Anda di halaman 1dari 6

Abadi Dalam Game

Kamu pergi, setelah malam itu kamu pamit denganku dengan alasan ingin checkup
keesokannya. Kamu, yang waktu itu aku ajak bermain game karena aku mendadak merasa
gabut. Dan ajaibnya, kamu mengiakan meskipun besoknya kamu memiliki jadwal dengan
dokter ramah nan baik hati yang sering memberikan kamu kata-kata penyemangat—dan juga
obat yang kata kamu, seperti meminum jamu Brotowali.

Masih lekat diingatan, aku mengajakmu untuk membangun desa bersama di Minecraft.
Sebagai tanda persahabatan yang sudah kita jalin selama dua tahun semenjak kita bertemu di
salah satu server perkumpulan para pemain Minecraft se-Indonesia. Dan kamu juga menurut,
meskipun pada akhirnya kita menikmati senja di dalam game, di atas atap rumah orang desa
yang sudah selesai kita bangun.

Di tengah-tengah menikmati senja, kamu yang sedang membawa ikan buntal di tangan
kananmu, tiba-tiba bertanya sesuatu yang asing. Bahkan tak biasa-biasanya kamu bertanya
tentang hal-hal yang begitu mendalam. Itu bukan karaktermu sama sekali, tidak sama sekali.

“Bryan, gimana kalau desanya nggak jadi?” tanyamu, pelan.

“Ya, tetep aku selesaiin. Lebih tepatnya aku suruh Endra selesaiin desa kita. Dia dibayar pake
saweria sepuluh ribu ditambah martabak juga pasti jalan,” kataku sedikit bercanda. Dan
tentang Endra, ia salah satu sahabat online-ku juga, namun tidak sedekat seperti aku dan
Azkar.

“Lagian, kita udah janji, kan? Untuk selesaiin rencana ini,” lanjutku sambil meminum air
putih. Mendadak, tenggorokanku merasa kering.

Kamu, tiba-tiba diam. Tidak menjawab atau sekedar membalas dengan candaan seperti
biasanya. Aku, yang saat itu merasa aneh, segera mengecek koneksi internet, takut-takut
kamu sudah berbicara namun tidak terdengar olehku.

“Kar? Masih di sana?” panggilku, sambil memukul karakter Minecraft Azkar.

“Masih, apa? Aku daritadi diem,” dumelmu kesal karena kaget.


“Kamu tiba-tiba nggak ada ngomong, nggak ada apa, aku kira koneksiku buruk. Ternyata
kamunya yang diam membisu,” kataku sembari melebih-lebihkan.

“Ada apa? Sini cerita sama Bryan Wijaya, orang paling bijak seantero Minecraft,” lanjutku
lebay.

“Kenapa seantero Minecraft? Kenapa nggak seantero dunia?” tanyamu, bingung.

“Soalnya masih banyak orang waras,” ujarku, bercanda.

“Oh... Berarti kamu gila?” Dan lagi, aku kembali memukul karakter Azkar, namun kali ini
lebih brutal hingga karakternya terjatuh ke jurang.

“Parah! Aku dibunuh!” serumu dengan nada kesal.

“Kamu dikasih tahu, malah dimakan,” ucapku ngawur.

“Bodo!” balasmu yang sudah lelah dengan candaanku yang kian hari, kian membuat
seseorang yang memiliki darah rendah, tiba-tiba berubah menjadi darah tinggi.

“Bryan,” panggilmu bersamaan karaktermu sudah duduk di samping karakter milikku.

“Kalau aku ingkar janji, gimana?” tanyamu, pelan.

“Ingkar?” Jika aku sedang melakukan panggilan video, mungkin Azkar akan melihat jelas
wajah bingungku—dan bodohku— saat ini.

“Iya, ingkar. Kayak nggak lanjutin proyek ini lagi, kamu bakalan gimana?”

Aku berpura-pura mengeluarkan suara berdengung, seperti orang cerdas tengah memikirkan
konspirasi dunia. “Biasa aja. Ya, maksudku, selama kamu masih bisa ‘ku hubungi dan nggak
menghilang, aku bakalan biasa aja. Kecuali kalau kamu tiba-tiba susah dihubungi, dan tanpa
alasan pergi, cukup bikin kecewa, sih,” jelasku, jujur.
“Jadi, kalau aku izin nggak lanjutin, kamu oke?” tanyamu.

“Nggak juga, sih. Kecuali Cuma sehari dua hari masih bisalah. Nanti, deh, aku bikin
maksimal cuti berapa hari biar kamu nggak jadi beban,” balasku.

“Parah, malah kerja paksa,” protesmu yang terdengar sedikit lucu bagiku.

