Anda di halaman 1dari 10

KONVERGENSI PEMBAGIAN HARTA WARIS

DALAM HUKUM ISLAM


Sakirman
Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro
Jl. Ki Hajar Deantara 15A, Iringmulo, Metro, Lampung, Indonesia
E-mail: sakirman87@gmail.com

Abstract: The Convergence of Inheritance in Islamic Law. This article examines the legal position
of Islamic inheritance law in Indonesia, especially from the aspect of implementation and factors
hindering the implementation of the legal system in the Muslim community. As this study finds out,
there are two main reasons why the Islamic Inheritance Law can not be implemented in Indonesia:
(1) Indonesian Muslims are still bound to Customary inheritance law, either in forms of individual
inheritance system (patrilineal, matrilineal or bilateral), collective inheritance syatem (inheritance
is not distrubuted but is managed collectively), or Majorat inheritance system where the oldest
son master the entire inheritance. (2) The Muslims have not fully grasped the concept of fairness
and equality in Islamic law, especially when it pertains to the portion of sons and daughters which
follows 2: 1 ratio.
Keywords: inheritance law, ideals, law reform

Abstrak: Konvergensi Pembagian Harta Waris dalam Hukum Islam. Artikel ini mengkaji posisi
hukum kewarisan Islam di Indonesia terutama dari aspek implementasi dan faktor-faktor apa saja
yang menghalangi penerapan sistem hukum tersebut di kalangan masyarakat Muslim. Berdasarkan
hasil kajian diperoleh fakta bahwa Hukum Kewarisan Islam belum dapat terlaksana di Indonesia
karena masyarakat masih dipengaruh oleh hukum kewarisan adat, baik mengikuti sistem kewarisan
individual-patrilinial, matrilinial atau bilateral-kewarisan kolektif-harta warisan tidak dibagi tetapi
dikelola bersama-, maupun sistem kewarisan majorat di mana anak tua menguasai seluruh harta
warisan. Selain dari kuatnya pengaruh tradisi/hukum adat, hambatan lain adalah umat Islam belum
sepenuhnya memahami konsep keadilan dan kesetaraan dalam hukum waris Islam, khususnya
ketika berkaitan dengan porsi anak laki-laki dan perempuan yang mengikuti perbandingan 2: 1.
Kata Kunci: hukum waris, idealitas, pembaruan hukum

Pendahuluan Akan tetapi karena berbagai faktor yang


Hukum kewarisan Islam merupakan bagian melingkupi, ketentuan tersebut tidak di­
dari konstruksi ajaran agama Islam yang laksana­kan, sehingga timbul pemahaman
secara letter lijk (baca: Leterleg) termuat terhadap keberadaan hukum waris Islam
dalam teks-teks ayat suci Alquran. Alquran seakan hanya sebatas rentetan aturan
telah mengatur mengenai cara pembagian tanpa adanya praktik. Padahal jika dikaji
harta waris, ahli waris dan syarat-syarat secara mendalam, hukum waris menduduki
sebagai ahli waris, wasiat dan hal-hal yang tempat amat penting dalam hukum Islam.
secara rinci membahas mengenai waris. Sedemikian pentingnya kedudukan waris
Idealnya ketentuan yang telah ditentukan sehingga hadis Nabi yang diriwayatkan Ibn
oleh Alquran tersebut harus dilaksanakan. Mâjah dan al-Daruquthnî mengajarkan:

155
156| AL-‘ADALAH Vol. XIII, No. 2, Desember 2016

“Pelajarilah farâidh dan ajarkanlah kepada Jadi apabila seorang ayah meninggal
orang banyak karena farâidh adalah setengah dunia maka harta kekayaannya menjadi hak
ilmu dan mudah dilupakan serta me­ rupa­ anak laki-lakinya saja, dengan ketentuan
kan ilmu yang pertama kali hilang dari bahwa anak laki-laki yang sulung mendapat
umatku”. Karena ada perintah khusus untuk dua kali bagian adiknya. Jika mereka sepakat
mempelajari dan mengajarkan farâidh itulah, dibagi dua atau dibagi rata juga boleh.
para ulama menjadikannya sebagai salah satu Mengenai anak perempuan, hanya berhak
cabang ilmu yang berdiri sendiri.1 mendapat uang belanja untuk kehidupannya
Berdasarkan fakta tersebut, kajian ini dari harta peninggalan itu sampai ia kawin
berusaha menjelaskan konvergensi pembagian atau dewasa.
harta waris dalam hukum Islam dan faktor Sama halnya dengan anak perempuan,
yang mempengaruhi tidak dilaksanakannya seorang istri tidak mendapat bagian warisan,
hukum waris Islam terlebih dalam masalah ia hanya berhak uang belanja sampai ia
pembagian harta waris antara laki-laki dan kawin lagi atau meninggal dunia. Begitu
perempuan yang mengalami kesenjangan juga seorang ibu, ia tidak bisa menerima
dinamik baik dalam nas maupun hukum warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun
positif. Kajian ini diawali dengan sejarah perempuan. Jika ibu meninggal terlebih
kewarisan, kewarisan Islam, asas kewarisan dahulu, maka hartanya menjadi warisan anak
Islam kemudian pembagian waris dalam laki-laki. Jika tidak ada anak laki-laki baru
praktik serta konvergensinya. untuk anak perempuan.
Tidak jauh berbeda dengan hukum
Hukum Kewarisan dalam Lintasan kewarisan Yahudi, hukum kewarisan Romawi
Sejarah juga menyatakan yang menyebabkan adanya
Sebelum hukum waris Islam lahir setidaknya saling mewarisi hanyalah dua hal yaitu
ada tiga hukum kewarisan yang telah dikenal hubungan darah dan hubungan bekas
masyarakat pada masa pra-Islam, yaitu budak.3 Oleh karena itu, dalam hukum
hukum kewarisan Yahudi, hukum kewarisan Romawi, istri tidak berhak mendapat warisan
Romawi dan hukum kewarisan Adat yang dari suami begitu juga sebaliknya karena
berlaku di masyarakat Arab pra-Islam. tidak ada hubungan darah.
Masing-masing dari ketiganya mempunyai Adapun hukum waris Adat Arab pra-
ketentuan-ketentuan tersendiri. Islam sedikit berbeda dengan hukum waris
Salah satu ketentuan dari hukum waris Yahudi dan hukum waris Romawi. Masyarakat
Yahudi adalah wanita tidak berhak menjadi Arab pra-Islam menetapkan tiga faktor adanya
ahli waris selama pewaris masih mempunyai saling mewarisi, yaitu hubungan darah
ahli waris laki-laki yang sederajat dengan (nasab), tabannî (adopsi) dan sumpah setia
wanita itu. Ketentuan lain adalah seseorang (ba’iat). Mengenai hubungan darah, mereka
selama hidupnya sangat berkuasa terhadap hanya mewariskan kepada anak laki-laki yang
harta kekayaannya, sampai-sampai ia berhak sudah dewasa. Ukuran dewasa ditentukan
mewasiatkannya kepada siapa saja yang berdasarkan kesanggupan seseorang untuk
dikehendaki selain istri, meskipun dengan berperang. Adapun anak laki-laki yang
demikian ahli waris lainnya tidak mendapat masih kecil (belum sanggup berperang)
apa-apa.2 tidak mendapatkan kewarisan. Demikian

1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta:
UII Press, 2001), h. 4. Lihat juga Hasani Ahmad Said, Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam,
“Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 26.
Jender”, al-‘Adalah, Vol . 11, No 1 (2013), h. 17-32. 3
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di
2
Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 111.
Sakirman: Konvergensi Pembagian Harta Waris dalam Hukum Islam |157

pula dengan anak perempuan, meskipun dengan mencermati hal-hal tersebut dalam
sudah dewasa tidak mendapatkan warisan tataran kronologisnya, dapat melihat tiga
karena anak perempuan tidak ikut berperang. tahap perkembangan hukum waris.7
Apabila seseorang meninggal dunia dan ia Pertama, selama periode Makah (610-
tidak mempunyai anak laki-laki maka harta 622 M), setidaknya ada enam ayat yang
peninggalannya menjadi milik saudara laki- mengatur berbagai aspek kewarisan di­
lakinya yang sanggup berperang.4 wahyu­kan kepada Muhammad. Enam ayat
Dari paparan singkat sejarah hukum tersebut adalah Q.s. al-Baqarah [2]: 180
kewarisan di atas, baik hukum kewarisan memerintahkan orang yang akan mati untuk
Yahudi, hukum kewarisan Romawi maupun meninggalkan wasiat bagi ibu, bapak, dan
hukum kewarisan Adat bangsa Arab pra- karib kerabatnya. Ayat 181 menyerahkan
Islam, pada kenyataannya memposisikan pertanggung jawaban (dosa) orang yang
kaum perempuan lemah dan inferior se­ mengubah wasiat kepada Allah. Ayat 182
hingga tidak memberikan hak kewarisan mendorong rekonsiliasi dengan pihak-pihak
kepada mereka. Apakah dia ibu, istri maupun yang tidak setuju terhadap pembagian suatu
berkedudukan sebagai anak. Dapat dipahami warisan. Ayat 240 mengizinkan orang
bahwa prinsip yang berlaku pada sistem yang berwasiat untuk membuat ketetapan
hukum waris pra-Islam adalah superioritas- bahwa jandanya diberi nafkah maksimum
inferioritas, yang tentunya jauh sekali dari setahun, dan membiarkan tinggal di rumah
rasa keadilan (al-‘adâlah). almarhum suaminya, dan terakhir Q.s. al-
Mâidah [5]: 105-106 menetapkan agar wasiat
Hukum Kewarisan Islam dan testamen, agar valid, harus dibuat atau
Hukum kewarisan Islam secara mendasar dikatakan di hadapan dua orang saksi yang
merupakan ekspresi langsung dari teks-teks dipercaya. Enam ayat ini merefleksikan suatu
suci sebagaimana pula yang telah disepakati sistem waris yang relatif membebaskan orang
keberadaannya,5 manifestasi dari rangkaian untuk menentukan siapa saja ahli warisnya
teks dokumen suci dan telah memperoleh dan berapa orang untuk menentukan siapa
prioritas yang tinggi dalam keterlibatannya saja ahli warisnya dan berapa banyak mereka
sebagai fenomena prinsip yang fundamental memperoleh bagiannya.
dalam ajaran Islam. Kelahirannya tidak Kedua, segera sesudah hijrah ke Madinah
sekedar merespon problem hukum di zaman pada tahun 622 M, nabi Muhammad me­
pemunculannya tetapi lebih jauh adalah nerima serial kedua pewahyuan yang me­
demi mengisi kebutuhan hukum Islam netapkan aturan-aturan wajib untuk pem­
sebagai konstruksi ajaran.6 bagian waris, yaitu tertuang dalam Q.s.
Hal-hal mendetail tentang kewarisan al-Nisâ [4]: 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan 176
Islam, apakah dalam pewahyuan Ilahi yang merefleksikan suatu konsepsi tentang
maupun sunnah Nabi, berjalan secara regular karakteristik kewarisan yang sangat berbeda
selama 22 tahun dalam periode antara dengan apa yang termuat dalam tahap
permulaan dakwah Muhammad pada tahun pertama (yang kemudian disebut dengan
610 M sampai wafatnya pada tahun 632 M. ayat-ayat wasiat).
Ketiga, setelah Fath al-Makkah pada tahun
630 M, Muhammad menjelaskan hubungan
4
Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut
KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, h. 27-28.
5
Anwar Harjono, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut 7
David S. Powers, Studies in Al-Qur’an and Hadith:
Alquran: Komentar atas Hazairin dalam Pembaharuan Hukum the Formation of the Islamic Law of Inheritance, (University
Islam di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 63. of California, 1986), alih bahasa Arif Maftuhin, Peralihan
6
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Kekayaan dan Politik Kekuasaan Kritik Historis Hukum Waris,
Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 1. (Yogyakarta: LKIS, 2001), h. 12.
158| AL-‘ADALAH Vol. XIII, No. 2, Desember 2016

