Spiritualitas Kristiani adalah pilihan yang kita ambil untuk “mengenal dan bertumbuh”
dalam hubungan sehari-hari dengan Tuhan Yesus Kristus dengan menaklukkan diri kepada
pelayanan Roh Kudus dalam kehidupan kita. Hal ini berarti bahwa sebagai orang-orang percaya,
kita memutuskan untuk menjaga agar komunikasi kita dengan Roh Kudus tetap terbuka melalui
pengakuan dosa (1 Yoh. 1:9). Ketika kita mendukakan Roh Kudus dengan berdosa (Ef. 4:30; 1
Yoh. 1:5-8), kita mendirikan penghalang antara kita dan Allah. Ketika kita tunduk kepada
pelayanan Roh Kudus, hubungan kita tidak akan dipadamkan (1 Tes. 5:19). Spiritualitas Kristiani
adalah kesadaran persekutuan dengan Roh Kristus yang tidak terputus oleh kedagingan dan
dosa.
1
Franz Magnis Suseno, Op. Cit., p. 114
Spiritualitas Kristiani berdasarkan identifikasi dalam iman dengan Yesus Kristus yang bagi
orang-orang Kristiani merupakan “jalan, kebenaran dan kehidupan” (Yoh. 1:46). Mengikuti Yesus
berarti membangun sikap-sikap yang diperlihatkan Yesus. Spiritualitas menjadi motivasi untuk
mengubah dunia yang penuh kekerasan, kebencian, penindasan, ketidakadilan dan kedosaan,
menjadi tempat di mana sentuhan cinta kasih Allah dapat dirasakan.
2.5 Dasar Spiritualitas Kristiani : Kerendahan Hati
2.5.1 Pengertian Kerendahan Hati
2.5.1.1 Arti Etimologis Kerendahan Hati
Kerendahan hati atau humility berasal dari kata bahasa Latin humus yang berarti tanah/
bumi. Jadi, kerendahan hati adalah menempatkan diri ‘membumi’ ke tanah. Secara khusus pada
Rabu Abu, Gereja mengingatkan kita akan hal ini: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu
akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19) Betapa dalamnya makna perkataan ini, dan jika kita
renungkan, kita akan semakin mengenal diri kita yang sesungguhnya.
b. Kerendahan Hati: Hasil dari Pengenalan akan Diri Sendiri dan akan Tuhan
Dasar dari kerendahan hati adalah pengenalan akan diri sendiri dan Tuhan. St. Thomas
Aquinas mengatakan bahwa pengenalan akan diri sendiri bermula pada kesadaran
bahwa segala yang baik pada kita datang dari Allah dan milik Allah, sedangkan segala
yang jahat pada kita timbul dari kita sendiri. Pengenalan yang benar tentang Tuhan
menghantar pada pengakuan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia menurut
gambaran-Nya, dan bahwa manusia diciptakan untuk mengasihi, sebab Allah yang
menciptakannya adalah Kasih. Dalam kasih ini, Allah menginginkan persatuan dengan
setiap manusia, sehingga Ia mengirimkan Putera-Nya yang Tunggal untuk
menghapuskan penghalang persatuan ini, yaitu dosa. Kesadaran akan hal ini membawa
kita pada kebenaran: yaitu bahwa kita ini bukan apa-apa, dan Allah adalah segalanya. Di
mata Tuhan kita ini pendosa, tetapi sangat dikasihi oleh-Nya. Keseimbangan antara
kesadaran akan dosa kita dan kesadaran akan kasih Allah ini membawa kita pada
pemahaman akan diri kita yang sesungguhnya. Kesadaran ini menghasilkan kerendahan
hati, yang menurut St. Thomas adalah dasar dari bangunan spiritual atau ‘rumah rohani’
kita.
1) Necessary Humility, yaitu penyerahan diri kepada hukum Tuhan untuk menghindari dosa
berat;
2) Perfect Humility, yaitu ketidak-terikatan pada kekayaan ataupun kemiskinan, kesehatan
ataupun sakit. Yang terpenting adalah menghindari dosa dan kecenderungan berbuat
dosa;
3) Most Perfect Humility, yakni sikap meniru Kristus, termasuk menerima dengan rela
penderitaan (salib) dan penghinaan, dalam persatuan dengan Kristus, demi kasih kita
kepada-Nya.
