Anda di halaman 1dari 10

Penegakan Pelaksanaan Upah Minimum Regional

Nama : Rahmad Ikrom Ramadhan


NIM : 190514650050
Offering : E2
Mata Kuliah : Etika Engineering
Dosen Pembimbing : Dr. Heru Suryanto, M.T

1. Ketentuan Upah Minimum Bagi Karyawan


UMK, UMR, UMP merupakan gaji atau standar upah minimum
yang merupakan kewajiban perusahaan untuk diberikan kepada karyawan.
Penting bagi calon karyawan maupun perusahaan untuk mengetahui
besaran nilai UMR, UMP, UMK suatu Kota atau Provinsi untuk menjadi
acuan besaran nilai upah yang seharusnya diterima oleh karyawan atau
yang harus diberikan oleh perusahaan. Selain menjadikan acuan dari
besaran nilai upah, UMR juga dapat dijadikan sebagai motivasi untuk para
karyawan dalam mencari pekerjaan. Pada umumnya UMR, UMP, UMK
berlaku untuk setiap karyawan yang memiliki masa kerja kurang dari 1
tahun. Untuk karyawan dengan masa kerja lebih dari 1 tahun, maka
karyawan yang bersangkutan dapat memprediksi gajinya naik atau tidak.

2. Larangan Pengusaha Membayar Upah di Bawah Upah Minimum


Sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha dilarang membayar
upah lebih rendah dari upah minimum. Pemerintah menetapkan upah
minimum ini berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Upah minimum dapat terdiri atas:
 upah minimum berdasarkan wilayah provinsi (UMP) atau
kabupaten/kota (UMK).
 upah minimum berdasarkan sektor (“UMS”) pada wilayah provinsi
atau kabupaten/kota.
Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, Pasal 90
ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan mengatur sebagai berikut:
“Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.”

Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyebutkan


sebagai berikut:
“Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak
mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan
melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu.
Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang
bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat
itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum
yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.”

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


72/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa frasa “…tetapi tidak wajib
membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu
diberikan penangguhan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, Mahkamah
memberi penegasan selisih kekurangan pembayaran upah minimum
selama masa penangguhan tetap wajib dibayar oleh pengusaha.
Dengan kata lain, penangguhan pembayaran upah minimum tidak
serta-merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih
upah minimum selama masa penangguhan tersebut. Selisih upah minimum
yang belum terbayar selama masa penangguhan adalah utang pengusaha
yang harus dibayarkan kepada pekerja/buruhnya.
3. Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan
Prosedurnya adalah:
1. Mengadakan perundingan bipartit (antara pekerja atau serikat
pekerja/buruh dengan pengusaha) secara musyawarah untuk mencapai
mufakat;
2. Apabila dalam waktu 30 hari, perundingan tidak mencapai kesepakatan,
salah satu atau para pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Pada
tahap ini, Anda perlu mengajukan bukti-bukti bahwa perundingan
bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan;
3. Instansi yang bertanggung jawab akan menawarkan kepada para pihak
untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase. Jika
tidak menetapkan pilihan, maka akan diselesaikan melalui mediasi;
4. Apabila konsiliasi atau mediasi tetap tidak menghasilkan kesepakatan,
maka salah satu pihak dapat mengajukan perselisihan ini kepada
Pengadilan Hubungan Industrial;
5. Sementara itu, putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang
bersifat akhir dan tetap serta tidak dapat lagi diajukan ke Pengadilan
Hubungan Industrial.

4. Ancaman Pidana Bagi Pengusaha yang Membayar Upah di Bawah


Upah Minimum
Pekerja dapat menempuh upaya pidana, yakni dengan melaporkan
ke pihak kepolisian. Ancaman pidana bagi pengusaha yang membayar
upah pekerjanya di bawah upah minimum adalah pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.
5. Pasal-Pasal (Dasar Hukum)
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
4. Peraturan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 121 Tahun 2019
tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2020;
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-
226/Men/2000 tentang Perubahan Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8,
Pasal 11, Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum.
Putusan:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XIII/2015.
2. Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
3. Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
4. Pasal 89 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
5. Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 10 UU PPHI
6. Pasal 3 ayat (2) dan (3) jo. Pasal 4 ayat (1) UU PPHI
7. Pasal 4 ayat (3), (4), (5), dan (6) UU PPHI
8. Pasal 5 UU PPHI
9. Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 53 UU PPHI
10. Pasal 185 ayat (1) jo. Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

