KATA PENGANTAR
Penulis
2
KATA PERSEMBAHAN
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................2
KATA PERSEMBAHAN....................................................................................3
DAFTAR ISI.........................................................................................................4
BAB I.....................................................................................................................6
KONSEP DASAR ETIKA PROFESI BK..........................................................6
A. Pengertian Etika...................................................................................................6
B. Pendapat Ahli.......................................................................................................8
C. Macam-macam Etika...........................................................................................10
D. Pengertian Profesi dan Pelaksanaan Profesi........................................................11
E. Pengertian Profesi dan Pelaksanaan Profesi........................................................13
F. Peranan Etika Dalam Profesi :.............................................................................14
G. Pengertian Kode Etik.....................................................................................17
H. Pengertian Kode Etik.....................................................................................19
I. Fungsi Kode Etik...............................................................................................21
J. Penyalahgunaan Profesi....................................................................................23
BAB III................................................................................................................43
“KODE ETIK GURU BK / KONSELOR SEKOLAH ”................................43
4
A. Pengertian Kode Etik Bimbingan dan Konseling............................................43
B. Landasan Legal..................................................................................................46
C. Tujuan Kode Etik Bimbingan Dan Konseling Indonesia................................50
D. Permasalahan daIam Implikasi Kode Etik Profesi BK...................................50
BAB IV................................................................................................................54
AKREDITASI, SERTIFIKASI DAN LISENSI..............................................54
DALAM PROFESI BK......................................................................................54
A. Pengertian Akreditasi........................................................................................54
B. Pengertian Sertifikasi.........................................................................................56
C. Pengertian Lisensi..............................................................................................69
BAB V..................................................................................................................72
KEKUATAN DAN KELEMAHAN KONSELOR SEBAGAI PERSONAL
DAN PROFESIONAL BK.................................................................................72
A. Gambaran Umum Kepribadian Konselor........................................................72
B. Kekuatan Konselor Sebagai Personal dan Professional..................................78
C. Keterbatasan Konselor Sebagai Personal dan Profesional.............................80
D. Sifat yang harus dimiliki konselor dalam keterbatasan personal dan
profesional..................................................................................................................82
BAB VI................................................................................................................87
BENTUK-BENTUK KERJA SAMA DENGAN REKAN SEJAWAT DAN
ANGGOTA PROFESI LAIN............................................................................87
A. Konsep Dasar Kerja Sama...................................................................................87
B. Bentuk-Bentuk Kerja Sama Guru BK dengan Personil Sekolah dalam
Pelayanan Bimbingan dan Konseling.......................................................................89
C. Case Conference atau Konferensi Kasus.............................................................92
D. Refferal..................................................................................................................95
E. Konsultasi...............................................................................................................96
F. Contoh Kasus/Masalah.........................................................................................97
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................99
5
BAB I
KONSEP DASAR ETIKA PROFESI BK
A. Pengertian Etika
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan
berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk
menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau
benar, buruk atau baik. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan
prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan
menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau
lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-
norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku
manusia yang baik, Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani
adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom).
6
b) Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam
bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana
saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan
kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan
prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud :
Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang
kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang
memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia
mengambil suatu keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral
dasar yang ada dibaliknya. Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
c) Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap
dirinya sendiri.
d) Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku
manusia sebagai anggota umat manusia. Perlu diperhatikan bahwa etika
individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan
tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota
umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan
manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara
kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa
pandangan- pandangana dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung
jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial
ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan
pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :
a) Sikap terhadap sesame
b) Etika keluarga
c) Etika profesi
d) Etika politik
e) Etika lingkungan
f) Etika idiologi
7
B. Pendapat Ahli
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the discipline which
can act as the performance index or reference for our control
system”.Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan
maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam
kelompok sosialnya
Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia
dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik
Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang
tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk,
sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which
can act as the performance index or reference for our control system".
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self control", karena
segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok sosial (profesi) itu sendiri
Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara
mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam
hidupnya.
1. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai
8
pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket adalah
menetapkan cara, untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang
diharapkan.
2. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik
yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah
formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan
santun dan kebaikan.
3. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau
perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat
sanksi.Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam
suatu kebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di tempat daerah
lainnya.
4. Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain
yang hadir.Etiket hanya berlaku, jika ada orang lain yang hadir, dan jika
tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”,
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk
kepentingan kelompok sosial(profesi) itu sendiri. Kehadiran organisasi
profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi
dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta
kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala
bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian
(Wignjosoebroto, 1999).
9
membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
2. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang
membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan
bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada
keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat,
akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat
sosiologik.
3. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat
normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya
terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan
adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan.
Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.
C. Macam-macam Etika
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang
tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara
moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan
menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya,
antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri
sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai
atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika
(Keraf: 1991: 23), sebagai berikut:
1. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan
perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam
hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut
berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan
perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan
realitas yang membudaya. Da-pat disimpulkan bahwa tentang kenyataan
dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang
10
dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat
bertindak secara etis.
2. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan
oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika
Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia
bertindak secara baik dan meng-hindarkan hal-hal yang buruk, sesuai
dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.
D. Pengertian Profesi dan Pelaksanaan Profesi
Profesi adalah suatu hal yang harus dibarengi dengan keahlian dan
etika. Meskipun sudah ada aturan yang mengatur tentang kode etik
profesi, namun seperti kita lihat saat ini masih sangat banyak terjadi
pelanggaran-pelanggaran ataupun penyalah gunaan profesi. Untuk itu
penulis akan membahas pengertian dari kode etik profesi dan sanksi atas
pelanggaran kode etik profesi.
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan
penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya
memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi
yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada
bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,teknikdan desainer.
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal
yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation)
yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak
orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang
sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan
kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat
disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari
praktek pelaksaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakan
hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Adapun hal yang
11
perlu diperhatikan oleh para pelaksana profesi.
Profesi Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu
hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh
pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap
sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan
kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan
teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan
antara teori dan penerapan dalam praktek. Kita tidak hanya mengenal
istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan seperti kedokteran, guru,
militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas sampai mencakup
pula bidang seperti manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis, sekretaris
dan sebagainya. Sejalan dengan itu, menurut DE GEORGE, timbul
kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri, sehubungan
dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul karena
banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam
pengertian profesi.
12
E. Pengertian Profesi dan Pelaksanaan Profesi
Profesi adalah suatu hal yang harus dibarengi dengan keahlian dan
etika. Meskipun sudah ada aturan yang mengatur tentang kode etik
profesi, namun seperti kita lihat saat ini masih sangat banyak terjadi
pelanggaran-pelanggaran ataupun penyalah gunaan profesi. Untuk itu
penulis akan membahas pengertian dari kode etik profesi dan sanksi atas
pelanggaran kode etik profesi.
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan
penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya
memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi
yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada
bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,teknikdan desainer.
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal
yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation)
yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak
orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang
sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan
kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat
disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari
praktek pelaksaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakan
hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Adapun hal yang
perlu diperhatikan oleh para pelaksana profesi.
Profesi Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa
suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh
pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap
sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan
kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan
13
teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan
antara teori dan penerapan dalam praktek. Kita tidak hanya mengenal
istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan seperti kedokteran, guru,
militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas sampai mencakup
pula bidang seperti manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis, sekretaris
dan sebagainya. Sejalan dengan itu, menurut DE GEORGE, timbul
kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri, sehubungan
dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul karena
banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam
pengertian profesi.
1. Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau
segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat,
bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu
bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok
diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan
bersama.
2. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang
menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau
14
masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu
masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat
perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara
tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharpkan menjadi pegangan
para anggotanya.
3. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-
perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada
nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam
kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada
masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi
hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi
dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah,
sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
15
pembuatan kode etik itu sendiri harus dilakukan oleh profesi yang
bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik itu
sendiri harus menjadi hasil pengaturan diri dari profesi. Dengan
membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas
putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya
hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya
kode etik yang berisikan nilai-nilai dan citacita yang diterima oleh
profesi itu sendiri yang bis mendarah daging dengannya dan
menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan dengan tekun
dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik
dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya di awasi
terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-
sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik. Berkaitan dengan
bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang sangatlah perlu
untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau terhadap
konsumen (klien atau objek).
Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi- segi
negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat kompas yang
menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga
menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakat. Kode etik
bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan
berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu
profesi. Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti.
Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya
selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi
dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode
etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif
kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau
instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan
nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.
Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan
16
barang kali dapat juga membantu dalam merumuskan, tetapi
pembuatan kode etik itu sendiri harus dilakukan oleh profesi yang
bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik itu
sendiri harus menjadi hasil pengaturan diri dari profesi. Dengan
membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas
putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya
hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya
kode etik yang berisikan nilai-nilai dan citacita yang diterima oleh
profesi itu sendiri yang bis mendarah daging dengannya dan
menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan dengan tekun
dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik
dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya di awasi
terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-
sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik.
Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan
seseorang sangatlah perlu untuk menjaga profesi dikalangan
masyarakat atau terhadap konsumen (klien atau objek). Dengan kata
lain orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat
dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa
disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan
mudahnya disalahgunakan oleh seseorang seperti pada
penyalahgunaan profesi seseorang dibidang komputer misalnya
pada kasus kejahatan komputer yang berhasil mengcopy program
komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hak pencipta
atas program yang dikomesikan itu. Sehingga perlu pemahaman
atas etika profesi dengan memahami kode etik profesi.
