Anda di halaman 1dari 8

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI CYBERSEX

Disusun Oleh:
Mu’minatus Fitriati Firdaus, S.Fil.I, M.Phil

PERPUSTAKAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2020

1
Pendahuluan

Internet sebagai tanda dari perkembangan teknologi informasi sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam kehidupan manusia dalam berkomunikasi maupun bersosialisasi. Bagi masyarakat
perkotaan internet berperan penting dalam memenuhi kebutuhan informasi walapun hal tersebut dapat
memberikan dampak positif maupun negative tergantung pada individu yang menggunakannya.
Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan ruang baru yang bersifat artifisial dan maya,
yaitu cyberspace. Cyberspace telah mengalihkan berbagai aktivitas manusia (politik, sosial, ekonomi,
kultural, spiritual,maupun seksual) di dunia maya dalam berbagai bentuk subtitusi artifisialnya,
sehingga apapun yang apapun yang dapat dilakukan di dunia nyata kini dapat dilakukan dalam bentuk
artifisialnya di dalam cyberspace (Piliang,2012).
Tjiptono dan Santoro (dalam Nainggolan, 2008) mengatakan, adapun tujuan positif tersebut seperti
untuk keperluan penelitian atau pengambilan keputusan organisasi, sedangkan tujuan negatif tersebut
seperti mengakses situs-situs porno atau disebut dengan cybersex. Cooper (2002) mengatakan bahwa
ada 3 (tiga) komponen yang menyebabkan kenapa individu melakukan aktivitas cybersex yang
disingkat dengan triple A engine yaitu: accessibility mengacu pada realitas internet yang menyediakan
jutaan situs porno dan membuka cyberspace termasuk melakukan cybersex. Affordability mengacu
pada tingkat biaya yang murang dalam mengakses situs porno di internet dan anonymity mengacu
pada anonym atau perilaku tersebut tidak diketahui maupun dikenali oleh orang lain.
Cybersex bukan merupakan topik baru, namun keberadaannya semakin dikenal karena
praktiknya juga ikut berkembang. Goldberg (2004) mengatakan bahwa banyaknya orang yang
menggunakan internet untuk cybersex telah meningkat 10 tahun terakhir ini. Hal ini berdampak serius
pada dorongan seksual pengguna, karena seringkali tidak mampu menahan dorongan seksual karena
sajian seks di internet tersebut. Ada beberapa dampak negatif dari praktek cybersex, seperti prostitusi,
kejahatan cyber termasuk pelecehan anak dan pornografi.
Bell dan Lyall mengatakan pengguna cybersex memungkinkan juga akan berbagi minatnya
dengan orang lain bahkan hingga lintas batas (Durkin et al., 2008). Beberapa bentuk dari cybersex
mencakup berbagai kegiatan seperti mengobrol, berkencan, mencari tanggal offline, bermain peran
seksual, interaksi webcam, realitas virtual, dan hal-hal yang berkaitan pornografi. Kegiatan ini dapat
dikategorikan sebagai solitary-arousal (yaitu, menonton situs porno), partnered-arousal (yaitu,
mengobrol tentang hal-hal yang bersifat porno), dan aktivitas nonarousal (yaitu, mencari informasi
yang berhubungan dengan seks) (Varfi, Rothen, Jasiowka, Lepers, Bianchi-Demicheli, & Khazaal,
2019). Padahal perilaku cybersex merupakan pelanggaran asusila dalam internet termasuk ranah hukum
pidana terhadap cybersex dan cyberporn sebagai bentuk delik di bidang kesusilaan ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Infomasi
dan Transaksi Elektronik.
Penelitian Judhita (2020) tentang perilaku cybersex pada 168 partisipan yang tersebar di dua
belas kota besar di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar responden melakukan