Kerendahan hati berlawanan dengan kesombongan yang berhubungan dengan
kelimpahan materi, dan anggapan bahwa diri sendiri adalah yang paling berkehendak baik,
paling pandai, dan paling maju dalam hal spiritual (spiritual pride). Kesombongan dalam hal
materi berhubungan dengan hal yang kelihatan seperti kecantikan, kekayaan, nama baik,
pangkat dan kehormatan. Kesombongan materi adalah jenis kesombongan yang paling rendah,
dan paling mudah diatasi untuk mencapai kerendahan hati.
Kesombongan dalam hal berkehendak baik yaitu keinginan untuk tidak tunduk di bawah
siapa pun, memiliki kuasa untuk memerintah, yang menghasilkan ambisi untuk menguasai,
menolak untuk melayani atau tunduk pada otoritas, bahkan menolak untuk tunduk kepada
Tuhan. Bersamaan dengan ini adalah kesombongan akan kepandaian, yang berhubungan
dengan kebiasaan untuk menghakimi segala sesuatu berdasarkan pendapat sendiri, dan enggan
untuk menerima pernyataan sederhana dari pihak yang punya otoritas. Sedangkan orang yang
rendah hati adalah dia yang sadar akan dosa dan kelemahannya, yang tahu bahwa ia-pun dapat
menjadi ‘terhukum’, jika hanya keadilan Tuhan yang berlaku di dunia ini. Belas kasihan yang ia
terima dari Tuhan harus menjadikannya berbelas kasih pada orang lain.
Tingkatan kesombongan yang paling akhir adalah spiritual pride. Karena spiritualitas
adalah karunia, maka kesombongan akan hal ini menjadi sangat ‘berbahaya’. Karunia-karunia
spiritual dapat menjadi ladang bagi kesombongan, sebab jiwa yang sombong dapat
menggunakan karunia-karunia tersebut untuk meninggikan diri, menarik perhatian, mencari
dominasi/ kekuasaan, atau untuk memenangkan ide sendiri. Injil menampilkan jenis
kesombongan ini dalam perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14). Yesus
menolak kesombongan ini, sebab hal itu membuat orang hidup dalam ‘kebohongan’: dari luar
terlihat suci, tetapi sebenarnya jahat. Hal ini bertentangan dengan kerendahan hati yang
berlandaskan kebenaran.
Menurut St. Ignatius, mengikuti teladan Yesus dan cara hidupNya adalah bentuk
kerendahan hati yang paling sempurna; yaitu jika seseorang dengan kehendak bebasnya
memilih untuk hidup miskin seperti Kristus, menderita bersama-Nya daripada menjadi kaya dan
dihormati dan dianggap bijak oleh dunia. Sikap ini didasari oleh kesadaran bahwa Allah
mengasihi kita lebih daripada kita mengasihi diri sendiri, sehingga Ia telah menyerahkan DiriNya
untuk membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati ini tidak dapat
dibandingkan dengan segala pemahaman kita akan kebahagiaan menurut ukuran dunia.
Ketetapan hati meninggalkan kebahagiaan duniawi untuk mendapatkan kebahagiaan surgawi
adalah sikap kerendahan hati yang paling sempurna.
Kerendahan hati menghantarkan kita kepada kesempurnaan kasih dan kekudusan Untuk
mencapai kekudusan atau kesempurnaan kasih, kita harus menggunakan kemampuan kita
sebagai karunia dari Kristus. Kita harus meniru teladan-Nya dan mencari kehendak Tuhan dalam
segala sesuatu.
