Anda di halaman 1dari 21

TEMPLATE ARTIKEL

UNSUR BUDAYA CERITA RAKYAT SUKU


MAIRASI
Cultural Elements of Mairasi Tribal

Foklore Sri Yonoa,*, Siswantob,*


a,*
Badan Riset dan Inovasi Nasional
Jl. Wisata Danau, Waena, Heram, Kota Jayapura, Papua, Indonesia
*Pos-el: syono4003@gmail.com, siswanto.hanif515@gmail.com
Naskah Diterima Tanggal 18 Februari 2022.—Direvisi Akhir Tanggal 21 Maret 2022—Disetujui Tanggal 21 Maret 2022
doi: 10.51817/jsl.v1i1.142

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap unsur-unsur budaya dalam cerita rakyat
Suku Mairasi, Kaimana, Papua Barat dengan pendekatan antropologi sastra. Data diperoleh
melalui ob- servasi, wawancara, rekam, dan catat. Data penelitian berupa satuan tekstual yang
mengandung wacana unsur-unsur budaya. Analisis dilakukan dengan menginterpretasikan unsur
budaya terse- but berdasarkan referensi etnografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
melalui pendekatan antropologi sastra, unsur-unsur budaya dalam cerita rakyat Suku Mairasi
terlihat lebih jelas. Dari analisis diketahui bahwa bahasa Mairasi masih hidup dan digunakan
sebagai sarana komunikasi. Suku Mairasi memiliki rumah tradisional yang disebut Weso dan
dijadikan sebagai rumah tinggal di kebun. Rumah weso ini juga sebagai penanda kekerabatan.
Suku Mairasi mengenal keluarga inti dan pernikahan dilakukan dengan klen di luar klen
mereka. Untuk menjaga stabilitas dan norma adat maka mereka memiliki pemimpin yang
dipilih berdasarkan pengetahuannya tentang latar belakang klennya. Oleh karena itu, menjadi
hal yang beralasan jika mereka percaya dengan kekuatan alam yang terinternalisasi dalam
sistem pengetahuan dan sistem religi mereka.
Kata kunci: unsur budaya, cerita rakyat Suku Mairasi, antropologi sastra

Abstract : The study aims to reveal elements of the culture reflected in the mairasi, kaimana,
west Papua folk story with the approach to literary anthropology. Data obtained through
observation, interview, record, and note. Research data consists of textual units containing
cultural elements. Analysis is done by interpreting these cultural elements based on
ethnographic reference. The results of this study suggest that through the literary
anthropology approach, the cultural elements of the Mairasi folklore become much clearer.
Analysis found that the Mairasi language is alive and is used as a means of communication.
The Mairasi people had a traditional house called weso and became a garden home. This
house also as a kinship marker. The mairasi people know the nuclear family and the
marriage is performed with the klen outside their klen. To maintain stability and cultural
norms they have a chosen leader based on his knowledge of klen background. The Mairasi
people became familiar with the new profession of fishing, originally they were hunters and
farmers. Some devices used for daily activities are more commonly made from natural mate-
rials. It is the reasons that they believe in natural forces which are internalized in their
systems of knowledge and religious systems.
Keywords: cultural elements, Mairasi folklore, literary anthropology
PENDAHULUAN
Cerita rakyat Suku Mairasi hidup dan berakar di kalangan orang Mairasi. Walaupun cerita
rakyat dianggap sebagai cerita rekaan belaka tak dapat dipungkiri bahwa di dalam masyarakat
tertentu cerita rakyat masih hidup dan memiliki makna serta bersifat diturunkan dari generasi
ke generasi. Mitos (baca cerita rakyat) merupakan cerita impian yang dianggap memberikan
informasi dasar tentang dewa-dewi, dunia dan manusia, dan yang mempersatukan satu bangsa
melalui asal-usul, kesetiaan, dan nasib bersama.
Cerita rakyat Suku Mairasi merupakan cerminan kondisi sosial masyarakat, angan-
angan kolektif, dan kekayaan budaya masyarakat penuturnya. Melalui cerita rakyat dapat
dipahami kondisi sosial budaya masyarakat tersebut sebab cerita rakyat merupakan media
yang paling lapang untuk memahami kebudayaan suatu masyarakat. Menurut Arbuckle
(1990:34) sebuah mitos memberi makna kepada manusia mengenai asal-usul kenyataan
alam dan sosialnya serta hubungan antara manusia dengan alam semesta. Sementara itu,
Eliade (1975:1), mene- gaskan mitos sebagai cerita benar dan cerita itu mengandung
sebuah nilai sakral dan signif- ikan bagi masyarakat yang memercayainya. Bahkan,
Campbell (1998: 55) menegaskan bahwa mitologi menjadi subyek yang menarik bukan
karena dikatakan penting, akan tetapi karena ada sesuatu yang dapat diperoleh dari mitos
itu atau karena mitos itu memiliki fungsi bagi kehidupan. Oleh karena itu, untuk dapat lebih
memahami mitos (cerita rakyat) di Papua yang banyak bersinggungan dengan masalah
ethnografi maka diperlukan pendekatan sastra berbasis budaya atau antropologi sastra.
Sastra dan budaya sering jalin-menjalin dalam bentuk teks. Teks sastra biasanya
memuat keragaman budaya (Endraswara, 2015:83). Sastra lisan yang disampaikan melalui
bahasa bukan hanya sekadar alat untuk mengomunikasikan realitas akan tetapi juga
merupakan alat untuk menyusun realitas (Spradley, 2006:25).
Ada beberapa bukti yang mendukung kedekatan antara antropologi dengan sastra (En-
draswara, 2015:5) yaitu, (1) sastra dan antropologi merupakan dua disiplin ilmu yang sama-
sama memerhatikan aspek manusia dengan seluruh perilakunya; (2) manusia adalah makhluk
berbudaya yang memiliki daya cipta rasa kritis untuk mengubah hidupnya; (3) antropologi dan
sastra tidak alergi pada fenomena imajinatif kehidupan manusia yang sering lebih indah dari
warna aslinya;
(4) banyak wacana lisan dan sastra lisan yang menarik minat para antropolog dan ahli sastra;
(5) banyak interdisipliner yang mengitari bidang sastra dan budaya sehingga memerlukan
penanganan secara antropologi sastra. Lima alasan tersebut mengindikasikan bahwa adat
istiadat, tradisi, sere- monial, mitos, dan sejenisnya merupakan topik-topik yang menarik
untuk dikaji oleh para ahli sastra melalui pisau antropologi sastra