2
aktivitas seks offline (masturbasi/onani,senggama/berhubungan badan, bercumbu dan seks oral)
selama kurun enam bulan terakhir. Mayoritas responden juga mengaku berhubungan badan dengan
pacar, teman dekat, orang asing (baru dikenal) tanpa ikatan pernikahan. Sebagian besar responden
melakukan aktivitas cybersex dengan menjelajalah situs porno, sisanya melakukan percakapan seks,
mengunduh pornografi dan mengakses multimedia/software seks dengan tujuan ingin tahu, sebagai
hiburan dan rekreasi. Cooper (2002) juga menegaskan bahwa topik seks ataupun hal-hal yang berbau
porno menempati urutan pertama yang paling digemari dan dicari oleh para netizen di Amerika.
Bahkan Kementerian Kominfo sendiri merilis statistik aduan konten website per Juni 2018,
menempatkan pornografi pada peringkat pertama yaitu sebanyak 8.264 aduan, sedangkan untuk
statistik keseluruhan mencapai 825.863 aduan (Kominfo, 2018). Hal ini juga diperkuat data survei
ECPAT Indonesia yang menyebutkan bahwa angka konsumsi konten pornografi masyarakat Indonesia
menempati rangking kedua setelah India terbanyak sebagai pengakses video. Dari data tersebut
diketahui bahwa mayoritas (74%) pengakses konten dewasa di Indonesia adalah generasi muda
(Julheri, 2018).Berdasarkan fenomena dan penjelasan di atas, penulis ingin mengetahui beberapa
factor yang mempengaruhi perilaku cybersex di Indonesia.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk pada penelitian systematic review melalui penelusuran hasil penelitian di
database elektronik Google Scholar (http://scholar.google.co.id/). Database elektronik tersebut dipilih
karena mengindeks lebih banyak hasil-hasil penelitian di bidang sosial khususnya psikologi. Kurun
waktu periode publikasi dibatasi mulai tahun 2015 sampai 2019. Dari hasil penelusuran yang telah
dilakukan, peneliti membaca judul dan abstrak penelitian untuk mengetahui apakah artikel tersebut
memenuhi kriteria untuk dikaji.
Kriteria artikel yang digunakan adalah: 1) artikel penelitian membahas tentang cybersex; 2)
artikel membahas tentang pengaruh variabel x terhadap cybersex; 3) artikel berisi laporan hasil
penelitian (original article); 4) artikel ditulis berhubungan dengan perilaku individu yang berkaitan
dengan cybersex di Indonesia. Analisis pada penelitian ini peneliti melakukan identifikasi, evaluasi
dan interpretasi terhadap semua hasil penelitian yang relevan terkait cybersex secara naratif. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cybersex pada
individu. Peneliti mengumpulkan artikel yang relevan untuk dikaji dan membuat rangkuman
hasil-hasil penelitian yang mencakup nama peneliti, tahun publikasi, jumlah subjek, alat ukur yang
digunakan, dan hasil penelitian. Dari hasil tersebut peneliti menarik kesimpulan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cybersex.

3
HASIL
Berdasarkan hasil analisis pada artikel publikasi yang relevan untuk dikaji, diperoleh hasil
sebagai berikut terkait beberapa factor yang mempengaruhi perilaku cybersex, diantaranya:

Usia dan Jenis Kelamin


Usia dan jenis kelamin merupakan salah satu factor dari cybersex karena usia berkaitan dengan
sikap remaja melakukan cybersex. Faktor yang mempengaruhi cybersex berdasarkan jenis kelamin dan
usia diteliti oleh Pribadi dan Putri (2009) tentang perbedaan sikap terhadap seks dunia maya pada
mahasiswa yang berumur 18 hingga 30 tahun. Hasilnya, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap
yang signifikan terhadap seks dunia maya antara mahasiswa laki-laki dengan mahasiswa perempuan,
dimana sikap mahasiswa laki-laki lebih positif dibanding mahasiswa perempuan terhadap sex di dunia
maya. Disamping itu, deskripsi subjek berdasarkan usia menunjukkan bahwa sikap terhadap seks
dunia maya pada subjek yang berusia antara 21- 24 tahun lebih tinggi dibanding subjek yang berusia
18 - 20 tahun atau 25 - 30 tahun
Studi Harmaini dan Novitriani (2019) bertujuan untuk mengetahui perbedaan cybersex pada 400
remaja yang berusia 12-21 ditinjau dari usia dan jenis kelamin. Hasilnya menunjukkan adanya
perbedaan perilaku cybersex pada remaja ditinjau dari usia dan jenis kelamin, dimana cybersex pada
usia remaja akhir lebih tinggi dibandingkan dengan usia remaja awal dan usia remaja madya, serta
cybersex pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.

Religiusitas
Individu dengan kendali diri yang kurang lebih mengutamakan kepuasan dan kesenangan
subjektif sehingga mengesampingkan tujuan hidup yang dipertahankan sebelumnya. Padahal
nilai-nilai dalam diri individu yang dianut maupun diyakini merupakan bagian dari kendali diri yang
secara tidak langsung menentukan tujuan hidupnya. Religiusitas merupakan nilai-nilai keagamaan
yang diyakini individu sebagai pedoman yang mengarahkan hidupnnya sehingga berkonstribusi pada
kendali hidup individu Agustina dan Hafiza (2013).
Menurut Robertson (1993 dalam ) religiusitas adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam diri
individu yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama yang diaktualisasikan
dalam perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu, agama dan religiusitas merupakan dua kutub yang saling
melengkapi dan mendukung karena berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosial individu.
Dimensi religiusitas dalam Islam mencakup aqidah, ibadah, amal, ihsan dan ilmu (Suroso dan Ancok,
2005). Ditinjau dari sudut pandang agama Islam, cybersex dianggap sebagai dosa atau zina yang
sudah diperingatkan oleh Allah dalam qur’an agar setiap manusia dapat menjada kehormatannya dan
menjaga syahwatnya dari zina. Allah berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”
(QS.Annur:30).

