Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Remaja merupakan periode transisi anak-anak ke masa dewasa. Remaja juga

mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar dan mudah menjerumuskan pada hal-hal

negatif. Sifat mudah terpengaruh pada remaja tidak jarang membuat mereka

terjerumus dalam hal – hal atau konten negatif pada internet salah satu dampak

negatif internet yang meresahkan yaitu cybersex. Cybersex terjadi ketika seseorang

menggunakan internet dengan tujuan mendapat kepuasan seksual saat berinteraksi

dengan seseorang. Sangat mungkin terjadi pada remaja karena kemudahan akses situs

berbau seksual yang dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Secara umum, alasan

utama remaja memilih melakukan cybersex adalah karena kemudahan dalam

mengakses konten seksual tanpa mengeluarkan biaya yang besar (Cooper et al.,

2019).

Menurut laporan dari WHO (2018) kelompok usia remaja (10-19 tahun) pada

tahun 2010 menempati jumlah penduduk dunia, dan 83% diantaranya hidup di negara

yang berkembang. Berdasarkan data ECPAT (End Child Prostitution, Child

Pornography and Trafficking Of ChildernFor Sexual Purpose) indonesia menepati

data tertinggi mengakses konten pornografi. Kementrian komunikasi dan informasi

(Kominfo) RI mengatakan, aduan terkait konten negatif yang didominasi oleh konten

pornografi yaitu sebanyak 1.028.702 dari 1.219.904 temuan konten negatif

(Anggreiny & Sarry, 2018).

Menurut data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak (Kemen PPPA) (Rahmawaty, 2021). Selain itu, data menunjukkan bahwa

34.5% anak laki-laki dan 25% anak perempuan pernah melakukan kegiatan seksual,
dan 39 persen pernah mengirimkan foto-foto pribadi (sexting) melalui internet.

Karena mereka masih dalam proses perkembangan psikologis dan memiliki tingkat

self-control yang lebih rendah daripada orang dewasa, remaja melakukan aktivitas

cybersex secara berulang dan sulit untuk berhenti (Rahman, 2022).

Cybersex sangat mungkin terjadi pada remaja karena kemudahan akses situs

berbau seksual yang dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Perilaku cybersex

sebagian besar terjadi pada remaja yang mana memiliki kecenderungan tertarik

mencoba hal baru, tingkat rasa ingin tau yang tinggi, mudah sekali terpengaruh, dan

dalam kehidupan sehari – hari tidak lepas dari penggunaan internet. Sedangkan

ditinjau dari jenis kelamin cybersex lebih banyak ditemukan pada remaja laki-laki

dibandingkan remaja perempuan. Adapun dampak dari perilaku cybersex menurut

penelitian yaitu salah satunya menonton pornografi internet dapat memperburuk

risiko kecanduan internet dari waktu ke waktu, dan kontribusi preferensi pornografi

internet sebagai faktor risiko kecanduan internet mungkin meningkat pada kelompok

remaja (Alexandraki et al, 2018). Secara psikologis, pornografi dapat mempengaruhi

pandangan remaja terhadap perilaku seksual dan perilaku menyimpang mereka,

Alasan mengapa remaja melihat pornografi dapat menentukan sejauh mana mereka

terpapar pornografi. Remaja lebih sering melihat pornografi dalam bentuk gambar

atau video dari media elektronik dan media sosial. Perkembangan koneksi internet

yang cepat dan adanya smartphone, yang menggantikan penggunaan komputer atau

perangkat yang lebih besar, memudahkan akses pornografi secara diam-diam dari

mana saja dan kapan saja (Di Mauro et al., 2021). Hal ini secara langsung maupun

tidak langsung akan berdampak negatif bagi remaja, sehingga dalam waktu dekat atau

malah saat ini jenis-jenis pornografi ini akan menjadi persoalan serius yang

menyangkut masalah moral. Pada tataran aksi dampak cybersex bisa berwujud
kekerasan seksual. yang bersifat kriminal, sedangkan dalam tataran ideologis akan

melahirkan berbagai perilaku seks yang menyimpang

Terdapat tiga upaya mencegah perilaku cybersex yaitu, pertama membuat

atau merubah lingkungan menjadi responsif dengan menunjang tujuan-tujuan yang

ingin dicapai remaja, kedua memperbanyak informasi dan meningkatkan kemampuan

untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan ketiga secara

efektif menggunakan kebebasan dalam menentukan pilihan dalam pengaturan

lingkungan (Asiah et al., 2018). Dalam mengatasi permasalahan ini diperlukan

kerjasama yang komprehensif dari banyak pihak yang meliputi orang tua, masyarakat

dan instansi pemerintah. Namun, sebagai sosok yang paling dekat dengan anak, orang

tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terbesar untuk melindungi anaknya

agar tidak ikut dan terlibat dalam aktivitas cybersex. Misalnya, menurut Bernama

(2019) orang tua perlu meningkatkan literasi internet mereka untuk mencegah anak-