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 7


Secara umum, antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau kajian terhadap
per- ilaku manusia (Djirong, 2014:216). Antropologi melihat semua aspek budaya manusia
dan masyarakat sebagai kelompok variabel yang berinteraksi. Sedangkan sastra diyakini
merupakan cermin kehidupan masyarakat pendukungnya. Bahkan, sastra menjadi ciri identitas
suatu bangsa. Antropologi sastra (dianggap) menjadi salah satu teori atau kajian sastra yang
menelaah hubungan antara sastra dan budaya terutama untuk mengamati tentang mekanisme
sebuah sastra digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Kajian
antropologi sastra ini menelaah struktur sastra cerita rakyat lalu menghubungkannya dengan
konsep atau konteks situasi
sosial budayanya.
Pada gilirannya, antropologi sastra, tampil untuk mencoba menutup kelemahan dan
keku- rangan yang ada pada telaah teks sastra (analisis secara struktural). Atau sebaliknya
melalui sastra, kelemahan dan kekurangan data budaya dapat tertutupi. Jadi secara umum,
antropologi sastra dapat diartikan sebagai kajian terhadap pengaruh timbal balik antara sastra
dan kebudayaan.
Secara harfiah, sastra merupakan alat untuk mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk, dan intruksi yang baik. Sedangkan kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas
manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-
kebiasaan lain yang di- peroleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.
Jadi, sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang sama, aktivitas manusia, tetapi dengan
cara yang berbeda, sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas (sebagai
kemampuan emosionalitas), sedangkan ke- budayaan lebih banyak melalui kemampuan
akal, sebagai kemampuan intelektualitas. Ke- budayaan mengolah alam hasilnya adalah
perumahan, pertanian, hutan, dan sebagainya. Se- dangkan sastra mengolah alam melalui
kemampuan tulisan, membangun dunia baru sebagai ‘dunia dalam kata’, hasilnya adalah
jenis-jenis karya sastra, seperti: puisi, novel, drama, cerita- cerita rakyat, dan sebagainya
(Ratna, 2011: 7).
Penelitian etnografis adalah sebuah penelitian yang erat kaitannya dengan sebuah
tradisi. Antropologi sastra pun merupakan kajian sastra yang menekankan pada budaya masa
lalu. War- isan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern.
Karenanya, peneliti antropologi sastra dapat mengkaji keduanya dalam bentuk paparan
etnografi Ridington (1993: 49). Oleh karena itu, makna sebuah penelitian budaya maupun
sastra akan bersifat plural, terbuka, dan kadang-kadang memang bersifat politis Bruner
(1993:1).

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 7


Cerita rakyat dapat memberi indikasi kepada fakta sejarah dari suatu suku bangsa, ada
yang diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan, dan bagi suku bangsa yang telah
mengenal tuli- san (tulisan tradisional), dapat juga diturunkan secara tertulis. Apalagi cerita-
cerita itu diperoleh

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


melalui wawancara (yaitu secara lisan), maka bahan cerita-cerita yang mereka peroleh dari
para tokoh masyarakat itu direkam Koentjaraningrat (2005:9).
Analisis antropologi sastra mengungkap hal-hal, antara lain (1) kebiasaan-kebiasaan
masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra, (2) akar
tradisi atau subkultur serta kepercayaan, (3) aspek penikmat sastra etnografis, (4) unsur-unsur
etnografis atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra tersebut, dan (5) simbol
mitologi dan pola pikir masyarakat.
Fokus penelitian ini adalah unsur-unsur budaya yang terdapat dalam cerita rakyat Suku
Ma- irasi, Kabupaten Kaimana, Papua Barat dan bertujuan menggali unsur-unsur budaya
baik yang berupa ide, aktivitas, maupun hasil budaya yang terdapat dalam cerita rakyat
Suku Mairasi. Penelitian ini dapat dijadikan media informasi dan refleksi nilai-nilai
kehidupan masyarakat Mairasi. Dalam lingkup yang lebih luas, penelitian ini dapat
mengembangkan dan memperkaya khazanah kajian antropologi sastra.

METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, yakni dengan memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan secara menyeluruh, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah
Moleong (2006:6). Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Fokus
penelitian ini adalah penggunaan semiotik pada data berupa kata atau kalimat atau paragraf
yang berhubungan dengan unsur-unsur budaya pada cerita rakyat Suku Mairasi. Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah cerita rakyat Suku Mairasi yang berasal
dari Kabupaten Kaimana. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan studi
pustaka. Analisis data dilakukan dengan metode analisis isi (content analysis).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bahasa
Bahasa dapat mencerminkan ciri khas budaya tertentu yang akan tampak dari istilah- istilah
kedae- rahan yang dimiliki masyarakat tersebut. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat
suku Mairasi baik yang berada di daerah pesisir pantai Kaimana sampai di pedalaman secara
umum adalah sama yaitu bahasa Mairasi (Rumansara, 2018:129). Kalaupun ada perbedaan,
hal yang membedakan adalah dialek atau logatnya saja.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


