Anda di halaman 1dari 154

PERAN TEKANAN PERATURAN, KOMPETENSI, BUDAYA ORGANISASI, KOMITMEN

ORGANISASI DALAM PENERAPAN AKUNTANSI BERBASIS AKRUAL

DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Doktor

Oleh :
Arthur Reinaldo Tanihatu
157020301111012

PROGRAM DOKTOR ILMU AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2019
ii
iii
iv
RIWAYAT HIDUP

Arthur Reinaldo Tanihatu, lahir di Ambon pada tanggal 27 April 1980 merupakan
anak ketiga dari Bapak Ernst Tanihatu dan Ibu Irene Nanlohy. Lulus pendidikan Sekolah
Dasar pada SD Negeri 18 Ambon tahun 1992, lulus Sekolah Menengah Pertama pada SMP
Negeri 1 Ambon tahun 1995, lulus Sekolah Menengah Atas pada SMA Negeri 2 Ambon
tahun 1998, lulus S1 pada Jurusan Akuntansi Universitas Janabadra Jogjakarta tahun 2005,
lulus S2 pada Program Studi Magister Akuntansi Universitas Brawijaya Malang tahun 2011
dan pada tahun 2015 menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Akuntansi, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang.
Pada tahun 2006 sampai sekarang menjadi dosen tetap pada Jurusan Akuntansi
Politeknik Negeri Ambon.

Malang, Juli 2019

Peneliti

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Pujian dan syukur kepada Tuhan atas kasih dan anugerahNya sehingga disertasi ini

dapat terselesaikan dengan baik. Penyelesaian disertasi ini karena bimbingan, bantuan,

dorongan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati peneliti

menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada :

Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani, MS, Rektor Universitas Brawijaya, atas kepemimpinan dan

kebijakannya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada peneliti selama

menempuh pendidikan pada Univeritas Brawijaya.

Nurkholis, SE, M.Buss, Ak., Ph.D, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Brawijaya, juga sebagai Ko-Promotor I yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas

kepada peneliti selama belajar, serta memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan

dukungan dalam menyelesaikan disertasi ini..

Aulia Fuad Rahman, SE., M.Si., DBA., SAS., Ak., CA selaku Ketua Program Studi

Program Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya yang

telah memberikan pelayanan akademik selama peneliti belajar.

Prof. Dr. Sutrisno T, SE., M.Si., Ak selaku Promotor yang senantiasa memberikan

bimbingan, arahan, motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan disertasi ini.

Dr. Wuryan Andayani, SE., M.Si., Ak, selaku Ko-Promotor II yang senantiasa

memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan disertasi ini.

Prof Eko Ganis Sukoharsono, SE., M.com(Hons)., Ph.D, selaku penguji yang

memberikan saran, perbaikan dan motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini.

Dr. Rosidi, SE., MM., Ak selaku penguji yang memberikan saran, perbaikan dan

motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini.

Dr. Endang Mardiati, SE., M.Si., Ak selaku penguji yang memberikan saran,

perbaikan dan motivasi dalam menyelesaikan disertasi.

vi
Prof.Dr I Made Narsa, CMA.,CA dan Dr. Harnovinsah, Ak., M.Si., CA., CIPSAS.,

CMA.selaku eksternal reviewer yang memberikan saran dan perbaikan untuk

merampungkan disertasi ini.

Bapak dan Ibu dosen pengajar pada Program Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama

peneliti mengikuti pendidikan S3.

Pengelola dan pegawai administrasi Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Brawijaya atas pelayanan akademik yang diberikan.

Direktur dan Staf Pimpinan Politeknik Negeri Ambon atas kesempatan, motivasi dan

bantuan yang diberikan kepada peneliti untuk melanjutkan dan menyelesaikan studi pada

Program Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.

Direktur Jendral Pendidikan Tinggi atas bantuan dan dukungan yang diberikan

kepada peneliti selama menyelesaikan studi pada Program Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.

Pimpinan dan staf Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Provinsi Maluku,

Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Buru Selatan yang telah

memberikan kesempatan dan pelayanan kepada peneliti untuk melakukan penelitian guna

menyelesaikan Disertasi ini.

Kedua orang tua tercinta, Ernst Tanihatu SH dan Irene Nanlohy, serta paman peneliti

Isacc Nanlohy SH, yang dengan tulus memberikan kasih sayang, dukungan dan doanya

selama peneliti mengikuti pendidikan. Istri tercinta Olivia Laura Sahertian serta anakku

tersayang, Evan Gwyn Tanihatu, atas cinta, doa, motivasi dan semangat selama menempuh

pendidikan. Orang tua mertua, Agustinus Sahertian dan Anthonia Wonatta atas dukungan

dan doanya selama peneliti mengikuti pendidikan. Kedua kakak yang kusayangi, Herly

Tanihatu, Maudy Tanihatu, SE., M.Si dan kedua adikku Suzan Tanihatu, SE, Gabriella

Tanihatu. Keponakan-keponakanku, Valdo, Jean, Celine, Irel, Michelle, Clay, Fidel dan Gio

yang memberikan senyuman keceriaan bagi peneliti serta keluarga besar Tanihatu, Nanlohy

vii
dan Sahertian yang telah memberikan motivasi dan doa kepada peneliti selama menempuh

pendidikan.

Teman-teman kuliah Program Doktor Ilmu Akuntansi Angkatan 2015, atas kerja

sama dan dukungannya sehingga peneliti dapat menyelesaikan studi S3.

Bapak Sven Schunemen dan Ibu Joice Schunemen/Latupapua yang selalu

mendoakan dan memberikan motivasi dalam menempuh studi S3.

Bapak/Ibu/Saudara/Saudari Persekutuan Mahasiswa Pascasarjana Maluku di

Malang yang selalu saling menopang.

Ade Oli Gretia Nitsae, serumah selama menempuh pendidikan yang sudah banyak

membantu.

Terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu memberikan dukungan

serta bantuan selama mengikuti pendidikan dan penyelesaian disertasi ini, yang tidak dapat

disebut satu demi satu.

Akhir kata peneliti menyampaikan doa dan harapan kepada

Bapak/Ibu/Saudara/Saudari agar senantiasa diberkati selalu. Amin.

Malang, Juli 2019

Arthur Reinaldo Tanihatu

viii
ABSTRAK

Arthur Reinaldo Tanihatu, Program Doktor Ilmu Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Brawijaya Malang, 2015, “Peran Tekanan Peraturan, Kompetensi,
Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dalam Penerapan Akuntansi
Berbasis Akrual”. Promotor : Sutrisno T, Ko-Promotor I : Nurkholis, Ko-Promotor II :
Wuryan Andayani.

Penerapan akuntansi berbasis akrual secara penuh menjadi suatu kewajiban


yang harus dilakukan sejak dikeluarkan PP No.71 Tahun 2010. Kewajiban ini
menyebabkan organisasi sektor publik di Indonesia khususnya organisasi perangkat
daerah (OPD) pada semua Provinsi untuk melaksanakannya, tak terkecuali Pemerintah
Provinsi Maluku. Banyak tantangan yang harus dihadapi dalam penerapannya.
Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain tekanan peraturan, kompetensi, budaya
organisasi dan komitmen organisasi. Penelitian ini bertujuan memberikan bukti empiris
mengenai pengaruh tekanan peraturan dan kompetensi terhadap penerapan akuntansi
berbasis akrual yang dimediasi budaya organisasi dan dimoderasi komitmen organisasi.
Penelitian ini berlokasi pada organisasi perangkat daerah (OPD) Pemerintah Provinsi
Maluku, Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Buru Selatan. Jumlah
sampel dalam penelitian ini sebanyak 270 pegawai, yang diambil dengan menggunakan
teknik proportionate stratified random sampling. Alat analisis yang digunakan adalah
SEM-PLS dengan software SmartPLS. Hasil penelitian membuktikan bahwa tekanan
peraturan dan kompetensi berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual.
Budaya organisasi memediasi pengaruh tekanan peraturan dan kompetensi terhadap
penerapan akuntansi berbasis akrual. Komitmen organisasi tidak dapat memoderasi
pengaruh tekanan peraturan dan kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis
akrual.

Kata Kunci: Akuntansi berbasis akrual, tekanan peraturan, kompetensi, budaya


organisasi, komitmen organisasi

ix
ABSTRACT

Arthur Reinaldo Tanihatu, Doctor of Accounting Science Program, Faculty of Economics


and Business, University of Brawijaya Malang, 2015, "The Role of Regulatory Pressure,
Competence, Organizational Culture and Organizational Commitment in the Application
of Accrual-Based Accounting". Promoter: Sutrisno T, Co-Promoters I: Nurkholis, Ko
Promoter II: Wuryan Andayani
.

The full implementation of accrual-based accounting is an obligation that must be


carried out with the issuance of government regulation No. 71 of 2010. This obligation
makes public sector organizations in Indonesia, especially regional apparatus
organizations (OPD) in all provinces to implement it, including the Provincial Government
Maluku. Many challenges must be faced in its application; they are regulatory pressure,
competence, organizational culture and organizational commitment. This study aims to
provide empirical evidence regarding the effect of regulatory pressure and competence
on the application of accrual-based accounting with the mediation organizational culture
and moderation organizational commitment. This research was conducted at regional
apparatus organizations (OPD) of the Provincial Government of Maluku, Ambon City,
Central Maluku Regency and South Buru Regency. Using proportionate stratified random
sampling, 270 employees were selected as the sample. The data analysis was performed
using SEM-PLS in SmartPLS. The results of the study prove that regulatory pressures
and competencies influence the application of accrual-based accounting. That
organizational culture can mediate the influence of regulatory pressure and competence
on the application of accrual-based accounting and that organizational commitment does
not moderate the influence of regulatory pressure and competence on the application of
accrual-based accounting
.

Keywords: Accrual-based accounting, regulatory pressure, competence, organizational


culture, organizational commitment.

x
KATA PENGANTAR

Pujian dan syukur kepada Tuhan, karena atas kasih dan anugerahNya sehingga
peneliti dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul “Peran Tekanan Peraturan,
Kompetensi, Budaya Organisasi, Komitmen Organisasi dalam Penerapan Akuntansi
Berbasis Akrual”.
Penelitian disertasi ini merupakan pengamatan peneliti pada fenomena yang terjadi
pada objek penelitian dan dilandasi dengan teori selama perkuliahan, kajian literatur dan
empiris. Penelitian ini disajikan dalam beberapa bagian yang terdiri dari Bab I yang berisikan
latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian serta manfaat penelitian; Bab
II yang berisikan kajian teoritis dan kajian empiris yang mendasari penelitian; Bab III yang
berisikan rerangka konseptual penelitian dan perumusan hipotesis; Bab IV yang berisikan
metode penelitian, sumber dan metode pengumpulan data serta metode analisis; Bab V
berisikan gambaran objek penelitian, hasil penelitian dan pembahasannya, penelitian; Bab
VI berisikan simpulan, implikasi, keterbatasan dan saran.
Peneliti menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan, yang disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan guna melengkapi
disertasi ini, sehingga menjadi karya ilmiah yang bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Malang, Juli 2019

Peneliti

xi
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
ABSTRAK........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2. Kebaruan Penelitian.................................................................................... 15
1.3. Motivasi Penelitian...................................................................................... 17
1.4. Perumusan Masalah................................................................................... 19
1.5. Tujuan Penelitian........................................................................................ 19
1.6. Kontribusi Penelitian.................................................................................. 20
1.6.1. Kontribusi Teori................................................................................. 20
1.6.2. Kontribusi Praktik............................................................................... 21
1.6.3. Kontribusi Kebijakan.......................................................................... 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................. 22


2.1. Teori Institusional........................................................................................ 22
2.2. Teori Kontinjensi.......................................................................................... 26
2.3. Teori Human Capital................................................................................... 30
2.4. New Public Management (NPM)................................................................. 31
2.5. Standar Akuntansi Pemerintahan............................................................... 32
2.6. Akuntansi Berbasis Akrual.......................................................................... 34
2.7. Tekanan Peraturan (Regulatory Pressure)................................................. 41
2.8. Kompetensi................................................................................................. 42
2.8.1. Tingkat Pendidikan........................................................................... 46
2.8.2. Pelatihan Staf Keuangan................................................................... 46
2.8.3. Pengalaman...................................................................................... 47
2.9. Budaya Organisasi...................................................................................... 48
2.9.1. Pengertian Budaya Organisasi.......................................................... 48
2.9.2. Fungsi Budaya Organisasi................................................................ 50
2.9.3. Budaya Birokrasi................................................................................ 51
2.10. Komitmen Organisasi............................................................................... 54
2.10.1. Pengertian Komitmen Organisasi................................................. 54
2.10.2. Komponen Dalam Komitmen Organisasi...................................... 58
2.11. Penelitian Terdahulu................................................................................. 59

BAB III RERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS..................................... 62


3.1. Rerangka Konseptual.................................................................................. 62
3.2. Hipotesis Penelitian.................................................................................... 68

BAB IV METODE PENELITIAN......................................................................... 77


4.1.Jenis Penelitian............................................................................................ 77
4.2.Lokasi Penelitian.......................................................................................... 77
4.3.Populasi dan Sampel................................................................................... 78
4.3.1. Populasi............................................................................................ 78

xii
4.3.2. Sampel.............................................................................................. 78
4.4.Pengumpulan Data...................................................................................... 81
4.4.1. Jenis Data........................................................................................ 81
4.4.2. Teknik Pengumpulan Data............................................................... 81
4.5 Pilot Test...................................................................................................... 82
4.6. Identifikasi, Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel...................... 82
4.6.1. Identifikasi Variabel.................................................................. 82
4.6.2. Defenisi Operasional Variabel............................................... 83
4.7. Uji Instrumen Penelitian................................................................... 88
4.7.1. Uji Validitas.......................................................................... 89
4.7.2. Uji Reliabilitas......................................... .............................. 89
4.8. Analisis Data............................................................................................... 90
4.8.1. Analisis Data Deskriptif.................................................................... 90
4.8.2. Analisis Inferensial........................................................................... 90
4.8.3. Analisis Variabel Mediasi.................................................................. 94
4.8.4. Analisis Variabel Moderasi................................................................ 95

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................................ 96


5.1. Tingkat Pengembalian Kuesioner............................................................... 96
5.2. Deskripsi Karakteristik Responden............................................................. 96
5.2.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden................................. 97
5.2.2. Distribusi Frekuensi Usia Responden............................................... 97
5.2.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden........................ 98
5.2.4. Distribusi Frekuensi Masa Kekerja Responden................................. 98
5.3. Deskripsi Variabel Penelitian...................................................................... 99
5.3.1.Variabel Tekanan Peraturan.............................................................. 100
5.3.2. Variabel Kompetensi ........................................................................ 101
5.3.3. Variabel Budaya Organisasi.............................................................. 103
5.3.4. Variabel Komitmen Organisasi.......................................................... 104
5.3.5. Variabel Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual................................ 105
5.4. Model Pengukuran (Outer Model)............................................................... 109
5.4.1. Convergent Validity........................................................................... 110
5.4.2. Discriminant Validity.......................................................................... 111
5.4.3. Composite Reliability......................................................................... 113
5.5. Model Struktural (Inner Model).................................................................... 114
5.6. Hasil Pengujian Pengaruh Langsung.......................................................... 116
5.7. Hasil Pengujian Pengaruh Tidak Langsung................................................ 118
5.8. Hasil Pengujian Sifat Mediasi...................................................................... 121
5.9. Hasil Pengujian Variabel Moderasi............................................................. 123
5.10. Pengujian Hipotesis.................................................................................. 123
5.11. Pembahasan.............................................................................................. 126
5.11.1. Pengaruh Tekanan Peraturan Terhadap Penerapan Akuntansi
Berbasis Akrual............................................................................. 126
5.11.2. Pengaruh Kompetensi Terhadap . Penerapan Akuntansi
Berbasis Akrual............................................................................. 127
5.11.3. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Penerapan Akuntansi
Berbasis Akrual.............................................................................. 129
5.11.4. Pengaruh Tekanan Peraturan Terhadap Penerapan Akuntansi
Berbasis Akrual Dimediasi Budaya Organisasi.............................. 130
5.11.5. Pengaruh Kompetensi Terhadap . Penerapan Akuntansi
Berbasis Akrual Dimediasi Budaya Organisasi.............................. 132
5.11.6. Pengaruh Tekanan Peraturan Terhadap Penerapan Akuntansi
Berbasis Akrual Yang Diperkuat Komitmen Organisasi.................
133

xiii
5.11.7. Pengaruh Kompetensi Terhadap .Penerapan Akuntansi Berbasis
Akrual Yang Diperkuat Komitmen Organisasi................. 134

BAB VI SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN........................................ 136


6.1. Simpulan...................................................................................................... 136
6.2. Impilkasi Penelitian...................................................................................... 138
6.2.1. Implikasi Teori.................................................................................... 138
6.2.2. Implikasi Praktik................................................................................. 139
6.3. Keterbatasan Penelitian............................................................................... 139
6.4. Saran........................................................................................................... 140

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

Penelitian ini menjelaskan mengenai penerapan akuntansi berbasis akrual.

Bab satu memberi gambaran tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini

yang didalamnya meliputi, pertama fenomena atau isu-isu, kajian beberapa

penelitian terdahulu dan kesenjangan penelitian, kedua kebaruan penelitian,

ketiga motivasi penelitian, keempat rumusan permasalahan penelitian, kelima

tujuan penelitian dan keenam kontribusi penelitian.

1.1 Latar Belakang

Perkembangan manajemen sektor publik dewasa ini melibatkan strategi

perubahan kelembagaan organisasi dan manajerial guna memenuhi kebutuhan

akan akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektivitas. Perubahan ini

menjadikan sistem manajemen tradisional sektor publik yang terlihat birokratis,

kaku dan hirarkis berubah menjadi manajemen sektor publik yang fleksibel.

Peralihan paradigma sektor publik ini dikenal dengan New Public Management.

New Public Management berakar dari teori manajemen yang beranggapan

bahwa praktik bisnis komersial dan manajemen sektor swasta adalah lebih baik

dibandingkan dengan praktik dan manajemen pada sektor publik. Mardiasmo

(2002) menjelaskan bahwa memperbaiki kinerja sektor publik, perlu diadopsi

beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di sektor swasta ke

dalam sektor publik, seperti pengadopsian mekanisme pasar, kompetisi tender,

dan privatisasi perusahaan publik.

Reformasi di bidang akuntansi merupakan bagian dari konsep New Public

Management. Salah satu reformasi akuntansi di sektor publik adalah perubahan

1
2

basis akuntansi. Perubahan akuntansi dari basis kas ke basis akrual merupakan

salah satu ciri adopsi konsep New Public Management oleh sektor publik

(Mckendrick, 2007). Perubahan basis akuntansi dari basis kas ke basis akrual

oleh banyak pemerintah dipandang sebagai aspek dari desain New Public

Management yang hampir mirip dengan usaha bisnis yang berfokus pada kinerja

di sektor publik (Connoly dan Hyndman, 2006).

Reformasi akuntansi tersebut menuntut penerapan akuntansi akrual yang

dibutuhkan dalam mendukung sistem kinerja manajemen pemerintah (Paulsson,

2006). Selama tiga dekade reformasi ini memengaruhi penerapan sistem

akuntansi dan sistem manajemen dalam sektor publik di inggris dan Yunani

(Mimba, et.al 2007; Chang, 2009; Stamatiadis dan Eriotis, 2011).

Adanya perubahan basis akuntansi pada sektor publik, yaitu perubahan

sistem akuntansi dari akuntansi berbasis kas menjadi akuntansi berbasis akrual

diperlukan karena sistem akuntansi berbasis kas dianggap saat ini tidak lagi

memuaskan, terutama karena kekurangannya dalam menyajikan gambaran

keuangan yang akurat dan dalam memberikan informasi manajemen yang

berguna dan memadai untuk memfasilitasi perencanaan dan proses kinerja

(Cohen, et.al., 2007). Akuntansi akrual bermanfaat bagi pemerintah daerah

karena memberikan informasi lebih untuk para pengambil keputusan, mengarah

ke pengambilan keputusan yang lebih baik (Hyndman dan Conolly, 2006) dan

meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas (Guthrie, 1998;

Chan, 2003; Ron dan Mellet, 2003; Barton, 2005;. Nistor et al, 2009; Monteiro

dan Gomes, 2013).

Pengadopsian New Public Management di Indonesia dalam bidang

reformasi keuangan negara dimulai dengan diberlakukannya paket undang-

undang bidang keuangan negara (UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15


3

Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara). Salah satu ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara yaitu mewajibkan adanya standar akuntansi

pemerintahan sebagai basis penyusunan laporan keuangan bagi instansi

pemerintah.

Sejarah penerapan akuntansi berbasis akrual dimulai dengan terbitnya UU

No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mensyaratkan untuk menerapkan

sistem akuntansi berbasis akrual paling lambat 5 tahun sejak diterbitkannya

undang-undang tersebut, kemudian sebagai pedoman pelaksanaannya, terbit

pula PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, namun

hingga batas waktu yang ditetapkan, pemerintah belum berhasil menerapkan

sistem akuntansi akrual secara penuh. Selanjutnya, terbit PP No. 71 Tahun 2010

tentang Standar Akuntansi Pemerintahan untuk mengganti PP No. 24 Tahun

2005. Pada PP No. 71 Tahun 2010 batas waktu penerapan sistem akuntansi

akrual secara penuh (full accrual) diundur sampai dengan tahun 2014.

PP No.71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis

akrual digunakan untuk menghasilkan suatu laporan keuangan yang andal dan

dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan keputusan dan yang diharapkan

dapat menjadi acuan, patokan serta standar untuk diterapkan dalam lingkup

pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan satuan organisasi

publik. Peraturan ini menjadi pedoman yang harus ditaati oleh setiap daerah

otonom kabupaten/kota maupun provinsi dalam menyajikan laporan keuangan

berbasis akrual pada pemerintah daerahnya.

Kelebihan penggunaan akuntansi berbasis akrual pada pemerintah daerah

terlihat pada opini BPK atas kualitas laporan keuangan pemerintah daerah

(LKPD). Terlihat dari tahun 2011 sampai 2016, terjadi peningkatan opini LKPD

provinsi yang memperoleh opini Wajar tanpa pengecualian (WTP).


4

Gambar 1.1

Selain itu, opini laporan keuangan Provinsi Maluku sejak tahun 2010

sampai 2014 dengan menggunakan cash toward accrual memperoleh penilaian

Wajar dengan Pengecualian/WDP. Namun, tahun 2015 dan 2016 pada saat

penerapan full accrual, Provinsi Maluku memperoleh penilaian Wajar tanpa

pengecualian/WTP (BPK RI).

Secara global salah satu kunci pengembangan di dalam tata kelola sektor

publik selama lebih dari 15 tahun adalah adanya dorongan yang kuat oleh

lembaga-lembaga internasional, seperti Organitation for Economic Cooperation

and Development (OECD), the International Monetary Fund (IMF), dan World

Bank, kepada negara-negara di dunia untuk mengganti sistem akuntansi

tradisionalnya dari akuntansi berbasis kas ke sistem akuntansi berbasis akrual

seperti pada sektor swasta. Organizations for Economic Cooperations

Development (OECD), dan International Federation of Accountants (IFAC)

mendukung International Public Sector Accounting Standards Board (IPSASB)

yang menerbitkan International Public Sector Accounting Standard (IPSAS).

IPSAS yang mempedomani penyusunan laporan keuangan sektor publik yang

berbasis akrual (Aggestam, 2011).


5

Athukorala dan Reid (2003) mereviu status penerapan akuntansi berbasis

akrual dan penganggaran berbasis akrual di negara-negara anggota OECD.

Hasil reviu menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara anggota OECD

telah memperkenalkan aspek-aspek akuntansi akrual dan akan terus

melanjutkan di masa yang akan datang. Hasil reviu ini semakin memberikan

keyakinan bahwa informasi yang dihasilkan oleh sistem akuntansi akrual akan

meningkatkan transparansi, namun demikian, terdapat beberapa studi yang

menunjukkan adanya kerentanan dalam sistem akuntansi akrual terhadap

transparansi (Carlin, 2005).

Sementara para akademisi masih memperdebatkan apakah kebutuhan

akuntansi sektor publik dapat dilayani dengan baik oleh praktik akuntansi akrual,

tren proses pengadopsian praktik akuntansi akrual pada sejumlah entitas publik

dan pemerintah justru terus meningkat (Carlin, 2005). Peningkatan pesat adopsi

akrual di banyak negara tidak lepas dari pengaruh politik organisasi global

seperti IPSASB, IMF dan Bank Dunia.

Akuntansi berbasis akrual untuk sektor publik telah banyak dijalankan di

berbagai negara, seperti Kanada (Barry, 2005), Inggris (Cortes, 2006; Ellwood

dan Newberry, 2007), Selandia Baru (Scott et al, 2003; Lye et al, 2005), Belgia

(Christiaens, 2003), Rumania (Iuliana, 2010; Stefanescu dan Turlea, 2011), Italy

(Pessina dan Steccolini, 2007), Hongkong (Adam, 2003), Kepulauan Fiji (Tickell,

2010), Portugal (Jorge et al, 2007), Nepal (Adhikari dan Mellemvik, 2011),

Malaysia ( Saleh dan Pendlebury, 2006; Ilias et al, 2012; Mahadi et al, 2014).

Beberapa negara lainnya telah dianggap berhasil, namun sebagian lainnya

seperti Nepal dan Kepulauan Fiji masih mencari bentuk terbaik dari pelaksanaan

sistem akuntansi berbasis akrual agar dapat diterapkan secara menyeluruh

dalam pemerintahannya..
6

Beberapa negara yang menerapkan standar akuntansi berbasis akrual

memiliki masalah yang dihadapi pada tahap awal penerapan standar akuntansi

berbasis akrual (Christensen, 2002). Sebagai contoh, di negara Malaysia,

terdapat kendala berupa kurangnya tenaga akuntan yang profesional dan

berkualitas. Pemerintah Malaysia belum memberikan insentif bagi staf

akuntansinya. Insentif ini meliputi biaya tahunan dan beasiswa bagi akuntan

pemerintah untuk kursus yang mengarah pada keahlian akuntansi profesional

(Saleh dan Pendlebury, 2006). Hampir serupa dengan Malaysia, di Estonia

belum ada kualifikasi pelatihan untuk para akuntan dalam menerapkan akuntansi

berbasis akrual. Selain itu, staf dari kementerian, auditor, pemerintah, dan

anggota parlemen juga membutuhkan pelatihan di bidang akuntansi keuangan

berbasis akrual (Tikk, 2010).

Tickell (2010) dalam penelitiannya di Fiji menyebutkan bahwa Fiji

mengalami ketergantungan pada konsultan internasional dalam penerapan

akuntansi berbasis akrual, sehingga menyebabkan membengkaknya biaya.

Rendahnya keterampilan dasar akuntan publik juga menjadi salah satu

hambatan dalam penerapan standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual di

Fiji. Setelah diberlakukannya sistem yang baru ini, masalah yang dihadapi

kemudian adalah sistem akuntansi akrual akan memberikan dampak yang

sangat besar terhadap sistem, pelaksana, dan budaya yang telah berjalan sejak

lama.

Selandia Baru merupakan salah satu negara yang paling sukses dalam

menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual di sektor publiknya. Tingkat

perubahan (the degree of change) dalam manajemen sektor publik di Selandia

Baru dilalui dengan cepat dan sangat inovatif. Pemerintah mereformasi hampir di

semua lini pemerintahan, mulai dari pelaksana (para pejabat pengelola


7

keuangan dan akuntan negara), sistem yang digunakan, hingga ke budaya yang

dianut di setiap lembaga negara (Ouda, 2004).

Dilema yang terjadi terkait dengan penerapan adopsi penuh akuntansi

berbasis akrual yakni adanya tekanan akibat reformasi akuntansi sektor publik

untuk mendorong diberlakukannya pengelolaan keuangan yang akuntabel dan

juga adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF, UNDP

serta adanya standarisasi internasional (Mahmudi, 2011). Tekanan ini menjadi

semacam paksaan bagi negara-negara dalam menerapkan akuntansi akrual.

