Anda di halaman 1dari 10

Paradigma Baru

Pengajaran Sastra di SMA


Oleh
Uum G. Karyanto
SMA Negeri 3 Ogan Komering Ulu

Disajikan pada Seminar MGMP Bahasa Indonesia SMA


Kabupaten Ogan Komering Ulu
Baturaja, 8 Agustus 2010
Paradigma Baru Pengajaran Sastra di SMA
Oleh
Uum G. Karyanto
(SMA Negeri 3 Ogan Komering Ulu)

A. Pendahuluan: Beberapa Masalah Pengajaran Sastra di SMA

Judul makalah ini menggunakan istilah “pengajaran sastra”, bukan


“pembelajaran sastra”. Pertimbangannya adalah bahwa makalah ini
berupaya menyajikan permasalah dan alternatif pemecahan masalah
proses belajar mengajar sastra Indonesia secara strategis-metodologis
ditinjau dari sudut pandang guru. Istilah “pengajaran sastra” sekaligus
melokalisasi arah pembicaraan kepada performa guru dalam
merencanakan, mengelola, dan mengevaluasi sistem pembelajaran yang
dikembangkannya sesuai tuntutan kurikulum yang kita gunakan sekarang,
yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP).

Pelajaran sastra Indonesia mulai jenjang sekolah dasar sampai dengan


jenjang sekolah lanjutan tingkat atas merupakan bagian tidak terpisahkan
dari mata pelajaran Bahasa Indonesia yang dikemas dalam empat
subsistem sesuai dengan pendekatan komunikatif yang mengedepankan
kompetensi komunikatif (communicative competences), yaitu (1)
mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis. Pendekatan
ini dinilai jauh lebih tepat dibandingkan pendekatan sebelumnya yang
masih bersifat teoretis. Standar Isi (SI) mata pelajaran Bahasa Indonesia
dispesifikasi secara relatif lebih tepat dalam rumusan redaksional Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang lebih tepat dan
mengarah kepada kemudahan operasionalisasinya oleh guru melalui
rumusan indikator yang terukur. Kementerian Pendidikan Nasional
(sebelumnya: Departemen Pendidikan Nasional) melalui Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) bahkan telah menerbitkan berbagai panduan
perumusan indikator yang di antaranya menyajikan senarai kata-kata
operasional untuk keperluan perumusan indikator yang tepat. Artinya,
usaha pemerintah untuk membenahi pemahaman guru tentang substansi
SI telah cukup memadai.

Sayangnya, upaya pemerintah ini tidak dengan serta-merta mampu


memperbaiki keadaan. Pembelajaran sastra Indonesia masih dihadapkan
pada persoalan-persoalan klasik yang mestinya telah lama terbenahi dan
persoalan-persoalan baru yang mengemuka sebagai konsekuensi
perubahan zaman. Persoalan-persoalan klasik dari sudut pandang guru
berjalin-berkelindan, berkembang secara kausatif, dan relatif bertumpu—
antara lain—pada gejala-gejala:

2
a. pelajaran sastra diposisikan secara subordinatif dari pelajaran bahasa
Indonesia,
b. pengajaran bahasa Indonesia—juga mata pelajaran lain—cenderung
berorientasi kepada hasil (result oriented) tinimbang kepada proses
(process oriented),
c. pelajaran sastra disajikan tidak secara menarik dan menyenangkan,
d. pelajaran sastra kurang diarahkan kepada kreativitas sastra peserta
didik,
e. pemahaman guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang substansi
kurikulum pelajaran sastra Indonesia kurang memadai,
f. minat guru mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap sastra
(Indonesia, daerah, dan dunia) masih rendah,
g. guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang mengikuti
perkembangan sastra Indonesia,
h. kemampuan apresiatif dan/atau kemampuan produktif—sastra guru
mata pelajaran Bahasa Indonesia belum mamadai,
i. kemampuan metodologis guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak
komplit, lebih cenderung mampu mengajarkan tata bahasa dan
gramatika, tetapi lemah dalam mengajarkan sastra,
j. perpustakaan tidak menyediakan cukup bahan untuk pelajaran sastra,
dan
k. guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang menguasai sistem
penilaian karya sastra.