Dalam cerita rakyat suku Mairasi, bahasa yang digunakan menjadi gambaran tentang
ke- budayaan pemiliknya. Beberapa istilah yang ditemukan di dalam cerita rakyat suku Mairasi
yang berjudul Souru antara lain: airi apguere (jalanan besar), esauangumete (pasir putih di
seputar pelabuhan Kaimana), Barbar Nambutu (Sungai Babara), sinomo (pisau bambu),
urera (sebuah alur aliran sungai), susakweri nabraii (pohon kayu susu), fabaesar (cawat),
“Furmora itee, wari- ambo ano, ubur namba ano, jamara sene!” (mantra memadamkan api),
“Afare….e gugur gemare
!” ( sebuah perintah untuk mengambilkan noken) fejan (parang panjang sejenis keris), hongi
(ber- perang di daerah lain), Natro..natero...e…natero…natero….e…wesio natro…e. (dendang
sedih sebuah lagu yang mewakili kesedihan kakak saat melihat adiknya), gawara
(perempuan), esa a (tas anyaman seperti noken), koba-koba atau gebia (seperti payung terbuat
dari daun tikar), ama atau gata-gata (penjepit makanan terbuat dari bambu), baruku (api
buatan), koba-koba (penutup badan terbuat dari daun tikar), sia (pasir), oa (seekor babi
betina), yoga (perahu), lela (sejenis meriam besi peninggalan tentara Jepang).

Bentuk Rumah dan Pola Pemukiman


Dari beberapa bentuk rumah tradisonal yang ada pada Suku Mairasi terdapat satu rumah
tradi- sional yang disebutkan dalam cerita rakyat yaitu rumah weso.
Rumah weso adalah rumah tradisional yang digunakan oleh Suku Mairasi ketika masih
be- rada di daerah pedalaman (Rumansara, 2018:131). Bentuk rumah ini tidak terlihat lagi di
lokasi- lokasi pemukiman baru mereka. Namun, bentuk rumah ini masih dipertahankan
hingga saat ini, yaitu dengan masih tetap dibangun di lokasi-lokasi kebun mereka sehingga
mereka menyebutnya rumah kebun.
Bentuk rumah ini masih asli dalam arti belum mendapat pengaruh luar. Rumah ini
dapat ditemui di kebun mereka, karena rumah-rumah tersebut selain sebagai rumah tidur, juga
sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya kerabat-kerabat mereka sesama Suku Mariasi.
Sesampainya di tempat tersebut, ia sangat terkejut karena dilihatnya hanya
seorang nenek yang menempati kampung itu. Tubuh nenek itu sangat kurus,
pakaiannya juga su- dah copang-camping, wajahnya kusam, dan seram menakutkan. Ia
mengamati dari jauh, memang nenek itu hanya seorang diri dan ia tinggal pada sebuah
gubuk. Gowoda berpikir sejenak, untuk bisa bertemu nenek itu dan meminta air
minum. Setelah lama berpikir, Gowoda memberanikan diri untuk menemui nenek itu.
Melihat kedatangan seorang per- empuan muda memasuki kampungnya seorang diri,
Nenek terkejut. Melihat rupa cantik Gowoda, nenek terkesima dan menatap wajah

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


Gowoda tak bergeming.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


Bagi penduduk pedalaman pola pemukimannya searah atau mengikuti aliran sungai,
artinya bagian sampingnya sejajar dengan sungai.
Suasana sekeliling rumah Paman Souru sangat sunyi, hanya terdengar suara
gemer- icik air dari sungai yang mengalir di depan rumah. Sesekali terdengar suara
binatang hutan serta burung-burung yang berkicau.
Di bagian belakang rumah terdapat kebun-kebun untuk menanam tanaman jangka panjang.
Jarak rumah yang satu dengan yang lainnya tidak menentu dan cenderung berjauhan.
Pada masa itu, rumah di perkampungan jaraknya berjauhan. Di kelilingi hutan,
sungai bahkan terkadang terbentang selat yang memisahkan antara rumah satu
dengan lainnya. Begitu juga rumah keluarga Souru, rumahnya terletak berjauhan
dengan tetang- ganya.
Sistem Matapencaharian
Matapencaharian orang Mairasi yang bertempat tinggal di pantai adalah sebagai nelayan. Profesi
ini dimulai sejak mereka keluar dan turun dari daerah pedalaman dan mendiami daerah
bagian pesisir pantai pada tahun 1830 (Rumansara, 2018:141) . Hampir semua orang laki-
laki dewasa menggantungkan hidupnya dari memancing ikan di laut.
Pada jaman dahulu hiduplah seorang nenek yang tinggal bersama kedua cucunya
di lereng Gunung Esuruw, Teluk Arguni, Kaimana. Dua kakak beradik itu bernama
Baamn dan Binum. Mereka hidup rukun dan damai. Pekerjaan sehari-hari Baamn dan
Binum se- bagai nelayan. Tetapi mereka tidak mencari ikan bersama-sama. Baamn lebih
suka melaut pada saat pagi hari, ketika matahari menyingsing. Sedangkan Binum lebih
suka mencari ikan pada malam hari.
Sampai saat ini orang Mairasi masih melakukan perburuan. Kebiasaan berburu sudah
mereka lakukan ketika mereka masih berada di pedalaman. Namun, kebiasaan itu tidak
berubah meski mereka telah pindah ke pesisir pantai.
Suatu hari, Nawo hendak memasak tetapi persediaan daging dan sagu di
tempat persediaan makanan sudah habis. Nawo bingung. Ia memanggil Ketu. “Ketu
persediaan makanan kita sudah habis!” teriak Nawo. “Kalau begitu kita harus mencari
sagu dan ber- buru, Kak!” ajak Ketu.
Dalam melakukan kegiatan perburuan pada umumnya terdapat pembagian tugas. Laki-
laki melakukan kegiatan berburu dan perempuan mengurus hasil perburuan tersebut.
(Rumansara, 2018:145). Mereka akan mengolah binatang buruan yang telah diperoleh dan
menghidangkannya untuk keluarga.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


