikan atas aset-aset perusahaan yang menerbitkan saham.

Dengan memiliki saham suatu perusahaan, maka investor akan mempunyai

hak terhadap pendapatan dan kekayaan perusahaan, setelah dikurangi dengan

pembayaran semua kewajiban perusahaan. Kemudian Bernstein (1995:197),

mengemukakan bahwa saham adalah selembar kertas yang menyatakan

kepemilikan dari sebagi perusahaan.

2.2.2 Jenis-Jenis Saham

Menurut Kasmir (2010:210), jenis-jenis saham ditinjau dalam

beberapa segi antara lain sebagai berikut:

a. Dari segi cara peralihannya

1. Saham Atas Unjuk (Bearer Stocks)

Merupakan saham yang tidak mempunyai nama atau tidak tertulis

nama pemilik dalam saham tersebut. Saham jenis mudah untuk

dialihkan kepada pihak lain diperlukan syarat dan prosedur

tertentu.

2. Saham Atas Nama (Registered Stocks)


20

Di dalam saham, tertulis nama pemilik saham tersebut dan untuk

dialihkan kepada pihak lain diperlukan syarat dan prosedur

tertentu.

b. Dari segi hak tagihnya

1. Saham Biasa (Common Stock)

Bagi pemilik saham ini hak untuk memperoleh deviden akan

didahulukan lebih dahulu kepada saham preferen. Begitu pula

dengan hak terhadap harta apabila perusahaan dilikuidasi.

2. Saham Preferen (Preffered Stock)

Merupakan saham yang memperoleh hak utama dalam deviden dan

harta apabila perusahaan dilikuidasi.

2.2.3 Harga Saham

Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006:5) yang dimaksud

dengan saham adalah sebagai tanda penyertaaan atau pemilikan seseorang

atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Sedangkan

menurut Husnan (2002:303) menyebutkan bahwa sekuritas (saham)

merupakan secarik kertas yang menunjukan hak pemodal (yaitu pihak yang

memiliki kertas tersebut) untuk memperoleh bagian dari prospek atau

kekayaan organisasi yang menerbitkan sekuritas tersebut dan berbagai

kondisi yang memungkinkan pemodal tersebut menjalankan haknya.

Menuru Hartono (2010:98) perkembangan harga saham merupakan

perubahan harga saham yang terjadi dipasar bursa yang ditentukan oleh

penawaran dan permintaan saham yang bersangkutan di pasar modal.


21

Selanjutnya Harga saham menurut Martono (2007:13) didefinisikan sebagai

refleksi dari keputusan-keputusan investasi, pendanaan (termasuk kebijakan

deviden) dan pengelolaan asset. Sedangkan menurut Kamus Istilah Akuntansi

karya Siegel & Shim (1999:441) yang diterjemahkan oleh Moh. Kurdi

mendefinisikan sebagai berikut:

“Harga saham merupakan tingkat harga saham equilibrium dimana


terdapat kesepakatan antara pembeli dan penjual pada pasar modal di
Bursa Efek”.

Adapun jenis-jenis harga saham menurut Widiotmojo (2005:54) jenis-jenis

harga saham adalah sebagai berikut:

a. Harga Nominal

Harga yang tercantum dalam sertifikat saham yang ditetap oleh emiten

untuk menilai setiap lembar saham yang dikeluarkan. Besarnya harga

nominal memberikan arti penting saham, karena deviden minimal

biasanya ditetapkan berdasarkan nilai nominal.

b. Harga Perdana

Harga ini merupakan pada waktu harga saham tersebut dicatat di bursa

efek. Harga saham pada pasar perdana biasanya ditetapkan oleh

penjamin emisi (underwriter) dan emiten. Dengan demikian akan

diketahui berapa harga saham emiten itu akan dijual kepada

masyarakat biasanya untuk menentukan harga perdana.

c. Harga Pasar

Harga pasar adalah harga jual dari investor yang satu dengan yang lain
22

pada lantai bursa. Harga terjadi setelah saham tersebut dicatatkan di

bursa dan setiap hari diumumkan di surat kabar atau media lainnya.

d. Harga Pembukaan

Harga pembukaan adalah harga yang diminta oleh penjual atau

pembeli pada saat jam bursa dibuka. Bisa saja terjadi pada saat

dimulainya hari itu sudah terjadi transaksi atas suatu saham, dan harga

sesuai dengan yang diminta oleh penjual dan pembeli.