anak tidak secara sengaja mengeksplorasi materi pornografi (video dan gambar) saat

online. Mengikuti kemajuan teknologi, mekanisme pemantauan dan pengawasan

orang tua yang tepat juga penting dalam mencegah anak menjadi korban kejahatan

dunia maya. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua perlu menjadi teladan bagi anak-

anaknya agar mereka dapat berperilaku positif. Sejalan dengan tanggung jawab orang

tua, pengaruh teman sebaya juga diakui sebagai salah satu faktor penyebab

kecanduan cybersex pada anak karena mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

perkembangan perilaku dan sikap anak. Oleh karena itu, anak perlu diawasi dan

diawasi oleh orang tua agar anak tidak terlibat dalam berbagai permasalahan sosial

seperti kecanduan cybersex. Meskipun beberapa anak menerima pemantauan dan

pengawasan yang tepat dari orang tua mereka ketika mereka online, penelitian ini

berpendapat bahwa karena ada sejumlah faktor internal dan eksternal yang
berkontribusi terhadap kecanduan cybersex, tidak ada solusi yang pasti. Sebab, setiap

orang perlu berperan penting, tidak hanya anak, tapi juga orang tua, masyarakat, dan

instansi pemerintah. Inovasi dan Teknologi ke-3 (ITeC 2021) yang dikenal dengan

judul 'Resep perlindungan anak: Pedoman pengasuhan anak untuk mencegah anak

dari kecanduan cybersex. Pedoman parenting ini terbagi menjadi empat bagian, yang

mencakup (1) pengertian kecanduan cybersex—pengertian kecanduan cybersex

mampu memberikan informasi yang jelas dan pemahaman yang lebih baik bagi orang

tua terhadap masalah kecanduan cybersex; (2) faktor yang berkontribusi terhadap

kecanduan cybersex; (3) implikasi kecanduan cybersex; dan (4) pengaturan privasi—

orang tua akan dipandu bagaimana menerapkan pengaturan privasi di bawah kendali

orang tua pada akun media sosial anak seperti YouTube, Facebook, WhatsApp,

Twitter, Instagram dan masih banyak lainnya. Hal ini menandakan bahwa pedoman

pengasuhan untuk mencegah kecanduan cybersex pada anak sangat penting dan

mampu menjunjung tinggi hak dan perlindungan anak.

Perilaku seksual menyimpang remaja biasanya disebabkan oleh peningkatan

adiksi pornografi pada tahap berikutnya, ada berbagai jenis tindakan seksual yang

dilakukan oleh remaja, seperti berpelukan, berpegangan tangan, bahkan berhubungan

seks. Remaja biasanya melakukan aktivitas seksual ini saat mereka menjalin

hubungan atau berpacaran, dan ini mungkin dilakukan karena rasa penasaran dan

rangsangan yang ada (Gayatri et al., 2020). Penelitian ini menemukan bahwa remaja

paling sering melakukan perilaku seksual ringan, seperti berpelukan, mencium kening

atau pipi, dan berpegangan tangan saat berhubungan seks (48,4%). Oleh karena itu,

meningkatnya persepsi tentang bentuk seksual yang ditemukan dalam pornografi

dapat menyebabkan kecanduan pornografi pada individu yang mengaksesnya (Tan et

al, 2022). Kecanduan situs porno internet (cyber-sexual addiction), yaitu seseorang
yang melakukan penelusuran dalam situs situs porno atau cybersex secara kompulsif.

Individu yang mengalami kecanduan cybersex atau pornografi melalui internet

ditandai dengan ketergantungan melihat, menemukan, menelusuri, mendownload.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dirumuskan

permasalahan sebagai berikut “ Adakah Hubungan Adiksi Dengan Perilaku Cybersex

Pada Remaja Di MTS Darul Hikmah Mojokerto”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya hubungan adiksi dengan perilaku cybersex di

MTS Darul Hikmah Mojokerto

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi adiksi remaja di MTS Darul Hikmah Mojokerto

2. Untuk mengidentifikasi perilaku cybersex pada remaja di MTS Darul Hikmah

Mojokerto

3. Untuk menganalisa hubungan antara adiksi dengan perilaku cybersex pada

remaja di MTS Darul Hikmah Mojokerto

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:


1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pertimbangan bagi remaja tentang dampak dari Cybersex yang dapat mempengaruhi

pandangan dan perilaku seksual mereka

2. Bagi Orangtua

Diharapkan orangtua dapat memahami perilaku remaja dalam proses

perkembangannya terutama memberikan bimbingan dan informasi yang tepa mengenai

seksualitas

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Dinas Pendidikan

Dapat dijadikan bahan informasi atau masukan agar mengadakan edukasi

Cyebersex terhadap sekolah – sekolah yang berada di dalam lingkungan kerjanya

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan pertimbangan dan bahan masukan atau acuan bagi peneliti

selanjutnya yang tertarik


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan disajikan konsep dasar yang melandasi penelitian, yaitu 1)