Souru sibuk mengasapi daging hasil buruan, sementara di tempat pertemuan
orang Kampung Guriasa tengah ramai membicarakan Souru.
Sebagai orang yang telah berpengalaman dalam melakukan perburuan maka orang
Mairasi memiliki cara dan teknik di dalam melakukan perburuan. Beberapa teknik perburuan
mereka ada- lah berburu dengan menggunakan anjing atowan (Rumansara, 2018:148).
Teknik ini pada umumnya digunakan oleh orang tua dengan menggunakan anjing sebagai
asistennya untuk mem- bantu mengejar hewan yang diburu.
Binum menuruti pesan itu. Ia benar-benar marah dengan kakak sulungnya,
Baamn. Tidak menunggu lama, Binum menumbuk jahe putih dan daun gatal babi.
Setelah ramuan itu selesai di buat, Binum memberi makan seekor anjing dengan
ramuan itu. Sebelum pergi mencari Baamn, Binum berpamitan kepada neneknya.
“Nek, saya pergi dulu. Saya mau mencari kakak!” “Iya. Carilah kakakmu, Binum!”
Binum mengajak anjing yang diberinya ramuan jahe putih dan daun gatal mengikuti
jejak Baamn yang telah berubah wujud men- jadi kanguru. Binum terus menyusuri
jalanan menuju hutan.
Menokok sagu merupakan salah satu matapencaharian orang Mairasi lainnya. Akan tetapi,
kegiatan ini kurang begitu menonjol karena orang Mairasi tidak banyak memiliki dusun
sagu. Selain itu, dusun sagu yang ada di daerah ini tidak luas. Dusun sagu hanya ditemukan di
kampung Kensi dan kampung Berari di Arguni. Hanya di dua kampung tersebut kegiatan
menokok sagu terlihat menonjol karena mereka dikelilingi dusun sagu. Oleh karena itu, bagi
orang Mairasi yang mendiami distrik Kaimana sagu merupakan makanan tambahan apabila
hasil panen dari kebun kurang baik.
Akhirnya Nawo menyerah dan mengikuti ajakan Ketu. Itupun terpaksa karena
persediaan makanan sudah benar-benar habis dan mereka sudah kelaparan, Nawo
dan Ketu pergi ke hutan. Mereka mencari pohon sagu sekaligus berburu.
Sementara itu, orang Mairasi yang menempati kampung-kampung di distrik Kaimana
melakukan kegiatan berkebun atau berladang di beberapa lokasi dengan klasifikasi hutan
dan tanah di sekitar pemukiman mereka. Untuk menanam ubi jalar simsere mereka memilih
lokasi dekat pemukiman yang kondisi tanahnya bercampur pasir. Sementara itu, untuk
menanam keladi aua mereka mencari lahan di sekitar gunung yang kondisi tanahnya
bercampur batu (Rumansara, 2018:136). Oleh karena itu, mereka harus berjalan cukup jauh
untuk mencapai gunung tersebut. Jarak dari pemukiman ke gunung sekitar 3 sampai 8 km.
Untuk menuju kebun mereka akan ber- jalan kaki menelusuri jalan setapak yang sudah
dibuatnya dan perjalanan ini diperkirakan memer- lukan waktu 1-2 jam.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


Setiap hari, Souru membantu pekerjaan paman dan bibinya. Ia membantu
berkebun, berburu, dan menangkap ikan di sungai untuk makanan sehari-hari.

Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan


Orang Mairasi mengenal kelompok keluarga inti (nuclear family) yang dalam bahasa di
sebut dengan “inavutato”. Kesatuan sosial ini terlihat pada rumah-rumah tradisional mereka,
yang sekarang dianggap rumah kebun karena setelah mereka dimukimkan pada di kampung
maka ru- mah tradisional dibangun pada lokasi dekat kebun atau di kebun mereka yang
berjarak 4-5 km dari lokasi permukiman baru mereka (pusat kampung).
Alkisah di sebuah kampung yang bernama Faranyaou, tempat bermukim suku
Ma- irasi, hiduplah seorang perempuan yang memiliki kekuatan alam dan kesaktian.
Per- empuan itu dikenal dengan nama Souru. Suatu ketika Souru hendak pergi ke
Buruwai, Kampung Guriasa untuk mengunjungi paman dan bibinya.
Perjalanan Souru menuju Faranyaou tempat Suku Mairasi bermukim, tidak
hanya melewati belantara dan mengitari pulau saja tetapi melewati perkampungan
lain di Kaimana. Banyak keluarga suku Mairasi yang tinggal di perkampungan itu.
Setiap kali singgah di sebuah kampung, Souru menyempatkan diri singgah di tempat
keluarga dan membagikan bekal daging asap yang dimilikinya kepada mereka.
Di dalam rumah tradisional yang berada di dekat kebun-kebun mereka terlihat ada
beberapa kelompok keluarga inti/ batih yang tinggal bersama (keluarga luas). Di dalam “rumah
kebun” ini terlihat ada satu tungku masak walaupun ada 2-3 keluarga inti atau lebih yang
tinggal di rumah kebun itu.
Suatu ketika adik-adik Binitu termasuk Miret dan Saserowo berangkat ke kebun,
se- dangkan Binitu tetap tinggal di rumahnya. Sebenarnya, Binitu sengaja untuk tidak
mengi- kuti adik-adiknya karena ia merasakan ada hal aneh yang sering terjadi setelah
pernikahan adiknya dengan Saseworo. Hal itu dicurigainya melalui perilaku babi betina
yang dibawa oleh Saseworo dan peristiwa tersajinya makanan ketika mereka semua
pulang dari kebun. Padahal sewaktu berangkat ke kebun tak ada yang memasak.
Di bagian tengah rumah terdapat ruangan kosong tempat tungku api dan disekitar
tungku api itulah tempat biasanya mereka bertemu serta berdiskusi rencana kerja anggota
kerabat yang tinggal bersama dalam rumah tersebut. Pembagian kerja dalam rumah tangga
tidak begitu jelas namun secara tradisional terdapat pembagian kerja yaitu pekerjaan istri
selalu dibantu oleh anak perempuan, misalnya membersihkan kebun, tanaman, memasak,
menjaga anak-anak yang masih

