Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Cybersex

1. Pengertian Perilaku Cybersex

Pesatnya perkembangan internet membawa segala kelebihan dan

manfaatnya, serta permasalahan lainnya. Salah satunya adalah perilaku

cybersex. Cooper (dalam Novitriani, 2018) mendefinisikan perilaku

cybersex adalah aktivitas yang mengandung unsur pornografi. Seperti,

gambar erotis, mengobrol tentang seks, bertukar foto, atau mengirim

pesan email tentang seks. Sedangkan menurut Cooper (dalam Sari &

Purba, 2012) perilaku cybersex adalah sekumpulan video dengan sisi

pornografi yang tersebar luas di Internet dan digunakan untuk

melakukan aktivitas yang merangsang serta memberikan kenikmatan

seksual. Kegiatan ini termasuk melihat gambar erotis, berpartisipasi

dalam obrolan seks, bertukar gambar, dan mengirim email seks.

Sementara itu Maheu (dalam Sari & Purba, 2012) juga

mendefinisikan cybersex lebih jauh. Hal ini terjadi ketika seseorang

menggunakan komputer yang berisi perangkat lunak atau teks, suara,

dan gambar yang diturunkan dari Internet untuk rangsangan seksual,

khususnya termasuk dua orang atau lebih yang berinteraksi di Internet.

Perilaku Cybersex adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk

kesenangan seksual melalui media dimana koneksi internet disimpan

pada gadget atau computer. (Novitriani, 2018).


Wery & Billieux (dalam Lisnawati, 2019) mendefinisikan cybersex

sebagai sesuatu yang terlibat dalam aktivitas seperti melihat pornografi

dan percakapan seksual, melakukan aktivitas seksual secara online

menggunakan perangkat webcam (seks kamera web), mencari pasangan

seksual secara online (kencan online). Namun, aktivitas yang paling

sering dilakukan dari cybersex di antaranya adalah menonton pornografi

khususnya dilakukan oleh pria. Perilaku cybersex adalah aktivitas online

dengan mencari aktivitas seksual, seperti melihat pornografi, tujuan

kognitif atau rekreasi, dengan tujuan masturbasi dengan pasangan

seksual tertentu. (Goldberg dalam Lisnawati, 2019)

2. Aspek-aspek Perilaku Cybersex

Menurut Cooper (dalam Agustina & Hafiza, 2018) mencantumkan

beberapa aspek yang ada pada perilaku cybersex, yaitu:

1. Aktivitas, serangkaian tindakan individu yang dilakukan melalui

komputer atau internet, yaitu aktivitas seperti, melihat gambar

porno, mengobrol tentang seks, bertukar pesan, atau mengirim email

tentang seks.

2. Refleksi, perilaku cybersex merefleksikan suatu keinginan dan

kebutuhan pribadi yang tidak terpenuhi atau tidak didapat, karena

individu yang terlibat dalam perilaku cybersex tidak dapat mencapai

kesenangan dan kepuasan yang sama dalam kehidupan nyata.


3. Kesenangan, individu yang terlibat dalam perilaku cybersex dengan

tujuan menikmati akses atau aktivitas yang didalamnya terdapat

ruang obrolan bermuatan seksual atau pornografi.

4. Rangsangan, perilaku cybersex biasanya akan menimbulkan suatu

isyarat seksual, yang biasanya ditemukan melalui chat room seperti

menampilkan tulisan seolah-olah sedang melakukan aktivitas

seksual sehingga timbul suatu ransangan.

Sedangkan menurut Grubbs, Volk, & Sessoms (dalam Harmaini dan

Novitriani 2018) memperbaharui dengan mengemukakan beberapa

aspek penting yang ada pada cybersex, yang berdasarkan pada teori dari

Delmonico, yaitu

1. Tingkat kecanduan, dimana semakin seringnya individu melihat

tontonan seksual atau pornografi di internet akan menambah

tingkat kecanduannya pula. Semakin tinggi tingkat kecanduan

menyebabkan semakin berkurangnya kemampuan untuk

mengontrol diri menghindari pornografi.

2. Perasaan bersalah, yaitu munculnya perasaan bersalah ketika

bersentuhan dengan pornografi dan seksualitas. Semakin tinggi

perasaan bersalah yang dimiliki seorang individu

mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat kecanduan yang

dimiliki.