antara seri pewahyuan pertama dan kedua cucu yang ditinggalkan agar jangan sampai
dengan mengeluarkan satu statement yang mereka mengalami kesempitan hidup sebagai
membatasi jumlah pembuatan wasiat. Tradisi akibat kesalahan orang tua dalam mem­
Islam mengajarkan bahwa pada saat nabi belanjakan hartanya.
Muhammad wafat, telah meletakkan pondasi Surat al-Nisâ [4]: 10 memberikan pe­
‘ilm al-farâidh (ilmu tentang bagian-bagian). ringatan agar berhati-hati dalam me­me­lihara
Pondasi ini kemudian disempurnakan dalam harta warisan yang menjadi hak anak yatim,
proses tiga belas tahun berikutnya oleh para jangan sampai termakan dengan cara tidak
sahabat seperti ‘Umar, ‘Alî, Zaid bin Tsabit, sah. Karena jika itu terjadi sama halnya
Ibn Mas’ûd dan Abû Mûsa.8 dengan memakan bara api neraka. Sedangkan
Aturan-aturan hukum kewarisan Islam Surat al-Nisâ [4]: 11 dan 12 secara rinci
sebagaimana pada tahap kedua di atas telah menjelaskan bagian masing-masing ahli waris.
diatur dalam Alquran, tepatnya dalam surat Diawali pada ayat 11 bahwa bagian anak laki-
an-Nisâ [4]: 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan laki sama dengan dua bagian anak perempuan.
176. Dibandingkan dengan ayat hukum yang Begitu juga pada ayat 176. Adapun bagian
lain dalam Alquran, ayat-ayat hukum waris tertentu yang dimaksud adalah 2/3, 1/2,
merupakan ayat-ayat hukum yang paling 1/3, 1/4, 1/6, dan 1/8. Surat al-Nisâ [4]:
tegas dan rinci isi kandungannya. 13 menjelaskan bahwa ketentuan-ketentuan
Dalam surat al-Nisâ [4]: 7 memberikan tersebut ter­masuk hal yang bersifat ta’abudî
ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan yang wajib dilaksanakan karena telah menjadi
sama-sama berhak atas warisan orang tua ketentuan Alquran.
ataupun kerabatnya. Ketentuan tersebut Keberadaan ayat-ayat di atas, selain
merupakan dekonstruksi terhadap kebiasaan menentukan siapa yang berhak menjadi ahli
bangsa Arab yang hanya memberikan warisan waris, berapa bagiannya dan kapan harta
kepada laki-laki yang sanggup memanggul peninggalan boleh dibagi, ayat-ayat hukum
senjata membela kehormatan kabilahnya. kewarisan juga tampak secara eksplisit
Anak kecil, orang tua dan perempuan karena maupun implisit memastikan jaminan
tidak mampu memanggul senjata maka tidak keharusan kaum perempuan (terutama ibu,
berhak atas warisan sama sekali. istri, dan anak perempuan bahkan saudara
Surat al-Nisâ [4]: 8 memerintahkan agar perempuan dalam kondisi tertentu) untuk
sanak kerabat, anak yatim dan orang miskin mendapatkan warisan.10
yang hadir dan menyaksikan pembagian Dapat dipahami bahwa sebab turunnya
harta warisan diberi sejumlah harta sekedar masing-masing ayat di atas mendobrak tradisi
untuk dapat ikut menikmati harta warisan hukum Yahudi, hukum Romawi dan hukum
yang baru saja dibagi. Realisasi dari ajaran Adat bangsa Arab pra-Islam bahkan hukum
ini menurut Ahmad Azhar Basyir, dapat Adat manapun yang mengabaikan bagian
dikembangkan secara kenegaraan hingga waris kaum perempuan. Surat al-Nisâ [4]: 7
dimungkinkan menjadi dasar kuat untuk menjamin kepastian hak waris perempuan.
dikeluarkannya undang-undang atau pe­ Adapun Q.s. al-Nisâ [4]: 7 berbunyi:
raturan wajib pajak atas harta warisan.9
‫ﭑﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘ‬
Surat al-Nisâ [4]: 9 memperingatkan
agar orang senantiasa memperhatikan anak ‫ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡﭢ ﭣ‬
‫ﭤ‬
8
David S. Powers, Studies in Al-Qur’an and Hadith: the
Formation of the Islamic Law of Inheritance, h. 17.
9
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: 10
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di
UII Press, 2001), h. 5. Dunia Islam, h. 121.
Sakirman: Konvergensi Pembagian Harta Waris dalam Hukum Islam |159

