SKRIPSI
Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
PERLINDUNGAN ANAK ANGKAT DALAM HAK WARIS
DARI PANDANGAN AGAMA HINDU BERDASARKAN
HUKUM ADAT BALI DI KABUPATEN BULELENG
Skripsi ini telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat Untuk mencapai studi
Program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar
Mataram, 2022
Universitas Islam Al-Azhar
Fakultas Hukum
Dekan,
ii
PERLINDUNGAN ANAK ANGKAT DALAM HAK WARIS DARI
PANDANGAN AGAMA HINDU BERDASARKAN HUKUM ADAT BALI
DI KABUPATEN BULELENG
Skripsi ini telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat Untuk mencapai studi
Program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar
Mataram, 2022
iii
PENYELESAIAN PEMBIMBING OLEH
Mataram, 2022
Universitas Islam Al-Azhar
Fakultas Hukum
Dekan,
iv
HALAMAN PENYATAAN
Mataram, 2022
Yang Membuat Pernyataan,
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur tercurahkan kepada Allah SWT, karena berkat izin-Nyalah penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan berjudul “PERLINDUNGAN ANAK
ANGKAT DALAM HAK WARIS DARI PANDANGAN AGAMA HINDU
BERDASARKAN HUKUM ADAT BALI DI KABUPATEN BULELENG”
yang diajukan untuk memenuhi persyaratan mencapai studi Program Strata Satu
(S-1) pada Universitas Islam Al-Azhar.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis baik tenaga, ide-ide maupun pemikiran.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Muh. Ansyar, MP. Selaku Rektor Universitas Islam Al-
Azhar Mataram.
2. Yth. Bapak Dr. Ainuddin, S.H., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Islam Al-Azhar Mataram.
3. Yth. Bapak Sukarno, S.H., M.H., Selaku Dosen Pembimbing Utama dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Yth. Bapak Hafizatul Ulum, S.H., M.H., Selaku Dosen Pembimbing
Pendamping dalam penyusunan skripsi ini.
5. Yth. Dr. Ari Wahyudi, SH., MH. Selaku Dosen Penetral terimakasih atas
saran-sarannya.
6. Yth. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang
telah banyak membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis.
7. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan dorongan dan semangat,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Kedua Orangtuaku dan keluarga besar yang telah menjadi motivator utamaku
dan selalu memberikan doahingga terselesainya skripsi ini.
9. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
penyusunan penulisan skripsi ini.
10. Kekasih tercinta yang selalu menjadi motivator dan penyemangat.
Semoga segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat imbalan di sisi
Allah SWT sebagai amal ibadah. Aamiin.
vi
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan-perbaikan ke depan. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.
Mataram, 2022
Penulis,
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul Luar............................................................................
Halaman Judul Dalam......................................................................... i
Halaman Pengesahan Dekan................................................................... ii
Halaman Persetujuan Pembimbing......................................................... iii
Halaman Penyelesaian Pembimbingan .................................................. iv
Halaman Surat Pernyataan Keaslian...................................................... v
Kata Pengantar ...................................................................................... vi
Daftar Isi ................................................................................................ viii
Abstrak………………………………………………………………… x
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian.......................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 8
2.1. Pengertian Anak Angkat…………………………………………. 8
2.2 Pewarisan…………………………………….. .............................. 21
BAB III METODE PENELITIN…… ................................................... 31
3.1. Jenis Penelitian ………..……………............................................. 31
3.2. Jenis Pendekatan…........................................................................ 31
3.3. Data dan Sumber Data…………….. ............................................ 33
3.4. Teknik Pengumpulan Data............................................................... 34
3.5. Populasi dan Sempel……................................................................. 35
BAB IV HASI PENELITIN DAN PEMBAHASAN.............................. 36
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................................. 36
4.2. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Agar Sah Berdasarkan
Hukum Waris Adat Bali …..................................................................... 37
viii
BAB V PENUTUP…… .......................................................................... 60
5.1. Keesimpulan…… ………..……………........................................... 60
5.2. Saran………………..…................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA
ix
ABSTRAK
Oleh:
Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan memahami hak waris anak angkat
dalam dari pandangan agama Hindu berdasarkan hukum adat bali. Sedangkan tujuan
Khusus yaitu 1). Untuk mengetahui pelaksanaan pengangkatan anak agar sah berdasarkan
hukum waris adat Bali di kabupaten buleleng; 2) Untuk mengetahui Perlindungan anak
angkat dalam hak waris dari pandangan agama hindu berdasarkan hukum adat bali di
kabupaten buleleng.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif deskriptif karena
dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan berupa data yang menggambarkan secara
rinci, bukan data yang berupa angka-angka.
Berdasarkan pembehasan dapat disimpulkan bahwa: 1). Pelaksanaan pengangkatan
anak agar sah berdasarkan hukum waris adat Bali di kabupaten buleleng. Menurut hukum
adat Bali harus sesuai dengan awig-awig. Dalam awig-awig mengatur tentang keabsahan
pengangkatan anak, syarat-syaratnya seperti upacara meperas dan siar. Upacara
meperas maknanya pemutus hubungan antara anak yang angkat dengan orang tua
kandungnya, dan memiliki makna memasukkan anak angkat tersebut ke dalam
lingkungan keluarga yang mengangkat. Siar berfungsi untuk penyampaian kekhalayak
ramai dalam hal ini desa adat terkait garis keturunannya. Garis keturunan inilah yang
selanjutnya disebut ahli waris, ahli waris dari pewaris (orang tua angkat) terkait
pelaksanaan hak dan kewajibannya.; 2). Perlindungan anak angkat dalam hak waris dari
pandangan agama Hindu berdasarkan hukum adat bali di kabupaten buleleng. Setelah
upacara pemerasan, maka. perlindungan anak angkat dalam hak waris menurut hukum
adat Bali adalah sebagai ahli waris orang tua angkatnya seperti harta akas kaya, harta
jiwa dana, harta tetadan, dan harta druwe gabro. Keadaan ini tidak berubah apabila
setelah diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak kandung.