Adapun, persoalan-persoalan baru yang mengemuka sebagai konsekuensi


perubahan zaman dari sudut pandang guru relatif bertumpu—antara lain
—pada gejala-gejala:
a. guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang responsif terhadap
pembaruan kurikulum beserta pelbagai inovasinya yang
memungkinkan pembelajaran sastra dapat dikembangkan secara lebih
kreatif melalui penyajian berbagai panduan, tips and trick, diversifikasi
prosedur dan dokumentasi hasil penilaian, dan sistem internal evaluasi
diri, dan
b. guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang ”bersahabat” dengan
teknologi informasi, padahal teknologi informasi menyediakan wahana
yang tidak terbatas untuk untuk memperkaya bahan penyajian,
menginovasi sistem pengajaran, dan memutakhirkan informasi
pendukung pembelajaran sastra.

B. Konten Pembelajaran Sastra di dalam Kurikulum

Bahwa pelajaran sastra diposisikan secara subordinatif dari pelajaran


bahasa Indonesia telah merupakan stigma klasik dalam pengajaran sastra
Indonesia. Tidak kurang dari seorang Taufiq Ismail mengatakan bahwa

3
sekian lama pengajaran sastra di SMU tergusur ke pinggir oleh pengajaran
tata-bahasa dengan perbandingan 10—20 % berbanding 90—80 %. 1

Sekarang, dengan gembira kita dapat mematahkan asumsi ini. Konten


pembelajaran sastra Indonesia SMA di dalam KTSP dapat kita katakan
memiliki rasio ± 50 : 50. Dalam satu program pendidikan (kelas X s.d.
kelas XII) untuk mata pelajaran Bahasa terdapat 48 SK yang terbagi rata
16 SK tiap tahun pelajaran atau 8 SK tiap semester. Delapan SK tiap
semester tersebut terbagi rata pula dalam 2 unit yang terdiri atas 4
keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis).
Unit pertama bermuatan kebahasaan dan unit kedua bermuatan
kesusastraan. Dengan demikian, sebaran SK yang bermuatan kebahasaan
dan yang bermuatan kebahasaan jumlahnya sama.

Adapun, muatan pelajaran sastra dalam SI mata pelajaran bahasa


Indonesia SMA meliputi:

Aspek Kompetensi/Standar Kompetensi


Kelas Smt
Mendengark
Berbicara Membaca Menulis
an
Memahami Membahas Memahami Mengungkap
puisi yang cerita pendek wacana -kan pikiran,
disampaikan melalui sastra dan
secara kegiatan melalui perasaan
1 langsung/tid diskusi kegiatan melalui
ak langsung membaca kegiatan
puisi dan menulis
cerpen puisi
X
Memahami Mengungkap Memahami Mengungkap
cerita rakyat -kan sastra -kan
yang pendapat Melayu pengalaman
dituturkan terhadap klasik diri sendiri
2 puisi melalui dan orang
diskusi lain ke
dalam
cerpen

XI 1 Memahami Memerankan Memahami Mengungkap


pementasan tokoh dalam berbagai -kan
drama pementasan hikayat, infomasi
drama novel melalui
Indonesia/n penulisan
1
Taufiq Ismail, Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang (Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta, 2003), h. 7.

