Anda di halaman 1dari 75

PERLINDUNGAN ANAK ANGKAT DALAM HAK WARIS

DARI PANDANGAN AGAMA HINDU BERDASARKAN


HUKUM ADAT BALI DI KABUPATEN BULELENG

SKRIPSI

Diajukan sebagai bagian dari syarat-syarat untuk mencapai


kebulatan studi program strata satu (S-1) pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Al-Azhar

Oleh:

Nama : IDA BAGUS ARIE WIRYAWAN


NIM : 019.04.0052
Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
PERLINDUNGAN ANAK ANGKAT DALAM HAK WARIS
DARI PANDANGAN AGAMA HINDU BERDASARKAN
HUKUM ADAT BALI DI KABUPATEN BULELENG

Yang Dipersembahkan Oleh:

Nama : IDA BAGUS ARIE WIRYAWAN


NIM : 019.04.0052
Program Studi : Ilmu Hukum

Telah diselesaikan di depan Tim Penyelesaian


Pembimbingan Skripsi pada tanggal 2022

Skripsi ini telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat Untuk mencapai studi
Program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar

Mataram, 2022
Universitas Islam Al-Azhar
Fakultas Hukum
Dekan,

Dr. AINUDDIN, S.H., M.H


NIDN. 0831126735

ii
PERLINDUNGAN ANAK ANGKAT DALAM HAK WARIS DARI
PANDANGAN AGAMA HINDU BERDASARKAN HUKUM ADAT BALI
DI KABUPATEN BULELENG

Yang Dipersembahkan Oleh:

Nama : IDA BAGUS ARIE WIRYAWAN


NIM : 019.04.0052
Program Studi : Ilmu Hukum

Telah diselesaikan di depan Tim Penyelesaian


Pembimbingan Skripsi pada tanggal 2022

Skripsi ini telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat Untuk mencapai studi
Program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar

Mataram, 2022

Pembimbing I, Pembimbing II,

Sukarno, S.H., M.H Hafizatul Ulum, S.H., M.H


NIDN. 080 5098 401/Lektor/IIIc NIDN. 081 9068 602/Lektor/IIIc

iii
PENYELESAIAN PEMBIMBING OLEH

1. Sukarno, S.H., M.H : ( )


NIDN. 080 5098 401/Lektor/IIIc

2. Hafizatul Ulum, S.H., M.H : ( )


NIDN. 081 9068 602/Lektor/IIIc

Mataram, 2022
Universitas Islam Al-Azhar
Fakultas Hukum
Dekan,

Dr. AINUDDIN, S.H., M.H


NIDN. 0831126735

iv
HALAMAN PENYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

NAMA : IDA BAGUS ARIE WIRYAWAN


NIM : 019.04.0052
JUDUL SKRIPSI : PERLINDUNGAN ANAK ANGKAT DALAM HAK
WARIS DARI PANDANGAN AGAMA HINDU
BERDASARKAN HUKUM ADAT BALI DI
KABUPATEN BULELENG

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skipsi ini merupakan hasil penelitian,


pemikiran dan pemaparan asli saya sendiri, Saya tidak mencantumkan tanpa
pengakuan bahan-bahan yang telah dipublikasikan sebelumnya atau ditulis oleh
orang lain, atau sebagai bahan yang pernah diajukan untuk gelar atau ijazah pada
Universitas Islam Al-Azhar Mataram atau perguruan tinggi lainnya.

Demikian pernyataan ini saya buat.

Mataram, 2022
Yang Membuat Pernyataan,

IDA BAGUS ARIE WIRYAWAN


NIM. 019.04.0052

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur tercurahkan kepada Allah SWT, karena berkat izin-Nyalah penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan berjudul “PERLINDUNGAN ANAK
ANGKAT DALAM HAK WARIS DARI PANDANGAN AGAMA HINDU
BERDASARKAN HUKUM ADAT BALI DI KABUPATEN BULELENG”
yang diajukan untuk memenuhi persyaratan mencapai studi Program Strata Satu
(S-1) pada Universitas Islam Al-Azhar.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis baik tenaga, ide-ide maupun pemikiran.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Muh. Ansyar, MP. Selaku Rektor Universitas Islam Al-
Azhar Mataram.
2. Yth. Bapak Dr. Ainuddin, S.H., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Islam Al-Azhar Mataram.
3. Yth. Bapak Sukarno, S.H., M.H., Selaku Dosen Pembimbing Utama dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Yth. Bapak Hafizatul Ulum, S.H., M.H., Selaku Dosen Pembimbing
Pendamping dalam penyusunan skripsi ini.
5. Yth. Dr. Ari Wahyudi, SH., MH. Selaku Dosen Penetral terimakasih atas
saran-sarannya.
6. Yth. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang
telah banyak membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis.
7. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan dorongan dan semangat,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Kedua Orangtuaku dan keluarga besar yang telah menjadi motivator utamaku
dan selalu memberikan doahingga terselesainya skripsi ini.
9. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
penyusunan penulisan skripsi ini.
10. Kekasih tercinta yang selalu menjadi motivator dan penyemangat.

Semoga segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat imbalan di sisi
Allah SWT sebagai amal ibadah. Aamiin.

vi
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan-perbaikan ke depan. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

Mataram, 2022
Penulis,

IDA BAGUS ARIE WIRYAWAN


NIM. 019.04.0052

vii
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul Luar............................................................................
Halaman Judul Dalam......................................................................... i
Halaman Pengesahan Dekan................................................................... ii
Halaman Persetujuan Pembimbing......................................................... iii
Halaman Penyelesaian Pembimbingan .................................................. iv
Halaman Surat Pernyataan Keaslian...................................................... v
Kata Pengantar ...................................................................................... vi
Daftar Isi ................................................................................................ viii
Abstrak………………………………………………………………… x

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian.......................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 8
2.1. Pengertian Anak Angkat…………………………………………. 8
2.2 Pewarisan…………………………………….. .............................. 21
BAB III METODE PENELITIN…… ................................................... 31
3.1. Jenis Penelitian ………..……………............................................. 31
3.2. Jenis Pendekatan…........................................................................ 31
3.3. Data dan Sumber Data…………….. ............................................ 33
3.4. Teknik Pengumpulan Data............................................................... 34
3.5. Populasi dan Sempel……................................................................. 35
BAB IV HASI PENELITIN DAN PEMBAHASAN.............................. 36
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................................. 36
4.2. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Agar Sah Berdasarkan
Hukum Waris Adat Bali …..................................................................... 37

4.3. Perlindungan Anak Angkat Dalam Hak Waris Dari Pandangan


Agama Hindu Berdasarkan Hukum Adat Bali.................................. 56

viii
BAB V PENUTUP…… .......................................................................... 60
5.1. Keesimpulan…… ………..……………........................................... 60
5.2. Saran………………..…................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA

ix
ABSTRAK

PERLINDUNGAN ANAK ANGKAT DALAM HAK WARIS DARI


PANDANGAN AGAMA HINDU BERDASARKAN HUKUM ADAT BALI DI
KABUPATEN BULELENG

Oleh:

IDA BAGUS ARIE WIRYAWAN


NIM. 019.04.0052

Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan memahami hak waris anak angkat
dalam dari pandangan agama Hindu berdasarkan hukum adat bali. Sedangkan tujuan
Khusus yaitu 1). Untuk mengetahui pelaksanaan pengangkatan anak agar sah berdasarkan
hukum waris adat Bali di kabupaten buleleng; 2) Untuk mengetahui Perlindungan anak
angkat dalam hak waris dari pandangan agama hindu berdasarkan hukum adat bali di
kabupaten buleleng.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif deskriptif karena
dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan berupa data yang menggambarkan secara
rinci, bukan data yang berupa angka-angka.
Berdasarkan pembehasan dapat disimpulkan bahwa: 1). Pelaksanaan pengangkatan
anak agar sah berdasarkan hukum waris adat Bali di kabupaten buleleng. Menurut hukum
adat Bali harus sesuai dengan awig-awig. Dalam awig-awig mengatur tentang keabsahan
pengangkatan anak, syarat-syaratnya seperti upacara meperas dan siar. Upacara
meperas maknanya pemutus hubungan antara anak yang angkat dengan orang tua
kandungnya, dan memiliki makna memasukkan anak angkat tersebut ke dalam
lingkungan keluarga yang mengangkat. Siar berfungsi untuk penyampaian kekhalayak
ramai dalam hal ini desa adat terkait garis keturunannya. Garis keturunan inilah yang
selanjutnya disebut ahli waris, ahli waris dari pewaris (orang tua angkat) terkait
pelaksanaan hak dan kewajibannya.; 2). Perlindungan anak angkat dalam hak waris dari
pandangan agama Hindu berdasarkan hukum adat bali di kabupaten buleleng. Setelah
upacara pemerasan, maka. perlindungan anak angkat dalam hak waris menurut hukum
adat Bali adalah sebagai ahli waris orang tua angkatnya seperti harta akas kaya, harta
jiwa dana, harta tetadan, dan harta druwe gabro. Keadaan ini tidak berubah apabila
setelah diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak kandung.

Kata Kunci: Anak Angka, Hak Waris, Hukum Adat Bali

x
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mengangkat anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengambil anak

orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang

yang mengangkat dengan orang yang diangkat itu timbul suatu hubungan

kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak

kandung sendiri1. Pengangkatan anak banyak dilakukan di Indonesia, akan

tetapi caranya berbeda-beda sesuai dengan hukum adat yang berlaku di

wilayah setempat. Hal tersebut selanjutnya berdampak terhadap akibat dari

pengangkatan anak tersebut yaitu memutuskan hubungan kekeluargaan antara

anak angkat dengan orang tua kandungnya dan adapula yang tidak memutus

hubungan kekeluargaan anak angkat dengan orang tua

kandungnya.

Pengertian pengangkatan anak secara umum adalah suatu tindakan

mengambil anak orang lain berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang

berlaku di masyarakat bersangkutan.

Perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian kekeluargaan

dengan orang tua sendiri yang memasukkan anak itu ke dalam keluarga

bapak angkatnya sehingga anak itu sendiri seperti anak kandung2.

1
Wignjodipoero, Soerojo, 1987, Pengantar dan Asas-asas Hukum
Adati, Haji Mas Agung, Jakarta.
2
Soepomo, R., 2000, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta.
2

Pendapat dari R. Soepomo diatas memberikan pengertian bahwa anak

angkat itu mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal

tertentu.

Pengertian pengangkatan anak menurut hukum adat Bali pada dasarnya

adalah sama dengan pengertian pengangkatan anak dari pendapat kedua

sarjana tersebut, yaitu mengangkat anak orang lain dan menempatkannya

sebagai anak kandung dengan tujuan melanjutkan keturunan dari si

pengangkat.

Tujuan pengangkatan anak adalah untuk meneruskan kelangsungan

kehidupan suatu keluarga, yang artinya melanjutkan segala hak dan

kewajiban dalam hubungannya dengan masalah Parahyangan (Ketuhanan),

Palemahan (alam sekitar) dan Pawongan (manusia)3.

Tujuan lembaga mengangkat sentana ialah melanjutkan keturunan dari

kepurusa, agar kemudian sesudah pengangkat meninggal, ada orang yang

melakukan abenan mayatnya dan penghormatan pada rohnya dalam sanggah

yang mengangkat4.

Pendapat dari Mr. Gde Panetje tersebut, menitik beratkan pada

kewajiban dari anak angkat terhadap pengangkat apabila nantinya orang

tuanya meninggal dunia, yaitu berkewajiban melaksanakan upacara

Pengabenan sebagai tanda penghormatan.

Pada masyarakat hukum adat Bali ikatan kekeluargaannya patrilinial,

3
Windia, I Wayan, 1995, Pembahasan Permasalahan Hukum.
4
Panetje, Gde, 1989, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali,
Cetakan Kedua, Guna Agung, Denpasar.
3

yaitu berdasarkan pada garis keturunan bapak. Hal ini membawa konsekuensi

adanya peranan yang sangat penting bagi anak laki-laki sebagai penerus

keturunan bagi keluarganya, sedangkan tidak demikian halnya dengan anak

perempuan. Anak laki-laki sebagai penerus keturunan, mempunyai kewajiban

bertanggung jawab terhadap pemujaan leluhurnya, oleh karena itu ia berhak

terhadap harta warisan orang tuanya. Selanjutnya bagi mereka yang tidak

mempunyai anak laki-laki seringkali akan melakukan perbuatan mengangkat

anak sebagai penerus keturunan keluarganya. Seorang anak laki-laki menjadi

tumpuan harapan orang tuanya, yang berkewajiban memelihara orang tuanya

di kemudian hari setelah tidak mampu bekerja lagi, terlebih untuk

kesempurnaan peribadatan orang tuanya saat meninggal dunia.

Pengangkatan anak di Bali (nyentanayang) terselenggaranya hampir

selalu dalam lingkungan keluarga besar dari pada hukum keluarga, yang karib

menurut naluri (purusa), walaupun di masa akhir-akhir ini lebih (lagi)

diperbolehkan memunggut anak berasal di luar lingkungan itu ; dalam

beberapa dusun juga sanak saudaranya si istri (dari predana) diambil anak5.