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


kecil dan lain-lainnya. Sedangkan anak laki-laki membantu ayahnya untuk kerja membuat
kebun, menebang pohon di kebun, berburu, menangkap ikan, dan lain-lainnya.
Kekerabatan dan perkawinan merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan
dalam pembahasannya karena kedua aspek tersebut merupakan dasar kehidupan manusia
sebagai mahluk sosial. Menurut Fox dalam Rumansara (2018:152) perkawinan pada
masyarakat Kaimana tidak dapat dilangsungkan secara sembarangan karena ada aturan-aturan
tertentu yang harus ditaati. Sa- lah satu aturan adat yang harus ditaati adalah perkawinan
eksogami klen (menikah dengan orang dari luar klen). Sebagai konsekwensinya maka laki-laki
dan perempuan yang memiliki klen yang sama dilarang untuk mengikat tali perkawinan.
Suatu waktu di kala hari mulai senja, mataharipun kembali keperaduan,
Gowoda terduduk sendirian, terlintaslah wajah kedua orang tuanya. Tanpa disadari,
tetesan air mata jatuh di pipinya. Kerinduan pada kedua orang tua hadir seketika,
membawa in- gatannya pada masa kebersamaan dengan bapak dan mamanya. Ia
merenung dan mengambil hikmah dari kisah perjalanan hidupnya. Terlintaslah
pikirannya untuk mendapatkan teman hidup. Ia sempat mendapat kabar dari
masyarakat bahwa di Tanjung Simormia (Simora) ada seorang pemuda yang gagah,
berani dan baik hati, bernama “Mireta”. Nama itu terus terngiang di telinganya,
membuat ia makin penasaran, untuk ber- jumpa dengan lelaki tersebut. Dorongan
suara hatinya membuat Gowoda sangat tergoda untuk berjumpa dengan lelaki itu.
Keinginan hati Gowoda sangat kuat untuk menemui Mireta.
Maskawin merupakan hal yang penting bagi orang Mairasi sebelum mereka
melangsungkan pernikahan. Proses pengumpulan harta maskawin dilakukan secara kelompok
yaitu orang tua dari anak laki-laki mengunjungi saudara-saudaranya di kampung lain untuk
memberitahu maskawin anaknya, kemudian ditentukan hari untuk mengumpulkan maskawin
itu. Jadi yang memberikan bukan orang tua anak laki-laki tetapi harta maskawin itu
dikumpulkan oleh kerabat-kerabat mereka yang tinggal tersebar di beberapa kampung.
Beberapa maskawin yang dikumpulkan adalah bigi- nira (piring porselin Cina), uruwa (anting-
anting perak), dan lela (meriam Portugis).
Sebagai kakak sulung dan sangat mengetahui adat istiadat, Binuwa menyiapkan
piring adat yang akan diletakkan di atas pasir pantai dimana perahu Saseworo akan
ber- sandar. Piring adat itu maksudkan agar Saseworo menginjakkan kakinya dalam
piring ter- sebut, sebagai simbol diterima dalam keluarga dengan cara adat, sedangkan
di depan pintu rumah, Binuwa meletakkan lela.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


Sistem Kepemimpinan Tradisional
Suku Mairasi sebelum kontak dengan dunia luar sekitar tahun 1812 mereka tidak mengenal
kepemimpinan raja, karena dalam kebudayaan orang Mairasi sendiri memiliki 3 jenis
kepemimpi- nan secara tradisional, yaitu Pemimpin Perang Kuasi, Pemimpin Upacara
Keagamaan Jarere dan Pimpinan Adat Barneverai (Rumansara, 2018:153)
Barneverai adalah pemimpinan adat suku Mairasi, Barneverai dapat menyelesaikan
masa- lah-masalah yang melanggar adat atau norma-norma yang mengatur kehidupan
mereka. Setiap klen memiliki 1 atau 2 Barneverai. Barneverai terdiri dari orang tua yang
memiliki pengetahuan tentang budaya orang Mairasi sehingga orang yang menjadi Barneverai
harus diakui oleh klennya dengan syarat bahwa orang itu lebih mengetahui latar belakang
klennya. Menurut informasi bahwa banyak masalah pelanggaran adat yang diselesaikan lewat
pemimpin-pemimpin adat ini. Dalam kebudayaan mereka ada sistem penyelesaian masalah
dengan cara tawaye. Tawaye adalah satu alat pemukul dari sejenis kayu besi yang digunakan
untuk memukul orang yang dianggap bersalah. Kegiatan pemukulan bagi terdakwa (orang
yang membuat pelanggaran) Ini dipimpin oleh Barne- verai.
Penduduk Kampung Guriasa berkumpul membahas bencana yang terjadi di
kam- pung mereka. Paman dan bibi Souru ikut dalam pertemuan yang diadakan di
kampung itu. Souru tidak diajak serta dalam pertemuan itu. Souru tinggal di rumah. Ia
tidak tahu jika dirinya dianggap sebagai pembawa bencana di Kampung Guriasa.

Sistem Teknologi
Peralatan produktif dalam kebudayaan orang Mairasi sudah banyak mengalami pengaruh dari
luar sehingga peralaatan produktif yang digunakan sebagian besar dikenalkan dari luar.
Namun demikian, ada beberapa alat tradisional yang masih terlihat digunakan misalnya
wadabie yaitu alat untuk menokok sagu. Alat ini terbuat dari bahan bambu, kayu dan tali
rotan untuk mengikatnya. Sekarang alat ini sudah ditambah lagi dengan bahan logam, yaitu
potongan pipa besi yang disarung pada ujung penokok
Setelah mendapatkan pohon sagu yang besar, Nawo mengajak Ketu menebang
pohon sagu tersebut. “Ayo, kita segera tebang pohon sagu ini!” ajak Nawo sambil
mulai menga- yunkan kapaknya. Selain membawa kapak, parang, panah mereka
berdua membawa wad- abie atau alat penokok sagu. Ketu menuruti perintah Nawo.
Mereka berdua sibuk mene- bang pohon sagu besar hingga tengah hari.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


