Anda di halaman 1dari 16

BAB II

HAKEKAT SPIRITUALITAS KRISTIANI

2.1 Pengertian Spiritualitas Kristiani


Spiritualitas Kristen adalah keberadaan seseorang yang berada di dalam relasi yang
benar dengan Allah, sesama, dan ciptaan yang lain. Yang dimaksudkan dengan benar di sini
bukan berbicara tentang what is (apa yang terjadi), melainkan what ought to (apa yang
seharusnya terjadi). Pada waktu kita berbicara tentang apa yang seharusnya terjadi, maka tentu
saja sebagai orang Kristen kita mengacunya pada apa yang dinyatakan oleh Firman Tuhan.

Spiritualitas merupakan jalan untuk memahami keberadaan dan kehidupan manusia


yang berkaitan dengan pencarian nilai-nilai luhur untuk mencapai tujuan hidupnya. Di dalam
agama Kristiani, ‘jalan’ tersebut bukanlah berupa peraturan-peraturan, melainkan berupa
‘Seseorang‘. Dan ‘Seseorang’ ini adalah Yesus Kristus, yaitu Allah yang menjelma menjadi
manusia. Dengan kata lain, Spiritualitas Kristiani tidak diawali dengan ide gambaran tentang
Allah, tetapi di dalam iman akan Sabda Allah yang menjadi manusia (Yoh 1:14), yaitu Yesus
Kristus. Kristuslah pemenuhan Rencana Keselamatan yang dijanjikan Allah. Karena itu,
kehidupan Spiritualitas Kristiani berpusat pada Kristus.

Spiritualitas Kristiani adalah pilihan yang kita ambil untuk “mengenal dan bertumbuh”
dalam hubungan sehari-hari dengan Tuhan Yesus Kristus dengan menaklukkan diri kepada
pelayanan Roh Kudus dalam kehidupan kita. Hal ini berarti bahwa sebagai orang-orang percaya,
kita memutuskan untuk menjaga agar komunikasi kita dengan Roh Kudus tetap terbuka melalui
pengakuan dosa (1 Yoh. 1:9). Ketika kita mendukakan Roh Kudus dengan berdosa (Ef. 4:30; 1
Yoh. 1:5-8), kita mendirikan penghalang antara kita dan Allah. Ketika kita tunduk kepada
pelayanan Roh Kudus, hubungan kita tidak akan dipadamkan (1 Tes. 5:19). Spiritualitas Kristiani
adalah kesadaran persekutuan dengan Roh Kristus yang tidak terputus oleh kedagingan dan
dosa.