Aturan penerapan akuntansi berbasis akrual di Indonesia, mewajibkan

seluruh provinsi untuk menerapkannya. Hal ini menjadi suatu tekanan tersendiri

bagi Provinsi Maluku. Tekanan peraturan terjadi ketika lembaga-lembaga

pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung memaksa untuk

mengadopsi sistem akuntansi akrual. Hal ini terjadi seiring dengan

dikeluarkannya peraturan-peraturan yang mengikat dalam menggunakan sistem

akuntansi akrual khususnya di pemerintah daerah.

Tekanan peraturan atau regulatory pressure merupakan salah satu

parameter yang memengaruhi faktor keberhasilan penerimaan sistem akuntansi

(Safaruddin 2010). Secara umum tekanan meliputi tekanan tekanan mimetic atau

mimetic pressure, tekanan normatif atau normatif pressure, dan tekanan paksaan

atau coercive pressure. (DiMaggio dan Powell, 1983).

Contoh kegagalan penerapan akuntansi akrual akibat tekanan peraturan

dapat dilihat di Nepal (Adhikari dan Mellemvik, 2011). Nepal merupakan salah

satu negara yang kurang mampu secara ekonomi. Keadaan ini menyebabkan

Nepal sering menerima bantuan dana dari lembaga internasional. Lembaga

internasional berharap dana ini dapat dipertanggungjawabkan dengan baik

sehingga “memaksa” Nepal untuk mengadopsi akuntansi berbasis akrual.


8

Semakin besarnya jumlah utang yang harus ditanggung pemerintah

membuat semakin tidak independen terhadap lembaga-lembaga donor

internasional. Perhatian utama dari setiap lembaga donor adalah berhasilnya

setiap proyek dan program yang dijalankan dari pinjaman yang telah diberikan

kepada negara.

Apabila ditarik ke ranah akuntansi, maka hampir seluruh lembaga donor

akan meminta kepada pemerintah untuk mengikuti aturan dan sistem yang telah

ditentukan. Selain itu, lembaga donor akan meminta laporan akuntansi

untuk proyek yang sedang dan telah dijalankan terhadap penggunaan dana

pinjaman yang diberikan. Informasi tersebut tentunya hanya akan berguna bagi

bila aturan dan sistem yang berlaku di negara tersebut sesuai dengan sistem

akuntansi berbasis akrual. Namun kemudian, tekanan dari lembaga-lembaga

internasional tersebut tidak dibarengi dengan langkah nyata dalam membantu

pemerintah untuk turut menyiapkan sarana dan prasarana yang perlu dalam

implementasi akuntansi berbasis akrual. Kondisi tersebut bagaikan membiarkan

pemerintah untuk berjalan sendiri di tengah tekanan yang harus ditanggung.

Di Indonesia penelitian tentang pengaruh tekanan peraturan terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual dapat ditemukan pada penelitian Yudi

(2016) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh tekanan eksternal dan

internal dalam penerapan akrual di pemerintah kota Jambi. Tekanan eksternal

berupa peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan pemerintah, sementara

tekanan internal berupa kebutuhan institusi untuk melaksanakan peraturan dan

kebijakan pemerintah seperti kuantitas dan kualitas SDM yang baik, sistem

akuntansi yang memadai, dan struktur organisasi yang tepat. Selaras dengan itu,

Harun, et al (2012) menyimpulkan bahwa penerapan sistem akuntansi akrual di

sektor publik Indonesia merupakan bagian dari tekanan mengikuti tren akuntansi

internasional yang menjalankan agenda New Public Management.


9

Selain adanya tekanan peraturan dalam menerapkan akuntansi berbasis

akrual, Provinsi Maluku masih mengalami kendala-kendala lain. Salah satu

kendala terbesarnya adalah terkait dengan kompetensi sumber daya manusia

yang dimiliki. Maluku sebagai Provinsi kepulauan memiliki masalah klasik yakni

pembangunan yang tidak merata. Pembangunan di sini juga meliputi

pembangunan sumber daya manusia, padahal dalam menerapkan akuntansi

berbasis akrual diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang

memadai. Masalah kurangnya kompetensi sumber daya manusia pada Provinsi

Maluku seperti kurangnya pemahaman pegawai tentang akuntansi khususnya

terkait dengan basis akrual. Banyak pegawai bagian keuangan justru bukan

berlatar belakang pendidikan akuntansi. Hal ini menyebabkan kemampuan

pegawai untuk menerapkan akuntansi basis akrual menjadi terhambat.

Kompetensi sendiri merupakan suatu karakteristik dari seseorang yang

memiliki keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan

kemampuan (ability) untuk melakukan suatu pekerjaan. Pegawai yang tidak

mempunyai pengetahuan yang cukup akan bekerja tersendat-sendat dan juga

mengakibatkan pemborosan waktu, dan tenaga.

Kompetensi diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, penugasan,

pengalaman. Kompetensi dianggap melekat pada sebuah organisasi, bila

organisasi tersebut memiliki sebuah sistem untuk mengelola kompetensi para

individu di dalamnya sehingga organisasi tersebut dapat melaksanakan tugasnya

dengan efektif dan sukses sehingga diharapkan mampu untuk meraih kinerja

yang telah ditetapkan (Laksmanhadi, 2002).

Banyak penelitian yang dilakukan baik di dalam maupun luar negeri yang

membuktikan pentingnya kompetensi dalam penerapan akuntansi berbasis

akrual. Sebagai contoh, Sudaryati dan Heriningsih (2014) meneliti pengaruh

kompetensi terhadap keberhasilan penerapan akuntansi akrual pada Pemda


10

Yogyakarta dimana kompetensi sumber daya manusia berpengaruh signifikan

terhadap keberhasilan penerapan akuntansi berbasis akrual. Selanjutnya Oluseyi

(2010) dalam penelitiannya yang membandingkan pelaksanaan akuntansi akrual

di Inggris dengan New Zealand, menyatakan bahwa peran sumber daya

manusia, terutama para birokrat sangat penting dalam mewujudkan tata kelola

yang baik dan meningkatnya profesionalisme para akuntan pemerintah sehingga

dapat mendukung penerapan akuntansi akrual. Ouda (2004) mengemukakan

bahwa berdasarkan pengalaman dari negara yang sudah menerapkan akuntansi

berbasis akrual terlebih dahulu, fokus terhadap program pelatihan untuk

meningkatkan pemahaman merupakan kunci sukses dalam perubahan basis

akuntansi.

Walaupun terdapat banyak sekali penelitian yang membuktikan pengaruh

kompetensi terhadap penerapan akuntansi akrual namun dibuktikan pula

penelitian-penelitian yang memperlihatkan tidak adanya pengaruh kompetensi

terhadap penerapan akuntansi akrual, misalnya penelitian yang dilakukan oleh

penelitian Sari et al (2016) yang melaporkan bahwa pada semua entitas

akuntansi di kementrian Agama Provinsi Bali ditemukan kompetensi SDM tidak

berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual.

Penerapan akuntansi basis akrual tidak boleh hanya dilihat sebagai

masalah teknik akuntansi saja, tetapi membutuhkan perubahan budaya

organisasi dan merupakan bagian dari reformasi birokrasi secara menyeluruh.

Perubahan ini tidak secara otomatis terjadi, tetapi perlu secara aktif dipromosikan

secara kontinyu. Hasil riset menyebutkan bahwa 74% organisasi mengalami

kegagalan karena tidak memperhatikan faktor budaya organisasi (Chatab, 2007).

Hofstede (1994) mengemukakan bahwa budaya merupakan keseluruhan

pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial, yang

membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Di samping itu, Robbins (2008)
11

menjelaskan bahwa suatu budaya organisasi akan berdampak pada kinerja

diawali dari input-input organisasi yang meliputi: inovasi dan pengembangan

risiko, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim dan kemantapan.

Jorge et al. (2007) dalam penelitiannya di Portugal memaparkan bahwa

proses mengimplementasikan sistem akuntansi yang baru digambarkan sebagai

guncangan budaya (cultural shock). Namun sayangnya, implementasi basis

akrual di Portugal masih lemah. Hal ini terjadi karena kekuatan tradisi, aturan-

aturan, keyakinan, dan praktik yang sudah tertanam dalam budaya organisasi

sehingga menjadi salah satu faktor penghambat pengenalan model manajemen

yang baru.

Penerapan basis akuntansi akrual di Italia dinyatakan kurang berhasil. Hal

itu disebabkan lemahnya implementasi sistem akuntansi yang baru ini, dimana

kuatnya tradisi dalam budaya entitas pemerintah sehingga menghambat

pengenalan basis akrual, serta kurangnya partisipasi aktif dari para personel

pemerintah dalam proses reformasi menuju akrual (Pessina dan Steccolini,

2007). Sejalan dengan itu, pengaruh budaya organisasi terhadap implementasi

akuntansi berbasis akrual juga diteliti oleh Najati dkk, 2016; Sugiarto dan Alfian,

2014; Ichsan, 2013; Witantri, 2012; dan Ouda 2004 .

Budaya organisasi yang baik sangat diperlukan pemerintah pusat dan

daerah dalam penerapan akuntansi akrual. Lingkungan kerja dalam pemerintah

Provinsi Maluku diharapkan memiliki budaya organisasi yang baik, karena jika

tidak maka tujuan yang ingin dicapai terkait dengan keberhasilan penerapan

akrual tidak akan tercapai.

Hal lain yang sangat penting dalam keberhasilan penerapan akuntansi

basis akrual adalah komitmen organisasi yang di dalamnya terdapat komitmen

pimpinan dan komitmen bawahan. Suatu tujuan organisasi tidak akan tercapai

jika pimpinan dan bawahan tidak memiliki komitmen atau kemauan besar untuk
12

mencapainya. Pelaksanaan akuntansi berbasis akrual yang tidak mudah serta

menghabiskan biaya yang cukup besar menuntut adanya komitmen pimpinan

kemudian kemampuan dan kesediaan menggunakan akuntansi berbasis akrual

sangat tergantung pada komitmen bawahan. Bila dalam pelaksanaannya tidak

ada komitmen maka dapat dipastikan apa yang ingin dicapai tidak akan terwujud.

Waktu yang cukup lama dibutuhkan hingga sampai pada pemakaian akuntansi

akrual secara penuh adalah karena kurang adanya komitmen organisasi.

Komitmen organisasi dalam pelaksanaan akuntansi akrual dibutuhkan

pada semua level pemerintahan baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah. Tuntutan dan kebutuhan untuk pelaksanaan akuntansi akrual tidak akan

efektif bila masing-masing pimpinan tidak serius. Pegawai atau bawahan akan

termotivasi untuk bekerja lebih baik bila melihat pimpinannya bekerja dengan

komitmen yang kuat. Komitmen pimpinan seperti ini sangat dibutuhkan oleh para

pemimpin di daerah khususnya Provinsi Maluku dalam menjalankan tanggung

jawab penggunaan akuntansi akrual. Gubernur Maluku beserta jajaran pimpinan

di bawahnya diharapkan memiliki komitmen tersebut.

Banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan adanya keterkaitan

komitmen organisasi terhadap penggunaan akuntansi berbasis akrual. Terbukti

pada penelitian Supreno (2015) tentang analisa kesuksesan Pemerintah Kota

Semarang dalam implementasi akuntansi berbasis akrual. Hasilnya membuktikan

komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap kesuksesan implementasi

akrual.

Beberapa kajian empirik yang mengkaji tekanan peraturan, kompetensi,

budaya organisasi, komitmen organisasi dan keberhasilan penerapan akuntansi

basis akrual menunjukkan hasil yang bervariasi, baik yang berpengaruh maupun

tidak berpengaruh. Perbedaan penelitian – penelitian sebelumnya menjadi fakta

yang menarik bagi peneliti untuk menggali lebih dalam bagaimana penerapan
13

akuntansi basis akrual di Provinsi Maluku. Berikut ini akan diuraikan beberapa

kajian empirik yang memperlihatkan perbedaan – perbedaan tersebut. Pertama,

penelitian yang dilakukan oleh Adhikari dan Mellemvik (2011) di Nepal yang

membuktikan tekanan peraturan dari lembaga internasional memaksa Nepal

untuk menerapkan akuntansi basis akrual, kemudian penelitian Stamatiadis, et

al. (2011) di Yunani yang mengukur sampai sejauh mana tingkat adopsi

reformasi akuntansi akrual pada sektor publik dan menghubungkan tingkat

kepatuhan (compliance) akuntansi akrual dengan faktor-faktor kontigensi yang

ada pada organisasi sektor publik tersebut. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan tingkat adopsi akuntansi akrual pada sektor publik di Yunani yang

cukup rendah setelah enam tahun peraturan tentang hal tersebut ditetapkan,

selanjutnya penelitian Sampel dkk (2015) menyatakan bahwa tekanan peraturan

perubahan dari basis kas menuju akrual sebagaimana dalam peraturan

pemerintah nomor 71 tahun 2010 menimbulkan berbagai reaksi secara individual

oleh aparat pemerintah Kota Manado, baik reaksi positif maupun negatif. Selaras

dengan itu, penelitian Safaruddin (2010) di Pemerintah Kota Kendari menyatakan

tekanan peraturan berpengaruh terhadap penggunaan SIKD (Sistem Informasi

Keuangan Daerah).

Kedua, Saleh dan Pendlebury (2006) dalam penelitiannya di Malaysia

menyoroti kurangnya kompetensi dari tenaga akuntan yang ada pada sektor

publik. Selanjutnya Oluseyi (2010) dalam penelitiannya membandingkan

pelaksanaan akuntansi akrual di Inggris dengan New Zealand, menyatakan

bahwa peran sumber daya manusia, terutama para birokrat sangat penting

dalam mewujudkan tata kelola yang baik dan meningkatnya profesionalisme para

akuntan pemerintah sehingga dapat mendukung penerapan akuntansi akrual,

Stefanescu dan Turlea (2011) dalam penelitiannya di Rumania mengemukakan

bahwa sebagian besar pegawai pemerintah belum mampu menerapakan


14

akuntansi akrual secara baik. Hal ini dikarenakan kompetensi yang kurang

memadai.

Berkaitan dengan hal tersebut Sudaryati dan Heriningsih (2014) meneliti

pengaruh kompetensi terhadap keberhasilan penerapan akuntansi akrual pada

Pemda Yogyakarta dimana kompetensi sumber daya manusia berpengaruh

signifikan terhadap keberhasilan penerapan Akuntansi Akrual (PP No.71 Tahun

2010). Namun sebaliknya, penelitian Sari dkk (2016) pada semua entitas

akuntansi di kementrian Agama Provinsi Bali mengemukakan kompetensi SDM

tidak berpengaruh terhadap penerapan akuntansi akrual. Kemudian penelitian

Marsdenia dan Arthaingan (2016) pada pemerintahan kota Bogor menemukan

bukti bahwa kompetensi SDM tidak berpengaruh terhadap keberhasilan

penerapan standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual.

Ketiga, Jorge et al. (2007) memaparkan bahwa proses

mengimplementasikan sistem akuntansi yang baru digambarkan sebagai

guncangan budaya (cultural shock) yang terjadi pada pemerintah Portugal.

Pessina dan Steccolini (2007) menyatakan di Italia penerapan akuntansi basis

akrual kurang berhasil. Hal ini disebabkan lemahnya implementasi sistem

akuntansi yang baru ini, yaitu kuatnya tradisi dalam budaya entitas pemerintah

sehingga menghambat pengenalan basis akrual, serta kurangnya partisipasi aktif

dari para personel pemerintah dalam proses reformasi menuju akrual. Ouda

(2004) menyatakan bahwa selain strategi yang dilakukan pemerintah,

keterlibatan dan penerimaan implementor merupakan faktor penting dalam

perubahan basis akuntansi dan hal ini terkait dengan budaya organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sugiyanto dan Alfian (2014) membuktikan

adanya hubungan budaya organisasi dengan penerapan sistem akrual,

selanjutnya Witantri (2012) menunjukkan adanya hubungan antara budaya

organisasi dan implementasi akuntansi berbasis akrual.


15

Keempat, Ahmad (2016) mengemukakan bahwa komitmen manajemen

puncak berpengaruh terhadap bawahan dalam menerapkan akuntansi berbasis

akrual di Malaysia. Penelitian yang dilakukan oleh Permana dan Wiratmaja

(2016) menemukan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positf terhadap

keberhasilan pelaksanaan Akrual. Hasil serupa dikemukakan oleh Permana dan

Wiratmaja (2016) tentang keberhasilan penerapan akuntansi berbasis akrual

menemukan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap

penerapan akrual di Kabupaten Badung Bali, kemudian penelitian Scot et al

(2013) di New Zealand membuktikan bahwa komitmen berpengaruh terhadap

keberhasilan implementasi akuntansi akrual di sektor publik. Rahmayati (2012)

mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kesiapan keberhasilan penerapan PP

No 71 Tahun 2010 tidak berhasil menemukan bukti adanya pengaruh komitmen

organisasi terhadap penerapan standar akuntansi pelaporan berbasis akrual.

Uraian di atas menunjukkan adanya ketidakkonsistenan hasil penelitian

sehingga menyebabkan beberapa kesenjangan penelitian (research gap) serta

pentingnya penerapan akuntansi berbasis akrual di Indonesia khususnya

Provinsi Maluku, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang keberhasilan

penerapan akuntansi akrual yang dipengaruhi oleh tekanan peraturan,

kompetensi serta budaya organisasi dan komitmen organisasi.

1.2. Kebaruan Penelitian

Model dalam penelitian ini bertolak dari teori kontinjensi yang

menempatkan faktor-faktor kontinjensi baik sebagai variabel moderasi maupun

mediasi. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu pada

pengembangan model penelitian dengan memasukkan budaya organisasi

sebagai variabel mediasi dan komitmen organisasi sebagai variabel moderasi.

Penelitian-penelitian sebelumnya hanya menjelaskan model secara parsial


16

hubungan variabel tekanan peraturan, kompetensi, budaya organisasi, komitmen

organisasi terhadap penerapan akuntansi basis akrual, sedangkan dalam

penelitian ini variabel-variabel yang ada dijelaskan dalam satu kesatuan model

yang baru.

Budaya organisasi dijadikan sebagai variabel mediasi karena akan dilihat

apakah ada pengaruh tidak langsung antara tekanan peraturan dan kompetensi

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual atau apakah budaya organisasi

menjadi faktor yang berperan penting memengaruhi hubungan tekanan

peraturan dan kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual.

Secara teoritis keberhasilan penerapan akuntansi akrual akibat adanya

tekanan paksaan dalam bentuk peraturan dapat dijelaskan dengan teori

institusional, yang mana tekanan peraturan yang dialami membuat organisasi

dipaksa untuk melakukan peraturan tersebut, kemudian penerapan akuntansi

berbasis akrual akibat kompetensi yang memadai dapat dijelaskan dengan teori

human capital. Walaupun demikian, keberhasilan organisasi dalam menerapkan

akuntansi berbasis akrual harus juga didukung oleh budaya organisasi. Melalui

budaya organisasi maka pengaruh tekanan peraturan dan kompetensi terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual menjadi lebih efektif. Beberapa alasan

inilah yang membuat peneliti mengangkat budaya organisasi sebagai variabel

mediasi.

Komitmen organisasi dijadikan sebagai variabel moderasi karena akan

dilihat apakah komitmen organisasi dapat memperkuat atau memperlemah

pengaruh tekanan peraturan dan kompetensi terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual. Dasar komitmen organisasi dijadikan sebagai variabel moderasi

karena terdapat celah penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian sebelumnya

menunjukkan komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap penerapan

akuntansi akrual, sebaliknya beberapa penelitian yang lain menunjukkan hasil


17

sebaliknya. Ketidakkonsistenan hasil penelitian menyebabkan perlunya adanya

pendekatan kontinjensi seperti disarankan Govindarajan (1984).

1.3. Motivasi Penelitian

Fokus penelitian ini pada implementasi akuntansi pemerintahan karena

adanya tuntutan untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual secara penuh

mulai tahun 2015 sesuai dengan PP No.71 Tahun 2010. Penelitian ini

bermaksud untuk membuktikan faktor-faktor yang berpengaruh pada penerapan

akuntansi berbasis akrual. Faktor tekanan peraturan, kompetensi, budaya

organisasi dan komitmen organisasi akan menjadi faktor yang diteliti.

Penerapan akuntansi berbasis akrual merupakan tekanan bagi Indonesia.

Sebagai anggota dari IFAC, Indonesia harus tunduk pada Statement

Membership Obligation (SMO) IFAC. Kemudian, untuk dapat menerapkan

akuntansi berbasis akrual di Indonesia dikeluarkan PP No. 71 tahun 2010. Setiap

daerah diwajibkan untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual. Provinsi Maluku

sebagai bagian dari negara Indonesia diwajibkan pula untuk menerapkannya.

Disatu sisi tekanan untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual seringkali

tidak diimbangi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang memadai. Oleh

karena itu, peneliti ingin menggali tentang kompetensi sumber daya manusia

yang dimiliki khususnya pada pemerintahan Provinsi Maluku. Fakta

membuktikan, banyak negara yang sukses dan gagal disebabkan karena

kompetensi. Pemerintah Selandia Baru, Australia, Kanada, Inggris dan Swedia

sukses dalam penerapan akuntansi berbasis akrual karena memiliki kompetensi

sumber daya manusia yang memadai (Scott et al, 2003; Ouda, 2004; Lye et al,

2005; Cortes, 2006; Oluseyi, 2010)). Sebaliknya, pemerintah Fiji dan Nepal gagal

karena kurangnya kompetensi yang dimiliki (Tickell, 2010; Adhikari dan

Mellemvik, 2011).
18

Faktor kompetensi menjadi hal yang menarik untuk diteliti di Indonesia

khususnya Maluku mengingat kompetensi masih menjadi masalah utama dalam

keberhasilan penerapan akuntansi berbasis akrual. Waktu yang cukup lama

untuk sampai pada penerapan akuntansi berbasis akrual secara penuh

membuktikan kurangnya kompetensi yang dimiliki.

Penelitian ini menambahkan variabel mediasi budaya organisasi dan

variabel moderasi komitmen organisasi. Mediasi budaya organisasi untuk melihat

apakah budaya organisasi mampu menyembatani hubungan tidak langsung

tekanan peraturan dan kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis

akrual. Kemudian, moderasi komitmen organisasi untuk melihat sejauh mana

komitmen organisasi memperkuat atau memperlemah pengaruh tekanan

peraturan dan kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual.

Pengaruh budaya organisasi menjadi bagian penting dalam keberhasilan

penerapan akuntansi akrual. Penelitian Pessina dan Steccolini (2007) di Italia

menunjukkan lemahnya penerapan akuntansi basis akrual disebabkan kuatnya

tradisi dalam budaya entitas pemerintah sehingga menghambat pengenalan

basis akrual, serta kurangnya partisipasi aktif dari para personel pemerintah

dalam proses reformasi menuju akrual.

Selain itu, peneliti melihat lambatnya penerapan akuntansi berbasis akrual

khususnya di Indonesia karena kurangnya komitmen baik itu pimpinan maupun

bawahan. Ahmad (2016) dalam penelitiannya di Malaysia membuktikan

komitmen manajemen puncak berpengaruh terhadap bawahan dalam

menerapkan akuntansi berbasis akrual. Selaras dengan itu, penelitian Surepno

(2015 tentang implementasi akuntansi berbasis akrual menunjukkan komitmen

organisasi berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi akrual.


19

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini yaitu apakah tekanan peraturan dan kompetensi berpengaruh

terhadap penerapan akuntansi akrual yang dimediasi oleh budaya organisasi dan

dimoderasi oleh komitmen organisasi.

Pertanyaan penelitian yang dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Apakah tekanan peraturan berpengaruh terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual?

2. Apakah kompetensi berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis

akrual?

3. Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual?

4. Apakah tekanan peraturan berpengaruh terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual yang dimediasi oleh budaya organisasi ?

5. Apakah kompetensi berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis

akrual yang dimediasi oleh budaya organisasi ?

6. Apakah komitmen organisasi memperkuat pengaruh tekanan peraturan

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual ?

7. Apakah komitmen organisasi memperkuat pengaruh kompetensi terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual ?

1.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian di atas maka

yang menjadi tujuan penelitian ini adalah memberikan bukti empiris mengenai :

1. Pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan berbasis akuntansi akrual.

2. Pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual.

3. Pengaruh budaya organisasi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual.


20

4. Pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual

yang dimediasi oleh budaya organisasi.

5. Pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual yang

dimediasi oleh budaya organisasi.

6. Pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual

yang diperkuat oleh komitmen organisasi.

7. Pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual yang

diperkuat oleh komitmen organisasi.

1.6 Kontribusi Penelitian

1.6.1 Kontribusi Teori

Secara teoritis, hasil penelitian ini berkontribusi terhadap implementasi teori

institusional, teori human capital dan teori kontinjensi terhadap keberhasilan

penerapan sistem akuntansi akrual dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu

tekanan peraturan, kompetensi, budaya organisasi dan komitmen organisasi.

Selanjutnya pengembangan variabel tekanan peraturan dalam penerapan

akuntansi berbasis akrual dapat dijelaskan dengan teori institusional.

Pengembangan variabel kompetensi dijelaskan dengan teori human capital.

Teori kontinjensi dapat menjelaskan hubungan mediasi dan moderasi. Faktor

kontinjensi budaya organisasi sebagai variabel mediasi dan komitmen organisasi

menjadi variabel moderasi. Hubungan mediasi yang terjadi dimana ketika

budaya organisasi tercipta dengan baik maka penerapan akuntansi berbasis

akrual yang dipengaruhi oleh tekanan peraturan dan kompetensi akan meningkat

dengan baik. Selanjutnya, hubungan moderasi yang terjadi dimana ketika

komitmen organisasi tercipta dengan baik maka akan memperkuat penerapan

akuntansi berbasis akrual yang dipengaruhi oleh tekanan peraturan dan

kompetensi.
21

Selain itu penelitian ini memperkaya kajian akuntansi sektor publik terkait

adopsi penerapan akuntansi berbasis akrual yang merupakan bagian dari

konsep New Public Management tentang bagaimana merubah iklim kerja pada

organisasi sektor publik menjadi lebih transparan, efektif dan efisien.

1.6.2 Kontribusi Praktik

Penelitian ini dapat memberikan manfaat praktis bagi pemerintah daerah,

khususnya Provinsi Maluku dalam upaya untuk memperbaiki kinerja sistem

akuntansi melalui penggunaan akuntansi berbasis akrual. Bagi pimpinan semua

OPD, penelitian ini membantu penerapan akuntansi berbasis akrual melalui

peningkatan kompetensi bawahan dengan cara pelatihan-pelatihan. Kemudian,

pimpinan dan bawahan mampu menciptakan budaya organisasi yang kondusif

dimana adanya kenyamanan dalam bekerja, kerjasama tim yang baik, koordinasi

tercipta dengan baik serta fokus pada tujaun sehingga keberhasilan penerapan

akuntansi berbasis akrual dapat tercapai.

1.6.3 Kontribusi Kebijakan

Penelitian ini memberikan kontribusi kepada pengambil kebijakan

sebagai evaluasi atas penerapan akuntansi akrual pada pemerintah. Kebijakan

yang diterapkan dengan memperhatikan kompetensi, budaya dan komitmen

seluruh level pegawai sebagai aspek-aspek keberhasilan penerapan akuntansi

berbasis akrual. Pemerintah daerah perlu membuat kebijakan untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Pengiriman pegawai

untuk mengikuti pelatihan-pelatihan akuntansi berbasis akrual menjadi agenda

penting kebijakan pemerintah.


BAB VI

SIMPULAN, IMPILKASI, KETERBATASAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan simpulan hasil dari penelitian, implikasi penelitian

serta keterbatasan penelitian. Simpulan diambil berdasarkan bukti empiris yang

diperoleh dengan tujuan untuk menjawab persoalan penelitian. Implikasi

penelitian berisi baik baik implikasi teori, implikasi praktik maupun implikasi

kebijakan. Keterbatasan penelitian diuraikan dengan harapan dapat

dipertimbangkan pada penelitian berikutnya.

6.1 Simpulan

Tekanan peraturan terbukti berpengaruh terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual. Penerapan akuntansi berbasis akrual pada pemerintah Provinsi

Maluku terjadi karena adanya tekanan untuk menerapkan PP N0 71 Tahun 2010.