17
tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu
kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan
peraturan yang sistematis. Kode Etik Dapat diartikan pola aturan, tata
cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau
pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai
pedoman berperilaku.
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata
cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi.
Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi
yang diterjemahkan kedalam standaart perilaku anggotanya. Nilai
professional paling utama adalah keinginan untuk memberikan
pengabdian kepada masyarakat.
18
H. Pengertian Kode Etik
19
melindungi kepentingan pribadi yang betentangan dengan masyarakat.
Oteng/ Sutisna (1986: 364) mendefisikan bahwa kode etik sebagai pedoman
yang memaksa perilaku etis anggota profesi
Konvensi nasional IPBI ke-1 mendefinisikan kode etik sebagai pola
ketentuan, aturan, tata cara yang menjadi pedoman dalam menjalankan
aktifitas maupun tugas suatu profesi. Bahsannya setiap orang harus
menjalankan serta mejiwai akan Pola, Ketentuan, aturan karena pada
dasarnya suatu tindakan yang tidak menggunakan kode etik akan
berhadapan dengan sanksi.
20
Mencapai kualitas yang tinggi dan efektifitas baik dalam proses
maupun produk hasil kerja professional
Menjaga kompetensi sebagai profesional.
Mengetahui dan menghormati adanya hokum yang berhubungan
dengan kerja yang profesional.
Menghormati perjanjian, persetujuan, dan menunjukkan tanggungjawab
Biggs dan Blocher ( 1986 : 10) mengemukakan tiga fungsi kode etik
yaitu : 1. Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah. (2).
Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi. (3).
Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.
21
profesinya dalam melaksanakan tugas.
Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur
hubungan guru dengan teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan
masyarakat serta dengan misi tugasnya. Menurut Oteng Sutisna (1986 :
364) bahwa pentingnya kode etik guru dengan teman kerjanya difungsikan
sebagai penghubung serta saling mendukung dalam bidang mensukseskan
misi dalam mendidik peserta didik.
22
dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas
profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat
memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat
memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan
pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalanggan
social).
Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi
profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut
dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau
perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain
instansi atau perusahaan.
J. Penyalahgunaan Profesi
23
Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang
terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi
mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapka kesediaan profesi
untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam
praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa
solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang
profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang
melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas
antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian
maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya
adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbanganpertimbangan
lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami
betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik
profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang
telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih
memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang
lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah
tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah
sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta
terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa
yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan
oleh seorang professional
K. Prinsip Etika Profesi
24
Menurut Keraf (1993; 49-50), prinsip-prinsip etika profesi antara lain:
1. Tanggung jawab
2. Kebebasan.
3. Kejujuran.
Jujur dan setia serta merasa terhormat pada profesi yang disandangnya,
mengakui akan kelemahannya dan tidak menyombongkan diri, serta
berupaya terus untuk mengembangkan diri dalam mencapai kesempurnaan
bidang keahlian dan profesinya melalui pendidikan, pelatihan dan
pengalaman.
4. Keadilan.
25
Dalam menjalankan profesinya, maka setiap profesional memiliki
kewajiban dan tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap hak atau
mengganggu milik orang lain, lembaga atau organisasi, hingga
mencemarkan nama baik bangsa dan negara. Disamping itu harus
menghargai hak-hak, menjaga kehormatan nama baik, martabat dan milik
bagi pihak lain agar tercipta saling menghormati dan keadilan secara
obyektif dalam kehidupan masyarakat.
5. Otonomi.
26
diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu.
27
BAB II
SIKAP DAN ETIKA PROFESIONAL,
PROFESIONALISME PROFESI BK DAN TINJAUAN
EPISTEMOLOGI DAN ETIK
A. Pengertian Sikap
28
e. Mengupayakan mutu kerja setinggi mungkin.
f. Terampil dalam menggunakan teknik-teknik khusus yang dikembangkan
atas dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah.
g. Peduli terhadap identitas professional dan pengembangan profesi
29
c. Sikap terhadap teman sejawat antara lain: saling menghormati, menjaga,
bekerja sama dan saling membantu.
d. Sikap terhadap konseli antara lain: unik, dinamis, memperlakukan secara
manusiawi dan memfasilitasi tercapainya kemandirian
e. Sikap terhadap tempat kerja antara lain: merasa senang, menciptakan
hubungan kerja harmonis dan sinergis, serta menjaga kenyamanan.
f. Sikap terhadap pimpinan tempat kerja antara lain: memahami arah
kebijakan, loyal, mentaati, dan menghormati.
g. Sikap terhadap pekerjaan antara lain: senang, sungguh-sungguh dalam
melaksanakan tugas profesi seiring sejalan beribadah, menyesuaikan
kemampuan dengan kebutuhan konseli, meningkatkan kemampuan
melaksanakan tugas profesi.
B. Konsep Etika
30
b. Setiap manusia/ individu memiliki hak untuk mengembangkan dan
mengarahkan diri.
c. Setiap orang memiliki hak untuk memilih dan bertanggung jawab
terhadap keputusan yang diambilnya.
d. Setiap konselor membantu perkembangan setiap konseli, melalui
layanan bimbingan dan konseling secara profesional.
e. Hubungan konselor dengan konseli sebagai hubungan yang membantu
yang didasarkan kepada kode etik (etika profesi).
f. Bekerja dalam suatu tim bersama tenaga paraprofesional dan
profesional lain.
g. Menyelenggarakan layanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik
professional konselor.
h. Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan.
i. Mendahulukan kepentingan konseli dari pada kepentingan pribadi
konselor
Menurut Bertens (1993; 6-7) pengertian etika ada tiga pengertian, yaitu:
1. Etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya jika orang berbicara tentang
‘etika suku-suku Indian’, ‘etika agama Budha’, ‘etika Protestan’
Secara singkat arti ini bisa dirumuskan sebagai ‘sistem nilai’.
2. Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud
disini adalah kode etik. Misalnya ’etika Rumah Sakit Indonesia’ Etika
Pariwara’. Disini jelas ’etika’ jelas dimaksudkan kode etik.
3. Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika disini
sama artinya dengan filsafat moral. Jadi etika bsa juga diartikan cabang
filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan baik-buruk. Yang dapat dinilai baik buruk
adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku,
gerakangerakan, kata-kata dan sebagainya. Sedangkan motif, watak,
31
suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan/tingkah laku yang dikerjakan
dengan kesadaran sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang
dikerjakan dengan tak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
32
menghasilkan perubahan pada klien menggunakan pendekatan budayanya
(Faiz, Dharmayanti, & Nofrita, 2018).
C. Profesionalisme dalam BK
33
pekerjaan tersebut, bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mendapatkan pekerjaan lainnya. Hal tersebut dipandang melalui
proses pendidikan, dan latihan. Namun untuk pekerjaan profesional
mengacu pada proses pendidikan bukan sekedar latihan. Makin tinggi
tingkat pendidikan yang harus dipenuhi, makin tinggi pula derajat profesi
yang disandangnya (Christine, 2009:7)
34
konseling atau konselor adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung
jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan
konseling terhadap sejumlah pendidik. Sukardi dan Kusmawati (2008)
menjelaskan bahwa guru bimbingan konseling adalah seorang guru yang
bertugas memberikan bantuan psikologis dan kemanusiaan secara ilmiah
dan professional sehingga seorang guru bimbingan konseling harus
berusaha menciptakan komunikasi yang baik dengan peserta didik dalam
menghadapi masalah dan tantangan hidup. Konselor tersebut bertugas
secara profesional yaitu memang benar-benar telah dipersiapkan serta
dididik secara khusus untuk menguasai segala sesuatu yang berhubungan
dengan bimbingan dan konseling baik dalam pengetahuan, pengalaman,
dan pribadinya dalam bimbingan dan konseling.
35
pada peserta didik yang berbeda antara guru kelas/mata pelajaran dengan
guru bimbingan konseling. Guru bimbingan konseling melaksanakan
tugasnya berfokus pada pengembangan diri peserta didik sesuai dengan
potensi, minat, bakat, dan tahap-tahap perkembangan melalui berbagai
layanan-layanan seperti layanan orientasi, informasi, penguasaan konten,
penempatan/penyaluran, konseling baik kelompok maupun perseorangan,
dan lain-lain. Dalam layanan-layanan tersebut digunakan materi layanan
tertentu disesuaikan dengan kebutuhan dan layanan yang diberikan untuk
membelajarkan peserta didik sehingga ia mampu mengembangkan potensi
dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Winkel, 2006:172).
36
melindungi anggota profesi dan juga kepentingan publik (konseli dan
lingkungan). Etika yang harus dimiliki oleh seorang konselor profesional
yaitu kepribadiannya yang baik, menjaga asas kerahasiaan, memiliki asas
kesukarelaan, konselor juga harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap
klien dan dirinya sendiri.
37
Pengetahuan diperoleh manusia melalui akal yang sehat, indera
yang sehat, akal budi, pengalaman, intuisi, dan laporan yang benar yang
disandarkan pada otoritas. Terkait dengan pembahasan tinjauan
epistemologi terhadap guru profesional, pertanyaan yang dapat kita ajukan
adalah langkah-langkah apa yang harus ditempuh dan dijalani oleh seorang
guru sehinga sampai pada derajat guru professional.