Spiritualitas Kristiani mengacu pada nilai- nilai religius yang mengarahkan


tindakan seseorang. Jika nilai-nilai yang dipegang tidak mengarah pada Tuhan, maka
kebahagiaan yang dicapai adalah ‘semu’, sedangkan jika nilai-nilai itu mengarah pada
Tuhan, maka kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan sejati. Meskipun
spiritualitas ini tidak terbatas pada agama tertentu, namun, kita bisa memahami bahwa
spiritualitas mengarah pada Tuhan Sang Pencipta, karena semua manusia diciptakan oleh
Tuhan yang satu dan sama, dan karena hanya di dalam Tuhanlah kita mendapatkan
jawaban atas segala pertanyaan di dalam kehidupan ini.
2.2 Titik Tolak Spiritualitas Kristiani
Spiritualitas Kristiani tidak berawal dari hadirnya seseorang di tempat ibadah atau
terlibatnya seseorang dalam aktivitas keagamaan. Kitab Yesaya menyatakan bahwa
keterlibatan seseorang dengan berbagai upacara dan aktivitas keagamaan tidak menjamin
bahwa orang tersebut sudah memiliki relasi yang benar dengan Allah. Dan Tuhan telah
berfirman:
"Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan
Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya
kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan,...” (Yes. 29:13).
Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan:
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke
dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku
yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku:
Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir
setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu
juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan
berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu
sekalian pembuat kejahatan!” (Mat. 7:21-23).
Spiritualitas Kristiani diawali pada saat seseorang menjadi pohon yang baik, yaitu
pada saat ia menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat pribadinya. Tetapi semua orang
yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka
yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau
dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari
Allah (Yoh. 1:12-13). Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik,
sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon
yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu
menghasilkan buah yang baik (Mat. 7:17-18
Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, telah divonis dengan murka Allah (Rm.
1:18). Maka, ia berada dalam status "pohon yang tidak baik" yang tidak
memungkinkannya untuk menghasilkan "buah yang baik". Untuk kembali kepada
keadaan sesuai dengan tujuan semula, Allah menciptakan manusia, ia harus dilahirkan
baru terlebih dahulu (lihat Yoh. 3:1-21).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristiani yang alkitabiah
merupakan inisiatif dari Allah dan manusia merespons sebagaimana seharusnya sesuai
dengan iman yang telah dianugerahkan kepadanya. Namun, itu semua hanyaiah titik tolak
yang harus dilanjutkan dengan proses pengudusan (Ef. 4:23, Kol. 3:10). Anugerah Allah
memungkinkan terjadinya transformasi pada diri seseorang untuk menjadi serupa dengan
Kristus. Hal itu dimungkinkan dengan adanya peran Roh Kudus dalam diri orang percaya
(Tit. 3:5), sehingga manusia kembali dimungkinkan untuk menjadi gambar Allah yang
mempermuliakan Allah sesuai dengan tujuan Allah sejak penciptaan (Ef. 2:1-10).
2.3 Visi Spiritualitas Kristiani
Kita patut senantiasa bersyukur atas kasih dan karunia Sang Khalik yang nampak
jelas dalam kehidupan, kematian, kebangkitan Yesus Kristus. Sampai saat ini, Roh-Nya
yang Kudus terus berkarya membarui dunia ini. Dalam kasih-Nya, spiritualitas yang
selayaknya kita bangun mengikuti jalan kasih, sebagaimana Yesus sudah mengajarkan
untuk mengasihi Allah, mengasihi sesama dan mengasihi diri sendiri.
Karena itu, visi spiritualitas Kristiani berkaitan dengan sikap mengasihi. Kasih
Kristiani kepada Allah meliputi :
1. Menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti jalan Yesus serta menerima,
menghargai dan bekerjasama dengan sesama yang berbeda jalan iman untuk
menghargai nilai-nilai kemanusiaan sebagai  wujud kasih kepada Allah; (Mat.
16:24; Mrk. 8:34; Luk. 9:23; 1 Yoh. 4:20);
2. Menyimak Firman Allah melalui saat teduh yang rutin, pemahaman dan
pendalaman Alkitab dan mengalami aktivitas pembaruan yang Allah kerjakan
di dalam dunia dengan menjadi rekan sekerja-Nya;
3. Menghormati dan merayakan kuasa Allah. yang Roh dan Kemuliaan-Nya
tercerminkan dalam segenap ciptaan-Nya, termasuk Bumi dan segenap
ekosistem di dalamnya;
4. Mengekspresikan kasih melalui kebaktian dalam liturgi yang jujur, khidmat,
jelas, menginspirasi dan merefleksikan kebenaran Allah sebagaimana yang
diungkapkan dalam Alkitab.
Lebih lanjut kasih Kristiani kepada sesama manusia meliputi :
1. Memandang dan memahami orang lain secara otentik seperti yang telah
dilakukan Yesus, dengan memperlakukan orang lain sebagai yang diciptakan
sesuai dengan gambar dan rupa Allah, tanpa perlakuan diskriminatif
berdasarkan ras, jenis kelamin, usia, kemampuan fisik dan mental,
kebangsaan dan status ekonomi;
2. Berpihak, sebagaimana yang sudah Yesus lakukan, dengan yang tersisih dan
tertekan, terbuang dan sakit, memperjuangkan kedamaian dan keadilan
dengan segenap upaya dan daya;
3. Memperjuangkan kebebasan beragama dan mengupayakan suara-suara
kenabian kepada pemerintah terkait dengan keadaan sosial yang
membutuhkan perhatian bersama segenap komponen masyarakat;
4. Berjalan dengan rendah hati bersama Allah, menyadari kelemahan diri sendiri
sambil dengan tetap jujur memuji dan mencari kebaikan dalam diri orang lain
termasuk terhadap mereka yang menganggap kita sebagai musuh mereka.
Sedangkan kasih Kristiani kepada diri sendiri meliputi :
1. Mendasarkan kehidupan kita dalam iman bahwa di dalam Kristus, segala
sesuatu dijadikan baru dan kita termasuk semua orang amat sangat dikasihi
dengan kasih yang lebih besar dari yang dapat kita bayangkan untuk selama-
lamanya;
2. Menyadari bahwa sebenarnya pikiran dan hati kita pada dasarnya adalah
ciptaan Allah yang kudus, oleh sebab itu baik iman maupun ilmu
pengetahuan juga iman dan keragu-raguan merupakan  proses yang patut
dihargai dalam mencari, menemukan dan mempermuni kebenaran yang
membawa kepada kehidupan karena-Nya;
3. Peduli akan kebugaran tubuh dengan menyediakan waktu yang cukup untuk
menikmati kuasa dan sukacita yang didapat melalui doa, refleksi, ibadah dan
rekreasi yang akan memperlengkapi karya kinerja sehari-hari sebagai wujud
pertanggungjawaban talenta yang dipercayakan-Nya;
4. Menghidupi iman dengan tindakan karena sadar bahwa hidup kita ini
bermakna dan memiliki tujuan. Tindakan iman itu dihayati sebagai panggilan
dan pelayanan yang memperkuat dan mempernyata bukti kasih Allah kepada
dan melalui kita.
2.4 Isi Spiritualitas Kristiani
Dalam Gereja Katolik, terdapat banyak cara penghayatan iman dan spiritualitas. Tetapi,
inti semua spiritualitas Kristiani yang benar adalah keinginan untuk “mengikuti” Yesus. 1