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang
yang mengangkat dengan orang yang diangkat itu timbul suatu hubungan
kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak
anak angkat dengan orang tua kandungnya dan adapula yang tidak memutus
kandungnya.
dengan orang tua sendiri yang memasukkan anak itu ke dalam keluarga
1
Wignjodipoero, Soerojo, 1987, Pengantar dan Asas-asas Hukum
Adati, Haji Mas Agung, Jakarta.
2
Soepomo, R., 2000, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta.
2
angkat itu mempunyai kedudukan sama dengan anak kandung dalam hal
tertentu.
pengangkat.
yang mengangkat4.
3
Windia, I Wayan, 1995, Pembahasan Permasalahan Hukum.
4
Panetje, Gde, 1989, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali,
Cetakan Kedua, Guna Agung, Denpasar.
3
yaitu berdasarkan pada garis keturunan bapak. Hal ini membawa konsekuensi
adanya peranan yang sangat penting bagi anak laki-laki sebagai penerus
terhadap harta warisan orang tuanya. Selanjutnya bagi mereka yang tidak
selalu dalam lingkungan keluarga besar dari pada hukum keluarga, yang karib
beberapa dusun juga sanak saudaranya si istri (dari predana) diambil anak5.
adat Bali sudah tidak saja dapat diambil dari keluarga purusa. Pengangkatan
anak bisa pula diambil dari keluarga istri yang masih dalam lingkungan
5
Rusmayanti Ni Luh Putu Eka 2012. Kedudukan Anak Angkat di Dalam
Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat Bali Tesis .Universitas Hasanuddin
Makassar. Hal. 18
4
merupakan satu dan keluarga besar. Apabilla pihak istri tersebut tidak
merupakan satu kerabat dengan pihak suami, maka hal tersebut tidak
patrilinial/kebapaan.
adalah untuk dijadikan Sentana rajeg, yakni anak perempuan yang diberi
Buleleng. Ini merupakan suatu terobosan terhadap nilai-nilai hukum adat Bali
penerus keturunan dan tidak terlepas dari kewajiban pada saat orang tua
upacara peras, siar dan harus pula adanya persetujuan para pihak yang
berkepentingan.
apabila telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ialah
ditentukan oleh hukum adat Bali; yaitu seperti adanya persetujuan dari pihak-
pihak yang bersangkutan, adanya Dewa saksi dan Manusa saksi, serta adanya
Siar6.
6
Beni, I Wayan, dan Ngurah, Sagung, 1989, Hukum Adat Di dalam Yudisprudensi Indonesia,
Surya Jaya, Denpasar hal. 45.
5
Bali harus adanya upacara Dewa Saksi, Manusa Saksi dan adanya Siar. Dewa
atau banjar di mana yang bersangkutan tunduk pada hukum adatnya. Dari
anak orang lain yang oleh seseorang diambil, dipelihara dan diperlakukan
Kabupaten Buleleng Bali (desa pakraman) masih ada yang hanya dengan
desa dan dikatakan sah menurut hukum adat Bali setelah mengadakan
upacara paperasan dan sah di kalangan prajuru desa, hal ini masih belum
pengangkatan anak akan berakibat pula pada pewarisan untuk sianak angkat
lanjut terkait yaitu: Perlindungan Anak Angkat Dalam Hak Waris Dari
Buleleng.
mengetahui tujuan maka penelitian akan dapat memiliki arah pada penelitian
buleleng.
ilmu hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
istilah seperti meras pianak atau meras sentana. Kata sentana berarti anak
atau ketururan dan kata meras berasal dari kata Peras yaitu semacam sesajen
angkatnya. Disamping istilah tersebut diatas ada pula yang memakai istilah
meras pianak.
Pengangkatan anak ini adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain
yang mengangkat dan anak yang diangkat itu menimbulkan suatu hubungan
keluarga yang sama seperti yang ada antara or-ang tua dengan anak kandung
sendiri7.
menempatkan anak orang lain di tempat anak sendiri oleh karena itu
7
Wignjodipoero, Soerojo, 1987, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adati, Haji Mas
Agung, Jakarta. hal. 56
9
secara lahir dan batin sebagai anak sendiri oleh orang tua angkatnya8.
pengangkatan anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari
pertalian keluarga dengan orang tuanya sendiri dan memasukkan anak itu ke
angkat dalam hukum adat Bali adalah anak orang lain diangkat oleh orang tua
kedudukan sama seperti seorang anak kandung yang dilahirkan oleh orang tua
angkatnya tersebut. Hal ini selanjutnya akan membawa akibat hukum dalam
segala hak dan kewajiban yang ada pada orang tua angkatnya akan
dilanjutkan oleh anak angkat itu sendiri, sebagaimana layaknya seperti anak
kandung.
angkatnya.
8
Susantio, Retnowulan, 1979, Wanita dan Hukum, Alumni, Bandung. Hal. 72
9
Op.Cit. hal.1
10
calon orang tua an gkat terhadap orang tua kandung si anak atau kerabat si
anak angkat. Permintaan itu untuk melepas si anak dari kekuasaan orang tua
hukum ini termasuk pula pengumuman atau siaran yaitu pengumuman yang
anak itu. Adapun maksud dari pengumuman itu agar ada kata sepakat untuk
akan dilepas dari kekuasaan baik dari orang tua kandungnya/kerabat maupun
anak angkat tadi sebagai anak kandung sendiri. Mulai saat itulah timbul
Dengan demikian secara yuridis anak angkat dengan orang tua kandungnya
tidak lagi ada hubungan waris mewaris tapi ia mewaris pada orang tua
angkatnya.
seperti di Bali. Pada masyarakat adat di Jawa kedudukan anak angkat hanya
11
anak kandung10.
terang-benderang.