38
Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat
Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1978 diselenggarakan
program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP
(setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan
guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan.
Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan
sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan.
Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun
1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka
Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya
kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
b. Mengetahui Anggapan Mengenai BK
Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali
dari pendidikan. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling
dengan pekerjaan dokter dan psikiater Bimbingan dan Konseling dibatasi
pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat incidental
Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.
Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak
normal”.
c. Berkarakter professional
BK ( Bimbingan dan Konseling ) merupakan suatu wadah untuk
menyelesaikan masalah seseorang atau kelompok sampai masalah tersebut
memang betul-betul dapat membantu menyelesaikan masalah dan
kerahasiaan, Hal tersebut dapat membuat : • Klien atau konseli
mempunyai batas gerak sesuai dengan tujuan konseling secara khusus
ditetapkan bersama oleh konselor dan klien pada waktu permulaan proses
konseling itu. • Konidisi yang memperlancar perubahan tingkah laku itu
diselenggarakan melalui wawancara. • Suasana mendengarkan terjadi
dalam konseling, tetapi tidak semua proses konseling itu terdiri dari
39
mendengarkan itu saja • Konselor memahami klien • Konseling
diselenggarakan dalam keadaan pribadi dan hasilnya dirahasiakan • Klien
mempunyai masalah-masalah psikologis dan konselor memiliki
keterampilan atau keahlian di dalam membantu memecahkan masalah-
masalah.
d. Kecermatan BK ( Bimbingan Konseling ) Menyangkut Ketepatan
Menguunakan Layanan
40
2. Profesionalisme Guru BK dalam Tinjauan Etik
41
sejak Desember 2016 hingga Mei 2017. Kejadian tersebut berulang
sebanyak 10 kali. Tersangka juga memberikan uang kepada korban setelah
melakukan perbuatannya (http://detik.com diakses pada tanggal 25 januari
2018 pukul 10.19 WIB). Kejadian diatas merupakan bentuk pelanggaran.
Selain melanggar hukum juga melanggar kode etik konselor. Berdasarkan
Kode Etik Profesi Konselor Indonesia yang disusun ABKIN, bentuk
pelanggaran yang telah dilakukan guru BK pada berita tersebut adalah
telah melakukan perbuatan asusila dan mencemarkan nama baik profesi.
Disisii lain, latar belakang pendidikan pelaku tindak asusila tersebut masih
belum diketahui peneliti. Perlu adanya penyelidikan latar belakang
pendidikan untuk memastikan bahwa pendidikan dan pekerjaan memiliki
hubungan yang selaras, mengingat pernah ditemui guru BK dengan latar
belakang pendidikan yang tidak sesuai.
1. Terhadap Konseli
a. Menyebarkan/membuka rahasia konseli kepada orang yang tidak terkait
dengan kepentingan konseli.
b. Melakukan perbuatan asusila (pelecehan seksual, penistaan agama,
rasialis).
c. Melakukan tindak kekerasan (fisik dan psikologis) terhadap konseli
d. Kesalahan dalam melakukan pratik profesional (prosedur, teknik, evaluasi,
dan tindak lanjut).
42
c. Terhadap Rekan Sejawat dan Profesi Lain Yang Terkait
d. Melakukan tindakan yang menimbulkan konflik (penghinaan, menolak
untuk bekerja sama, sikap arogan).
e. Melakukan referal kepada pihak yang tidak memiliki keahlian sesuai
dengan masalah konseli.
BAB III
“KODE ETIK GURU BK / KONSELOR SEKOLAH ”
43
bimbingan dan konseling sebagai pemegang kode etik yang bekerja pada
berbagai sektor dalam interaksi mereka dengan mitra kerja dan sasaran
layanan atau konseli serta anggota masyarakat pada umumnya.
44
tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi. Seorang profesional mudah
merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran.
1. Kualifikasi
a. Nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan dan wawasan dalam
bidang Bimbingan dan Konseling
b. Memperoleh pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai
Konselor.
2. Informasi, testing dan riset
a. Penyimpanan dan penggunaan informasi
b. Testing, diberikan kepada Konselor yang berwenang menggunakan
dan menafsirkan hasilnya
c. Riset, menjaga prinsip-prinisp sasaran riset serta kerahasiaan.
3. Proses pada pelayanan
a. Hubungan dalam pemberian pada pelayanan
b. Hubungan dengan klien.
4. Konsultasi dan hubungan dengan rekan sejawat atau ahli lain
a. Pentingnya berkonsultasi dengan sesama rekan sejawat
b. Alih tangan kasus apabila tidak dapat memberikan bantuan kepada
klien tersebut.
5. Hubungan kelembagaan; memuat mengenai aturan pelaksanaan layanan
konseling yang berhubungan dengan kelembagaan
6. Praktik mandiri dan laporan kepada pihak lain
a. Konselor praktik mandiri, menyangkut aturan dalam melaksanakan
konseling secara private
b. Laporan kepada pihak lain.
7. Ketaatan kepada profesi
a. Pelaksanaan hak dan kewajiban
45
b. Pelanggaran terhadap kode etik.
B. Landasan Legal
46
Landasan legal Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia adalah
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ABKIN. Dalam ranah
kenegaraan, Kode Etik ini berlandaskan:
47
Indonesia (IPBI). Selanjutnya, melalui Kongres IPBI pada tanggal 15
Maret 2001 di Bandar Lampung, IPBI berubah menjadi Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
6) Tahun 1975, lahir dan diberlakukan Kurikulum Tahun 1975, mulai
Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas, yang disebut
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum sebelumnya (Kurikulum
1968). Kurikulum 1975 menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan
merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah, yang memuat
beberapa pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut, yang salah satu di
antaranya adalah buku Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan (Buku III/C).
7) Pada tahun 1989 lahir Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa
yang akan datang.
8) Pada tahun 1990 lahir Peraturan Pemerintah Nomor 28 dan Nomor 29
tentang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Pada PP Nomor 28,
Bab X Bimbingan, pasal 25 ayat (1) dinyatakan bahwa bimbingan
merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya
menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa
depan. Pada ayat (2) bimbingan diberikan oleh guru pembimbing. Pada PP
Nomor 29, pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi sama dengan ayat (1)
dan ayat (2) PP Nomor 28.
9) Tahun 1989 terbit Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru
dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam
Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan
bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
10) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menyatakan bahwa “konselor” adalah pendidik dalam pasal
1 ayat (6).
48
11) Pada tahun 2003/2004, dikembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) yang menekankan layanan bimbingan dan konseling pada kegiatan
pengembangan diri.
12) Tahun 2005, Pengurus Besar ABKIN telah menerbitkan Standar
Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI).
13) Pada tahun 2005, terbit Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, yang antara lain menyebutkan pendidikan profesi guru.
14) Tahun 2007 terbit buku berjudul Penataan Pendidikan Profesional
Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan
Formal, yang diterbitkan oleh Ditjen Dikti dan Ditjen PMPTK, Depdiknas.
15) Tahun 2008 diterbitkan Permendiknas No. 27 Tahun 2008 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK), yang
menjelaskan bahwa kualifikasi akademik konselor dalam satuan
pendidikan pada jalur pendidikan formal adalah Sarjana Pendidikan (S-1)
dalam bidang bimbingan dan konseling.
16) Tahun 2010 terbit buku Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Profesi
Guru BK/Konselor oleh Ditjen Dikti, Depdikbud.
17) Tahun 2013, terbit Permendikbud No. 81/A tentang Implementasi
Kurikulum 2013 yang di dalamnya menyebutkan tentang konsep dan
strategi layanan bimbingan dan konseling.
18) Tahun 2014 terbit Permendikbud No. 111/2014 tentang Bimbingan dan
Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
19) Tahun 2016 terbit Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling di SD/SMP/SMA/SMK yang diterbitkan oleh Ditjen GTK
sebagai penjabaran dari Permendikbud No. 111/2014.
20) Tahun 2017 terbit Kepmenristekdikti No. 257/M/KPT/2017 tentang Nama
Program Studi Pada Perguruan Tinggi, disebutkan pada lampiran I tentang
Pendidikan Bimbingan dan Konseling pada Rumpun Ilmu Terapan
(Profession and Applied Sciences) bergelar S.Pd., sedangkan pada
lampiran II disebutkan Pendidikan Profesi Konselor (Counselor Profession
Education) bergelar Konselor.
49
C. Tujuan Kode Etik Bimbingan Dan Konseling Indonesia
50
D. Permasalahan daIam Implikasi Kode Etik Profesi BK
51
untuk menangani siswa yang melakukan pelanggaran atau membuat masalah,
dengan ditangani oleh guru BK sendiri maupun oleh guru atau pihak lain.
Mereka berpikir jika dibawa ke ruangan BK maka terdapat pelanggaran atau
kesalahan yang telah mereka lakukan.
Survei yang dilakukan Ika Kusuma Wardani dan Retno Tri Hariastuti
(2009) dengan menyebar kuesioner kepada siswa menunjukkan hasil bahwa
sebanyak 60% siswa memiliki pemikiran konselor sekolah merupakan guru
yang pemarah, suka memberi hukuman kepada siswa yang melakukan
pelanggaran tata tertib sekolah, dan tidak tegas daIam menghadapi siswa. Jadi
konselor sekolah dipandang sebagai polisi sekolah, sehingga membuat pola
pikir yang negatif dari siswa sehingga membuatnya kurang memahami
mengenai hakikat adanya konselor sekolah.