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan Maha Bijaksana.12
bagi wanita ada hak bagian [pula] dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
telah ditetapkan”.11 Asas-asas hukum kewarisan menjadi pedoman
awal dari sistem kewarisan. Adapun asas-asas
Maka Q.s. al-Nisâ [4]: 11 dan 12 me­
hukum kewarisan Islam antara lain:
nentukan secara konkrit yang harus diterima
perempuan. 1. Asas berlaku dengan sendirinya (ijbâr).
Dalam hukum waris Islam pemindahan
‫ﮓ ﮔ ﮕ ﮖﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛﮜ‬ harta orang yang telah meninggal dunia
‫ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥﮦ ﮧ ﮨ‬ kepada ahli waris berlaku dengan sendiri­
nya. Tidak ada individu maupun lembaga
‫ﮩ ﮪ ﮫﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ‬ yang dapat menangguhkannya. Individu,
‫ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ‬ baik pewaris, ahli waris, apalagi individu
di luar keluarga, tidak mempunyai hak
‫ﯟ ﯠ ﯡ ﯢﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ‬ untuk menangguhkan dan untuk tidak
menerima harta warisan. Karena sudah
‫ﯩﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱﯲ ﯳ‬
ada ketentuan yang pasti dalam nas.
‫ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺﯻ ﯼ ﯽ‬ Mereka “dipaksa” (ijbâr) memberikan dan
menerima harta warisan sesuai dengan
‫ﯾﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ‬
bagian masing-masing.13 Sementara itu
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang pewaris hanya diberi kebebasan untuk
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, memindahkan harta peninggalannya
yaitu bahagian seorang anak lelaki sama melalui institusi wasiat kepada orang
dengan bagahian dua orang anak perempuan; yang dikehendaki. Pemindahan harta
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
ini semata karena akibat kematian
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan orang yang punya harta. Artinya asas
itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh ber­laku dengan sendirinya ini hanya
harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi berlaku setelah pewaris meninggal dunia
masing-masingnya seperenam dari harta dan belum berlaku kalau orang yang
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai harta masih hidup.
mempunyai anak; jika orang yang meninggal 2. Asas bilateral-individual.
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
Asas bilateral-individual adalah asas
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
tiap ahli waris baik laki-laki maupun
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat perempuan dapat menerima hak ke­
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut warisan dari pihak kerabat ayah maupun
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia ibu, sedangkan bagiannya dimiliki secara
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. sendiri-sendiri oleh ahli waris tersebut
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, sesuai dengan porsinya yang telah di­
kamu tidak mengetahui siapa di antara tetapkan.14
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. 12
Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/Pentafsir
Alquran Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alquran
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya, h. 78-79.
11
Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/Pentafsir 13
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
Alquran Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alquran dalam Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h.
Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya, (Bandung: CV 18-19.
J-Art, 2004), h. 78. 14
Abdul Ghofur Anshori, Kewarisan Islam di Indonesia
160| AL-‘ADALAH Vol. XIII, No. 2, Desember 2016