6. Contoh Kasus
Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 1 tahun dan denda Rp 100 juta
kepada Tjioe Christina Chandra, pengusaha asal Surabaya yang membayar
karyawannya di bawah upah minimum regional.
Sanksi pidana kepada pengusaha itu yang pertama di Indonesia. Vonis
kasasi itu dipimpin ketua majelis hakim Zaharuddin Utama, dengan anggota
majelis Prof Dr Surya Jaya dan Prof Dr Gayus Lumbuun dalam perkara
Nomor 687 K/Pid.Sus/2012.
Menurut anggota majelis hakim, Gayus Lumbuun, di Jakarta, Rabu
(24/4/2013), hukuman pidana itu diberikan atas dasar pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni Pasal 90
Ayat (1) dan Pasal 185 Ayat (1). Pasal 90 Ayat (1) menyebutkan, pengusaha
dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Sementara Pasal
185 Ayat (1) menyebutkan, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4
tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400
juta.
Gayus menekankan, pengabaian terhadap ketentuan UMR merupakan
tindak kejahatan. Di tengah kondisi negara yang diwarnai banyak
pengangguran dan rakyat berkekurangan untuk mendapatkan pencarian,
banyak penyalahgunaan keadaan. Dalam perkara tersebut, penyalahgunaan
dilakukan oleh pengusaha. Hukuman minimal yang diberikan itu merupakan
tahap awal sebagai pembelajaran masyarakat.
Ke depan, pengusaha yang melakukan kejahatan serupa dan dilaporkan,
akan dikenakan sanksi. ”Kami berharap putusan ini memberikan efek jera
agar pengusaha tidak menyalahgunakan keadaan dan menaati aturan upah
minimum. MA masih bisa diharapkan sebagai benteng terakhir untuk
memperjuangkan hak buruh,” ujarnya. Vonis kasasi itu ditetapkan tanggal 5
Desember 2012. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas
Chandra, tetapi jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Sekretaris Jenderal
Kementerian Perindustrian Ansari Bukhari mengatakan, pemerintah akan
mempelajari putusan MA itu.
Ini karena persoalan UMR berkaitan dengan kepentingan industri,
terutama industri yang sifatnya padat karya. ”Bagi industri padat karya, kan,
kemarin diupayakan agar ada kemudahan dalam penangguhan,” ujar Ansari.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengatakan,
semua pihak harus melihat putusan MA menjatuhkan sanksi pidana atas
pengusaha yang membayar karyawannya di bawah UMR dari berbagai sisi.
Sebagai keputusan hukum, putusan itu harus dihargai. ”Namun, jangan hanya
dilihat putusan akhirnya, lihat juga latar belakangnya,” ujarnya. Franky
mengatakan, harus dilihat latar belakangnya, yakni apakah semua mekanisme
yang diperlukan, mulai dari persetujuan bipartit, pengajuan penangguhan, dan
persetujuan dari Disnaker setempat dilakukan pengusaha. Apabila semua
mekanisme itu dilakukan, seharusnya tidak ada sanksi yang dijatuhkan.
Mekanisme tersebut ditempuh karena ada perusahaan yang memang secara
faktual belum mampu membayar penuh sesuai UMR. Menurut Franky,
putusan MA itu juga akan membuka mata publik, termasuk pelaku usaha
kecil dan menengah. ”UKM akan melihat putusan ini dan tahu bahwa
membayar di bawah UMR bisa seperti itu,” katanya.
Bagi perusahaan skala di atasnya yang juga terbebani, maka putusan itu
bisa menjadikan mereka akhirnya memilih mengurangi tenaga kerja (PHK)
saat tidak sanggup membayar karyawannya sesuai UMR. Pemerintah diminta
mencermati permasalahan ini agar ada kepastian dalam hubungan industrial.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said
Iqbal berpendapat, keputusan MA sudah benar karena sesuai UU Nomor
13/2003 tentang Ketenagakerjaan. UU itu mengatur sanksi bahwa pengusaha
yang tidak membayar UMR didenda Rp 400 juta dan penjara maksimal 4
tahun.
Menurut Iqbal, keputusan tersebut sebagai law enforcement (penegakan
hukum) terhadap hak buruh karena UMR adalah jaring pengaman agar buruh
tidak absolut miskin akibat tidak dibayar sesuai UMR. Iqbal mengatakan,
keputusan itu merupakan suatu bukti bahwa hukum bisa berpihak kepada
rakyat kecil dan agar pengusaha tidak sewenang-wenang membayar upah
buruh. (ANA/LKT/CAS/DMU/Ham).