52
3) Masyarakat juga banyak yang belum mengerti mengenai konseling, siapa
yang melayani konseling, macam permasalahan yang dapat diselesaikan
oleh konselor, dan kompetensi dari konselor tersebut. Hal tersebut dapat
membuat konseling tidak menjadi profesi yang bermartabat. Jika
dibandingkan dengan profesi Dokter, Advokat, Akuntan, Psikolog, dan
masih banyak lagi yang memiliki martabat tinggi, masyarakat akan
beramai-ramai datang menuju profesi-profesi tersebut jika mengalami
suatu permasalahan tertentu. Kesadaran pada Guru BK dapat membuat
profesi BK memiliki martabat yang baik, yaitu dengan menegakkan kode
etik profesi BK. Guru BK/Konselor sebaiknya memiliki sikap idealis
dengan melaksanakan semua tugas dan tanggung jawabnya. Juga konselor
harus memiliki perilaku aItruistik atau mementingkan untuk membantu
orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Kualitas kepribadian juga
harus selalu ditingkatkan konselor.
53
BAB IV
AKREDITASI, SERTIFIKASI DAN LISENSI
DALAM PROFESI BK
A. Pengertian Akreditasi
Akreditasi (accreditation) adalah proses penentuan status yang
dilakukan oleh organisasi profesi atau suatu badan khusus yang dipandang
kompeten dan independen terhadap lembaga penyelenggara program
kependidikan dalam pencapaian standar mutu yang dipersyaratkan.
Akreditasi adalah pengakuan resmi tentang kelayakan suatu program
pembentukan profesional “pre-service”. Akreditasi adalah penilaian
kelayakan teknis-akademis lembaga penyelenggara program pendidikan
untuk menghasilkan lulusan dengan spesifikasi kompetensi yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, dengan didukung oleh asosiasi penyelenggara
program pendidikan profesional, badan penyelenggara akreditasi berfungsi
mengawal mutu program pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga
penyelenggara pendidikan.
54
Akreditasi merupakan prosedur secara resmi diakui bagi status
profesi untuk mempengaruhi jenis dan mutu anggota profesi yang dimasud
(Steinhouser & Bradley, dalam Prayitno, 1987). Tujuan akreditasi adalah
untuk memantapkan kredibilitas profesi. Tujuan ini lebih lanjut
dirumuskan sebagai berikut:
55
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 60 secara tegas disebutkan
bahwa akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan
satuan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang
dan jenis pendidikan. Akreditasi adalah pemberian derajat penilaian
kondisi kelayakan program studi dan satuan pendidikan. Program studi
adalah kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki
kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan
akademik, pendidikan profesi, dan pendidikan vokasi. Program studi
mendapatkan akreditasi pada saat memperoleh izin penyelenggaraan dan
wajib diakreditasi ulang pada saat jangka waktu akreditasi berakhir.
Program studi yang tidak terakreditasi dan diakreditasi ulang dapat
dicabut izinnya oleh Menteri.
B. Pengertian Sertifikasi
56
sertifikat tidak seperti izin praktik, ditetapkan melalui organisasi non-
legislatif bebas yang membantu mengatur penggunaan gelar tersebut.
57
diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai guru dan dosen.
Ayat (2) Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
oleh Perguruan Tinggi bersama dengan kementerian, Kementerian lain,
LPNK, organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan
profesi atau badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Ayat (3) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
pendidikan tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat profesi.
58
Ada Beberapa persoalan pokok yang perlu dikaji teliti berkaitan
dengan sertifikasi dan akreditasi ini.
1. Standar kompetensi
Pertanyaan epistemologi, posisi keilmuan, dan fokus kajian
bimbingan dan konseling membawa implikasi bagi pengembangan
kompetensi yang harus dikuasai konselor. Kompetensi adalah sebuah
kontinuum perkembangan mulai dari proses kesadaran (awareness),
akomodasi, dan tindakan nyata sebagai wujud kinerja. Sebagai suatu
keutuhan, kompetensi konselor merujuk kepada penguasaan konsep,
penghayatan dan perwujudan nilai, penampilan pribadi yang bersifat
membantu, dan unjuk kerja profesional yang akuntabel. Kompetensi
konselor mesti dibangun dari landasan filosofis tentang hakikat manusia
dan kehidupannya sebagai mahluk Allah Yang Maha Kuasa, pribadi, dan
warga negara yang ada dalam konteks kultur tertentu, jelasnya kultur
Indonesia. Konselor adalah pendidik, karena itu konselor harus
berkompeten sebagai pendidik. Konselor adalah seorang profesional,
karena itu layanan bimbingan dan konseling harus diatur dan didasarkan
kepada regulasi perilaku profesional, yaitu Kode Etik. Seorang konselor
profesional perlu memiliki kesadaran etik karena di dalam memberikan
layanan kepada siswa (manusia) maupun dalam kolaborasi dengan pihak
lain akan selalu diperhadapkan kepada persoalan dan isu-isu etis dalam
pengambilan keputusan untuk membantu individu.
59
kompetensi khusus yang harus dikuasai konselor untuk dapat memberikan
layanan dalam seting/wilayah khusus itu. Kompetensi ini disebut
kompetensi inti atau kompetensi khusus (core/specific competencies)
a. Standar Pendidikan
Pendidikan Konselor adalah proses utuh penyiapan konselor
profesional jenjang S1 sampai dengan S3, termasuk Pendidikan Profesi di
dalamnya. Pada jenjang S1, tujuan utama terletak pada menghasilkan
60
Sarjana Bimbingan dan Konseling yang memiliki kemampuan umum dan
dasar baik akademik maupun profesional dalam melaksanakan layanan
Bimbingan dan Konseling, terutama dalam setting pendidikan formal.
Pada jenjang S2, tujuan utama terletak pada menghasilkan para akademisi
bimbingan dan konseling yang menguasai keilmuan bimbingan dan
konseling, kemampuan profesional, dan dasar-dasar pengembangan
keilmuan bimbingan dan konseling. Jenjang ini menghasilkan Magister
Sains Bimbingan dan Konseling. Pada jenjang S3, tujuan utama terletak
pada menghasilkan ahli bimbi konseling yang menguasai filosofi dan
keilmuan bimbingan dan konseling, ke profesional, riset untuk
pengembangan keilmuan bimbingan dan konseling kemampuan sebagai
pendidik konselor. Jenjang ini menghasilkan Doktor Bimbingan dan
Konseling.
61
Pertanyaan epistemologi, posisi keilmuan, dan fokus kajian
bimbingan dan konseling membawa implikasi bagi pengembangan
kompetensi yang harus dikuasai konselor. Kompetensi adalah sebuah
kontinuum perkembangan mulai dari proses kesadaran (awareness),
akomodasi, dan tindakan nyata sebagai wujud kinerja. Sebagai suatu
keutuhan, kompetensi konselor merujuk kepada penguasaan konsep,
penghayatan dan perwujudan nilai, penampilan pribadi yang bersifat
membantu, dan unjuk kerja profesional yang akuntabel. Kompetensi
konselor mesti dibangun dari landasan filosofis tentang hakikat manusia
dan kehidupannya sebagai mahluk Allah Yang Maha Kuasa, pribadi, dan
warga negara yang ada dalam konteks kultur tertentu, jelasnya kultur
Indonesia. Konselor adalah pendidik, karena itu konselor harus
berkompeten sebagai pendidik. Konselor adalah seorang profesional,
karena itu layanan bimbingan dan konseling harus diatur dan didasarkan
kepada regulasi perilaku profesional, yaitu Kode Etik. Seorang konselor
profesional perlu memiliki kesadaran etik karena di dalam memberikan
layanan kepada siswa (manusia) maupun dalam kolaborasi dengan pihak
lain akan selalu diperhadapkan kepada persoalan dan isu-isu etis dalam
pengambilan keputusan untuk membantu individu.
62
khusus itu. Kompetensi ini disebut kompetensi inti atau kompetensi
khusus (core/specific competencies).
Dalam kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan
berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological
educator/psychoeducator), dengan perangkat pengetahuan dan
keterampilan psikologis yang dimilikinya untuk membantu individu
mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Peran ini
merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-tujuan
keilmuan dan praktik profesional konselor sebagai layanan yang
menunjukkan keunikan dan Kebermaknaan tersendiri di dalam
masyarakat. Sebagai seorang pendidik psikologis, konselor harus
kompeten dalam hal:
1. Memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam
konteks sosial budaya. Ini berarti seorang konselor harus mampu
mengakses, mengintervensi, dan mengevaluasi keterlibatan dinamis
dari keluarga, lingkungan, sekolah, lembaga sosial dan masyarakat
sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keberfungsian individu di
dalam sistem.
2. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis baik antar maupun
intrapribadi dan lintas budaya. Kemampuan menguasai teknik-teknik
treatment tradisional yang terdiri atas konseling individual kelompok
harus diperluas ke arah penguasaan teknik-teknik konsul han, dan
pengembangan organisasi.
3. Menguasai strategi dan teknik Aang memungkinkan dapat
dipahaminya keberfungsian psikologis individu interaksinya di
dalam lingkungan.
4. Memahami proses perkembangan manusia secara individual maupun
secara sosial. Sebagai seorang profesional, konselor harus mampu
mengonseptualisasikan dan memfasilitasi proses pertumbuhan
melalui pengembangan interaksi optimal antara individu dengan
lingkungan. Konselor harus bergerak melintas dari konsep statik
tentang "kecocokan individu lingkungan" ke arah "alur individu-
lingkungan", yang menekankan kepada keterikatan pengayaan
pertumbuhan antara individu dengan suatu lingkungan belajar.