1
Franz Magnis Suseno, Op. Cit., p. 114
Spiritualitas Kristiani berdasarkan identifikasi dalam iman dengan Yesus Kristus yang bagi
orang-orang Kristiani merupakan “jalan, kebenaran dan kehidupan” (Yoh. 1:46). Mengikuti Yesus
berarti membangun sikap-sikap yang diperlihatkan Yesus. Spiritualitas menjadi motivasi untuk
mengubah dunia yang penuh kekerasan, kebencian, penindasan, ketidakadilan dan kedosaan,
menjadi tempat di mana sentuhan cinta kasih Allah dapat dirasakan.
2.5 Dasar Spiritualitas Kristiani : Kerendahan Hati
2.5.1 Pengertian Kerendahan Hati
2.5.1.1 Arti Etimologis Kerendahan Hati
Kerendahan hati atau humility berasal dari kata bahasa Latin humus yang berarti tanah/
bumi. Jadi, kerendahan hati adalah menempatkan diri ‘membumi’ ke tanah. Secara khusus pada
Rabu Abu, Gereja mengingatkan kita akan hal ini: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu
akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19) Betapa dalamnya makna perkataan ini, dan jika kita
renungkan, kita akan semakin mengenal diri kita yang sesungguhnya.

2.5.1.2 Arti Substansial


Ada banyak definisi tentang kerendahan hati. Berikut ini dijelaskan beberapa arti
substansial dari kerendahan hati.

a. Kerendahan Hati: Nilai yang Diperoleh dari Penghormatan kepada Tuhan


Dalam kehidupan rohani Kristiani, kerendahan hati diartikan sebagai ‘nilai yang
diperoleh dari penghormatan yang dalam kepada Tuhan.’ Hal ini melibatkan pengenalan
akan ‘tempat’ kita yang sebenarnya dalam hubungan dengan Allah sebagai Pencipta dan
dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain, dan sikap ini menentukan perbuatan kita.
Kerendahan hati juga mengantar kita untuk mengakui bahwa kita dan segala ciptaan di
dunia ini bukan apa-apa di hadapan Tuhan, dan kerendahan hati mengarahkan kita
untuk hidup sesuai dengan pemahaman ini. Jadi, kerendahan hati membantu kita untuk
melihat segalanya dengan kaca mata Tuhan: kita melihat diri kita yang sesungguhnya,
tidak melebih-lebihkan hal positif yang ada pada kita, namun juga tidak mengingkari
bahwa segalanya itu adalah pemberian Tuhan. Dalam hal ini kerendahan hati
berhubungan dengan kebenaran dan keadilan yang membuat kita mengasihi kebenaran
lebih daripada kita mengasihi diri sendiri. Kebenaran ini memberikan kepada kita
pengetahuan akan diri sendiri, dengan kesadaran bahwa segala yang baik yang ada pada
kita adalah karunia Tuhan, dan sudah selayaknya sesuai dengan keadilan, kita
mempergunakan karunia itu untuk kemuliaan Tuhan (1Tim 1:17). Dengan perkataan lain,
kebenaran membuat kita mengenali karunia-karunia Tuhan, dan keadilan mengarahkan
kita untuk memuliakan Tuhan, Sang Pemberi.