10
Ibid. hal. 2
11
Andasasmita Komar, 1981, Notaris I, Sumur, Bandung. hal. 53
12
untuk kepentingan orang tua yang mengangkat anak. Apabila seorang laki-laki
yang menikah atau pernah kawin, tidak punya keturunan laki-laki, la dapat
Tionghoa yaitu : yang diadopsi paling sedikit 18 tahun lebih muda dari umur
suami dan 15 tahun lebih muda dari umur istri atau janda yang mengadopsi
(Pasal 7 ayat 1). Adopsi hanya bisa dilakukan dengan akta notaris (Pasal 10 ayat
1) adopsi, mengenai anak perempuan tanpa akta notaris adalah batal (Pasal 15
12
Meliala, Jaja S. 1982, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung. hal. 87
13
orang tua angkat disaksikan oleh dua orang saksi dan diketahui oleh
Di dalam hal anak yang diangkat berasal dari biro-biro adopsi panti
asuhan, cukup dengan akta penyerahan dari biro adopsi tersebut. Khusus
berikut:
serta surat (akta) penyerahan anak dari orang tua kandung dari anak yang
Indonesia oleh orang asing makin meningkat. Oleh karena itu untuk
pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang asing hanya dapat
14
Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
15
Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman
tanggal 24, Februari 1978 No. JHA 1/1/2
15
hukum adat pluralistis yang masih hidup dan dapat berorientasi ke masa
adat apapun dan tidak memerlukan surat. Bertitik tolak dari hal tersebut
anak. Syarat itu harus bersifat kasuistik sesuai dengan hukum adat
pengangkatan anak yang bersifat terang yaitu harus dengan upacara adat,
16
Harahap, M. Yahya, 1993, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat,
Citra Aditya Bakti, Bandung. hal.13
17
Op.Cit. hal. 13
16
2. Harus ada kata sepakat dari pihak yang melepaskan dan pihak yang
tersebut18.
Notaris19
anak20.
Untuk menjaga rahasia agar anak angkat kita apabila dia telah
diubah sedemikian sehingga dalam petikan akta lahir yang baru tidak
20
Op.Cit. hal. 11
21
Op.Cit. hal. 17
18
menarik garis keturunan seseorang melalui garis ibu dan bapak, serta
keluarga ibu dan keluarga bapak sama nilai dan sama derajatnya22
memegang peranan penting daripada anak wanita. Atas dasar itu apabila
misalnya di Nias, Gayo, Lampung atau anggota dari dan sendiri seperti di
Bali atau saudara sepupu seperti di Jawa, Sulawesi atau anak tiri.
Mulang Jurai. Tata cara pengesahan anak tersebut melalui upacara adat
seperti Mupu anak (di Cirebon), Ngukut anak (Jawa Barat- Suku
anak (Suku Dayak Manyan), mulang jurai (di Rejang - Bengkulu) dan di
rajeg23. Hal ini mirip dengan perkawinan ambil anak yaitu seorang anak
laki-laki diambil menjadi suami dari seorang gadis yang tumbuh pada
yang lahir dari perkawiran tersebut termasuk dan si istri24 (Saragih, 1984 :
hukum Islam atau disebabkan oleh adanya sifat keibuan dari sistem
untuk dipelihara dan diasuh sebagai anak sendiri. Anak yang bersangkutan
23
. Op.Cit. hal. 11
24
. Saragih, Djaren, 1984, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hal.
90
25
. Prodjodikoro, Wiryono, 1991, Hukum Warisan di Indonesia, Cetakan Kesepuluh, Sumur
Bandung, Bandung, hal. 55
20
anak. Hubungan anak tersebut dengan orang tuanya tidak terputus, tetap
menjadi ahli waris dari orang tua asalnya dan si anak bukan merupakan
sistem kekeluargaan parental, ahli warisnya akan berhak mewaris baik dari
Bali hanya terdapat satu garis untuk menarik garis keturunan. Pada
bapak, keturunan pihak bapak penilaiannya lebih tinggi, serta hak- haknya
penting dalam :
harta peninggalan27
2.2 Pewarisan
26
. Wignjodipoero, Soerojo, 1987, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adati, Haji Mas Agung,
Jakarta, hal. 64
27
Wignjodipoero, Soerojo, 1980, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adati, Haji Mas Agung,
Jakarta.hal.12
22
tidaknya ditoleransi28.
hukum waris, yaitu sistem hukum waris adat, sistem hukum waris Islam dan
sistem hukum waris menurut KUH Perdata. Menurut Ter Haar, hukum waris
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa hukum waris adat itu
dengan proses penurunan serta pengalihan haita benda (materiil), harta cita
(non materiil) dari generasi satu kepada generasi berikutrya. Di samping itu
hukum waris adat tidak hanya mengatur pewarisan akibat kematian seseorang
28
Wulansar, C. Dewi. 2013.Hukum Adat Indonesia - Suatu Pengantar, Cetakan ketiga,
Bandung: PT Refika Aditama, hal.47
29
Soeroso, R.2000.Perbandingan Hukum Perdata, Cetakan Kelima, Jakarta: Sinar
Grafika,hal 63
30
Mr. B. Ter Haar. 1994.Asas-asas Dan SusunanHukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng.
Soebekti Poesponoto, Cetakan Kesebelas, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 144
23
berwujud, baik yang bernilai uang maupun yang tidak bernilai uang dari
pewaris kepada ahli warisnya, baik ketika masih hidup maupun sesudah
meninggal dunia.
Sebagai suatu proses maka peralihan dalam pewarisan itu sudah dapat
dimulai ketika pemilik harta kekayaan itu masih hidup. Proses tersebut
keluarga yang berdiri sendiri yang disebut mencar dan mentas (Jawa), yang
pada saatnya nanti ia juga akan memperoleh giliran untuk meneruskan proses
tersebut kepada generasi berikutnya. Proses itu tidak menjadi akut karena
kedua orang tuariya meninggal dunia dan jenazah kedua orang tuanya telah
apabila kedua orang tua telah meninggal dunia dan jenazah telah diabenkan.
bagian yang paling sulit dari hukum adat di Bali. Hal ini karena perbedaan-
pengadilan adat32. Paswara Residen Bali dan Lombok tahun 1900, mengenai
Pembagian harta warisan dibagi antara ahli waris sama rata, sedangkan untuk
kepentingan biaya puri atau merajan dan kepentingan adat lainnya mereka
golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya
anggota keluarga dari si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup34
Pada umumnya yang jadi ahli waris ialah para warga yang paling karilo
32
Panetje, Gde, 1989, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Cetakan Kedua, Guna Agung,
Denpasar, hal. 70
33
Ibid, hal.23
34
Wiryono Prodjodikoro, 1983, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, hal
46
25
kandung35. Jadi ahli waris utama dalam hukum adat adalah anak kandung dan
dasar mewaris dalam hukum adat adalah hubungan darah. Apabila pewaris
tidak mempunyai anak kandung maka anak angkat berhak atas warisan
sebagai anak, bukan sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak
perangai anak, maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak.