e. Harga Penutupan

Harga penutupan adalah harga yang diminta oleh penjual atau pembeli

pada saat akhir hari dibukanya bursa. Pada keadaan demikian, bisa saja

terjadi pada saat akhir hari bursa tiba-tiba terjadi transaksi atas suatu

saham, karena adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli.

f. Harga Tertinggi

Harga tertinggi suatu saham adalah harga yang paling tinggi yang

terjadi pada hari dibukanya bursa. Harga ini dapat terjadi karena

adanya penawaran/permintaan atas suatu saham melebihi harga

wajarnya.

g. Harga Terendah

Harga terendah suatu saham adalah harga paling rendah yang terjadi

pada hari dibukanya bursa. Harga ini dapat terjadi karena adanya

penawaran/permintaan yang lebih rendah dari harga wajarnya.


23

h. Harga Rata-Rata

Merupakan harga rata-rata atas suatu saham perharinya hasil dari

perataan harga tertinggi dan terendah.

Kemudian selanjutnya Alwi (2008:87), mengemukakan faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi pergerakan harga saham diantara lain disebabkan dari

internal dan eksternal perusahaan tersebut, faktor tersebut diantara lain:

a. Internal

1. Pengumuman tentang pemasaran, produksi, penjualan seperti

pengiklanan, rincian kontrak, perubahan harga, penarikan produk

baru, laporan produksi, laporan keamanan produk dan laporan

penjualan.

2. Pengumuman pendanaan (financing announcements), seperti

pengumuman yang berhubungan dengan ekuitas dan hutang.

3. Pengumuman badan direksi manajemen (manajemen board of

director announcements) seperti perubahan dan pergantian

direktur, manajemen dan struktur organisasi.

4. Pengumuman pengambil alihan diversifikasi, seperti laporan

merger, investasi ekuitas, laporan take over oleh pengakuisian dan

diakuisisi.

5. Pengumuman Investasi (investment announcements), seperti

melakukan ekspansi pabrik, pengembangan riset dan penutupan

usaha lainnya.
24

6. Pengumuman ketenagakerjaan (labour announcements), seperti

kontrak kerja tenaga kerja, mogok kerja dan lainnya

7. Pengumuman laporan keuangan perusahaan, seperti peramalan

laba sebelum akhir tahun fiscal dan setelah tahun fiskal, Earning

per share (EPS), Dividen per share (DPS), Price Earning Ratio,

Net profit margin, Return on assets (ROA) dan lain-lain

b. Eksternal

1. Pengumuman dari pemerintah seperti perubahan suku bunga

tabungan dan deposito, kurs valuta asing, inflasi, serta berbagai

regulasi dan deregulasi ekonomi yang dikeluarkan oleh

pemerintah.

2. Pengumuman hukum (legal announcements), seperti tuntutan

karyawan terhadap perusahaan atau terhadap manajernya dan

tuntutan perusahaan terhadap manajernya.

3. Pengumuman industri sekuritas (securities announcements), seperti

laporan pertemuan tahunan, insider trading, volume atau harga

saham perdagangan, pembatasan/penundaan trading.

4. Gejolak politik dalam negeri dan fluktuasi nilai tukar juga

merupakan faktor yang berpengaruh signifikan pada terjadinya

pergerakan harga saham di bursa efek suatu Negara.

5. Berbagai isu baik dalam ataupun luar negeri.


25

Dari beberapa uraian dan pendapatan pada paragraf sebelumnya, maka

penulis menyimpulkan bahwa “Harga Saham” merupakan suatu nilai kesepakatan

atas penawaran yang ditawarkan oleh penjual dan permintaan yang diminta oleh

pembeli untuk suatu tanda penyertaan atas kepemilikan perusahaan.

Kemudian untuk keperluan penelitian ini, perkembangan harga saham

akan diukur menggunakan perhitungan yang dikemukakan oleh Jogiyanto

(2010:207), yaitu:

𝑷𝒕 − 𝑷𝒕!𝟏
𝐏𝐞𝐫𝐤𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐒𝐚𝐡𝐚𝐦 = × 𝟏𝟎𝟎%
𝑷𝒕!𝟏

Dimana :

Pt = closing price tahun ini

Pt-1 = closing price tahun sebelumnya

2.3 Kerangka Pemikiran

Kebangkrutan merupakan suatu resiko inherent yang dapat terjadi pada

setiap kegiatan bisnis yang dijalankan oleh perusahaan. Kebangkrutan yang

dimaksud ini adalah seperti pendapat Altman (1968) dalam penggolongan

kebangkrutan yaitu legal banckruptcy, dimana sebuah bentuk formal

kebangkrutan dan telah disahkan secara hukum. Dalam hukum Negara kita ini,

kebangkrutan tercantum pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 yaitu keadaan


26

dimana suatu institusi dinyatakan oleh keputusan pengadilan bila debitur memiliki

dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagih. Karena kebangkrutan merupakan hal yang harus

dihindari oleh perusahaan, maka kegiatan preventive pun harus dilakukan oleh

manajemen dalam upaya mengatasi dan meredam resiko ini. Salah satu caranya

adalah dengan melakukan kegiatan analisa pada laporan keuangan.

