Anda di halaman 1dari 3

STUDI KASUS UPAH BURUH YANG TIDAK MEMENUHI

STANDAR UMK

Dosen: Hakimah Marwah, M.H.

Oleh: Silvy Al Rizki

NIM: 22106005

A. KRONOLOGi

Beberapa hari yang lalu saya menanyai teman saya semasa di SMA dulu
mengenai pekerjaannya saat ini. Sebut saja dia dengan inisial “L”, seorang wanita
berusia 19 tahun yang bekerja di Zeefora Tasikmalaya, yang mana tempat tersebut
merupakan semacam pabrik garmen pembuatan baju Koko berskala kecil.

Di pabrik tersebut, “L” bekerja sebagai Helper. Ia bertanggung jawab


membantu hampir semua aktivitas produksi, “L” bertugas atas pekerjaan finishing,
kebersihan ruang produksi, serta membantu operator produksi dalam menyiapkan
bahan dan menghitung stock kain. Jam kerjanya di mulai dari 08.00 a.m – 05.00
p.m dengan diselingi dua kali istirahat, yaitu istirahat makan siang yang merangkap
dengan waktu dzuhur dari jam 11.30 a.m – 01.00 p.m, dan istirahat ke dua pada
waktu asar dari jam 03.00 p.m – 03.30 p.m.

Upah yang di dapat dari propesinya tersebut adalah Rp 35.000/hari. Namun


pihak pabrik biasa membayar jasanya setiap dua minggu sekali senilai Rp 490.000.
Dalam pekerjaan tersebut sayangnya sama sekali tidak ada kontrak atau
kesepakatan kerja secara tertulis. “L” menjelaskan bahwa kesepakatan seperti jam
kerja dan upah sebagaimana tercantum dalam kronologi disampaikan secara lisan.
Kembali disayangkan dalam perjanjian lisan itu sendiri ternyata dalam pekerjaan
ini juga tidak ada tunjangan kesehatan ataupun jaminan keselamatan bagi
pekerjanya.

1
Permasalahan yang cukup mencolok dari kasus ini, ialah apabila upah yang
dibayarkan dua minggu sekali tersebut dijumlahkan menjadi satu bulan maka akan
memperoleh nominal Rp 980.000. Di mana nominal tersebut kurang dari Upah
Minimum Kabupaten Tasikmalaya di tahun 2022 yang minimalnya upah yang
harusnya dibayarkan adalah Rp 2.251.000 jika seorang pekerja bekerja dalam
waktu full time.

B. REGULASI HUKUM

Pasal yang mengatur mengenai upah pekerja/buruh diatur dalam Undang-


Undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Dalam Undang-Undang No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 88) ditegaskan bahwa ,”Setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.

Kemudian pada Pasal 89 ayat (1) menambahkan, “Upah minimum sebagai


dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri dari atas upah minimum
berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota, upah minimum berdasarkan
sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota,”

Di sini Pasal 89 menyatakan bahwa upah minimum diarahkan kepada


pencapaian kebutuhan hidup layak. Selain itu, upah minimum juga ditetapkan oleh
gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan
provinsi/bupati/wali kota. Lalu bagaimana apabila ketentuan nominal minum dari
UMK/UMR itu dilanggar?

Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Pengusaha dilarang


membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89”.

Kemudian Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan,


“Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha
dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah
dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.

2
Pasal 91 UU Ketenagakerjaan mempertegas dengan menyebutkan bahwa
pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam hal kesepakatan antara pengusaha dan pekerja lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal
demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Intinya, kesepakatan mengenai pengupahan antara pekerja/buruh dengan


pengusaha tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang telah
ditetapkan, biasanya ketentuan pengupahan ditetapkan dalam sebuah keputusan
gubernur di masing-masing Provinsi yang dijadikan acuan dalam penentuan
pemberian upah minimum bagi pekerja/buruh.

Sanksi dari pelanggaran tentang nominal jumlah upah ini tercantum dalam
Pasal 81 ayat (63) UU Cipta Kerja, bahwa “Perusahaan yang membayar upah di
bawah UMR, maka akan dikenai sanksi pidana minimal 1 tahun kurungan
penjara, dan maksimal 4 tahun kurungan penjara, dan/atau denda minimal
Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta”.

Anda mungkin juga menyukai