Senjata untuk berburu, menangkap ikan, berkelahi dan perang atau senjata tradisional
yang hingga saat ini masih digunakan adalah jawasi (anak panah) yang digunakan untuk
berburu burung kumkum, cendrawasih, kakatua, nuri, kelelawar, dan jenis-jenis burung
lainnya. Batang anak panah dibuat dari bahan bambu jenis kecil yang dipecahkan ujung-
ujungnya. Panjang anak panah secara keseluruhan 2 m dan panjang mata anak panah 25 cm.
Tak berapa lama, benar adanya Baamn bersiasat seolah terluka dan meninggal
pada saat berperang. Binum memenuhi wasiat yang disampaikan kakaknya. Ia
mengubur Baamn dengan pasir sebatas perut, meninggalkan pisang, anak panah
beserta busur dan papan lebar. Seberes memakamkan Baamn dengan langkah berat
Binum pergi meninggal- kan kakaknya di Tanjung Mututin.
Sinomo adalah sejenis pisau tradisional yang terbuat dari bambu yang digunakan
untuk memotong.
Setiba di seberang, karena tegang dan lapar, Souru memutuskan untuk makan
ter- lebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Ia memotong daging asap yang
dibawanya dengan menggunakan sinomo (pisau bambu). Dipotongnya daging itu kecil-
kecil dan di ta- ruh di atas daun. Ia kemudian makan daging asap itu dengan lahap.
Wadah adalah alat atau tempat untuk memuat, menampung atau menyimpan barang.
Orang Mairasi memiliki teknologi tradisional yang tinggi dalam membuat alat atau tempat
penampung tersebut. Beberapa wadah atau alat penampung yang dihasilkan oleh orang
Mairasi di antaranya noken, tembued, fesere, ere, undura, dan goa.
Orang Mairasi mempunyai keterampilan tradisional dalam membuat noken. Mereka
mengenal dua jenis noken, yaitu jawi dan jari’i (Rumansara, 2018:162). Jawi adalah noken
anya- man tradisional yang terbuat dari kulit kayu. Jawi digunakan oleh para ibu atau kaum
wanita untuk mengambil hasil kebun dan lain-lainnya. Jari’i adalah noken yang dianyam
secara tradisional oleh para wanita suku Mairasi yang bahan dasarnya menggunakan daun
pandan. Jari’i juga digunakan untuk mengangkut barang/hasil kebun dari kebun ke rumah.
Si Nenek datang dengan membawa noken yang diminta Baamn. Alangkah
terkejut- nya nenek Baamn, melihat cucu sulungnya datang membawa seonggok
sampah ikan di da- lam perahu. “Apa yang kau bawa ini, Baamn? Ini hanya sampah
ikan yang di buang Binum tadi?” “Binum sudah pulang, Nek?” tanya Bammn balik.
“Sudah. Dia membawa hasil tangkapan banyak sekali.
Tembued adalah keranjang / tas terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk empat persegi
panjang dan bentuk bulat. Penutupnya disebut amora dan kotak kabilanya disebut avi.
Bahan yang

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 8


digunakan oleh ibu-ibu untuk menganyam tembued adalah vondani (daun tikar). Tas ini
digunakan untuk menyimpan harta, pakaian dan lain-lainnya.
Selain memiliki kemampuan berkebun dan mencari ikan, Gowoda pandai membuat
anyaman esa a (tas seperti noken), koba-koba atau gebia (seperti payung terbuat dari
daun tikar), kipas api, dan ama atau gata-gata (penjepit makanan terbuat dari bambu).
Ia sangat cekatan. Walaupun usianya lebih muda, Ia memiliki sikap peduli dan peka
terhadap ke- hidupan di sekitarnya. Sikap itulah yang membuat masyarakat Werafuta
sangat sayang dan menghargainya.
Orang Mairasi mengenal wadah atau alat penampung yang dibuat dari kayu, bambu,
atau daun sagu.
Setelah makan, Souru merasa kehausan. Ia mengambil air di Sungai Babara untuk
di minum. Ia minum banyak sekali. Setiap kali batang bambu yang digunakan untuk
menam- pung air habis, Souru menimba air lagi untuk di minum. Ia seperti tidak puas-
puas mem- inum air dari Sungai Babara.
Orang Mairasi juga mengenal busana tradisioanal yang digunakan oleh kaum wanita yang
disebut fabaesar. Jenis busana ini dibuat dari kulit kayu yang berbentuk cawat yang bagian
belakang dan depannya tidak ada kelebihan kulit kayu yang tergantung dan kelihatan
seperti menggunakan celana dalam wanita. Bahan yang digunakan adalah kulit kayu yang
diambil dari hutan lalu diproses hingga menjadi bahan halus untuk dipakai sebagai pakaian.
Jenis kayu yang digunakan ada dua yaitu jombisi (bahasa Mairasi) dan kayu jobo airatere
(bahasa Mairasi). Proses pembuatan singgai (busana wanita) dapat dikemukakan sebagai
berikut: kulit kayu yang diambil dari pohon jombisi atau pohon airatere direndam selama
semalam lalu diambil kembali dan di- tumbuk atau dipukul dengan kayu sehingga menjaadi
halus dan dijemur hingga kering. Informasi tambahan yang diperoleh bahwa untuk
pengawetannya sering direndam dengan air asin atau ramuan khusus.
Souru berpikir untuk menghentikan nyala api tanpa harus menegur Kakek Isa
yang berada sangat jauh dari tempatnya. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Souru
mencoba membantu Kakek Isa memadamkan api. Souru memanjat pohon kayu susu
(susakweri na- braii) kemudian membuka cawatnya (fabaesar). “Furmora itee,
wariambo ano, ubur namba ano, jamara sene (bencana jangan datang ke sini,
padamlah api)!” teriak Souru dari atas pohon sambil melambaikan cawatnya. Setelah
meneriakkan kata-kata untuk menghentikan api, Souru turun dari pohon. Selang
beberapa saat setelah Souru