Informasi dari pegawai pada beberapa OPD masing-masing kabupaten bahwa

mereka mengalami paksaan akibat tekanan untuk menerapkan PP N0 71 Tahun

2010. Tekanan ini seringkali menjadi beban bagi mereka. Selain itu, kompetensi

terbukti berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Semakin

tinggi kompetensi yang dimiliki pegawai baik pimpinan maupun bawahan maka

semakin mudah dalam penerapan akuntansi berbasis akrual. Informasi yang

diperoleh menggambarkan pentingnya kompetensi dalam penerapan akuntansi

berbasis akrual.

Budaya organisasi terbukti berpengaruh terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual. Semakin baik budaya organisasi pada pemerintah Provinsi

Maluku membuat penerapan akuntansi berbasis akrual semakin berhasil.


Selanjutnya, budaya organisasi terbukti dapat memediasi pengaruh tekanan

peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Semakin baik iklim

budaya organisasi pada pemerintah Provinsi Maluku maka pengaruh tekanan

peraturan terhadap pemerintah Provinsi Maluku semakin tinggi. Informasi dari

informan di sejumlah OPD membuktikan bahwa pegawai mau menerima tekanan

paksaan karena budaya organisasi yang baik. Terciptanya budaya kerjasama

yang baik. Birokrasi dalam organisasi membuat tekanan paksaan untuk

menerapkan PP No 71 Tahun 2010 tersebut harus diterima dan dilakukan.

Pengaruh mediasi yang terjadi bersifat mediasi parsial.

Selain itu, budaya organisasi juga terbukti dapat memediasi pengaruh

kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Semakin kuat

pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual bila

didukung oleh semakin baik budaya organisasi. Budaya menjadi kekuatan

penghubung yang harus dimaksimalkan. Pengaruh mediasi yang terjadi bersifat

mediasi parsial.

Komitmen organisasi terbukti tidak dapat memperkuat pengaruh tekanan

peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Komitmem organisasi

pada pemerintah Provinsi Maluku baik pimpinan maupun bawahan rendah

sehingga tidak dapat memperkuat atau meningkatkan pengaruh tekanan

peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Pengaruh moderasi

yang terjadi bersifat prediktif atau penjelas. .

Komitmen organisasi terbukti tidak dapat memperkuat pengaruh

kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Rendahnya

komitmen organisasi pada pemerintah Provinsi Maluku menyebabkan komitmen

organisasi tidak dapat memperkuat atau meningkatkan pengaruh kompetensi

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Pengaruh moderasi yang terjadi

bersifat moderasi prediktif atau penjelas. Informasi yang diperoleh dari beberapa
kepala OPD membuktikan bahwa pegawai yang bertugas dalam menerapkan

akuntansi berbasis akrual tidak bekerja dengan komitmen yang tinggi.

1.2. Implikasi Penelitian

Hasil penelitian ini memberikan implikasi baik secara teoritis dan implikasi

praktis sebagai berikut:

6.2.1. Implikasi Teori

Hasil kajian penelitian ini mendukung teori institusional, teori kontinjensi

dan teori human capital yang digunakan atau dengan kata lain, dari perspektif

pengembangan teori bahwa penelitian ini dilakukan berlandaskan teori tersebut.

Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan akuntansi berbasis akrual yang

terjadi di Maluku disebabkan oleh adanya tekanan untuk menjalankan PP No 71

Tahun 2010. Temuan ini sesuai dengan teori institusional dari Meyer dan Rowan

(1977). Temuan ini juga mendukung Safaruddin (2010), Adhikari dan Mellemvik

(2011), Stamatiadis, et al (2011), Hyndman dan Connolly (2011), Harun, et al

(2012), Yudi (2016).

Penelitian ini membuktikan bahwa kompetensi mampu meningkatkan

penerapan akuntansi berbasis akrual. Temuan ini mendukung teori human

capital oleh Becker (1964). Temuan ini juga mendukung penelitian Ouda (2004),

Saleh dan Pendlebury (2006), Oluseyi (2010), Tickell (2010), (Tikk, 2010),

Stefanescu dan Turlea (2011), Stamatiadis, et al (2011).

Penelitian ini membuktikan bahwa budaya organisasi mampu memediasi

pengaruh tekanan peraturan dan kompetensi terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual. Temuan ini mendukung teori kontinjensi oleh Otley (1980) yang

membuktikan budaya organisasi dapat menjadi variabel mediasi.


Penelitian ini membuktikan bahwa komitmen organisasi tidak mampu

memperkuat pengaruh tekanan peraturan dan kompetensi terhadap penerapan

akuntansi berbasis akrual. Temuan ini tidak mendukung teori kontinjensi oleh

Otley (1980) yang membuktikan komitmen organisasi dapat menjadi variabel

moderasi.

6.2.2. Implikasi Praktik

Hasil penelitian ini memberikan implikasi bagi Organisaisi Perangkat

Daerah (OPD) dalam mempraktikkan akuntansi berbasis akrual secara

maksimal. Peningkatan kompetensi sumber daya manusia menjadi faktor penting

yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Maluku. Melatih

pegawai-pegawai dalam pelatihan penerapan akuntansi berbasis akrual menjadi

hal yang mutlak diperlukan. Kualitas pendidikan dan ketepatan memilih pegawai

pada bidangnya harus diperhatikan dengan serius. Selanjutnya, temuan

penelitian ini dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi

Maluku untuk menciptakan iklim budaya organisasi yang kondusif dalam bekerja

serta berusaha meningkatkan komitmen dari setiap elemen dalam organisasi.

Para pegawai mesti dalam kondisi yang nyaman dalam bekerja sehingga tujuan

organisasi dalam penerapan akuntansi berbasis akrual dapat tercapai.

6.3. Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai

berikut:

Waktu penelitian yang cukup lama dari waktu yang direncanakan. Hal ini

disebabkan karena pengurusan prosedural yang membutuhkan waktu yang


lama. Selain itu, waktu pengambilan kuesioner yang cukup lama karena yang

responden yang bersangkutan sering tidak berada di tempat. Data atau informasi

yang diperoleh belum melibatkan pihak lain yang berkepentingan terutama dari

pengguna laporan keuangan yang lain seperti auditor internal, anggota BPKP

dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Objek penelitian hanya terbatas pada beberapa Organisasi Perangkat

Daerah (OPD) serta hanya dilakukan pada beberapa kabupaten kota di Provinsi

Maluku sehingga tidak bisa digeneralisikan.

6.4. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran yang diberikan yang

dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, bagi pimpinan organisasi pemerintah daerah di Maluku agar

dapat meningkatkan kompetensi sumber daya yang ada melalui pelatihan-

pelatihan serta menentukan orang-orang yang kompeten untuk ada dalam posisi

pekerjaan yang berhubungan dengan pendidikan formal yang dimiliki. Hal ini

terkait dengan banyak pegawai yang bekerja dibidang keuangan justru berlatar

pendidikan bukan keuangan. Kedepan dalam merekrut pegawai baru hendaknya

mempertimbangkan kebutuhan pegawai dengan latar belakang pendidikan

akuntansi. Selain itu, perlu untuk meningkatkan komitmen pegawai dalam

organisasi dengan menciptakan iklim budaya organisasi yang kondusif. Kedua,

hasil penelitian menemukan bahwa komitmen organisasi tidak dapat memperkuat

pengaruh tekanan peraturan dan kompetensi terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual, sehingga ini dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian

selanjutnya. Ketiga, bagi peneliti selanjutnya agar dapat memperluas objek

penelitian di Provinsi Maluku.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bagian ini menguraikan mengenai teori-teori dan telaah literatur serta

kajian empiris penelitian terdahulu terhadap beberapa konsep dasar yang

digunakan dalam penelitian ini. Pembahasan dalam bab ini secara berurutan

meliputi teori institusional, teori kontinjensi, teori human capital, new public

management, akuntansi berbasis akrual, tekanan peraturan, kompetensi, budaya

organisasi, komitmen organisasi dan penelitian terdahulu.

2.1. Teori Institusional

Teori Institusional mengasumsikan bahwa perubahan struktur dan perilaku

perusahaan kurang didorong oleh keinginan untuk meningkatkan efisiensi atau

menciptakan keunggulan kompetitif, melainkan oleh kebutuhan legitimasi (Meyer

dan Rowan 1977). Teori institusional sangat erat kaitannya dengan sebuah

lingkungan suatu organisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Carruthers

(1995) bahwa paham new institutionalism menggambarkan tentang struktur dari

suatu organisasi dipengaruhi oleh lingkungan sosial dimana dia berada.

Sebuah organisasi biasanya terbentuk ke dalam struktur formal yang terdiri

dari prosedur, proses, aturan (kebijakan, otorisasi, pengambilan keputusan,

pengawasan, sistem akuntani, dokumen, dan pernyatan misi serta sasaran

organisasi). Pembentukan struktur organisasi formal tidak lepas dari tujuan untuk

mencapai kesuksesan organisasi.

Teori institusional telah muncul menjadi terkenal sebagai penjelas yang

kuat dan populer, baik untuk tindakan-tindakan individu maupun organisasi yang

disebabkan oleh faktor eksogen (Dacin, 1997; Dacin et al., 2002), faktor

eksternal (Frumkin dan Galaskiewicz, 2004) faktor sosial (Scott, 2003), faktor

22
23

ekspektasi masyarakat (Ashworth et al., 2009), faktor lingkungan (Jun dan

Weare, 2010). Teori institusional berpendapat bahwa organisasi yang

mengutamakan legitimasi akan memiliki kecenderungan untuk berusaha

menyesuaikan diri pada harapan eksternal atau harapan sosial dimana

organisasi berada (DiMaggio dan Powell 1983; Frumkin dan Galaskiewicz, 2004;

Ashworth et al., 2009).

Organisasi dibentuk oleh berbagai fenomena yang terjadi di lingkungannya

dan cenderung mirip (isomorphic) dengan lingkungan tersebut. New institutional

berhubungan dengan banyak hal, namun fokus utamanya terkait gambaran

gejala isomorphic dari organizational fields dan penetapan norma-norma institusi.

Isomorphic merupakan suatu gejala yang mana sebuah organisasi formal

menjadi mirip dengan lingkungannya (Meyer dan Rowan, 1977). Gejala ini timbul

karena adanya saling ketergantungan dalam hal teknis dan hubungan paralel

antara organisasi dan lingkungannya sehingga menunjukkan homogenisasi.

Teori institusional memandang bahwa rancangan struktur organisasi

sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk bisa menyesuaikan diri dengan

lingkungan institusional. Tampak juga di sini bagaimana aspek politis muncul.

Langkah yang dilakukan pimpinan organisasi seringkali tidak dilandasi oleh

pemikiran fungsionalis yang lebih mementingkan aspek efisiensi dan efektivitas,

melainkan dilandasi pemikiran politis seperti patuh pada regulasi tertentu atau

standar tertentu.

Menurut teori Institusional, perusahaan selalu bertujuan untuk

mempertahankan dan meningkatkan legitimasi melalui tekanan yang muncul dari

lingkungan institusional mereka (Mizruchi dan Fein, 1999). Ada tiga jenis

tekanan, yaitu tekanan mimetic (mimetic pressure), tekanan normatif (normatif

pressure), dan tekanan paksaan (coercive pressure) (DiMaggio dan Powell,

1983).
24

Tekanan mimetic terjadi ketika organisasi mengadopsi suatu sistem yang

melibatkan organisasi lain untuk mengeliminasi ketidakpastian dengan meniru

organisasi yang sukses. Adanya unsur ketidakpastian menjadi faktor kuat yang

mendorong terjadinya peniruan (DiMaggio dan Powell, 1983). Selain itu, adanya

tujuan yang ambigu, pengetahuan yang rendah atas kemajuan teknologi juga

dapat menjadi faktor-faktor yang menyebabkan suatu organisasi membentuk

dirinya serupa dengan organisasi-organisasi lainnya.

Tekanan normatif berhubungan dengan fokus para manajer profesional

pada norma-norma dan nilai-nilai yang melekat pada aturan profesionalisme.

Manajer bertindak pada seperangkat aturan, yang meliputi jaringan relasi

kelompok internal dan eksternal kelompok serta individu. Mereka dibatasi oleh

struktur realitas mereka sendiri, yang dipengaruhi oleh tekanan normatif dan

menerima ide-ide tentang perilaku yang benar (DiMaggio dan Powell, 1983).

Tekanan normatif juga terjadi ketika organisasi-organisasi saling meniru satu

sama lain yang disebabkan oleh lamanya mereka secara tidak langsung

menerapkan norma-norma dan nilai-nilai organisasi lainnya dalam

lingkungannya.

Ketaatan terhadap faktor-faktor institusional terjadi ketika organisasi

menerapkan norma tertentu disebabkan oleh adanya tekanan dari organisasi lain

atau masyarakat secara umum. Di saat tingkat saling ketergantungan sebuah

organisasi meningkat, maka organisasi tersebut akan menyerupai organisasi

yang lebih kuat darinya.

Tekanan coercive atau tekanan paksaan timbul manakala organisasi

dipaksa untuk menerapkan praktik-praktik tertentu karena diatur oleh peraturan

perundang-undangan. Organisasi mengambil beberapa bentuk atau melakukan

adopsi terhadap organisasi lain karena tekanan dari negara dan organisasi lain

atau masyarakat yang lebih luas.


25

Di Maggio dan Powell (1983) dalam Donaldson (1995), kemudian

mengidentifikasikan beberapa penyesuaian organisasi pada teori institusional

antara lain :

1. Penyesuaian Kategorial

Hal ini terjadi ketika aturan-aturan institusional mengarahkan organisasi

membentuk struktur mereka. Konvensi-konvensi tersebut kemudian akan

menghasilkan struktur yang homogen. Konvensi-konvensi tersebut kemudian

menjadi semacam „kamus struktur‟ (Meyer dan Rowan, 1977). Organisasi

digabungkan dalam sebuah sistem keyakinan kognitif seperti ini karena akan

memperbesar legitimasi mereka dan akan menambah sumber dan kapasitas

ketahanan mereka.

2. Penyesuaian Struktural

Disebabkan oleh peraturan pemerintah, ketidakpastian lingkungan, atau

mencari legitimasi. Perusahaan akan mengadopsi struktur organisasi yang

spesifik (biasanya dengan menyewa seseorang dari perusahaan yang sukses

atau menyewa konsultan). Pemerintah biasanya memberlakukan peraturan

baru pada organisasi seperti program keselamatan kerja atau kelompok

gerakan afirmatif. Kelompok profesional biasanya membentuk sejumlah

program-program akreditasi.

3. Penyesuaian Prosedural

Disamping struktur, organisasi biasanya terpengaruh untuk melakukan

sesuatu dalam beberapa cara pula. Kadangkala penyesuaian atau adopsi

adalah hasil dari ketidakpastian atau paksaan (coersive), dan pemaknaan

normatif.

4. Penyesuaian Personil
26

Organisasi modern memiliki berbagai aturan spesialisasi disertai dengan

sertifikat profesional (khususnya pada organisasi di Barat). Penyesuaian

terhadap aturan-aturan institusi biasanya perlu untuk menyewa atau

menggunakan personil yang spesifik. Kebutuhan lisensi atau akreditasi

biasanya harus memenuhi presentasi (%) kualifikasi personil dalam posisi

kunci. Sertifikat sangat penting sebagai sumber legitimasi. Kebutuhan

pendidikan selalu meningkat sesuai bagian dari posisi kerja walaupun tidak

jelas hubungan antara tujuan pendidikan dengan produktifitas. Hal ini terlihat

jelas pada benda institusional ketimbang ketrampilan teknis yang berbasis

pada efektivitas. Memiliki secarik sertifikat atau pekerja berpendidikan

merupakan signal bagi lingkungan bahwa seseorang merupakan pekerja

modern, organisasi yang bertanggung jawab menggunakan kriteria rasional

dalam menyeleksi dan mempromosikan personilnya.

2.2. Teori Kontinjensi

Sejarah teori kontinjensi diawali dari penelitian-penelitian yang dilakukan

oleh Tom Burns. G.W. Stalker, John Wooward Lawrence, Lorsch dan yang

lainnya. Mereka menganalisis hubungan struktur organisasi dengan kondisi-

kondisi lingkungan yang dihadapi. Pada tahun 1950-an, Burns dan Stalker

menganalisi lingkungan dan struktur organisasi perusahaan-perusahaan di

Inggris dan Skotlandia. Hasil riset mereka yaitu Management of Innovation

(1968) menawarkan dua tipe struktur organisasi yaitu (1) struktur mekanistik dan

(2) organik.

Tulisan Burns dan Stalker memang memberikan pondasi teori kontinjensi,

namun jabaran teori kontinjensi yang lengkap baru muncul setelah dua peneliti

dari Universitas Harvard, Paul Lawrence dan Jay Lorsch menulis buku
27

Organization and Environment (1967). Dua peneliti tersebut membangun teori

kontinjensi berdasarkan dua prinsip dasar. Pertama, jenis organisasi yang

berbeda diperlukan untuk menangani jenis pasar dan kondisi teknologi yang

berbeda. Kedua, organisasi yang beroperasi di lingkungan yang tidak pasti dan

tidak stabil lebih batuh melakukan difernsiasi internal daripada organisasi yang

beroperasidi lingkungan yang kurang kompleks dan lebih stabil.

Otley (1980) memberikan kerangka dasar teori kontinjensi sebagai berikut:

(1) Faktor kontinjensi (2) Sistem pengendalian manajemen (3) Variabel

intervening (4) Efektivitas organisasi. Teori kontinjensi menyatakan bahwa tidak

ada rancangan dan penggunaan sistem pengendalian manajemen yang dapat

diterapkan secara efektif untuk semua kondisi organisasi, namun sebuah sistem

pengendalian tentunya hanya efektif untuk situasi atau organisasi atau

perusahaan atau pemerintahaan tertentu (0tley, 1980).

Menurut Stoner et al., (1996) pendekatan kontinjensi atau pendekatan

situasional merupakan suatu pandangan bahwa teknik manajemen yang paling

baik memberikan kontribusi untuk pencapaian sasaran organisasi mungkin

bervariasi dalam situasi atau lingkungan yang berbeda. Teori Kontinjensi

merupakan suatu perspektif yang lebih terbuka dan menolak pandangan adanya

praktik terbaik (best practices) yang berlaku umum. Lingkungan menciptakan

kontinjensi yang memerlukan elaborasi struktural bagi suatu organisasi dan

organisasi juga akan mengembangkan strategi untuk mengelola lingkungan yang

melingkupi dan memengaruhi operasi organisasi sebagai bentuk dari praktik

terbaik yang berbasis pada karakteristik khusus dari masing-masing organisasi

(Stern, 1996).

Kesesuaian faktor-faktor struktural organisasi dengan faktor-faktor

kontinjensi akan memengaruhi praktik terbaik dalam penciptaan nilai

perusahaan. Postulat umum dari teori kontinjensi adalah keluaran (outcome)


28

organisasional merupakan konsekuensi dari kesesuaian antara dua atau lebih

faktor kontinjensi dengan faktor-faktor struktural (Islam dan Hu, 2012).

Ada beberapa anggapan dasar (asumsi) dalam teori kontinjensi, yaitu

antara lain :

1. Manajemen pada dasarnya bersifat situasional. Konsekuensinya teknik- teknik

manajemen sangat tergantung pada situasi yang dihadapi. Jika teknik yang

digunakan sesuai dengan permintaan lingkungan, maka teknik tersebut

dikatakan efektif dan berhasil.

2. Manajemen harus mengadopsi pendekatan dan strategi yang sesuai dengan

permintaan setiap situasi yang dihadapi. Kebijakan dan praktek manajemen

yang secara spontan dapat merespon setiap perubahan lingkungan bisa

dikatakan efektif.

3. Ketika keefektifan dan kesuksesan manajemen dihubungkan secara langsung

dengan kemampuannya menghadapi lingkungan dan setiap perubahan dapat

diatasi, maka harus ditingkatkan keterampilan mendiagnosa yang proaktif

untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang komprehensif.

4. Manajer yang sukses harus menerima bahwa tidak ada satu cara terbaik

dalam mengelola suatu organisasi. Mereka harus mempertimbangkan prinsip-

prinsip dan teknik-teknik manajemen yang dapat diaplikasikan untuk semua

waktu dan semua kebutuhan.

Salah satu pendekatan untuk menjelaskan efek faktor-faktor kontinjensi

pada faktor-faktor struktural organisasi adalah pendekatan interaksi (VandeVen

dan Drazin, 1985). Pada pendekatan interaksi, konsep kesesuaian (fit)

didefinisikan sebagai efek interaksi faktor-faktor kontinjensi terhadap faktor-faktor

struktural organisasi, termasuk keputusan manajerial, terhadap kinerja. Faktor-

faktor kontinjensi menjadi variabel moderator yang akan memperkuat atau

memperlemah pengaruh faktor-faktor struktural organisasi terhadap kinerja.


29

Pendekatan lain yang digunakan adalah tipe kongruen (congruence type)

(Gerdin dan Greve, 2008). Pendekatan ini lebih menekankan pada metode

statistik. Tipe kongruen menjelaskan bahwa kesesuaian kontinjensi akan

dianalisis dengan menempatkan faktor-faktor kontinjensi baik sebagai variabel

mediator maupun moderator. Pendekatan ini menjadi pendekatan yang umum

digunakan dalam penelitian yang dikembangkan dalam kerangka teori

kontinjensi.

Munculnya teori kontinjensi dalam akuntansi pemerintahan berawal dari

adanya keinginan untuk melakukan suatu reformasi terhadap sistem akuntansi

pemerintahan dari sistem akuntansi tradisional menjadi sistem akuntansi yang

lebih informatif. Sistem yang lebih informatif akan tertuju pada pasokan informasi

yang komprehensif dan dapat diandalkan serta menyediakan dasar untuk kontrol

keuangan pada kegiatan pemerintah. Sistem akuntansi sektor publik merupakan

suatu pendekatan kontinjensi dari faktor kondisional yang digunakan dalam

penelitian sebagai variabel yang memoderasi suatu hubungan (Otley, 1980).

Pendekatan kontinjensi merupakan sebuah cara berfikir komperatif

(berdasarkan perbandingan) baru diantara teori-teori manajemen yang telah

dikenal. Manajemen kontinjensi berupaya untuk melangkah keluar dari prinsip-

prinsip manajemen yang dapat diterapkan dan menuju kondisi situasional.

Apabila dirumuskan secara formal, pendekatan kontinjensi merupakan suatu

upaya untuk menentukan melalui kegiatan riset, praktik dan teknik manajerial

mana yang paling cocok dan tepat dalam situasi-situasi tertentu, maka menurut

pendekatan kontinjensi situasi-situasi yang berbeda mengharuskan adanya

reaksi manajerial yang berbeda pula. Sebagai contoh, dalam partisipasi

penyusunaan anggaran, penggunaan teori kontinjensi telah lama menjadi

perhatian para peneliti.


30

Para peneliti di bidang akuntansi menggunakan teori kontinjensi saat

menghubungkan pengaruh partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja

aparat daerah. Pengaruh partisipasi anggaran terhadap kinerja aparat

pemerintahan daerah mempunyai faktor-faktor kontinjensi seperti : komitmen

organisasi, budaya organisasi dan faktor gaya kepemimpinan. Faktor-faktor

tersebut adalah suatu variabel yang dapat memperkuat atau memperlemah

partisipasi anggaran dan kinerja aparat pemerintah daerah.

2.3. Teori Human Capital

Human capital adalah bahwa manusia bukan sekedar sumber daya namun

merupakan modal (capital) yang menghasilkan pengembalian (return) dan setiap

pengeluaran yang dilakukan dalam rangka mengembangkan kualitas dan

kuantitas modal tersebut merupakan kegiatan investasi (Becker 1993). Teori

human capital adalah suatu pemikiran yang menganggap bahwa manusia

merupakan suatu bentuk kapital atau barang modal sebagaimana barang-barang

modal lainnya, seperti tanah, gedung, mesin, dan sebagainya. Human capital

dapat didefinisikan sebagai jumlah total dari pengetahuan, skill, dan kecerdasan

rakyat dari suatu negara.

Selanjutnya, Becker (1993) menjelaskan lebih jauh bahwa human capital

sebagai hasil dari ketrampilan, pengetahuan dan pelatihan yang dimiliki

seseorang, termasuk akumulasi investasi meliputi aktivitas pendidikan, job

traning dan migrasi. Lebih lanjut, Echrenberg dan Smith (1994), melihat bahwa

pekerja dengan separuh waktu akan memperoleh lebih sedikit human capital.

Kemudian, ditambahkan pula oleh Honig (1998) bahwa faktor yang berpengaruh

terhadap human capital adalah pendidikan dan pengalaman sehingga dapat

meningkatkan produktivitas dan kesuksesan bisnis.


31

Human capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, ketrampilan,

inovasi dan kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya sehingga dapat

menciptakan suatu nilai untuk mencapai tujuan (Ongkorahardjo 2008).

Pembentukan nilai tambah yang dikontribusikan oleh human capital dalam

menjalankan tugas dan pekerjaannya akan memberikan sustainable revenue di

masa akan datang bagi suatu organisasi (Malhotra 2003, Bontis 2002 dalam

Ongkorahardjo 2008). Fitz-Enz (2000) mendeskripsikan human capital sebagai

kombinasi dari tiga faktor, yaitu: 1) karakter atau sifat yang dibawa ke pekerjaan,

misalnya intelegensi, energi, sikap positif, keandalan, dan komitmen, 2)

kemampuan seseorang untuk belajar, yaitu kecerdasan, imajinasi, kreatifitas dan

bakat 3) motivasi untuk berbagi informasi dan pengetahuan, yaitu semangat tim

dan orientasi tujuan.

Definisi mengenai human capital tersebut didukung juga oleh pendapat

Mayo (2000) bahwa komponen human capital terdiri atas kapabilitas individual,

motivasi individual, budaya organisasi, efektivitas kerja kelompok dan leadership.

Muafi (2010) mengukur human capital dilihat dari tiga komponen yaitu: tingkat

pendidikan, pengalaman kerja, dan kompetensi, sedangkan menurut Cheng et al

(2009) sumber daya manusia atau human capital dapat diukur dari tingkat

pendidikan, pengalaman kerja, kualitas profesional, dan pelatihan berkelanjutan.

2.4. New Public Management (NPM)

Mulai tahun 1990-an ilmu administrasi publik mengenalkan paradigma baru

yang sering disebut New Public Management (Hood, 1991). Paradigma alternatif

ini menekankan pada perubahan perilaku pemerintah menjadi lebih efektif dan

efisien dengan prinsip The Invisible Hand-nya Adam Smith, yaitu mengurangi

peran pemerintah, membuka peran swasta dan pemerintah lebih berfokus pada

kepentingan publik yang lebih luas.


32

NPM berakar dari teori manajemen yang beranggapan bahwa praktik bisnis

komersial dan manajemen sektor swasta adalah lebih baik dibandingkan dengan

praktik dan manajemen pada sektor publik. Oleh karena itu, untuk memperbaiki

kinerja sektor publik, perlu diadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen

yang diterapkan di sektor swasta ke dalam sektor publik, seperti pengadopsian

mekanisme pasar, kompetisi tender, dan privatisasi perusahaan-perusahaan

publik (Mardiasmo, 2002). NPM telah memengaruhi reformasi pengelolaan

keuangan sektor publik untuk menciptakan sektor publik yang lebih efisien, efektif

dan akuntabel (Hood,1995).

Menurut Pollitt (2002) adopsi inovasi NPM dapat dikategorikan pada empat

tahap yang berbeda: (1) pengungkapan, (2) Keputusan, (3) praktik, dan (4)

dampak dari perubahan. Penelitian Pollit berfokus pada tahap praktik di mana

inovasi NPM secara teknis digunakan oleh organisasi sektor publik, termasuk

faktor-faktor kontekstual dan organisasi yang dapat memengaruhi penggunaan

teknik-teknik baru dalam praktik.

Indonesia dalam konteks NPM mengikuti contoh dari sejumlah negara lain

di Eropa dan seluruh dunia, pemerintah Indonesia juga mengalami sejumlah

perubahan akuntansi keuangan dan reformasi selama hampir satu dekade

terakhir dalam rangka memenuhi tantangan globalisasi yang meningkat.