Pendapat Ter Haar tersebut di atas, menyebutkan bahwa

terselenggaranya pengangkatan anak saat ini di dalam masyarakat hukum

adat Bali sudah tidak saja dapat diambil dari keluarga purusa. Pengangkatan

anak bisa pula diambil dari keluarga istri yang masih dalam lingkungan

keluarganya. Hal tersebut diperbolehkan bila suami istri si pengangkat

5
Rusmayanti Ni Luh Putu Eka 2012. Kedudukan Anak Angkat di Dalam
Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat Bali Tesis .Universitas Hasanuddin
Makassar. Hal. 18
4

merupakan satu dan keluarga besar. Apabilla pihak istri tersebut tidak

merupakan satu kerabat dengan pihak suami, maka hal tersebut tidak

diperbolehkan. Larangan tersebut mengingat sistem kekeluargaan yang

terdapat di dalam masyarakat hukum adat Bali, yaitu sistem

patrilinial/kebapaan.

Dewasa ini pengangkatan anak perempuan sudah banyak terjadi pada

masyarakat hukum adat Bali. Adapun tujuan pengangkatan anak perempuan

adalah untuk dijadikan Sentana rajeg, yakni anak perempuan yang diberi

status sebagai anak laki-laki dalam perkawinan Nyeburin di Kabupaten

Buleleng. Ini merupakan suatu terobosan terhadap nilai-nilai hukum adat Bali

sesuai dengan kemajuan pandangan masyarakat. Walaupun demikian, dasar

pemikiran dari pengangkatan anak adalah untuk mendapatkan anak sebagai

penerus keturunan dan tidak terlepas dari kewajiban pada saat orang tua

meninggal. Di dalam pengangkatan anak pada masyarakat hukum adat Bali

yang penting adalah terpenuhinya persyaratan pengangkatan, yaitu adanya

upacara peras, siar dan harus pula adanya persetujuan para pihak yang

berkepentingan.

Pengangkatan anak di dalam masyarakat hukum adat Bali di anggap sah

apabila telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ialah

ditentukan oleh hukum adat Bali; yaitu seperti adanya persetujuan dari pihak-

pihak yang bersangkutan, adanya Dewa saksi dan Manusa saksi, serta adanya

Siar6.
6
Beni, I Wayan, dan Ngurah, Sagung, 1989, Hukum Adat Di dalam Yudisprudensi Indonesia,
Surya Jaya, Denpasar hal. 45.
5

Lebih lanjut disebutkan sahnya pengangkatan anak menurut hukum adat

Bali harus adanya upacara Dewa Saksi, Manusa Saksi dan adanya Siar. Dewa

saksi di dalam masyarakat hukum adat Bali disebut dengan Peras,

sedangkan manusa saksi merupakan persetujuan serta kesaksian dari pihak

yang berkepentingan Siar merupakan pengumurnan terhadap pengangkatan

anak tersebut yang biasanya dilakukan di dalam pertemuan masyarahat adat

atau banjar di mana yang bersangkutan tunduk pada hukum adatnya. Dari

uraian-uraian tersebut di atas jelaslah pengertian anak angkat di Bali adalah

anak orang lain yang oleh seseorang diambil, dipelihara dan diperlakukan

sebagai keturunan sendiri. Dengan adanya proses pengangkatan anak oleh

orang lain maka akan mempengaruhi sistem pewarisan.

Fenomena pengangkatan anak di dalam kehidupan masyarakat adat di

Kabupaten Buleleng Bali (desa pakraman) masih ada yang hanya dengan

mendapat persetujuah seluruh warga desa pakraman melalui rapat (paruman)

desa dan dikatakan sah menurut hukum adat Bali setelah mengadakan

upacara paperasan dan sah di kalangan prajuru desa, hal ini masih belum

memenuhi syarat seperti yang ditentukan oleh Undang-undang. Adapun

pengangkatan anak akan berakibat pula pada pewarisan untuk sianak angkat

ini sendiri. Perkembangan ini tentunya menimbulkan permasalahan

tersendiri, baik mengenai pengangkatan anaknya maupun pewarisannya.

Merujuk pada latar belakang di atas, penulis tertarik meneliti lebih

lanjut terkait yaitu: Perlindungan Anak Angkat Dalam Hak Waris Dari

Pandangan Agama Hindu Berdasarkan Hukum Adat Bali Di Kabupaten


6

Buleleng.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak agar sah berdasarkan hukum

waris adat Bali di kabupaten buleleng?

2. Bagaimanakah Perlindungan anak angkat dalam hak waris dari pandangan

agama Hindu berdasarkan hukum adat bali di kabupaten buleleng?

1.3 Tujuan Penelitian

Pada dasarnya setiap penelitian pasti mempunyai tujuan, karena dengan

mengetahui tujuan maka penelitian akan dapat memiliki arah pada penelitian

tersebut. Tujuan Adapun tujuan penelitian ini yaitu

1.3.1 Tujuan Umum yaitu Untuk mengetahui dan memahami hak

waris anak angkat dalam dari pandangan agama Hindu

berdasarkan hukum adat bali.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengangkatan anak agar sah

berdasarkan hukum waris adat Bali di kabupaten buleleng.

2. Untuk mengetahui Perlindungan anak angkat dalam hak waris dari

pandangan agama hindu berdasarkan hukum adat bali di kabupaten

buleleng.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah


7

pembendaharaan pengetahuan, sebagai literasi yang bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan melengkapi bahan bacaan dalam

ilmu hukum.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai kasanah ilmu

pengetahuan tentang hukum bagi kalangan mahasiswa, kalangan

akademisi yang berminat untuk mengali dan mengkaji lebih lanjut

mengenai penelitian ini.

b. Sebagai masukan agar dapat dijadikan sebagai bahan informasi

sekaligus sumbangan pemikiran yang berisi saran-saran yang berguna

bagi penyelesaian hukum terkait kedudukan hukum waris bangi anak

angkat dalam hukum ada Bali.


88

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pengangkatan Anak

2.2 1. Pengertian Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Bali

Pada hukum adat Bali pengangkatan anak dikenal dengan beberapa

istilah seperti meras pianak atau meras sentana. Kata sentana berarti anak

atau ketururan dan kata meras berasal dari kata Peras yaitu semacam sesajen

atau banten untuk pengakuan/pemasukan si anak ke dalam keluarga orang tua

angkatnya. Disamping istilah tersebut diatas ada pula yang memakai istilah

atara menyebut dengan ngidih sentana/ngidih pianak. Penyebutan tersebut

mengandung pula pengertian sama dengan pengertian meras sentana ataupun

meras pianak.

Beberapa sarjana memberi pengertian tentang pengangkatan anak yaitu :

Pengangkatan anak ini adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain

yang dimasukkan kedalam keluarganya sedemikian rupa sehingga antara

yang mengangkat dan anak yang diangkat itu menimbulkan suatu hubungan

keluarga yang sama seperti yang ada antara or-ang tua dengan anak kandung

sendiri7.

Pendapat lain menjelaskan pengangkatan anak adalah

menempatkan anak orang lain di tempat anak sendiri oleh karena itu

disamping pemeliharaan sehari-hari diperlukan adanya pengakuan

7
Wignjodipoero, Soerojo, 1987, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adati, Haji Mas
Agung, Jakarta. hal. 56
9

secara lahir dan batin sebagai anak sendiri oleh orang tua angkatnya8.

Sebagaimana telah diuraikan di muka memberi pengeriian

pengangkatan anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari

pertalian keluarga dengan orang tuanya sendiri dan memasukkan anak itu ke

dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan sebagai

anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya9.

Pengertian pengangkatan anak di Bali kiranya tidak jauh berbeda

dengan yang dikemukakan di atas. Adapun yang dimaksud dengan anak

angkat dalam hukum adat Bali adalah anak orang lain diangkat oleh orang tua

angkatnya menurut hukum adat setempat, sehingga dia mempunyai

kedudukan sama seperti seorang anak kandung yang dilahirkan oleh orang tua

angkatnya tersebut. Hal ini selanjutnya akan membawa akibat hukum dalam

hubungan kekeluargaan, waris dan kemasyarakatan. Konsekuensinya disini

segala hak dan kewajiban yang ada pada orang tua angkatnya akan

dilanjutkan oleh anak angkat itu sendiri, sebagaimana layaknya seperti anak

kandung.

Dari pengertian pengangkatan menurut Hukum Adat Bali seperti

tersebut diatas dapat dijabarkan :

1. Adanya perbuatan melepas si anak dari kekuasaan orang tua kandung

2. Adanya perbuatan memasukkan si anak ke dalam kekerabatan orang tua

angkatnya.

Pengertian melepaskan si anak adalah perbuatan berupa permintaan

8
Susantio, Retnowulan, 1979, Wanita dan Hukum, Alumni, Bandung. Hal. 72
9
Op.Cit. hal.1
10

calon orang tua an gkat terhadap orang tua kandung si anak atau kerabat si

anak angkat. Permintaan itu untuk melepas si anak dari kekuasaan orang tua

kandungnya/ kerabatriya yang selanjutnya dimasukkan ke dalam keluarga

orang tua angkat untuk didudukkan sebagai pelanjut keturunan. Perbuatan

hukum ini termasuk pula pengumuman atau siaran yaitu pengumuman yang

ditujukan kepada masyarakat Desa Adat maupun kepada kerabat-kerabat si

anak itu. Adapun maksud dari pengumuman itu agar ada kata sepakat untuk

melepas si anak tersebut dan perbuatan tersebut pun menjadi terang.

Pengertian memasukkan si anak ke dalam kerabat orang tua angkatnya :

tercermin dalam perbuatan yang berupa pelaksanaan upacara pemerasan atau

mewidiwidana. Secara keagamaan hal ini mengandung arti bahwa si anak

akan dilepas dari kekuasaan baik dari orang tua kandungnya/kerabat maupun

leluhurnya untuk selanjutnya dimasukkan samping itu upacara tersebut juga

mengandung arti bahwa si orang tua angkat selanjutnya akan mengakui si

anak angkat tadi sebagai anak kandung sendiri. Mulai saat itulah timbul

hubungan hukum antara si anak angkat terhadap orang tua angkatnya.

Dengan demikian secara yuridis anak angkat dengan orang tua kandungnya

tidak lagi ada hubungan waris mewaris tapi ia mewaris pada orang tua

angkatnya.

Bila kita membandingkan dengan pengangkatan anak di luar daerah Bali

misalnya yang mempunyai sistem kekeluargaan parental seperti di daerah

Jawa, maka pengangkatan anak tidaklah mempunyai konsekwensi yuridis

seperti di Bali. Pada masyarakat adat di Jawa kedudukan anak angkat hanya
11

sebagai anggota keluarga orang tua angkatnya, ia tidak berstatus sebagai

anak kandung10.

2.1.2 Sistem Pengangkatan Anak

Pada saat ini di Indonesia masih terdapat ketidak seragaman hukum

mengenai pangangkatan anak.

a. Pengangkatan anak untuk golongan penduduk Indonesia asli:

1) Pengangkatan anak untuk golongan penduduk Indonesia asli

berlaku hukum adat yang berbeda untuk tiap-tiap daerah.

2) Pada garis besarnya tata cara pengangkatan anak golongan penduduk

Indonesia asli dibagi atas dua cara, yaitu:

a) Daerah-daerah yang mensyaratkan tentang tata cara pengangkatan

anak yang memerlukan tara cara secara terang-benderang.

b) Daerah-daerah yang tidak mensyaratkan tentang tata cara

pengangkatan anak yang tidak memerlukan tata cara secara

terang-benderang.

b. Pengangkatan anak di kalangan penduduk keturunan Cina: Berlaku

peraturan perundang-undangan yang semula di atur dalam S.1917

- 129 jo S, 1924:55711. Pengangkatan anak yang dijalankan oleh masyarakat

Tionghoa di Indonesia bepedoman pada S. 1917- 129 jo 1919 - 81, 1924 -

557, 1925 - 92 : Ketentuan-ketentuan untuk Seluruh Indonesia tentang Hukum

perdata dan Hukum Dagang bagi orang -orang Tionghoa. Tujuan

pengangkatan anak (adopsi) dalam masyarakat Tionghoa untuk

10
Ibid. hal. 2
11
Andasasmita Komar, 1981, Notaris I, Sumur, Bandung. hal. 53
12

mendapatkan keturunan khususnya keturunan laki- laki. Jadi pengangkatan anak

untuk kepentingan orang tua yang mengangkat anak. Apabila seorang laki-laki

yang menikah atau pernah kawin, tidak punya keturunan laki-laki, la dapat

adopsi orang sebagai anaknya (Pasal 5 ayat 1).

