Anda di halaman 1dari 5

PORNOGRAFI DI DUNIA MAYA:

VIRUS MEMATIKAN DAN HIDDEN DANGER BAGI PARA NETIZEN MUDA


DI INDONESIA
Perubahan yang terjadi di masyarakat merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari sebagai
konsekuensi dari adanya kemajuan teknologi di bidang informasi dan komunikasi. Kehadiran
internet semakin menegaskan bahwa dunia tidak lagi terbagi dalam sekat-sekat geografis, territorial,
maupun politis. Perkembangan internet dan juga teknologi informasi lainnya yang sudah saling
terintegrasi ini membuat dunia berada dalam information superhighway era di mana teknologi
menghilangkan hambatan fisik dan tradisional lalu lintas komunikasi dan penyebaran informasi. 1
Hal ini tidak hanya memberikan dampak yang positif namun juga dapat memberikan dampak
negatif bagi masyarakat terutama bagi para netizena di Indonesia yang beberapa di antaranya berusia
muda, belia, dan merupakan generasi digital nativeb. Pornografi di dunia maya, yang akan menjadi
fokus bahasan dalam esai ini, merupakan salah satu contoh konkritnya.
Pornografi di dunia maya dan anak-anak sebagai netizen muda
Sejak munculnya internet, pornografi tidak lagi sulit untuk diakses bahkan tersedia dalam
jumlah besar. Sebanyak 4,2 juta situs web (sekitar 12% dari total situs web yang berada di dunia
maya) merupakan situs pornografi. Setiap detiknya, 28.258 pengguna internet global mengakses
situs dan menyaksikan konten pornografi (termasuk Indonesia).2 Anak-anak dan remaja yang
merupakan digital native pun tak luput dari paparan konten pornografi di dunia maya. Frekuensi
akses internet yang cukup tinggi ( 9 jam per hari) serta jumlah konten pornografi di dunia maya
yang terus meningkat dan berkembang pesat menyebabkan anak-anak dan remaja berpeluang tinggi
terekspos hal-hal yang berbau pornografi baik disengaja atau tidak.3
Data statistik pornografi dunia maya menunjukkan anak-anak di dunia telah terekspos
konten pornografi sejak berusia 11 tahun dan 90% anak berusia 8 16 tahun mengaku pernah
menyaksikan konten pornografi dari internet (sebagian besar melakukannya saat mengerjakan PR). 4
Di Indonesia sendiri, hasil studi yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2011-2012 menunjukkan
52% anak-anak dan remaja di Indonesia pernah melihat konten pornografi melalui iklan atau situs
yang tidak mencurigakan sedangkan 14% mengaku sengaja mengakses situs porno atas kehendak
mereka sendiri.5 Jika hal ini tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat, maka generasi muda
Indonesia berisiko tinggi menjadi korban bahkan pelaku pornografi dan kejahatan online. Data dari