Implikasi dari pergeseran ini adalah bahwa asessment tradisional
yang menekankan kepada pemahaman intrapsikis, simptom dan
sindrome, yang bersifat psikopatologis bukanlah sebagai prioritas
utama. Prioritas tinggi terletak pada asessmen pengaruh lingkungan
terhadap perilaku individu, pengalaman tersupervisi dalam hal
layanan konsultasi, pelatihan, pengembangan organisasi, riset dalam
63
keberfungsian keluarga, dan perkembangan life span, di samping
konseling individual dan kelompok.
5. Memegang kokoh regulasi profesi yang terinternalisasi ke dalam
kekuatan etik profesi yang mempribadi.
6. Memahami dan menguasai kaidah-kaidah dan praktik
Pendidikan,dalam setting mana pun. Kompetensi ini disebut
kompetensi utama minimal, sebagai kompetensi bersama (common
competencies), yang harus dikuasai oleh konselor sekolah,
perkawinan, karir, traumatik, rehabilitasi, dan kesehatan mental.
Setiap setting bimbingan dan konseling menghendaki kompetensi
khusus yang harus dikuasai konselor untuk dapat memberikan
layanan dalam seting/wilayah khusus itu. Kompetensi ini disebut
kompetensi inti atau kompetensi khusus (core/specific
competencies).
7. Dalam kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan
berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological
educator/psychoeducator), dengan perangkat pengetahuan dan
keterampilan psikologis yang dimilikinya untuk membantu individu
mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Peran ini
merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-
tujuan keilmuan dan praktik profesional konselor sebagai layanan
yang menunjukkan keunikan dan Kebermaknaan tersendiri di dalam
masyarakat. Sebagai seorang pendidik psikologis, konselor harus
kompeten dalam hal:
8. Memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam
konteks sosial budaya. Ini berarti seorang konselor harus mampu
mengakses, mengintervensi, dan mengevaluasi keterlibatan dinamis
dari keluarga, lingkungan, sekolah, lembaga sosial dan masyarakat
sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keberfungsian individu di
dalam sistem.
9. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis baik antar maupun
intrapribadi dan lintas budaya. Kemampuan menguasai teknik-teknik
treatment tradisional yang terdiri atas konseling individual kelompok
harus diperluas ke arah penguasaan teknik-teknik konsul han, dan
pengembangan organisasi.
10. Menguasai strategi dan teknik Aang memungkinkan dapat
dipahaminya keberfungsian psikologis individu interaksinya di
dalam lingkungan.
11. Memahami proses perkembangan manusia secara individual maupun
secara sosial. Sebagai seorang profesional, konselor harus mampu
64
mengonseptualisasikan dan memfasilitasi proses pertumbuhan
melalui pengembangan interaksi optimal antara individu dengan
lingkungan. Konselor harus bergerak melintas dari konsep statik
tentang "kecocokan individu lingkungan" ke arah "alur individu-
lingkungan", yang menekankan kepada keterikatan pengayaan
pertumbuhan antara individu dengan suatu lingkungan belajar. dalam
setting mana pun. Kompetensi ini disebut kompetensi utama
minimal, sebagai kompetensi bersama (common competencies),
yang harus dikuasai oleh konselor sekolah, perkawinan, karir,
traumatik, rehabilitasi, dan kesehatan mental. Setiap setting
bimbingan dan konseling menghendaki kompetensi khusus yang
harus dikuasai konselor untuk dapat memberikan layanan dalam
seting/wilayah khusus itu. Kompetensi ini disebut kompetensi inti
atau kompetensi khusus (core/specific competencies).
Dalam kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan
berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological
educator/psychoeducator), dengan perangkat pengetahuan dan
keterampilan psikologis yang dimilikinya untuk membantu individu
mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Peran ini
merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-
tujuan keilmuan dan praktik profesional konselor sebagai layanan
yang menunjukkan keunikan dan Kebermaknaan tersendiri di dalam
masyarakat. Sebagai seorang pendidik psikologis, konselor harus
kompeten dalam hal:
12. Memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam
konteks sosial budaya. Ini berarti seorang konselor harus mampu
mengakses, mengintervensi, dan mengevaluasi keterlibatan dinamis
dari keluarga, lingkungan, sekolah, lembaga sosial dan masyarakat
sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keberfungsian individu di
dalam sistem.
13. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis baik antar maupun
intrapribadi dan lintas budaya. Kemampuan menguasai teknik-teknik
treatment tradisional yang terdiri atas konseling individual kelompok
harus diperluas ke arah penguasaan teknik-teknik konsul han, dan
pengembangan organisasi.
14. Menguasai strategi dan teknik Aang memungkinkan dapat
dipahaminya keberfungsian psikologis individu interaksinya di
dalam lingkungan.
15. Memahami proses perkembangan manusia secara individual maupun
secara sosial. Sebagai seorang profesional, konselor harus mampu
mengonseptualisasikan dan memfasilitasi proses pertumbuhan
65
melalui pengembangan interaksi optimal antara individu dengan
lingkungan. Konselor harus bergerak melintas dari konsep statik
tentang "kecocokan individu lingkungan" ke arah "alur individu-
lingkungan", yang menekankan kepada keterikatan pengayaan
pertumbuhan antara individu dengan suatu lingkungan belajar.\
16. Implikasi dari pergeseran ini adalah bahwa asessment tradisional
yang menekankan kepada pemahaman intrapsikis, simptom dan
sindrome, yang bersifat psikopatologis bukanlah sebagai prioritas
utama. Prioritas tinggi terletak pada asessmen pengaruh lingkungan
terhadap perilaku individu, pengalaman tersupervisi dalam hal
layanan konsultasi, pelatihan, pengembangan organisasi, riset dalam
keberfungsian keluarga, dan perkembangan life span, di samping
konseling individual dan kelompok.
17. Memegang kokoh regulasi profesi yang terinternalisasi ke dalam
kekuatan etik profesi yang mempribadi.
18. Memahami dan menguasai kaidah-kaidah dan praktik pendidikan
dalam setting mana pun. Kompetensi ini disebut kompetensi utama
minimal, sebagai kompetensi bersama (common competencies), yang
harus dikuasai oleh konselor sekolah, perkawinan, karir, traumatik,
rehabilitasi, dan kesehatan mental. Setiap setting bimbingan dan
konseling menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai
konselor untuk dapat memberikan layanan dalam seting/wilayah
khusus itu. Kompetensi ini disebut kompetensi inti atau kompetensi
khusus (core/specific competencies).
Dalam kapasitasnya sebagai pendidik, konselor berperan dan
berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological
educator/psychoeducator), dengan perangkat pengetahuan dan
keterampilan psikologis yang dimilikinya untuk membantu individu
mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Peran ini
merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-
tujuan keilmuan dan praktik profesional konselor sebagai layanan
yang menunjukkan keunikan dan Kebermaknaan tersendiri di dalam
masyarakat. Sebagai seorang pendidik psikologis, konselor harus
kompeten dalam hal:
19. Memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam
konteks sosial budaya. Ini berarti seorang konselor harus mampu
mengakses, mengintervensi, dan mengevaluasi keterlibatan dinamis
dari keluarga, lingkungan, sekolah, lembaga sosial dan masyarakat
sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keberfungsian individu di
dalam sistem.
66
20. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis baik antar maupun
intrapribadi dan lintas budaya. Kemampuan menguasai teknik-teknik
treatment tradisional yang terdiri atas konseling individual kelompok
harus diperluas ke arah penguasaan teknik-teknik konsul han, dan
pengembangan organisasi.
21. Menguasai strategi dan teknik Aang memungkinkan dapat
dipahaminya keberfungsian psikologis individu interaksinya di
dalam lingkungan.
22. Memahami proses perkembangan manusia secara individual maupun
secara sosial. Sebagai seorang profesional, konselor harus mampu
mengonseptualisasikan dan memfasilitasi proses pertumbuhan
melalui pengembangan interaksi optimal antara individu dengan
lingkungan. Konselor harus bergerak melintas dari konsep statik
tentang "kecocokan individu lingkungan" ke arah "alur individu-
lingkungan", yang menekankan kepada keterikatan pengayaan
pertumbuhan antara individu dengan suatu lingkungan belajar.
Implikasi dari pergeseran ini adalah bahwa asessment tradisional
yang menekankan kepada pemahaman intrapsikis, simptom dan
sindrome, yang bersifat psikopatologis bukanlah sebagai prioritas
utama. Prioritas tinggi terletak pada asessmen pengaruh lingkungan
terhadap perilaku individu, pengalaman tersupervisi dalam hal
layanan konsultasi, pelatihan, pengembangan organisasi, riset dalam
keberfungsian keluarga, dan perkembangan life span, di samping
konseling individual dan kelompok.
23. Memegang kokoh regulasi profesi yang terinternalisasi ke dalam
kekuatan etik profesi yang mempribadi.