Konsep Adiksi, 2) Konsep Cybersex, dan 3) Konsep Remaja

2.1 Konsep Adiksi

2.1.1 Pengertian Adiksi

Adiksi adalah keadaan ketergantungan fisik dan mental terhadap

suatu hal tertentu yang menghasilkan perubahan perilaku pada individu

yang terkena. Menurut Young (dalam Siregar dan Hamdan, 2020:215),

adiksi internet didefinisikan sebagai kondisi dimana individu gagal

mengontrol perilakunya saat menggunakan internet, yang berpotensi

menjadi masalah serius yang mempengaruhi penurunan fungsi otak atau

mental dalam kehidupan sehari-hari. Adiksi merupakan pola perilaku yang

meningkatkan risiko penyakit serta masalah personal dan sosial. Pada

dasarnya, adiksi merupakan upaya untuk mengontrol dan memuaskan

keinginan akan kebahagiaan.

Menurut Hovart (dalam Marpaung, Sinaga, Munthe, Togatorop,

dan Hutahaean, 2022:106), adiksi dapat terjadi terhadap berbagai jenis zat

atau aktivitas tertentu yang dilakukan secara berulang dan memiliki

dampak negatif, seperti aktivitas seksual, perjudian, pengeluaran

berlebihan, mencuri, dan lainnya. Adiksi tidak selalu semakin kuat seiring

berjalannya waktu. Jika kenyamanan yang diperoleh dari adiksi berfungsi

sebagai cara untuk mengurangi suasana hati yang negatif, adiksi dapat

menjadi strategi untuk mengatasi stres. Adiksi yang kuat akan


menyebabkan perilaku adiktif tersebut menjadi terintegrasi dalam

kehidupan individu secara menyeluruh.

2.1.2 Elemen Adiksi

Griffiths (dalam Prambayu dan Dewi, 2019:73) menjelaskan

bahwa suatu perilaku, termasuk cybersex, dianggap adiktif jika memenuhi

kriteria berikut:

1. Salience, perilaku tersebut menjadi fokus utama dalam

kehidupan individu, mendominasi pikiran, perasaan, dan

tingkah laku, sehingga menyebabkan preokupasi dan distorsi

kognitif, serta kemerosotan dalam perilaku sosial.

2. Mood modification, individu mengalami perubahan mood

sebagai akibat dari keterlibatannya dalam aktivitas tersebut,

seringkali digunakan sebagai strategi untuk mengatasi stres,

seperti merasakan "buzz" atau "high", atau mencari perasaan

tenang atau pelarian.

3. Tolerance, ada peningkatan dalam frekuensi atau durasi

aktivitas untuk mencapai efek yang sama dari perubahan

mood.

4. Withdrawal symptoms, individu mengalami kondisi perasaan

yang tidak menyenangkan atau efek fisik, seperti gemetar,

perasaan muram, atau mudah marah, ketika tidak dapat

terlibat dalam aktivitas tersebut.

5. Conflict, terjadi konflik antara individu dan orang-orang di

sekitarnya, aktivitas lainnya, atau dengan diri sendiri, karena


penggunaan berlebihan aktivitas tersebut, baik secara

interpersonal maupun internal.

6. Relapse, kecenderungan untuk mengulangi pola keterlibatan

yang berlebihan dalam aktivitas tersebut, bahkan setelah

mencoba untuk mengendalikannya, dan dapat kembali

terulang dengan cepat setelah periode kontrol.

2.1.3 Tipe Internet Adiksi

Young & de Abreu (dalam Ratulangi, Kairupan, dan Dundu,

2021:252) mengidentifikasi lima subtipe kecanduan internet yang

berbeda, yaitu:

1. Cybersexual Addiction, ni terjadi ketika individu terlibat

dalam kegiatan seperti melihat, mengunduh, dan berdagang

pornografi online, atau terlibat dalam percakapan di ruang

obrol untuk memainkan peran dalam fantasi orang dewasa.

2. Cyber-relational Addiction, ini terjadi pada individu yang

terlalu terlibat dalam hubungan online atau mungkin terlibat

dalam perselingkuhan virtual. Hubungan online menjadi lebih

penting daripada kehidupan nyata dan dapat menyebabkan

konflik dalam pernikahan dan ketidakstabilan keluarga.

3. Net Compulsions, subtipe ini mencakup berbagai perilaku,

termasuk perjudian online, berbelanja online, atau berdagang

saham. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian keuangan yang

signifikan serta masalah dalam hubungan dan pekerjaan.


4. Information overload, World Wide Web telah menciptakan

perilaku kompulsif baru yang melibatkan penelusuran web

dan pencarian database berlebihan. Orang-orang ini

menghabiskan waktu yang tidak proporsional untuk mencari,

mengumpulkan, dan mengorganisir informasi.