Asas ini dapat diketahui dari bunyi nas Konvergensi Pembagian Waris dalam
pada kelompok ayat kewarisan inti (surat Praktik
al-Nisâ [4]: 7, 11, 12, dan 176). Inti Dalam sistem pensyariatan hukum, dikenal
dari ayat ini menegaskan setiap seorang istilah ijmâliy (global) dan tafshîliy (rinci).
laki-laki atau perempuan mendapat Pada umumnya ayat Alquran selalu datang
bagian warisan dari pihak ayah maupun dalam bentuk ijmâliy, seperti perintah untuk
ibu. salat, membayar zakat dan menunaikan
3. Asas penyebarluasan dengan prioritas haji. Alquran tidak menerangkan secara
di lingkup keluarga detail kapan seorang Muslim harus salat,
Suatu asas yang menegaskan bahwa harta apa saja yang harus dikeluarkan
pembagian harta warisan berkemungkinan zakatnya, dan bagaimana menunaikan haji,
untuk mencakup banyak ahli waris. Bukan apa syarat, rukun dan yang membatalkan
anak saja tetapi lebih luas lagi pada suami, sebuah ibadah. Semua itu diterangkan oleh
istri, orang tua, saudara bahkan cucu Rasulullah Saw. dalam sunnahnya. Namun
ke bawah dan orang tua ke atas serta ketika kembali membuka ayat-ayat pewarisan
keturunan saudara-saudara sama-sama di atas secara teliti, akan dinemukan ayat-
tercakup. Hal ini dapat disimak pada ayat tersebut datang dalam bentuk tafshîliy
bunyi ayat kelompok ahli waris. (detail), ayat-ayat tersebut secara langsung
4. Asas persamaan hak menyebutkan bagian-bagian tertentu (al-
furûdh al-muqaddarah) yang berhak dimiliki
Hukum waris Islam tidak membedakan
oleh masing-masing ahli waris. Indikator
hak untuk mendapatkan warisan antar
di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
laki-laki dan perempuan, antar anak-
penerapan hukum waris berdasarkan apa
anak yang masih kecil dan mereka yang
yang telah ditetapkan oleh Yang Maha
sudah dewasa. Semuanya sama memiliki
Mengetahui merupakan suatu keharusan.
hak untuk mendapat warisan.15
Walaupun demikian, bagi kalangan
5. Asas Keadilan Berimbang.
ter­tentu, hukum waris dalam hal-hal ter­
Asas ini memberikan pengertian bahwa tentu dianggap tidak prinsipil, bisa saja
dalam ketentuan hukum waris Islam ditafsirkan dan direkonstruksi, sesuai dengan
senantiasa terdapat keseimbangan antara kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk
hak dan kewajiban, antara hak yang dipertimbangkan. Dalam konteks yang lain
diperoleh seseorang dan kewajiban secara realistis, ada beberapa problem hukum
yang harus ditunaikannya. Laki-laki waris yang menjadi polemik ulama klasik.
dan perempuan mendapatkan hak Kenyataan demikian, munculnya hukum
yang sebanding dengan kewajiban waris versi Sunni dan Syi’ah serta perbedaan-
yang dipikulnya masing-masing dalam perbedaan lain antara kalangan mereka
kehidupan keluarga dan masyarakat. tentang berbagai hal mengenai kewarisan
Karena pada dasarnya sistem kewarisan secara tidak langsung mendukung pendapat
Islam, harta peninggalan yang diterima di kalangan tertentu yang menginginkan
oleh ahli waris dari pewaris pada adanya pembaruan hukum waris.
hakikatnya adalah lanjutan tanggung
Noel J. Coulson dalam bukunya A
jawab pewaris kepada keluarganya.16
history of Islamic Law dan Succesion in
the Muslim Family menawarkan perlunya
Eksistensi dan Adaptabilitas, (Yogyakarta: EKONISIA FE UII, penafsiran secara sosiologis terhadap hukum
2005), h. 18.
15
Abdul Ghofur Anshori, Kewarisan Islam di Indonesia
Eksistensi dan Adaptabilitas, h. 18. Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
16
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Hukum Grafindo Persada, 2001), h. 128.
Sakirman: Konvergensi Pembagian Harta Waris dalam Hukum Islam |161