4
ovel resensi
terjemahan
Memahami Mengungkap Memahami Menulis
pembacaan -kan wacana buku naskah
cerpen sastra dalam biografi, drama
2
bentuk novel, dan
pementasan hikayat
drama
Memahami Mengungkap Memahami Mengungkap
pembacaan -kan wacana -kan
novel pendapat sastra puisi pendapat,
tentang dan cerpen informasi,
pembacaan dan
1
puisi pengalaman
dalam
bentuk
resensi dan
cerpen
XII Memahami Mengungkap Memahami Mengungkap
pembacaan -kan buku -kan
teks drama tanggapan kumpulan pendapat
terhadap puisi dalam
pembacaan kontemporer bentuk
2 puisi lama dan karya kritik dan
sastra yang esai
dianggap
penting pada
tiap periode

SK-SK sebagaimana terdaftar pada tabel di atas dijabarkan lagi ke dalam


KD-KD dengan jumlah disesuaikan dengan keluasan ruang lingkupnya.
Sebagai contoh:

Kelas X, Semester 1

5
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Mendengarkan
5. Memahami puisi yang 5.1 Mengidentifikasi unsur-unsur
disampaikan secara bentuk suatu puisi yang
langsung/tidak langsung disampaikan secara langsung
ataupun melalui rekaman
6.1 Mengungkapkan isi suatu puisi
yang disampaikan secara langsung
ataupun melalui rekaman

Berbicara
6. Membahas cerita pendek 6.1 Mengemukakan hal-hal yang
melalui kegiatan diskusi menarik atau mengesankan dari
cerita pendek melalui kegiatan
diskusi
6.2 Menemukan nilai-nilai cerita
pendek melalui kegiatan diskusi

Membaca
7. Memahami wacana sastra 7.1 Membacakan puisi dengan lafal,
melalui kegiatan membaca nada, tekanan, dan intonasi yang
puisi dan cerpen tepat
7.2 Menganalisis keterkaitan unsur
intrinsik suatu cerpen dengan
kehidupan sehari-hari

Menulis
8. Mengungkapkan pikiran, 8.1 Menulis puisi lama dengan
dan perasaan melalui memperhatikan bait, irama, dan
kegiatan menulis puisi rima
8.2Menulis puisi baru dengan
memperhatikan bait, irama, dan
rima

KD-KD tersebut kemudian dikembangkan ke dalam indikator-indikator


yang dikembangkan secara mandiri oleh guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia bersangkutan. Sebagai contoh:

6
Kompetensi Dasar Indikator

5.1 Mengidentifikasi unsur- • Mengidentifikasi (majas, rima, kata-


unsur bentuk suatu kata berkonotasi dan bermakna
puisi yang disampaikan lambang)
secara langsung • Menanggapi unsur-unsur puisi yang
ataupun melalui ditemukan
rekaman • Mengartikan kata-kata berkonotasi dan
makna lambang
5.2 Mengungkapkan isi • Menyebutkan tema puisi yang
suatu puisi yang didengar
disampaikan secara • Menyebutkan jenis puisi yang didengar
langsung ataupun (balada, elegi, roman, ode, himne,
melalui rekaman satire, dll.)
• Menjelaskan maksud puisi
• Mengungkapkan isi puisi dengan kata-
kata sendiri

Uraian di atas, secara substansial memperlihatkan bahwa konten


pembelajaran sastra Indonesia dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia
berdasarkan KTSP telah cukup memadai dan memberikan peluang kepada
guru untuk mengembangkannya menjadi satu paket pengajaran sastra
Indonesia yang refresentatif dalam mengimplikasikan tuntutan
pengajaran sastra Indonesia yang tidak hanya sebatas apresiatif, tetapi
juga sampai kepada pengajaran sastra Indonesia yang produktif. Dengan
demikian, asumsi bahwa pelajaran sastra diposisikan secara subordinatif
dari pelajaran bahasa Indonesia saat ini secara tegas dapat kita tolak,
setidaknya pada tataran substansi kurikulum.

C. Paradigma Baru Pembelajaran Sastra

Pertanyaannya sekarang adalah: “Dapatkah konten yang relatif ideal ini


kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk menciptakan pembelajaran
sastra Indonesia yang relatif ideal pula?” Ini adalah pertanyaan klasik,
tetapi tetap relevan dan tetap krusial. Jawaban atas pertanyaan ini secara
filosofis barangkali adalah “tinggalkan paradigma lama dan mulailah
dengan paradigma baru dalam melaksanakan pengajaran sastra
Indonesia”. Akan tetapi, implementasi filosofi ini tentu saja tidak mudah.
Di hadapannya membentang “sekeranjang” persoalan yang kompleks dan
saling memengaruhi. Namun demikian, kita tetap berkeyakinan bahwa
selalu ada jalan untuk keluar dari kompleksitas persoalan ini.