7. Struktur Perlindungan Upah Yang Ada di Indoensia


a) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Dalam Pasal 1 huruf a
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
menyebutkan pengertian upah adalah sebagai berikut:
“Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha
kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan, dinyatakan ataudinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan dan
dibayar atas dasar sesuatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan
buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarga”.
Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak pekerja/ buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan
dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan
perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
pemerintah turut serta dalam menetapkan standar upah terendah
melalui peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan upah
minimum. Hak dan Kewajiban Serikat Pekerja juga terdapat dalam
Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, yang diatur
didalam Bab VI Pasal 25, 26 dan 27. Pasal 25, menyebutkan bahwa :
(1) Serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan
berhak:
a)membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b)mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan
industrial;
c)mewakili pekerja/ buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d)membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e)melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam Pasal 25 Undang-Undang tersebut dengan jelas dikatakan
Serikat Pekerja mempunyai hak-hak untuk ikut serta atau turut
dilibatkan dalam memikirkan nasib dan kesejahteraan karyawan.

b) Dinas Tenaga Kerja (Disnaker)


(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran dan
pendapat kepada pemerintah beserta pihak terkait dalam
penyusunan, kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga kerja sama tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) terdiri dari:
(a) Lembaga kerja sama tripartit nasional, propinsi dan
kabupaten/kota;
(b) Lembaga kerja sama tripartit sektoral nasional, propinsi
dan kabupaten/kota.
(3) (Keanggotaan lembaga kerja sama tripartit terdiri dari unsur
pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat
buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi lembaga kerja sama tripartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
2005 tentang Tata Kerja dan
Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit menetapkan
bahwa Lembaga Kerja Sama Tripartit yang selanjutnya disebut LKS
Tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang
masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah.Lembaga
Kerja Sama Tripartit terdiri dari:
1. Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional.
2. Lembaga Kerja Sama Tripartit Propinsi/
3. Lembaga Kerja Sama Tripartit Kabupaten/ Kota
4. Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral.
Lembaga Kerja Sama Tripartit merupakan forum komunikasi,
konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan. Bahwa
berdasarkan hal ini maka jika ada pihak-pihak yang menganggap
bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan merugikan atau tidak berpihak kepada pekerja/buruh,
maka dapat menyampaikan permasalahannya kepada Lembaga Kerja
Sama Tripartit/Sektoral dengan menunjuk pasal yang menjadi
permasalahan berikut alasannya.
Lembaga Kerja Sama Tripartit merupakan forum komunikasi,
konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan, maka
cara-cara berdemo seharusnya sudah ditinggalkan tidak perlu lagi
digunakan.
Bahwa jika ada pihak atau pihak-pihak yang menganggap sistem
kerja kontrak sangat merugikan pihak pekerja/buruh seharusnya
disampaikan dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Bahwa serikat pekerja/serikat buruh bukan penafsir
Undang-Undang, tetapipelaksana peraturan perundang-undangan. Jika
serikat pekerja/serikat buruh menganggap ada pasal atau pasal-pasal
dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
yang merugikan pekerja/buruh seharusnya dikomunikasikan,
dikonsultasikan dan dimusyawarahkan dalam Lembaga Kerja Sama
Tripartit. Hasil musyawarah kemudian disampaikan kepada
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Jaya Ayu Tri. 2019. Langkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar Minimum.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4c85f88b626af/langkah-
hukum-jika-upah-di-bawah-standar-minimum/. Diakses pada 22 September
2020 pukul 00.14 WIB.
Maulina Rishna. 2019. Ketentuan Hukum Terhadap Pemberian Upah di Bawah
UMR. https://sleekr.co/blog/ketentuan-hukum-terhadap-pemberian-upah-di-
bawah-umr/. Diakses pada 22 September 2020 pukul 00.20 WIB.
Azhar Muhammad. 2015. Buku Ajar Hukum Ketenaga Kerjaan. Semarang.
Djumena Erlangga. 2013. Bayar Karyawan di Bawah UMR, Pengusaha Dijatuhi
Hukuman.https://ekonomi.kompas.com/read/2013/04/25/08215445/Bayar.Ka
ryawan.di.Bawah.UMR.Pengusaha.Dijatuhi.Hukuman?page=all. Diakses
pada 23 September 2020 pukul 08.20 WIB.
Nadindra Kirti, Priyono Joko. 2018. Mendapat Bayaran Dibawah Ketentuan Upah
Minimum Regional (UMR). Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Notarius (Vol 11 No.1). Diakses pada 23 September 2020 pukul 08.40 WIB.

Anda mungkin juga menyukai