24. Memahami dan menguasai kaidah-kaidah dan praktik Pendidikan
b. Lembaga Pendidikan
67
dicapai melalui program pendidikan konselor di LPTK. Dengan
sertifikasi dan akreditasi ini pekerjaan bimbingan dan konseling
akan menjadi profesional karena hanya dilakukan oleh konselor
profesional bersertifikat. Untuk itu perlu dirumuskan standar atau
kriteria LPTK yang memenuhi persyaratan untuk
menyelenggarakan pendidikan konselor standar itu mencakup:
1. kualifikasi jurusan atau program studi bimbingan dan
konseling yang dinyatakan sebagai hasil Akreditasi Nasional
2. Ketenagaan
3. program
4. fasilitas
68
2. pendidikan profesi hanya diikuti oleh sarjana S1 bimbingan
dan konseling melalui seleksi
3. ujian akhir pendidikan profesi harus melibatkan unsur
asosiasi profesi atau di samping dosen perguruan tinggi
penyelenggara
4. pemberian gelar magister profesi menjadi kewenangan
perguruan tinggi, sedangkan Penganugerahkan sebutan( baca:
bukan gelar) konselor diberikan oleh ABKIN dengan cara
seperti ini mutualifikasi konselor akan terjamin karena
dikendalikan oleh ABKIN. Hanya mereka pemegang
sertifikat sebutan profesional sebagai konselor yang dapat
menyatakan diri sebagai konselor. ABKINPerlu
membedakan secara tegas sebutan konselor dengan sebutan
guru pembimbing.Guru pembimbing adalah guru bidang
studi yang diberi tugas tambahan memberikan layanan
bimbingan dan konseling setelah memperoleh pelatihan
khusus untuk itu.
C. Pengertian Lisensi
69
ditetapkan dewan lisensi untuk mengatur kegiatan praktik, akan
terkena tindakan indisipliner yang menjadi kewenangan dewan
tersebut.
Menurut Wibowo (2005) dalam naskah Kongres Nasional X
ABKIN tujuan program lisensi konselor adalah untuk mencapai:
a. Penjaminan mutu konseling. Profesi konseling merupakan proses layanan
publik, artinya setiap warganegara berhak memperolehnya. Konseling
diperuntukan bagi semua individu yang sedang berkembang tanpa
memandang usia, sekolah, suku, bangsa, jenis kelamin, agama, dan
sebagainya. Orang tua harus mendapat jaminan bahwa anak-anaknya
memperoleh pelayanan konseling sebagai bagian dari pendidikan yang
bermutu oleh konselor, yang secara khusus mempunyai kompetensi yang
dipersyaratkan.
b. Perlindungan profesi konselor. Profesi konselor perlu dilindungi dengan
kekuatan hukum untuk menghindarkan praktik oleh pihak yang tidak
berhak.
c. Peningkatan Profesi konselor. Profesi konseling perlu ditegakkan,
konselor harus selalu meningkatkan diri melalui berbagai kegiatan
profesional, dan peningkatan itu harus dapat dievaluasi secara obyektif.
70
a. Faktor kepribadian
Kepribadian konselor yang telah menempuh sertifikasi/ mendapat
sertifikat pendidik akan menunjukan kepribadiannya sebagai seorang
konselor, karena untuk memperoleh sertifikat pendidik konselor harus
lulus uji sertifikasi.
b. Faktor pengembangan profesi
Terlihat jelas bahwa konselor yang telah lulus uji sertifikasi telah
melakukan pengembangan profesi untuk mendukung peningkatan
kemampuannya/kinerjanya.
c. Faktor kemampuan memberikan layanan
Konselor yang telah memperoleh sertifikat pendidik lebih terampil
dalam memberikan layanan BK, dikarenakan konselor tersebut secara teori
telah melaksanakan program sertifikasi dan telah lulus uji sertifikasi.
d. Hubungan dengan konseli.
Konselor yang telah mendapakan sertifikat pendidik lebih terampil
membentuk hubungan dan menjalani komunikasi yang baik khususnya
dalam menyelenggarakan layanan BK.
71
BAB V
KEKUATAN DAN KELEMAHAN KONSELOR
SEBAGAI PERSONAL DAN PROFESIONAL BK
72
konseling lebih bergantung pada kualitas pribadi konselor dibanding
kecermatan Teknik.
73
mampu mendorong orang lain tumbuh. Carlekhuff menyebutkan 9 ciri
kepribadian yang harus ada pada konselor, yang dapat menumbuhkan orang
lain:
1. Empati (Empaty)
3. Keaslian (genuiness).
4. Konkret (Concreteness)
74
selalu berusaha mencegah konseli lari dari kenyataan yang sedang
dihadapi.
5. Konfrontasi (Confrontation)
7. Kesanggupan (Potency)
8. Kesiapan (Immediacy)
75
& Renz, 1969). Tingkat immediacy yang tinggi terdapat pada diskusi dan
analisis yang terbuka mengenai hubungan antar pribadi yang terjadi antara
konselor dan konseli dalam situasi konseling.Immediacy merupakan
variabel yang sangat penting karena menyediakan kesempatan untuk
menggarap berbagai masalah konseli, sehingga konseli dapat mengambil
manfaat melalui pengalaman ini.
76
5. Menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah
yang dihadapi dan ia miliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang
krang menentu ( mendesak ) tanpa terganggu profesinya dan aspek
kehidupan pribadinya.
7. Kesanggupan (Potency)
8. Kesiapan (Immediacy)
77
menggarap berbagai masalah konseli, sehingga konseli dapat mengambil
manfaat melalui pengalaman ini.
78
181-182). Konselor sadar bahwa, manusia termasuk dirinya sebagai mahluk
menjadi “ Un becoming “.
5.Menjaga rahasia.
79
Secara terlibat dengan pengujian diri dan wawasan pandangannya sendiri,
menguasai secara mantap teori-teori baru, dan mengmbangkan secara sistematis
teori-teori konseling sendiri yang unik. Setelah mendalami (studi) mungkin
memutuskan untuk sepakat atau menerima penuh suatu ancangan teoritis. Di
samping memahami diri secara akurat , atas kelebihan dan kekurangannya, maka
konselor tidak berhenti untuk mendalami secara terus-menerus sesuai dengan
perkembangan.
80
Sebagai seorang konselor, kadang-kadang ikut larut dalam masalah yang
dihadapi konseli. Seperti misalnya dia merasakan kesedihan yang berlarut-larut
karena konseli menghadapi masalah yang cukup berat.
4.Egoisme konselor.
Ada konselor yang mengekspos masalah konseli kepada pihak lain yang
tidak bersangkut paut dengan konselor lain tanpa izin dari konseli. Sesuai denan
asas kerahasiaan , ini adalah tidak benar.
81
dengan orang lain.
Secara membabi-buta (taklid) memakai satu jenis atau satu bdang teori
tunggal dengan tidak memberikan pemikiran alternatif, atau tidak mampu sama
sekali memaknakan secara sadar berbagai ancangan yang sistematis.
1.Tingkahlakuyangetis
Sikap dasar seorang konselor harus mengandung ciri etis, karena konselor
harus membantu manusia sebagai pribadi dan memberikan informasi pribadi yang
bersifat sangat rahasia. Konselor harus dapat merahasiakan kehidupan pribadi
konseli dan memiliki tanggung jawab moral untuk membantu memecahkan
kesukarankonseli.
2.Kemampuanintelektual.
Konselor yang baik harus memiliki kemampuan intelektual untuk
memahami seluruh tingkah laku manusia dan masalahnya serta dapat memadukan
kejadian-kejadian sekarang dengan pengalaman-pengalamannya dan latihan-
82
latihannya sebagai konselor pada masa lampau. Ia harus dapat berpikir secara
logis, kritis, dan mengarah ke tujuan sehingga ia dapat membantu konseli melihat
tujuan, kejadian-kejadian sekarang dalam proporsi yang sebenarnya, memberikan
alternatif-alternatif yang harus dipertimbangkan oleh konseli dan memberikan
saran-saran jalan keluar yang bijaksana. Semua kecakapan yang harus dimiliki
seorang konselor di atas membutuhkan tingkat perkembangan intelektual yang
cukupbaik.
3.Keluwesan(fleksibelity).
Hubungan dalam konseling yang bersifat pribadi mempunyai ciri yang
supel dan terbuka. Konselor diharapkan tidak bersifat kaku dengan langkah-
langkah tertentu dan sistem tertentu. Konselor yang baik dapat dengan mudah
menyesuaikan diri terhadap perubahan situasi konseling dan perubahan tingkah
laku konseli. Konselor pada saat-saat tertentu dapat berubah sebagai teman dan
pada saat lain dapat berubah menjadi pemimpin. Konselor bersama konseli dapat
dengan bebas membicarakan masalah masa lampau, masa kini, dan masa
mendatang yang berhubungan dengan masalah pribadi konseli. Konselor dapat
dengan luwes bergerak dari satu persoalan ke persoalan lainnya dan dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam
proseskonseling.
4.Sikappenerimaan(acceptance).
Seorang konseli diterima oleh konselor sebagai pribadi dengan segala
harapan, ketakutan, keputus-asaan, dan kebimbangannya. Konseli datang pada
konselor untuk meminta pertolongan dan minta agar masalah serta kesukaran
pribadinya dimengerti. Konselor harus dapat menerima dan melihat kepribadian
konseli secara keseluruhan dan dapat menerimanya menurut apa adanya. Konselor
harus dapat mengakui kepribadian konseli dan menerima konseli sebagai pribadi
yang mempunyai hak untuk mengambil keputusan sendiri. Konselor harus
percaya bahwa konseli mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan yang
bijaksana dan bertanggung jawab. Sikap penerimaan merupakan prinsip dasar
yangharusdilakukanpadasetiapkonseling.
83
5.Pemahaman(understanding).
Seorang konselor harus dapat menangkap arti dari ekspresi konseli.