Pertama, pengajaran bahasa Indonesia—juga mata pelajaran lain,


sebenarnya—cenderung berorientasi kepada hasil (result oriented)

7
tinimbang kepada proses (process oriented). Hal ini mengakibatkan
pelajaran sastra disajikan tidak secara menarik dan menyenangkan dan
kurang diarahkan kepada kreativitas sastra peserta didik. Idealnya, kedua
orientasi ini mendapat perhatian yang seimbang. Pengajaran sastra yang
hanya mengejar target nominal nilai akhir akan menghasilkan sistem
pengajaran yang kering dari kreativitas imajinasi. Padahal, imajinasi
kreatif harus diberi ruang luas dalam pengajaran sastra. Dalam kaitannya
dengan persoalan ini, Taufiq Ismail 2 menyarankan paradigma baru
sebagai acuan dalam memperbaiki pengajaran membaca, mengarang, dan
apresiasi sastra di SMA:

a. siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira,


b. siswa membaca langsung karya sastra puisi, cerita pendek, novel,
drama, dan esai, bukan melalui ringkasan,
c. kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan
sehingga tidak terasa jadi beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru,
d. ketika membicarakan karya sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai,
e. pengetahuan tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam
pengajaran sastra di SMA, cukup tersambil saja sebagai informasi
sekunder ketika membicarakan karya sastra, dan
f. pengajaran sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai yang positif pada
batin siswa, yang membekalinya menghadapi kenyataan kehidupan
masa kini yang keras di masyarakat.

Pada bagian ini saya ingin menambahkan:


g. selain karya sastra yang sudah menjadi mainstream, gunakan pula
karya sastra populer agar siswa memulai mengapresiasi karya sastra
dengan karangan ringan yang menjadi kesukaan mereka 3.

Kedua, pemahaman guru mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang


substansi kurikulum pelajaran sastra Indonesia perlu dibina dan
dikembangkan secara berkelanjutan. Pengajaran sastra memiliki
karakteristik yang berbeda dengan pengajaran sastra. Karakteristik itu
terkait dengan hakikat karya sastra yang sesungguhnya lebih cenderung
bersifat seni. Penekanannya lebih mengarah kepada pendekatan
apresiatif-produktif.

Ketiga, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu meningkatkan


minatnya terhadap sastra, baik terhadap sastra Indonesia, karya sastra
daerah, maupun karya sastra dunia, baik yang klasik maupun modern.
Kurangnya minat guru mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap karya
sastra akan berpengaruh negatif secara langsung terhadap suasana
pembelajaran sastra.
2
Ibid., hal. 24—26.
3
Ismail Marahimin dalam bukunya Menulis Secara Populer (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002) malah
menghindari pembedaan karya sastra dengan karya sastra populer. Baginya, semuanya adalah
karya sastra.

8
Keempat, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu terus mengikuti
perkembangan sastra Indonesia. Ada gejala yang nyata bahwa perhatian
guru mata pelajaran Bahasa Indonesia terhenti pada literatur sastra yang
selama ini dianggap standar, yaitu dari karya sastra melayu klasik sampai
pada karya sastra Angkatan ’66. Kenyataannya, dalam periode tahun 1970-
an sampai sekarang karya sastra Indonesia memperlihatkan
perkembangan yang tidak terbayangkan. Perkembangan ini,
sesungguhnya, telah terakomodasi bahkan dalam soal-soal sastra di dalam
naskah soal Ujian Nasional, misalnya dengan tampilnya nukilan-nukilan
karya Nenden Elis, Abidah El-Khalieky, Dewi Lestari (Dee), dan Ayu
Utami, yang tidak ditemukan di dalam buku-buku teks pelajaran Bahasa
Indonesia.