5. Computer addiction, banyak komputer dilengkapi dengan

program dan game. Orang-orang menjadi kecanduan

menggunakan program dan bermain game, sering kali

mengorbankan kinerja kerja dan tanggung jawab keluarga.

2.2 Konsep Cybersex

2.2.1 Pengertian Cybersex

Perilaku cybersex, sebagai salah satu bentuk kejahatan cyber,

mendapat perhatian serius dalam literatur. Arief (2003:293) menggunakan

istilah "tindak pidana mayantara" untuk merujuk pada kejahatan cyber,

yang sebenarnya setara dengan "tindak pidana di ruang cyber" atau yang

lebih dikenal sebagai "cyber crime". Dalam perspektifnya, Arief (2011:41)

menekankan bahwa kejahatan cyber merupakan aspek yang paling negatif

dari kemajuan masyarakat informasi, termasuk dalam aspek moralitas

seperti cyber pornography, cyber sex, dan lainnya.

Pengertian cybercrime sendiri dibagi menjadi dua oleh Arief

(2007:8), yakni arti sempit yang berkaitan langsung dengan kejahatan

terhadap sistem komputer, dan arti luas yang meliputi penggunaan sarana

komputer dalam kejahatan apapun. Menurut Butarbutar (2023:302)

cybercrime merujuk pada segala aktivitas kriminal yang dilakukan dengan


memanfaatkan komputer, jaringan komputer, atau internet. Hal ini

mencakup penggunaan teknologi untuk melakukan kegiatan ilegal,

menyerang korban, atau memanfaatkan kerentanan dalam sistem digital.

Definisi perilaku cybersex bervariasi, namun intinya adalah

penggunaan internet untuk aktivitas seksual. Cooper (2002)

mendefinisikannya sebagai penggunaan internet untuk melihat gambar

erotis, bertukar pesan seksual, dan lainnya, sering kali diikuti oleh

masturbasi. Sementara itu, Carnes, Delmonico, dan Griffiths (dalam

Mahmud, 2017:3) menyebutkan bahwa perilaku ini meliputi akses

pornografi, percakapan seksual online, dan penggunaan perangkat lunak

multimedia.

Menurut Malamuth dan Huppin (dalam Candrasari, 2015:1),

pornografi bertujuan merangsang melalui pameran organ seksual.

Pendapat Goldberg (dalam Arifani, 2016:3) menambahkan bahwa perilaku

cybersex mencakup berbagai aktivitas seksual online untuk tujuan

hiburan, termasuk mencari materi seksual, jual beli terkait seks, dan

berkomunikasi seksual untuk mencari pasangan. Dengan demikian,

perilaku cybersex dapat dianggap sebagai penggunaan internet untuk

mencari kesenangan seksual, termasuk melihat gambar porno,

berkomunikasi seksual, dan mencari pasangan seksual di internet.

2.2.2 Komponen Cybersex

Menurut Young (2001), kecenderungan terlibat dalam perilaku

cybersex dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Faktor

internal meliputi aspek-aspek seperti kepribadian individu dan


kemampuan untuk mengendalikan diri. Kepribadian merupakan

karakteristik unik yang membedakan satu individu dengan yang lain,

sedangkan kontrol diri mencerminkan kemampuan seseorang untuk

mengatur emosi dan perilaku serta menahan dorongan-dorongan yang

muncul agar tetap sesuai dengan norma sosial.

Sementara itu, faktor eksternal mencakup interaksi dengan

lingkungan sekitar dan faktor-faktor interaksional. Interaksi aplikasi dua

arah di internet memiliki potensi adiktif karena menyediakan kesempatan

untuk membangun hubungan sosial, mencari kesenangan seksual, dan

bahkan mengubah identitas. Lingkungan juga berperan, baik melalui

pendidikan seks formal maupun informal, maupun melalui kontrol sosial

yang dilakukan oleh agama, keluarga, teman, dan masyarakat sebelum

menikah.

Menurut Cooper (2008), terdapat tiga komponen utama yang

mendorong individu untuk melakukan cybersex, yang disebut sebagai

triple A engine, yakni: pertama, Accessibility, di mana individu dapat

dengan mudah mengakses materi seksual melalui internet setiap waktu;

kedua, Anonymity, di mana individu merasa aman dan tidak

teridentifikasi ketika melakukan aktivitas seksual online; ketiga,

Affordability, di mana individu menemukan bahwa biaya untuk

mengakses materi seksual secara online relatif murah atau bahkan gratis.

2.2.3 Bentuk-Bentuk Perilaku Cybersex

Menurut Delmonico & Miller (dalam Gratia, 2014:3), terdapat

lima bentuk perilaku cybersex yang dapat diidentifikasi, yaitu:


1. Online sexual compulsivity adalah perilaku cybersex yang bersifat

kompulsif terkait dengan masalah seksual online. Contohnya

adalah seseorang yang secara rutin melihat dan menonton video

porno secara kompulsif.