Pemahaman adalah mengkap dengan jelas dan lengkap maksud yang sebenarnya
yang dinyatakan oleh konseli dan di pihak lain konseli dapat merasakan bahwa ia
dimengerti oleh konselor. Konseli dapat menangkap bahwa konselor mengerti dan
memahami dirinya, jika konselor dapat mengungkapkan kembali apa yang
diungkapkan konseli dengan bahasa verbal maupun nonverbal dan disertai dengan
perasaannyasendiri.
6.Pekaterhadaprahasiapribadi.
Dalam segala hal konselor harus dapat menunjukkan sikap jujur dan wajar
sehingga ia dapat dipercaya oleh konseli dan konseli berani membuka diri
terhadap konselor. Jika pada suatu saat seorang konseli mengetahui bahwa
konselornya menipunya dengan cara yang halus, konseli dapat langsung
menunjukkan sikap kurang mempercayai dan menutup diri yang menghilangkan
sikap baik antara dirinya dan konselornya. Konseli sangat peka terhadap kejujuran
konselor, sebab konseli telah berani mengambil risiko dengan membuka diri dan
khususnyarahasiahiduppribadinya.
7.Komunikasi.
Komunikasi merupakan kecakapan dasar yang harus dimiliki oleh setiap
konselor. Dalam komunikasi konselor dapat mengekspresikan kembali
pernyataan-pernyataan konseli secara tepat. Menjawab atau memantulkan kembali
pernyataan konseli dalam bentuk perasaan dan kata-kata serta tingkah laku
konselor. Konselor harus dapat memantulkan perasaan konseli dan pemantulan ini
dapat ditangkap serta dimengerti oleh konseli sebagai pernyataan yang penuh
penerimaan dan pengertian. Dalam koseling tidak terdapat resep tertentu
mengenai komunikasi yang dapat dipakai oleh setiap konselorpada setiap
konseling.
1.Tingkahlakuyangetis
2.Kemampuanintelektual.
3.Keluwesan(fleksibelity).
1.Tingkahlakuyangetis
84
2.Kemampuanintelektual.
3.Keluwesan(fleksibelity).
5.Pemahaman(understanding).
Contoh kasus
85
dan lainnya, disamping persamaannya. Perbedaan menyangkut: kapasitas
intelektual, keterampilan (skillls), motiasi, persepsi, sikap, kemampuan, minat,
dan lain-lain. Kedua, siswa menghadapi masalah-masalah dalam pendidikan.
Masalah-masalah tersebut bisa masalah pribadi, hubungan dengan orang lain
(guru, teman), masalah kesulitan belajar, dll. Dalam menyelesaikannya, seringkali
tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan memerlukan bantuan orang lain untuk
berdialog. Orang lain maksudnya adalah orang yang mau mengerti diri siswa dan
mengetahui cara penyelesaiannya. Dalam seting sekolah, konselor adalah orang
yang dituntut untuk dapat memberikan bantuan tersebut. Ketiga, masalah belajar.
Siswa datang ke sekolah dengan harapan agar bisa mengikuti pendidikan dengan
baik. Tetapi tidak selamanya demikian. Ada berbagai masalah yang mereka
hadapi, bersumber dari stress karena tugas-tugas, ketidakmampuan mengerjakan
tugas, keinginan untuk bekerja sebaik-baiknya tetapi tidak mampu, ingat kepada
keluarga (homesick), persaingan dengan teman, kemampuan dasar intelektual
yang kurang, motivasi belajar yang lemah, dll. Masalah-masalah tersebut tidak
selalu bisa diselesaikan dalam setting belajar-mengajar di kelas, melainkan
memerlukan pelayanan secara khusus oleh guru bimbingan konseling atau
konselor.
86
BAB VI
BENTUK-BENTUK KERJA SAMA DENGAN REKAN
SEJAWAT DAN ANGGOTA PROFESI LAIN
Matitune dalam Dewa ketut (1995) menyatakan bahwa kerja sama adalah
kesanggupan atau kemampuan bekerja secara bersama-sama dalam menyelesaikan
suatu tugas yang diberikan sehingga menghasilkan yang diinginkan. Kesanggupan
dan kemampuan seseorang dalam bekerja sama ini dapat dilihat dari
kemampuannya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan sehingga mencapai
87
hasil yang benar-benar memberi pengaruh seperti apa yang diharapkan. Dalam hal
ini, dapat dilihat indikator dalam bekerja sama sebagai berikut:
Kerja sama dilakukan antara suatu pihak lainnya dalam mencapai suatu
tujuan sama, maka dari itu kedua pihak saling bahu membahu dan saling
mendukung satu sama lainnya. Di sisi lain kerja sama memiliki tujuan dasar yaitu
saling menguntungkan. Parcek dalam Dewa ketut Sukardi mengemukakan bahwa
tujuan kerja sama adalah:
a. Membangkitkan ide-ide, dengan adanya upaya kerja sama maka akan muncul
ide-ide baru yang terpikirkan jika bekerja seorang diri.
f. Mengembangkan sinergi.
88
Sehingga dapat diketahui bahwa kerja sama sangat penting di dalam suatu
pekerjaan agar tujuan yang diharapkan mampu memenuhi apa yang menjadi
tujuan individu dengan individu lainnya. Karena kerja sama dapat menghindari
sikap yang egois, perbedaan persepsi antar pihak dan mencegah hal-hal yang
bersifat pemborosan, persaingan tidak sehat serta mencegah timbulnya konflik
antar sesama. Kerja sama membantu segala urusan dalam suatu pekerjaan menjadi
ringan dan maksimal di sekolah. Maka dalam hal inilah peran guru BK dan
personil sekolah lainnya bekerja sama dalam membantu proses pelayanan BK
berjalan dengan lancar dan efektif.
a. Bentuk kerja sama individual, dimana kerjasama didasari oleh rasa kesadaran
kedua belah pihak akan pentingnya menjalin kerja sama diantara keduanya.
b. Formal organisatoris, bentuk ini adalah dalam ikatan organisasi, seperti badan
pembantu penyelenggaraan pendidikan, yang mana bukan hanya terlihat dalam
urusan fisik serta biaya pendidikan saja. Melainkan terlibat pula dalam perbaikan
serta peningkatan kualitas hasil pendidikan.
Pelaksanaan program bimbingan dan konseling akan berjalan dengan baik ketika
seluruh personil bimbingan mampu bekerja sama dengan baik, personil bimbingan
tersebut meliputi guru bimbingan dan konseling, kepala sekolah, guru bidang
studi/ wali kelas, serta petugas administrasi (Tohirin, 2015). Personil sekolah
memiliki tugas dan peranan dalam pelayanan bimbingan dan konseling, dimana
peranan tersebut adalah sangat vital, tanpa kerjasama antara personil kegiatan
bimbingan dan konseling akan banyak mengalami hambatan (Prayitno, 1997).
89
Dengan kerjasama yang solid antara personil bimbingan akan meningkatkan
keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling di suatu instansi pendidikan.
Dalam kegiatan belajar mengajar sangat diperlukan adanya kerjasama antara guru
dengan konselor demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan tugas
pokok guru dalam proses pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
bimbingan, kemudian layanan bimbingan di sekolah perlu dukungan atau bantuan
guru. Adapun keterkaitan antar guru mata pelajaran dalam layanan bimbingan dan
konseling atau bentuk partisipasi guru mata pelajaran dalam layanan bimbingan
dan konseling antara lain:
Menurut Marsidin (2019) Kepala sekolah adalah tokoh sentral dalam peningkatan
mutu pendidikan di sekolah. Berhasil atau tidaknya sebuah lembaga pendidikan
khususnya pada satuan pendidikan dan sangat dipengaruhi oleh kompetensi yang
dimiliki kepala sekolah tersebut.
90
itu sendiri, namun juga sangat ditentukan oleh komitmen dan keterampilan
seluruh staf sekolah, terutama dari kepala sekolah sebagai administrator dan
supervisor. Peranan dan tanggung jawab kepala sekolah dalam pelaksanaan
bimbingan dan konseling di sekolah, sebagai berikut:
91
Adapun tugas Administrasi atau tata usaha adalah sebagai berikut:
Ahli lain berpendapat bahwa konferensi kasus merupakan media yang digunakan
untuk mencari solusi bagi konseli dengan cara berdiskusi dengan pihak-pihak
92
yang berkaitan dengan masalah konseli. Konferensi kasus merupakan kegiatan
pendukung atau pelengkap dalam proses bimbingan dan Konseling, khususnya
untuk membahas permasalahan konseli dalam suatu pertemuan, biasanya kegiatan
ini dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan
komitmen bagi terentaskannya permasalahan konseli. Memang tidak semua
masalah yang dihadapi konseli harus dilakukan konferensi kasus. Tetapi untuk
masalah-masalah yang tergolong pelik dan perlu keterlibatan pihak lain
tampaknya konferensi kasus sangat penting untuk dilaksanakan. Melalui
konferensi kasus, proses penyelesaian masalah konseli dilakukan tidak hanya
mengandalkan pada konselor di sekolah semata, tetapi bisa dilakukan secara
kolaboratif, dengan melibatkan berbagai pihak yang dianggap kompeten dan
memiliki kepentingan dengan permasalahan yang dihadapi konseli. Kendati
demikian, pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Artinya
memiliki pengaruh dan kepentingan langsung dengan permasalahan konseli yang
boleh dilibatkan dalam konferensi kasus. Misalkan, konferensi kasus untuk
membahas kasus narkoba yang dialami siswa X. Keputusan yang diambil dalam
konferensi bukan bersifat “mengadili” siswa yang bersangkutan, yang ujung-
ujungnya siswa dipaksa harus dikeluarkan dari sekolah, akan tetapi konferensi
kasus harus bisa menghasilkan keputusan bagaimana cara terbaik agar siswa
tersebut bisa sembuh dari ketergantungan narkoba.