Kelima, kemampuan apresiatif dan/atau kemampuan produktif—sastra


guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu ditingkatkan. Selain mampu
mengapresiasi karya sastra dengan reseptif, guru perlu bisa mengarang
karya sastra, setidaknya dimulai dari karya sastra yang cenderung lebih
mudah ditulis, misalnya puisi dan cerita pendek. Karya sastra ciptaan
sendiri ini sesekali perlu disajikan kepada siswa untuk memotivasi mereka
berkreasi sastra.

Keenam, kemampuan metodologis guru mata pelajaran Bahasa Indonesia


perlu dielaborasi, sehingga ia tidak mengajarkan mata pelajaran Bahasa
Indonesia secara tidak seimbang, tidak komplit, lebih cenderung mampu
mengajarkan tata bahasa dan gramatika, tetapi lemah dalam mengajarkan
sastra. Bagaimanapun, pengajaran sastra merupakan bagian tidak
terpisahkan dari pengajaran Bahasa Indonesia secara umum, sesuai
tuntutan substansial kurikulum.

Ketujuh, perlu ada upaya dari sekolah untuk memerkaya koleksi bahan
bacaan sastra di perpustakaan sekolah. Pemerkayaan ini diharapkan tidak
hanya pada kuantitas judul dan eksemplar, tetapi juga pada diversifikasi
jenis, periode, dan genre karya sastra. Gambaran umum koleksi bahan
bacaan sastra pada perpustakaan kita lebih banyak berupa kumpulan
puisi, kumpulan cerita pendek, novel/roman, teori dan sejarah sastra,
sedangkan esai, kritik, resensi, dan leksikon sastra jarang ditemukan,
kalaupun ada sangat sedikit. Kondisi semacam ini tentu kurang
mendukung pengembangan pengajaran sastra di sekolah.

Kedelapan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu meningkatkan


penguasaan terhadap sistem penilaian karya sastra, khususnya karangan
hasil karya siswa. Perlu ada upaya untuk memerkaya dan mengembangkan
sistem penilaian karya yang dihasilkan oleh siswa melalui penciptaan
berbagai format penilaian yang dilandasi oleh pemahaman terhadap
karakteristik karya sastra sebagai hasil kreasi seni.

9
Kesembilan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu
mengembangkan sikap responsif terhadap pembaruan kurikulum beserta
pelbagai inovasinya yang memungkinkan pembelajaran sastra dapat
dikembangkan secara lebih kreatif melalui penyajian berbagai panduan,
tips and trick, diversifikasi prosedur dan dokumentasi hasil penilaian, dan
sistem internal evaluasi diri.

Kesepuluh, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia harus bersikap


”bersahabat” dengan teknologi informasi. Teknologi informasi dalam
kenyataannya menyediakan wahana yang tidak terbatas untuk untuk
memperkaya bahan penyajian, menginovasi sistem pengajaran, dan
memutakhirkan informasi pendukung pembelajaran sastra. Teknologi
informasi juga memungkinkan pembelajaran sastra dapat diselenggarakan
secara interaktif dan menghilangkan/mengurangi hambatan yang
disebabkan oleh keterbatasan ruang dan waktu.

D. Penutup

Telah tiba saatnya bagi kita—guru mata pelajaran Bahasa Indonesia—


untuk memulai pengajaran sastra Indonesia dengan menyandarkan diri
pada paradigma baru pengajaran sastra. Dari segi konten kurikulum,
paradigma baru ini sangat terbuka untuk dikembangkan karena kita
memiliki SI yang relatif dapat dikatakan ideal.

Permasalahan terbesar yang dihadapi dalam pengajaran sastra Indonesia,


di samping serangkaian permasalahan lain, sesungguhnya ada pada kita
sendiri sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan kita keluar
dari paradigma lama, dan memulai paradigma baru pengajaran sastra
Indonesia, harapan bahwa pengajaran sastra dilaksanakan sesuai tuntutan
idealnya dapat diwujudkan.

10

Anda mungkin juga menyukai