patrilineal maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan
anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian dari sistem
kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi laki-laki
seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap
segala sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota
35
Sudiyat, Imam, 1981, Sketsa Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, hal. 76
36
Artadi, I Ketut, 1987, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Dengan
Yudisprudensi, Cetakan Kedua, Setia Kawan, Denpasar, hal. 99
26
kerabat37. Pendapat ini sesuai dengan Paswara Residen Bali dan Lombok
dibolehkan dengan persetujuan keluarga lebih dekat dari calon pertama itu
Di Bali akibat dari pengangkatan anak dalam hukum adat adalah bahwa
anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak yang lahir dari perkawinan
suami istri yang mengangkatnya sama seperti anak kandung dan hubungan
Hukum waris adat Bali bersumber pada awig-awig yang tertulis dan
desa mawacara, desa, kala dan patra yang artinya disesuaikan dengan
hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan
37
Hadi Kusuma, Hilman, 1990, Hukum Waris Adat, Cetakan Keempat, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 45
38
Ibid, hal. 45
39
Satrio, J., 2000, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, Citra
Aditya Bakti, Bandung.hal.24
27
yang ditinggalkan, baik setelah pewaris meninggal ataupun selagi pewaris itu
perubahan hak dan kewajiban secara pasti dan melembaga. Dengan demikian
perubahan dan peralihan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain dan
merupakan suatu proses yang harus dilakukan secara tepat dan benar. Proses
yang dimaksudkan dalam hal ini adalah cara sebagai suatu upaya yang sah
dalam perubahan hak dan kewajiban atas harta warisan dan besarnya
Suatu sistem pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk
dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-
Pada sistem ini harta warisan diteruskan dan dialihkan pemilikannya dari
pewaris kepada ahli warisnya sebagai suatu kesatuan yang tidak terbagi-
Minangkabau.
40
Pudja, I Gde, 1977, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari,
Jakarta, hal. 34
28
Sistem mayorat ini sebenarnya juga sistem pewarisan kolektif, hanya saja
penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-
bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin
temah, apabila diantara anak lelaki yang lebih muda menuntut agar harta
karena anak sulung tidak lagi menetap menunggu rumah tua, melainkan
hukum adat Bali, memiliki kedudukan yang sama persis dengan anak
41
Ibid. hal. 24
42
Ibid, hal.27
29
penauran (membayar utang), yang dikenal dengan tri rna (tiga utang), yang
terdiri atas: (1) Dewa rna atau utang jiwa kepada Tuhan. (2) Pitra rna atau
utang kehidupan kepada leluhur (orangtua). (3) Rsi rna atau utang ilmu
(sekala), dibayar secara nyata dalam bentuk materi, sementara utang gaib
persoalan pewarisan baru akan muncul dalam satu keluarga apabila si bapak
yang meninggal dunia, sedangkan jika si ibu yang meninggal dunia tidaklah
kekuasaan atas harta kekayaan keluarga ada di tangannya. Hal ini sesuai
pewaris, harta warisan, dan ahli waris. Beralihnya harta warisan dari
pewaris kepada ahli waris terjadi ketika pewaris meninggal dunia. Hak
sebagai ahli waris akan diterima ketika ahli waris telah melakukan
Harta warisan merupakan objek hukum waris yang berarti semua harta
Pengertian harta dalam hal ini tidak saja menyangkut harta yang mempunyai
nilai ekonomis saja, melainkan meliputi pula harta yang mempunyai arti
nilai magis religius antara lain: harta akas kaya, harta jiwa dana, harta druwe
gabro43.
dibedakan menjadi :
43
Soeripto, 1973, Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum Universitas Negeri
Jember, hal. 71
31
keluarga secara utuh dan turun temurun jangan sampai keluar dari
pemberian karena hubungan cinta kasih, balas jasa atau karena sesuatu
tujuan. Pemberian ini dapat terjadi dalam bentuk benda tetap atau barang
bergerak.
Pada hukum adat Bali disebut harta druwe gabro. Penyebutan istilah
harta bersama ini ternyata belum ada keseragaman di Bali, ada yang
sekaya sareng kalih dan sebagainya (Soeripto, 1973 : 99). Apabila terjadi
32
dengan penerusan tanggung jawab orang tua dan leluhur baik itu
BAB III
METODE PENELITlAN
menggambarkan secara rinci, bukan data yang berupa angka-angka. Hal ini karena
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan analisis data yang relevan yang
44
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008),
hal.4.
45
Ibid...hal.4
33
hubungan antar fenomena yang diselidiki. Sesuai dengan fokus dan tujuan
penelitian, jenis penelitian ini sangat tepat karena peneliti akan mendeskripsikan
Angkat Dalam Hak Waris Dari Pandangan Agama Hindu Berdasarkan Hukum
Adat Bali yang terjadi di dalam masyarakat khususnya dalam masyarakat adat
Bali pada umumnya dan masyarakat hukum di Desa Lokapaksa Kecamatan Seririt
Di Kabupaten Buleleng.
berikut:
3.3.1 Data Primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari hasil
permasalahan penelitian.
ini.
data yang diperoleh47. Dalam setiap proses pengumpulan data pasti ada teknik
pengumpulan data tentang Perlindungan Anak Angkat Dalam Hak Waris Dari
47
Ahmad Tanzeh dan Suyitno. 2006, Dasar-Dasar Penelitian, Surabaya: Elkaf, 2006, hal. 58
35
untuk memperoleh informasi. Hal ini dilakukan antara dua orang atau
lebih48. Pada penelitian ini peneliti langsung untuk dapat melihat dari dekat
wawancara langsung kepada pihak- pihak dan sesuai dengan objek penelitian
dalam hal ini Orang Tua Angkat, Anak Angkat, Bendesa Adat dan Kelian Banjar.
1. Populasi dari penelitian ini adalah orang tua angkat yang pernah
mengambil subyek yang didasarkan pada suatu tujuan tertentu yaitu untuk
menurut hukum waris adat Bali, teknik ini dilakukan karena jumlahnya
tertentu.