Adapun syarat-syarat mengangkat/mengadopsi anak pada masyarakat

Tionghoa yaitu : yang diadopsi paling sedikit 18 tahun lebih muda dari umur

suami dan 15 tahun lebih muda dari umur istri atau janda yang mengadopsi

(Pasal 7 ayat 1). Adopsi hanya bisa dilakukan dengan akta notaris (Pasal 10 ayat

1) adopsi, mengenai anak perempuan tanpa akta notaris adalah batal (Pasal 15

ayat 2). Di dalam perkembangannya berdasarkan yurispudensi diperkenankan

untuk mengadopsi anak laki-laki dan perempuan pada masyarakat Tionghoa

(Keputusan Pengandilan Negeri Jakarta tanggal 29 Mei 1963 No. 907/1963. P)

jo Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 17 Oktober 1963 No. 588163. G)12

Sehubungan dengan adanya Surat Edaran Makamah Agung Nomor

2 Tahun 1979 tetang Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Makamah

Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran

Makamah Agung Nomor 2 Tahun 1979, maka prosedur administratif

pengangkatan anak di Indonesia yang dimintakan penetapan ke

pengadilan syarat-syaratnya adalah :

1. Akta kelahiran dari anak tersebut

2. Akta perkawinan/Surat nikah dari orang tua asli

3. Akta perkawinan/Surat nikah dari orang tua angkat

4. Surat keterangan pekerjaanlpenghasilan orang tua angkat

12
Meliala, Jaja S. 1982, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung. hal. 87
13

5. Surat perjanjian penyerahan anak dari orang tua kandung kepada

orang tua angkat disaksikan oleh dua orang saksi dan diketahui oleh

kepala desa/kepala lingkungan

Di dalam hal anak yang diangkat berasal dari biro-biro adopsi panti

asuhan, cukup dengan akta penyerahan dari biro adopsi tersebut. Khusus

dalam hal pengangkatan anak-anak warga negara Indonesia oleh

seorang warga negara asing diperlukan syarat-syarat tambahan sebagai

berikut:

1. Akta kelahiran orang tua angkat

2. Surat keterangan kesehatan orang tua angkat

3. Surat keterangan pekerjaan/penghasilan orang tua angkat

4. Persetujuan atau ijin untuk mengangkat anak/bayi Indonesia dari

instansi yang berwenang dari negara asal orang tua angkat

5. Surat penelitian/keterangan dari instansi atau lembaga sosial yang

berwenang dari negara asal calon orang tua angkat

Surat keterangan pekerjaan dan penghasilan dari orang tua angkat

serta surat (akta) penyerahan anak dari orang tua kandung dari anak yang

bersangkutan merupakan syarat mutlak untuk dapat melakukan

pengangkatan anak13. Pengangkatan anak dilakukan demi kepentingan

masa depan dan kesejahteraan anak. Kepentingan calon anak angkat

tersebut harus diutamakan di atas kepentingan orang tua angkat dengan

menekankan segi-segi kesungguhan, kerelaan, ketulusan dan kesediaan

menanggung segala konsekuensi dan akibat hukum bagi semua pihak


13
Ibid. hal. 2
14

yang akan dihadapi setelah pengangkatan anak itu terjadi. Masalah

pengangkatan anak erat sekali kaitannya dengan masalah perlindungan

terhadap anak, pasal 2 ayat 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1979 tentang kesejahteraan anak berbunyi, sebagai berikut:

Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa

dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas

perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau

menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar14.

Dari pengertian yang termuat datam pasal 2 ayat 3 dan 4

UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tersebut, maka dengan jelas

mendorong perlu adanya pedindungan anak dalam rangka mengusahakan

kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak.

Akhir-akhir ini jumlah pengangkatan anak warga negara

Indonesia oleh orang asing makin meningkat. Oleh karena itu untuk

memberikan perlindungan hukum terhadap calon anak angkat,

pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang asing hanya dapat

dilakukan dengan suatu penetapan pengadilan negeri. Tidak dibenarkan

apabila pengangkatan tersebut dilakukan dengan akta notaris yang

dilegalisir oleh pengadilan negeri (Surat Edaran Direktur Jenderal

Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman tanggal 24,

Februari 1978 No. JHA 1/1/2)15.

14
Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
15
Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman
tanggal 24, Februari 1978 No. JHA 1/1/2
15

Undang-undang pengangkatan anak (adopsi) nasional

seharusnya segera dibentuk berdasarkan pada asas-asas universal dari

hukum adat pluralistis yang masih hidup dan dapat berorientasi ke masa

depan. Pengangkatan anak dalam hukum adat yang dilihat adalah

kenyataan dari anak tersebut diperlakukan dan dipeiihara sebagai anak

kandung. Setelah diadakan upacara adat untuk pengangkatan anak maka

anak tersebut sah menjadi anak angkat.

Pengangkatan anak dalam masyarakat adat di Indonesia tidak

semuanya dilakukan secara terang yaitu dengan upacara adat.

Berdasarkan apa yang ditemukan oleh R. Soepomo dalam penelitian

hukum adat di Jawa Barat, pengangkatan anak tidak memerlukan upacara

adat apapun dan tidak memerlukan surat. Bertitik tolak dari hal tersebut

diatas tidak selayaknya menerapkan secara mutlak dan generalisasi syarat

upacara adat sebagai faktor determinan atas keabsahan pengangkatan

anak. Syarat itu harus bersifat kasuistik sesuai dengan hukum adat

setempat16. Hal ini berbeda dengan di Bali yang mensyaratkan

pengangkatan anak yang bersifat terang yaitu harus dengan upacara adat,

disaksikan oleh pemuka adat dan diumumkan dimuka ariggota banjar.

Di dalam praktek di masyarakat adat di Indonesia selain dilakukan

dengan upacara adat, kadang-kadang diminta penetapan ke pengadilan17.

Syarat-syarat pengangkatan anak menurut hukum adat ialah :

16
Harahap, M. Yahya, 1993, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat,
Citra Aditya Bakti, Bandung. hal.13
17
Op.Cit. hal. 13
16

1. Sebelumnya harus ada kata sepakat dari keluarga/saudara laki- laki

calon bapak angkat. Persetujuan keluarga bapak angkat ini

diperlukan karena menyangkut nama keluarga yang akan disandang

oleh calon anak angkat ini.

2. Harus ada kata sepakat dari pihak yang melepaskan dan pihak yang

menerima anak tersebut.

3. Pihak yang melepaskan dan pihak yang menerima menghadap ke

pengadilan negeri untuk memberikan pemyataan atas maksudnya

tersebut18.

Pada umumnya dalam hukum adat tidak disyaratkan adanya adat

bukti tertulis mengenai pengangkatan anak, namun dalam

kenyataannya banyak dibuat surat dibawah tangan yang disaksikan

oleh kepala kampung, kepala adat setempat atau akta notaris.

Pembuatan akta pengangkatan anak (adopsi secara notariil

sesungguhnya mempunyai dasar hukum :

1. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

Notaris19

2. De Generale Resolution Des Kasteels Batavia tentang Bepalingen

Betreffende De Adoptie van Kinderen van Chineezen,

Mohammedanen en Andere Onchistenen (ketentuan tentang adopsi

anak-anak Tionghoa, Islam dan orang-orang bukan Kristen),

tertanggal 9 Mei 1769.


18
Mertokusumo, Sudikno, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
19
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
17

3. S. 1917 : 129 (Khusus untuk golongan keturunan China).

Di dalam lampiran buku karangan Notaris Komar Andasasmita

juga disebutkan dasar pembuatan akta pengangkatan anak secara

notariil karena hukum adat yang mengenal lembaga pengangkatan

anak20.

Berhubung belum sempurnanya pelaksanaan peraturan

perundang-undangan mengenai pengangkatan anak maka dalam

masyarakat sering terlihat adanya usaha-usaha penyelundupan

hukum, pemalsuan surat-surat dimana dalam surat kelahiran anak

langsung ditulis seakan-akan anak tersebut adalah anak kandung dari

orang tua angkatnya.

Untuk menjaga rahasia agar anak angkat kita apabila dia telah

besar tidak mengetahui bahwa sesungguhnya ia bukan anak

kandung, akta lahir atas permohonan yang bersangkutan, dapat

diubah sedemikian sehingga dalam petikan akta lahir yang baru tidak

lagi disebutkan nama orang tua asalnya melainkan anak tersebut

langsung dicatat dan orang tua angkatnya tanpa perlu dijelaskan

bahwa ia adalah anak angkat21.

2.1.3 Sistem Kekeluargaan Dalam Hukum Adat Bali

Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia dikenal adanya 3 (tiga)

macam sistem kekeluargaan, yaitu :

20
Op.Cit. hal. 11
21
Op.Cit. hal. 17
18

a. Sistem kekeluargaan Matrilinial yaitu suatu sistem kekeluargaan

dengan cara menarik garis keturunan seseorang melalui garis ibu.

b. Sistem kekeluargaan Patrilinial yaitu suatu sistem kekeluargaan

dengan cara menarik garis keturunan seseorang secara konsekuen

melalui garis laki-laki atau bapak.

c. Sistem kekeluargaan Parental yaitu suatu sistem kekeluargaan

menarik garis keturunan seseorang melalui garis ibu dan bapak, serta

keluarga ibu dan keluarga bapak sama nilai dan sama derajatnya22

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka peranan anak sebagai

penerus keturunan dalam ketiga sistem kekeluargaan ini sangat penting.

Adapun contohnya pada masyarakat Minangkabau peranan anak wanita

lebih penting daripada anak laki-laki karena menganut sistem

kekeluargaan matrilinial. Demikian pula sebaliknya pada masyarakat Bali

yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial, maka anak laki-laki lebih

memegang peranan penting daripada anak wanita. Atas dasar itu apabila

tidak adanya anak kandung, maka upaya yang ditempuh untuk

mempertahankan garis keturunan/marga dari masing-masing sistem

kekeluargaan itu adalah pengangkatan anak.

Pengangkatan anak ini mungkin dilakukan terhadap orang lain

misalnya di Nias, Gayo, Lampung atau anggota dari dan sendiri seperti di

Bali atau saudara sepupu seperti di Jawa, Sulawesi atau anak tiri.

Pengangkatan anak tiri terdapat di Rejang, yaitu dikenal dengan istilah


22
Muhammad, Bushar, 1981, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal.67
19

Mulang Jurai. Tata cara pengesahan anak tersebut melalui upacara adat

adalah bersifat pluralistis, hal ini disebabkan karena adanya 19

lingkungan hukum adat di Indonesia.

Di Indonesia terdapat bermacam-macam istilah untuk anak angkat

seperti Mupu anak (di Cirebon), Ngukut anak (Jawa Barat- Suku

Sunda), Nyentanayang (di Bali), Meki anak (di Minahasa), Ngukup

anak (Suku Dayak Manyan), mulang jurai (di Rejang - Bengkulu) dan di

Batak Karo istilahnya sama yaitu anak angkat. Di Bali terdapat

pengangkatan anak yang mengubah status anak perempuan menjadi

status laki-laki dalam perkawinan keceburin, yang disebut Sentana

rajeg23. Hal ini mirip dengan perkawinan ambil anak yaitu seorang anak

laki-laki diambil menjadi suami dari seorang gadis yang tumbuh pada

sistem kekeluargaan patrilinial. Tujuannya untuk mencegah punahnya

keturunannya, maka perkawinan ambil anak itu dilakukan agar anak

yang lahir dari perkawiran tersebut termasuk dan si istri24 (Saragih, 1984 :

137). Di Minangkabau tidak dikenal lembaga pengangkatan anak dalam

hukum adatnya, tidak terang apakah ini disebabkan oleh pengaruh

hukum Islam atau disebabkan oleh adanya sifat keibuan dari sistem

kekeluargaannya25. Di daerah itu yang ada hanya pengangkatan anak

untuk dipelihara dan diasuh sebagai anak sendiri. Anak yang bersangkutan

23
. Op.Cit. hal. 11
24
. Saragih, Djaren, 1984, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hal.
90
25
. Prodjodikoro, Wiryono, 1991, Hukum Warisan di Indonesia, Cetakan Kesepuluh, Sumur
Bandung, Bandung, hal. 55
20

biasanya masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan si pengambil

anak. Hubungan anak tersebut dengan orang tuanya tidak terputus, tetap

menjadi ahli waris dari orang tua asalnya dan si anak bukan merupakan

ahli waris orang tua angkatnya.

Sistem kekeluargaan mempengaruhi sistem kewarisan, seperti

masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan matrilinial sistem hukum,

warisannya akan mengikuti garis keturunan ibu/perempuan. Kalau sistem

kekeluargaan yang patrilinial, hukum warisnya akan mengikuti garis

keturunan bapak/laki-laki. Adapun kalau masyarakat yang menganut

sistem kekeluargaan parental, ahli warisnya akan berhak mewaris baik dari

garis bapak maupun dari garis ibu.

Di dalam persekutuan yang geneologis menurut garis keturunan satu

pihak, seperti matrilinial di Minangkabau, patrilinial di Tapanuli dan di

Bali hanya terdapat satu garis untuk menarik garis keturunan. Pada

masyarakat yang susunannya matrilinial keturunan menurut garis ibu

dipandang lebih penting, sehingga menimbulkan hubungan/pergaulan

kekeluargaan yang jauh lebih dekat dan meresap diantara anggota

keturunan garis ibu. Hal tersebut menimbulkan konsekwensi-konsekwensi

tersendiri baik dalam keluarga maupun pewarisan. Demikian pula

sebaliknya dalam masyarakat yang susunannya menurut garis keturunan

bapak, keturunan pihak bapak penilaiannya lebih tinggi, serta hak- haknya

juga lebih banyak.


21

Lazimnya untuk kepentingan keturunan, dibuat silsilah, yaitu suatu

bagan yang menggambarkan dengan jeias garis-garis keturunan dari

seseorang, baik lurus ke atas maupun lurus ke bawah maupun

menyamping26. Pada silsilah tersebut nampak adanya hubungan-hubungan

secara jelas yang ada diantara para warga (hubungan kekeluargaan)

bersangkutan. Hubungan kekeluargaan ini merupakan faktor yang sangat

penting dalam :

a. Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan

kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami istri

(misalnya terlalu dekat, kakak-adik sekandung dan lain sebagainya).

b. Masalah waris, hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian

harta peninggalan27

2.2 Pewarisan

2.2.1 Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga

masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-

kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan

perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan

keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang

keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian

tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan

26
. Wignjodipoero, Soerojo, 1987, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adati, Haji Mas Agung,
Jakarta, hal. 64
27
Wignjodipoero, Soerojo, 1980, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adati, Haji Mas Agung,
Jakarta.hal.12
22

seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-

tidaknya ditoleransi28.

Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang, harta benda dan barang yang

tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari satu angkatan manusia

(generasi) kepada turunannya29.