b. Kerendahan Hati: Hasil dari Pengenalan akan Diri Sendiri dan akan Tuhan
Dasar dari kerendahan hati adalah pengenalan akan diri sendiri dan Tuhan. St. Thomas
Aquinas mengatakan bahwa pengenalan akan diri sendiri bermula pada kesadaran
bahwa segala yang baik pada kita datang dari Allah dan milik Allah, sedangkan segala
yang jahat pada kita timbul dari kita sendiri. Pengenalan yang benar tentang Tuhan
menghantar pada pengakuan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia menurut
gambaran-Nya, dan bahwa manusia diciptakan untuk mengasihi, sebab Allah yang
menciptakannya adalah Kasih. Dalam kasih ini, Allah menginginkan persatuan dengan
setiap manusia, sehingga Ia mengirimkan Putera-Nya yang Tunggal untuk
menghapuskan penghalang persatuan ini, yaitu dosa. Kesadaran akan hal ini membawa
kita pada kebenaran: yaitu bahwa kita ini bukan apa-apa, dan Allah adalah segalanya. Di
mata Tuhan kita ini pendosa, tetapi sangat dikasihi oleh-Nya. Keseimbangan antara
kesadaran akan dosa kita dan kesadaran akan kasih Allah ini membawa kita pada
pemahaman akan diri kita yang sesungguhnya. Kesadaran ini menghasilkan kerendahan
hati, yang menurut St. Thomas adalah dasar dari bangunan spiritual atau ‘rumah rohani’
kita.

c. Kerendahan Hati: Ketergantungan kepada Tuhan


Kerendahan hati membuat kita selalu menyadari kelemahan kita dan bergantung kepada
rahmat Tuhan. Hal ini juga dapat diterapkan dalam hal iman, sehingga iman berarti
kerendahan hati secara rohani yang melibatkan akal budi, sehingga seseorang dapat
menerima kesaksian Tuhan tentang Diri-Nya, tentang manusia, dan semua realitas
kehidupan, daripada memegang pendapat sendiri. Jadi, kerendahan hati adalah sikap
hati untuk tunduk kepada Tuhan. Selanjutnya, menurut St. Agustinus kerendahan hati
adalah penyerahan diri kepada Tuhan sehingga kita berusaha untuk menyenangkan hati
Tuhan (bukan diri kita sendiri) di dalam segala perbuatan kita.

2.5.2 Tingkatan Kerendahan Hati


Ada bermacam tingkatan kerendahan hati, tetapi yang akan kita bahas di sini adalah dua
macam tingkatan yang dijabarkan oleh St. Benediktus dan St. Ignatius.

2.5.2.1 Menurut St. Benediktus


Nilai-nilai yang termasuk kerendahan hati adalah ketaatan, kesabaran dan
kesederhanaan. Ketaatan dan kesabaran berkaitan dengan kerendahan hati yang berhubungan
dengan sikap hati, sedangkan kesederhanaan berhubungan dengan sikap yang dapat terlihat
dari luar. St. Benediktus membagi kerendahan hati menjadi 12 hal di mana tujuh di antaranya
berhubungan dengan sikap hati, dan lima di antaranya berhubungan dengan sikap yang terlihat
dari luar. Ketujuh sikap hati yang berdasarkan atas ketaatan dan kesabaran tersebut adalah:

1) Takut akan Tuhan;


2) Ketaatan kepada Tuhan;
3) Ketaatan kepada pembimbing spiritual;
4) Sabar dalam menanggung keadaan yang sukar;
5) Mau mengakui kesalahan kita (terutama kepada pembimbing spiritual);
6) Bersedia untuk menerima hal-hal yang tidak nyaman;
7) Melihat diri sendiri sebagai yang tidak utama.