2. Jumlah sampel yang akan diteliti adalah 10 orang, yaitu terdiri dari 5 orang
tua angkat dan 5 anak angkat, kemudian 1 orang Bendesa Adat, dan 2 orang
Kelian Banjar.
48
Arikunto Suharsimi. 2001, Dasar-Dasar Evaluasi Penelitian Jakarta: Bumi
Aksara,hal30
36
Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan baik dalam data primer
Kecamatan Seririt terdiri dari dua puluh desa : Desa Banjar Asem, Desa Bestala, Desa
Bubunan, Desa Gunungsari, Desa Joanyar, Desa Kalianget, Desa Kalisada, Desa
Lokapaksa, Desa Mayong, Desa Munduk Bestala, Desa Pangkung Paruk, Desa
Patemon, Desa Pengastulan, Desa Rangdu, Desa Ringdikit, Desa Sulanyah, Desa
ditinjau dari sisi topografi Desa Lokapaksa yang terdiri dari wilayah dengan
dataran rendah pada sisi utara dan terdiri dari daerah yang berbukit mulai dari
ketinggian 7 – 300 M dpl pada sisi selatan, dengan luas wilayah desa mencapai :
28,84 KM2 . Secara Geografis batasan Wilayah Desa Lokapaksa adalah sebagai
Berikut :
Sebelah Barat Daya : Desa Unggahan dan Kawasan Hutan Bali Barat.
Lokapaksa dibagi menjadi 9 Banjar Dinas yaitu Banjar Dinas Carik Agung,
Banjar Dinas Pamesan, Banjar Dinas Tengah, Banjar Dinas Gunung Ina, Banjar
Dinas Jero Agung, Banjar Dinas Bukit Sakti, Banjar Dinas, Banjar Dinas Sorga
anak yang dilakukan oleh golongan warga negara Indonesia asli adalah
dengan terang melalui upacara adat dan dengan tunai, yaitu membayar sejumlah
uang sebesar seribu kepeng disertai pakaian perempuan kepada ibu kandung si
anak.
anak di Bali berupa upacara keagamaan yang disebut upacara Widiwidana atau
pemerasan, pada saat upacara pemerasan benang tridatu pada sajen dibakar
selanjutnya ditarik oleh anak angkat sampai benang tersebut putus. Adapun
49
https://lokapaksa.desa.id/page/27/Wilayah.html
tujuannya sebagai pemutus hubungan antara anak yang angkat dengan orang tua
lingkungan keluarga yang mengangkat. Dampaknya hak dan kewajiban orang tua
angkat dalam bidang agama (immateriil) beralih kepada anak angkat, diantaranya
si anak angkat mempunyai kewajiban harus mengabenkan orang tua, angkat jika
meninggal dunia nanti serta menyembah sanggah atau pemerajan milik orang tua
pengangkat.
pemerasan harus dilakukan secara terbuka dan disaksikan oleh Kelian Adat,
keluarga kepurusa dari orang kandung dan orang tua angkat, sehingga tidak ada
keragu- raguan lagi setelah upacara adat tersebut dilakukan. Selanjutnya diadakan
bahwa antara warga dan persekutuan tidak dapat dipisahkan serta mencegah
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti adanya pihak lain yang
39
menyangkal.
sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat dan tidak menyimpang
atau melanggar hukum adat setempat. Apabila syarat yang telah ditentukan tidak
terpenuhi, maka segala perbuatan yang dilakukan belumlah dapat dikatakan sah
atau resmi adanya. Singkatnya perbuatan hukum yang telah terjadi dapat dikatakan
masih disangsikan kebenarannya dan secara yuridis formal perbuatan itu termasuk
perbuatan yang batal demi hukum, karena tidak memenuhi persyaratan secara
40
hukum (yuridis).
gerak langkah atau tingkah laku masing- masing demi tercapainya tujuan seperti
apa yang diharapkan. Ini bukanlah berarti manusia itu dapat semena-mena dan
masyarakat adalah suatu peraturan yang berlaku, baik itu dalam bentuk hukum
tidak tertulis yang umumnya disebut Hukum Adat maupun hukum tertulis.
masyarakat sudah tentu ada sanksinya sebagai suatu resiko atau akibat dari
masyarakat maka sanksinya dari masyarakat adat, karena masyarakat adat yang
perselisihan dalam lingkungan keluarga, disamping untuk menjaga hal yang tidak
diharapkan terjadi demi harkat dan martabat kedua belah pihak. Sudah seharusnya
untuk menentukan anak siapa yang akan diangkat. Setelah itu baru datang
membicarakan dengan pihak keluarga anak yang mau diangkat. Jika sudah
mendapat persetujuan dan keluarga anak yang akan diangkat dan tidak ada
keberatan dari pihak lain maka barulah ditentukan hari baik untuk pelaksanaan
Kelian Banjar Dinas Carik Agung, bapak Ketut Mutrika Tanggal 6 Desember
2022, syarat-syarat anak yang diangkat menurut hukum adat setempat adalah :
pertama-tama diusahakan anak yang diangkat atau yang mau diangkat dari
lingkungan keluarga purusa, dan apabila tidak ada yang pantas diangkat dari
tidak ada yang mau/sama sekali tidak ada anak, barulah boleh mencari anak
Pada umumnya anak yang akan diangkat itu diutamakan anak laki-laki
dan apabila tidak ada anak laki-laki barulah bisa terhadap anak perempuan.
Oleh karena hal ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yang ada atau dianut di
Bali yaitu Patrilinial (kebapaan) dan menyangkut status dari pada anak yang
Sentana rajeg. Oleh karena anak angkat yang bersangkutan diharapkan sekali
suatu perbuatan hukum yang dilakukan dan demi adanya kepastian hukum.
Pada umumnya pengangkatan anak itu dilakukan oleh pasangan suami istri
Pasangan suami istri ini ditinjau dari sudut hukum memang orang yang
keturunan pihak keluarga laki-laki (suami), sehingga kewenangan untuk ini ada
pada pihak laki-laki. Di samping itu anak yang diangkat itu dianggap sama
dengan anak kandung sendiri, di dalam hal ini istri yang menjadi perlambang
Kemudian dari segi kewajiban kepada masyarakat, seorang laki- laki yang
sudah kawin dalam suatu keluarga Hindu Bali diwajibkan turun ayah, yaitu masuk
Persyaratan turun ayah ini hanya boleh dilakukan oleh seorang laki-laki yang
sudah kawin, karena kewajiban adat ini banyak memerlukan tenaga dan biaya.