Jadi agar dapat mengasihi, kita harus rendah hati di dalam pikiran, perkataan maupun
perbuatan. Karena itu, ada beberapa hal penting yang ditegaskan oleh St. Ignatius.
a. Kerendahan hati di dalam pikiran adalah kita tidak boleh cemburu atau iri, jika
orang lain dipuji, kita harus melihat kebaikan dalam diri orang lain, dan kita harus
bergembira atas kebaikan dan kesuksesan orang lain. Kita harus ingat akan
pengajaran Rasul Paulus, ”… dengan rendah hati, anggaplah orang lain lebih utama
dari diri kita” (Fil 2:3). Kita harus selalu menyadari bahwa kita hanya semata-mata
alat di tangan Tuhan, dan selayaknya segala pujian ditujukan kepada-Nya.
b. Kita tidak boleh bicara yang buruk tentang siapapun dan bicara yang baik-baik
tentang diri sendiri, atau lebih tepatnya, sebaiknya kita membatasi pembicaraan
tentang diri kita sendiri supaya kita tidak jatuh dalam perangkap kesombongan. Jika
ada orang berbuat salah, kita tidak boleh menghakimi, atau memaki, tetapi lebih
baik kita berdoa untuk pertobatannya. Ada baiknya kita menyadari, jika kita berada
persis di dalam situasi mereka, bisa jadi kita berbuat lebih buruk daripada mereka.
Kita harus berjuang supaya tidak marah pada mereka yang menentang kita, tetapi
menerima koreksi dengan lapang hati, demi pertumbuhan rohani kita.
c. Di dalam perbuatan kita harus mau mengambil tempat yang rendah/ tidak utama,
dan tidak menginginkan untuk diperlakukan istimewa. Dalam segala sesuatu kita
tidak mencari pujian, tetapi mencari bagaimana agar dapat melakukan sesuatu yang
berguna, untuk kebaikan. Kita juga harus siap meminta maaf, untuk segala
kesalahan yang kita lakukan, baik terhadap Tuhan dan orang lain, dan rajin untuk
mengucap syukur untuk segala karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Sikap
seperti ini adalah sikap seorang pelayan, oleh karena itu, kerendahan hati menjadi
dasar dari pelayanan Kristiani.
2.5.3 Makna Kerendahan Hati
Kerendahan hati adalah salah satu dari nilai-nilai dasar Spiritualitas Kristiani. Santo
Agustinus mengatakan bahwa kerendahan hati adalah jalan yang pasti membawa seseorang
kepada Tuhan. Santo Agustinus bahkan mengatakan, pertama-tama, kerendahan hati,
kemudian, kerendahan hati, dan yang terakhir, kerendahan hati; untuk menekankan pentingnya
kerendahan hati untuk mencapai kesempurnaan rohani. Dalam spiritualitas, kesempurnaan
berarti kekudusan, sehingga untuk menjadi kudus, kita harus pertama-tama menjadi orang yang
rendah hati. Kerendahan hati adalah dasar dari semua kebajikan yang lain, sebab tanpa
kerendahan hati, kita tidak dapat sungguh-sungguh memiliki kebajikan-kebajikan yang lain.
Kerendahan hati juga disebut sebagai ‘ibu’ dari semua kebajikan, sebab ia melahirkan ketaatan,
takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhanaan, kelemah-
lembutan dan damai.
2.5.4 Kerendahan Hati dan Kekudusan adalah Yang Dikehendaki Allah bagi Kita
Tuhan Yesus menghendaki agar kita belajar daripadaNya kelemahlembutan dan
kerendahan hati (Mat 11:29). Ia juga mengajarkan pada kita untuk mengejar kesempurnaan,
yaitu kekudusan (Im 19:2; Mat 5:48). Panggilan untuk hidup kudus inilah yang diserukan oleh
Konsili Vatikan II, yang dijelaskan secara mendalam pada Konstitusi Dogmatik tentang Gereja
(Lumen Gentium) Bab V. Kekudusan dimaksudkan untuk semua orang, tidak saja untuk para
religius. Untuk mencapai kesempurnaannya, kita harus memulai dari langkah pertama, yaitu
kerendahan hati.