Sedangkan kelima sikap tubuh yang berhubungan dengan kesederhanaan adalah:

1) Menghindari pemegahan diri sendiri;


2) Hening;
3) Tertawa tidak berlebihan;
4) Tidak banyak bicara;
5) Kesederhanaan dalam bersikap.
Meskipun pengajaran ini pertama-tama ditujukan untuk para religius, namun toh dengan
tingkatan yang wajar dapat diterapkan kepada kita kaum awam. Apalagi jika kita mau
bertumbuh dalam hal rohani, kita-pun perlu mempunyai pembimbing rohani, yaitu umumnya
bapa Pengakuan (pastor pembimbing).

2.5.2.2 Menurut St. Ignatius


Menurut St. Ignatius, terdapat tiga tingkatan kerendahan hati, yaitu :

1) Necessary Humility, yaitu penyerahan diri kepada hukum Tuhan untuk menghindari dosa
berat;
2) Perfect Humility, yaitu ketidak-terikatan pada kekayaan ataupun kemiskinan, kesehatan
ataupun sakit. Yang terpenting adalah menghindari dosa dan kecenderungan berbuat
dosa;
3) Most Perfect Humility, yakni sikap meniru Kristus, termasuk menerima dengan rela
penderitaan (salib) dan penghinaan, dalam persatuan dengan Kristus, demi kasih kita
kepada-Nya.
Kerendahan hati berlawanan dengan kesombongan yang berhubungan dengan
kelimpahan materi, dan anggapan bahwa diri sendiri adalah yang paling berkehendak baik,
paling pandai, dan paling maju dalam hal spiritual (spiritual pride). Kesombongan dalam hal
materi berhubungan dengan hal yang kelihatan seperti kecantikan, kekayaan, nama baik,
pangkat dan kehormatan. Kesombongan materi adalah jenis kesombongan yang paling rendah,
dan paling mudah diatasi untuk mencapai kerendahan hati.

Kesombongan dalam hal berkehendak baik yaitu keinginan untuk tidak tunduk di bawah
siapa pun, memiliki kuasa untuk memerintah, yang menghasilkan ambisi untuk menguasai,
menolak untuk melayani atau tunduk pada otoritas, bahkan menolak untuk tunduk kepada
Tuhan. Bersamaan dengan ini adalah kesombongan akan kepandaian, yang berhubungan
dengan kebiasaan untuk menghakimi segala sesuatu berdasarkan pendapat sendiri, dan enggan
untuk menerima pernyataan sederhana dari pihak yang punya otoritas. Sedangkan orang yang
rendah hati adalah dia yang sadar akan dosa dan kelemahannya, yang tahu bahwa ia-pun dapat
menjadi ‘terhukum’, jika hanya keadilan Tuhan yang berlaku di dunia ini. Belas kasihan yang ia
terima dari Tuhan harus menjadikannya berbelas kasih pada orang lain.
Tingkatan kesombongan yang paling akhir adalah spiritual pride. Karena spiritualitas
adalah karunia, maka kesombongan akan hal ini menjadi sangat ‘berbahaya’. Karunia-karunia
spiritual dapat menjadi ladang bagi kesombongan, sebab jiwa yang sombong dapat
menggunakan karunia-karunia tersebut untuk meninggikan diri, menarik perhatian, mencari
dominasi/ kekuasaan, atau untuk memenangkan ide sendiri. Injil menampilkan jenis
kesombongan ini dalam perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14). Yesus
menolak kesombongan ini, sebab hal itu membuat orang hidup dalam ‘kebohongan’: dari luar
terlihat suci, tetapi sebenarnya jahat. Hal ini bertentangan dengan kerendahan hati yang
berlandaskan kebenaran.