2. Online sexual behavioral-social adalah bentuk perilaku cybersex

ini terjadi dalam konteks hubungan sosial atau interaksi

interpersonal dengan orang lain ketika online, seperti melalui

obrolan di ruang obrolan atau melalui email. Contohnya adalah

seseorang yang terlibat dalam percakapan mesum via WhatsApp

dengan lawan obrolannya.

3. Online sexual behavioral-isolated adalah perilaku ini terjadi

ketika individu melakukan aktivitas cybersex tanpa adanya

interaksi sosial di dalamnya, seperti melihat atau mengunduh

pornografi sendirian di kamar. Contohnya adalah seseorang yang

mengunduh dan menonton pornografi secara sendirian.

4. Online sexual spending adalah perilaku di mana individu

menggunakan sejumlah besar uang untuk aktivitas cybersex,

seperti bergabung dengan situs web atau grup seks berbayar di

internet, atau membeli DVD porno.

5. Internet in online sexual behaviour mencakup kecenderungan

individu untuk menggunakan perangkat komputer untuk tujuan

seksual, seperti menandai atau menyimpan situs-situs porno, atau

berselancar di internet untuk mencari konten seksual.


Sementara itu, menurut Carners, dkk, (dalam Juditha, 2020:50)

bentuk-bentuk perilaku cybersex juga dapat dikategorikan sebagai

berikut:

1. Mengakses pornografi di internet mencakup perilaku individu

seperti melihat gambar porno, menonton video porno, membaca

cerita porno, atau bermain game porno di internet.

2. Mengakses multimedia software yang tidak harus online, bentuk

perilaku ini termasuk menonton DVD porno atau film porno, serta

memainkan game porno di laptop atau komputer.

3. Real-time chatting atau berkomunikasi dengan pasangan

mencakup obrolan atau pembahasan erotis dengan teman obrolan

atau mitra seksual potensial secara online.

2.3 Konsep Remaja

2.3.1 Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan fase transisi dalam kehidupan manusia,

menghubungkan fase kanak-kanak dan fase dewasa (Santrock, 2003).

Fase ini juga dikenal sebagai periode peralihan antara masa kanak-kanak

dan dewasa. Selama masa ini, terjadi perubahan signifikan yang esensial

terkait dengan kedewasaan baik secara fisik maupun mental, terutama

dalam hal fungsi seksual (Kartono, 2015). Dengan demikian, remaja

merupakan masa ketika individu berusia belasan tahun. Mereka belum

sepenuhnya dewasa namun sudah tidak bisa disebut sebagai anak-anak

lagi. Ini adalah periode peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa.
Istilah "remaja" berasal dari kata Latin adolescene yang berarti

"tumbuh atau berkembang menuju kedewasaan". Budaya primitif dan

masyarakat purba menganggap fase pubertas dan remaja sebagai bagian

biasa dari siklus kehidupan. Seseorang dianggap dewasa saat mereka

sudah mampu untuk bereproduksi (Ali & Asrori, 2006). Menurut Rice

(dalam Gunarsa, 2004), masa remaja merupakan fase peralihan di mana

individu mengalami pertumbuhan dari masa anak-anak menuju

kedewasaan. Pada tahap ini, terdapat dua faktor penting yang mendorong

remaja untuk mengendalikan diri. Pertama, faktor eksternal seperti

perubahan lingkungan, dan kedua, faktor internal seperti karakteristik

individu yang membuat remaja cenderung lebih bergejolak dibandingkan

dengan tahapan perkembangan lainnya (periode storm and stress).

Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1980:209), masa remaja

memiliki makna yang luas, mencakup kematangan mental, emosional,

sosial, dan fisik. Menurut Konopka (dalam Yudrik, 2011) masa remaja

adalah bagian perkembangan individu yang sangat penting ini diawali

dengan matangnya organ fisik (seksual) sehingga akan mampu untuk

berproduksi. Anna Freud (dalam Riyanti dan Darwis, 2020:112)

menekankan bahwa masa remaja menandai proses perkembangan

psikoseksual yang melibatkan perubahan dalam hubungan dengan

orangtua dan aspirasi masa depan. Dari penjelasan tersebut, dapat

disimpulkan bahwa masa remaja adalah periode transisi antara masa

kanak-kanak dan dewasa, dimulai sekitar usia 12 atau 13 tahun hingga

awal dua puluh tahun. Selama masa ini, individu mengalami berbagai
perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional yang penting untuk

perkembangan mereka.