4
Hasil studi Agustina dan Hafiza (2013) tentang hubungan antara religiusitas dengan perilaku
cybersex pada kalangan mahasiswa muslim di Yogyakarta menunjukkan bahwa semakin tinggi
religiositas maka akan semakin rendah perilaku cybersex begitu pula sebaliknya semakin rendah
religiositasnya maka akan semakin tinggi perilaku cybersex pada mahasiswa. Dengan demikian
terdapat hasil korelasi negatif antara antara religiositas dengan perilaku cybersex, sehingga hipotesis
yang menyatakan terdapat hubungan negative antara religiositas dengan perilaku cybersex dapat
diterima.

Kecerdasan Emosional
Menurut Salovey dan Mayer (dalam Carr, 2011) kecerdasan emosional adalah kemampuan
individu untuk memantau, mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan
perasaan tersebut untuk mengarahkan pikiran pikiran dan tindakan. Dengan demikian, individu yang
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi mampu mengatasi berbagai masalah atau tantangan yang
muncul dalam hidupnya. Seligman juga mengungkapkan bahwa individu yang cerdas emosinya akan
bersikap optimis, bahwa segala sesuatu dalam kehidupan dapat teratasi kendati ditimpa kemunduran
atau frustrasi (dalam Goleman, 2001). Saat memasuki usia dewasa awal beberapa individu memiliki
perasaan ingin tahu akan hal-hal yang berkaitan dengan seks dan reproduksi. Padahal gairah dan
hasrat seksual merupakan kesatuan yang berkaitan dengan kebutuhan bologis. Hal tersebut
menimbulkan dorongan seksual yang tidak tersampaikan sehingga internet menjadi sebuah solusi bagi
beberapa individu untuk melakukan pemuasan seksual melalui cybersex. Oleh sebab itu, kecerdasan
emosi memiliki peran positif yang dibutuhkan oleh individu agar dapat menyelesaikan masalahnya
dan berpikir secara rasional mengenai dampak yang ditimbulkan dari perilaku cybersex dan
mengalihkan dorongan seksual tersebut melalui hal-hal positif (Arifani, 2016).
Studi Awal (2019) tentang pengaruh control diri dan kecerdasan emosional terhadap
kecenderungan cybersex pada pria dewasa. Hasilnya menunjukkan adanya pengaruh antara kontrol
diri dan kecerdasan emosi terhadap kecenderungan cybersex pada pria dewasa awal.

Kontrol Diri
Kontrol diri adalah kemampuan untuk mengubah tanggapan seseorang, terutama untuk
membuatnya sesuai dengan standar tersebut sebagai cita-cita, nilai, moral, dan harapan sosial, serta
penunjang dalam mengejar tujuan hidup jangka Panjang (Baumeister, Vohs & Tice, 2007). Menurut
Caplin (2011) kemampuan individu untuk mengarahkan perilakunya, menekan dan merintangi suatu
impuls-implus disebut dengan control diri. Dengan demikian control diri dapat menjadi alat dalam diri
individu untuk mengendalikan diri dalam mencapai keinginan maupun tujuan yang telah direncanakan
(Andani, Alizamar, & Afdal, 2020). Oleh sebab itu, control diri merupakan factor positif yang dapat
mencegah dan menekan adanya perilaku agar tidak menimbulkan efek buruk bagi bagi individu
(Sa’diyah, 2008).

5
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Andani, Alizamar, dan Afdal (2020)
tentang hubungan antara kontrol diri dengan kecenderungan perilaku cybersex pada siswa sekolah
menengah keatas. Hasilnya, menunjukkan rendahnya control diri siswa sehingga secara keseluruhan
siswa memiliki kecenderungan perilaku cybersex pada kategori sangat tinggi. Hal tersebut dilihat dari
perilaku siswa dalam mengakses hal-hal yang berkaitan dengan pornografi secara online juga dalam
tingkatan yang tinggi. Namun siswa dengan control diri yang tinggi baik dari aspek perilaku, kognitif
dan keputusan berhubungan negatif dengan kecenderungan perilaku cybersex. Dengan demikian,
kontrol diri merupakan salah satu factor yang digunakan individu untuk menekan perilaku negatif, jika
individu melakukan perilaku negatif maka hal tersebut akan mengarah kepada hal menyimpang karena
ketidaksanggupan individu dalam mengontrol diri termasuk kecenderungan perilaku cybersex.