Kerendahan hati adalah lawan dari kesombongan yang menjadi dosa pertama dari
manusia pertama. Kesombongan adalah sikap ‘menolak’ karunia Allah, seperti kita lihat pada
kisah Adam dan Hawa (Kej 2:8-3:14), sedangkan kerendahan hati adalah sikap yang diperlukan
untuk menerima karunia Allah. Alkitab berkata, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi
mengasihi orang yang rendah hati” (1 Pet 5:5). Kerendahan hati ini begitu penting bagi Allah,
sehingga menempati urutan pertama dari Delapan Sabda Bahagia: “Berbahagialah orang-orang
yang miskin hatinya, karena merekalah yang memiliki Kerajaan Surga” (Mat 5:3). Mereka yang
rendah hati, yang dimurnikan dan diterangi Roh Kudus, adalah orang-orang yang siap untuk
menerima karunia-karunia Roh Kudus untuk maksud perutusan.
1. Berpusat pada Kristus. Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual, sebab di dalam Dia,
Tuhan menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu spiritualitas
tergantung dari semua pengajaran Kristus.
2. Melalui Kristus menuju kesatuan dengan Allah Tritunggal. Karena Kristus adalah Pribadi
kedua di dalam kesatuan Tritunggal Maha Kudus, maka jika kita bersatu dengan Kristus,
maka kita akan bersatu dengan Allah Tritunggal.
3. Keikutsertaan di dalam misteri Paska Kristus (salib, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke
surga), melalui rahmat Tuhan, iman, kasih, dan nilai-nilai Kristiani lainnya. Singkatnya,
Spiritualitas Katolik tak terlepas dari Salib Kristus,[12] penderitaan dan kesadaran diri
akan dosa- dosa kita yang membawa kita pada kebangkitan di dalam Dia. Karena misi
Keselamatan Kristus diperoleh melalui Salib, maka sebagai pengikutNya, kita-pun
selayaknya mengambil bagian dalam penderitaan itu, terutama dengan kesediaan untuk
terus-menerus bertobat dan mau menanggung penderitaan demi keselamatan sesama,
dan dengan demikian kita dapat mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Jika kita
hanya mau mengambil bagian dalam ‘kemuliaan’ tanpa mau mengambil bagian dalam
‘penderitaan’ –yang dizinkan oleh Tuhan untuk terjadi di dalam hidup kita- maka kita
tidak menerapkan Injil dengan seutuhnya.
4. Berdasarkan kesaksian akan Kasih Tuhan. Kitab Suci bukan hanya wahyu Tuhan, tapi juga
pernyataan akan pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan itu. Apa yang dialami oleh
Adam dan Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria, Rasul Petrus dan Paulus, dapat
dialami oleh kita semua.
5. Disertai kesadaran akan dosa dan belas kasihan Tuhan. Spiritualitas Katolik berlandaskan
atas keyakinan akan Kasih Tuhan di atas segalanya yang mampu mengubah segala
sesuatu. Pada saat Tuhan mengasihi kita, dan jika kita membuang segala dosa yang
menghalangi kita untuk menerima kasih-Nya, dan dengan iman dan doa, maka kita
dapat sungguh diubah, dikuduskan dan dimampukan berbuat baik.
6. Mengarah pada kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah.
7. Melihat Bunda Maria sebagai contoh teladan. Spiritualitas Katolik menerima segala
kebijaksanaan Tuhan yang selalu menggunakan peran pengantara, yaitu Musa, para
nabi, Yohanes Pembaptis, dan terutama Bunda Maria untuk menyelenggarakan karya
keselamatan-Nya. Karya Tuhan yang ajaib juga nampak dalam mukjizat keperawanan
Maria dan melalui ketaatan dan kesediaan Maria, Allah menganugerahkan rahmat yang
tiada batasnya, yaitu kelahiran Yesus Kristus, Penyelamat kita di dunia.
8. Mangacu pada Gereja-Nya, Gereja Katolik. Gereja merupakan sumber atau alat yang
meneruskan rahmat Tuhan. Rahmat Tuhan ini kita peroleh melalui sakramen-sakramen
terutama Ekaristi; dan juga melalui ketaatan kita pada para penerus Rasul Kristus yang
telah dipilih oleh- Nya. Gereja sebagai kesatuan (komuni) manusia dengan Tuhan, selalu
memperjuangkan martabat manusia, dan memperhatikan kesatuannya dengan para
orang kudus; sebab melalui kesatuan ini Allah dimuliakan.