2.5. Standar Akuntansi Pemerintahan

Menurut Mahmudi (2011), Standar akuntansi pemerintahan adalah prinsip-

prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan

keuangan pemerintah. Berikut adalah manfaat standar akuntansi pemerintahan:

(1) standar akuntansi digunakan oleh akuntan keuangan di pemerintahan

sebagai pedoman dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan

pemerintahan; (2) standar akuntansi digunakan oleh auditor sebagai kriteria audit
33

untuk menentukan apakah laporan keuangan yang disajikan sudah sesuai

dengan standar akuntansi yang mengaturnya; (3) standar akuntansi digunakan

oleh pengguna laporan keuangan untuk memahami laporan keuangan dan

menghindari kesalahan dalam menginterpretasikan informasi dalam laporan

keuangan; (4) standar akuntansi diperlukan untuk meningkatkan kualitas laporan

keuangan yaitu meningkatkan konsistensi, daya banding, keterpahaman,

relevansi, dan keandalan laporan keuangan; dan (5) standar akuntansi menjadi

acuan dalam penyusunan sistem akuntansi sebab keluaran sistem akuntansi

harus sesuai dengan standar akuntansi.

SAP merupakan persyaratan yang mempunyai kekuatan hukum dalam

upaya meningkatkan kualitas laporan keuangan (PP No. 71 Tahun 2010).

Dengan ditetapkannya SAP, diharapkan dapat terciptanya transparansi,

partisipasi, dan akuntanbilitas pengelolaan keuangan negara guna mewujudkan

pemerintahan yang baik (good governance). Standar akuntansi pemerintahan

merupakan salah satu aspek penting yang diperlukan untuk meningkatkan

kualitas tata kelola keuangan negara dan pelaporan keuangan pemerintahan.

Standar akuntansi pemerintahan sendiri perlu dikembangkan untuk memperbaiki

praktik akuntansi keuangan pada lingkungan organisasi pemerintahan (Mahmudi,

2011).

Standar akuntansi pemerintahan diterapkan di lingkungan pemerintahan,

baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah dan dinas-dinas. Dengan

demikian, penerapan standar akuntansi pemerintahan diyakini akan berdampak

pada peningkatan kualitas pelaporan keuangan di pemerintah pusat dan

pemerintah daerah (Nordiawan et al, 2009). Standar akuntansi pemerintahan dan

kebijakan akuntansi pemerintah daerah mengatur tiga hal, yaitu: (1) pengakuan;

(2) pengukuran; dan (3) pengungkapan.

Struktur SAP berbasis akrual (Lampiran I PP 71 tahun 2010):


34

1. PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;

2. PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran;

3. PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;

4. PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;

5. PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;

6. PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;

7. PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;

8. PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pekerjaan;

9. PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;

10. PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan

Akuntansi dan Peristiwa Luar Biasa

11. PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian;

12. PSAP Nomor 12 tentang Laporan Operasional.

2.6. Akuntansi Berbasis Akrual

Basis akrual adalah suatu basis akuntansi di mana transaksi ekonomi atau

peristiwa akuntansi diakui, dicatat, dan disajikan dalam laporan keuangan

berdasarkan pengaruh transaksi pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa

memperhatikan waktu kas diterima atau dibayarkan. Hara (2006)

mengemukakan bahwa basis akrual adalah metode akuntansi superior untuk

sumber ekonomi pada beberapa organisasi. Hasil basis akrual dalam

pengukuran akuntansi berdasarkan substansi dan kejadian, bukan ketika kas

diterima atau dibayarkan, disamping itu juga meningkatkan relevansi, netralitas,

timelines, completeness, comparability.

Mustofa (2006) menjelaskan akuntansi berbasis akrual berarti suatu basis

akuntansi di mana transaksi ekonomi dan peristiwa-peristiwa lain diakui dan

dicatat dalam catatan akuntansi dan dilaporkan dalam periode laporan keuangan
35

pada saat terjadinya transaksi tersebut, bukan pada saat kas atau ekuivalen kas

diterima atau dibayarkan. Akuntansi berbasis akrual banyak dipakai oleh institusi

sektor non publik dan lembaga lain yang bertujuan mencari keuntungan.

International Monetary Fund (IMF) sebagai lembaga kreditur menyusun

Government Finance Statistics (GFS) yang di dalamnya menyarankan kepada

negara-negara debiturnya untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual dalam

pembuatan laporan keuangan. Alasan penerapan basis akrual ini karena saat

pencatatan (recording) sesuai dengan saat terjadinya arus sumber daya. Jadi

basis akrual ini menyediakan estimasi yang tepat atas pengaruh kebijakan

pemerintah terhadap perekonomian secara makro.

Selain itu, basis akrual menyediakan informasi yang paling komprehensif

karena seluruh arus sumber daya dicatat, termasuk transaksi internal, in-kind

transaction, dan arus ekonomi lainnya. Akuntansi akrual dapat bermanfaat bagi

pemerintah karena dapat memberikan informasi lebih untuk para pengambil

keputusan, mengarah ke pengambilan keputusan yang lebih baik (Hyndman dan

Conolly, 2006) dan meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi dan

akuntabilitas (Guthrie, 1998; Chan, 2003; Ron dan Mellet, 2003; Barton, 2005;.

Nistor et al, 2009; Monteiro dan Gomes, 2013).

Unsur-Unsur akuntansi akrual adalah aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan

dan biaya. (IFAC, Glossary of Defined Terms). Akuntansi berbasis akrual

merupakan international best practice dalam pengelolaan keuangan modern

yang sesuai dengan prinsip New Public Management (NPM) yang

mengedepankan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan.

Akrual basis mendasarkan konsepnya pada dua pilar yaitu:

1. Pengakuan pendapatan

Saat pengakuan pendapatan pada basis akrual adalah pada saat

pemerintah mempunyai hak untuk melakukan penagihan dari hasil kegiatan


36

pemerintah. Dalam konsep basis akrual, mengenai kapan kas benar-benar

diterima menjadi hal yang kurang penting. Oleh karena itu, basis akrual

kemudian muncul estimasi piutang tak tertagih, sebab penghasilan sudah

diakui padahal kas belum diterima.

2. Pengakuan beban

Pengakuan beban dilakukan pada saat kewajiban membayar sudah

terjadi. Sehingga dengan kata lain, pada saat kewajiban membayar sudah

terjadi, maka titik ini dapat dianggap sebagai starting point munculnya biaya

meskipun beban tersebut belum dibayar.

Secara khusus, dalam literatur akuntansi sektor publik internasional,

inisiatif akuntansi akrual diperkirakan memiliki sejumlah manfaat yang dapat

dikelompokkan dan diringkas sebagai berikut: (i) memberikan gambaran yang

jelas dari total biaya pemerintah, program kegiatan dan layanan yang

diberikan; pengukuran yang lebih baik untuk biaya dan pendapatan;

peningkatan proses kontrol dan transparansi, (ii) fokus lebih besar pada

output; fokus pada dampak jangka panjang dari keputusan, (iii) penggunaan

yang lebih efisien dan efektif dan manajemen sumber daya dan akuntabilitas

yang lebih besar, (iv) pengurangan dan pengukuran yang lebih baik dari

pengeluaran publik, (v) pelaporan yang lebih baik dari posisi keuangan

organisasi sektor publik, (vi) manajemen keuangan yang lebih baik;

peningkatan pengukuran kinerja dan perbandingan yang lebih baik dari kinerja

manajerial antar periode dan organisasi dengan menghitung indikator

berdasarkan data keuangan dan operasional yang komprehensif dan

konsisten; (vii) perhatian lebih besar untuk aset dan informasi lebih lengkap

mengenai kewajiban organisasi publik melalui aset yang lebih baik dan

manajemen hutang; (viii) perencanaan yang lebih baik untuk kebutuhan dana
37

masa depan (ix) membantu dengan keputusan membuat/membeli atau

menyewa/membeli; (x) keputusan lebih baik tentang kelayakan penyediaan

layanan; (Mellett, 2002; Cohen et al, 2007; Pessina and Steccolini, 2007; dan

International Federation of Accountant-Public Sector Committe, 2000 dan

2002).

Komponen Laporan Keuangan Berbasis Akrual Pemerintah Daerah :

1. Laporan Realisasi Anggaran.

2. Laporan Perubahan Saldo anggaran Lebih.

3. Neraca.

4. Laporan Operasional.

5. Laporan Arus Kas

6. Laporan Perubahan Ekuitas.

7. Catatan atas Laporan Keuangan.

Masing-masing laporan dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan

pemakaian sumber daya keuangan yang dikelola oleh pemerintah

pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan

realisasinya dalam satu periode pelaporan. Laporan Realisasi Anggaran

terdiri dari pendapatan-LRA, belanja, transfer, dan pembiayaan.

2. Laporan Perubahan Sisa Anggaran Lebih (LSAL)

Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih menyajikan informasi

kenaikan atau penurunan Saldo Anggaran Lebih tahun pelaporan

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Laporan ini menginformasikan

penggunaan dari sisa lebih pembiayaan anggaran tahun sebelumnya

(SILPA) atau sumber dana yang digunakan untuk menutup sisa kurang
38

anggaran tahun lalu (SILKA), sehingga tersaji sisa lebih/kurang

pembiayaan anggaran tahun berjalan.

3. Neraca

Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan

mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.Unsur yang

dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas. Masing-

masing unsur dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh

pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana

manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat

diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat

diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang

diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-

sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.

b. Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang

penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi

pemerintah.

c. Ekuitas adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih

antara aset dan kewajiban pemerintah.

4. Laporan Operasional (LO)

Laporan Operasional menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang

menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah

pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam satu

periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung dalam Laporan

Operasional terdiri dari pendapatan-LO, beban, transfer, dan pos-pos luar

biasa. Masing masing unsur dapat dijelaskan sebagai berikut:


39

a. Pendapatan-LO adalah hak pemerintah yang diakui sebagai

penambah nilai kekayaan bersih.

b. Beban adalah kewajiban pemerintah yang diakui sebagai pengurang

nilai kekayaan bersih

c. Transfer adalah hak penerimaan atau kewajiban pengeluaran uang

dari/oleh suatu entitas pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain,

termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil.

d. Pos Luar Biasa adalah pendapatan luar biasa atau beban luar biasa

yang terjadi karena kejadian atau transaksi yang bukan merupakan

operasi biasa,tidak diharapkan sering atau rutin terjadi, dan berada di

luar kendali atau pengaruh entitas bersangkutan.

5. Laporan Arus Kas

Laporan Arus Kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas

operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris yang menggambarkan

saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir kas pemerintah

pusat/daerah selama periode tertentu. Unsur yang dicakup dalam

Laporan Arus Kas terdiri dari penerimaan dan pengeluaran kas, yang

masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Penerimaan kas adalah semua aliran kas yang masuk ke Bendahara

UmumNegara/Daerah.

b. Pengeluaran kas adalah semua aliran kas yang keluar dari Bendahara

Umum Negara/Daerah.

6. Laporan Perubahan Ekuitas

Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan informasi kenaikan atau

penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun

sebelumnya.

7. Catatan Atas Laporan Keuangan


40

Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian

dari angka yang tertera dalam Laporan Realisasi Anggaran, Laporan

Perubahan SAL, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas,

Neraca, dan Laporan Arus Kas. Catatan atas Laporan Keuangan juga

mencakup informasi tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh

entitas pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan

untuk diungkapkan di dalam Standar Akuntansi Pemerintahan serta

ungkapan-ungkapan yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian

laporan keuangan secara wajar.

Menurut Simanjuntak (2010) beberapa tantangan penerapan akuntansi

berbasis akrual di pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Sistem akuntansi dan Information Technology (IT) Based System

Adanya kompleksitas implementasi akuntansi berbasis akrual, dapat

dipastikan bahwa penerapan akuntansi berbasis akrual di lingkungan

pemerintahan memerlukan sistem akuntansi dan IT based system yang

lebih rumit.

2. Komitmen dari pimpinan

Dukungan yang kuat dari pimpinan merupakan kunci keberhasilan dari

suatu perubahan. Salah satu penyebab kelemahan penyusunan laporan

keuangan pada beberapa kementerian atau lembaga adalah lemahnya

komitmen pimpinan satuan kerja khususnya Organisasi Perangkat

Daerah (OPD) penerima dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan.

Kejelasan perundang-undangan mendorong penerapan akuntansi

pemerintahan dan memberikan dukungan yang kuat baik bagi para

pimpinan kementerian/lembaga di pusat maupun Gubernur atau Bupati

atau Walikota di daerah.

3. Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten


41

Penyiapan dan penyusunan laporan keuangan berbasis akrual

memerlukan SDM yang memiliki kompentensi, khususnya dalam bidang

akuntansi pemerintahan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu

secara serius menyusun perencanaan SDM di bidang akuntansi

pemerintahan.

4. Resistensi Terhadap Perubahan

Sebagaimana layaknya untuk setiap perubahan, pada umumnya terdapat

pihak internal yang sudah terbiasa dengan sistem yang lama dan enggan

untuk mengikuti perubahan. Untuk itu, perlu disusun berbagai kebijakan

dan dilakukan berbagai sosialisasi kepada seluruh pihak yang terkait,

sehingga penerapan akuntansi pemerintahan berbasis akrual dapat

berjalan dengan baik tanpa ada resistensi.

5. Lingkungan/Masyarakat

Apresiasi dari masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung

keberhasilan penerapan akuntansi pemerintahan. Masyarakat perlu

didorong untuk mampu memahami laporan keuangan pemerintah,

sehingga dapat mengetahui dan memahami penggunaan atas

penerimaan pajak yang diperoleh dari masyarakat maupun pengalokasian

sumber daya yang ada. Dengan dukungan yang positif, masyarakat

mendorong pemerintah untuk lebih transparan dan akuntabel dalam

menjalankan kebijakannya.

2.7. Tekanan Peraturan (Regulatory Pressure)

Tekanan peraturan adalah bentuk khusus dari tekanan paksaan/Coercive

pressurre (DiMaggio dan Powell 1983). Selanjutnya Dimaggio dan Powell

menyatakan bahwa coercive pressure berasal dari pengaruh politik dan

kebutuhan untuk legitimasi. Kekuatan coercive adalah tekanan eksternal yang


42

diberikan oleh pemerintah, peraturan, atau lembaga lain untuk mengadopsi

struktur atau sistem (Ashworth, 2009). Adanya peraturan ditujukan untuk

mengatur praktik yang ada agar menjadi lebih baik. Di sisi lain, kekuatan coercive

dari suatu peraturan dapat menyebabkan adanya kecenderungan organisasi

untuk memperoleh atau memperbaiki legitimasi (scott, 1987), sehingga hanya

menekankan aspek-aspek positif agar organisasi terlihat baik oleh pihak-pihak di

luar organisasi. Perubahan organisasi yang didasari kekuatan coercive akan

menyebabkan organisasi lebih mempertimbangkan pengaruh politik dari pada

teknis (Ashworth, 2009).

Fokus pada legitimasi membuat teori kelembagaan yang ideal akan

konsep teoritis untuk studi tekanan peraturan karena motif utama dibalik

kepatuhan terhadap peraturan adalah legitimasi hukum (Liang et al. 2007). Dua

alasan mengapa perusahaan cenderung memengaruhi perusahaan besar dari

tekanan instansi lain. Pertama, lingkungan peraturan di sebagian besar negara

terus berubah karena perubahan yang terus menerus dalam politik

pembangunan internasional dan nasional (Damianidas, 2005). Kedua, sifat

instansi pemerintah yang kuat dalam memberlakukan sanksi negatif yang tidak

memenuhi kepatuhan perusahaan.

2.8. Kompetensi

Menurut Bastian (2006) bahwa penyiapan dan penyusunan laporan

keuangan yang berkualitas memerlukan kompetensi SDM yang menguasai

akuntansi pemerintahan. SDM menjadi faktor kunci dalam menciptakan laporan

keuangan yang berkualitas karena yang menyusun laporan keuangan adalah

mereka yang menguasai SAP. Betapapun bagusnya SAP, tanpa didukung SDM

yang handal, maka laporan keuangan yang berkualitas sulit dicapai.


43

Susanto (2000) menjelaskan kompetensi menunjukkan karakteristik

karakteristik yang mendasari individu untuk mencapai kinerja unggul. Kompetensi

mencakup pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berhubungan

dengan pekerjaan serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-

pekerjaan. Spencer (1993) menjelaskan bahwa kompetensi adalah karakteristik

dasar individu yang memiliki hubungan kausal atau sebagai sebab akibat dengan

kriteria yang dijadikan acuan, efektif atau berkinerja prima atau superior di tempat

kerja atau pada situasi tertentu. Jadi, makna yang terkandung dalam pengertian

tersebut adalah, pertama, karakteristik dasar kompetensi adalah bagian dari

kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang serta mempunyai

perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan tugas pekerjaan. Kedua,

hubungan kausal berarti kompetensi dapat menyebabkan atau digunakan untuk

memprediksikan kinerja seseorang, artinya jika mempunyai kompetensi yang

tinggi, maka akan mempunyai kinerja tinggi pula (sebagai akibat). Ketiga, kriteria

yang dijadikan acuan, bahwa kompetensi secara nyata akan memprediksikan

seseorang dapat bekerja dengan baik, harus terukur dan terstandar.

Menurut Palan (2008) kompetensi merujuk kepada karakteristik yang

mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas),

konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang

berkinerja unggul di tempat kerja. Berdasarkan pada pemahaman ini kompetensi

terdiri dari berbagai jenis karakteristik yang berbeda yang mendorong perilaku.

Fondasi karakteristik ini terbukti dalam cara seseorang berperilaku di tempat

kerja. Berdasarkan pada pemikiran kompetensi tersebut selanjutnya Palan

mengidentifikasi lima jenis kompetensi, yakni (Palan, 2008) :

1. Pengetahuan

2. Keterampilan

3. Konsep diri dan nilai-nilai


44

4. Karakteristik pribadi

5. Motif

Menurut Sutrisno (2011) Kompetensi berasal dari kata competence yang

artinya kecakapan,kemampuan, dan wewenang, adapun secara etimologi,

kompetensi diartikan sebagai dimensi perilaku keahlian atau keunggulan

seseorang pemimpin atau staf mempunyai keterampilan, pengetahuan dan

perilaku yang baik.

Sisi lain dari kompetensi juga dapat dijelaskan oleh Robbins (2001) yang

mendefinisikan kompetensi sebagai kapasitas seorang individu untuk melakukan

berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan keseluruhan dari seorang

individu tersusun dari dua faktor yaitu: kemampuan intelektual dan kemampuan

fisik. Kemampuan intelektual yaitu kemampuan melakukan kegiatan mental dan

kemampuan fisik untuk melakukan kegiatan kegiatan yang menuntut stamina,

kecekatan dan keterampilan yang serupa. Kemampuan intelektual ini memainkan

peran yang lebih besar dalam pekerjaan pekerjaan yang rumit yang

membutuhkan pemrosesan informasi. Kemampuan intelektual individu diukur

melalui tujuh dimensi kemampuan yakni :

1) Numerik adalah kemampuan untuk membuat perhitungan aritmatika dengan

cepat dan akurat seperti penjumlahan dan pengurangan.

2) Ruang adalah kemampuan merasakan pola ruang dan memvisualisaikan

bagaimana bentuk bentuk geometris akan terlihat jika ditransformasikan

dalam bentuk atau posisi.

3) Memori adalah kemampuan ingatan yang baik terhadap kata yang

berpasangan, lambang, daftar angka, atau item lain yang terkait.

4) Kecepatan Menanggapi adalah kemampuan untuk merasakan bentuk,

menidentifikasikan persamaan dan perbedaan, dan melaksanakan tugas yang

melibatkan persepsi visual.


45

5) Penalaran induktif adalah kemampuan untuk melakukan penalaran dari hal

yang khusus menuju kesimpulan umum.

6) Verbal adalah kemampuan untuk memahami arti kata kata dan mengerti apa

yang dibaca.

7) Kefasihan kata adalah kemampuan untuk menghasilkan kata kata khusus

yang memenuhi persyaratan simbolis atau struktural khusus.

Menurut kamus Kompetensi LOMA (1998), kompetensi didefinisikan

sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk

mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk : sifat, motif-

motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan keterampilan. Selanjutnya Lasmahadi

(2002), berpendapat bahwa kompetensi akan mengarahkan kepada tingkah laku

dan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Berdasarkan definisi tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa tidak semua aspek-aspek pribadi dari seorang pegawai

itu merupakan kompetensi, hanya aspek-aspek pribadi yang mendorong dirinya

untuk mencapai kinerja yang maksimal. Kompetensi adalah suatu uraian atas

kemampuan seseorang dalam hal : pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

serta sikap yang utama diperlukan untuk mencapai kinerja yang efektif dalam

pekerjaan.

Simamora (2004) berpendapat bahwa kompetensi diperoleh dari pelatihan,

pengembangan dan pendidikan. Ketiganya merupakan satu kesatuan walaupun

memiliki tujuan dan manfaat yang berbeda-beda. Pelatihan adalah suatu proses

pendidikan jangka pendek dengan menggunakan suatu prosedur yang sistematis

dan teroganisasi, sehingga karyawan operasional belajar pengatahuan teknik

pengerjaan dan keahlian untuk tujuan tertentu. Hal ini berimplikasi bahwa

pengembangan sumber daya manusia tidak memusatkan perhatian pada

pekerjaan saat ini atau tugas di masa mendatang, melainkan lebih pada

kebutuhan jangka panjang organisasi.


46

Dari uraian tentang kompetensi diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang

pegawai yang kompeten adalah seseorang yang memiliki pendidikan dan

pengalaman yang memadai, serta didukung dengan keikutsertaan dalam

pelatihan-pelatihan yang bertujuan pada pengembangan pengetahuan dan

keterampilan yang sesuai dengan pekerjaan dan kebutuhan organisasi.

2.8.1. Tingkat Pendidikan

Sebuah implementasi kebijakan publik dalam praktik, memerlukan

kapasitas sumber daya manusia yang memadai dari segi jumlah dan keahlian

(kompetensi, pengalaman, serta informasi yang memadai). Menurut Nazier,

(2009) 76,77% unit pengelola keuangan di lingkungan pemerintah pusat dan

daerah diisi oleh pegawai yang tidak memiliki latar belakang pendidikan

akuntansi sebagai pengetahuan dasar yang diperlukan dalam pengelolaan

keuangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Stamatiadis, et al (2009) menunjukkan

terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan staf

akuntansi dengan tingkat kepatuhan akuntansi akrual. Kemudian, penelitian oleh

Ouda, (2008) yang menunjukkan bahwa ketika mendapat pendidikan pada

tingkat yang lebih tinggi, staf organisasi diharapkan untuk lebih menghargai

manfaat dan penggunaan teknik akuntansi yang baru dan juga untuk

mempromosikan implementasinya dalam organisasi pemerintah. Menurut

Windels dan Christiaens (2006) tingkat umum pendidikan eksekutif dan staf,

berdampak positif pada tingkat adopsi reformasi.

2.8.2. Pelatihan Staf Keuangan

Menurut Krumwiede (1998) pelatihan yang memadai memiliki efek yang

berpengaruh positif terhadap kesuksesan adopsi sistem akuntansi, sebagai


47

pemahaman tentang bagaimana untuk merancang, menerapkan dan

menggunakan sistem ini menjadi meningkat. Demikian pula menurut Brusca,

(1997) yang menunjukkan bahwa transisi dari akuntansi berbasis kas menuju

basis akrual membutuhkan biaya pelatihan yang signifikan.

Sementara itu, menurut Ouda (2008), fakta bahwa karyawan yang tidak

memiliki cukup informasi mengenai arah reformasi maupun yang tidak

diberdayakan untuk berkontribusi pada prosesnya, merupakan salah satu alasan

kegagalan reformasi akuntansi sektor publik. Oleh karena itu, pengenalan sistem

akuntansi baru di sektor publik membutuhkan strategi pelatihan secara

keseluruhan untuk menyebarluaskan tujuan dan persyaratan dari proses

reformasi, untuk mengklarifikasi kesalahpahaman yang potensial, untuk

menyampaikan pemahaman umum dan prinsip-prinsip utama dari reformasi

akuntansi dan untuk meyakinkan potensi manfaat dari sistem baru. Dengan kata

lain, pelatihan harus menyediakan mekanisme bagi karyawan untuk memahami,

menerima, dan merasa nyaman dengan ide-ide dan instrumen NPM, dan

mencegah karyawan dari merasa tertekan atau kewalahan oleh proses

implementasi (Cavalluzzo dan Ittner, 2004). Penelitian oleh Stamatiadis, et al

(2009) juga menunjukkan bahwa pelatihan yang diberikan kepada staf keuangan

memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kepatuhan akuntansi

akrual.

2.8.3. Pengalaman

Trotman dan Wright (1996) menjelaskan bahwa pengalaman kerja dapat

memperdalam dan memperluas kemampuan kerja. Semakin sering seseorang

melakukan pekerjaan yang sama, semakin terampil dan semakin cepat dia

menyelesaikan pekerjaan tersebut. Semakin banyak macam pekerjaan yang

dilakukan seseorang, semakin kaya dan luas pengalaman kerjanya sehingga


48

memungkinkan kinerjanya meningkat. Pengalaman kerja merupakan rentang

waktu yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan tugas-tugas suatu

pekerjaan dan telah dilaksanakan dengan baik (Ranupandojo dan Husnan, 2002)

2.9. Budaya Organisasi

2.9.1. Pengertian Budaya Organisasi

Stoner, et al (1995), mengartikan budaya organisasi sebagai pemahaman

terhadap norma, nilai, sikap, dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh semua

anggota organisasi, atau budaya organisasi merupakan kerangka kerja yang

menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari. Pedoman dalam membuat keputusan,

serta mengarahkan tindakan anggota organisasi untuk mencapai tujuan

organisasi. Budaya harus sejalan dengan tindakan-tindakan organisasi seperti

perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian. Apabila

budaya tidak sejalan dengan tugas-tugas tersebut maka organisasi akan

menghadapi masa-masa sulit (Stoner, et al, 1995, Kotter dan Hesket,1992).

Joanne Martin dalam Luthans (2006), menjelaskan bahwa ketika individu

berhubungan dengan organisasi mereka berhubungan dengan norma

berpakaian, cerita orang-orang mengenai apa yang terjadi, aturan dan prosedur

formal organisasi, kode perilaku formal, ritual, tugas, sistem gaji, bahasa dan

lelucon yang hanya dimengerti oleh orang dalam dan sebagainya. Elemen

tersebut merupakan beberapa manifestasi budaya organisasi. Budaya akan lebih

mudah diakui ketika semua elemen dalam organisasi terpadu dan konsisten.

Denison (1990) mengartikan budaya organisasi sebagai nilai-nilai,

keyakinan, dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan bagi sistem dan

praktek-praktek manajemen serta perilaku yang meningkatkan dan menguatkan

prinsip-prinsip tersebut. Model Denison tersebut menekankan pentingnya

menghubungkan praktek-praktek manajemen dengan asumsi dasar dan


49

kepercayaan dalam menilai efektifitas budaya organisasi. Nilai-nilai dan

keyakinan/kepercayaan dalam organisasi menumbuhkan seperangkat praktik

manajemen dimana aktivitas-aktivitas yang dilakukan merupakan sumber dari

nilai-nilai organisasi. Aktivitas ini muncul dari penguatan nilai-nilai dan

keyakinan/kepercayaan yang dominan di dalam suatu organisasi.

Denison (1990), membagi dimensi budaya organisasi berdasarkan empat

sifat utama (main culture traits), yaitu;

1. Keterlibatan (involvement). Sifat budaya ini terkait dengan kemampuan

(capability), kepemilikan (ownership), dan tanggung jawab (responsibility)

karyawan. Organisasi yang efektif adalah organisasi yang memberdayakan

serta mengembangkan kapabilitas sumber daya pada semua tingkatan.

2. Konsistensi (concistency). Sifat budaya ini menekankan pada dampak positif

budaya kuat pada efektifitas organisasi. Sistem keyakinan, nilai dan simbol

yang dihayati serta dipahami secara luas oleh para anggota organisasi

mempunyai dampak positif pada kemampuan mereka dalam mencapai

konsensus dan tindakan-tindakan yang terkoordinasi.