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari tahun 2011 hingga 2014, jumlah
anak korban pornografi dan kejahatan online di Indonesia telah mencapai 1.022 anak dengan 28%
di antaranya korban pornografi online, 21% korban pornografi anak online, 20% korban prostitusi
anak online, 15% korban objek cd porno, dan 11% korban kekerasan seksual online.6
Perspektif Islam terhadap pornografi
QS An-Nur (24): 3031 menjelaskan bahwa Allah swt. telah memerintahkan kepada kaum
muslimin untuk menjaga pandangan dari aurat atau kehormatan dari orang lain. Senada dengan ayat
ini, hadits riwayat Al Baihaqi menerangkan bahwa Rasulullah saw. melarang seseorang melihat
aurat orang lain meski dengan sesama jenis kelamin, dengan syahwat atau tidak. Salah satu hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, HR Bukhari no. 6122, menjelaskan bahwa Allah telah
menetapkan bahwa zina juga dapat dilakukan dalam bentuk penglihatan, pembicaraan, atau
pemikiran yang mengundang syahwat. Meskipun tidak ada ayat yang menjelaskan ancaman bagi
seseorang yang menonton pornografi, dapat dipastikan dari penjabaran sebelumnya bahwa
pornografi dapat mendorong seseorang untuk melakukan perzinahan berupa tindakan kejahatan
pornografi dan seks bebas sehingga pornografi menjadi sesuatu yang harus dihindari.7 QS Al-Isra
(17): 32 menjelaskan bahwa tidak dibenarkan seseorang untuk mendekati zina karena zina
merupakan suatu hal yang keji dan buruk.8
Kajian efek pornografi bagi anak ditinjau dari aspek biologi dan psikologi
Kecenderungan anak-anak untuk melakukan tindakan asusila akibat terekspos konten
pornografi secara terus menerus dapat dijelaskan dari sudut pandang biologi dan psikologi. Pada
usia yang masih belia, fungsi otak belum sepenuhnya berfungsi secara optimal, terutama pada
bagian pre frontal cortex (PFC). Saat seseorang menerima sesuatu yang bersifat 'adiktif' seperti
pornografi, bagian sistem limbik pada otak akan aktif dan menghasilkan senyawa dopamin yang
memberikan rasa senang dan candu. Dopamin secara alami akan dialirkan ke bagian otak depan
(frontal lobes), termasuk PFC. Candu yang berlebihan terhadap pornografi akan menyebabkan
terakumulasinya dopamin di bagian otak depan dan terjadinya inaktivasi PFC yang berujung pada
penurunan volume (volume loss) dan gangguan fungsional pada PFC. Penurunan fungsi dari PFC
akan menyebabkan fungsi eksekutif pada otak anak menurun sehingga anak tidak bisa
berkonsentrasi, menimbang baik buruk suatu hal, dan mengambil suatu keputusan, dan, buruknya
lagi, dapat menyebabkan anak kecanduan pornografi seumur hidupnya dan terlibat dalam seks

bebas. Kerusakan bagian otak akibat pornografi serupa dengan orang yang mengalami benturan
fisik dan pengonsumsi NAPZA, bahkan lebih parah. 9,10 Beberapa studi menyatakan bahwa
seseorang yang aktif menonton video pornografi akan mengalami penyusutan striatum (bagian otak
yang mengatur motivasi) serta peningkatan aktivitas ventral striatum, sisi belakang cingulate depan
(anterior), dan amygdala pada otak yang umumnya terjadi pada pecandu narkoba.11,12,13
Melindungi netizen muda sebagai generasi digital native dari pornografi di dunia maya
Pornografi di dunia maya menjadi suatu hidden danger yang selalu siap 'menyerang' netizen
muda dan harus diwaspadai, mengingat dampaknya yang sangat 'membunuh' secara psikologis pada
anak dan remaja. Perlindungan generasi digital native dalam menghadapi dunia maya sangat perlu
dilakukan dari berbagai aspek, terutama dari aspek moral dan teknis, untuk mencegah pengaruh
negatif konten pornografi pada anak-anak. Bentuk perlindungan yang diterapkan tidak hanya secara
teknis, namun juga melalui edukasi.
Orang tua sebagai pihak yang paling dekat dengan anak memiliki tanggungjawab terhadap
pendidikan seks kepada anak dan remaja.14 Orang tua diharapkan agar lebih berperan dalam
memberikan pendidikan seks kepada anak melalui bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti
oleh anak untuk mencegah anak mencari sumber informasi yang salah. 15 Proses pemahaman anak
terhadap seks dan pornografi sangat diperlukan karena, meskipun terbukti efektif, perlindungan
secara teknis seperti pemblokiran situs porno, pengaturan DNS c pada jaringan rumah, dan pengaturan akun pada komputer terkadang meninggalkan celah yang dapat ditembus oleh anak-anak yang
lebih 'melek' teknologi.16 Di samping itu, pendidikan seks dan kesehatan reproduksi pada anak
sekolah juga perlu diterapkan oleh lembaga pendidikan formal dan informal mengingat hal ini
belum sepenuhnya diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
CATATAN KAKI
a

Istilah netizen didefinisikan oleh Merriam-Webster17 sebagai seseorang yang aktif menggunakan

internet melalui jalur yang umum digunakan dan dapat dipertanggungjawabkan (proper and
responsible way).
b

istilah digital native pertama kali diperkenalkan oleh Marc Prensky18 yang menggambarkan

pemahaman siswa-siswi pada era digital ini seolah mereka adalah 'penutur asli' dari bahasa digital
pada komputer, video games, dan internet. Singkatnya, istilah digital native merujuk pada generasi
yang telah mengenal dunia digital sejak usia dini.