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 9


meneriakkan mantera sambil melambaikan cawatnya, api padam. Bersamaan dengan
habisnya air dalam batang bambu yang di bawa Kakek Isa.
Jenis busana tradisional yang digunakan oleh laki-laki adalah anggama (cawat laki-
laki). Jenis ini juga dibuat dari kulit kayu yang berbentuk cawat yang bagian depan dan
belakangnya ada kelebihan yang tergantung sehingga menutupi bagian depan kelamin dan
pantat. Bahan yang digunakan sama dengan pakaian wanita yang diambil dari kulit pohon
jombisi dan jobo airatere.
Baamn tidak kehilangan akal. Ia kembali mencoba menghibur neneknya dengan
mencari wakera atau kanguru pohon tika me. Setelah mendapat kanguru pohon, lagi-
lagi Baamn menirukan gerakan kanguru. Baamn memakai cawat kemudian melompat-
lompat layaknya kanguru hingga di atap rumah. “Nek, lihat! Apakah gerakan ini
bagus?” “Ba- gus!” jawab nenek senang dan tampak tersenyum karena terhibur
dengan gerakan yang dilakukan Baamn. “Bilamana orang melihatmu pasti akan
merasa senang, Baamn!” kata sang nenek lagi. Seketika, setelah sang nenek mengatakan
gerakan yang dilakukan Baamn bagus, tubuh Baamn si cucu sulung berubah menjadi
kanguru pohon.
Alat transportasi yang digunakan dalam menunjang kegiatan mereka adalah era
(perahu). Era ini ada dua jenis yaitu jenis yang tidak menggunaan seman dan jenis yang
menggunakan seman. Perahu dibuat dari bahan kayu khusus dan tali rotan. Perahu yang tidak
berseman paling banyak digunakan di kali atau sungai sedangkan yang berseman paling banyak
digunakan dilaut. Pada waktu subuh, Gowoda bergegas menyiapkan segala kebutuhan
perjalanannya.
Ia membawa baruku (api buatan), koba-koba (penutup badan terbuat dari daun tikar)
sia (pasir) dan oa (seekor babi betina). Kemudian, menaiki sebuah yoga (perahu),
mendayung menuju tanjung Simora. Perjalanan yang ditempuhnya cukup jauh.
Pada saat ini, orang Mairasi sudah menggunakan perahu yang menggunakan
menggunakan motor tempel yang berangkutan 15 – 40 PK. Jenis angkutan ini paling
banyak digunakan untuk transportasi antar kampung dengan distrik. Selain itu , akhir-akhir
ini dengan adanya kapal penampung ikan dari masyarakat, maka aktivitas perahu yang
menggunakan motor tempel ini digunakan untuk mencari ikan.

Sistem Pengetahuan
Pengetahuan Tentang Binatang
Pada mulanya orang Mairasi adaah orang yang tinggal di pedalaman dan belum mengetahui

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 9


ten- tang teknik menangkap ikan. Matapencaharian pokok mereka adalah berkebun dan yang
kedua adalah berburu sehingga pemahaman mereka tentang binatang cukup baik.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 9


Mereka mempunyai kepercayaan bahwa alam tempat mereka berada dikuasai oleh jenis
bi- natang yang mempunyai roh penguasa dan juga setiap jenis binatang yang ada
pemimpinnya. Pen- guasa binatang-binatang di darat adalah seekor ular piton yang bernama
e’ersanger (Rumansara, 2018:173)
Sudah beberapa bulan, Wonuo masih ada di atas pohon. Ia terus meratap,
menyan- yikan ratapan-ratapan merdunya meminta pertolongan. Ratapan Wonuo
terdengar oleh ratu ular yang langsung iba dengan apa yang dialami Wonuo. Ratu ular
segera mengum- pulkan semua bangsa ular di hutan Kaimana. Mereka mengadakan
rapat untuk menolong Wonuo. Dalam rapat itu, Ratu ular memutuskan ia sendiri yang
akan menolong Wonuo, menurunkannya dari atas pohon, namun ular-ular yang lain
harus membantu dengan ber- jajar di sepanjang pohon yang sangat tinggi itu.
Sementara itu, pemimpin anjing-anjing suao bernama erer. Binatang ini sangat
ditakuti orang Mairasi karena karena ia dianggap jelmaan manusia sihir bernama jerere yang
dapat me- nyusahkan manusia.
Baamn bersedih hati tubuhnya berubah menjadi kanguru. Ia melompat dari atap
ru- mah kemudian menuruni tangga. Niatnya hendak pergi dari rumah menuju hutan.
Sebe- lum beranjak jauh, Baamn berwasiat kepada sang nenek. “Nek, apabila Binum
pulang dan mencari saya, jika ingin bertemu suruh dia memberi makan seekor anjing
dengan tum- bukan jahe putih dan daun gatal babi. Setelah itu baru mencari saya,
pasti akan ketemu. Nanti anjing itu yang akan menunjukkan keberadaan saya!” pesan
Baamn sambil melom- pat pergi tanpa menunggu jawaban dari sang nenek. Sang nenek
yang masih bersedih hati karena kehilangan Binum, semakin sedih dengan kepergian
Baamn.
Oleh karena itu, dalam kebudayaan orang Mairasi semua jenis binatang yang ada di
alam sekitar mereka dapat dimakan kecuali anjing suao dan ular ambere.