3. Adaptabilitas (adaptability). Sifat budaya ini merupakan penjabaran sistem

norma-norma dan keyakinan-keyakinan yang dapat mendukung kapasitas

suatu organisasi agar dapat menerima, menafsirkan, dan menterjemahkan

tanda-tanda yang berasal dari lingkungan supaya terjadi perubahan-

perubahan perilaku internal untuk bisa bertahan hidup, tumbuh dan

berkembang.

4. Misi (mission). Sifat budaya ini menentukan manfaat dan makna dengan cara

mendefinisikan peran sosial dan sasaran eksternal bagi institusi serta

mendefinisikan peran individu berkenaan dengan peran institusi. Kesadaran

akan misi memberikan arah dan sasaran yang jelas untuk mendefinisikan

serangkaian tindakan yang tepat bagi organisasi dan anggota-anggotanya.


50

Keempat sifat utama dimensi budaya tersebut di atas, dikelompokkan

menjadi dua yaitu; 1) integrasi internal (internal integration) dan 2) adaptasi

eksternal (external adaptation). Internal integration meliputi involvement

(empowerment, team orientation, dan capability development), dan consistency

(core value, agreement, dan coordination and integration); sedangkan External

adaptation, meliputi adaptability (creating change, customer focus, dan

organization learning), dan Mission (vision, strategic direction, dan goal and

objective).

Sifat budaya yang dikemukakan Denison di atas terkait dengan efektifitas

perilaku yang mendukung peningkatan kinerja organisasi. Organisasi pemerintah

yang bertujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat, membutuhkan komitmen

individu yang ada di dalamnya tentang tujuan mulia yang akan dicapai organisasi

pemerintah. Oleh karena itu maka budaya harus menjadi perekat sosial yang

membantu mempersatukan organisasi dengan standar-standar perilaku yang

memandu dan membentuk sikap serta perilaku anggota yang ada di dalamnya.

2.9.2. Fungsi Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki berbagai fungsi, tidak hanya sebagai identitas

suatu organisasi, tetapi memiliki fungsi-fungsi lain. Para ahli banyak yang

mengemukakan pendapat tentang fungsi budaya organisasi. Budaya Organisasi

memenuhi beberapa fungsi penting dalam organisasi. Hunger dan Wheelen

(2003) : (1) Budaya memberikan nuansa identitas bagi karyawan, (2) Budaya

membantu menimbulkan komitmen karyawan, (3) Budaya menambah stabilitas

perusahaan, (4) Budaya adalah kerangka referensi dan pedoman bagi perilaku

karyawan.

Budaya organisasi juga berfungsi untuk mengatasi permasalahan integrasi

internal dengan meningkatkan pemahaman dan kemampuan anggota organisasi


51

untuk berbahasa, berkomunikasi, membuat kesepakatan atau konsensus

internal, kekuasaan dan aturannya, hubungan anggota/karyawan organisasi,

serta imbalan dan sanksi (Schein, 1991).

Dari fungsi-fungsi tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi

dapat menjadi sebuah identitas yang membedakan suatu organisasi dengan

organisasi lainnya, dan membutuhkan komitmen individu yang ada di dalamnya

terhadap tujuan yang akan dicapai organisasi.

2.9.3. Budaya Birokrasi

Sebagai suatu variabel dalam organisasi, budaya dipelajari sebagai

bagian dari sistem organisasi secara keseluruhan. Dalam konteks ini, budaya

dilihat sebagai sesuatu yang hidup di suatu organisasi yang mengikat semua

anggota organisasi dalam upaya mencapai tujuan bersama. Budaya juga dapat

dilihat sebagai bagian dari suatu lingkungan organisasi yang memengaruhi

perilaku dan penampilan (performance) organisasi.

Menurut Dwiyanto (2001) :

“Rendahnya kinerja birokrasi publik sangat dipengaruhi oleh budaya

paternalisme yang masih sangat kuat, yang cenderung mendorong pejabat

birokrasi untuk lebih berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan,

menempatkan dirinya sebagai penguasa dan memperlakukan para pengguna

jasa sebagai obyek pelayanan yang membutuhkan bantuannya. Disamping itu,

rendahnya kinerja juga disebabkan oleh sistem pembagian kekuasaan yang

cenderung memusat pada pimpinan. Struktur birokrasi yang hierarkis mendorong

adanya pemusatan kekuasaan dan wewenang pada atasan sehingga pejabat

birokrasi yang langsung berhubungan dengan para pengguna jasa sering tidak

memiliki wewenang yang memadai untuk merespons dinamika yang berkembang

dalam penyelenggaraan pelayanan”.


52

Ada banyak penjelasan yang dapat dipergunakan dalam rangka

memahami faktor yang terkait dan berpengaruh terhadap kinerja organisasi

publik. Osborne (1997) menjelaskan lima DNA sebagai kode genetika dalam

tubuh organisasi publik yang memengaruhi kapasitas dan perilakunya. Kelima

kode genetika itu adalah misi, akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan dan

budaya, sehingga pengelolaan dari kelima sistem kehidupan organisasi publik ini

akan sangat menentukan kualitas produk yang dihasilkan.

Budaya adalah perilaku konvensional masyarakat dan memengaruhi

semua tindakan meskipun sebagian besar tidak disadarinya. Budaya

memberikan stabilitas dan jaminan, karena dapat memahami hal-hal yang

sedang terjadi dalam masyarakat dan mengetahui cara menanggapinya. Sebagai

contoh dapat dilihat apabila seorang pegawai pindah ke tempat kerja yang lain.

Dalam lingkungan yang baru pegawai dituntut untuk perlu belajar menyesuaikan

diri dengan lingkungan yang dihadapi untuk menghindari kemungkinan akan

terjadi konsekwensi negatif.

Birokrasi, sebagaimana organisasi lainnya tidak lepas dari pengaruh

lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga terlibat secara intensif melalui pola-

pola interaksi yang terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya lokal.

Budaya birokrasi berkembang disuatu daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari

pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya. Sehubungan dengan itu,

Dwiyanto (2002) mengemukakan bahwa :

“Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat

nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan

pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai

tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang

dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan birokrasi.
53

Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu bersinggungan dengan

aspek budaya masyarakat setempat”.

Melalui penerapan sistem politik sentralistik dan hegemonik, negara

cenderung telah mengembangkan model kebijakan dan sistem birokrasi

pemerintahan yang mengarah pada penyeragaman di hampir semua aspek

kebijakan. Dalam kondisi demikian, variasi-variasi dan keanekaragaman budaya

lokal yang mewarnai sistem birokrasi di berbagai daerah menjadi hilang. Varian

lokal dalam birokrasi berubah menjadi keseragaman budaya dengan ciri

terjadinya sentralisasi kebijakan, pengambilan keputusan, ritual, etos kerja,

sampai model hubungan birokrasi dengan masyarakatnya.

Implementasi kebijakan masyarakat yang bersifat sentralistik dan

penyeragaman tersebut di daerah dilakukan dengan penyusunan sejumlah

kebijakan teknis, yakni dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis

(juklak dan juknis). Penyimpangan dari juklak dan juknis tersebut akan berakibat

fatal karena selalu dianggap sebagai penyimpangan dari aturan baku dan akan

mendatangkan stigma yang tidak menguntungkan bagi birokrat karena

mempunyai konsekwensi terhadap karier mereka pada masa mendatang.

Birokrasi sebagaimana organisasi lainnya, dalam setiap dinamika yang

terjadi di dalamnya, selalu memiliki korelasi dengan lingkungan eksternal.

Karakter dan model birokrasi yang selama ini berkembang di Indonesia pada

hakekatnya adalah merupakan salah satu bentuk interaksi yang terjalin dengan

lingkungan, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial, maupun

ekonomi.

Sebagai suatu sistem yang terjalin melalui interaksi dengan lingkungan,

corak hubungan paternalisme sangat dominan dalam determinasi pelayanan

publik. Dalam konteks ini, budaya paternalisme dalam kinerja aparat birokrasi

pemerintahan menunjuk pada hubungan antara pimpinan sebagai pihak yang


54

paling dominan apabila dibandingkan dengan masyarakat selaku pengguna jasa,

sehingga pola hubungan dipandang secara hierarkis. Pihak pejabat birokrasi

atau pimpinan ditempatkan lebih dominan daripada aparat bawahan, karena

seorang pimpinan harus dapat memberikan perlindungan terhadap bawahannya.

Sejalan dengan pemahaman diatas, Setiono (2000 : 100) mengemukakan

bahwa ada beberapa kendala yang berkaitan dengan kultur dan tradisi yang ada

dalam kinerja birokrasi. Mentalitas pegawai adalah keadaan mental, (pikiran/

rohani/batin/jiwa), watak, tabiat atau metode berpikir yang dimiliki aparat yang

memengaruhi pola kerja melalui hubungannya dengan lingkungan dimana ia

bekerja. Pola tindak, pola pikir aparat dalam melaksanakan pekerjaan ditempat

di mana ia bekerja, dapat mendorong aparat birokrasi bekerja secara optimal.

2.10. Komitmen Organisasi

2.10.1. Pengertian Komitmen Organisasi

Keberhasilan pengelolaan organisasi sangatlah ditentukan oleh

keberhasilan dalam mengelola sumber daya manusia. Seberapa jauh komitmen

karyawan terhadap organisasi tempat mereka bekerja, sangatlah menentukan

organisasi itu dalam mencapai tujuannya. Dalam dunia kerja, komitmen

karyawan terhadap organisasi sangatlah penting sehingga sampai beberapa

organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk

memegang jabatan/posisi yang ditawarkan dalam iklan lowongan pekerjaan.

Sayangnya meskipun demikian, tidak jarang pengusaha maupun karyawan

masih belum memahami arti komitmen secara sungguh-sungguh.

Realitanya banyak organisasi dalam perkembangannya mengalami

masalah yang muncul akibat munculnya kelompok-kelompok kecil yang tidak

membuat organisasi semakin dinamis, melainkan malah menjadikan keruntuhan

organisasi tersebut. Perbedaan peran, harapan, kepentingan interpedensi, dan


55

persepsi para anggota kelompok menjadi sumber konflik internal yang

mengancam kelangsungan hidup kelompok tersebut. Misalnya pemogokan

karyawan, absensi yang tinggi, tingkat turnover tidak terkendali. Semua ini

merupakan gejala yang muncul dan disebabkan ketidakpuasan karyawan

terhadap organisasi. Ini dikarenakan rendahnya komitmen kerja dari para

karyawan.

Mowday (1982) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari

komitmen organisasional. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa komitmen

organisasional merupakan perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai

kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Komitmen

organisasional merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif

kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan anggota

organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan

bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi.

Menurut Robbins (2001), komitmen organisasi adalah sebagai keadaan

dimana karyawan memihak pada suatu organisasi tersebut dan tujuan-tujuannya,

serta berniat untuk memelihara keanggotaannya dalam organisasi tersebut.

Luthans (2006) menyatakan komitmen organisasi merupakan: (1). Keinginan

yang kuat untuk tetap menjadi anggota dalam suatu organisasi, (2) Keinginan

untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan organisasi, (3) Keyakinan

tertentu, dan penerimaan nilai-nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini

merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan

proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengeskspresikan

perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang

berkelanjutan. Marthis dan Jackson (2000) memberikan defenisi Orgaizational

Commitment is the degree to employees believe in and accept organizational

gools and desire to remain with organizational. Komitmen organisasi adalah


56

derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi

dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi.

Selanjutnya Sopiah (2008) menyimpulkan bahwa komitmen organisasional

adalah suatu ikatan phsikologis karyawan pada organisasi yang ditandai dengan

adanya: (1) Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai

organisasi. (2) Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan

organisasi, dan (3) Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan

sebagai anggota organisasi.

Komitmen individu dalam sebuah organisasi tidak terjadi begitu saja,

tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Steers (1985)

mengidentifikasi ada tiga faktor yang memengaruhi komitmen individu pada

organisasi, yaitu :

1. Ciri pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi, serta variasi

kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap individu

2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan

rekan kerja.

3. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara

pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai

organisasi.

Minner (1997) mengemukakan empat faktor yang memengaruhi

komitmen individu pada organisasi, yaitu :

1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman

kerja dan kepribadian

2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan,

konflik peran dalam pekerjaan dan tingkat kesulitan dalam pekerjaan.


57

3. Karakteristik struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi, bentuk organisasi

seperti sentralisasi atau desentralisasi, kehadiran serikat pekerja dan tingkat

pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap individu.

4. Pengalaman kerja individu dalam organisasi. Individu yang baru beberapa

tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki komitmen yang berbeda

dengan individu yang sudah puluhan tahun bekerja dalam organisasi.

Steers dan Porter (1991) mengemukakan ada sejumlah faktor yang

memengaruhi komitmen individu dalam organisasi, yaitu :

1. Faktor personal, yang meliputi job expectations, psychological contract, job

choice factors dan personal characteristics. Keseluruhan faktor ini akan

membentuk komitmen awal.

2. Faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision,

goal consistency organizational. Semua faktor ini akan membentuk tanggung

jawab.

3. Non-organizational factors, yang meliputi availability of alternatives jobs.

Faktor yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya

alternatif pekerjaan lain. Jika ada yang lebih baik, maka individu akan

meninggalkan pekerjaannya yang lama dan mengambil pekerjaan baru yang

lebih baik.

Dari beberapa defenisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa komitmen

organisasional adalah sebagai suatu perasaan positif yang ada dalam diri

individu atas keterlibatannya dalam organisasi, dimana individu berusaha untuk

menidenfikasikan dirinya pada iklim organisasi sehingga muncul keinginan untuk

tidak akan meninggalkan organisasi.


58

2.10.2. Komponen Dalam Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi sering kali didefinisikan sebagai suatu keadaan

dimana seorang karyawan memihak pada organisasi dan tujuan organisasi serta

bersedia untuk menjaga keanggotaan dalam organisasi yang bersangkutan.

Komitmen karyawan pada organisasi (komitmen organisasional) merupakan

salah satu sikap karyawan yang penting dalam organisasi.

Dalam kaitannya dengan komitmen organisasi, Meyer dan Allen (1991)

mengidentifikasi dalam tiga komponen yaitu: Komitmen Afektif (Affective

Commitment); Komitmen berkelanjutan (Continuance Commitment); Komitmen

Normatif (Normative Commitment) Komitmen Kontinuan (Continuance

Commitment).

a. Affective Commitment, adalah tingkat keterlibatan secara psikologis dengan

organisasi berdasarkan seberapa baik perasaan mengenai organisasi.

Komitmen dalam jenis ini muncul dan berkembang oleh dorongan adanya

kenyamanan, keamanan, dan manfaat lain yang dirasakan dalam suatu

organisasi yang lain. Semakin nyaman dan tinggi manfaatnya yang dirasakan

oleh anggota, semakin tinggi komitmen seseorang pada organisasi yang

dipilihnya.

b. Normative Commitment, adalah keterikatan anggota secara psikologis dengan

organisasi karena kewajiban moral untuk memelihara hubungan dengan

organisasi. Dalam kaitan ini sesuatu yang mendorong anggota untuk tetap

berada dan memberikan sumbangan pada keberadaan suatu organisasi, baik

materi maupun non materi, adalah adanya kewajiban moral, yang mana

seseorang akan merasa tidak nyaman dan bersalah jika tidak melakukan

sesuatu.
59

c. Continuance Commitment, adalah keterlibatan anggota secara psikologis

pada organisasi karena biaya yang dia ditanggung sebagai konsekuensi

keluar dari organisasi. Dalam kaitannya dengan ini, anggota akan

mengkalkulasi manfaat dan pengorbanan atas keterlibatan dalam atau

menjadi anggota suatu organisasi. Anggota akan cenderung memiliki daya

tahan atau atau komitmen yang tinggi dalam keanggotaan jika pengorbanan

akibat keluar organisasi semakin tinggi. Dalam penelitian ini digunakan

konsep komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen (1991) yaitu komitmen

afektif (affective commitment), komitmen berkelanjutan (continuance

commitment) dan komitmen normatif (normative commitment).

2.11. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Adhikari dan Mellemvik (2011) di Nepal

membuktikan bahwa tekanan peraturan dari lembaga internasional memaksa

Nepal untuk menerapkan akuntansi basis akrual. Selaras dengan itu,

Stamatiadis, et al. (2011) melaporkan bahwa adopsi akuntansi akrual pada

sektor publik di Yunani cukup rendah setelah enam tahun peraturan tentang

penerapan akuntansi akrual ditetapkan. Selanjutnya, penelitian di Pemerintah

Kota Kendari terungkap akibat tekanan peraturan yang dialami berpengaruh

terhadap penggunaan sistem informasi keuangan daerah (Safaruddin, 2010).

Studi intensif yang dilakukan oleh Ouda (2004) tentang pengalaman

negara New Zealand, UK dan Australia dalam menerapkan akuntansi berbasis

akrual mengambarkan bahwa kompetensi dari tenaga akuntan di ketiga negara

tersebut menjadi faktor penting dalam penerapan akuntansi berbasis akrual.

Sejalan dengan itu, Saleh dan Pendlebury (2006) dalam penelitiannya di

Malaysia menyoroti kurangnya kompetensi dari tenaga akuntan yang ada pada
60

sektor publik yang berimbas pada ketidakmampuan menerapkan akuntansi

berbasis akrual dengan cepat. Hasil serupa diperoleh dari penelitian yang

membandingkan pelaksanaan akuntansi akrual di Inggris dengan New Zealand,

terungkap bahwa peran sumber daya manusia, terutama para birokrat sangat

penting perannya dalam mewujudkan tata kelola yang baik dan meningkatnya

profesionalisme para akuntan pemerintah sehingga dapat mendukung

penerapan akuntansi akrual (Oluseyi, 2010). Kemudian, dalam penelitian di

Rumania diperoleh hasil bahwa sebagian besar pegawai pemerintah belum

mampu menerapakan akuntansi akrual secara baik, karena kompetensi yang

kurang memadai (Stefanescu dan Turlea,2011).

Jorge et al. (2007) memaparkan bahwa proses mengimplementasikan

sistem akuntansi yang baru digambarkan sebagai guncangan budaya (cultural

shock). Pessina dan Steccolini (2007) mengungkapkan di Italia penerapan

akuntansi basis akrual kurang berhasil. Hal ini disebabkan lemahnya

implementasi sistem akuntansi yang baru ini, yaitu kuatnya tradisi dalam budaya

entitas pemerintah sehingga menghambat pengenalan basis akrual, serta

kurangnya partisipasi aktif dari para personel pemerintah dalam proses reformasi

menuju akrual. Ouda (2004) menyatakan bahwa selain strategi yang dilakukan

pemerintah, keterlibatan dan penerimaan implementor merupakan faktor penting

dalam perubahan basis akuntansi dan hal ini terkait dengan budaya organisasi.

Ahmad (2016) mengemukakan bahwa komitmen manajemen puncak

berpengaruh terhadap bawahan dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual di

Malaysia. Hasil serupa dikemukakan oleh Putra dan Ariyanto (2015) dalam

penelitiannya tentang faktor-faktor yang memengaruhi penerapan standar

akuntansi pemerintahan berbasis akrual menemukan bahwa komitmen pimpinan

berpengaruh terhadap penerapan akrual di Bali, selanjutnya penelitian Scot et al

(2013) di New Zealand menemukan adanya pengaruh komitmen kuat dari


61

pimpinan dan bawahan dalam penerapan akuntansi berbasis akrual. Ouda

(2004) yang meneliti negara New Zealand, Inggris dan Australia mengemukakan

bahwa keberhasilan penerapan akuntansi akrual diketiga negara tersebut karena

adanya komitmen dari pihak legislatif dan eksekutif.


BAB III

RERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

Bab ini menjelaskan rerangka konsep penelitian, yaitu tekanan peraturan

dan kompetensi sebagai variabel yang memengaruhi penerapan akuntansi

berbasis akrual dengan budaya organisasi dan komitmen organisasi sebagai

variabel mediasi dan moderasi yang menggambarkan alur pemikiran penelitian,

menjelaskan tipe hubungan antar variabel, dan menjelaskan teori yang dijadikan

dasar dalam penelitian ini. Pada bab ini juga membahas perumusan hipotesis

yang berisi pernyataan hubungan antar variabel yang bersifat sementara.

3.1 Rerangka Konseptual

Rerangka konseptual penelitian ini dibangun berdasarkan fenomena, kajian

teori dan hasil penelitian terdahulu yang telah diuraikan pada bab 2.

Rerangka konseptual yang dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan secara

keseluruhan. Penelitian ini menganalisis peran tekanan peraturan dan

kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual yang dimediasi oleh

budaya organisasi dan dimoderasi oleh komitmen organisasi pada OPD Provinsi

Maluku serta beberapa kabupaten didalamnya.

Pemerintahan daerah yang disebut sebagai satuan organisasi non profit,

agar dapat berjalan efektif, efisien, transparan dan bersih diperlukan dukungan

dari sistem informasi akuntansi yang memadai agar informasi yang dihasilkan

dapat digunakan untuk manajemen keputusan dan pengendalian keputusan.

Tujuan tersebut dapat dicapai dengan penyelenggaraan sistem akuntansi

62
63

berbasis akrual yang telah diamanatkan dengan dikeluarkannya PP No. 71

Tahun 2010.

Pentingnya penerapan akuntansi berbasis akrual bagi provinsi Maluku

memerlukan dukungan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah. Dukungan diperlukan karena akuntansi berbasis akrual

merupakan suatu sistem yang kompleks.

Teori Institusional digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini karena

adanya variabel tekanan peraturan yang akan diteliti. Teori institusional

menjelaskan kebutuhan suatu organisasi untuk dapat bertahan dengan

meningkatkan legitimasi melalui tekanan yang muncul. Bentuk penyesuaian diri

dari suatu organisasi tersebut adalah dengan berusaha menjadi mirip dengan

organisasi lain yang biasa disebut dengan isomorphism.

Menurut DiMaggio dan Powell (1983), isomorphism adalah suatu proses

yang memberikan batasan atau memaksa suatu organisasi agar menyerupai

dengan organisasi yang lain dalam kondisi lingkungan yang sama. Akan tetapi,

terkadang isomorphism tersebut akan memberikan tekanan institusional pada

organisasi, karena mereka harus melakukan perubahan yang sama

(homogenitas) (Meyer dan Rowan,1997; Scott, 1995).

Ada tiga jenis tekanan, yaitu tekanan mimetic (mimetic pressure), tekanan

normatif (normatif pressure), dan tekanan paksaan (coercive pressure)

(DiMaggio dan Powell, 1983). Tekanan mimetic terjadi ketika organisasi

mengadopsi suatu sistem yang melibatkan organisasi lain untuk mengeliminasi

ketidakpastian dengan meniru organisasi yang sukses. Adanya unsur

ketidakpastian menjadi faktor kuat yang mendorong terjadinya peniruan

(DiMaggio dan Powell, 1983). Selain itu, adanya tujuan yang ambigu,

pengetahuan yang rendah atas kemajuan teknologi juga dapat menjadi faktor-
64

faktor yang menyebabkan suatu organisasi membentuk dirinya serupa dengan

organisasi-organisasi lainnya.

Tekanan normatif berhubungan dengan fokus para manajer profesional

pada norma-norma dan nilai-nilai yang melekat pada aturan profesionalisme.

Manajer bertindak pada seperangkat aturan, yang meliputi jaringan relasi

kelompok internal dan eksternal kelompok serta individu. Mereka dibatasi oleh

struktur realitas mereka sendiri, yang dipengaruhi oleh tekanan normatif dan

menerima ide-ide tentang perilaku yang benar (DiMaggio dan Powell, 1991).

Ketaatan terhadap faktor-faktor institusional terjadi ketika organisasi

menerapkan norma tertentu disebabkan oleh adanya tekanan dari organisasi lain

atau masyarakat secara umum. Di saat tingkat saling ketergantungan sebuah

organisasi meningkat, maka organisasi tersebut akan menyerupai organisasi

yang lebih kuat darinya.

Tekanan koersif timbul manakala organisasi dipaksa untuk menerapkan

praktik-praktik tertentu karena diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Organisasi mengambil beberapa bentuk atau melakukan adopsi terhadap

organisasi lain karena tekanan dari negara dan organisasi lain atau masyarakat

yang lebih luas.

Sebagai suatu organisasi publik, maka OPD yang ada dalam lingkup

pemerintahan Provinsi Maluku juga dituntut dan ditekan untuk menerapkan

aturan akuntansi berbasis akrual. Tekanan peraturan ini menyebabkan

organisasi harus dapat menyiapkan dirinya terhadap perubahan yang terjadi.

Kesiapan dapat dilakukan dengan meningkatkan kompetensi, budaya organisasi

dan komitmen dari setiap pegawai baik pimpinan maupun bawahan dalam

organisasi.

Selanjutnya, teori kontinjensi digunakan sebagai dasar pijak penerapan

akuntansi berbasis akrual. Dimana akuntansi berbasis akrual diterapkan guna


65

memperoleh suatu pendekatan sistem akuntansi yang dapat menghasilkan

informasi yang transparan, efektif, efisien dan akuntabilitas

Menurut Stoner et al., (1996) pendekatan kontinjensi atau pendekatan

situasional merupakan suatu “pandangan bahwa teknik manajemen yang paling

baik memberikan kontribusi untuk pencapaian sasaran organisasi mungkin

bervariasi dalam situasi atau lingkungan yang berbeda. Dasar pendekatan

kontinjensi adalah tidak adanya jawaban terbaik yang berlaku terhadap semua

masalah yang muncul. Pendekatan kontinjensi memungkinkan adanya variabel-

variabel yang dapat bertindak sebagai variabel moderating maupun intervening.

Teori Human Capital menjadi acuan untuk menjelaskan kompetensi yang

harus dimiliki oleh aparatur pemerintah daerah khususnya di Provinsi Maluku.

Masalah sumber daya manusia masih menjadi sorotan dan tumpuhan bagi

organisasi untuk tetap dapat bertahan di era globalisasi. Sumber daya manusia

mempunyai peran utama dalam setiap kegiatan organisasi. Walaupun didukung

dengan sarana dan prasarana serta sumber dana yang berlebihan, tetapi tanpa

dukungan sumber daya manusia yang andal kegiatan organisasi tidak akan

terselesaikan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa Kompetensi merupakan

kunci pokok yang harus diperhatikan dengan segala kebutuhannya. Sebagai

kunci pokok, sumber daya manusia akan menentukan keberhasilan pelaksanaan

kegiatan organisasi. Tuntutan organisasi untuk memperoleh, mengembangkan

dan mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas semakin

mendesak sesuai dengan dinamika lingkungan yang selalu berubah.

Penelitian Ouda (2004) membuktikan kompetensi berperan penting dalam

keberhasilan penerapan akuntansi berbasis akrual di New Zealand, Inggris dan

Australia. Kemudian, penelitian yang dilakukan di Rumania oleh Stefanescu dan

Turlea (2011) memperlihatkan ketidakmampuan pegawai pemerintah dalam

penerapan akuntansi berbasis akrual yang dikarenakan kurangnya kompetensi.


66

Penelitian-penelitian lain tentang pentingnya kompetensi dalam penerapan

akuntansi berbasis akrual diantaranya dikemukankan oleh Saleh dan Pendlebury

(2006), Stamatiadis, et al (2009), Oluseyi (2010), Tickell (2010), (Tikk, 2010).