DNS, singkatan dari Domain Name System

REFERENSI
1

Aryani K. Analisis penerimaan remaja terhadap wacana pornografi dalam situs-situs seks di media

online. Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik. 2006. 19(2):1-18.


2

Internet Pornography Statistics. Top Ten Reviews. Tersedia pada: http://internet-filter-

review.toptenreviews.com/internet-pornography-statistics.html
3

SEMAI ORG. Bahaya pornografi pada anak. [berkas video]. 2015 Jul 30 [diakses 2016 Jul 08].

Tersedia pada: https://www.youtube.com/watch?v=sRduP0PZAfk.


4

Pornography

statistics.

Family

Safe

Media.[Diakses

2016

Jul

07].

Tersedia

padahttp://www.familysafemedia.com/pornography_statistics.html.
5

Studi terakhir: kebanyakan anak Indonesia sudah online, namun masih banyak yang tidak

menyadari potensi resikonya. UNICEF [artikel online]. 2014 Feb 18 [diakses 2016 Jul 07].
Tersedia: pada www.unicef.org/Indonesia/Id?media_22169.html
6

Setyawan D. KPAI: ribuan anak Indonesia jadi korban pornografi internet. KPAI [artikel online].

2015 Feb 11 [diakses 2016 Jul 07]. Tersedia pada http://www.kpai.go.id/berita/kpai-ribuan-anakindonesia-jadi-korban-pornografi-internet-2/


7

Annafi. Hukum nonton film porno. Eramuslim [artikel online]. 2009 Apr 9 [diakses 2016 Jul 10].

Tersedia pada: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hukum-nonton-film-porno.htm


8

How can I advise someone who is addicted to pornography ?. Islam Question and Answer [artikel

online]. 2003 Sep 19 [diakses 2016 Jul 10]. Tersedia pada https://islamqa.info/en/42165
9

SEMAI ORG. Bahaya pornografi: merusak otak. [berkas video]. 2015 Jul 30 [diakses 2016 Jul 08].

Tersedia pada: https://www.youtube.com/watch?v=O9rMmjVa5QI.


10

Del Arco A, Mora F. Neurotransmitters and prefrontal cortex limbic system interactions:

implications for plasticity and psychiatric disorder. J. Neural Transm. 2009. 116(8): 941-952.
11

Liputan 6. Menelisik otak para penggemar film porno. Liputan 6 [berita online]. 2015 Sep 16

[diakses 2016 Jul 07]. Tersedia pada: http://m.liputan6.com/health/read/2318346/menelisik-otakpara-penggemar-film-porno.


12

Kuhn S. Gallinat J. Brain structure and functional connectivity associated with pornography

consumption: the brain on porn. JAMA Psychiatry. 2014. 71(7): 827-834.


13

Voon V, Mole TB, Banca P, Laura P, Laurel M, Mitchell S, Lapa TR, Karr J, Harrison NA, Potenza

MN, Irvine M. Neural correlates of sexual cue reactivity in individuals with and without compulsive

sexual behaviours. PLoS One. 2014. 9(7): 1-10.


14

Wibowo RS. Fungsi orang tua dalam sosialisasi pendidikan seks kepada remaja. Solidarity. 2014.

3(1): 56-63.
15

Payanti N, Kurniawati T. Hubungan pemberian pendidikan seks oleh orang tua dengan perilaku

seks pranikah remaja. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan. 2012. 8(1): 41-51.
16

O'leary A. So how do we talk about this ? : when children see internet pornography. The New York

Times

[berita

online].

2012

Mei

[diakses

2016

Jul

07].

Tersedia

pada:

http://www.nytimes.com/2012/05/10/garden/when-children-see-internet-pornography.html.
17

Netizen. Merriam-Webster. Tersedia pada: http://www.merriam-webster.com/dictionary/netizen.

18

Prensky M. Digital natives, digital immigrants. On The Horizon. 2001. 9(5): 1-6.

Anda mungkin juga menyukai