Pada saat ini, masyarakat Indonesia mengenal adanya tiga sistem

hukum waris, yaitu sistem hukum waris adat, sistem hukum waris Islam dan

sistem hukum waris menurut KUH Perdata. Menurut Ter Haar, hukum waris

adat merupakan hukum yang bertalian dengan proses aturan-aturan

penurunan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke

turunan30. Selanjutnya dijelaskan hukum waris adat sebagai hukum yang

menurut peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta

mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud

benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa hukum waris adat itu

meliputi keseluruhan azas, norma dan keputusan hukum yang bertalian

dengan proses penurunan serta pengalihan haita benda (materiil), harta cita

(non materiil) dari generasi satu kepada generasi berikutrya. Di samping itu

hukum waris adat tidak hanya mengatur pewarisan akibat kematian seseorang
28
Wulansar, C. Dewi. 2013.Hukum Adat Indonesia - Suatu Pengantar, Cetakan ketiga,
Bandung: PT Refika Aditama, hal.47
29
Soeroso, R.2000.Perbandingan Hukum Perdata, Cetakan Kelima, Jakarta: Sinar
Grafika,hal 63
30
Mr. B. Ter Haar. 1994.Asas-asas Dan SusunanHukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng.
Soebekti Poesponoto, Cetakan Kesebelas, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 144
23

saja, melairikan juga mengatur pewarisan sebagai akibat pengalihan harta

kekayaan. Kekayaan tersebut baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud, baik yang bernilai uang maupun yang tidak bernilai uang dari

pewaris kepada ahli warisnya, baik ketika masih hidup maupun sesudah

meninggal dunia.

Sebagai suatu proses maka peralihan dalam pewarisan itu sudah dapat

dimulai ketika pemilik harta kekayaan itu masih hidup. Proses tersebut

berjalan terus sehingga masing-masing keturunannya menjadi keluarga-

keluarga yang berdiri sendiri yang disebut mencar dan mentas (Jawa), yang

pada saatnya nanti ia juga akan memperoleh giliran untuk meneruskan proses

tersebut kepada generasi berikutnya. Proses itu tidak menjadi akut karena

meninggalnya orang tua, meninggalnya bapak atau ibu tidak akan

mempengaruhi proses penurunan dan pengoperan harta benda dan harta

bukan harta benda tersebut31 (Prodjodikoro, 1991: 41).

Di Bali proses meneruskan harta benda keluarga baru dimulai sejak

kedua orang tuariya meninggal dunia dan jenazah kedua orang tuanya telah

diabenkan. Jadi sistem pewarisan di Bali itu baru terbuka selebar-lebarnya

apabila kedua orang tua telah meninggal dunia dan jenazah telah diabenkan.

Pada saat pewarisan terbuka maka harta peninggalan yang terpencar-pencar

dikumpulkan kembali kemudian dibagi-bagi.

Korn mengatakan dalam bukunya Panetje hukum pewarisan adalah

bagian yang paling sulit dari hukum adat di Bali. Hal ini karena perbedaan-

perbedaan di beberapa daerah dalam wilayah hukum Bali, baik mengenai


31
Op.Cit. hal. 17
24

banyaknya barang-barang yang boleh diwariskan atau mengenai banyaknya

bagian masing-masing ahli waris, maupun mengenai putusan-putusan

pengadilan adat32. Paswara Residen Bali dan Lombok tahun 1900, mengenai

pewarisan menentukan bahwa harta warisan terjadi dari hasil bersih

kekayaan pewaris yang telah di potong hutangnya, termasuk juga hutang

yang dibuat untuk ongkos menyelenggarakan pengabenan pewaris.

Pembagian harta warisan dibagi antara ahli waris sama rata, sedangkan untuk

kepentingan biaya puri atau merajan dan kepentingan adat lainnya mereka

keluarkan sama rata juga. Pengadilan negeri sekarang cendrung memenuhi

apabila ada tuntutan yang demikian33

2.2.2 Ahli Waris Dalam Hukum Waris Adat

Menurut hukum adat anak-anak dan si peninggal warisan merupakan

golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya

merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota

keluarga tidak menjadi ahli waris, apabila si peninggal warisan meninggalkan

anak-anak. Jadi dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain

anggota keluarga dari si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup34

Pada umumnya yang jadi ahli waris ialah para warga yang paling karilo

dalam generasi berikutnya, ialah anak-anak yang dibesarkan di dalam

keluarga/braya si pewaris yang pertama-tama mewaris ialah anak-anak

32
Panetje, Gde, 1989, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Cetakan Kedua, Guna Agung,
Denpasar, hal. 70
33
Ibid, hal.23
34
Wiryono Prodjodikoro, 1983, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, hal
46
25

kandung35. Jadi ahli waris utama dalam hukum adat adalah anak kandung dan

dasar mewaris dalam hukum adat adalah hubungan darah. Apabila pewaris

tidak mempunyai anak kandung maka anak angkat berhak atas warisan

sebagai anak, bukan sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak

telah menghapuskan peranya sebagai orang asing dan menjadikannya

perangai anak, maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak.

Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan

patrilineal maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan

anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian dari sistem

patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali, apabila pewaris hanya

mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan Sentana rajeg

dengan melakukan perkawinan Nyeburin yaitu si wanita kawin dengan si

laki-laki dengan menarik laki-laki itu kedalam rumpun keluarganya. Di sini si

wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki

berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan berlaku hukum

kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi laki-laki

yang kawin Nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita36.

Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris

mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung lelaki terdekat, demikian

seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap

segala sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota

35
Sudiyat, Imam, 1981, Sketsa Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, hal. 76
36
Artadi, I Ketut, 1987, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Dengan
Yudisprudensi, Cetakan Kedua, Setia Kawan, Denpasar, hal. 99
26

kerabat37. Pendapat ini sesuai dengan Paswara Residen Bali dan Lombok

tahun 1900, yang menentukan syarat-syarat pengangkatan sentana. Pasal 11

dari paswara itu menentukan seorang boleh mengangkat sentana dari

keluarga kepurusa terdekat dan paling jauh dalam derajat kedelapan

(mingtelu menurut stelsel klasifikasi) menyimpang dari ketentuan ini hanya

dibolehkan dengan persetujuan keluarga lebih dekat dari calon pertama itu

atau dengan izin pemerintah38.

Di Bali akibat dari pengangkatan anak dalam hukum adat adalah bahwa

anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak yang lahir dari perkawinan

suami istri yang mengangkatnya sama seperti anak kandung dan hubungan

dengan keluarga asal jadi putus39.

2.2.2 Sistem Pewarisan Dalam Hukum Waris Adat

Hukum waris adat Bali bersumber pada awig-awig yang tertulis dan

kebiasaan masyarakat di masing-masing daerah. Awig- awig merupakan

peraturan-peraturan yang tertulis yang berlaku di teritorial masyarakat hukum

adat di masing-masing daerah di Bali. Kebiasaan yang berlaku senada dengan

desa mawacara, desa, kala dan patra yang artinya disesuaikan dengan

tempat, waktu dan keadaan.

Pewarisan adalah hubungan hukum atau kaidah hukum yang mengatur

hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan

37
Hadi Kusuma, Hilman, 1990, Hukum Waris Adat, Cetakan Keempat, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 45
38
Ibid, hal. 45
39
Satrio, J., 2000, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, Citra
Aditya Bakti, Bandung.hal.24
27

yang ditinggalkan, baik setelah pewaris meninggal ataupun selagi pewaris itu

masih hidup40. Hubungan hukum ini merupakan kaidah-kaidah yang bersifat

mengatur dan merupakan keadaan hukum yang mengakibatkan terjadi

perubahan hak dan kewajiban secara pasti dan melembaga. Dengan demikian

perubahan dan peralihan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain dan

merupakan suatu proses yang harus dilakukan secara tepat dan benar. Proses

yang dimaksudkan dalam hal ini adalah cara sebagai suatu upaya yang sah

dalam perubahan hak dan kewajiban atas harta warisan dan besarnya

perolehan berdasarkan kedudukan para pihak karena ditentukan oleh hukum.

Di Indonesia secara garis besar dikenal tiga sistem pewarisan, yaitu :

1. Sistem Pewarisan Individual

Suatu sistem pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk

dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-

masing. Sistem pewarisan ini contohnya pada masyarakat parental di Jawa.

2. Sistem Pewarisan Kolektif.

Pada sistem ini harta warisan diteruskan dan dialihkan pemilikannya dari

pewaris kepada ahli warisnya sebagai suatu kesatuan yang tidak terbagi-

bagi penguasaan dan pemilikannya. Setiap ahli waris berhak untuk

mengusahakan, menggunakan dan mendapatkan hasil dari harta warisan

itu. Sistem pewarisan kolektif ini contohnya pada masyarakat matrilinial di

Minangkabau.

3. Sistem Pewarisan Mayorat.

40
Pudja, I Gde, 1977, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari,
Jakarta, hal. 34
28

Sistem mayorat ini sebenarnya juga sistem pewarisan kolektif, hanya saja

penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-

bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin

rumah tangga41. Sistem pewarisan mayorat contohnya di Pulau Bali,

dimana anak laki-laki tertua mempunyai hak mayorat tetapi dengan

kewajiban memelihara adikadiknya serta mengawinkan mereka.

Azas mayorat dalam pewarisan anak sulung ini dapat menjadi

temah, apabila diantara anak lelaki yang lebih muda menuntut agar harta

warisan orang tua dibagi guna modal kehidupan keluarganya. Di Bali

keadaan ini sudah mulai berkembang, bahwa sistem mayorat melemah

karena anak sulung tidak lagi menetap menunggu rumah tua, melainkan

telah pula mengikuti perkembangan zaman hidup di kota42

Ketiga sistem pewarisan tersebut masing-masing tidak langsung

menunjuk pada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu tempat sistem

pewarisan itu berlaku. Sistem tersebut dapat ditemukan juga dalam

berbagai bentuk susunan masyarakat, bahkan dalam satu bentuk susunan

masyarakat dapat ditemui lebih dari satu sistem pewarisan.

Adanya persyaratan yang relatif ketat dalam pengangkatan anak

menurut hukum adat Bali dibandingkan dangan ketentuan serupa

berdasarkan hukum yang lainnya, terkait dengan swadharma dan spirit

matindih. Seorang anak angkat yang diangkat anak sesuai dengan

hukum adat Bali, memiliki kedudukan yang sama persis dengan anak

41
Ibid. hal. 24
42
Ibid, hal.27
29

kandung. Hal ini berarti, anak angkat harus melaksanakan kewajiban

(swadharma) terhadap keluarga dan masyarakat, dan mendapatkan hak

(swadikara) yang sama dengan anak kandung.

Kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat (desa pakraman) yang

harus dilaksanakan, dapat dikelompokkan menjadi tiga. (1) Kewajiban

yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan sesuai dengan ajaran agama

Hindu (parhayangan), (2) kewajiban yang berhubungan dengan aktivitas

kemanusiaan (pawongan) dan kewajiban memelihara lingkungan

(palemahan) baik itu untuk kepentingan keluarga maupun masyarakat.

Kewajiban sosial- spiritual ini pada dasarnya adalah untuk meneruskan

penauran (membayar utang), yang dikenal dengan tri rna (tiga utang), yang

terdiri atas: (1) Dewa rna atau utang jiwa kepada Tuhan. (2) Pitra rna atau

utang kehidupan kepada leluhur (orangtua). (3) Rsi rna atau utang ilmu

pengetahuan kepada orang-orang suci (termasuk guru). Utang yang nyata

(sekala), dibayar secara nyata dalam bentuk materi, sementara utang gaib

(niskala), ''dibayar'' dengan melaksanakan upacara agama sesuai dengan

ajaran agama Hindu.

2.2.3 Macam - Macam Harta Warisan Dalam Hukum Waris Adat

Pada masyarakat adat Bali, umumnya yang dipandang sebagai

pewaris adalah laki-laki yang telah meninggal dunia. Dengan demikian

persoalan pewarisan baru akan muncul dalam satu keluarga apabila si bapak

yang meninggal dunia, sedangkan jika si ibu yang meninggal dunia tidaklah

timbul persoalan pada pewarisan, karena selama si bapak masih hidup


30

kekuasaan atas harta kekayaan keluarga ada di tangannya. Hal ini sesuai

dengan susunan kekeluargaan patrilinial yang umumnya dianut oleh

masyarakat adat Bali .

Unsur-unsur pewarisan menurut hukum adat di Bali terdiri dari

pewaris, harta warisan, dan ahli waris. Beralihnya harta warisan dari

pewaris kepada ahli waris terjadi ketika pewaris meninggal dunia. Hak

sebagai ahli waris akan diterima ketika ahli waris telah melakukan

kewajibannya sebagai ahli waris, kewajiban diantaranya merawat orang tua

ketika masih hidup, mengabenkan (membakar) dan menyembah leluhur

ketika telah meninggal dunia dan meneruskan kewajiban pewaris.

Harta warisan merupakan objek hukum waris yang berarti semua harta

yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris).

Pengertian harta dalam hal ini tidak saja menyangkut harta yang mempunyai

nilai ekonomis saja, melainkan meliputi pula harta yang mempunyai arti

religius. Soeripto menjelaskan bahwa setiap keluarga Hindu Bali

mempunyai harta/kekayaan, keluarga berupa harta benda baik yang

mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada hubungannya

dengan keagamaan/upacara-upacara keagamaan dan harta tidak mempunyai

nilai magis religius antara lain: harta akas kaya, harta jiwa dana, harta druwe

gabro43.