Religi
Kepercayaan-kepercayaan dalam budaya suku Mairasi disampaikan melalui mite-mite,
khususnya oleh pandai Sihir. Orang-orang semacam ini memiliki hubungan khusus dengan
roh-roh dan mempunyai kekuatan dari mahkluk tertinggi untuk memperbaiki peranan utama
mereka. Mes- kipun orang Mairasi telah memeluk agama Kristen Protestan, namun sebagian
unsur kepercayaan asli masih tetap hidup dalam masyarakat, khususnya kepercayaan terhdap
kekuatan gaib. Sebagian unsur-unsur kepercayaan asli itu adalah animism-dinamisme dan ilmu
gaib (magic)

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 9


Menurut Rumansara (2018:175) pandangan orang Mairasi terhadap berbagai mahluk yang
hidup di sekitar mereka, yaitu sai (burung), ambere (ular), uratu (ikan), iwo (pohon),
tembere (tanaman) dan ja’anogu (manusia). Mahluk hidup terakhir yang disebutkan di atas
pada alam ke- hidupan orang Mairasi yaitu Ja’anogu dapat diklasifikasikan sebagai mahluk
wereia warmanar (nyata) dan mahluk wereia mesiar (gaib).
Mahluk-mahluk gaib (wereja mesiar) adalah O’wei (roh-roh) yang berkuasa baik itu di
dara- tan, di laut, di atas dan di bawah juga pada air asin dan pada air tawar. Penguasa-
penguasa ini berkuasa pada daerahnya masing-masing. Roh-roh (o’wei) dapat mendatangkan
kebaikan juga malapetaka. Roh o’wei dan r’wei tinggal di bawah permukaan tanah dan
biasanya aktif pada malam hari. Mereka aktif setelah meninggalnya manusia atau matinya
binatang. Roh (R’wei) be- rasal dari roh orang meninggal, roh dukun (orotonom) dapat
meninggalkan tubuhnya dan pergi ke dunia o’wei dan r’wei.
Setiap ciptaan mempunyai roh-roh pelindung kekal (awaroto). Roh ini selalu diminta ban-
tuan oleh dukun (orotonom) dan roh-roh penguasa ciptaan, fungsinya sebagai pengawal, penolak
bala, penunjuk jalan dan pencari nafkah bagi tuannya. Roh-roh penguasa merupakan induk
ciptaan itu, misalnya induk anjing, induk babi, induk batu, penguasa darat, laut, dan
sebagainya. Mereka mengenal hiraki dan otoritas dari junior sampai dengan senior. Biasanya
mereka muncul sebagai setengah manusia dan setengah ciptaan itu.
Souru kembali melanjutkan perjalanan hingga tiba di Sebi Nambutu (Sebi Fata)
wila- yah Tanjung Mosi-mosi. Di Tanjung Mosi-mosi, Souru membersihkan tomang
sisa dari daun tikar. Setelah tomang bersih, Souru hendak melanjutkan perjalanan.
Tetapi dari tem- patnya berdiri, ia melihat ada lautan yang memisahkan daratan di
seberang Tanjung Mosi- mosi ke arah Faranyaou. “Rupanya jalanan menuju
Faranyaou dipisahkan lautan. Bagaimana ini?” pikir Souru. Ia mencari jalan keluar
dengan mempertajam pandangan. Pada jaman dahulu, manusia masih menyatu
dengan alam. Manusia bisa menyatukan daratan yang dipisahkan lautan hanya
dengan menyanyikan sebuah lagu. Untuk menyatukan daratan yang dipisahkan
lautan, Souru menyanyikan sebuah lagu yang terdengar cukup nyaring dan merdu.
Lagu Kasuaramoe Kasuara moe 2x Sie- sisi busamare Were eeee Dari Tanjung Mosi-
mosi, Souru menarik Tanjung Inggir Fana kemudian me- nyeberangi daratan yang
sudah menyatu dengan langkah cepat. Setelah Souru lewat, air laut kembali naik dan
daratan yang tadi sempat menyatu kembali terpisah lautan.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 9


SIMPULAN
Melalui pendekatan antropologi sastra maka unsur-unsur budaya yang terdapat di dalam
cerita rakyat Suku Mairasi terlihat lebih jelas. Dari unsur bahasa, penggunaan beberapa
istilah dalam bahasa mairasi mengindikasikan bahwa bahasa tersebut masih hidup dan
digunakan sebagai sa- rana komunikasi. Rumah Weso yang didirikan di dalam kebun
merupakan solusi atas kondisi masyarakat Mairasi yang lebih banyak beraktivitas di dalam
hutan. Selain sebagai rumah tinggal, tempat ini juga sebagai penanda kekerabatan. Mereka
mengenal keluarga inti dan pernikahan dil- akukan dengan klen di luar klen mereka. Oleh
karena itu, maskawin merupakan hal yang penting di dalam proses peminangan. Untuk
menjaga stabilitas dan norma adat maka mereka memiliki pemimpin yang dipilih berdasarkan
pengetahuannya tentang latar belakang klennya.
Pada mulanya orang Mairasi menggantungkan hidupnya dari berburu dan berkebun
akan tetapi mereka mengenal profesi baru sebagai penangkap ikan setelah mereka pindah ke
pesisir pantai. Beberapa peralatan yang digunakan untuk aktivitas keseharian lebih banyak
dibuat dari bahan alam. Oleh karena itu, menjadi hal yang beralasan jika mereka percaya
dengan kekuatan alam yang terinternalisasi dalam sistem pengetahuan dan sistem religi
mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Arbuckle, James L. 1990. Amos. Chicago: IL SPSS Inc.
Bruner, Jerome S. 1996. The Culture of Education. Harvard University Press.
Campbell, Joseph. 1998. The Power of Myth. US: Doubleday.
Djirong, Salmah.2014. Kajian Antropologi Sastra Cerita Rakyat Datumuseng Dan Maipa Deapati.
Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 215—226.
Eliade, Mircea. 1975. Myth and Reality. Harper and Row.
Endarswara, Suwandi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Caps (Cebtral for
Academic Publishing Service).
Endraswara, Suwardi. 2015. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Ombak : Yogyakarta
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Ratna, Nyoman Kutha 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam
Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan
dalam Proses kreatif. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Ridington, Robin and Jillian Ridington. 2006 When You Sing It Now, Just Like New: First
Nations Poetics, Voices and Representations. Lincoln: University of Nebraska Press.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 9


(accompanying audio files available online)

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 9


Rumansara, Enos H. dan Enrico Y. Kondologit. 2018. Etnografi Kaimana. Yogyakarta:
Amara Books.
Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana
Moleong, Lexi. J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Jurnal Tradisi Lisan Nusantara Volume 2, Nomor 2, 9

Anda mungkin juga menyukai