Masa remaja dicirikan oleh perubahan fisik, emosional, dan

psikologis. Rentang usia 10-19 tahun dianggap sebagai periode

pematangan organ reproduksi manusia, yang sering disebut sebagai masa

pubertas. Ini merupakan fase transisi dari masa anak-anak menuju

dewasa (Widyastuti, Rahmawati, Purnamaningrum; 2009). Remaja

merupakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang berlangsung

antara usia 10 hingga 19 tahun. Remaja adalah periode di mana individu

mengalami pertumbuhan dari awalnya menunjukkan tanda-tanda seksual

sekunder hingga mencapai kedewasaan seksual. Selain itu, terjadi

perkembangan psikologis dan proses identifikasi dari masa kanak-kanak

ke dewasa. Selama masa ini, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-

ekonomi yang kuat menuju tingkat kemandirian yang lebih besar

(Muangman dalam Sarwono, 2012).

Dalam tahap perkembangan, remaja menempati posisi di antara

masa anak dan masa dewasa. Perubahan signifikan dalam tahapan ini,

baik secara fisik maupun psikis (seperti menarche pada perempuan dan

mimpi basah pada laki-laki), menyebabkan masa remaja cenderung lebih

bergejolak dibandingkan dengan tahapan lainnya. Karena itu, penting

untuk memperhatikan masa remaja ini. Remaja merupakan periode

transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada fase ini, terjadi

banyak perubahan baik secara fisik maupun psikis. Perubahan fisik

meliputi pertumbuhan tubuh yang meningkat secara panjang dan tinggi,

serta mulai berfungsinya organ reproduksi (yang ditandai dengan haid


pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki), serta perkembangan

tanda-tanda seksual sekunder. Selain itu, terjadi perkembangan psikis

yang mencakup perkembangan kognitif, emosional, sosial, moral,

kepribadian, dan kesadaran agama. Dari perkembangan ini, remaja

menjadi individu yang siap memasuki masa dewasa.

2.3.2 Batasan Usia Remaja

Berdasarkan teori perkembangan individu oleh Erickson, masa

remaja terbagi menjadi tiga tahapan: remaja awal, remaja pertengahan,

dan remaja akhir. Kriteria usia remaja awal adalah antara 13-15 tahun

untuk perempuan dan 15-17 tahun untuk laki-laki. Remaja pertengahan

berkisar antara usia 15-18 tahun untuk perempuan dan 17-19 tahun untuk

laki-laki. Sedangkan remaja akhir adalah antara usia 18-21 tahun untuk

perempuan dan 19-21 tahun untuk laki-laki (Thalib, 2010).

Menurut Papalia & Olds (dalam Jahja, 2012), masa remaja

adalah fase transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa, dimulai

sekitar usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada akhir usia belasan atau

awal dua puluhan. Jahja (2012) menambahkan bahwa karena laki-laki

cenderung lebih lambat dalam proses kedewasaan daripada perempuan,

mereka memiliki periode awal masa remaja yang lebih singkat.

Meskipun dianggap dewasa pada usia 18 tahun, laki-laki tetap tampak

kurang matang dibandingkan dengan perempuan. Namun, status

kedewasaan ini berbeda dengan perilaku remaja yang lebih muda.

Mappiare menyatakan bahwa masa remaja berlangsung antara

usia 12 tahun hingga 21 tahun bagi perempuan dan 13 tahun hingga 22


tahun bagi laki-laki. Masa remaja dibagi menjadi dua bagian: remaja

awal (usia 12/13 tahun hingga 17/18 tahun) dan remaja akhir (usia 17/18

tahun hingga 21/22 tahun) (Ali & Asrori, 2006). Usia dewasa di Amerika

Serikat ditetapkan pada usia 18 tahun, bukan seperti sebelumnya yang

pada usia 21 tahun. Pada usia ini, biasanya remaja masih berada di

sekolah menengah. Masa remaja berlangsung dari sekitar usia 11 atau 12

tahun hingga awal dua puluhan, dan masa ini membawa perubahan besar

dalam semua aspek perkembangan. WHO menetapkan batas usia remaja

antara 12 hingga 24 tahun, sedangkan Depkes RI dan BKKBN

menetapkan antara 10 hingga 19 tahun dan belum menikah (Widyastuti et

al., 2009).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan

mengalami masa remaja pada usia relatif lebih muda daripada laki-laki,

sehingga mereka memiliki masa remaja yang lebih panjang. Batasan usia

remaja dibagi menjadi remaja awal (usia 12/13 tahun hingga 17/18

tahun) dan remaja akhir (usia 17/18 tahun hingga 21/22 tahun).

2.3.3 Ciri-Ciri Remaja

Menurut Sidik Jatmika (dalam Putra dan Apsari, 2021:16-17),

remaja memiliki beberapa perilaku khusus yang membedakannya dari

periode sebelumnya dan sesudahnya. Pertama, remaja mulai

menyuarakan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan pendapat

sendiri, yang dapat menyebabkan ketegangan dalam hubungan dengan

keluarga. Kedua, mereka lebih mudah dipengaruhi oleh teman-teman

sebaya daripada oleh orangtua, yang dapat mengakibatkan perbedaan


dalam kesenangan dan perilaku. Ketiga, remaja mengalami perubahan

fisik yang signifikan, termasuk perkembangan seksual yang dapat

menimbulkan perasaan takut dan bingung. Keempat, mereka sering

menjadi terlalu percaya diri, sulit menerima nasihat orangtua karena

meningkatnya emosi.