Di tinjau dari macamnya, harta warisan menurut hukum adat dapat

dibedakan menjadi :
43
Soeripto, 1973, Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum Universitas Negeri
Jember, hal. 71
31

1. Harta Pusaka (tatamian)

Merupakan harta yang mempunyai nilai magis religius dan lazimnya

tidak dibagi-bagi. Proses pewarisannya dipertahankan dilingkungan

keluarga secara utuh dan turun temurun jangan sampai keluar dari

lingkungan keluarga. Di Bali harta pusaka ini umumnya berkaitan

dengan tempat-tempat persembahyangan, sehingga keutuhannya tetap

dipertahankan demi kepentingan keagamaan dan bukan untuk

kepentingan lain. Hal ini mengingat masyarakat Bali yang mayoritas

menganut agama Hindu. Adapun yang termasuk jenis harta pusaka di

Bali adalah sanggah, keris pengentas, alat-alat upacara, tanah bukti,

pemerajaan, laba pura dan druwe tengah.

2. Harta Bawaan (tatatadan)

Merupakan harta warisan yang asalnya bukan didapat karena

jerih payah bekerja sendiri dalam perkawinan melainkan merupakan

pemberian karena hubungan cinta kasih, balas jasa atau karena sesuatu

tujuan. Pemberian ini dapat terjadi dalam bentuk benda tetap atau barang

bergerak.

3. Harta Bersama (peguna kaya)

Merupakan harta yang diperoleh suami istri dalam perkawinan.

Pada hukum adat Bali disebut harta druwe gabro. Penyebutan istilah

harta bersama ini ternyata belum ada keseragaman di Bali, ada yang

menyebut yuna kuya, maduk sekaya, pekaryan sareng, peguna kaya,

sekaya sareng kalih dan sebagainya (Soeripto, 1973 : 99). Apabila terjadi
32

perceraian, barang-barang yang disebut barang guna kaya (druwe gabro)

itu harus dibagi dua sama rata (Artadi, 1987 : 27).

Kedudukan ahli waris atau keturunan sangat penting, terkait

dengan penerusan tanggung jawab orang tua dan leluhur baik itu

berupa kewajiban (swadarma) maupun hak (swadikara).

BAB III

METODE PENELITlAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif deskriptif

karena dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan berupa data yang

menggambarkan secara rinci, bukan data yang berupa angka-angka. Hal ini karena

pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

diamati44. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan ilmiah yang mengungkap

situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk

oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan analisis data yang relevan yang

diperoleh dari situasi yang alamiah45.

3.2 Jenis Penelitian

44
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008),
hal.4.

45
Ibid...hal.4
33

Pendekatan kualitatif menurut Best sebagaimana dikutip oleh Sukardi

adalah “sebuah pendekatan peneltian yang menggambarkan dan

menginterprestasikan objek sesuai dengan apa adanya”46.3 Jadi penelitian

kualitatif penelitian yang mengkasilkan kesimpulan berupa data yang

menggambarkan secara rinci, bukan data yang berupa angka-angka. Penelitian

kualitatif adalah penelitian yang mengandalkan pengamatan, wawancara, dan

dokumentasi pada obyek penelitian sehingga dihasilkan data yang

menggambarkan secara rinci.Penelitian ini adalah deskriptif, karena tujuan dari

penelitian deskriptif yaitu untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antar fenomena yang diselidiki. Sesuai dengan fokus dan tujuan

penelitian, jenis penelitian ini sangat tepat karena peneliti akan mendeskripsikan

data bukan untuk mengukur data yang diperoleh.

Sesuai dengan penelitian ini, nantinya peneliti akan mencari data-data

deskriptif tentang segala permasalahan yang timbul dalam Perlindungan Anak

Angkat Dalam Hak Waris Dari Pandangan Agama Hindu Berdasarkan Hukum

Adat Bali yang terjadi di dalam masyarakat khususnya dalam masyarakat adat

Bali pada umumnya dan masyarakat hukum di Desa Lokapaksa Kecamatan Seririt

Di Kabupaten Buleleng.

Dalam penelitian ini penulis mendiskripsikan temuan-temuan yang

merupakan data bersama dan keunikan-keunikan yang ditemukan dilapangan.

3.3 Data dan Sumber Data


46
Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan:Kompetensi dan Prakteknya, (Jakarta: Bumi
Aksara,2005),hal. 157
34

Mengenai jenis dan sumber data yang digunakan adalah sebagai

berikut:

3.3.1 Data Primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari hasil

penelitian dengan pihak responden yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian.

3.3.2 Data Sekunder yakni data yang diperoleh berupa sumber-sumber

tertulis, seperti dokumen-dokumen termasuk juga literatur-literatur

bacaan lainnya yang sangat berkaitan dengan pembahasan penelitian

ini.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif

karena penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahan dan gambaran

data yang diperoleh47. Dalam setiap proses pengumpulan data pasti ada teknik

yang digunakan sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Dalam

pengumpulan data tentang Perlindungan Anak Angkat Dalam Hak Waris Dari

Pandangan Agama Hindu Berdasarkan Hukum Adat Bali di Kabupaten

Buleleng, maka untuk memperoleh data-data yang diinginkan peneliti serta

data-data yang faktual dan akurat, Peneliti menggunakan metode

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara/Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewancara

untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Metode wawancara adalah

suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam percakapan yang bertujuan

47
Ahmad Tanzeh dan Suyitno. 2006, Dasar-Dasar Penelitian, Surabaya: Elkaf, 2006, hal. 58
35

untuk memperoleh informasi. Hal ini dilakukan antara dua orang atau

lebih48. Pada penelitian ini peneliti langsung untuk dapat melihat dari dekat

menggunakan teknik pengumpulan data interview, yaitu pengumpulan data dengan

wawancara langsung kepada pihak- pihak dan sesuai dengan objek penelitian

dalam hal ini Orang Tua Angkat, Anak Angkat, Bendesa Adat dan Kelian Banjar.

2. Metode Kepustakaan, Menggunakan literature yang ada relevansinya denggan

pembahasan serta dikumpulkan melalui studi buku-buku literatur yang ada

hubungannya dengan pokok tesis ini, dan peraturan perundang-undangan.

3.5 Populasi dan Sampel

1. Populasi dari penelitian ini adalah orang tua angkat yang pernah

memberikan warisan dan anak angkat yang pernah menerima warisan di

Desa lokapaksa, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng. Sedangkan

metode penarikan sampe yang digunakan adalah purposive non random

sampling yaitu penarikan sampel bertujuan dilakukannya dengan cara

mengambil subyek yang didasarkan pada suatu tujuan tertentu yaitu untuk

mengetahui bagaimana perlindungan waris anak angkat di dalam pewarisan

menurut hukum waris adat Bali, teknik ini dilakukan karena jumlahnya

tertentu.

2. Jumlah sampel yang akan diteliti adalah 10 orang, yaitu terdiri dari 5 orang

tua angkat dan 5 anak angkat, kemudian 1 orang Bendesa Adat, dan 2 orang

Kelian Banjar.

48
Arikunto Suharsimi. 2001, Dasar-Dasar Evaluasi Penelitian Jakarta: Bumi
Aksara,hal30
36

3.6 Teknik Analisis Data

Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan baik dalam data primer

maupun data sekunder diolah terlebih dahulu, dianalisis secara kualitatif,

selanjutnya disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menjelaskan,

menguraikan dan menggambarkan permasalahan serta penyelesaiannya yang

berkaitan erat dengan penulian tesis ini.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Buleleng dibagi dalam enam kecamatan, yaitu Kecamatan Banjar,

Kecamatan Busung Biu, Kecamatan Buleleng, Kecamatan Grokgak, Kecamatan

Kubutambahan dan Kecamatan Sawan. Kecamatan Sukasada dan Kecamatan Tejakula.

Kecamatan Seririt terdiri dari dua puluh desa : Desa Banjar Asem, Desa Bestala, Desa

Bubunan, Desa Gunungsari, Desa Joanyar, Desa Kalianget, Desa Kalisada, Desa

Lokapaksa, Desa Mayong, Desa Munduk Bestala, Desa Pangkung Paruk, Desa

Patemon, Desa Pengastulan, Desa Rangdu, Desa Ringdikit, Desa Sulanyah, Desa

Tangguwisia, Desa Ularan, Desa Umeanyar, Desa Unggahan

Penelitian ini dilakukan di Desa Lokapaksa, Wilayah Desa dapat dikatakan

dengan istilah "Nyegara Gunung" mengingat wilayah Desa Lokapaksa jika

ditinjau dari sisi topografi Desa Lokapaksa yang terdiri dari wilayah dengan

dataran rendah pada sisi utara dan terdiri dari daerah yang berbukit mulai dari

ketinggian 7 – 300 M dpl pada sisi selatan, dengan luas wilayah desa mencapai :

28,84 KM2 . Secara Geografis batasan Wilayah Desa Lokapaksa adalah sebagai

Berikut :

 Sebelah Barat : Desa Umeanyar dan Desa Pangkung Paruk

 Sebelah Barat Laut : Desa Umeanyar, Laut Bali

 Sebelah Utara : Laut Bali

 Sebelah Timur Laut : Desa Pengastulan

 Sebelah Timur : Kelurahan seririt, Desa Patemon

 Sebelah Tenggara : Desa Ringdikit


37
38

 Sebelah Selatan : Desa Ularan

 Sebelah Barat Daya : Desa Unggahan dan Kawasan Hutan Bali Barat.

Mengingat sangat luasnya wilayah Desa Lokapaksa, maka wilayah Desa

Lokapaksa dibagi menjadi 9 Banjar Dinas yaitu Banjar Dinas Carik Agung,

Banjar Dinas Pamesan, Banjar Dinas Tengah, Banjar Dinas Gunung Ina, Banjar

Dinas Jero Agung, Banjar Dinas Bukit Sakti, Banjar Dinas, Banjar Dinas Sorga

Mekar, Banjar Dinas Kembang Sari.49

4.2 Pelaksanaan Pengangkatan Anak Agar Sah Berdasarkan Hukum Waris


Adat Bali

4.2.1 Adanya Upacara Peras

Menurut Harahap menjelaskan bahwa umumnya tata cara pengangkatan

anak yang dilakukan oleh golongan warga negara Indonesia asli adalah

dilaksanakan secara terang benderang, yaitu dengan upacara adat.

Perkecualiannya pengangkatan anak yang dilakukan di Jawa Barat tidak

memerlukan upacara adat apapun. Di Bali pengangkatan anak harus dilakukan

dengan terang melalui upacara adat dan dengan tunai, yaitu membayar sejumlah

uang sebesar seribu kepeng disertai pakaian perempuan kepada ibu kandung si

anak.

Adapun bentuk dan prosesi upacara yang dilakukan dalam pengangkatan

anak di Bali berupa upacara keagamaan yang disebut upacara Widiwidana atau

pemerasan. Upacara Widiwidana ini dilaksanakan dengan sajen atau banten

pemerasan, pada saat upacara pemerasan benang tridatu pada sajen dibakar

selanjutnya ditarik oleh anak angkat sampai benang tersebut putus. Adapun
49
https://lokapaksa.desa.id/page/27/Wilayah.html
tujuannya sebagai pemutus hubungan antara anak yang angkat dengan orang tua

kandungnya, dan memiliki makna memasukkan anak tersebut ke dalam

lingkungan keluarga yang mengangkat. Dampaknya hak dan kewajiban orang tua

angkat dalam bidang agama (immateriil) beralih kepada anak angkat, diantaranya

si anak angkat mempunyai kewajiban harus mengabenkan orang tua, angkat jika

meninggal dunia nanti serta menyembah sanggah atau pemerajan milik orang tua

pengangkat.

Artadi menjelaskan bahwa pelaksanaan upacara Widiwidana atau

pemerasan harus dilakukan secara terbuka dan disaksikan oleh Kelian Adat,

keluarga kepurusa dari orang kandung dan orang tua angkat, sehingga tidak ada

keragu- raguan lagi setelah upacara adat tersebut dilakukan. Selanjutnya diadakan

pengumuman/siar di Banjar oleh Kelian Adat/Banjar. Hal ini mengandung makna

bahwa antara warga dan persekutuan tidak dapat dipisahkan serta mencegah

timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti adanya pihak lain yang
39
menyangkal.

Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di

dalam kehidupan bermasyarakat ini, haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu

sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat dan tidak menyimpang

atau melanggar hukum adat setempat. Apabila syarat yang telah ditentukan tidak

terpenuhi, maka segala perbuatan yang dilakukan belumlah dapat dikatakan sah

atau resmi adanya. Singkatnya perbuatan hukum yang telah terjadi dapat dikatakan

masih disangsikan kebenarannya dan secara yuridis formal perbuatan itu termasuk

perbuatan yang batal demi hukum, karena tidak memenuhi persyaratan secara
40

hukum (yuridis).

Manusia dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah terlepas antara satu orang

dengan lainnya, mereka akan selalu mengadakan interaksi di dalam menunjang

gerak langkah atau tingkah laku masing- masing demi tercapainya tujuan seperti

apa yang diharapkan. Ini bukanlah berarti manusia itu dapat semena-mena dan

bebas melakukan aktivitasnya tanpa memperhatikan lingkungan yang ada

disekitarnya. Sebagai langkah awal harus diperhatikan dalam bertingkah laku di

masyarakat adalah suatu peraturan yang berlaku, baik itu dalam bentuk hukum

tidak tertulis yang umumnya disebut Hukum Adat maupun hukum tertulis.

Setiap pelanggaran peraturan-peraturan atau tata tertib yang berlaku di dalam

masyarakat sudah tentu ada sanksinya sebagai suatu resiko atau akibat dari

pelanggaran yang dilakukan. Pelanggaran peraturan tidak tertulis dalam

masyarakat maka sanksinya dari masyarakat adat, karena masyarakat adat yang

membuat peraturan tersebut. Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan tertulis

dari pemerintah maka akan ditindak oleh pemerintah.