3. Perilaku online seksual-sosial, perilaku kecanduan pornografi

atau cybersex ini akan mempengaruhi kehidupan sosial individu,


mereka akan lebih berfokus dan menghabiskan waktu untuk

melihat tayangan pornografi yang dapat menimbulkan

kesenangan bagi mereka, dan melupakan kegiatan-kegiatan

yang seharusnya bersifat konstruktif dan positif.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cybersex

Menurut Cooper (dalam Sari & Purba, 2012) mengemukakan. Ada

tiga komponen yang melibatkan orang dalam melakukan aktivitas

cybersex, disingkat Triple Engine, yaitu:

1. Aksesibilitas mengacu pada fakta bahwa Internet menawarkan

jutaan situs porno dan ruang obrolan yang menawarkan peluang seks

dunia maya.

2. Keterjangkauan. Terjangkau berarti Anda dapat mengakses situs-

situs pornografi yang disediakan internet tanpa biaya tinggi.

3. Anonimitas adalah seseorang yang tidak perlu khawatir dikenali

oleh orang lain.

Sedangkan Carners, Delmonico & Griffin (dalam Sari & Purba,

2012) Menambahkan dua faktor yang menyebabkan mengapa individu

terlibat dalam perilaku cybersex.

1. Isolation. Isolation mengacu pada kemampuan individu untuk

memisahkan dan berpartisipasi dalam bebuah fantasi yang dipilih

tanpa resiko transmisi seksual atau gangguan dari dunia nyata.

2. Fantasy mengacu pada individu yang memiliki kesempatan untuk

mengembangkan fantasy sexual tanpa takut ditolak.


B. Kontrol Diri

1. Pengertian Kontrol Diri

Kontrol diri menurut Borba (dalam Haryani & Herwanto, 2015)

adalah kemampuan tubuh dan pikiran untuk melakukan apa yang

seharusnya dilakukan. Dalam hal ini, kontrol diri memungkinkan

individu untuk membuat pilihan yang tepat ketika menghadapi godaan,

tetapi kemudian pikiran dan pikiran buruk muncul di kepalanya. Gufron

dan Risnawati (dalam Haryani & Herwanto, 2015) menambahkan

bahwa kontrol diri mengacu pada bagaimana individu mengendalikan

emosi dan dorongan dari dalam ke luar. Kontrol diri adalah kemampuan

untuk mengarahkan tindakan seseorang dalam hal kemampuan

seseorang untuk menekan impuls dan perilaku impulsif. (Cahplin dalam

Haryani & Herwanto, 2015).

Menurut Averill (dalam Lisnawati, 2019) kontrol diri adalah

kemampuan untuk menyusun, mengarahkan, dan mengatur, tindakan

yang dapat mengarah ke arah yang positif. Individu yang sangat disiplin

merasa bahwa mereka dapat mengatur, dan mengarahkan segala sesuatu

yang mempengaruhi perilaku mereka.

2. Aspek-aspek Kontrol Diri

Aspek-aspek kontrol diri menurut Ghufron dan Risnawita (dalam

Haryani & Herwanto, 2015) meliputi tiga hal, yaitu:


1. Kontrol perilaku adalah kesediaan seseorang untuk merespons

suatu stimulus yang secara langsung menyebabkan situasi yang

tidak menyenangkan dan segera meramalkannya.

2. Kontrol kognitif, yaitu, kemampuan individu untuk memproses

informasi yang tidak diinginkan dengan mengabaikan tekanan

atau mengaitkannya dengan suatu peristiwa.

3. Manajemen keputusan, kemampuan orang untuk memilih hasil

atau tindakan berdasarkan keyakinan

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Menurut Hurlock (dalam Khairunnisa, 2013) seperti faktor

psikologis lainnya kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain:

a. Faktor internal, mempengaruhi pengendalian diri seseorang adalah

faktor usia dan kedewasaan.

b. Faktor eksternal, termasuk keluarga. Lingkungan keluarga terutama

orang tua dapat menentukan kemampuan untuk mengendalikan diri

sendiri.

4. Jenis-jenis Kontrol Diri

Block & Block (dalam Khairunnisa, 2013) membagi kontrol diri

menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Over control, yaitu kontrol yang berlebihan yang membuat

banyak orang banyak mengendalikan dirinya serta tidak

menanggapi rangsangan.
b. Under control, yaitu kecenderungan untuk impuls gratis tanpa

perhitungan.

c. Appropriate control, yaitu manajemen impuls untuk mengontrol

pribadi sehinggal mendapatkan impuls yang tepat.