waris Islam.17 Dengan cara ini, hukum waris Polemik hukum waris Islam sangat
dibahas lewat kesejarahannya dengan segala kentara bila persoalannya bersentuhan
perkembangan bangsa Arab. dengan hukum adat, seperti di Indonesia.
Hazairin pada tahun 1960-an juga Memahami hukum kewarisan adat di
telah menawarkan reinterpretasi baru Indonesia, setidaknya ada tiga sistem yang
terhadap kewarisan Islam yang selama ini berlaku,20 yaitu:
menjadi doktrin keagamaan sebagai warisan 1. Kewarisan individual, yang bercirikan
intelektual klasik. Ia menginformasikan adanya pembagian harta kepada orang-
bahwa doktrin kewarisan yang dipedomani orang yang berhak baik dalam sistem
selama ini adalah bercorak patrilinialistik pembagian patrilinial, matrinial ataupun
yang terpengaruh pada adat masyarakat Arab bilateral. Konsekuensinya ketika hukum
waktu itu. Hal ini bertolak belakang dengan waris Islam diterapkan akan berakibat
apa yang dikehendaki Alquran dengan sistem sejumlah orang menjadi tertutup men­
bilateral.18 dapat harta atau sejumlah keuntungan
Selain Hazairin, pada penghujung tahun pembagian menjadi berkurang.
1980-an, Muawir Sjadzali yang ketika itu 2. Kewarisan berdasarkan sistem kolektif, yang
menjabat sebagai Menteri Agama juga me­ bercirikan harta yang tidak dibagi-bagi di
lontarkan gagasan perlunya reaktualisasi antara sekumpulan ahli waris kecuali untuk
hukum waris. Suatu yang sangat sederhana dimanfaatkan secara produktif terutama
tetapi sangat mendasar di mana ia meng­ kepada mereka yang lebih memerlukannya.
inginkan “jika perlu” bagian waris 2:1 antar Konsekuensinya, sikap kekerabatan di
kaum laki-laki dengan kaum perempuan antara mereka yang telah terpupuk bisa
disamakan menjadi 1:1.19 jadi, ketika hukum waris Islam diterapkan,
Dua pemikir terakhir ini tampak bahwa mereka sebagai pemeluk agama Islam
Hazairin mengarah pada persoalan bilateral akan melaksanakannya dengan membuka
sebagai pengganti patrilinial, sementara kemungkinan perdamaian (ishlâh) dalam
Munawir Sjadzali memfokuskan perhatiannya pembagian harta waris. Terlebih jika
pada konsep egalitarianisme sebagai konsep ternyata harta waris yang diangap sedikit
yang rasional dalam kehidupan yang ditandai dan kurang produktif.
dengan bagian porsi 1:1 antar laki-laki dan 3. Sistem kewarisan mayorat, yang ber­cirikan
perempuan. Dengan kata lain, Hazairin anak tertualah yang akan me­­ nguasai
menggugat pola penafsiran teks-teks tentang seluruh harta pewaris.21 Konsekuensinya
kewarisan yang sebenarnya bilateral menjadi harta mereka akibatnya di­kurangkan. Bagi
patrilinial dalam konteks kesejarahannya, orang tua tertentu, sebelum meninggalnya
maka Munawir Sjadzali menggugat konsep ada kemungkinan meng­hibahkan sebagian
keadilan lama ketika berhadapan dengan hartanya kepada anak yang tertua di
konsekuensi-konsekuensi baru zaman dalam mana unsur kekerabatan sangat dekat
kehidupan sosial yang dianggapnya berbeda. dengan anak tertua yang sejak lama telah
didukung oleh kebiasaan hukum adat
sebelum hukum Islam diterapkan.22
17
Martha Mundy, The Family Inheritance and Islam: A
Reexamination of The Sociology of Faraid Law dalam Aziz al Azmeh
(ed), Islamic Law Social and Historical Contexst, (Routledge, 20
Hazairin, Hukum Keawarisan Bilateral Menurut Alquran,
London, 1988), h. 2, demikian dikutid A. Sukris Sarmadi, h. 13. Keterangan tentang ciri-ciri lebih lanjut dapat dibaca
Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, h. 2. di Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum
18
Pikiran-pikirannya ini tertuang dalam bukunya Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA
Keawarisan Bilateral Menurut Alquran, (Djakarta: Tinta Mas 1964). TAZZAFA 2007), h. 90.
19
Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam 21
Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Hukum Islam di
Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Panji Mas, Cet. I, Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), h. 125.
1988), h. 1-11. 22
Ketiga sistem tersebut (sistem matrilineal, partrilineal
162| AL-‘ADALAH Vol. XIII, No. 2, Desember 2016