Menurut St. Ignatius, mengikuti teladan Yesus dan cara hidupNya adalah bentuk
kerendahan hati yang paling sempurna; yaitu jika seseorang dengan kehendak bebasnya
memilih untuk hidup miskin seperti Kristus, menderita bersama-Nya daripada menjadi kaya dan
dihormati dan dianggap bijak oleh dunia. Sikap ini didasari oleh kesadaran bahwa Allah
mengasihi kita lebih daripada kita mengasihi diri sendiri, sehingga Ia telah menyerahkan DiriNya
untuk membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati ini tidak dapat
dibandingkan dengan segala pemahaman kita akan kebahagiaan menurut ukuran dunia.
Ketetapan hati meninggalkan kebahagiaan duniawi untuk mendapatkan kebahagiaan surgawi
adalah sikap kerendahan hati yang paling sempurna.

Kerendahan hati menghantarkan kita kepada kesempurnaan kasih dan kekudusan Untuk
mencapai kekudusan atau kesempurnaan kasih, kita harus menggunakan kemampuan kita
sebagai karunia dari Kristus. Kita harus meniru teladan-Nya dan mencari kehendak Tuhan dalam
segala sesuatu.

Jadi agar dapat mengasihi, kita harus rendah hati di dalam pikiran, perkataan maupun
perbuatan. Karena itu, ada beberapa hal penting yang ditegaskan oleh St. Ignatius.

a. Kerendahan hati di dalam pikiran adalah kita tidak boleh cemburu atau iri, jika
orang lain dipuji, kita harus melihat kebaikan dalam diri orang lain, dan kita harus
bergembira atas kebaikan dan kesuksesan orang lain. Kita harus ingat akan
pengajaran Rasul Paulus, ”… dengan rendah hati, anggaplah orang lain lebih utama
dari diri kita” (Fil 2:3). Kita harus selalu menyadari bahwa kita hanya semata-mata
alat di tangan Tuhan, dan selayaknya segala pujian ditujukan kepada-Nya.
b. Kita tidak boleh bicara yang buruk tentang siapapun dan bicara yang baik-baik
tentang diri sendiri, atau lebih tepatnya, sebaiknya kita membatasi pembicaraan
tentang diri kita sendiri supaya kita tidak jatuh dalam perangkap kesombongan. Jika
ada orang berbuat salah, kita tidak boleh menghakimi, atau memaki, tetapi lebih
baik kita berdoa untuk pertobatannya. Ada baiknya kita menyadari, jika kita berada
persis di dalam situasi mereka, bisa jadi kita berbuat lebih buruk daripada mereka.
Kita harus berjuang supaya tidak marah pada mereka yang menentang kita, tetapi
menerima koreksi dengan lapang hati, demi pertumbuhan rohani kita.
c. Di dalam perbuatan kita harus mau mengambil tempat yang rendah/ tidak utama,
dan tidak menginginkan untuk diperlakukan istimewa. Dalam segala sesuatu kita
tidak mencari pujian, tetapi mencari bagaimana agar dapat melakukan sesuatu yang
berguna, untuk kebaikan. Kita juga harus siap meminta maaf, untuk segala
kesalahan yang kita lakukan, baik terhadap Tuhan dan orang lain, dan rajin untuk
mengucap syukur untuk segala karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Sikap
seperti ini adalah sikap seorang pelayan, oleh karena itu, kerendahan hati menjadi
dasar dari pelayanan Kristiani.
2.5.3 Makna Kerendahan Hati
Kerendahan hati adalah salah satu dari nilai-nilai dasar Spiritualitas Kristiani. Santo
Agustinus mengatakan bahwa kerendahan hati adalah jalan yang pasti membawa seseorang
kepada Tuhan. Santo Agustinus bahkan mengatakan, pertama-tama, kerendahan hati,
kemudian, kerendahan hati, dan yang terakhir, kerendahan hati; untuk menekankan pentingnya
kerendahan hati untuk mencapai kesempurnaan rohani. Dalam spiritualitas, kesempurnaan
berarti kekudusan, sehingga untuk menjadi kudus, kita harus pertama-tama menjadi orang yang
rendah hati. Kerendahan hati adalah dasar dari semua kebajikan yang lain, sebab tanpa
kerendahan hati, kita tidak dapat sungguh-sungguh memiliki kebajikan-kebajikan yang lain.
Kerendahan hati juga disebut sebagai ‘ibu’ dari semua kebajikan, sebab ia melahirkan ketaatan,
takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhanaan, kelemah-
lembutan dan damai.