Adapun tujuan mebanjar ini (masuk menjadi warga banjar) untuk dapat
dalam masyarakat adat Bali akan mengalami kesulitan karena si bujang akan
dibebankan ayahan (kewajiban adat orang yang sudah kawin). Keadaan ini akan
lebih baik bila si bujang tidak melakukan pengangkatan anak karena segala
kewajiban si bujang terhadap desa adat dilakukan oleh laki-laki yang sudah kawin
dalam keluarganya.
I Gde Pudja menjelaskan bahwa seorang wanita yang belum menikah (daha
tua) tidak mungkin bisa melakukan pengangkatan anak sebab anak wanita di Bali
itu. Di samping itu dilihat dari kedudukan wanita dari sudut hukum Hindu (dasar
hukum adat Bali), maka seorang wanita itu ada di bawah pengawasan
berbunyi :
Dari kedua pasal di atas dapat dipetik asas dasar kedudukan seorang wanita
yang selalu berada di bawah keluarga kepurusa yang dalam urut-urutannya jika ia
umpamanya berhasil berusaha memiliki harta akas kaya), maka selama ia belum
kepada leluhur yang sama. Disamping itu, mengingat pengangkatan anak dapat
haruslah memenuhi syarat yang secara nyata ada hubungannya dengan cita-cita
yang ada hubungannya dengan kelompok banjar. Jika dibandingkan dengan yang
berlaku dalam masyarakat daerah yang ada di Indonesia, yang menganut sistem
kekeluargaan lain, sangatlah berbeda dengan apa yang ada di Bali. Di Indonesia
tidak ada ketentuan tegas tentang siapa-siapa saja yang boleh melakukan
pengangkatan dengan anak yang diangkat harus mempunyai jarak umur lima belas
tahun.51
Untuk dapat dikatakan agar supaya anak yang diangkat itu memenuhi syarat
2. Diutamakan laki-laki.
Apabila yang diangkat anak perempuan maka status hukum dari anak
51
Kadjeng, Nyoman, 1970/1971, Sarasamuscaya, Proyek : Penerbit : Kitab Suci Hindu dan
Budha, Dirjen Bimas Hindu-Budha Buleleng , Departemen Agama RI, Jakarta
perempuan itu diubah menjadi status hukum laki-laki (purusa). Dengan jalan
diperhatikan di dalam norma hukum adat Bali, tampak terlihat melalui ketentuan
masyarakat dalam suatu wilayah desa adat di Bali, yang isinya mengatur
manusia dengan alam lingkungannya, dikenal dengan konsep Tri Hita Karana.
Bentuk awig- awig ini ada yang tertulis dalam lontar, buku, perunggu/ prasasti
Carik Agung, Desa Lokapaksa Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, tidak ada
syarat khusus tentang anak yang diangkat, yang diatur hanya tata cara
pengangkatan anak didasarkan atas kesepakatan intern keluarga. Hal ini berbeda
dengan desa adat di Bali pada umumnya yang menentukan syarat-syarat khusus
Awig-awig Desa Adat sifatnya lebih luwes dan mengatur hal-hal pokok
saja. Adapun sebagai bahan perbandingan kita dapat melihat isi dari awig-awig
Desa Adat Kabupaten Buleleng yaitu Desa Adat Dalang, Kecamatan Selamadeg,
indik sentana (mengenai anak angkat), pada Adat Sidan, Pawos (pasal) 84 (4) jo
46
Artinya;
yang tidak seimbang atau harmonis dalam hubungan antar manusia, baik dalam
lingkungan keluarga dalam lingkungan Banjar dan desanya. Senada dengan apa
dilakukan aleh masyarakat Desa Adat Jero Agung berdasarkan kata sepakat. dari
kedua belah pihak baik dari keluarga angkat maupun keluarga kandung.
didasarkan atas perjanjian, pengangkatan anak itu ada sejak dicapainya kata
sepakat.
Adapun gambaran keadaan anak angkat di Desa Adat Jero Agung/ di Desa
Lokapaksa. Menurut penuturan Kelian Banjar Jero Agung Bapak I Gusti
Kompiang Weka Winaya, bahwa anak angkat adalah 3 (tiga) orang dengan
perbandingan jumlah anak laki-laki Iebih banyak dari anak perempuan, yaitu 2
(empat) orang laki-faki dan 1 (satu) orang perempuan. Hal ini karena masyarakat
Desa Adat Jero Agung masih menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu
Jero Agung ada beberapa anak angkat yang bukan dari keluarga pewaris sendiri
(dari sendiri). Adapun jumlah anak angkat dari keluarga pewaris sendiri adalah 2
(dua) orang dan 1 (satu) orang bukan dari dan sendiri/ orang lain.52
tentang manusia sesuai dengan Pancasila, pengangkatan anak didorong oleh rasa
anak pasal 2 ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.
kesejahteraan anak tersebut, anak-anak yang diangkat yang bukan dari keluarga
diangkat saat baru lahir di rumah sakit atau rumah bersalin lainnya.
istiadat setempat
52
I Gusti Kompiang Weka Winaya Selaku Klian Banjar Jero Agung, wawancara, 5 Desember
2022
48
pengangkatan anak berbeda-beda menurut hukum adat setempat. Hal ini berkaitan
kekeluargaan anak angkat tersebut dengan arang tua kandungnya, dan adapula
Savigny yang menyatakan hukum terjelma dari jiwa rakyat (volgeist). Hukum
yang menjelma dari perasaan hukum yang nyata dari rakyat dan hukum yang
hukum bukanlah skema yang final namun terus bergerak mengikuti dinamika
kehidupan. Pandangan M. Frieadman, ada tiga unsur dalam sistem hukum yaitu
struktur, substansi dan kultur. Artinya suatu hukum dapat berjalan baik dalam
masyarakat apabila dilihat secara substsansi, isi dari hukum sudah baik dan para
penegak hukum sebagai aparat yang melaksanakan hukum memiliki etikad baik
terapkan juga sesuai atau diterima oleh masyarakat, dengan demikian jika ketiga
unsur tersebut sudah terpenuhi dalam suatu produk hukum maka hukum tersebut
dapat dikatakan baik dan berlaku efektif dalam masyarakat, namun demikian
apabila salah satu unsur tidak terpenuhi dalam suatu produk hukum maka hukum
itu dikatakan tidak baik dan tidak berlaku efektif dalam masyarakat.
waris adat Bali, apabila tiga unsur teori sistem dari M. Friedman telah terpenuhi
hukum. Suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum yang digunakan dihindari atau di salah gunakan, begitu pula hukum adat
di Bali yang bersumber pada awig-awig yang tertulis dan kebiasaan masyarakat di
masing-masing daerah di Bali dengan mengutamakan desa, kala dan patra yang
disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan yang ada di wilayah desa adat
setempat.