Demikian halnya dengan perbuatan pengangkatan anak harus sesuai

syarat-syaratnya, tujuannya agar di kemudian hari tidak terjadi pertengkaran atau

perselisihan dalam lingkungan keluarga, disamping untuk menjaga hal yang tidak

diharapkan terjadi demi harkat dan martabat kedua belah pihak. Sudah seharusnya

pihak yang akan mengangkat anak mengadakan musyawarah terlebih dahulu

untuk menentukan anak siapa yang akan diangkat. Setelah itu baru datang

membicarakan dengan pihak keluarga anak yang mau diangkat. Jika sudah

mendapat persetujuan dan keluarga anak yang akan diangkat dan tidak ada
keberatan dari pihak lain maka barulah ditentukan hari baik untuk pelaksanaan

upacara Widhi Widana/pemerasan.

Berdasarkan penelitian di lapangan yaitu wawancara dengan Bendesa

Kelian Banjar Dinas Carik Agung, bapak Ketut Mutrika Tanggal 6 Desember

2022, syarat-syarat anak yang diangkat menurut hukum adat setempat adalah :

pertama-tama diusahakan anak yang diangkat atau yang mau diangkat dari

lingkungan keluarga purusa, dan apabila tidak ada yang pantas diangkat dari

keluarga purusa barulah dicari anak dari keluarga predana/perempuan. Apabila

tidak ada yang mau/sama sekali tidak ada anak, barulah boleh mencari anak

angkat dan luar keluarga atau masyarakat luas.50

Pada umumnya anak yang akan diangkat itu diutamakan anak laki-laki

dan apabila tidak ada anak laki-laki barulah bisa terhadap anak perempuan.

Oleh karena hal ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yang ada atau dianut di

Bali yaitu Patrilinial (kebapaan) dan menyangkut status dari pada anak yang

bersangkutan, sehingga kelak tidak diperlukan lagi merubah status menjadi

Sentana rajeg. Oleh karena anak angkat yang bersangkutan diharapkan sekali

dapat sebagai penerus keturunan dari keluarga yang mengangkat. 41

Perbuatan pengangkatan anak yang ingin dilakukan inipun harus sesuai

dengan syarat-syarat yang ditentukan. Hal ini untuk membuktikan keabsahan

suatu perbuatan hukum yang dilakukan dan demi adanya kepastian hukum.

Adapun persyaratan yang dipenuhi dalam hal pengangkatan anak menurut

Hukum Adat Bali yaitu :

a. Orang yang melakukan pengangkatan anak itu harus berhak untuk


50
Ketut Mutrika Klain Banjar Carik Agung, Wawancara 6 Desember 2022
42

melakukan perbuatan tersebut

Pada umumnya pengangkatan anak itu dilakukan oleh pasangan suami istri

yang dalam perkawinannya tidak dikaruniai seorang anakpun.

Pasangan suami istri ini ditinjau dari sudut hukum memang orang yang

paling berhak untuk melakukan perbuatan pengangkatan anak. Mengenai

kewenangan mengangkat anak ada kemungkinan dilakukan oleh seorang duda.

Oleh karena pada prinsipnya pengangkatan anak tujuannya sebagai pelanjut

keturunan pihak keluarga laki-laki (suami), sehingga kewenangan untuk ini ada

pada pihak laki-laki. Di samping itu anak yang diangkat itu dianggap sama

dengan anak kandung sendiri, di dalam hal ini istri yang menjadi perlambang

telah melahirkan anak itu harus ada.

Kemudian dari segi kewajiban kepada masyarakat, seorang laki- laki yang

sudah kawin dalam suatu keluarga Hindu Bali diwajibkan turun ayah, yaitu masuk

menjadi anggota banjar dan melaksanakan kewajiban adat di desa adatnya.

Persyaratan turun ayah ini hanya boleh dilakukan oleh seorang laki-laki yang

sudah kawin, karena kewajiban adat ini banyak memerlukan tenaga dan biaya.

Adapun tujuan mebanjar ini (masuk menjadi warga banjar) untuk dapat

memperoleh hak-hak dalam hukum adat.

Pengangkatan anak oleh seorang bujang laki-laki maupun perempuan di

dalam masyarakat adat Bali akan mengalami kesulitan karena si bujang akan

dibebankan ayahan (kewajiban adat orang yang sudah kawin). Keadaan ini akan

lebih baik bila si bujang tidak melakukan pengangkatan anak karena segala

kewajiban si bujang terhadap desa adat dilakukan oleh laki-laki yang sudah kawin
dalam keluarganya.

I Gde Pudja menjelaskan bahwa seorang wanita yang belum menikah (daha

tua) tidak mungkin bisa melakukan pengangkatan anak sebab anak wanita di Bali

tidak mewaris sehingga pengangkatan anak akan berakibat menelantarkan anak

itu. Di samping itu dilihat dari kedudukan wanita dari sudut hukum Hindu (dasar

hukum adat Bali), maka seorang wanita itu ada di bawah pengawasan

/pemeliharaan keluarga laki-laki/ purusa.

Di dalam hukum hindu yaitu Kitab Menawa Dharmasastra pasal IX 2 - 3

berbunyi :

IX.2 Siang malam wanita harus dipelihara, tergantung kepada


keluarga mereka, dan kalau terlalu terikat oleh nafsu
indrianya, hendaknya selalu dibawah pengawasan seseorang.
IX.3 Ayah akan melindungi selagi ia masih kanak-kanak dan bila
telah dewasa oleh suaminya dan bila telah tua oleh putra-
putranya, dan wanita tidak pernah layak untuk bebas.

Dari kedua pasal di atas dapat dipetik asas dasar kedudukan seorang wanita

yang selalu berada di bawah keluarga kepurusa yang dalam urut-urutannya jika ia

tidak kawin maka ia dipelihara oleh keluarganya. Apabila wanita bujang

umpamanya berhasil berusaha memiliki harta akas kaya), maka selama ia belum

kawin ia senantiasa masih berada di bawah pemeliharaan saudara-saudaranya,


43
karena wanita tidak layak untuk bebas.

Berdasarkan hasil penelitian dari 5 (lima) kasus pengangkatan anak di Desa

Lokapaksa, ada 4 (empat) kasus pengangkatan anak dilakukan oleh pasangan

suami istri dan 1 (satu) kasus dilakukan oleh seorang duda.

Pada pengangkatan anak di Bali keluarga kepurusa akan menunjuk


44

keluarga-keluarga terdekat untuk bisa diangkat. Hal ini disebabkan keturunan

terdekat masih mempunyai ikatan yang kuat dengan kewajiban-kewajiban mutlak

kepada leluhur yang sama. Disamping itu, mengingat pengangkatan anak dapat

membawa konsekuensi sebagai pelanjut keturunan pihak laki-laki, sesuai sistem

kekeluargaan patrilineal yang dianut masyarakat Bali.

Dalam proses pengangkatan anak ini yang paling ditonjolkan sesungguhnya

kepentingan kelanjutan kehidupan immateriil, sehingga anak yang diangkat

haruslah memenuhi syarat yang secara nyata ada hubungannya dengan cita-cita

pemenuhan kewajiban immateriil tersebut, disamping diperlukan syarat-syarat

yang ada hubungannya dengan kelompok banjar. Jika dibandingkan dengan yang

berlaku dalam masyarakat daerah yang ada di Indonesia, yang menganut sistem

kekeluargaan lain, sangatlah berbeda dengan apa yang ada di Bali. Di Indonesia

tidak ada ketentuan tegas tentang siapa-siapa saja yang boleh melakukan

pengangkatan anak, kecuali ditentukan hanya mengenai batas usia antara

pengangkatan dengan anak yang diangkat harus mempunyai jarak umur lima belas

tahun.51

b. Anak yang diangkat itu harus memenuhi syarat.

Untuk dapat dikatakan agar supaya anak yang diangkat itu memenuhi syarat

maka, anak angkat itu harus :

1. Usianya lebih muda dari yang mengangkat ;

2. Diutamakan laki-laki.

Apabila yang diangkat anak perempuan maka status hukum dari anak

51
Kadjeng, Nyoman, 1970/1971, Sarasamuscaya, Proyek : Penerbit : Kitab Suci Hindu dan
Budha, Dirjen Bimas Hindu-Budha Buleleng , Departemen Agama RI, Jakarta
perempuan itu diubah menjadi status hukum laki-laki (purusa). Dengan jalan

menetapkannya sebagai sentana rajeg, sehingga apabila ia akan melangsungkan

perkawinan suaminya kemudian akan berstatus perempuan (predana). Apabila

diperhatikan di dalam norma hukum adat Bali, tampak terlihat melalui ketentuan

awig-awig desa adatnya. Awig-awig ini adalah aturan yang berlaku di

masyarakat dalam suatu wilayah desa adat di Bali, yang isinya mengatur

hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan hubungan

manusia dengan alam lingkungannya, dikenal dengan konsep Tri Hita Karana.

Bentuk awig- awig ini ada yang tertulis dalam lontar, buku, perunggu/ prasasti

dan ada yang tidak tertulis daiam bentuk pangeling-eling (ingatan-ingatan).

Menurut Panetje, menjelaskan bahwa di dalam awig-awig di Desa Adat

Carik Agung, Desa Lokapaksa Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, tidak ada

syarat khusus tentang anak yang diangkat, yang diatur hanya tata cara

pengangkatan anak (indik memeras) pawos 31-33 (pasal 31-33), karena

pengangkatan anak didasarkan atas kesepakatan intern keluarga. Hal ini berbeda

dengan desa adat di Bali pada umumnya yang menentukan syarat-syarat khusus

mengenai anak yang diangkat.

Awig-awig Desa Adat sifatnya lebih luwes dan mengatur hal-hal pokok

saja. Adapun sebagai bahan perbandingan kita dapat melihat isi dari awig-awig

Desa Adat Kabupaten Buleleng yaitu Desa Adat Dalang, Kecamatan Selamadeg,

Kabupaten Tabanan. Awig-awig Desa Adatnya menentukan syarat-syarat khusus

indik sentana (mengenai anak angkat), pada Adat Sidan, Pawos (pasal) 84 (4) jo

Pawos (pasal) 65 (2) Desa Adat Dalang menyatakan :


45

46

“Prade pewiwahan tan ngewetuang sentana, kengin ngidih sentana


antuk upasaksi upakara sekala niskala sane kebawos sentana
peperasan”,

Artinya;

“Apabila dari suatu perkawinan tidak berhasil melahirkan anak


(sentana) sebagai penerus keturunan mereka, maka yang
bersangkutan diberikan kewenangan untuk diberikan melakukan
pengangkatan anak (peperasan) yang disebut dengan sentana
peperasan dimana dilandasi oleh upasaksi sekala dan niskala”.

Ketentuan tersebut di atas adalah mutlak untuk diperhatikan oleh warga

masyarakat yang akan melakukan pengangkatan sentana. Tujuannya untuk

menghindari adanya suatu pelanggaran hak yang dapat menimbulkan keadaan

yang tidak seimbang atau harmonis dalam hubungan antar manusia, baik dalam

lingkungan keluarga dalam lingkungan Banjar dan desanya. Senada dengan apa

yang diungkap terdahulu khususnya yang terdapat di Daerah Kabupaten Buleleng

sudah dari dahulu diperbolehkan mengangkat sentana laki-laki atau perempuan

malahan anak yang diangkat itu bukan termasuk keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan pengangkatan anak yang

dilakukan aleh masyarakat Desa Adat Jero Agung berdasarkan kata sepakat. dari

kedua belah pihak baik dari keluarga angkat maupun keluarga kandung.

Akibatnya dari kenyataan itu mereka tidak mempermasalahkan kedudukan si anak

angkat dalam pewarisan walaupun si anak angkat bukan dari keluarga

purusa/predana bahkan anak orang lain. Dengan demikian pengangkatan anak

didasarkan atas perjanjian, pengangkatan anak itu ada sejak dicapainya kata

sepakat.

Adapun gambaran keadaan anak angkat di Desa Adat Jero Agung/ di Desa
Lokapaksa. Menurut penuturan Kelian Banjar Jero Agung Bapak I Gusti

Kompiang Weka Winaya, bahwa anak angkat adalah 3 (tiga) orang dengan

perbandingan jumlah anak laki-laki Iebih banyak dari anak perempuan, yaitu 2

(empat) orang laki-faki dan 1 (satu) orang perempuan. Hal ini karena masyarakat

Desa Adat Jero Agung masih menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu

menurut garis laki-laki/pengutamaan laki- laki. Seiring dengan perkembangan

jaman yang mempengaruhi pemikiran masyarakat Bali, khususnya di Desa Adat

Jero Agung ada beberapa anak angkat yang bukan dari keluarga pewaris sendiri

(dari sendiri). Adapun jumlah anak angkat dari keluarga pewaris sendiri adalah 2

(dua) orang dan 1 (satu) orang bukan dari dan sendiri/ orang lain.52

Hal ini menunjukkan pengangkat anak di Bali dilandasi oleh pandangan

tentang manusia sesuai dengan Pancasila, pengangkatan anak didorong oleh rasa

kemanusiaan, yang erat sekali kaitannya dengan masalah perlindungan terhadap

anak pasal 2 ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.