Selain ketika bersinggungan dengan antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki
hukum adat, polemik hukum waris Islam dan saudara perempuan, yang kesemuanya
berkaitan pemahaman tentang keadilan dalam itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan
pembagian antara ahli waris. Sebagaimana diteliti secara mendalam.
yang telah dikemukakan di atas bahwa Dalam kehidupan masyarakat Muslim,
keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) laki-laki menjadi penanggung jawab
dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan
dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip perempuan. Apabila perempuan tersebut
dasar yang terkandung dalam hukum tentang ber­s tatus gadis/masih belum menikah,
kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam maka ia menjadi tanggung jawab orang
pembahasan tentang keadilan menyangkut tua ataupun walinya ataupun saudara laki-
hukum kewarisan Islam adalah tentang lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan
hak sama-sama dan saling mewarisi antara menikah, maka ia berpindah akan menjadi
laki-laki dan perempuan serta perbandingan tanggung jawab suaminya (laki-laki). Syariat
2:1 (baca: 2 banding 1) antara porsi laki- Islam tidak mewajibkan perempuan untuk
laki dan perempuan,23 yang dianggap tidak menafkahkan hartanya bagi kepentingan
adil karena tidak adanya kesetaraan dalam dirinya ataupun kebutuhan anak-anaknya,
pembagian. meskipun ia tergolong mampu/kaya, jika ia
Pemahaman asas keadilan dalam hukum telah bersuami, sebab memberi nafkah (tempat
kewarisan Islam, bukan diukur dari ke­ tinggal, makanan dan pakaian) keluarga
samaan tingkatan antara ahli waris, tetapi merupakan kewajiban yang dibebankan syara’
ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban kepada suami (laki-laki setelah ia menikah).25
atau tanggungjawab diembankan kepada Setidaknya ada beberapa dasar dalam
mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/ hal ini. Pertama, Q.s. al-Thalâq [65]: 6 yang
kehidupan manusia. Jika dikaitkan dengan menyatakan agar suami memberikan tempat
definisi keadilan yang dikemukakan Amir tinggal kepada istri berdasarkan kemampuan
Syarifuddin24 sebagai “keseimbangan antara suami dan melarang suami menyusahkan
hak dan kewajiban dari keseimbangan antara hati istrinya. Kedua, Q.s. al-Baqarah [2]:
yang diperoleh dengan keperluan dan 233 yang menyatakan kewajiban suami
kegunaan”, atau perimbangan antara beban memberikan makan dan pakaian kepada
dan tanggung jawab di antara ahli waris istri dengan cara yang makruf. Ketiga, pasal
yang sederajat, maka akan terlihat bahwa 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
keadilan akan nampak pada pelaksanaan menyatakan suami wajib melindungi isterinya
pembagian harta warisan menurut Islam. dan memberikan segala sesuatu keperluan
Rasio perbandingan 2:1, tidak hanya berlaku hidup.26 Sedangkan kewajiban isteri pada
antara anak laki-laki dan perempuan saja, dasarnya adalah mengatur urusan intern
melainkan juga berlaku antara suami istri, rumah tangga dengan sebaik-baiknya.27
Perlu diketahui juga bahwa kaidah
dan parental) akan sangat berpengaruh terhadap model sistem
kewarisan di Indonesia. Lebih jelasnya silakan baca artikel
Supriyadi, “Pilihan Hukum Kewarisan dalam Masyarakat 25
Lihat Hasani Ahmad Said, “Dekonstruksi Syariah:
Pluralistik (Studi Komparasi Hukum Islam dan Hukum Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender”, al-‘Adalah, Vol.
Perdata)”, al-‘Adalah, Vol. 12, No. 3, (2015), h. 553-568. 11, No. 1, (2013, h. 17-32.
23
Maksud dari potongan Surat al-Nisâ [4]: 11 “Bagian 26
Bunyi dan maksud yang sama juga terdapat dalam
perempuan setengah dari bagian lelaki” . Berdasar ini pula banyak Pasal 80 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan pada
orang-orang yang dengki terhadap Islam lantas menyelewengkan Pasal 80 ayat (4) KHI diuraikan tentang kewajiban suami
ayat di atas lalu mengangkat permasalahan tersebut melalui isu memberi nafkah, kiswah, maskawin, biaya kebutuhan rumah
kesetaraan gender. tangga, pendidikan anak dan biaya kesehatan, sesuai dengan
24
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam kemampuan suami.
dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT. Gunung 27
Lihat Pasa134 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo
Agung, 1984), h. 24. Pasal 83 ayat (2) KHI.
Sakirman: Konvergensi Pembagian Harta Waris dalam Hukum Islam |163