“Aku tahu kamu, Kar. Kamu kalau disuruh building selalu jadi beban, sekali-sekali aku
tegasin. Ini untuk masa depanmu anak muda.” Untuk waktu sepersekian detik, aku merasa
menjadi seorang bapak bagi Azkar Alvanio.

Kamu waktu itu hanya mendengus, dan kita berdua kembali meneruskan membangun desa
sambil sesekali melemparkan canda—serta makian— setiap kali aku salah memukul, atau
kamu yang tiba-tiba jatuh dari ketinggian lalu mati, lantas menyalahkanku yang tidak
melakukan apapun.

Kamu pergi, sehabis kamu mengirimkan sebuah pesan melalui Discord setelah hampir
seminggu kamu tidak membalas pesanku atau sekedar online di grup ‘Anak terkutuk’.

Yah, memang, isinya adalah anak-anak terkutuk yang tergila-gila bermain Valorant hingga
subuh menjelang.

Kamu kala itu mengirimkan pesan bahwa kamu sedang dirawat dirumah sakit, dan meminta
izin untuk tidak ikut membangun desa bersamaku. Aku ingat kamu juga bercerita tentang
penyakitmu, sirosis hati, kian hari kian memburuk. Aku masih menyimpan foto selfiemu
yang tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat dan selang oksigen
yang menempel di hidungmu sambil mengacungkan jempol.

Kamu bilang, “doain aku, ya? Biar cepet sembuh terus bantu kamu build desa Plankpolitan.”

Aku membalas dengan takjub, “wih, keren. Padahal sebelumnya mau aku kasih nama
‘Remaja Alim dan Aman’ karena mewakili kita yang alim serta aman. Sudah teruji klinis
oleh BPOM.” Lalu sehabis itu, kamu blokir aku selama sejam setengah.
Namun, nyatanya, kamu membuka blokir sehari setelahnya. Lebih tepatnya pada jam tujuh
pagi saat aku sedang membasuh motor ninjaku. Kamu mengirimkan pesan bertubi-tubi
sampai-sampai suara dering ponselku mirip alarm yang biasa ‘ku pasang setiap jam lima
pagi.

Aku bergegas menjawab pesanmu, namun kamu memilih minta untuk ditelepon saja. Tidak
kuat untuk mengetik, katamu.

Tatkala disambungan telepon, kamu terdengar lebih parau dari biasanya. Aku sempat
khawatir, namun kamu bilang tidak kenapa-kenapa, hanya suara orang bangun tidur.

Kamu bercerita, kamu akan dioperasi karena telah mendapatkan pendonor hati, dan cocok.
Aku langsung senang mendengarnya dan mengucapkan kata-kata penyemangat agar kamu
tidak takut. Sebuah rahasia umum jika seorang Azkar Alvanio, takut akan sebuah ruangan
operasi.

Awalnya, aku berpikir, apa yang perlu ditakutkan dari sebuah ruangan dingin dengan
peralatan yang begitu memenuhi ruangan? Tetapi pada akhirnya, aku tahu alasanmu takut
masuk ke dalam sana.

Sepanjang perbincangan kita, aku mendengar kamu berdesis menahan sakit yang entah
seberapa hebatnya. Aku tidak pernah berhenti berdoa agar rasa sakit itu tidak terlalu parah.
Dan pada akhirnya kamu yang dahulu menutup telepon karena sudah waktunya sarapan.

Sekitar lima jam sebelum kamu operasi, kamu mengirimkan pesan berisikan ucapan terima
kasih dan maaf. Aku secara tegas melarangmu berucap seperti itu, karena sejujurnya, kata-
kata itu sangat menakutkan bagiku. Aku mengirimkanmu ucapan semangat dan kata
penenang kalau semuanya akan baik-baik saja. Para dokter serta perawat akan menjaga dan
mempertahankan kamu sebisa mungkin. Dan aku juga mengirimkan doa, agar kamu tetap
berada di sini.

Sejam sebelum kamu operasi, kamu mengirimkan foto selfiemu untuk terakhir kalinya. Kamu
terlihat lebih kuning, mirip karakter Spongebob Squarepants, namun aku sadar, itu artinya
bukan pertanda baik. Kamu juga terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Namun aku percaya,
kamu akan baik-baik saja.

Setelah itu, kamu benar-benar menghilang. Kata online pada status Discord-mu juga berubah
menjadi offline. Selama itu, aku terus merapalkan doa. Semoga operasi pendonoran hatimu
berjalan dengan lancar. Semoga Tuhan selalu bersamamu. Semoga kamu kuat bertahan. Dan
masih banyak lagi kata semoga yang belum aku jabarkan.

