Yang Paling Benar
Yang Paling Benar
Hai manusia, engkau yang menghakimi mereka yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri
melakukannya juga, apakah engkau sangka bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah? (Roma 2:3)
1 Raja-raja 12-14
Perbedaan kecil cukup untuk memantik perselisihan, terlebih yang besar! Hal ini terjadi pula pada jemaat
Yahudi dan Yunani di Roma. Sekalipun jumlah mereka sedikit, orang Yahudi merasa menjadi bangsa pilihan
dan keturunan Abraham sehingga mereka sombong. Sementara orang Yunani, sekalipun bukan umat pilihan
Allah, mereka banyak jumlahnya sehingga merasa menang. Mereka pun saling menyerang karena merasa diri
paling benar.
Di tengah perdebatan mereka, Paulus menyampaikan bahwa tidak akan ada yang luput dari penghakiman
Tuhan. Orang akan dihakimi menurut ukuran yang mereka buat sendiri, dengan atau tanpa hukum Taurat.
Tuhan tidak memandang muka, tidak pilih kasih. Tidak ada yang diistimewakan, sebab Dia adalah Allah yang
adil.
Merasa diri paling benar bisa saja menjadi virus yang menjangkiti orang percaya. Menganggap pemahaman
kita tentang kekristenan sebagai yang paling benar, lantas berani menghakimi orang lain karena menganggap
mereka salah. Sebelum hal ini terjadi, baiklah kita sadari bahwa agama dan Taurat tidak dapat melindungi
orang dari murka Allah. Hal yang paling benar untuk dilakukan adalah hidup dalam pertobatan, bukan berlagak
Bukankah karya penebusan dosa oleh Tuhan semestinya mendorong kita menyatakan kehidupan dalam
keselamatan? Maka yang paling benar untuk kita lakukan adalah menjaga kekudusan hidup dan memiliki belas
kasih seperti Yesus. Bukan malah sebaliknya, menodainya dengan kesombongan rohani dan gemar
menghakimi sesama.
—EBL/www.renunganharian.net