Kesuksesan penerapan akuntansi berbasis akrual tidak dapat dipisahkan

dari kebutuhan akan adanya budaya organisasi dan komitmen organisasi yang

baik. Terciptanya budaya organisasi bukanlah suatu perkara yang dilakukan

dalam waktu yang singkat melainkan harus secara kontinyu sehingga budaya

tersebut dapat melekat dalam organisasi. Banyak penelitian yang membuktikan

pentingnya budaya organisasi dan komitmen organisasi

Jorge et al. (2007) melakukan penelitian penerapan akuntansi berbasis

akrual di pemerintah Portugal menjelaskan lemahnya penerapan akuntansi

akrual karena kekuatan tradisi, aturan-aturan, keyakinan, dan praktik yang sudah

tertanam dalam budaya organisasi sehingga menjadi salah satu faktor

penghambat dalam pengenalan model akuntansi yang baru. Sejalan dengan itu,

pengaruh budaya organisasi terhadap implementasi akuntansi berbasis akrual

juga diteliti oleh (Najati dkk, 2016; Ichsan, 2013; Pessina dan Steccolini, 2007;

dan Ouda 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2016) di Malaysia mengemukakan

bahwa komitmen manajemen puncak berpengaruh terhadap bawahan dalam

menerapkan akuntansi berbasis akrual di Malaysia. Penelitian yang dilakukan

oleh Permana dan Wiratmaja (2016) menemukan bahwa komitmen organisasi

berpengaruh positif terhadap keberhasilan pelaksanaan akuntansi akrual.

kemudian penelitian Scot et al (2013) di New Zealand membuktikan bahwa

komitmen berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi akuntansi akrual di

sektor publik.
67

Gambar 3.1

Model Penelitian

Komitmen
Organisasi

H6
Tekanan
Peraturan H7
H1

H4
Penerapan
Budaya Akuntansi
Organisasi H3 Berbasis
Akrual
H5

Kompetensi H2

Rujukan model penelitian adalah sebagai berikut :

Safaruddin (2010), Adhikari dan Mellemvik (2011), Stamatiadis, et al (2011),


Hyndman dan Connolly (2011), Harun, et al (2012), Yudi (2016).

Ouda (2004), Saleh dan Pendlebury (2006), Oluseyi (2010), Tickell (2010), (Tikk,
2010), Stefanescu dan Turlea (2011), Stamatiadis, et al (2011).

Ouda (2004), Jorge et al (2007), Pessina dan Steccolini (2007).

Scott et al (2003), Ouda (2004), Lye et al (2005), Ellwood dan Newberry (2007),
Aidil (2010), Surepno (2015), Ahmad (2016).
68

Tujuan pengembangan model dalam penelitian ini adalah untuk memberikan

bukti empiris pengaruh hubungan tekanan peraturan dan kompetensi terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual yang dimediasi oleh budaya organisasi dan

dimoderasi oleh komitmen organisasi.

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka serta kerangka

konseptual penelitian, maka perumusan hipotesis penelitian dapat diuraikan sebagai

berikut :

Teori institusional menjelaskan bahwa perusahaan selalu bertujuan untuk

mempertahankan dan meningkatkan legitimasi melalui tekanan yang muncul dari

lingkungan institusional mereka (Mizruchi dan Fein, 1999). Ada tiga jenis

tekanan, yaitu tekanan mimetic (mimetic pressure), tekanan normatif (normatif

pressure), dan tekanan paksaan (coercive pressure) (DiMaggio dan Powell,

1983).

Tekanan mimetic terjadi ketika organisasi mengadopsi suatu sistem yang

melibatkan organisasi lain untuk mengeliminasi ketidakpastian dengan meniru

organisasi yang sukses. Adanya unsur ketidakpastian menjadi faktor kuat yang

mendorong terjadinya peniruan (DiMaggio dan Powell, 1983).

Tekanan normatif berhubungan dengan fokus para manajer profesional

pada norma-norma dan nilai-nilai yang melekat pada aturan profesionalisme.

Manajer bertindak pada seperangkat aturan, yang meliputi jaringan relasi

kelompok internal dan eksternal kelompok serta individu.

Tekanan coercive timbul saat organisasi dipaksa untuk menerapkan praktik

tertentu karena diatur oleh peraturan perundang-undangan.Organisasi

mengambil beberapa bentuk atau melakukan adopsi terhadap organisasi lain

karena tekanan dari negara dan organisasi lain atau masyarakat yang lebih luas.
69

Adanya peraturan ditujukan untuk mengatur praktik yang ada agar menjadi

lebih baik. Di sisi lain, kekuatan koersif dari suatu peraturan dapat menyebabkan

adanya kecenderungan organisasi untuk memperoleh atau memperbaiki

legitimasi (legitimate coercive) sehingga hanya menekankan aspek-aspek positif

agar organisasi terlihat baik oleh pihak-pihak di luar organisasi (Scott, 1987).

Perubahan organisasi yang didasari kekuatan koersif akan menyebabkan

organisasi lebih mempertimbangkan pengaruh politik dari pada teknis (Ashworth,

2009). Perubahan organisasi yang lebih dipengaruhi politik akan mengakibatkan

praktik-praktik yang terjadi dalam organisasi, khususnya terkait penerapan

akuntansi berbasis akrual akan hanya bersifat formalitas yang ditujukan untuk

memperoleh legitimasi.

Penelitian tentang pengaruh tekanan peraturan dapat diketahui dalam

penelitian (Adhikari dan Mellemvik, 2011) di Nepal. Sebagai negara yang kurang

mampu secara ekonomi menyebabkan Nepal sering menerima bantuan dana

dari lembaga internasional. Lembaga internasional berharap dana ini dapat

dipertanggungjawabkan dengan baik sehingga “memaksa” Nepal untuk

mengadopsi akuntansi berbasis akrual. Akibat dari tekanan paksaan inilah

menyebabkan Nepal gagal menerapkan akuntansi akrual karena kurangnya

kemampuan yang dimiliki.

Di Indonesia, penelitian tentang pengaruh tekanan peraturan terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual dapat ditemukan pada penelitian Yudi

(2016) yang melaporkan bahwa adanya pengaruh tekanan eksternal dan internal

dalam penerapan akrual di pemerintah kota jambi. Tekanan eksternal berupa

peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan pemerintah, sementara tekanan

internal berupa kebutuhan institusi untuk melaksanakan peraturan dan kebijakan

pemerintah seperti kuantitas dan kualitas SDM yang baik, sistem akuntansi yang

memadai, dan struktur organisasi yang tepat.


70

Selanjutnya, penelitian Wahyuni (2016) dengan menggunakan teori

perspektif institusional menemukan bukti bahwa Pemerintah Kota Malang dalam

implementasi akuntansi berbasis akrual belum secara maksimal memahami

akuntansi berbasis akrual beserta manfaatnya, pada dasarnya mereka saat ini

masih hanya pemenuhan aturan dari organisasi yang memiliki kekuasaan di

atasnya (coercive isomorphism). Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan

hipotesis sebagai berikut :

H1 : Tekanan peraturan berpengaruh positif terhadap penerapan akuntansi


berbasis akrual.

Teori Human Capital menekankan pentingnya kompetensi yang harus

dimiliki oleh manusia. Sumber daya manusia yang baik adalah yang memiliki

modal kompetensi. Penerapan akuntansi berbasis akrual membutuhkan

kompetensi yang memadai. Hal ini dikarenakan karena akuntansi berbasis akrual

merupakan sesuatu yang kompleks. Contoh kasus diberbagai negara

membuktikan banyak sekali negara yang gagal menerapkan akuntansi berbasis

akrual karena kurangnya kompetensi. Kemudian negara yang berhasil

menerapkan akuntansi berbasis akrual itu pun disebabkan karena negara

tersebut mempunyai sumber daya manusia yang kompeten. Hal ini membuktikan

pentingnya kompetensi. Simanjuntak (2010) menyatakan bahwa sumber daya

yang kompeten menjadi tantangan utama dalam penerapan akuntansi berbasis

akrual. Banyak penelitian yang membuktikan kompetensi sangat berpengaruh

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Ouda (2004) melakukan

penelitian tentang pengalaman keberhasilan Australia, New Zealand dan Inggris.

Hasil yang diperoleh membuktikan bahwa kompetensi akuntan-akuntan yang

ada sebagai faktor utama keberhasilan. Oluseyi (2010) dalam penelitiannya

membandingkan pelaksanaan akuntansi akrual di Inggris dan New Zealand,

menyatakan bahwa peran kompetensi sumber daya manusia menjadi faktor vital
71

keberhasilan penerapan akuntansi berbasis akrual. Berdasarkan uraian tersebut,

maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H2 :Kompetensi berpengaruh positif terhadap penerapan akuntansi


berbasis akrual

Budaya oganisasi menjadi bagian terpenting dalam suatu organisasi.

Budaya organisasi merupakan kerangka kerja yang menjadi pedoman bagi

pelaku organisasi. Tujuan suatu organisasi dapat tercapai bila memiliki budaya

organisasi yang baik. Penerapan akuntansi berbasis akrual membutuhkan

budaya organisasi khususnya organisasi sektor publik. Hal ini dikarenakan

penerapan akuntansi akrual membutuhkan kemampuan, sikap kepemimpinan

dan komitmen dari pimpinan dan bawahan dalam organisasi tersebut. Poin-poin

tersebut merupakan bagian nilai dari budaya organisasi. Fakta membuktikan

bahwa kegagalan dan lambatnya penerapan akuntansi berbasis akrual selama

ini disebabkan oleh salah satu faktor yakni budaya organisasi yang tidak baik.

Banyak pimpinan dan bawahan organisasi resisten terhadap perubahan. Mereka

terbiasa dangan budaya sistem yang lama dan lambat bahkan ada yang tidak

mau mengikuti perubahan yang baru yakni penerapan akuntansi berbasis akrual.

Jorge et al. (2007) memaparkan bahwa proses mengimplementasikan

sistem akuntansi yang baru digambarkan sebagai guncangan budaya (cultural

shock) dalam organisasi sektor publik. Hal ini disebabkan karena sistem

akuntansi akrual tersebut masih menjadi sesuatu yang asing bagi pimpinan

maupun staf sehingga cukup sulit untuk merubah budaya yang sudah lama

tertanam. Sugiyanto dan Alfian (2014) membuktikan adanya hubungan yang

signifikan budaya organisasi dengan penerapan sistem akrual, selanjutnya

Witantri (2012) menunjukkan adanya hubungan positif antara budaya organisasi

dan implementasi akuntansi berbasis akrual. Berdasarkan uraian tersebut, maka

dirumuskan hipotesis sebagai berikut :


72

H3 : Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap penerapan akuntansi


berbasis akrual

Teori institusional digunakan untuk mengetahui sejauh mana penerapan

akuntansi berbasis akrual didorong oleh adanya fenomena isomorfisme (koersif,

mimetik, dan normatif).Teori institusional menyatakan bahwa tekanan paksaan

(coercive pressure) timbul manakala organisasi dipaksa untuk menerapkan

praktik-praktik tertentu karena diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Organisasi mengambil beberapa bentuk atau melakukan adopsi terhadap

organisasi lain karena tekanan dari negara dan organisasi lain atau masyarakat

yang lebih luas. Penelitian yang dilakukan oleh Adhikari dan Mellemvik (2011) di

Nepal membuktikan tekanan peraturan dari lembaga internasional memaksa

Nepal untuk menerapkan akuntansi basis akrual.

Selain teori institusional, pendekatan teori kontinjensi dengan tipe kongruen

(congruence type) (Gerdin dan Greve, 2008) digunakan untuk menjelaskan

bahwa kesesuaian kontinjensi akan dianalisis dengan menempatkan faktor-faktor

kontinjensi baik sebagai variabel mediasi maupun moderasi. Pendekatan

kontinjensi sebagai variabel mediasi dibuktikan dalam penelitian Govindarajan

(1984). Budaya organisasi sebagai faktor kontinjensi akan digunakan sebagai

variabel mediasi.

Hal ini dikarenakan tekanan paksaan yang dihadapi organisasi sektor

publik dalam penerapan akuntansi berbasis akrual terkait juga dengan budaya

organisasi. Melalui budaya organisasi akan dilihat pengaruh tidak langsung

tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Berdasarkan

uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H4 : Budaya organisasi memediasi pengaruh tekanan peraturan terhadap


penerapan akuntansi berbasis akrual
73

Kompetensi dan budaya organisasi menjadi elemen penting penerapan

akuntansi berbasis akrual. Melalui budaya organisasi diharapkan dapat

meningkatkan dan memperkuat pengaruh kompetensi terhadap penerapan

akuntansi berbasis akrual. Pendekatan kontinjensi sebagai variabel mediasi

dibuktikan dalam penelitian Govindarajan (1984). Selain itu, pendekatan teori

kontinjensi dengan tipe kongruen (congruence type) (Gerdin dan Greve, 2008)

menjelaskan bahwa kesesuaian kontinjensi akan dianalisis dengan

menempatkan faktor-faktor kontinjensi baik sebagai variabel mediator maupun

moderator.

Saleh dan Pendlebury (2006) dalam penelitiannya di Malaysia menyoroti

kurangnya kompetensi dari tenaga akuntan yang ada pada sektor publik.

Selanjutnya Oluseyi (2010) dalam penelitiannya membandingkan pelaksanaan

akuntansi akrual di Inggris dengan New Zealand, menyatakan bahwa peran

sumber daya manusia, terutama para birokrat sangat penting perannya dalam

mewujudkan tata kelola yang baik dan meningkatnya profesionalisme para

akuntan pemerintah sehingga dapat mendukung penerapan akuntansi akrual,

Stefanescu dan Turlea (2011) dalam penelitiannya di Rumania mengemukakan

bahwa sebagian besar pegawai pemerintah belum mampu menerapakan

akuntansi akrual secara baik. Hal ini dikarenakan kompetensi yang kurang

memadai.

Penelitian tentang pengaruh budaya organisasi terhadap penerapan

akuntansi berbasis akrual dapat ditemukan pada penelitian Jorge et al. (2007) di

Portugal memaparkan bahwa proses mengimplementasikan sistem akuntansi

yang baru digambarkan sebagai guncangan budaya (cultural shock). Pessina

dan Steccolini (2007) menyatakan di Italia penerapan akuntansi basis akrual

kurang berhasil. Hal ini disebabkan lemahnya implementasi sistem akuntansi

yang baru ini, yaitu kuatnya tradisi dalam budaya entitas pemerintah sehingga
74

menghambat pengenalan basis akrual, serta kurangnya partisipasi aktif dari para

personel pemerintah dalam proses reformasi menuju akrual. Ouda (2004)

menyatakan bahwa selain strategi yang dilakukan pemerintah, keterlibatan dan

penerimaan implementor merupakan faktor penting dalam perubahan basis

akuntansi dan hal ini terkait dengan budaya organisasi. Berdasarkan uraian

tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

H5 :Budaya organisasi memediasi pengaruh kompetensi terhadap


penerapan akuntansi berbasis akrual

Teori Kotinjensi berlandaskan pada suatu pemikiran bahwa pengelolaan

organisasi dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila pemimpin organisasi

mampu memperhatikan dan memecahkan situasi tertentu yang sedang dihadapi

dan setiap situasi harus dianalisis sendiri.

Salah satu pendekatan untuk menjelaskan efek faktor-faktor kontinjensi

pada faktor-faktor struktural organisasi adalah pendekatan interaksi (VandeVen

dan Drazin, 1985). Pada pendekatan interaksi, konsep kesesuaian (fit)

didefinisikan sebagai efek interaksi faktor-faktor kontinjensi terhadap faktor-faktor

struktural organisasi, termasuk keputusan manajerial, terhadap kinerja. Teori

kontinjensi menjelaskan bahwa faktor-faktor kontinjensi menjadi variabel

moderator yang akan memperkuat atau memperlemah pengaruh faktor-faktor

struktural organisasi terhadap kinerja.

Pendekatan lain yang digunakan adalah tipe kongruen (congruence type)

(Gerdin dan Greve, 2008). Pendekatan ini lebih menekankan pada metode

statistik. Tipe kongruen menjelaskan bahwa kesesuaian kontinjensi akan

dianalisis dengan menempatkan faktor-faktor kontinjensi baik sebagai variabel

mediator maupun moderator. Pendekatan ini menjadi pendekatan yang umum

digunakan dalam penelitian yang dikembangkan dalam kerangka teori

kontinjensi.
75

Komitmen organisasi dalam penelitian ini merupakan faktor kontinjensi

yang berperan sebagai variabel moderator. Komitmen organisasi diduga sebagai

faktor kontinjensi yang memperkuat pengaruh tekanan peraturan terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual. Keberhasilan pengelolaan organisasi

sangatlah ditentukan oleh keberhasilan dalam mengelola sumber daya manusia

yang dalam hal ini terkait dengan komitmen karyawan terhadap organisasi

tempat mereka bekerja.

Penerapan akuntansi berbasis akrual membutuhkan komitmen yang kuat

dari pimpinan dan bawahan. Ketika adanya tekanan dalam pekerjaan khususnya

terkait dengan paksaan memakai akuntansi berbasis akrual dalam organisasi

maka komitmen yang tinggi menjadi kekuatan utama.

Hartono (2007) menyatakan bahwa suatu variabel moderasi dapat dilihat

dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang mempunyai hubungan kausal

yang hasilnya saling bertentangan. Hal ini dapat ditemukan pada beberapa

penelitian yang menggunakan variabel komitmen organisasi. Ahmad (2016)

mengemukakan bahwa komitmen manajemen puncak berpengaruh terhadap

bawahan dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual di Malaysia. Penelitian

yang dilakukan oleh Permana dan Wiratmaja (2016) menemukan bahwa

komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap keberhasilan pelaksanaan

Akrual. Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut

H6 :Komitmen organisasi memperkuat pengaruh tekanan peraturan


terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual

Teori kontinjensi menjelaskan bahwa faktor-faktor kontinjensi menjadi

variabel moderator yang akan memperkuat atau memperlemah pengaruh faktor-

faktor struktural organisasi terhadap kinerja. Pendekatan dengan tipe kongruen

(congruence type) (Gerdin dan Greve, 2008) menjelaskan bahwa kesesuaian


76

kontinjensi akan dianalisis dengan menempatkan faktor-faktor kontinjensi baik

sebagai variabel mediator maupun moderator.

Faktor kontinjensi komitmen organisasi diduga dapat memperkuat

pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual.

Kompetensi seseorang akan menjadi sia-sia jika tidak adanya komitmen dari

orang tersebut untuk mengaplikasikan kompetensi tersebut. Komitmen berperan

penting dalam memoderasi hubungan kompetensi terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual. Secara empiris banyak penelitian yang membuktikan komitmen

organisasi berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual.

Keberhasilan penerapan akuntansi berbasis akrual di New Zealand

memperlihatkan tingginya komitmen pimpinan dan staf (Scot et al, 2003; Lye et

al, 2005). Peneltian Pessina et al (2010) di Italia mengembangkan model

kontinjensi Lueder dalam inovasi penerapan akrual. Ditemukan bahwa pimpinan

pada masing-masing pemerintah daerah di Italia memiliki pengaruh yang sangat

besar dalam penerapan akuntansi akrual. Oleh Karena itu, komitmen dari

pimpinan menjadi hal mutlak yang harus dimiliki. Selanjutnya penelitian Surepno

(2015) tentang analisa kesuksesan Pemerintah Kota Semarang dalam

implementasi akuntansi berbasis akrual. Hasilnya menunjukan komitmen

organisasi berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi akrual. Berdasarkan

uraian tersebut maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

H7 :Komitmen organisasi memperkuat pengaruh kompetensi terhadap


penerapan akuntansi berbasis akrual
BAB IV

METODE PENELITIAN

Bab ini menyajikan metode penelitian yang meliputi pengumpulan data,

elemen konstruk, dan tahapan analisis data. Pada bagian pengumpulan data,

menyajikan jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, populasi

dan sampel penelitian serta teknik pengumpulan data. Elemen konstruk

menyajikan definisi operasional dari setiap konstruk dan pengukuran dari

konstruk yang digunakan. Tahapan analisis data menyajikan teknik analisis data,

teknik uji model, dan uji hipotesis.

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian penjelasan

(eksplanatori) dengan pendekatan survei. Penelitian ini menjelaskan hubungan

kausal antara variabel-variabel dan pengaruhnya melalui pengujian hipotesis

(Sugiyono, 2003). Penelitian survei mengambil sampel dari suatu populasi

dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang utama.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, karena menjelaskan

hubungan antara variabel-variabel penelitian melalui pengujian hipotesis dan

secara umum data disajikan dalam bentuk angka-angka yang dihitung melalui uji

statistik. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data “cross section”.

4.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah OPD Pemerintah Provinsi

Maluku, Pemerintah Kota Ambon, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan

Pemerintah Kabupaten Buru Selatan. Dipilihnya Provinsi Maluku dan beberapa

77
78

kabupaten didalamnya sebagai lokasi penelitian untuk melihat keberhasilan

penerapan akuntansi berbasis akrual khususnya di bagian timur Indonesia. Tidak

semua kabupaten di Provinsi Maluku mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian

(WTP). Kabupaten Maluku Tengah dan Buru selatan adalah dua dari tiga

kabupaten yang mendapat opini Disclaimer, sedangkan Provinsi Maluku dan kota

Ambon mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Polulasi digunakan untuk menyatakan kumpulan (totalitas) dari semua unit

statistik yang menjadi objek pengamatan. Menurut Ferdinand (2006), populasi

adalah gabungan dari seluruh elemen yang berbentuk peristiwa, hal atau orang

yang memiliki karakteristik yang serupa yang menjadi pusat perhatian seorang

peneliti. Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit pengamatan yang ciri-

cirinya dapat dianalisa (Singarimbun, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah

pegawai pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Maluku, Kota

Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Buru Selatan bagian

keuangan yang berjumlah 1032 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi, atau merupakan bagian dari jumlah

dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Singarimbun, 2006). Sampel harus

representatif atau mewakili (Sugiyono, 2009). Jika hanya meneliti sebagian dari

populasi, maka penelitian tersebut dinamakan penelitian sampel, yang hasilnya

dapat digeneralisasikan (Arikunto, 2002). Lebih lanjut Arikunto (2002)

berpendapat bahwa jika populasi besar atau subjek peneltian lebih dari 100,
79

maka pengambilan sampel dapat dilakukan antara 10 – 15% atau 20 – 25% atau

lebih dari populasi atau subjeknya.

Teknik pengambilan sampel adalah proportionate stratified random

sampling.

Rumus Slovin

n =

Keterangan :

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

e = persen kelonggaran ketidaktelitian (presisi) karena kesalahan pengambilan

sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan, yaitu 5%

Pengambilan sampel pada Provinsi Maluku, Kota Ambon, Kabupaten

Maluku Tengah dan Kabupaten Buru. Jumlah populasi sebanyak 1032 orang.

n = 288

Hasil perhitungan dengan rumus Slovin, maka jumlah sampel yang diteliti

sebanyak 288 orang. Berdasarkan hasil penentuan sampel tersebut, maka

secara proporsional jumlah sampel sebesar 27%, yang didapat dari

perbandingan jumlah sampel dengan jumlah populasi.

Setelah ditentukan jumlah sampel, kemudian dilakukan penentuan lokasi

pengambilan data. Hal ini disebabkan jumlah OPD tidak semua dijadikan lokasi
80

pengambilan data, maka dilakukan dilot (lotre) yang menjadi lokasi pengambilan

data. Lokasi pengambilan data ditentukan berdasarkan hasil persentase

perhitungan slovin test sebesar 27% dari 181 OPD, sehingga hasilnya adalah 48

OPD yang menjadi lokasi sasaran pengambilan data.

Kemudian penentuan proporsi dari keempat lokasi dapat dihitung sebagai

berikut:

Provinsi Maluku = Total 46 OPD

27% x 46 = 12 OPD

Jumlah responden Provinsi Maluku = 12 x 6 = 72

Kota Ambon = Total 63 OPD

27% x 63 = 17 OPD

Jumlah responden Kota Ambon = 17 x 6 = 102

Maluku Tengah = Total 38 OPD

27% x 38 = 10 OPD

Jumlah responden Maluku Tengah = 10 x 6 = 60

Buru selatan = Total 34 OPD

27% x 34 = 9 OPD

Jumlah responden Buru Selatan = 9 x 6 = 54

Total responden dalam penelitian sebanyak 288 orang dari 48 OPD, dan

setiap OPD berjumlah 6 orang, yang terdiri dari :

1. Kepala OPD

2. Kabag keuangan

3. Bendahara

4. Pembantu bendahara pencatat pembukuan penerimaan


81

5. Pembantu bendahara pembukuan pengeluaran

6. Pencatat aset barang masuk keluar

4.4. Pengumpulan Data

4.4.1. Jenis Data

Dalam melakukan penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah :

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan cara

mewawancarai para responden secara langsung atau dengan bantuan

daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disusun terlebih dahulu lalu

disebarkan kepada responden.

2. Data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan dari pihak lain sebagai

pelengkap data primer. Data sekunder dalam penelitian ini yaitu jumlah OPD

dan jumlah pegawai pada pemerintah Provinsi Maluku dan kabupaten di

dalamnya.

4.4.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu :

1. Survei dengan kuesioner adalah seperangkat pertanyaan yang disusun oleh

peneliti untuk diajukan kepada responden. Permasalahan yang timbul ketika

peneliti menggunakan survei terkait dengan tingkat pengembalian kuesioner

(response rate) yang rendah. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah

pengembalian kuesioner, maka peneliti langsung membawa kuesioner kepada

responden.

2. Wawancara atau interview adalah suatu proses memperoleh informasi

dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung kepada pemimpin OPD

dan pegawai bawahan yang terkait dengan penggunaan akuntansi berbasis

akrual. Teknik ini digunakan untuk mencari data yang belum terjawab dalam
82

kuesioner atau jawaban yang masih perlu penjelasan lebih detail dan hanya

merupakan pendukung.

4.5. Pilot Test

Sebelum dilakukan penelitian pada objek penelitian, terlebih dahulu

dilakukan pilot test, yang tujuannya untuk menguji instrumen penelitian.

Pengujian instrumen penelitian dilakukan dengan uji validitas dan reliabilitas

instrumen penelitian dalam kuesioner yang didasarkan pada data hasil pilot test.

Pilot test dilakukan terhadap 35 responden, yaitu pimpinan dan staf OPD yang

terkait dengan penerapan akuntansi berbasis akrual pada Pemerintah Kota

Ambon yang tidak menjadi sampel penelitian.

Pengujian uji validitas dan reliabilitas yang dilakukan untuk menentukan

apakah instrumen dalam kuesioner yang digunakan untuk mengukur layak atau

tidak layak. Berdasarkan pilot test, diperoleh hasil validitas dan reliabilitas adalah

valid dan reliabel.

4.6 Identifikasi, Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel

4.6.1. Identifikasi Variabel

Variabel atau konstruk adalah suatu konsep yang didasarkan pada

teori yang menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel yang diteliti.

Adapun variabel atau konstruk dalam penelitian ini dapat diidentifikasi

sebagai berikut :

1. Variabel eksogen adalah variabel sumber atau variabel independen yang

tidak disebabkan oleh variabel-variabel lain dalam model penelitian.

Konstruk eksogen (exogenous variable) dikenal juga sebagai ”source

variabel” yang tidak diprediksi oleh variabel lain dalam model (Ferdinand,

2002). Variabel eksogen dalam penelitian ini adalah tekanan peraturan


83

dan kompetensi.

2. Variabel mediasi adalah variabel yang menjadi perantara dari hubungan

variabel eksogen terhadap variabel endogen. Dalam penelitian ini, variabel

perantara (mediating variable) adalah budaya organisasi.

3. Variabel moderasi adalah variabel yang memperkuat atau memperlemah

hubungan variabel eksogen dan endogen. Dalam penelitian ini, variabel

moderasi (moderating variable) adalah komitmen organisasi.

4. Variabel endogen adalah variabel yang dipengaruhi atau variabel yang

diprediksi dengan satu atau lebih variabel. Konstruk endogen adalah faktor-

faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa konstruk. Konstruk endogen

dapat memprediksi antar variabel endogen lainnya (Ferdinand, 2002).

Variabel endogen dalam penelitian ini adalah penerapan akuntansi

berbasis akrual.

4.6.2. Defenisi Operasional Variabel

Konstruk adalah variabel yang masih belum dapat diukur secara langsung.

Oleh sebab itu, diperlukan penjabaran sedemikian rupa atas konstruk menjadi

dimensi-dimensi dan elemen-elemen yang dapat diukur. Elemen-elemen

konstruk yang sudah dapat diukur, dijadikan sebagai dasar penyusunan

pernyataan atau pertanyaan di kuesioner.

Penelitian ini menggunakan tiga konstruk utama, satu konstruk mediasi dan

satu konstruk moderasi. Konstruk utama dalam model penelitian ini adalah:

1. Tekanan peraturan

2. Kompetensi

3. Penerapan akuntansi berbasis akrual

Dalam model penelitian ini terdapat konstruk mediasi, yaitu budaya

organisasi dan konstruk moderasi, yaitu komitmen organiasi. Semua konstruk


84

diukur dengan menggunakan skala interval, yaitu tujuh skala Likert. Tujuh skala

Likert digunakan dalam penelitian ini sebab menurut Budiadji (2013) skala likert

dengan tujuh titik respon lebih disukai responden dan mempunyai kriteria

validitas, reliabilitas, kekuatan diskriminasi, dan stabilitas yang cukup baik.