Ciri-ciri remaja awal, menurut pandangan Sarwono (2013)

meliputi:

a. Minat yang semakin konsisten dan kemampuan penalaran yang

semakin matang.

b. Dorongan ego untuk mencari hubungan dengan banyak orang

dan mendapatkan pengalaman baru.

c. Identitas seksual mulai terbentuk dan menjadi lebih mantap.

d. Egosentrisme, yang ditandai dengan fokus yang berlebihan pada

diri sendiri dan kurangnya keseimbangan antara kepentingan

pribadi dengan kepentingan orang lain.

e. Adanya perasaan "dinding" yang dapat memisahkan antara

bagian diri yang ditampilkan kepada masyarakat umum dengan

bagian diri yang lebih pribadi.

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Seksualitas Pada Remaja

Menurut para ahli seperti Kozier (2004), Dianawati (2003),

Strasburg er & Donnerstein (1999) dalam Santrock (2003), Wong (2008),

Hurlock (2003), dan Hawari (2006), terdapat beberapa faktor yang

memengaruhi seksualitas remaja:


1. Budaya memainkan peran penting dalam mengatur seksualitas.

Norma-norma budaya mempengaruhi perilaku seksual, aturan

tentang pernikahan, peran gender, tanggung jawab sosial, dan

praktik seks tertentu. Sikap masyarakat terhadap aktivitas

seksual remaja dapat bervariasi berdasarkan budaya dan nilai-

nilai yang ada di dalamnya.

2. Nilai Agama juga memiliki dampak besar dalam

mengekspresikan seksualitas remaja. Agama dapat

memberikan pedoman dan aturan tentang perilaku seksual

yang dapat diterima atau tidak, serta konsekuensi dari

melanggar aturan tersebut.

3. Etika memainkan peran penting dalam mengatur perilaku

seksual. Meskipun terkait erat dengan agama, prinsip-prinsip

etika dapat dianggap terpisah dari aspek keagamaan. Individu

dan kelompok-kelompok sering mengembangkan kode etik

sendiri, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup

berbagai aspek perilaku seksual.

4. Tekanan Teman Pergaulan dapat memiliki pengaruh besar

terhadap perilaku seksual remaja. Remaja cenderung

memengaruhi dan dipengaruhi oleh teman-teman mereka,

terutama saat berada di lingkungan pergaulan. Tekanan dari

teman sebaya dapat mendorong perilaku seksual yang berisiko.

5. Tekanan Pacar, hubungan romantis dapat menjadi faktor

penting dalam mempengaruhi perilaku seksual remaja. Remaja

mungkin merasa tekanan dari pacar mereka untuk melakukan


berbagai aktivitas seksual, terutama jika mereka merasa perlu

untuk memenuhi harapan atau mencapai rasa cinta dan

penerimaan.

6. Rasa Penasaran adalah karakteristik manusia yang dapat

mempengaruhi perilaku seksual remaja. Rasa ingin tahu yang

besar tentang seksualitas dan tubuh dapat mendorong remaja

untuk mengeksplorasi dan mengambil risiko dalam hal

seksualitas.

7. Lingkungan Keluarga juga berperan dalam membentuk

perilaku seksual remaja. Aturan, norma, dan komunikasi yang

ada di dalam keluarga dapat mempengaruhi cara remaja

memandang dan menghadapi seksualitas.

8. Media Informasi memiliki pengaruh besar dalam membentuk

persepsi dan perilaku seksual remaja. Akses mudah terhadap

konten seksual di berbagai media, seperti televisi, internet, dan

media cetak, dapat mempengaruhi pemahaman dan praktek

seksual remaja.

Semua faktor ini dapat saling berinteraksi dan memengaruhi

perilaku seksual remaja secara kompleks. Oleh karena itu, penting bagi

remaja untuk memiliki pemahaman yang baik tentang seksualitas dan

mampu membuat keputusan yang tepat berdasarkan nilai-nilai dan

keyakinan pribadi mereka.