Pengangkatan anak selain untuk meneruskan keturunan juga untuk

kesejahteraan anak tersebut, anak-anak yang diangkat yang bukan dari keluarga

pewaris adalah anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, biasanya

diangkat saat baru lahir di rumah sakit atau rumah bersalin lainnya.

c. Harus dipenuhi syarat upacara pengangkatan anak sesuai dengan adat-


47

istiadat setempat

Selain syarat-syarat tersebut di atas syarat yang tidak kalah pentingnya

perlu sekali diperhatikan upacara pengangkatannya. Di Indonesia tata cara

52
I Gusti Kompiang Weka Winaya Selaku Klian Banjar Jero Agung, wawancara, 5 Desember
2022
48

pengangkatan anak berbeda-beda menurut hukum adat setempat. Hal ini berkaitan

dengan akibat dari pengangkatan anak tersebut yaitu memutuskan hubungan

kekeluargaan anak angkat tersebut dengan arang tua kandungnya, dan adapula

yang tidak memutuskan hubungan kekeluargaan anak tersebut.

Efektivitas pengangkatan anak di atas sejalan dengan pandangan Carl Von

Savigny yang menyatakan hukum terjelma dari jiwa rakyat (volgeist). Hukum

yang menjelma dari perasaan hukum yang nyata dari rakyat dan hukum yang

tumbuh secara terus menerus di dalam masyarakat. Satjipto Raharjo memandang

hukum bukanlah skema yang final namun terus bergerak mengikuti dinamika

kehidupan. Pandangan M. Frieadman, ada tiga unsur dalam sistem hukum yaitu

struktur, substansi dan kultur. Artinya suatu hukum dapat berjalan baik dalam

masyarakat apabila dilihat secara substsansi, isi dari hukum sudah baik dan para

penegak hukum sebagai aparat yang melaksanakan hukum memiliki etikad baik

dalam menegakkan hukum di masyarakat sesuai ketentuan yang berlaku dan

memperhatikan kultur atau budaya di masyarakat lingkungan tempat hukum itu di

terapkan juga sesuai atau diterima oleh masyarakat, dengan demikian jika ketiga

unsur tersebut sudah terpenuhi dalam suatu produk hukum maka hukum tersebut

dapat dikatakan baik dan berlaku efektif dalam masyarakat, namun demikian

apabila salah satu unsur tidak terpenuhi dalam suatu produk hukum maka hukum

itu dikatakan tidak baik dan tidak berlaku efektif dalam masyarakat.

Berkaitan dengan tindakan pengangkatan anak dalam pewarisan hukum

waris adat Bali, apabila tiga unsur teori sistem dari M. Friedman telah terpenuhi

selanjutnya pada penerapannya dalam masyarakat akan terjadi pola


berkesinambungan atas ketiga unsur tersebut dalam suatu hukum yang mampu

mengakomodir nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat budaya

hukum. Suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana

hukum yang digunakan dihindari atau di salah gunakan, begitu pula hukum adat

di Bali yang bersumber pada awig-awig yang tertulis dan kebiasaan masyarakat di

masing-masing daerah yang berlaku di teritorial masyarakat hukum adat di

masing-masing daerah di Bali dengan mengutamakan desa, kala dan patra yang

disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan yang ada di wilayah desa adat

setempat.

4.2.2 Prosedur Pengesahan Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat

Bali dengan adanya Pengesahan dari Prajuru Desa

Di dalam proses pengangkatan anak di Desa Adat Carik Agung ini pertama

bahwa pihak keluarga yang bermaksud mengangkat anak meminta persetujuan

pada orang tua/kerabat dari si anak yang diangkat. Apabila persetujuan tersebut

telah disepakati/dicapai, maka diperlukan lagi persetujuan dari anak yang

diangkat itu sendiri (tentunya hal ini berlaku bila anak tersebut sudah dewasa

dan bila anak tersebut masih kecil biasanya persetujuan itu tidak dimintakan).

Kemudian tindakan selanjutnya yang harus dilakukan ialah pemberitahuan kepada

prajuru Adat tentang maksud mengangkat anak tersebut. Bilamana dalam jangka

waktu dua sampai tiga bulan tidak ada keberatan tentang pengangkatan anak itu

dari kerabat- kerabat yang lainnya maka tindakan selanjutnya ialah mencari hari
49
baik untuk melangsungkan upacara pemerasan terhadap si anak.

Dalam melaksanakan upacara pemerasan dilakukan upacara pemegat yaitu


50

upacara dengan membakar benang tridatu hingga putus. Hal ini mengandung

makna memutuskan hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua

kandungnya yang sekaligus memasuki lingkungan kekeluargaan orang tua angkat.

Disamping itu pula dalam pelaksanaan upacara pemerasan terdapat adanya

pembayaran adat berupa uang seribu kepeng dan satu stel pakaian perempuan

untuk dilepas dari ibu kandungnya. Begitu pula pada saat dilakukan upacara

pemerasan biasanya orang tua angkat akan memberikan harta pemerasan kepada

anak angkat.

Harta pemerasan ini sepenuhnya dan selama-lamanya menjadi milik

pribadi dari anak sejak ia selesai diupacarai yang tidak boleh diganggu gugat.

Demikianlah dengan adanya upacara pemerasan itu maka pengangkatan anak

sudah dianggap sah, dimana anak angkat tersebut menjadi berstatus anak kandung

bagi orang tua angkatnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Panitera Muda Pengadilan Negeri

Buleleng Bapak Zulfikar, SH pada tanggal 7 Desember 2022 di dalam

pengangkatan anak harta pemerasan dapat dibedakan menjadi dua53 :

1. Benda yang bernilai magis religius serta berfungsi selaku pengekal ikatan cinta

kasih antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Harta ini bisa berupa

senjata (keris, tombak dan sebagainya), sarana keagamaan (alat pemujaan,

bajra, sangku dan sebagainya) atau pakaian serta perhiasan kebesaran

(gelungan, cincin dengan permata yang bernilai khas).

2. Benda yang bernilai material/ekonomis biasanya yang secara drestanya sering

berbentuk tanah. Sesuai dengan jaman sekarang ini tentu saja dapat berupa
53
Zulfikar, SH Panitera Muda Pengadilan Negeri Buleleng , wawancara 7 Desember 2022
Tabanas, Deposito, saham dan sebagainya. Yang berfungsi mirip selaku

asuransi, atau biaya bagi kehidupan anak angkat bila terjadi sesuatu yang

tidak dikehendaki (putus hubungan anak angkat dengan orang tua angkat karena

kematian).

Korn menyatakan bahwa umumnya yang berlaku di masyarakat bagi pihak

yang mengangkat anak diharuskan membuat surat permohonan tentang

pengangkatan anak yang ditujukan kepada Bupati lewat Camat setempat yang

tembusannya dikirim kepada Pengadilan Negeri. Kenyataan di masyarakat ada

pula pengangkatan anak tidak disertai dengan surat permohonan. Surat

permohonan tentang pengangkatan anak tersebut langsung dibuat pada saat

upacara pemerasan, ada pula surat tersebut dibuat setelah upacara pemerasan

dilakukan. Korn, menjelaskan di dalam pembuatan surat keterangan semacam itu

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 11 ayat (4) paswara tanggal 13

Oktober 1900; tiap transaksi pengangkatan anak sentana harus dibuatkan surat
51 di

Kantor Kepala Kabupaten (controlir).

Sekarang ini surat peras dibuat oleh Kepala Desa dan diikuti dengan

pembuatan surat permohonan kepada Camat untuk proses pengesahan lebih lanjut.

Berdasarkan hasil penelitian di Desa Adat Carik Agung setelah diadakan upacara

pemerasan, maka dibuatkan surat peras oleh kepala desa/lurah yang fungsinya

sebagai alat bukti tertulis bagi masyarakat setempat. Di dalam hukum pembuktian

ada 2 (dua) alat bukti tertulis terdiri dan akta di bawah tangan dan akta otentik

sesuai dengan pasal 1868 KUH Perdata. Dikaitkan dengan surat peras yang dibuat

oleh kepala desa maka alat bukti tertulis itu adalah akta dibawah tangan, karena
52

merupakan keterangan dari kepala desa tentang proses pengesahan pengangkatan

anak menurut hukum adat Bali dan identitas dari anak angkat, orang tua angkat,

orang tua kandung dan saksi-saksi dari upacara pemerasan tersebut.

Hal ini sesuai dengan pendapat Retno Wulan Sutantio dalam bukunya

Meliala yang menyatakan bahwa “pada prinsipnya dapat disetujui bahwa

pengaturan pengangkatan anak, hendaknya didasarkan, kepada hukum adat.

Kehendak/niat untuk mengangkat anak cukup dinyatakan di depan kepala desa

dilanjutkan permohonannya kepada camat setempat dan minta penentapan ke

pengadilan negeri. Komar Andasasmita, notaris di Bandung dalam bukunya

Meliala memberi jalan tengah mengenai pasal 10 ayat 1, S. 1917 Nomor 129

yang menyatakan pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris,

menurut beliau kata dengan akta notaris lebih baik diganti dengan akta otentik,

jadi tidak harus selalu dengan akta notaris

Akta otentik sesuai dengan pasal 1868 KUH Perdata adalah :

“suatu akte yang di dalam bentuk ditentukan oleh Undang- undang,


dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya”.

Keberadaan surat peras adalah sebagai alat bukti tertulis bagi masyarakat

adat Carik Agung (masyarakat Hindu Bali). Hal ini telah diatur dalam awig-

awig desa adatnya yaitu Pawos 32 (3) atau pasal 33 ayat (3) menyatakan:

“Sawusan upakara, prajurune sami patut nyuratang pamerasan


inucap ring ilikita miwah nyiarang ring paruman banjar”,

artinya:

(“Selesai upacara pemuka adat wajib membuatkan surat peras


sebagai bukti terjadinya peristiwa pengangkatan anak tersebut dan
dilanjutkan pengumuman di Banjar”).

Menurut keputusan Makaman Agung Nomor 696K/SIP/1973, tanggal 19

Nopember 1975, sahnya pengangkatan anak di Bali harus dilakukan dengan

upacara pemerasan. Hal ini merupakan syarat formal yang bersifat determinan,

tanpa ada upacara adat maka pengangkatan anak tersebut tidak sah.54 Sebagai

tanda pengesahan upacara pemerasan tersebut biasanya dibuatkan surat peras

oleh kepala desa/perbekel. Surat ini sebagai alat bukti tertulis bagi masyarakat

setempat (masyarakat Hindu Bali) adalah alat bukti sempurna di muka hakim.

Hal ini sesuai dengan pasal 1870 KUH Perdata yang menyebutkan:

“Suatu akta otentik memberikan diantara pihak beserta ahli


warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka,
suatu bukti sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”.

Untuk sahnya pengangkatan anak di Bali khususnya di suatu Desa

Lokapaksa, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, (wawancara dengan Kelian

Adat Tengah, Bapak Kadek Agus Teja Aryadika, pada tanggal 6 Desember 2022,

dilakukan beberapa hal seperti55 :

 Anak yang diangkat diutamakan anak laki-laki yang ada hubungan keluarga

(dari dan sendiri).

 Harus disetujui oleh keluarga dari kedua belah pihak.


53
 Disetujui oleh saudara-saudara yang mengangkat dan yang diangkat.

 Kemudian anak tersebut dibuatkan bebantenan (sesaji) untuk upacara yang

bersifat keagamaan yaitu anak angkat menarik benang dari bebantenan itu

54
Tafal, Bastian, 1989, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya
di Kemudian Hari, Rajawali Press, Jakarta.
55
Kadek Agus Teja Aryadika, Klian Banjar Tengah, wawancara, 6 Desember 2022
54

hingga putus.

Biasanya upacara tersebut dilakukan oleh :

1. Pedande (rohaniawan) dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah

pihak (anak angkat dan orang tua angkat )

2. Kelian Adat Desa ( Bandesa Adat)

3. Kelian Banjar

4. Kepala Desa

 Dibuatkan surat peras oleh kepala Desa dan diikuti dengan siar oleh kelian

banjar sebagai bukti telah dilakukan pengangkatan anak

 Mengajukan surat permohonan kepada Camat setempat yang diketahui oleh

kelian banjar, kelian adat dan Kepala Desa untuk proses pengesahan lebih

lanjut. Dengan demikian baru pengangkatan dianggap sah.

4.2.3 Adanya Penetapan dari Pengadilan Negeri

Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri Buleleng, wawancara

dengan Panitera Muda Pengadilan Negeri Buleleng, Ibu Santi Widyastuti, SH,

tanggal 7 Desember 2022 menyatakan bahwa : Prosedur pengangkatan anak

pada umumnya harus mengikuti prosedur yang telah digariskan dalam SEMA

No. 2 Tahun 1979, mengingat Pengadilan Negeri yang menangani adopsi secara

formal maka pengangkatan anak antar WNI, dilakukan menurut hukum adat

dilanjutkan dengan permohonan penetapan di Pengadilan Negeri.56

Hasil penelitian di Desa Lokapaksa menunjukkan bahwa seluruh

responden menjawab pengangkatan anak dilakukan dengan “tanpa penetapan

Pengadilan”. Keadaan tersebut menunjukkan gambaran bahwa surat peras dari


56
, Ibu Santi Widyastuti, SH, Panitera Muda Pengadilan Buleleng, wawancara, 7 Desember 2022
kepala desa untuk pengangkatan anak sudah dianggap sah walaupun untuk lebih

menjamin kepastian hukum penetapan pengadilan sangat diperlukan terutama

untuk anak angkat yang tidak diketahui orang tuanya dan untuk mendapatkan

tunjangan bagi pegawai negeri sipil.

Untuk kepentingan pembuktian agar ada kepastian hukum, terhadap suatu

peristiwa kelahiran menurut ketentuan pasal 55 ayat (1) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan dengan tegas bahwa asal usul anak hanya

dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik dengan perkecualian

sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) berikutnya.