Berikut ini akan diuraikan definisi operasional dan pengukuran

variabel yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Tekanan Peraturan

Tekanan ini bisa muncul dari adanya peraturan, kebijakan, sistem atau teknik

baru yang harus diadopsi oleh organisasi. Tekanan peraturan merupakan

bentuk khusus dari tekanan paksaan (DiMaggio dan Powell, 1983, Safarudin

2010). Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tekanan peraturan

diadopsi dari penelitian Urgin (2009) dan Safaruddin (2010). Tekanan

peraturan diukur dengan tiga indikator, yaitu

a. Konsistensi pusat menjalankan aturan.

b. Tingkat ketergantungan pada pusat.

c. Tingkat ketaatan menjalankan sistem.

Responden diminta untuk memberikan respon mengenai persetujuan atas

empat pernyataan dengan skala skala 1 untuk sangat tidak setuju sampai

dengan skala 7 untuk sangat setuju.

2. Kompetensi

Kompetensi sendiri merupakan suatu karakteristik dari seseorang yang

memiliki ketrampilan (skill), pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan

kemampuan (ability) untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut beberapa

pakar, kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang mencapai

kinerja yang tinggi dalam pekerjaannya. Indikator dalam penelitian ini diadopsi
85

dari penelitian Stamatiadis, et al. (2009) dan Wijayanti, (2011). Kompetensi

diukur dengan empat indikator, yaitu :

a. Pengetahuan

b. Pendidikan

c. Pengalaman

d. Pelatihan

Responden diminta untuk memberikan respon mengenai persetujuan atas

enam pernyataan dengan skala skala 1 untuk sangat tidak setuju sampai

dengan skala 7 untuk sangat setuju.

3. Budaya Organisasi

Budaya Organisasi merupakan kerangka kerja yang menjadi pedoman tingkah

laku sehari-hari. Denison (1990) mengartikan budaya organisasi sebagai nilai-

nilai, keyakinan, dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan bagi

sistem dan praktek-praktek manajemen serta perilaku yang meningkatkan dan

menguatkan prinsip-prinsip tersebut. Indikator–indikator yang digunakan untuk

mengukur variabel budaya organisasi pada penelitian ini merujuk pada teori

organisasi Denison (1990) dan dipakai oleh Moni (2012). Budaya organisasi

diukur dengan menggunakan 5 indikator, yaitu

a. Creating change

b. Empowerment

c. Team orientation

d. Coordination

e. Goal
86

Responden diminta untuk memberikan respon mengenai persetujuan atas

lima pernyataan dengan skala skala 1 untuk sangat tidak setuju sampai

dengan skala 7 untuk sangat setuju.

4. Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi adalah sebagai keadaan dimana karyawan memihak

pada suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berniat untuk memelihara

keanggotaannya dalam organisasi tersebut (Robbins 2001). Komitmen

organisasi yang dikembangkan oleh Meyer dan Allen (1991) terdiri dari

komitmen normatif, komitmen afektif, dan komitmen berkelanjutan digunakan

sebagai indikator dalam penelitian ini. Adapun definisi dari setiap indikator

komitmen organisasi adalah sebagai berikut :

a. Komitmen normatif (normative commitment), yaitu keterikatan anggota

secara psikologis dengan organisasi karena kewajiban moral untuk

memelihara hubungan dengan organisasi.

b. Komitmen afektif (affective commitment), yaitu komitmen sebagai

keterikatan afektif/psikologis karyawan terhadap organisasinya. Karyawan

merasa nyaman dengan organisasi.

c. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment), mengarah pada

perhitungan untung-rugi dalam diri karyawan sehubungan dengan

keinginannya untuk tetap mempertahankan atau meninggalkan

pekerjaannya.

Responden diminta untuk memberikan respon mengenai persetujuan atas

enam pernyataan dengan skala skala 1 untuk sangat tidak setuju sampai

dengan skala 7 untuk sangat setuju.


87

5. Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual

Tingkat ketaatan pemimpin dan bawahan dalam menerapkan akuntansi

berbasis akrual secara maksimal pada organisasi publik. Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini mengacu pada PP No.71 Tahun 2010.

Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual diukur dengan 12 indikator, yaitu

a. PSAP 01 tentang penyajian laporan keuangan.

b. PSAP 02 tentang laporan realisasi anggaran berbasis kas.

c. PSAP 03 tentang laporan arus kas.

d. PSAP 04 tentang catatan atas laporan keuangan.

e. PSAP 05 tentang akuntansi persediaan.

f. PSAP 06 tentang akuntansi investasi.

g. PSAP 07 tentang akuntansi aset tetap.

h. PSAP 08 tentang akuntansi konstruksi dalam pengerjaan .

i. PSAP 09 tentang akuntansi kewajiban.

j. PSAP 10 tentang koreksi kesalahan, perubahan kebijakan akuntansi,

perubahan estimasi akuntansi, dan operasi yang tidak dilanjutkan.

k. PSAP 11 tentang laporan keuangan konsolidasian.

l. PSAP 12 tentang laporan operasional.

Responden diminta untuk memberikan respon mengenai persetujuan atas dua

puluh satu pernyataan dengan skala skala 1 untuk sangat tidak setuju sampai

dengan skala 7 untuk sangat setuju.

Secara ringkas, indikator-indikator konstruk dapat dilihat pada Tabel 4.2

sebagai berikut:

Tabel 4.1
Konstruk dan Indikator

No Konstruk Indikator Kode


1. Tekanan Konsistensi pusat menjalankan aturan X1.1
88

Peraturan Tingkat ketergantungan pada pusat X1.2


Tingkat ketaatan menjalankan sistem X1.3
Pengetahuan X2.1
Pendidikan X2.2
2. Kompetensi
Pengalaman X2.3
Pelatihan X2.4
Creating change Y1.1
Empowerment Y1.2
Budaya
3. Team orientation Y1.3
Organisasi
Coordination Y1.4
Goal Y1.5
Normatif Y2.1
Komitmen
4. Afektif Y2.2
Organisasi
Berkelanjutan Y2.3
PSAP 01 Y3.1
PSAP 02 Y3.2
PSAP 03 Y3.3
PSAP 04 Y3.4
PSAP 05 Y3.5
Penerapan
PSAP 06 Y3.6
5. Akuntansi
PSAP 07 Y3.7
Berbasis Akrual
PSAP 08 Y3.8
PSAP 09 Y3.9
PSAP10 Y3.10
PSAP 11 Y3.11
PSAP 12 Y3.12

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang

dirancang sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh responden.

Pengukuran indikator, item-item pertanyaan untuk variabel tekanan peraturan,

kompetensi, budaya organisasi, komitmen organisasi dan penerapan akuntansi

berbasis akrual dalam penelitian ini akan dibuat skoring dengan menggunakan

skala likert. Sehingga variabel dijabarkan menjadi indikator terukur yang dapat

dijadikan tolak ukur membuat item-item pertanyaan.

Alternatif jawaban terdiri dari 7 (tujuh) alternatif pilihan yang mempunyai

tingkatan sangat rendah sampai dengan sangat tinggi (bernilai 1 s/d 7) yang

diterapkan secara bervariasi sesuai pertanyaan. Setiap item pertanyaan akan

diukur dengan skala likert (1=sangat tidak setuju, 2=tidak setuju, 3=agak tidak

setuju, 4=tidak tahu, 5=agak setuju, 6=setuju, 7=sangat setuju ).


89

4.7. Uji Instrumen Penelitian

Dua konsep untuk mengukur kualitas data, yaitu validitas dan reliabilitas.

Artinya, suatu penelitian akan menghasilkan kesimpulan yang bias jika datanya

kurang valid dan kurang reliabel.

4.7.1. Uji Validitas

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikatakan valid

apabila mampu mengukur apa yang ingin diukur dan dapat mengungkapkan data

dari variabel yang diteliti secara tetap. Sebuah instrumen dikatakan valid jika

mampu mengukur apa yang diinginkan dan mengungkapkan data dari variabel

yang diteliti secara tepat (Ghozali, 2006).

Validitas terdiri atas validitas ekternal dan validitas internal. Validitas

eksternal menunjukkan bahwa hasil suatu penelitian adalah valid yang dapat

digeneralisasi ke semua objek, situasi, dan waktu yang berbeda. Parameter uji

validitas dalam model pengukuran PLS dapat dilihat pada tabel di berikut ini.

Tabel 4.2
Parameter Uji Validitas dalam Model Pengukuran PLS

Uji
Parameter Rule of Thumbs
Validitas
Konvergen Factor loading Lebih dari 0,7
Average variance extracted (AVE) Lebih dari 0,5
Communality Lebih dari 0,5
Diskriminan Akar AVE dan Korelasi variabel laten Akar AVE > Korelasi
variabel laten
Cross loading Lebih dari 0,7 dalam satu
variabel

Sumber: Diadaptasi dari Chin (1995) dalam Hartono dan Abdillah (2009)

4.7.2.Uji Reliabilitas
90

Instrumen penelitian dapat dievaluasi berdasarkan perspektif dan teknik

yang berbeda, tetapi yang menjadi pertanyaan mendasar untuk mengukur

reliabilitas data itu adalah "bagaimana konsistensi data yang dikumpulkan?”

Reliabilitas dapat diukur melalui tiga pendekatan, yaitu koefisien stabilitas,

koefisien ekuivalensi dan reliabilitas konsistensi internal. Menurut Arikunto

(2002), reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen

cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data.

Selain uji validitas, PLS juga melakukan uji reliabilitas untuk mengukur

konsistensi internal alat ukur. Reliabilitas menunjukkan akurasi, konsistensi, dan

ketepatan suatu alat ukur dalam melakukan pengukuran (Hartono, 2008). Uji

reliabilitas dalam PLS dapat menggunakan dua metode, yaitu cronbach alpha

dan composite reliability.

Cronbach’s alpha mengukur batas bawah nilai reliabilitas suatu konstruk

sedangkan composite reliability mengukur nilai sesungguhnya reliabilitas suatu

konstruk (Hartono dan Abdillah, 2009). Rule of tumbs nilai alpha atau composite

reliability harus lebih besar dari 0,7.

4.8. Analisis Data

4.8.1. Analisis Data Deskriptif

Analisis statistik deskriptif ditujukan untuk menjelaskan profil responden

dan variabel-variabel penelitian. Statistik deskriptif disajikan dalam nilai rata-rata,

simpangan baku, maksimum, dan minimum dari variabel-variabel penelitian.

4.8.2. Analisis Inferensial

Analisis statistik inferensial untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini

adalah dengan metode analisis Structural Equation Modeling (SEM) dengan

program PLS. Adapun alasan penelitian ini menggunakan metode SEM untuk
91

pengujian hipotesis adalah 1) Untuk menguji ketepatan atau kesesuaian model

yang dibangun dengan hubungan antar variabel cukup kompleks, 2) Untuk

menguji model fitness secara keseluruhan, 3) Sebagian besar variabel dalam

penelitian ini adalah variabel unobservable yang merupakan variabel konsep

(variabel laten), yaitu variabel yang tidak bisa diukur secara langsung melainkan

diukur dari indikator (Gudono, 2015; Ferdinand, 2014).

Pengujian hipotesis 1 sampai dengan 7 menggunakan Partial Least Square

(PLS), dengan pertimbangan bahwa Structural Equation Model (SEM) sebagai

alat analisis telah mengalami perkembangan. Menurut Ghozali (2006) ada dua

model SEM yang banyak digunakan sementara ini, yaitu SEM berbasis

Covariance atau sering disebut Covariance Based SEM yang diwakili oleh

software AMOS dan LISREL dan SEM berbasis Variance atau sering juga

disebut Component Based SEM yang diwakili oleh software SmartPLS dan PLS

Graph.

Berbeda dengan Covariance Based SEM, yang menghendaki berbagai

asumsi yang harus dipenuhi seperti: data harus terdistribusi normal secara

multivariate, model indikator harus reflektif, skala pengukuran variabel harus

continous, jumlah sampel harus besar. Sementara Component Based SEM

mengabaikan itu semua karena bersifat non-parametrik. Dengan Component

Based SEM distribusi data tidak menjadi masalah, skala pengukuran dapat

berupa nominal, ordinal, interval, dan rasio. Model komplek dengan 100 indikator

dapat dianalisis hanya dengan jumlah data 50. Model pengukuran indikator dapat

berbentuk reflektif maupun formatif (Ghozali, 2006).

1. Langkah pertama: merancang model struktural (inner model)

Inner model atau model struktural menggambarkan hubungan antar variabel

laten berdasarkan pada substantive teori. Perancangan model struktural


92

hubungan antar variabel laten didasarkan pada rumusan masalah atau

hipotesis penelitian.

2. Langkah kedua: merancang model pengukuran (outer model)

Outer model atau model pengukuran mendefinisikan bagaimana setiap blok

indikator berhubungan dengan variabel latennya. Perancangan model

pengukuran menentukan sifat indikator dari setiap variabel laten, apakah

reflektif atau formatif, berdasarkan definisi operasional variabel.

3. Langkah ketiga: mengkonstruksi diagram jalur

Hasil perancangan inner model dan outer model tersebut, agar lebih mudah

dipahami dinyatakan dalam bentuk diagram jalur.

4. Langkah keempat: konversi diagram jalur ke dalam sistem persamaan

a. Outer model, yaitu spesifikasi hubungan antara variabel laten dengan

indikatornya, disebut juga dengan outer relation atau measurement model.

b. Inner model, yaitu spesifikasi hubungan antar variabel laten (structural

model), disebut juga dengan inner relation, menggambarkan hubungan

antar variabel laten berdasarkan teori substansi penelitian.

5. Langkah kelima: estimasi

Metode pendugaan parameter (estimasi) di dalam PLS adalah metode

kuadrat terkecil (least square methods). Proses perhitungan dilakukan dengan

cara iterasi. Iterasi akan berhenti jika telah tercapai kondisi konvergen.

6. Langkah keenam: goodness of fit

Model struktural atau inner model dievaluasi dengan melihat persentase

varian yang dijelaskan, yaitu dengan melihat R2 untuk konstruk laten

dependen, kemudian dihitung nilai Stone-Geisser Q Square test dengan

rumus :

Besaran nilai R2 menurut Hair et al. (2011) sebagai berikut:

a. R-square 0.25 − < 0.50 dalam kategori model yang diperoleh adalah buruk
93

b. R-square 0.50 − < 0.75 dalam kategori model yang diperoleh adalah baik

c. R-square > 0.75 dalam kategori model yang diperoleh adalah sangat baik

7. Langkah ketujuh: pengujian hipotesis

Pengujian hipotesis (β, γ, dan λ) dilakukan dengan metode resampling

bootstrap yang dikembangkan oleh Geisser dan Stone. Statistik uji yang

digunakan adalah statistik t atau uji t, dengan hipotesis statistik sebagai

berikut:

Hipotesis statistik untuk outer model adalah:

H0 : λi = 0 lawan H1 : λi ≠ 0

Hipotesis statistik untuk inner model pengaruh variabel laten eksogen

terhadap endogen adalah: H0 : γi = 0 lawan H1 : γi ≠ 0

Hipotesis statistik untuk inner model pengaruh variabel laten endogen

terhadap endogen adalah: H0 : βi = 0 lawan H1 : βi ≠ 0

Penerapan metode resampling memungkinkan berlakunya data

terdistribusi bebas (distribution free), tidak memerlukan asumsi distribusi

normal, dan tidak memerlukan sampel yang besar (direkomendasikan sampel

minimum 30).

Pengujian dilakukan dengan t-test, bilamana diperoleh p-value ≤ 0,05

(alpa 5 %), dapat disimpulkan signifikan, dan sebaliknya. Bilamana hasil

pengujian pada inner model signifikan, dapat diartikan bahwa terdapat

pengaruh yang bermakna variabel laten satu terhadap variabel laten lainnya.

Asumsi yang diperlukan di dalam PLS adalah hubungan antar variabel

laten bersifat linier. Di samping itu, asumsi pada nonparametrik, yaitu antar

pengamatan bersifat independen juga berlaku. Asumsi yang kedua ini bersifat

tidak kritis bilamana pengambilan sampel dilakukan secara random. Sampel

bootstrap disarankan sebesar 500, hal ini didasarkan beberapa kajian yang

ada pada berbagai literatur bahwa dengan sampel bootstrap 500 sudah
94

dihasilkan penduga parameter yang bersifat stabil. Sementara besar sampel

pada setiap sampel bootstrap disarankan lebih kecil sedikit dari sampel

orisinalnya (Solimun, 2010).

Selanjutnya, Solimun (2010) menjelaskan bahwa variabel laten dengan

indikator formatif, perubahan indikatornya dihipotesiskan memengaruhi nilai

variabel laten dan arah hubungan kausalitasnya seolah-olah mengalir dari

indikator ke variabel laten serta tidak perlu adanya korelasi antar indikator

secara konsisten. Sedangkan, variabel laten dengan indikator reflektif,

perubahan indikatornya dihipotesiskan dipengaruhi oleh nilai variabel laten

dan arah hubungan kausalitasnya seolah-olah mengalir dari variabel laten ke

indikator serta perlunya korelasi antar indikator secara konsisten. Untuk

mengetahui apakah jawaban responden terjadi respons bias atau tidak,

digunakan uji Kolmogorov-Smirnov Z (Yamin dan Kurniawan, 2009). Jika nilai

p value atas uji Kolmogorov-Smirnov Z lebih besar dari alpa 5%,

mengindikasikan bahwa tidak terjadi respons bias atau dengan kata lain

jawaban antar responden tidak ada perbedaan yang signifikan. Data untuk

mengujinya diambilkan dari skor rata-rata jawaban 30 responden awal dan

skor rata-rata jawaban 30 responden akhir.

4.8.3. Analisis Variabel Mediasi

Untuk mengetahui signifikansi pengaruh tidak langsung, dilakukan

dengan menelaah model mediasi (variabel mediasi). Penelaahan ini pada

dasarnya untuk menguji intervensi dari variabel mediasi, apakah terbukti

berperan sebagai variabel mediasi sempurna (complete mediation) atau sebagai

mediasi parsial (parsial mediation) dan bukan sebagai variabel mediasi.

Analisis variabel mediasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu

pemeriksaan dan pengujian. Pada metode pemeriksaan dilakukan dengan cara


95

melihat perbedaan koefisien jalur, sedangkan pada metode pengujian dilakukan

dengan cara menguji koefisien jalur pengaruh tidak langsung. Pendekatan

pemeriksaan dengan cara melihat perbedaan koefisien jalur pada hasil analisis

dengan dan tanpa melibatkan variabel mediasi. Sedangkan metode pengujian

yang sering digunakan adalah Uji Sobel/Sobel Test (Solimun, 2017).

Metode analisis variabel mediasi dengan pendekatan pemeriksaan

dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

(1) Memeriksa pengaruh variabel penjelas/prediktor terhadap variabel

respon/terikat pada model tanpa melibatkan variabel mediasi (p1)

(2) Memeriksa pengaruh variabel penjelas/ prediktor terhadap variabel

respon/terikat pada model dengan melibatkan variabel mediasi (p2).

(3) Memeriksa pengaruh variabel penjelas/prediktor terhadap variabel mediasi

(p3).

(4) Memeriksa pengaruh variabel mediasi terhadap variabel respon/terikat (p4).

4.8.4. Analisis Variabel Moderasi

Variabel moderasi dapat diklasifikasikan menjadi 5 jenis yaitu absolute

moderation atau moderasi mutlak, pure moderation atau moderasi murni, quasi

moderation atau moderasi semu, homologiser moderation atau moderasi

potensial dan predictor moderation atau moderasi sebagai penjelas atau

prediktor (Solimun, 2017).


BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Tingkat Pengembalian Kuesioner

Hasil dari pengumpulan kuesioner yang telah diisi oleh responden

dapat digambarkan pada tingkat pengembalian kuesioner (respon rate) dari

responden, dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini.

Tabel 5.1
Pengiriman dan Tingkat Pengembalian Kuesioner

No Keterangan Σ Kuesioner
1. Kuesioner yang didistribusikan 288
2. Kuesioner yang kembali 278
3. Kuesioner yang tidak kembali 10
4. Kuesioner yang rusak 8
5. Kuesioner yang diolah 270
6. Response Rate 93,7%
Sumber: Data Primer diolah, 2018.

Jumlah kuesioner yang didistribusikan disesuaikan dengan jumlah sampel

yang telah ditentukan yaitu sebanyak 288 orang, tetapi jumlah sampel yang

digunakan dalam penelitian ini sebanyak 270 sesuai dengan kuesioner yang

kembali dan dapat diolah. Sebanyak 10 buah kuesioner tidak dikembalikan

karena yang bersangkutan tugas di luar daerah dan 8 kuesioner rusak.

5.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah aparatur sipil negara (ASN) pada

organisasi perangkat daerah di Provinsi Maluku yang meliputi ASN Provinsi

Maluku, ASN Pemerintah Kota Ambon, ASN Pemerintah Maluku Tengah dan

ASN Pemerintah Buru Selatan. Karakteristik responden dalam penelitian ini

meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, masa bekerja pada.. Karakteristik

responden dapat dilihat pada tabel berikut ini :

96
97

5.2.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden


Gambaran umum karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin,
disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase


(Orang) (%)
Laki-laki 113 41,9
Perempuan 157 58,1
Jumlah 270 100
Sumber: Data Primer diolah, 2018.

Responden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak

mendominasi karakteristik responden. Hal ini dapat dilihat bahwa terdapat 157

orang (58,1%) yang berjenis kelamin perempuan dan 113 orang (41,9%) yang

berjenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memegang

peranan penting dalam penerapan akuntansi berbasis akrual.

5.2.2. Distribusi Frekuensi Usia Responden


Gambaran umum karakteristik responden berdasarkan usia responden,

disajikan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Usia Responden

Frekuensi Persentase
Usia
(Orang) (%)
21 – 30 tahun 26 9,6
31 – 40 tahun 117 43,3
41 – 50 tahun 84 31,1
> 50 tahun 43 15,9
Jumlah 270 100
Sumber: Data Primer diolah, 2018.
98

Responden dengan usia 31 - 40 tahun mendominasi karakteristik

usia responden. Dapat dilihat bahwa terdapat 117 orang (43,3 %) yang

berusia 31 - 40 tahun, 84 orang (31,1%) yang berusia 41 - 50 tahun, 43

orang (15,9%) yang berusia > 50 tahun dan 26 orang (9,6%) yang berusia

21 - 30 tahun.

5.2.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden

Gambaran umum karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

disajikan pada Tabel 5.4

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden

Usia Frekuensi Persentase


(Orang) (%)
SMU 40 14,8
Diploma 22 8,1
S1 160 59,3
S2 48 17,8
Jumlah 270 100
Sumber: Data Primer diolah, 2018.

Responden yang berlatar belakang jenjang pendidikan sarjana

mendominasi karakteristik responden. Terdapat sebanyak 160 orang (59,3%)

berpendidikan sarjana strata 1, 48 orang (17,8%) berpendidikan pascasarjana

dan lainnya adalah SMU/SMK sebanyak 40 orang (14,8%), diploma sebanyak 22

orang (8,1%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan hal

penting dalam penerapan akuntansi berbasis akrual.

5.2.4. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Responden


Gambaran umum karakteristik responden berdasarkan masa kerja
responden, disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5
Distribusi Frekunsi Masa Kerja Responden
99

Lama Kerja Frekuensi Presentase


 (Tahun) (Orang) (%)
0-2 34 12,5
3-5 58 21,4
6-9 81 30
10-12 31 11,4
> 12 66 24,4
Jumlah 270 100
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Responden dengan latar belakang masa kerja 6–9 tahun

mendominasi karakteristik responden. Terdapat sebanyak 81 orang (30%)

yang telah bekerja selama 6 – 9 tahun, 66 orang (24,4%) yang telah

bekerja selama >12 tahun, 58 orang (21,5%) yang telah bekerja selama 3 –

5 tahun, 34 orang (12,6%) yang telah bekerja selama 0 – 2 tahun dan

sebanyak 31 orang (11,5%) yang telah bekerja selama 10 – 11 tahun. Hal

ini menunjukkan bahwa responden merupakan orang-orang yang cukup

berpengalaman.

5.3. Deskripsi Variabel Penelitian

Analisis deskriptif variabel penelitian bertujuan untuk menginterpretasikan

persepsi responden pada masing-masing variabel penelitian. Variabel yang

dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari variabel tekanan peraturan, kompetensi,

budaya organisasi, komitmen organisasi dan penerapan akuntansi berbasis

akrual. Distribusi frekuensi variabel diperoleh dari hasil tabulasi skor jawaban

responden. Interpretasi skor jawaban responden menggunakan skala Likert

dengan rentang skala 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (agak tidak

setuju), 4 (tidak tahu), 5 (agak setuju), 6 (setuju) dan 7 (sangat setuju).

5.3.1. Variabel Tekanan Peraturan


100

Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Variabel Tekanan Peraturan (X1)

Skor Jawaban Responden


Item 1 2 3 4 5 6 7 Mean
F % F % F % F % F % F % F %
X1.1.1 0 0 0 0 0 0 0 0 15 5,6 152 56,3 103 38,1 6,33
X1.1.2 0 0 0 0 0 0 0 0 15 5,6 152 56,3 103 38,1 6,33
X1.2 0 0 2 0,7 14 5,2 8 3 39 14,4 116 43 91 33,7 5,95
X1.3 0 0 0 0 0 0 0 0 46 17 135 50 89 33 6,16
Mean Variabel X1 = 6,19
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Tekanan Peraturan merupakan suatu bentuk tekanan yang dipaksakan

akibat adanya peraturan pemerintah baru yang berdampak pada penerapan

akuntansi berbasis akrual. Tekanan peraturan diukur dengan tiga indikator, yaitu

konsistensi pusat menjalankan aturan, tingkat ketergantungan pada pusat,

tingkat ketaatan menjalankan sistem. Indikator tersebut akan diukur dengan

menggunakan skala Likert dengan interval 1 sampai 7. Skor 1 berarti sangat

tidak setuju, 2 berarti tidak setuju, 3 berarti agak tidak setuju, 4 berarti tidak tahu,

dan 5 berarti agak setuju, 6 berarti setuju, 7 berarti sangat setuju.

Dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 38,1% responden menjawab

sangat setuju dan 5,6% yang menjawab agak setuju atas pertanyaan pada

indikator konsistensi pusat menjalankan aturan. Rata-rata jawaban responden

adalah 6,33, artinya bahwa responden menerapkan akuntansi berbasis akrual

karena pemerintah pusat konsisten menerapkan PP No.71 Tahun 2010.

Sebanyak 33,7% responden menjawab sangat setuju dan 0,7% yang menjawab

tidak setuju pertanyaan pada indikator ketergantungan pada pusat. Rata-rata

jawaban responden adalah 5,95, artinya bahwa responden sangat tergantung

dari bantuan pusat dalam memperkenalkan dan mengajarkan akuntansi berbasis

akrual. Kemudian sebanyak 33% responden menjawab sangat setuju dan 17%

yang menjawab agak setuju atas pertanyaan/ pernyataan pada indikator


101

ketaatan menjalankan sistem. Rata-rata jawaban responden adalah 6,16%,

artinya bahwa responden taat menerapkan akuntansi berbasis akrual.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan yang diakibatkan PP N0.71

Tahun 2010 membuat responden harus menerapkan akuntansi berbasis akrual.

Hal ini terlihat dari nilai rata-rata jawaban responden yang dihasilkan sebesar

6,19%.