Pendekatan Edukatif
Pendidikan merupakan kunci utama dari perilaku manusia, baik di sekolah khususnya pendidikan
dalam keluarga. Mengingat cybersex korbannya tidak memandang umur dikarenakan kemajuan
teknologi termasuk anak kecil pun yang sudah mampu menggunakan perangkat digital. Oleh karenanya
diharapkan peranan guru dan khususnya orangtua untuk turut serta membantu pencegahan cybersex.
Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan mengarahkan anak untuk berfikir maupun berperilaku positif
dan menjelaskan dampak negative serta bahaya dari perilaku cybersex melalui pendidikan moral
(Sa’diyah,2018). Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate juga mengatakan bahwa orang
tua dan keluarga memiliki peran penting untuk melindungi anak dari penyalahgunaan internet. Hal
tersebut disampaikan menyusul adanya kasus yang sempat viral di mana anak-anak melakukan
tindakan asusila di internet dikarenakan banyak yang mengaksesnya selama belajar dari rumah.
Walaupun terdapat sistem yang memonitor dari jarak jauh, tapi pertahanan yang paling besar, paling
kuat dan paling penting adalah dari keluarga, yang mampu mendidik dan mengarahkan anak untuk
menggunakan ruang digital secara cerdas dan bermanfaat (Irso,2020 ).

Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, didapatkan faktor yang mempengaruhi
cybersex yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, diantaranya jenis kelamin, usia,
religiusitas, kecerdasan emosional, dan control diri sedangkan factor eksternal yaitu peran keluarga
dan pendidik untuk mengarahkan anak dalam memanfaatkan internet dengan positif seperti mencari
tugas atau menambah wawasan.

6
Daftar Pustaka
Agustina, I., & Hafiza, F. (2013). Religiositas dan perilaku cybersex pada kalangan
mahasiswa. Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 18(1), 15-23.
Andani, F., Alizamar, A., & Afdal, A. (2020). Relationship Between Self-Control With Cybersex
Behavioral Tendencies and it’s Implication for Guidance and Counseling Services. Jurnal Neo
Konseling, 2(1).
Awal, P. P. D. (2019). Pengaruh control diri dan kecerdasan emosional terhadap kecenderungan
cybersex. PSIKOBORNEO, 7 (4), 803-812.
Baumeister, R. F., Vohs, K. D., & Tice, D. M. (2007). The strength model of self-control. Current
directions in psychological science, 16(6), 351-355.
Carr, A. (2011). Positive psychology: The science of happiness and human strengths. Routledge.
Cooper, A. (2002). Sex and the internet. U.S.A.: Brunner-Routledge.
Goleman. (2001). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih Bahasa: Widodo, A.T.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Harmaini, H., & Novitriani, S. A. (2019). PERBEDAAN CYBERSEX PADA REMAJA DITINJAU
DARI USIA DAN JENIS KELAMIN DI PEKANBARU. Psikoislamedia: Jurnal Psikologi, 3(2),
137-147.
Juditha, C. (2020). Perilaku Cybersex pada Generasi Milenial Cybersex Behavior in Millenial
Generation. Jurnal Pekommas, 5(1), 47-58.
Nainggolan, M. (2008). Dampak Internet terhadap sosial individu. Diambil
darihttp://munawarohnainggolan.blogspot.com/
Pribadi, S. Adjie dan Putri, D. Eka (2009). Perbedaan Sikap terhadap Seks Dunia Maya Pada
Mahasiswa ditinjau dari Jenis Kelamin. Jurnal Universitas Gunadarma, Vol. 3. Oktober.
Rianto, P. (2015). Seksualitas Cyber: Sex Sebagai Kesenangan Dan Komoditas. Informasi, 45(2),
163-170.
Robertson, R. 1993. Agama: dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis : Dimensi-Dimensi
Keberagamaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sa'diyah, N. K. (2018). Faktor penghambat dalam pencegahan dan penanggulangan cyperporn di
dunia cyber dalam pembaharuan hukum pidana. Perspektif, 23(2), 94-106.
Sari, N. N., & Purba, R. M. (2012). GAMBARAN PERILAKU CYBERSEX PADA REMAJA
PELAKU CYBERSEX DI KOTA MEDAN: DESCRIPTIVE OF CYBERSEX BEHAVIOR
AMONG ADOLESCENTS ENGAGING IN CYBERSEX IN MEDAN. Psikologia: Journal
Pemikirian dan Penelitian Psikologi, 7(2), 62-73.
Varfi, N., Rothen, S., Jasiowka, K., Lepers, T., Bianchi-Demicheli, F., & Khazaal, Y. (2019). Sexual
desire, mood, attachment style, impulsivity, and self-esteem as predictive factors for addictive
cybersex. JMIR Mental Health, 6(1), e9978.

7
Varfi, N., Rothen, S., Jasiowka, K., Lepers, T., Bianchi-Demicheli, F., & Khazaal, Y. (2019). Sexual
desire, mood, attachment style, impulsivity, and self-esteem as predictive factors for addictive
cybersex. JMIR Mental Health, 6(1), e9978.

Anda mungkin juga menyukai