Berdasarkan penelitian di lapangan, hasil wawancara dengan pegawai

catatan sipil Kotamadya Buleleng, I Made Arka Pribadi, tanggal 7 Desember 2022

bahwa apabila terjadi pengangkatan anak yaitu peristiwa baru yang oleh Undang-

undang dinyatakan mempunyai kekuatan hukum baru setelah adanya penetapan

pengadilan maka pegawai pencatatan sipil atas permohonan yang bersangkutan

harus mencatatnya pada pinggir minit akta kelahiran yang bersangkutan.

Perkembangan dalam praktek pelayanan sehari-hari oleh pihak kantor catatan sipil

dibedakan adanya bermacam-macam akta kelahiran 57yaitu:

1. Akta kelahiran umum


55
2. Akta kelahiran istimewa

3. Akta kelahiran luar biasa

Perbedaan di atas didasarkan pada proses penyelesaiannya dihubungkan

dengan peristiwanya, jadi bukan berdasarkan jenis ataupun model akta

57
I Made Arka Pribadi, Pegawai catatan sipil Kotamadya Buleleng, wawancara, 7 Desember 2022
56

kelahirannya.58

Adapun hasil penelitian yang dilakukan di Kantor Catatan Sipil untuk anak

yang dilahirkan oleh seorang ibu dan kemudian dijadikan anak angkat setelah

penetapan pengadilan, dibuatkan akta kelahiran istimewa.

Persyaratan administratif yang harus dipenuhi untuk memperoleh akta

kelahiran umumnya adalah :

1. Surat keterangan dan yang berwenang (dokter, bidan, dukun beranak).

2. Surat pengantar dari lurah atau kepala desa.

3. Surat nikah/akta perkawinan orang tuanya.

4. Surat bukti kewarganegaraan bagi WNI keturunan asing.

5. Dua orang saksi yang memenuhi persyaratan.

Akta kelahiran umum ini diterbitkan berdasarkan laporan kelahiran yang

disampaikan dalam batas waktu 60 hari sejak peristiwa kelahiran untuk semua

golongan penduduk, kecuali golongan Eropa selama 10 (sepuluh) hari kerja.

Sedangkan persyaratan diterbitkannya akta kelahiran istimewa setelah adanya

keputusan Pengadilan Negeri, atau surat kuasa dari Kejaksaan Negeri bagi mereka

yang tunduk pada S.1849-25 dan S.1917-130 jo 1919-81, yang laporannya

terlambat akan tetapi belum melewati 1 (satu) tahun.

4.3 Perlindungan Anak Angkat Dalam Hak Waris Dari Pandangan Agama
Hindu Berdasarkan Hukum Adat Bali

4.3.1 Hak Waris Anak Angkat Putus Terhadap Orang Tua Kandungnya
Menurut Hukum Adat Bali
58
Situmorang, Victor M. dan Sitanggang, Cormentyna, 1996, Aspek Hukum Akta Catatan
Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Di atas telah dijelaskan bahwa hubungan anak angkat terhadap orang tua

kandungnya di Bali bahwa hubungan kekeluargaan anak tersebut terputus

menurut hukum adat setempat dan anak itu masuk dalam hubungan kekeluargaan

orang tua angkatnya.

Putusnya hubungan kekeluargaan karena telah diadakan upacara

pemerasan yang tujuannya memutuskan hubungan si anak dengan leluhurnya dan

keluarganya. Akibatnya si anak tidak mempunyai kewajiban terhadap orang

tuanya dan leluhurnya, sehingga la tidak mewaris pada orana tua kandungnya.

Makna lain dari upacara adat tersebut adalah untuk memasukkan si anak ke

dalam warga bapaknya sehingga ia mewarisi semua hak dan kewajiban dari

orang tua angkatnya.

4.3.2 Anak Angkat Sebagai Pewaris Pada Keluarga Orang Tua


Angkatnya Sebagai Anak Kandung

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan bahwa pengangkatan anak pada

Desa Adat Bali yang bersifat kekeluargaan kebapaan (patrilinial) memasukkan


57
anak itu ke dalam keluarga orang tua angkatnya dan berkedudukan sebagai anak

kandung.

Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan

sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan

keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti

di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan

anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke

dalam keluarga bapak angkat,sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan

sebagai anak kandung.


58

4.3.3 Anak Angkat Sebagai Ahli Waris

Soeripto, menjelaskan bahwa setiap keluarga Hindu Bali mempunyai

harta/kekayaan keluarga yang berupa harta benda yang mempunyai nilai-nilai

magis religius yaitu yang ada hubungannya dengan keagamaan/upacara-upacara

keagamaan dan harta kekayaan yang tidak mempunyai nilai-nilai magis religius.

Selanjutnya disebutkan harta yang tidak mempunyai nilai magis religius antara

lain : 1. Harta akas kaya; 2). Harta jiwa dana; 3). Harta tetatadan; 4). Harta

druwe gabro.

Adapun pengertian dari harta akas kaya adalah harta yang diperoleh oleh

masing-masing dan suami-istri atas cucuran keringat sendiri sebelum masuk

jenjang perkawinan. Pengertian dari harta jiwa dana adalah pemberian secara

ikhlas oleh orang tua kepada anak- anaknya baik laki-laki maupun wanita selama

masih kumpul dengan pewaris sebelum masuk perkawinan. Pemberian dari

tetatadan adalah pemberian kepada anak-anak wanita pada waktu

perkawinannya (kawin keluar) dilangsungkan, sedangkan barang druwe gabro

adalah harta yang diperoleh suami istri dengan cucuran keringat bersama.

Dari penjelasan ini dapat penulis simpulkan bahwa kesemuanya itu adalah

harta benda/kekayaan yang diperoleh sebelum masuk jenjang perkawinan,

sedangkan harta druwe gabro adalah harta yang diperoleh dalam suatu

perkawinan (suami - istri).

Dengan adanya macam-macam barang dari keluarga sebagaimana

tersebut di atas hak-hak anak angkat terhadap harta keluarga orang tua

angkatnya, adalah sebasai ahli waris orang tua angkatnya. Dari kalangan para
sarjana hukum adat waris yang berlaku pada Desa Adat Bali anak angkat adalah

ahli waris harta benda keluarga seperti harta akas kaya, harta jiwa dana, harta

tetadan, dan harta druwe gabro dari orang tua angkatnya.

Hasil penelitian di Desa Lokapaksa Kecamatan Seririt, Kabupaten

Buleleng, menunjukkan bahwa kedudukan anak angkat di dalam pewarisan

menurut hukum adat Bali adalah sebagai ahli waris orang tua angkatnya seperti

harta akas kaya, harta jiwa dana, harta tetadan, dan harta druwe gabro. Keadaan

ini tidak berubah apabila setelah diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak

kandung.

4.3.4 Anak Angkat Bukan Dari Keturunan Sendiri Hanya Mewarisi


Harta Guna Kaya (Harta Pencaharian)

Berdasarkan hasil wawancara dengan pemuka adat, yaitu Klian Banjar

Carik Agung, Ketut Murika. Tanggal 9 Desember 2022 menyatakan bahwa

Melihat perkembangan dewasa ini pengangkatan anak bukan saja dari keturunan

sendiri untuk mencegah adanya sengketa, maka ditetapkan bahwa si anak angkat

yang bukan dari keturunan sendiri hanya mewarisi harta bersama/guna kaya dari

orang tua angkatnya, sedangkan harta pusaka diserahkan kepada orang tua

angkatnya. Apabila si anak angkat dari dan sendiri/masih ada hubungan darah

tidak ada pembatasan hak ia mewaris semua harta warisan orang tua angkatnya

termasuk harta pusaka.59

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kelian Adat Pamesan, Kadek

Sedana, tanggal 10 Desember 2022 bahwa : Disamping itu anak angkat yang sah

sebagai pewaris orang tua angkatnya menurut hukum adat dapat juga gugur

59
Ketut Murika Klian Banjar Carik Agung,. Wawancara, 9 Desember 2022
60

karena hak mewaris harta benda orang tua angkatnya karena suatu hal, misalnya

tidak memenuhi kewajibannya, umpamanya durhaka terhadap leluhur dan orang

tua angkatnya. Apabila hal ini terjadi maka si pewaris di hadapan penduduk

Banjar menyerahkan seluruh harta miliknya kepada seorang anggota keluarga

sedarah yang kemudian harus disusul dengan laporan kepada perbekel (kepala

desa) dan klian adat. Keadaan ini belum pernah terjadi di Desa Lokapaksa

khususnya di Banjar Pemesan dan Banjar Jero Agung.60

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Pelaksanaan pengangkatan anak agar sah berdasarkan hukum waris adat


60
Kadek Sedana, Kelian Adat Pamesan, wawancara, 10 Desember 2022
Bali di kabupaten buleleng. Menurut hukum adat Bali harus sesuai dengan

awig-awig. Dalam awig-awig mengatur tentang keabsahan pengangkatan

anak, syarat-syaratnya seperti upacara meperas dan siar. Upacara

meperas maknanya pemutus hubungan antara anak yang angkat dengan orang

tua kandungnya, dan memiliki makna memasukkan anak angkat tersebut ke

dalam lingkungan keluarga yang mengangkat. Siar berfungsi untuk

penyampaian kekhalayak ramai dalam hal ini desa adat terkait garis

keturunannya. Garis keturunan inilah yang selanjutnya disebut ahli

waris, ahli waris dari pewaris (orang tua angkat) terkait pelaksanaan hak

dan kewajibannya.

2. Perlindungan anak angkat dalam hak waris dari pandangan agama Hindu

berdasarkan hukum adat bali di kabupaten buleleng . Setelah upacara

pemerasan, maka. perlindungan anak angkat dalam hak waris menurut

hukum adat Bali adalah sebagai ahli waris orang tua angkatnya seperti harta akas

kaya, harta jiwa dana, harta tetadan, dan harta druwe gabro. Keadaan ini tidak
61
berubah apabila setelah diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak kandung.

5.1 Saran

1. Hendaknya pengangkatan anak telah dilakukan berdasarkan hukum adat

Bali dan sesuai dengan ketentuan awig-awig Desa pekraman tetapi

perlu dilanjutkan dengan membuat surat peras sebagai alat bukti tertulis

serta diikuti dengan penetapan dari Pengadilan Negeri agar ada

kepastian hukum, karena anak angkat akan mempunyai kedudukan yang

sama dengan anak kandung.

2. Hendaknya di dalam pengangkatan anak, anak yang diangkat tidak


62

hanya terbatas pada satu lingkungan keluarga tetapi yang terpenting

bagaimana menjamin anak tersebut agar memiliki masa depan yang

baik serta bertanggung jawab kepada orang tua angkatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,


2001),30

Ahmad Tanzeh dan Suyitno. 2006, Dasar-Dasar Penelitian, Surabaya: Elkaf,


2006. 131 58

Andasasmita Komar, 1981, Notaris I, Sumur, Bandung.

Artadi, I Ketut, 1987, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi
Dengan Yudisprudensi, Cetakan Kedua, Setia Kawan, Denpasar.

Beni, I Wayan, dan Ngurah, Sagung, 1989, Hukum Adat Di dalam Yudisprudensi
Indonesia, Surya Jaya, Denpasar.

Haar, Ter, 1986, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Diterjemahkan Oleh K.
Ng. Soebekti Proesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta.

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif , (Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2008), hal.4.

Mr. B. Ter Haar. 1994.Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan


oleh K. Ng. Soebekti Poesponoto, Cetakan Kesebelas, Jakarta: Pradnya
Paramita

Hadi Kusuma, Hilman, 1990, Hukum Waris Adat, Cetakan Keempat, Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 1993, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam
Hukum Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Meliala, Jaja S. 1982, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito,


Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,


Yogyakarta.

Muhammad, Bushar, 1981, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Panetje, Gde, 1989, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali,


Cetakan Kedua, Guna Agung, Denpasar.

Prodjodikoro, Wiryono, 1991, Hukum Warisan di Indonesia, Cetakan Kesepuluh,


Sumur Bandung, Bandung.

Pudja, I Gde, 1977, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu,


Mayasari, Jakarta.

Rusmayanti Ni Luh Putu Eka 2012. Kedudukan Anak Angkat di Dalam Pewarisan
Menurut Hukum Waris Adat Bali Tesis .Universitas Hasanuddin
Makassar

Saragih, Djaren, 1984, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.

Satrio, J., 2000, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-
undang, Citra Aditya Bakti, Bandung.
64

Soepomo, R., 2000, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Soeroso, R. 2000.Perbandingan Hukum Perdata, Cetakan Kelima, Jakarta: Sinar
Grafika

Soeripto, 1973, Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum
Universitas Negeri Jember, Jember.

Sudiyat, Imam, 1981, Sketsa Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta.


Susantio, Retnowulan, 1979, Wanita dan Hukum, Alumni, Bandung

Sukardi 2005, Metode Penelitian Pendidikan:Kompetensi dan Prakteknya,


Jakarta: Bumi Aksar

Wulansar, C. Dewi. 2013.Hukum Adat Indonesia - Suatu Pengantar, Cetakan


ketiga, Bandung: PT Refika Aditama

Wignjodipoero, Soerojo, 1980, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adati, Haji


Mas Agung, Jakarta.

Wignjodipoero, Soerojo, 1987, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adati, Haji


Mas Agung, Jakarta.

Wiryono Prodjodikoro, 1983, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan PEraturan Pemerintah Nomor 9 tahun


1975.

Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.


Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen
Kehakiman tanggal 24, Februari 1978 No. JHA 1/1/2

Anda mungkin juga menyukai