Menurut Bernstein (1998:3) Analisis laporan keuangan mencakup

penerapan metode dan teknik analisis atas laporan keuangan dan data lainnya

untuk melihat dari laporan keuagan dan data lainnya untuk melihat dari laporan

itu ukuran-ukuran dan hubungan-hubungan tertentu yang sangat berguna dalam

proses pengambilan keputusan keputusan. Beliau pun pada tahun tersebut

mengemukakan tujuan dari suatu analisis laporan keuangan diantaranya adalah

sebuah diagnosis, yaitu dimaksudkan untuk melihat kemungkinan adanya

masalah-masalah terjadi baik dalam manajemen operasi, keuangan atau masalah

lain. Maka dari itu dengan adanya analisis laporan keuangan kita dapat

mengetahui tanda-tanda apa saja yang dapat terjadi sebelum terjadinya

kebangkrutan, salah satu tanda tersebut adalah sebuah financial distress.

Menurut Ridwan S. Sundjaja (2012) kepailitan perusahaan tidak akan

terjadi secara mendadak, tapi akan dimulai dari kesulitan keuangan (financial

distress) terlebih dahulu sebagai pertanda akan terjadinya suatu kepailitan

perusahaan. Kemudian kesulitan keuangan (financial distress) ini didefinisikan

oleh Ross (2008), sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi

kewajiban-kewajibannya. Dengan uraian diatas, maka penulis berasumsi bahwa


27

financial distress merupakan suatu kondisi dimana kinerja keuangan perusahaan

sedang mengalami permasalahan yang dapat ditimbulkan karena beberapa faktor,

baik secara internal ataupun eksternal perusahaan. Damodaran (2001)

mengemukakan bahwa financial distress dapat terjadi karena 2 faktor, yaitu

secara internal dan eksternal. Penulis menyimpulkan pendapat ini bahwa faktor

internal tersebut berupa kinerja manajemen yang mengalami penurunan dalam

mengelola kegiatan bisnis perusahaan, sedangkan faktor eksternal tersebut berasal

dari luar perusahaan namun berpengaruh langsung pada kegiatan operasional

perusahaan seperti, kebijakan pemerintah dalam pajak, suku bunga bank, gejolak

politik dan hal yang mempengaruhi lainnya.

Maka dari itu, suatu analisis rasio keuangan dapat dilakukan dalam

mengestimasi suatu financial distress sedang terjadi atau bahkan dapat terjadi

pada suatu perusahaan. Salah satu alat analis rasio keuangan yang terbaik yaitu

Model Z-Score yang dikemukakan oleh Altman (1968), merupakan model

multivariate untuk memprediksi kepailitan perusahaan dengan menggunakan rasio

keuangan laporan perusahan dan analisis diskriminan berganda bagi perusahaan

manufaktur yang merupakan perusahaan public/terbuka.

Dalam kaitannya ini dengan harga saham, penulis memiliki asumsi atas

dasar teori Hipotesis Pasar Efisien (Efficient Market Hypothesis - EMH) yang

dikemukakan oleh Fama (1970), bahwa menurutnya konsep pasar efisien

merupakan pasar yang bilamana harga yang terbentuk dipasar merupakan

cerminan atau reaksi dari informasi yang ada, maka seharusnya akan ada suatu

proses penyesuaian harga sekuritas menuju harga keseimbangan yang baru


28

sebagai suatu respon terhadap masuknya informasi baru pada pasar modal.

Informasi yang beredar pada pasar modal ini dapat berbagai macam informasi

baik bersifat keuangan ataupun non-keuangan dan dapat diakses oleh para

investor dengan mudahnya pada zaman sekarang karena kemajuan teknologi

informasi. Informasi ini dapat mempengaruhi psikologi investor dalam

pengambilan keputusan investasinya kemudian berpengaruh pada kegiatan

penawaran/permintaan saham pada bursa, yang pada akhirnya kegiatan terebut

dapat mempengaruhi harga saham itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh

Jogiyanto (2010:98), bahwa perkembangan harga saham merupakan perubahan

harga saham yang terjadi dipasar bursa yang ditentukan oleh penawaran dan

permintaan saham yang bersangkutan di pasar modal.