2.4 Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini sebagaimana Gambar 2.1

berikut:

Faktor Pendorong Personal Faktor Pemungkin Faktor Penguat


Individu
 Sarana dan prasarana  Sikap
 Adiksi yang mudah  Perilaku
 Ajakan teman  Keluarga
 Teman bergaul  Orang tua
 Lingkungan sekitar

Accessibility Anonimity Affordability

Perilaku Cybersex Remaja

Mengakses Pornografi di Terlihat dalam Real Time Multimedia Software


Internet dengan Pasangan Online

Sumber: Cooper (2008), Kozier (2004), Dianawati (2003), Strasburg er & Donnerstein (1999)
dalam Santrock (2003), Wong (2008), Hurlock (2003), dan Hawari (2006).
Gambar 2.1 Kerangka Teori

2.5 Kerangka Konseptual

Berdasarkan teori, konsep, dan pendekatan yang telah diuraikan pada

subbab sebelumnya, maka model kerangka konseptual dalam penelitian ini

digambarkan sebagai berikut:


Variabel Bebas Variabel Terikat

Adiksi Perilaku Cybersex

Gambar 2.2 Kerangka konseptual hubungan adiksi dengan dengan perilaku cybersex pada
remaja

2.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan dari uraian di atas, maka Penulis mengambil hipotesis

yang diajukan di dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan positif antara

adiksi dengan perilaku cybersex pada remaja di mana semakin tinggi adiksi

maka akan semakin tinggi perilaku cybersex.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad dan Asrori, Muhammad. (2006). Psikologi Remaja Perkembangan


Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Arief, B. N. (2003). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Arief, B. N. (2007). Tindak Pidana Mayantara. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Arief, B. N. (2011). Pornografi Pornoaksi Cybersex dan Cyberporn. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Arifani, Rosdiana. (2016). Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Cybersex. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Malang
Butarbutar, R. (2023). Kejahatan Siber Terhadap Individu: Jenis, Analisis, dan
Perkembangannya. Technology and Economics Law Journal, 2, 299-317.
Candrasari, Kristina Kusumawati. (2015). Gambaran Perilaku Cybersex pada Remaja.
Salatiga. Skipsi. Universitas Kristen Satya Wacana.
Cooper, A. (2002). Sex And The Internet: A Guidebook for Clinicians. New york:
Brunner-Routledge
Cooper, A. (2008). Sex and the internet. U.S.A.: Brunner-Routledge.
Dianawati, A. (2003). Pendidikan Seks untuk Remaja. Jakarta : Kawan Pustaka
Gratia, E. N. (2014). Perbedaan Perilaku Cybersex Ditinjau dari Jenis Kelamin. Skripsi.
Universitas Kristen Satya Wacana.
Gunarsa, D. Singgih. Yulia singgih D. Gunarsa. (2004). Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia.
Hawari, Dadang. (2006). Aborsi Dimensi Psikoreligi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E.B. (2003). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan (Alih Bahasa Istiwidayanti, dkk). Jakarta: Erlangga.
Jahja, Yurdi. (2012). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencan Preda Media Group.
Juditha, Christiany. (2020). Perilaku Cybersex pada Generasi Milenial. Jurnal Pekommas,
5, 47-58.
Kartono, K. (2015). Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Kozier. (2004). Masa Perkembangan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahmud, L. R. Y. (2017). Perbedaan Perilaku Cybersex pada Dewasa Awal yang Sudah
Menikah dan Belum Menikah. Skripsi. Universitas Kristen Satya Wacana.
Marpaung, T. I., Sinaga, A. R., Munthe, M. V. R., Togatorop, F., Hutahaean, D. T. (2022).
Sosialisasi Bahaya Adiksi Internet Bagi Anak dan Remaja di SMA Negeri 4
Pematangsiantar. Jurnal Pengabdian Maysarakat Bidang Sain dan Teknologi, 1,
103-108.
Prambayu, Ismalia dan Dewi, Mulia Sari. (2019). Adiksi Internet pada Remaja, Tazkiya:
Jurnal of Psychology, 7, 72-78.
Putra, M. D. R. E. dan Apsari, N. C. (2021). Hubungan Proses Perkembangan Psikologis
Remaja dengan Tawuran Antar Remaja. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 3,
14-24.
Ratulangi, A. G., Kairupan, B. H. R., Dundu, A. E. Adiksi Internet Sebagai Salah Satu
Dampak Negatif Pembelajaran Jarak Jauh Selama Masa Pandemi COVID-19.
Jurnal Biomedik, 13, 2021, 251-258.
Riyanti, Chika dan Darwis, R. S. (2020). Meningkatkan Kepercayaan Diri Pada Remaja
dengan Metode Cognitive Restructuring. Jurnal Pengabdian dan Penelitian
Kepada Masyarakat (JPPM), 1, 111-119.
Santrock, (2003). Perkembangan Anak. Edisi 11 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Sarwono. (2011). Psikologi Remaja.Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers
Sarwono, Sarlito W. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press.
Siregar, T. A. (2020). Hubungan Adiksi Internet dan Perilaku Merokok Pada Remaja.
Psikostudia: Jurnal Psikologi, 9, 214-224.
Thalib, Syamsul Bachri. (2010). Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris
Aplikatif. Jakarta: Kencana.
Widyastuti, Rahmawati, Purnamaningrum. (2009). Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta:
Fitramaya.
Wong, (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Young, J. (2001). Heidegger's philosophy of art. Cambridge University Press.
Yudrik, J. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta. Kencana.

Anda mungkin juga menyukai