Selama aku menunggu, aku melanjutkan proyek kita sambil meminum jus alpukat
kesukaanku yang kamu rekomendasikan. Aku juga menambahkan datapack baru agar aku
bisa menciptakan karakter baru. Dan aku menambahkan karakter kita berdua menjadi
karakter pasif.

Ternyata, kegiatan menunggu serta gabut-ku membuahkan hasil. Desa Plankpolitan telah
berdiri. Rasanya aku tidak sabar menunjukkan kepadamu bahwa desa kita telah selesai aku
bangun. Mungkin akan ditambah sedikit detail, namun itu nanti, setelah kamu melihat Desa
Plankpolitan. Karena aku juga membutuhkan pendapatmu hal apa yang perlu ditambahkan
agar desa ini terlihat indah.

Tetapi, harapan tidak sesuai realita. Kakakmu, Ivan, menghubungiku lewat Discord. Kita
awalnya berbincang, dan bercanda di roomchat, hingga pada akhirnya, ia memberitahukan
keadaanmu yang sebenarnya.

Saat aku membaca pesan panjang dari kakakmu, aku terdiam. Telingaku seakan berdenging,
dahiku berkerut serta mataku mulai memanas. Tidak, itu tidak mungkin. Seorang Azkar
Alvanio tidak mungkin menyerah begitu saja, ia orang yang sangat kuat yang pernah Bryan
temui. Tidak, Azkar tidak selemah itu, pikirku saat itu.

Rasa denialku memuncak dan langsung offline di Discord. Aku menaruh ponselku dengan
kasar di atas meja. Kemudian aku termenung di depan komputerku yang masih menyala,
seketika bulir bening perlahan turun. Aku kemudian masuk ke dalam server Minecraft-ku
yang ku buat khusus untukku dan Azkar. Tepat saatku masuk, aku langsung teleport di
dalam salah satu rumah villager yang telah ‘ku bangun.

Di sana, terdapat sebuah buku yang tergeletak begitu saja di atas lantai. Aku tidak ingat
kapan aku menaruh buku atau membuat buku. Namun, tetap saja ‘ku ambil karena siapa tahu
di dalamnya terdapat pesan yang penting.

Dan benar saja, di sana terdapat sebuah pesan, itu dari Azkar. Ia pasti menulisnya saat aku
tidak berada di dalam server dan sebelum ia dioperasi.

Aku, Azkar Alvanio, mengucapkan banyak terima kasih kepada Bryan Wijaya atas
segala kebaikan dan persahabatan yang telah kami jalin selama kurang lebih dua
tahun ini. Begitupula, aku ingin mengucapkan banyak maaf karena tidak membantu
Bryan hingga pembangunan Desa Plankpolitan selesai. Namun, sekarang aku
percayakan Desa Plankpolitan kepada Bryan Wijaya.

Aku, Azkar Alvanio, berharap kamu, Bryan Wijaya, selalu sehat. Jangan seperti
diriku yang lemah ini, haha. Dan, oh! Jika kamu baca pesan ini sendirian, tidak
bersamaku, berarti aku sudah benar-benar pergi. Maaf jika pada akhirnya aku
memilih menyerah. Maaf sudah menjadi beban kelompok. 

Aku, Azkar Alvanio, mengucapkan pamit undur diri.

P.s ; abadikan aku dan kamu di sini, ya, Yan. Agar persahabatan kita tidak pernah
lenyap, meskipun hanya di dalam game. Tapi itu sangat berharga bagiku. Jaga diri
dan server Desa Plankpolitan dengan baik, ya? See you in another world, my best
friend, my brother.

—tertanda, Azkar Alvanio.

Hanya satu kata yang dapat mendeskripsikan keadaanku saat itu, kacau. Aku sudah tidak bisa
lagi membendung air mataku. Aku kehilangan sahabatku, aku benar-benar kehilangan
dirinya.

Tidak ada lagi orang yang bisa ‘ku ajak main Valorant tengah malam. Tidak ada lagi orang
yang bisa ‘ku jahili dan ‘ku goda dengan candaanku yang kelewat nyeleneh. Tidak ada lagi
sahabat seerat dan sesetia dia.

Kemudian, aku mengarahkan karakterku untuk keluar rumah dan tepat mengarah ke mentari
yang masih malu-malu untuk muncul. Di sana juga aku melihat siluet karakter pasif milikku
dan juga Azkar, berdiri berdampingan di tengah sinar matahari.

Aku memandangnya dari kejauhan, lantas tersenyum tipis sambil menggigit bibir bawahku
guna menahan tangis.

Kamu dan aku akan selalu abadi, persahabatan Bryan dan Azkar akan selalu abadi.

Anda mungkin juga menyukai