Di dalam proses pengangkatan anak di Desa Adat Carik Agung ini pertama
pada orang tua/kerabat dari si anak yang diangkat. Apabila persetujuan tersebut
diangkat itu sendiri (tentunya hal ini berlaku bila anak tersebut sudah dewasa
dan bila anak tersebut masih kecil biasanya persetujuan itu tidak dimintakan).
prajuru Adat tentang maksud mengangkat anak tersebut. Bilamana dalam jangka
waktu dua sampai tiga bulan tidak ada keberatan tentang pengangkatan anak itu
dari kerabat- kerabat yang lainnya maka tindakan selanjutnya ialah mencari hari
49
baik untuk melangsungkan upacara pemerasan terhadap si anak.
upacara dengan membakar benang tridatu hingga putus. Hal ini mengandung
makna memutuskan hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua
pembayaran adat berupa uang seribu kepeng dan satu stel pakaian perempuan
untuk dilepas dari ibu kandungnya. Begitu pula pada saat dilakukan upacara
pemerasan biasanya orang tua angkat akan memberikan harta pemerasan kepada
anak angkat.
pribadi dari anak sejak ia selesai diupacarai yang tidak boleh diganggu gugat.
sudah dianggap sah, dimana anak angkat tersebut menjadi berstatus anak kandung
1. Benda yang bernilai magis religius serta berfungsi selaku pengekal ikatan cinta
kasih antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Harta ini bisa berupa
berbentuk tanah. Sesuai dengan jaman sekarang ini tentu saja dapat berupa
53
Zulfikar, SH Panitera Muda Pengadilan Negeri Buleleng , wawancara 7 Desember 2022
Tabanas, Deposito, saham dan sebagainya. Yang berfungsi mirip selaku
asuransi, atau biaya bagi kehidupan anak angkat bila terjadi sesuatu yang
tidak dikehendaki (putus hubungan anak angkat dengan orang tua angkat karena
kematian).
pengangkatan anak yang ditujukan kepada Bupati lewat Camat setempat yang
upacara pemerasan, ada pula surat tersebut dibuat setelah upacara pemerasan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 11 ayat (4) paswara tanggal 13
Oktober 1900; tiap transaksi pengangkatan anak sentana harus dibuatkan surat
51 di
Sekarang ini surat peras dibuat oleh Kepala Desa dan diikuti dengan
pembuatan surat permohonan kepada Camat untuk proses pengesahan lebih lanjut.
Berdasarkan hasil penelitian di Desa Adat Carik Agung setelah diadakan upacara
pemerasan, maka dibuatkan surat peras oleh kepala desa/lurah yang fungsinya
sebagai alat bukti tertulis bagi masyarakat setempat. Di dalam hukum pembuktian
ada 2 (dua) alat bukti tertulis terdiri dan akta di bawah tangan dan akta otentik
sesuai dengan pasal 1868 KUH Perdata. Dikaitkan dengan surat peras yang dibuat
oleh kepala desa maka alat bukti tertulis itu adalah akta dibawah tangan, karena
52
anak menurut hukum adat Bali dan identitas dari anak angkat, orang tua angkat,
Hal ini sesuai dengan pendapat Retno Wulan Sutantio dalam bukunya
Meliala memberi jalan tengah mengenai pasal 10 ayat 1, S. 1917 Nomor 129
menurut beliau kata dengan akta notaris lebih baik diganti dengan akta otentik,
Keberadaan surat peras adalah sebagai alat bukti tertulis bagi masyarakat
adat Carik Agung (masyarakat Hindu Bali). Hal ini telah diatur dalam awig-
awig desa adatnya yaitu Pawos 32 (3) atau pasal 33 ayat (3) menyatakan:
artinya:
upacara pemerasan. Hal ini merupakan syarat formal yang bersifat determinan,
tanpa ada upacara adat maka pengangkatan anak tersebut tidak sah.54 Sebagai
oleh kepala desa/perbekel. Surat ini sebagai alat bukti tertulis bagi masyarakat
setempat (masyarakat Hindu Bali) adalah alat bukti sempurna di muka hakim.
Hal ini sesuai dengan pasal 1870 KUH Perdata yang menyebutkan:
Adat Tengah, Bapak Kadek Agus Teja Aryadika, pada tanggal 6 Desember 2022,
Anak yang diangkat diutamakan anak laki-laki yang ada hubungan keluarga
bersifat keagamaan yaitu anak angkat menarik benang dari bebantenan itu
54
Tafal, Bastian, 1989, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya
di Kemudian Hari, Rajawali Press, Jakarta.
55
Kadek Agus Teja Aryadika, Klian Banjar Tengah, wawancara, 6 Desember 2022
54
hingga putus.