Kemudian dalam memperkuat asumsi diatas, penelitian yang dilakukan

oleh Apergis, Nicholas et.al pada tahun 2011 bahwa nilai Altman Z-Score

memiliki pengaruh positif terhadap pergerakan harga saham, selanjutnya

Tianyang pada tahun 2014 dengan judul “The Relationship Between Z-Score and

Stock Prices” hasil penilitian ini adalah terdapatnya hubungan positif antara nilai

Z-Score dengan Harga Saham. Selanjutnya penelitian mengenai financial distress

terhadap harga saham ini dilakukan pada tahun 2012 oleh Lasmanah, Lia dkk.

dengan hasilnya bahwa pengaruh informasi financial distress berpengaruh sangat

kuat dengan pengaruh yang bersifat postif. Untuk lebih lengkapnya, penulis

sajikan dalam tabel berikut ini,


29

Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu

No Peneliti / Judul Hasil Persamaan Perbedaan


Tahun Penelitian
1 Apergis, “Bankcruptcy “This research Menggunaka Pada objek
Nicholas Probability study showed n variabel penelitian,
et.al and Stock that there is Altman Z- dimana
(2011) Prices: The positive cross Score penulis
Effect of correlation sebagai melakukan
Altman Z- between the variabel ya pada
Score Altman Z-score independen seluruh
Information and the firm dan harga perusahaa
on Stock stock price.“ saham n, tapi
Prices sebagai berfokus
Through Panel Terdapat variabel pada
Data” hubungan positif dependen. perusahaa
antara Z-Score n industri
dengan Harga barang
Saham. konsumsi.

2 Zhao, “The “Then, the Menggunaka Objek


Tianyang Relationship relationship n variabel penelitian,
(2014) between Z- between Altman Z- karena
Score and financial Score penulis
Stock Prices” distress, Z-score sebagai melakukan
measure as a variabel penelitian
proxy, and stock independen pada
returns is dan harga perusahaa
investigated saham n industri
which shows a sebagai barang
significantly variabel konsumsi.
positive dependen
relationship.”

Terdapat
hubungan positf
antara Z-Score
dengan Harga
Saham.

3 Lasmanah “The “Based on the Menggunaka Objek


, Lia dkk. Prediction of n variabel penelitian,
results of tests
(2012) Financial Altman Z- karena
Distress performed can Score penulis
30

Analysis and be concluded sebagai melakukan


It’s independen penelitian
that the
Implication to variabel dan pada
Stock Price’s Financial harga saham perusahaa
Sub Sector Distress sebagai n industri
Transportatio Prediction with variabel barang
n in Indonesia dependen konsumsi.
Stock Altman Z-Score
Exchange has a strong
period 2007- enough
2011”
relationship
with the
transport
company's stock
price, and
impact positive
significantly.”

Terdapat
hubungan antara
nilai z-score
terhadap Harga
Saham.

Dengan adanya beberapa pernyataan diatas menambah keyakinan asumsi

penulis bahwa memang adanya keterkaitan hubungan antara informasi suatu

perusahaan akan mengalami financial distress (kebangkrutan) terhadap harga

saham yang dikeluarkan oleh perusahaan terkait pada pasar modal yakni Bursa

Efek Indonesia.
31

Berikut ini hubungan variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan

sebagai berikut:

PERUSAHAAN KEBANGKRUTAN

KINERJA KEUANGAN FINANCIAL DISTRESS

ANALISIS ESTIMASI
KEBANGKRUTAN
ALTMAN Z-SCORE

HARGA SAHAM

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini merupakan pernyataan

sementara yang disimpulkan dari tujuan penelitian atas permasalahan yang akan

diteliti. Hipotesis akan diterima sebagai sebuah keputusan apabila hasil analisis

data empiris dapat membuktikan bahwa hipotesis tersebut benar. Berdasarkan

kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis penelitian yang dirumuskan adalah:


32

Ha : Analisis Estimasi Kebangkrutan Altman Z-Score berpengaruh terhadap

harga saham

Ho : Analisis Estimasi Kebangkrutan Altman Z-Score tidak berpengaruh

terhadap harga saham

Anda mungkin juga menyukai