2.5.4 Kerendahan Hati dan Kekudusan adalah Yang Dikehendaki Allah bagi Kita
Tuhan Yesus menghendaki agar kita belajar daripadaNya kelemahlembutan dan
kerendahan hati (Mat 11:29). Ia juga mengajarkan pada kita untuk mengejar kesempurnaan,
yaitu kekudusan (Im 19:2; Mat 5:48). Panggilan untuk hidup kudus inilah yang diserukan oleh
Konsili Vatikan II, yang dijelaskan secara mendalam pada Konstitusi Dogmatik tentang Gereja
(Lumen Gentium) Bab V. Kekudusan dimaksudkan untuk semua orang, tidak saja untuk para
religius. Untuk mencapai kesempurnaannya, kita harus memulai dari langkah pertama, yaitu
kerendahan hati.

Kerendahan hati adalah lawan dari kesombongan yang menjadi dosa pertama dari
manusia pertama. Kesombongan adalah sikap ‘menolak’ karunia Allah, seperti kita lihat pada
kisah Adam dan Hawa (Kej 2:8-3:14), sedangkan kerendahan hati adalah sikap yang diperlukan
untuk menerima karunia Allah. Alkitab berkata, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi
mengasihi orang yang rendah hati” (1 Pet 5:5). Kerendahan hati ini begitu penting bagi Allah,
sehingga menempati urutan pertama dari Delapan Sabda Bahagia: “Berbahagialah orang-orang
yang miskin hatinya, karena merekalah yang memiliki Kerajaan Surga” (Mat 5:3). Mereka yang
rendah hati, yang dimurnikan dan diterangi Roh Kudus, adalah orang-orang yang siap untuk
menerima karunia-karunia Roh Kudus untuk maksud perutusan.

2.6 Kriteria dan Proses Pertumbuhan Spiritualitas Kristiani


Seseorang yang telah menjadi anak Tuhan tidak secara otomatis akan langsung
hidup sebagai anak Tuhan. Pola pikir manusia menghasilkan perilaku yang bersumber
dari pola pikir tersebut. Dengan kata lain, selama pohon itu bukan pohon yang baik, maka
ia tidak akan menghasilkan buah yang baik. Seseorang harus memiliki pola pikir Ilahi dan
hidup berdasarkan pola pikir tersebut. Pada waktu Kitab Suci memakai kata "mengenal
Allah," yang dimaksudkan bukan hanya sekadar mengetahui secara kognitif, melainkan
juga hidup berdasarkan apa yang ia tahu.
Bagaimana kita mengetahui seseorang telah mencapai suatu kedewasaan rohani
yang sebagaimana seharusnya? Kuantitas keterlibatan seseorang dalam aktivitas
keagamaan tidak dapat dijadikan tolok ukur. Formasi spiritualitas diawali dengan relasi
yang benar dengan Allah, yaitu pada saat seseorang menerima Yesus Kristus sebagai Juru
Selamatnya. Perubahan status dari orang berdosa menjadi orang kudus tidak secara
otomatis menjadikan seseorang dewasa dalam kerohaniannya. Sebagai orang yang telah
menerima anugerah keselamatan, ia diharapkan untuk menghasilkan perbuatan yang
sesuai dengan iman yang telah menyelamatkannya.
Orang kudus tidak dapat berbuah Roh Kudus di luar Firman Tuhan. Karya Roh
Kudus tidak pernah berlawanan dengan Firman Tuhan. Karena itu, seperti yang
dinyatakan Tuhan Yesus, setiap orang percaya harus dikuasai oleh Firman Tuhan dan
menjadi pelaku firman sehingga ia dapat berbuah banyak: "Jikalau kamu tinggal di dalam
Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan
kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu
berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku" (Yoh. 15:17-18).
Berbuah banyak tercakup di dalamnya adalah melakukan semua perintah Tuhan.
Perintah Tuhan itu adalah tetap berada di dalam persekutuan yang benar dengan Allah,
dengan memelihara kekudusan hidup, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri,
serta menjalankan amanat agung dan mandat budaya.
Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul
salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan
kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan
memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan
nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat. 16:24-
26).
2.7 Ciri-Ciri Spiritualitas Kristiani
Tujuan akhir Spiritualitas Kristiani adalah kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih
kepada Tuhan dan sesama. Untuk mencapai hal ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok
ukurnya melainkan kesetiaan untuk bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita tidak bisa
berbuah (bdk. Yoh 15:15). Spiritualitas Kristiani memiliki beberapa ciri, yakni :