a) Perencanaan
Konferensi kasus harus dibicarakan terlebih dahulu dan mendapat
persetujuan dari klien yang bermasalah dan seluruh peserta pertemuan
harus diyakinkan oleh konselor dan memiliki sikap yang teguh untuk
93
merahasiakan segenap aspek dari kasus yang dibicarakan. Pimpinan atau
Koordinator BK/Konselor atau pihak penyelenggara mengundang para
peserta konferensi kasus, baik atas insiatif pimpinan, penggugat, orang tua,
masyarakat atau konselor itu sendiri. Mereka yang diundang adalah orang-
orang yang memiliki pengaruh kuat atas permasalahan dihadapi klien dan
mereka yang dipandang memiliki keahlian tertentu terkait dengan
permasalahan yang dihadapi klien. Seperti orang tua, kepala sekolah, wali
kelas, staf atau ahli tertentu.
b) Pelaksanaan
Konselor harus mengarahkan pembicaraan sehingga seluruh peserta dapat
mengemukakan data atau keterangan yang mereka ketahui dan
mengembangkan pikiran untuk memecahkan masalah klien, caranya antara
lain; 1) Pemimpin konferensi membuka pertemuan. Pada pembukaan,
pemimpin konferensi menjelaskan tujuan dari pertemuan tersebut,
identitas kasus yang akan diangkat, dan penjelasan bahwa semua yang
dibicarakan harus dirahasiakan. 2) Pimpinan konferensi (konselor)
menyampaikan data-data yang telah terkumpul untuk melakukan diagnosa
awal terhadap klien. 3) Pemimpin memberikan kesempatan kepada peserta
untuk menyampaikan pendapat atau informasi tambahan mengenai klien,
terutama mengenai riwayat pendidikan, prestasi belajar, keadaan keluarga,
bakat, minat, hobi, kesehatan, dan lain-lain. 4) Pembuatan kesimpulan
dilakukan setelah semua pihak yang diundang memberikan pendapat dan
informasi. Kesimpulan yang dibuat dan dikemukakan berupa segi-segi
positif diri klien dan latar belakang timbulnya masalah. 5) Pimpinan
mempersilahkan peserta untuk mengemukakan pendapat tentang latar
belakang timbulnya masalah yang dialami klien. 6) Pimpinan membuat
kesimpulan berupa hal yang mungkin menjadi latar belakang masalah
tersebut. 7) Pemimpin meminta masukan dari para peserta yang hadir
tentang hal-hal yang dapat mereka lakukan dalam membantu klien.
c) Analisis dan evaluasi
94
Hasil yang diharapkan dari konferensi kasus yang sukses apabila konselor
memperoleh data atau keterangan tambahan yang amat berarti bagi
pemecahan masalah klien dan terbangunnya komitmen seluruh peserta
pertemuan untuk menyokong upaya pengentasan masalah klien. Apabila
hasil tidak sesuai dengan harapan, maka konselor sebagai penyelenggara
dapat melakukan proses konferensi kasus sesuai dengan kesepakatan para
peserta, selanjutnya konselor dapat melengkapi informasi dan ketersediaan
pakar atau ahli lain yang dirasa akan memberikan sumbangan ide dan
gagasan untuk menyelesaikan kasus.
D. Refferal
Kegiatan referal atau alih tangan yaitu kegiatan pendukung BK untuk
mendapatkan penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas masalah yang dialami
peserta didik atau konseli dengan memindahkan penanganan kasus dari satu pihak
ke pihak lainnya. Kegiatan ini memerlukan kerjasama yang erat antara berbagai
pihak yang dapat memberikan bantuan dan atas penanganan masalah tersebut
(terutama kerja sama dari ahli lain tempat kasus itu dialih tangankan). Kegiatan ini
menuntut agar pelayanan Bimbingan dan Konseling tidak hanya dirasakan adanya
pada waktu siswa mengalami masalah dan menghadap pada konselor saja, namun
usaha Bimbingan dan Konseling hendaknya dirasakan juga manfaatnya sebelum
dan sesudah siswa menjalani layanan Bimbingan dan Konseling secara langsung.
Kegiatan referal menunjuk pada azas alih tangan kasus yaitu azas Bimbingan
Konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu
menyelenggarakan layanan bimbingan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu
permasalahan peserta didik mengalih tangankan permasalahan itu kepada pihak
yang lebih ahli.
95
Kegiatan alih tangan kasus meliputi dua jalur, yaitu jalur kepada konselor
dan jalur dari konselor. Jalur kepada konselor, dalam arti konselor menerima
“kiriman” konseli dari pihak-pihak lain, seperti orang tua, kepala sekolah, guru,
pihak atau ahli lain (misalnya dokter, psikiater, psikolog, kepala suatu kantor aau
perusahaan). Sedangkan jalur dari konselor, dalam arti konselor “mengirimkan”
konseli yang belum tuntas ditangani kepada ahli-ahli lain, seperti konselor yang
lebih senior, konselor yang membidangi spesialisasi tertentu, ahli-ahli lain
(misalnya guru bidang studi, psikolog, psikiater, dan dokter). Konselor menerima
konseli dari pihak lain dengan harapan konseli itu dapat ditangani sesuai dengan
permasalahan konseli yang belum atau tidak tuntas ditangani oleh pihak lain itu;
atau permasalahan konseli itu tidak sesuai dengan bidang keahlian pihak yang
mengirimkan konseli itu. Di sisi lain, konselor mengalih tangankan konseli
kepada pihak lain apabila masalah yang dihadapi konseli memang diluar
kewenangan konselor untuk menanganinya, atau setelah konselor berusaha sekuat
tenaga memberikan bantuan, namun permasalahan konseli belum berhasil
ditangani secara tuntas.
96
- Sikap dan penerimaan (accommodation)
E. Konsultasi
Konsultasi diakui sebagai bentuk pelayanan yang khas karena para
konselor sekolah menyadari bahwa pelayanan langsung kepada siswa dalam
kondisi tertentu tidak sepenuhnya membawa hasil seperti yang diharapkan.
Konselor sering kali memiliki keinginan untuk bertindak sebagai konsultan bagi
guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif bagi siswa, namun
kebanyakan konselor tidak memberikan layanan konsultasi yang sistematis dan
berkesinambungan, biasanya dalam bekerja dengan siswa secara perorangan.
97
F. Contoh Kasus/Masalah
Contoh kasus terkait bentuk kerja sama guru BK dengan rekan sejawat
atau Profesi lain adalah sebagai berikut:
Berdasarkan jurnal hasil penelitian Sutirna (2013) ada seorang siswa SMA
yang ada di kota Tanggerang yang berlaku dan memiliki kebiasaan aneh seperti
gerakan-gerakan tangan yang tidak biasa serta penampilan yang kusut dan badan
yang kurus setelah diusut ternyata siswa tersebut ketahuan memakai narkoba jenis
sabu-sabu pada 6 bulan terakhir ini namun karena tidak adanya uang untuk terus
membeli zat terlarang tersebut maka tingkah dan kelakuannya jadi aneh dan tidak
normal karena efek candu yang membuat saraf otak terganggu. Dengan Adanya
masalah tersebut pihak sekolah mengalih tangankan kasus (refferal) tersebut
kepada orang yang lebih senior seperti psikiater dan juga di berikan kepada pihak
berwajib.
98
DAFTAR PUSTAKA
99
Ardimen, A. (2018a). Pengembangan kepribadian konselor berbasis asmaul husna
dalam pelayanan konseling. HISBAH: Jurnal Bimbingan Konseling Dan Dakwah
Islam, 15(2), 102–115. https://doi.org/10.14421/hisbah.2018.152-07
Frans Magnis Suseno. 2005. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta. h. 18.
Harahap, A. P., Darus, A. R., Siregar, M. A., & Rahmadana, W. (2022). Analisis
Pemahaman Kode Etik Profesi Konseling Pada Guru Bimbingan dan Konseling
di MAN. Jurnal Bikotetik (Bimbingan dan Konseling: Teori dan Praktik),
6(2), 101-100.
100
Jumrawarsi, J., Mudjiran, M., Neviyarni, N., & Nirwana, H. (2021). Kode Etik
Konseling Serta Permasalahan Dalam Penerapannya. Ensiklopedia of
Journal, 3(4), 53-58.
Siswanto. 2013. Etika Profesi Guru Pendidikan Agama Islam. CV. Salsabila putra
pratama
Sukardi, D,K. (1995). Proses Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sujadi Eko. (2018). Kode Etik Profesi Konseling Serta Permasalahan Dalam
Penerapannya.. Jurnal ilmu pendidikan. Vol 14,No.02
Taher Yasin,dkk. (2021). Profesionalisme Guru Bimbingan Konseling. Jurnal
pendidikan dan bimbingan konseling. Vol 2. No 2.
Thohari Musnawar. (2003). Bimbingan dan Koseling, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
101
Utomo, S. B., & Nursalim, M. (2019). Pelanggaran Tata Tertib Sekolah Siswa
Kelas X Sma Negeri 1 Menganti Serta Penanganannya Oleh Guru
Bimbingan Dan Konseling. Jurnal Mahasiswa Bimbingan Konseling, 10(2).
102