3. Kelian Banjar
4. Kepala Desa
Dibuatkan surat peras oleh kepala Desa dan diikuti dengan siar oleh kelian
kelian banjar, kelian adat dan Kepala Desa untuk proses pengesahan lebih
dengan Panitera Muda Pengadilan Negeri Buleleng, Ibu Santi Widyastuti, SH,
pada umumnya harus mengikuti prosedur yang telah digariskan dalam SEMA
No. 2 Tahun 1979, mengingat Pengadilan Negeri yang menangani adopsi secara
formal maka pengangkatan anak antar WNI, dilakukan menurut hukum adat
untuk anak angkat yang tidak diketahui orang tuanya dan untuk mendapatkan
Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan dengan tegas bahwa asal usul anak hanya
catatan sipil Kotamadya Buleleng, I Made Arka Pribadi, tanggal 7 Desember 2022
bahwa apabila terjadi pengangkatan anak yaitu peristiwa baru yang oleh Undang-
Perkembangan dalam praktek pelayanan sehari-hari oleh pihak kantor catatan sipil
57
I Made Arka Pribadi, Pegawai catatan sipil Kotamadya Buleleng, wawancara, 7 Desember 2022
56
kelahirannya.58
Adapun hasil penelitian yang dilakukan di Kantor Catatan Sipil untuk anak
yang dilahirkan oleh seorang ibu dan kemudian dijadikan anak angkat setelah
disampaikan dalam batas waktu 60 hari sejak peristiwa kelahiran untuk semua
keputusan Pengadilan Negeri, atau surat kuasa dari Kejaksaan Negeri bagi mereka
4.3 Perlindungan Anak Angkat Dalam Hak Waris Dari Pandangan Agama
Hindu Berdasarkan Hukum Adat Bali
4.3.1 Hak Waris Anak Angkat Putus Terhadap Orang Tua Kandungnya
Menurut Hukum Adat Bali
58
Situmorang, Victor M. dan Sitanggang, Cormentyna, 1996, Aspek Hukum Akta Catatan
Sipil di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Di atas telah dijelaskan bahwa hubungan anak angkat terhadap orang tua
menurut hukum adat setempat dan anak itu masuk dalam hubungan kekeluargaan
tuanya dan leluhurnya, sehingga la tidak mewaris pada orana tua kandungnya.
Makna lain dari upacara adat tersebut adalah untuk memasukkan si anak ke
dalam warga bapaknya sehingga ia mewarisi semua hak dan kewajiban dari
kandung.
sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan
keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti
anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke
keagamaan dan harta kekayaan yang tidak mempunyai nilai-nilai magis religius.
Selanjutnya disebutkan harta yang tidak mempunyai nilai magis religius antara
lain : 1. Harta akas kaya; 2). Harta jiwa dana; 3). Harta tetatadan; 4). Harta
druwe gabro.
Adapun pengertian dari harta akas kaya adalah harta yang diperoleh oleh
jenjang perkawinan. Pengertian dari harta jiwa dana adalah pemberian secara
ikhlas oleh orang tua kepada anak- anaknya baik laki-laki maupun wanita selama
adalah harta yang diperoleh suami istri dengan cucuran keringat bersama.
Dari penjelasan ini dapat penulis simpulkan bahwa kesemuanya itu adalah
sedangkan harta druwe gabro adalah harta yang diperoleh dalam suatu
tersebut di atas hak-hak anak angkat terhadap harta keluarga orang tua
angkatnya, adalah sebasai ahli waris orang tua angkatnya. Dari kalangan para
sarjana hukum adat waris yang berlaku pada Desa Adat Bali anak angkat adalah
ahli waris harta benda keluarga seperti harta akas kaya, harta jiwa dana, harta
menurut hukum adat Bali adalah sebagai ahli waris orang tua angkatnya seperti
harta akas kaya, harta jiwa dana, harta tetadan, dan harta druwe gabro. Keadaan
ini tidak berubah apabila setelah diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak
kandung.
Melihat perkembangan dewasa ini pengangkatan anak bukan saja dari keturunan
sendiri untuk mencegah adanya sengketa, maka ditetapkan bahwa si anak angkat
yang bukan dari keturunan sendiri hanya mewarisi harta bersama/guna kaya dari
orang tua angkatnya, sedangkan harta pusaka diserahkan kepada orang tua
angkatnya. Apabila si anak angkat dari dan sendiri/masih ada hubungan darah
tidak ada pembatasan hak ia mewaris semua harta warisan orang tua angkatnya
Sedana, tanggal 10 Desember 2022 bahwa : Disamping itu anak angkat yang sah
sebagai pewaris orang tua angkatnya menurut hukum adat dapat juga gugur
59
Ketut Murika Klian Banjar Carik Agung,. Wawancara, 9 Desember 2022
60
karena hak mewaris harta benda orang tua angkatnya karena suatu hal, misalnya
tua angkatnya. Apabila hal ini terjadi maka si pewaris di hadapan penduduk
sedarah yang kemudian harus disusul dengan laporan kepada perbekel (kepala
desa) dan klian adat. Keadaan ini belum pernah terjadi di Desa Lokapaksa
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
meperas maknanya pemutus hubungan antara anak yang angkat dengan orang
penyampaian kekhalayak ramai dalam hal ini desa adat terkait garis
waris, ahli waris dari pewaris (orang tua angkat) terkait pelaksanaan hak
dan kewajibannya.
2. Perlindungan anak angkat dalam hak waris dari pandangan agama Hindu
hukum adat Bali adalah sebagai ahli waris orang tua angkatnya seperti harta akas
kaya, harta jiwa dana, harta tetadan, dan harta druwe gabro. Keadaan ini tidak
61
berubah apabila setelah diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak kandung.
5.1 Saran
perlu dilanjutkan dengan membuat surat peras sebagai alat bukti tertulis
DAFTAR PUSTAKA
Artadi, I Ketut, 1987, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi
Dengan Yudisprudensi, Cetakan Kedua, Setia Kawan, Denpasar.
Beni, I Wayan, dan Ngurah, Sagung, 1989, Hukum Adat Di dalam Yudisprudensi
Indonesia, Surya Jaya, Denpasar.
Haar, Ter, 1986, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Diterjemahkan Oleh K.
Ng. Soebekti Proesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta.
Hadi Kusuma, Hilman, 1990, Hukum Waris Adat, Cetakan Keempat, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Harahap, M. Yahya, 1993, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam
Hukum Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rusmayanti Ni Luh Putu Eka 2012. Kedudukan Anak Angkat di Dalam Pewarisan
Menurut Hukum Waris Adat Bali Tesis .Universitas Hasanuddin
Makassar
Satrio, J., 2000, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-
undang, Citra Aditya Bakti, Bandung.
64
Soepomo, R., 2000, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Soeroso, R. 2000.Perbandingan Hukum Perdata, Cetakan Kelima, Jakarta: Sinar
Grafika
Soeripto, 1973, Beberapa Bab Tentang Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum
Universitas Negeri Jember, Jember.
Peraturan Perundang-undangan