1. Berpusat pada Kristus. Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual, sebab di dalam Dia,
Tuhan menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu spiritualitas
tergantung dari semua pengajaran Kristus.
2. Melalui Kristus menuju kesatuan dengan Allah Tritunggal. Karena Kristus adalah Pribadi
kedua di dalam kesatuan Tritunggal Maha Kudus, maka jika kita bersatu dengan Kristus,
maka kita akan bersatu dengan Allah Tritunggal.
3. Keikutsertaan di dalam misteri Paska Kristus (salib, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke
surga), melalui rahmat Tuhan, iman, kasih, dan nilai-nilai Kristiani lainnya. Singkatnya,
Spiritualitas Katolik tak terlepas dari Salib Kristus,[12] penderitaan dan kesadaran diri
akan dosa- dosa kita yang membawa kita pada kebangkitan di dalam Dia. Karena misi
Keselamatan Kristus diperoleh melalui Salib, maka sebagai pengikutNya, kita-pun
selayaknya mengambil bagian dalam penderitaan itu, terutama dengan kesediaan untuk
terus-menerus bertobat dan mau menanggung penderitaan demi keselamatan sesama,
dan dengan demikian kita dapat mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Jika kita
hanya mau mengambil bagian dalam ‘kemuliaan’ tanpa mau mengambil bagian dalam
‘penderitaan’ –yang dizinkan oleh Tuhan untuk terjadi di dalam hidup kita- maka kita
tidak menerapkan Injil dengan seutuhnya.
4. Berdasarkan kesaksian akan Kasih Tuhan. Kitab Suci bukan hanya wahyu Tuhan, tapi juga
pernyataan akan pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan itu. Apa yang dialami oleh
Adam dan Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria, Rasul Petrus dan Paulus, dapat
dialami oleh kita semua.
5. Disertai kesadaran akan dosa dan belas kasihan Tuhan. Spiritualitas Katolik berlandaskan
atas keyakinan akan Kasih Tuhan di atas segalanya yang mampu mengubah segala
sesuatu. Pada saat Tuhan mengasihi kita, dan jika kita membuang segala dosa yang
menghalangi kita untuk menerima kasih-Nya, dan dengan iman dan doa, maka kita
dapat sungguh diubah, dikuduskan dan dimampukan berbuat baik.
6. Mengarah pada kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah.
7. Melihat Bunda Maria sebagai contoh teladan. Spiritualitas Katolik menerima segala
kebijaksanaan Tuhan yang selalu menggunakan peran pengantara, yaitu Musa, para
nabi, Yohanes Pembaptis, dan terutama Bunda Maria untuk menyelenggarakan karya
keselamatan-Nya. Karya Tuhan yang ajaib juga nampak dalam mukjizat keperawanan
Maria dan melalui ketaatan dan kesediaan Maria, Allah menganugerahkan rahmat yang
tiada batasnya, yaitu kelahiran Yesus Kristus, Penyelamat kita di dunia.
8. Mangacu pada Gereja-Nya, Gereja Katolik. Gereja merupakan sumber atau alat yang
meneruskan rahmat Tuhan. Rahmat Tuhan ini kita peroleh melalui sakramen-sakramen
terutama Ekaristi; dan juga melalui ketaatan kita pada para penerus Rasul Kristus yang
telah dipilih oleh- Nya. Gereja sebagai kesatuan (komuni) manusia dengan Tuhan, selalu
memperjuangkan martabat manusia, dan memperhatikan kesatuannya dengan para
orang kudus; sebab melalui kesatuan ini Allah dimuliakan.

Anda mungkin juga menyukai