“lelaki-perempuan 2:1” bukanlah Standard hukum. 28 Idealisme doktrin baik dalam


Operating Procedure yang harus dan dapat masalah-masalah substansi maupun prosedur,
diterapkan dalam seluruh kasus pewarisan. di dalam praktiknya terkadang terpaksa harus
Adakalanya perempuan dengan lelaki men­ tunduk kepada kepentingan-kepentingan
dapatkan bagian yang sama (kasus saudara tertentu yang ada dalam masyarakat.
seibu lelaki dengan perempuan), juga
terkadang bagian perempuan lebih banyak Penutup
dibanding lelaki (kasus anak perempuan Berdasarkan kajian di atas dapat di­ tarik
dengan suami). Bahkan setelah dihitung sebuah simpulan bahwa konvergensi
ternyata hanya terdapat enam kasus saja pembagian harta waris dalam hukum
dalam permasalahan pewarisan kaidah “2:1” Islam terjadi karena tidak dilaksanakannya
ini dapat diterapkan. 1). Anak kandung hukum waris Islam terlebih dalam masalah
lelaki dengan perempuan 2). Cucu lelaki pembagian harta waris antara laki-laki dan
dengan perempuan dari anak lelaki 3). perempuan sehingga terjadi ketidaksesuaian
Saudara kandung lelaki dengan perempuan antara doktrin hukum waris Islam dengan
4). Saudara seayah lelaki dengan perempuan praktik di lapangan dikarenakan beberapa
5). Ayah dengan ibu ketika ada suami atau faktor yaitu masih kentalnya masyarakat
istri [kasus gharrawiyyatain] 6). Kakek dengan dengan keberadaan hukum adat yang
saudara perempuan kandung atau seayah digunakan dalam pembagian waris, adanya
[kasus akdariyyah]. anggapan atau pemahaman bahwa pembagian
Berdasar hal tersebut, perlu dibedakan harta dalam hukum waris Islam tidak adil,
antara kesetaraan dan keadilan. Jika maksud terlebih adanya konsep 2:1. Sehingga
kesetaraan itu adalah ‘sama-rata’, hal ini melahirkan ide pembaruan terhadap hukum
memang bukanlah yang dikehendaki oleh waris Islam. Masih terlalu banyak yang
Islam, karena Islam lebih mengedepan­ menegasikan urgensi Hukum Waris Islam
kan “keadilan” daripada hanya sekedar hingga berasumsi bahwa permasalahan intern
“kesetaraan”. Karena segala sesuatu yang dalam hal pewarisan dapat diselesaikan
setara belum tentu adil dan belum tentu melalui asas kekeluargaan saja.
membawa manfaat, tetapi segala sesuatu yang Oleh karena, itu perlu adanya upaya
adil meskipun terkadang tidak setara namun pemahaman dan penyadaran terhadap
pasti membawa manfaat dan maslahat. masyarakat luas dalam banyak kesempatan,
Oleh karena itu, dalam akhir ayat baik dalam lingkungan sekolah maupun
11 Surat al-Nisâ [4], Allah secara tegas pengajian-pengajian sehingga hukum waris
menyatakan bahwa Dia-lah yang lebih tahu dapat benar-benar dirasakan dan merupakan
tentang keadilan dan lebih tahu kepada siapa curahan rahmat Allah, khususnya kaum
harta tersebut lebih berhak dan bermanfaat Muslimin. Adanya faktor-faktor di atas
untuk diberikan. Inilah konsep mendasar memberikan dampak termarjinalkannya
yang membedakan antara “kesetaraan” dan hukum waris Islam dan mengakibatkan
“keadilan”. merebaknya praktik-praktik yang terlanjur
Polemik dalam pembagian waris Islam mendarah daging dalam adat kebudayaan
di atas menjadikan hukum waris Islam yang masyarakat perihal penentuan dan pembagian
telah diatur sedemikian rupa oleh Alquran harta waris. Jika praktik tersebut dirujuk
tidak terlaksanakan sebagaimana mestinya, kembali kepada kamus syariat Islam (Alquran
sehingga terjadi ketegangan antara idealisme
dan realisme. Secara sederhana menurut
Noel J. Coulson dapat diungkapkan terjadi
28
Noel James Coulson, Conflict and Tensions in
Islamic Jurisprudence, alih bahasa H. Fuad, MA, Konflik
perbedaan antara doktrin hukum dan praktik dalamYurisprudensi Islam, (Yogyakarta: NAVILA, 2001), h. 19.
164| AL-‘ADALAH Vol. XIII, No. 2, Desember 2016

dan Sunah) maka tidak akan ditemukan, Nasution, Khoiruddin, Pengantar dan
meskipun jika ditemukan ternyata praktik Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata)
adat yang dijalankan tersebut bertolak Islam Indonesia, Yogyakarta: ACAdeMIA
belakang dengan apa yang telah ditentukan TAZZAFA, 2007.
oleh Alquran dan Sunnah. Powers, David S., Studies in Alquran and
Hadith: the Formation of the Islamic Law
Pustaka Acuan of Inheritance, (university of California
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam 1986), alih bahasa Arif Maftuhin,
Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan
Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Kritik Historis Hukum Waris, Yogyakarta:
Persada, 2001. LKIS, 2001.
Anshori, Abdul Ghofur, Kewarisan Islam di Said, Hasani Ahmad, “Dekonstruksi Syariah:
Indonesia: Eksistensi dan Adaptabilitas, Menggagas Hukum Waris Perspektif
Yogyakarta: EKONISIA FE UII, 2005. Jender”, al-‘Adalah, Vol. 11, No. 1,
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Waris Islam, (2013), h. 17-32.
Yogyakarta: UII Press, 2001. Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan
Coulson, Noel James, Conflict and Tensions Hukum Waris Islam Transformatif,
in Islamic Jurisprudence, alih bahasa H. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Fuad, MA Konflik dalamYurisprudensi Sjadzali, Munawir, Reaktualisasi Ajaran Islam,
Islam, Yogyakarta: NAVILA, 2001. dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,
Departemen Agama, Alquran dan Jakarta: Panji Mas, 1988.
Terjemahannya, Jakarta: Departemen Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga
Agama RI, 1986. Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Harjono, Anwar, Hukum Kewarisan Bilateral Grafindo Persada, 2004.
Menurut Alquran Komentar atas Hazairin Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum
dalam Pembaharuan Hukum Islam di Kewarisan Islam dalam Adat Minangkabau,
Indonesia, Jakarta: UI Press, 1981. Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Hasan, Sofyan, dan Warkum Sumitro, Supriyadi, “Pilihan Hukum Kewarisan dalam
Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Masyarakat Pluralistik (Studi Komparasi
Usaha Nasional, 1994. Hukum Islam dan Hukum Perdata)”, al-
‘Adalah, Vol. 12, No. 3, (2015), h. 553-568.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral
Menurut Alquran, Djakarta: Tinta Mas, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/
1964. Pentafsir Alquran Revisi Terjemah
Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum oleh Lajnah Pentashih Mushaf Alquran
Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Departemen Agama, Alquran dan
Adat dan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Terjemahnya, Bandung: CV J-Art, 2004.
Bintang, 1978.

Anda mungkin juga menyukai