C. Kerangka Berpikir

Pada kalangan mahasiswa gadget sangat berperan penting dalam

kehidupan. Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang diharapkan dapat

memahami keadaan suatu bangsa serta negara dan memperluas ilmunya di

berbagai bidang. Menurut Fauziah, (2015) rata-rata usia pada mahasiswa S1

adalah 18-22 tahun yang tergolong dewasa awal, yaitu peralihan dari masa

remaja ke masa dewasa. Masa dewasa awal, dimulai seseorang dari usia 20

tahun hingga tercapainya kematangan di umur 40 tahun (Hurlock dalam

Franzfabian & Dewi, 2015).

Mahasiswa memerlukan kontrol diri agar dapat mengendalikan diri.

Karena pada fase ini sangat mudah untuk mengakses situs-situs seksual.

Pada dasarnya kontrol diri berperan sebagai penyesuaian diri, sehingga

ketika kontrol diri kurang baik maka perilaku yang dihasilkan cenderung

menyimpang. Marsela & Supriatna, (2019). Borba (dalam Haryani &

Herwanto, 2015) kontrol diri adalah kemampuan tubuh dan pikiran untuk

melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Menurut Haryani & Herwanto, (2015) individu dengan kontrol diri

tinggi dapat memerhatikan perilaku yang benar dalam berbagai situasi.

Individu tersebut cenderung mengubah perilaku dalam menanggapi


tuntutan situasi sosial, sehingga memberikan kesan yang positif. Perilaku

mereka lebih sensitif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, dan

berusaha untuk melakukan interaksi sosial yang baik, jujur dan terbuka.

Adanya kontrol diri memungkinkan individu untuk mengarahkan dan

mengoordinasikan tindakan mereka dengan kuat, yang pada akhirnya

mengarah pada hasil yang positif (Golfried & Mebaum dalam Haryani &

Herwanto, 2015).

Individu dengan kontrol diri yang tinggi, biasanya lebih berhati-hati

dalam melakukan tindakan apapun itu, sedangkan individu dengan kontrol

diri yang rendah biasanya sulit untuk untuk membentuk perilaku yang

positif. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lisnawati

(2019) menunjukan bahwa kontrol diri berpengaruh signifikan terhadap

perilaku cybersex. Artinya orang dengan pengendalian diri yang tinggi akan

menggunakan Internet dengan cara yang sehat, seperti tidak akan

mengunjungi situs-situs porno atau mencari informasi-informasi berlebih

terkait seksual. Berdasarkan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh

Leonardhi (dalam Zein & Winarti, 2021) pada remaja di Kota Malang

menyatakan adanya hubungan positif yang signifikan antara kontrol diri

dengan perilaku cybersex.

Berdasarkan penjelasan diatas seseorang dengan kontrol diri yang

rendah cenderung memiliki perilaku cybersex yang lebih tinggi, perilaku

cybersex yang tinggi adalah individu dengan kecenderungan melakukan

aktivitas seksual secara online, baik chat, menonton maupun video call
seksual (vcs), sedangkan seseorang dengan kontrol diri yang tinggi

cenderung memiliki perilaku cybersex yang lebih rendah yaitu lebih berhati-

hati menggunakan internet serta tidak mencari informasi seksual. Hal ini

dapat digambarkan dengan kerangka berfikir sebagai berikut.

Gambar 2. 1
Kerangka Berpikir

Mahasiswa di Kabupaten Karawang

Kontrol Diri adalah kemampuan


untuk membimbing tingkah laku
sendiri, kemampuan untuk
menekan atau merintangi impuls-
impuls atau tingkah laku
impulsif.
Kontrol diri adalah kemampuan
untuk membimbing tingkah laku
sendiri, kemampuan untuk
menekan atau merintangi
impuls-impuls atau tingkah laku
impulsif Rendah
Tinggi

Perilaku Perilaku
Cybersex rendah Cybersex tinggi
D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian pada kerangka berpikir di atas, maka muncul

beberapa hipotesis atas dugaan sementara yang diajukan peneliti dalam

penelitian ini, yaitu:

Hₐ: Ada pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cybersex pada mahasiswa

di kabupaten karawang.

H₀: Tidak ada pengaruh kontrol diri terhadap perilaku cybersex pada

mahasiswa di kabupaten karawang.

Anda mungkin juga menyukai