5.3.2. Variabel Kompetensi

Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Variabel Kompetensi (X2)

Skor Jawaban Responden


Item 1 2 3 4 5 6 7 Mean
F % F % F % F % F % F % F %
0
X2.1 0 0 0 2 0,7 5 1,9 30 11,1 143 53 90 33,3 6,16
0
X2.2 0 0 0 0 0 3 1,1 31 11,5 147 54,4 89 33 6,19
0
X2.3 0 2 0,7 4 1,5 0 0 26 9,6 151 55,9 87 32,2 6,15
0
X2.4 0 0 0 0 0 5 1,9 25 9,3 158 58,5 82 30,4 6,17
0
X2.4.1 0 0 0 0 0 4 1,5 25 9,3 160 59,3 81 30 6,18
Mean Variabel X2 = 6,17
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang pegawai dalam

menerapkan akuntansi berbasis akrual. Kompetensi diukur dengan empat

indikator yaitu pengetahuan, pendidikan, pengalaman dan pelatihan. Indikator

tersebut akan diukur dengan menggunakan skala Likert dengan interval 1

sampai 7. Skor 1 berarti sangat tidak setuju, 2 berarti tidak setuju, 3 berarti agak

tidak setuju, 4 berarti tidak tahu, dan 5 berarti agak setuju, 6 berarti setuju, 7

berarti sangat setuju.

Dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 33,3% responden menjawab

sangat setuju dan 0,7% menjawab agak tidak setuju atas pertanyaan pada

indikator pengetahuan. Rata-rata jawaban responden adalah 6,16, artinya bahwa


102

responden dapat didukung kinerjanya dalam menerapkan akuntansi berbasis

akrual jika memiliki pengetahuan yang memadai. Sebanyak 33% responden

menjawab sangat setuju dan 1,1% yang menjawab tidak tahu pada indikator

pendidikan. Rata-rata jawaban responden adalah 6,19%, artinya bahwa

responden meyakini pendidikan yang dimiliki dapat meningkatkan kemampuan

penerapan akuntansi berbasis akrual. Sebanyak 32,2% responden menjawab

sangat setuju dan 0,7% yang menjawab tidak setuju atas pertanyaan/

pernyataan pada indikator pengalaman. Rata-rata jawaban responden adalah

6,15%, artinya bahwa responden meyakini pengalaman yang dimiliki dapat

meningkatkan penerapan akuntansi berbasis akrual. Kemudian atas pertanyaan/

pernyataan pada indikator pelatihan yang terdiri dari dua item, sebanyak 30,4%,

30% responden menjawab sangat setuju dan 1,9%,1,5% yang menjawab tidak

tahu. Rata-rata jawaban responden adalah 6,17% dan 6,18% artinya bahwa

responden meyakini pelatihan yang diikuti dapat meningkatkan penerapan

akuntansi berbasis akrual.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi berperan penting

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata

jawaban responden yang dihasilkan sebesar 6,17%.

5.3.3.Variabel Budaya Organisasi


103

Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Variabel Budaya Organisasi (Y1)

Skor Jawaban Responden


Item 1 2 3 4 5 6 7 Mean
F % F % F % F % F % F % F %
0 0 0 0
Y1.1 0 0 0 0 26 9,6 167 61,9 77 28,5 6,19
0 2 0 0
Y1.2 0 0,7 0 0 20 7,4 176 65,2 72 26,7 6,16
0 0 0 0
Y1.3 0 0 0 0 8 3 159 58,9 103 38,1 6,35
0 2 0 0
Y1.4 0 0 1 0,4 22 8,1 171 63,3 76 28,1 6,19
0 0 2 0,7
Y1.5 0 0 0 0 43 15,9 135 50 90 33,3 6,15
Mean Variabel Y1 = 6,21
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Denison (1990) mengartikan budaya organisasi sebagai nilai-nilai,

keyakinan, dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan bagi sistem dan

praktek-praktek manajemen serta perilaku yang meningkatkan dan menguatkan

prinsip-prinsip tersebut. Budaya organisasi diukur dengan lima indikator yaitu

creating change, empowerment, team orientation, coordination dan goal.

Indikator tersebut akan diukur dengan menggunakan skala Likert dengan interval

1 sampai 7. Skor 1 berarti sangat tidak setuju, 2 berarti tidak setuju, 3 berarti

agak tidak setuju, 4 berarti tidak tahu, dan 5 berarti agak setuju, 6 berarti setuju,

7 berarti sangat setuju.

Dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 28,5% responden menjawab

sangat setuju dan 9,6% menjawab agak setuju atas pertanyaan pada indikator

creating change. Rata-rata jawaban responden adalah 6,19, artinya bahwa

organisasi melakukan perubahan dari sistem akuntansi berbasis kas ke sistem

akuntansi berbasis akrual. Sebanyak 26,7% responden menjawab sangat setuju

dan 0,7% yang menjawab tidak setuju pada indikator empowerment. Rata-rata

jawaban responden adalah 6,16%, artinya bahwa organisasi selalu melakukan

pemberdayaan kepada pegawainya lewat pelatihan akuntansi berbasis akrual.

Sebanyak 38,1% responden menjawab sangat setuju dan 3% yang menjawab

agak setuju atas pertanyaan pada indikator team orientation. Rata-rata jawaban
104

responden adalah 6,35%, artinya bahwa di dalam organisasi terjadi kerjasama

tim yang baik dari pimpinan maupun bawahan dalam menerapkan akuntansi

berbasis akrual. Sebanyak 28,1% responden menjawab sangat setuju dan 0,4%

yang menjawab tidak tahu atas pertanyaan pada indikator coordination. Rata-

rata jawaban responden adalah 6,19% artinya bahwa terjalin koordinasi yang

baik dalam organisasi antar pimpinan dan bawahan guna tercapainya penerapan

akuntansi berbasis akrual. Kemudian sebanyak 33,3% responden menjawab

sangat setuju dan 0,7% yang menjawab agak tidak setuju atas pertanyaan pada

indikator goal. Rata-rata jawaban responden adalah 6,15%, artinya bahwa

penerapan akuntansi berbasis akrual menjadi tujuan organisasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi telah tercipta

dengan baik sehingga penerapan akuntansi berbasis akrual dapat berhasil.. Hal

ini terlihat dari nilai rata-rata jawaban responden yang dihasilkan sebesar 6,21%.

5.3.4. Variabel Komitmen Organisasi

Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Variabel Komitmen Organisasi (Y2)

Skor Jawaban Responden


Item 1 2 3 4 5 6 7 Mean
F % F % F % F % F % F % F %
Y2.1.1 0 0 0 0 0 0 2 0,7 50 18,5 139 51,5 79 29,3 6,09
Y2.1.2 0 0 0 0 0 0 3 1,1 51 18,9 150 55,6 66 24,4 6,03
Y2.2.1 0 0 9 3,3 7 2,6 10 3,7 21 7,8 161 59,6 62 23 5,87
Y2.2.2 0 0 6 2,2 12 4,4 8 3 20 7,4 155 57,4 69 25,6 5,90
Y2.3.1 0 0 5 1,9 7 2,6 7 2,6 36 13,3 151 55,9 64 23,7 5,90
Y2.3.2 0 0 4 1,5 8 3 11 4,1 26 9,6 151 55,9 70 25,9 5,93
Mean Variabel Y2 = 5,95
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Komitmen organisasi adalah keadaan dimana karyawan memihak pada

suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berniat untuk memelihara

keanggotaannya dalam organisasi tersebut (Robbins 2001). Indikator komitmen

organisasi yang digunakan adalah komitmen normatif, komitmen afektif dan


105

komitmen berkelanjutan. Indikator tersebut akan diukur dengan menggunakan

skala Likert dengan interval 1 sampai 7. Skor 1 berarti sangat tidak setuju, 2

berarti tidak setuju, 3 berarti agak tidak setuju, 4 berarti tidak tahu, dan 5 berarti

agak setuju, 6 berarti setuju, 7 berarti sangat setuju.

Dari hasil penelitian menunjukkan atas pertanyaan pada indikator

komitmen normatif yang terdiri dari dua item sebanyak 29,3%, 24,4% responden

menjawab sangat setuju dan 0,7%, 1,1% menjawab agak tidak tahu. Rata-rata

jawaban responden adalah 6,09 dan 6,03%, artinya bahwa responden secara

moral memiliki komitmen yang tinggi dalam menerapkan akuntansi berbasis

akrual. Atas pertanyaan pada indikator komitmen afektif yang terdiri dari dua item

sebanyak 23%, 25,6% responden menjawab sangat setuju dan 3,3%, 2,2%

menjawab tidak setuju. Rata-rata jawaban responden adalah 5,87% dan 5,90%,

artinya bahwa responden secara sungguh-sungguh bekerja menerapkan

akuntansi berbasis akrual. Kemudian,atas pertanyaan pada indikator komitmen

kontinuans yang terdiri dari dua item sebanyak 23,7%, 25,9% responden

menjawab sangat setuju dan 1,9%, 1,5% menjawab tidak setuju. Rata-rata

jawaban responden adalah 5,90 dan 5,93%, artinya bahwa responden merasa

bekerja dalam organisasi menjadi keuntungan baginya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen cukup baik terhadap

organisasi terkait penerapan akuntansi berbasis akrual. Hal ini terlihat dari nilai

rata-rata jawaban responden yang dihasilkan sebesar 5,95%.

5.3.5. Variabel Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual


Sesuai dengan PP No.71 Tahun 2010 tentang penerapan akuntansi

berbasis akrual maka setiap OPD diwajibkan menerapkan akuntansi berbasis

akrual dalam transaksi keuangan. Indikator penerapan akuntansi berbasis akrual

yang akan digunakan adalah pemahaman PSAP 01 tentang penyajian laporan


106

keuangan, pemahaman PSAP 02 tentang laporan realisasi anggaran berbasis

kas, pemahaman PSAP 03 tentang laporan arus kas, pemahaman PSAP 04

tentang catatan atas laporan keuangan, pemahaman PSAP 05 tentang akuntansi

persediaan, pemahaman PSAP 06 tentang akuntansi investasi, pemahaman

PSAP 07 tentang akuntansi aset tetap, pemahaman PSAP 08 tentang akuntansi

konstruksi dalam pengerjaan, pemahaman PSAP 09 tentang akuntansi

kewajiban, pemahaman PSAP 10 tentang koreksi kesalahan, perubahan

kebijakan akuntansi, perubahan estimasi akuntansi, dan operasi yang tidak

dilanjutkan, pemahaman PSAP 11 tentang laporan keuangan konsolidasian dan

pemahaman PSAP 12 tentang laporan operasional. Indikator tersebut akan

diukur dengan menggunakan skala Likert dengan interval 1 sampai 7. Skor 1

berarti sangat tidak setuju, 2 berarti tidak setuju, 3 berarti agak tidak setuju, 4

berarti tidak tahu, dan 5 berarti agak setuju, 6 berarti setuju, 7 berarti sangat

setuju.

Tabel 5.10
107

Distribusi Frekuensi Variabel Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual (Y3)

Skor Jawaban Responden


Item 1 2 3 4 5 6 7 Mean
F % F % F % F % F % F % F %
Y3.1 0 0 0 0 0 0 1 0,4 1 0,4 162 60 106 39,3 6,38
Y3.2.1 0 0 0 0 0 0 0 0 4 1,5 175 64,8 91 33,7 6,32
Y3.2.2 0 0 6 2,2 4 1,5 3 1,1 17 6,3 162 60 78 28,9 6,07
Y3.2.3 0 0 13 4,8 7 2,6 3 1,1 9 3,3 153 56,7 85 31,5 5,99
Y3.2.4 0 0 4 1,5 0 0 5 1,9 8 3 173 64,1 80 29,6 6,17
Y3.3 0 0 0 0 0 0 11 4,1 10 3,7 184 68,1 65 24,1 6,12
Y3.4.1 0 0 1 0,4 1 0,4 1 0,4 7 2,6 176 65,2 84 31,1 6,25
Y3.4.2 0 0 0 0 0 0 3 1,1 23 8,5 152 56,3 92 34,1 6,23
Y3.5.1 0 0 5 1,9 3 1,1 1 4 27 10 162 60 72 26,7 6,05
Y3.5.2 0 0 5 1,9 14 5,2 3 1.1 20 7,4 150 55,6 78 28,9 5,96
Y3.6.1 0 0 3 1,1 10 3,7 15 5,6 10 3,7 160 59,3 72 26,7 5,96
Y3.6.2 0 0 0 0 18 6,7 35 13 20 7,4 133 49,3 64 23,7 5,70
Y3.6.3 0 0 0 0 2 0,7 34 12,6 25 9,3 150 55,6 59 21,9 5,85
Y3.7.1 0 0 0 0 0 0 12 4,4 14 5,2 180 66,7 64 23,7 6,10
Y3.7.2 0 0 0 0 1 0,4 4 1,5 20 7,4 164 60,7 81 30 6,19
Y3.8.1 0 0 3 1,1 9 3,3 15 5,6 17 6,3 152 56,3 74 27,4 5,96
Y3.8.2 0 0 0 0 0 0 7 2,6 14 5,2 168 62,2 81 30 6,20
Y3.9 0 0 0 0 0 0 6 2,2 12 4,4 180 66,7 72 26,7 6,18
Y3.10.1 0 0 0 0 0 0 4 1,5 14 5,2 181 67 71 26,3 6,18
Y3.10.2 0 0 0 0 0 0 1 0,4 20 7,4 179 66,3 70 25,9 6,18
Y3.11.1 0 0 6 2,2 1 0,4 1 0,4 11 4,1 171 63,3 80 29,6 6,15
Y3.11.2 0 0 0 0 0 0 6 2,2 28 10,4 157 58,1 79 29,3 6,14
Y3.12 0 0 1 0,4 2 0,7 7 2.6 28 10,4 162 60 70 25,9 6,07

Mean Variabel Y3 = 6,10


Sumber: Data primer diolah, 2018.

Dari hasil penelitian menunjukkan sebanyak 39,3% responden menjawab

sangat setuju dan 0,4% menjawab tidak tahu atas pertanyaan pada indikator

pemahaman PSAP 01 tentang penyajian laporan keuangan. Rata-rata jawaban

responden adalah 6,38, artinya bahwa responden dapat memahami PSAP 01

dalam penyajian laporan keuangan. Atas pertanyaan pada indikator pemahaman

PSAP 02 tentang laporan realisasi anggaran berbasis kas yang terdiri dari empat

item sebanyak 33,7%, 28,9%, 31,5%, 29,6% responden menjawab sangat

setuju dan 1,5% menjawab agak setuju, 2,2%, 4,8%, 1,5% menjawab tidak

setuju. Rata-rata jawaban responden adalah 6,32%, 6,07%, 5,99% dan 6,17%,

artinya bahwa responden dapat memahami PSAP 02 dalam menyusun laporan

realisasi anggaran berbasis kas. Atas pertanyaan pada indikator pemahaman


108

PSAP 03 tentang laporan arus kas, sebanyak 24,1% yang menjawab sangat

setuju dan 4,1% menjawab tidak tahu Rata-rata jawaban responden adalah

6,12% artinya bahwa responden dapat memahami PSAP 03 dalam menyusun

laporan arus kas. Atas pertanyaan pada indikator pemahaman PSAP 04 tentang

catatan atas laporan keuangan yang terdiri dari dua item, sebanyak 31,1%,

34,1% yang menjawab sangat setuju dan 0,4% menjawab tidak setuju dan 1,1%

menjawab tidak tahu. Rata-rata jawaban responden adalah 6,25% dan 6,23%

artinya bahwa responden dapat memahami PSAP 04 dalam membuat catatan

atas laporan keuangan.

Atas pertanyaan pada indikator pemahaman PSAP 05 tentang akuntansi

persediaan yang terdiri dari dua item, sebanyak 26,7%, 28,9% yang menjawab

sangat setuju dan 1,9% menjawab tidak setuju. Rata-rata jawaban responden

adalah 6,05% dan 5,96% artinya bahwa responden dapat memahami PSAP 05

dalam menyusun akuntansi persediaan. Atas pertanyaan pada indikator

pemahaman PSAP 06 tentang akuntansi investasi yang terdiri dari tiga item,

sebanyak 26,7%, 23,7%, 21,9% yang menjawab sangat setuju dan 1,1%

menjawab tidak setuju dan 6,7%, 0,7% menjawab agak tidak setuju. Rata-rata

jawaban responden adalah 5,96%, 5,70% dan 5,85% artinya bahwa responden

dapat memahami PSAP 06 dalam menyusun akuntansi investasi. Atas

pertanyaan pada indikator pemahaman PSAP 07 tentang akuntansi aset tetap

yang terdiri dari dua item, sebanyak 23,7%, 30% yang menjawab sangat setuju

dan 4,4% menjawab tidak tahu dan 0,4% menjawab agak tidak setuju. Rata-rata

jawaban responden adalah 6,10% dan 6,19% artinya bahwa responden dapat

memahami PSAP 07 dalam menyusun akuntansi aset tetap.

Atas pertanyaan pada indikator pemahaman PSAP 08 tentang akuntansi

konstruksi dalam pengerjaan terdiri dari dua item, sebanyak 27,4%, 30% yang

menjawab sangat setuju dan 1,1% menjawab tidak setuju dan 2,6% menjawab
109

tidak tahu. Rata-rata jawaban responden adalah 5.96% dan 6,20% artinya bahwa

responden dapat memahami PSAP 08 dalam menyusun akuntansi konstruksi

dalam pengerjaan. Atas pertanyaan pada indikator pemahaman PSAP 09

tentang akuntansi kewajiban, sebanyak 26,7% yang menjawab sangat setuju dan

2,2% menjawab tidak tahu. Rata-rata jawaban responden adalah 6,18% artinya

bahwa responden dapat memahami PSAP 09 dalam menyusun akuntansi

kewajiban. Atas pertanyaan pada indikator pemahaman PSAP 10 tentang

koreksi kesalahan, perubahan kebijakan akuntansi, perubahan estimasi

akuntansi, dan operasi yang tidak dilanjutkan terdiri dari dua item, sebanyak

26,3%, 25,9% yang menjawab sangat setuju dan 1,5%, 0,4% menjawab tidak

tahu. Rata-rata jawaban responden adalah 6,18% dan 6,18% artinya bahwa

responden dapat memahami PSAP 10 dalam membuat koreksi kesalahan,

perubahan kebijakan akuntansi, perubahan estimasi akuntansi, dan operasi yang

tidak dilanjutkan. Atas pertanyaan pada indikator pemahaman PSAP 11 tentang

laporan keuangan konsolidasian terdiri dari dua item, sebanyak 29,6%, 29,3%

yang menjawab sangat setuju dan 2,2% menjawab tidak setuju, 2,2% menjawab

tidak tahu. Rata-rata jawaban responden adalah 6,15% dan 6,14% artinya bahwa

responden dapat memahami PSAP 11 dalam menyusun laporan keuangan

konsolidasian. Atas pertanyaan pada indikator pemahaman PSAP 12 tentang

akuntansi laporan operasional, sebanyak 25,9% yang menjawab sangat setuju

dan 0,4% menjawab tidak setuju. Rata-rata jawaban responden adalah 6,07%

artinya bahwa responden dapat memahami PSAP 12 dalam menyusun laporan

operasional.

5.4. Model Pengukuran (Outer Model)

Outer model atau model pengukuran mendefinisikan bagaimana setiap

blok indikator berhubungan dengan variabel latennya (Ghozali, 2008). Ada tiga
110

kriteria untuk menilai outer model, yaitu convergent validity, composite reliability,

dan discriminant validity. Pada outer model dengan indikator refleksif seperti

pada penelitian ini, dievaluasi dengan menggunakan convergent validity dan

discriminant validity dari indikatornya, dan composite reliability untuk blok

indikator.

5.4.1 Convergent Validity

Convergent validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator dinilai

berdasarkan korelasi antara item score/component score dengan construct

scorre yang dihitung dengan PLS. Ukuran refleksif individual dikatakan tinggi jika

berkorelasi lebih dari 0,7 dengan konstruk yang ingin diukur. Meskipun demikian,

untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran nilai loading

0.5 sampai 0.6 dianggap cukup (Ghozali, 2008). Hasil loading factor untuk setiap

indikator disajikan pada Tabel 5.11.

Tabel 5.11
Hasil Pengujian Convergent Validity

Variabel Indikator Outer Kesimpulan


Loading
Tekanan Peraturan X1.1 0,888 Valid
(X1) X1.2 0,866 Valid
X1.3 0,865 Valid
Kompetensi (X2) X2.1 0,847 Valid
X2.2 0,845 Valid
X2.3 0,797 Valid
X2.4 0,852 Valid
Y1.1 0,781 Valid
Y1.2 0,679 Valid
Budaya Organisasi Y1.3 0,853 Valid
(Y1) Y1.4 0,789 Valid
Y1.5 0,811 Valid
Y2.1 0,861 Valid
Komitmen Y2.2 0,817 Valid
Organisasi(Y2) Y2.3 0,880 Valid
Y3.1 0,767 Valid
Y3.2 0,764 Valid
Y3.3 0,720 Valid
Y3.4 0,812 Valid
Penerapan Akuntansi Y3.5 0,722 Valid
Berbasis Akrual Y3.6 0,815 Valid
Y3.7 0,800 Valid
Y3.8 0,775 Valid
111

Variabel Indikator Outer Kesimpulan


Loading
Y3.9 0,742 Valid
Y3.10 0,851 Valid
Y3.11 0,801 Valid
Y3.12 0,693 Valid
Sumber : Data primer diolah, 2018

Berdasarkan Tabel 5.11 dapat diketahui bahwa semua indikator yang

digunakan pada penelitian ini memiliki loading factor lebih besar dari 0,6 dan

signifikan (t hitung > t tabel) sehingga tidak ada indikator yang dibuang.

5.4.2 Discriminant Validity

Discriminant validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator

dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi

konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya,

hal ini menunjukkan konstruk laten memprediksi ukuran pada blok mereka lebih

baik daripada ukuran pada blok lainnya (Ghozali, 2008). Cross Loading setiap

indikator antara indikator dengan konstruknya disajikan pada Tabel 5.12.

Tabel 5.12 menunjukkan bahwa korelasi variabel tekanan peraturan

dengan indikatornya, yaitu X1.1, X1.2, dan X1.3 lebih tinggi dibandingkan

korelasi indikator yang lain.

Tabel 5.12
Nilai Cross Loading Hasil Pengujian Discriminant Validity

Variabel
Tekanan Kompetensi Budaya Komitmen Penerapan
Indikator
Peraturan (X2) (Y1) (Y2) Akrual
(X1) (Y3)
X1.1 0,888
X1.2 0,866
X1.3 0,865
X2.1 0,847
X2.2 0,845
X2.3 0,797
X2.4 0,852
Y1.1 0,781
Y1.2 0,679
112

Variabel
Tekanan Kompetensi Budaya Komitmen Penerapan
Indikator
Peraturan (X2) (Y1) (Y2) Akrual
(X1) (Y3)
Y1.3 0,853
Y1.4 0,789
Y1.5 0,811
Y2.1 0,861
Y2.2 0,817
Y2.3 0,880
Y3.1 0,767
Y3.2 0,764
Y3.3 0,720
Y3.4 0,812
Y3.5 0,722
Y3.6 0,815
Y3.7 0,800
Y3.8 0,775
Y3.9 0,742
Y3.10 0,851
Y3.11 0,801
Y3.12 0,693
Sumber : Data primer diolah, 2018.

Begitu juga dengan korelasi variabel kompetensi dengan indikatornya, yaitu

X2.1, X2.2, X2.3 dan X2.4 lebih tinggi dibandingkan korelasi indikator yang lain.

Korelasi variabel budaya organisasi dengan indikator Y1.1, Y1.2, Y1.3, Y1.4 dan

Y1.5 lebih tinggi dibandingkan korelasi indikator yang lain. Korelasi variabel

komitmen organisasi dengan indikator Y2.1, Y2.2 dan Y2.3 lebih tinggi

dibandingkan korelasi indikator yang lain. Kemudian korelasi variabel penerapan

akuntansi berbasis akrual dengan indikatornya, yaitu Y3.1,Y3.2, Y3.3, Y3.4,

Y3.5, Y3.6, Y3.7, Y3.8, Y3.9, Y.10, Y3.11 dan Y3.12 lebih tinggi dibandingkan

korelasi indikator yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa variabel laten

memprediksi indikator pada bloknya lebih baik dibandingkan dengan indikator di

blok lainnya. Metode lain untuk menilai discriminant validity adalah dengan

melihat nilai AVE (average variance extracted) untuk setiap konstruk. Nilai AVE

disajikan pada Tabel 5.13.


113

Tabel 5.13
Nilai AVE
Variabel AVE
Budaya 0,616414
Komitmen 0,728682
Kompetensi 0,698984
Kompetensi * Komitmen 0,553895
Penerapan 0,598568
Tekanan 0,763022
Tekanan * Komitmen 0,570174
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Tabel 5.13 menunjukkan bahwa nilai AVE setiap variabel lebih besar dari

0,5 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel yang kita gunakan pada

penelitian ini valid.

5.4.3 Composite Reliability

Composite reliability blok indikator yang mengukur suatu konstruk dapat

dievaluasi dengan dua macam ukuran, yaitu internal consistency dan Cronbach’s

Alpha (Ghozali, 2008). Hasil Composite reliability pada penelitian ini ditampilkan

pada Tabel 5.14.

Tabel 5.14
Composite Reliability

Variabel Composite Reliability


Budaya 0,888791
Komitmen 0,889496
Kompetensi 0,902742
Kompetensi * Komitmen 0,936294
Penerapan 0,946903
Tekanan 0,906173
Tekanan * Komitmen 0,922052

Sumber: Data primer diolah, 2018.


114

Nilai Cronbach’s Alpha diolah melalui PLS disajikan pada Tabel 5.15.

Tabel 5.15
Cronbachs Alpha

Variabel Cronbachs Alpha


Budaya 0,843199
Komitmen 0,814280
Kompetensi 0,856201
Kompetensi * Komitmen 0,930517
Penerapan 0,938594
Tekanan 0,844621
Tekanan * Komitmen 0,911624
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Tabel 5.14 dan Tabel 5.15 menunjukkan bahwa semua variabel yang

digunakan pada penelitian ini memiliki composite reliability dan Cronbachs Alpha

lebih besar dari 0,7. Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel pada penelitian

ini memiliki reliabilitas yang baik.

5.5. Model Struktural (Inner Model)

Pengujian atau penilaian terhadap model struktural dilakukan dengan

melihat nilai R-square untuk konstruk dependen, Stone-Geisser Q-Square test

untuk predictive relevance dan uji t serta signifikansi dari koefisien parameter

jalur strukturalnya yang didapat lewat prosedur bootsraping. Hasil nilai R-square

untuk konstruk dependen yang diperoleh dari pengolahan PLS ditampilkan pada

Tabel 5.16

Tabel 5.16
Nilai R-Square
R Square
Budaya 0,560457
Komitmen
Kompetensi
Kompetensi * Komitmen
Penerapan 0,744441
Tekanan
Tekanan * Komitmen
Sumber: Data primer diolah, 2018.
115

Berdasarkan tabel 5.16 dapat diketahui R-square pada variabel budaya

organisasi sebesar 0,560 menunjukkan bahwa variabel tekanan peraturan dan

kompetensi memberikan kontribusi terhadap variabel budaya organisasi sebesar

56,04%, sedangkan sisanya yaitu 43,96% merupakan kontribusi dari variabel lain

yang tidak diteliti. R-square pada variabel penerapan akuntansi berbasis akrual

sebesar 0,744 menunjukkan bahwa variabel tekanan peraturan, kompetensi dan

budaya organisasi memberikan kontribusi terhadap variabel penerapan

akuntansi berbasis akrual sebesar 74,4%, sedangkan sisanya yaitu 25,6%

merupakan kontribusi dari variabel lain yang tidak diteliti.

Q-Square test untuk predictive relevance mengukur seberapa baik nilai

observasi dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya. Besaran Q2

memiliki nilai dengan rentang 0 < Q2 < 1, dimana semakin mendekati 1 berarti

model semakin baik. Nilai Q-Square dapat diperoleh melalui rumus:

Q2 = 1 – (1 – R12) (1 – R22)

Berdasarkan rumus tersebut maka nilai Q-Square pada penelitian ini

adalah:

Q2 = 1 – (1 – 0,560) (1 – 0,744)

= 0,888

Nilai Q-Square yang dihasilkan sebesar 0,888 menunjukkan bahwa model

penelitian ini sudah baik karena nilai Q-Square yang dihasilkan mendekati satu.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan metode resampling

Bootstrap yang dikembangkan oleh Geisser & Stone. Statistik uji yang digunakan

adalah uji t. Penerapan metode resampling memungkinkan berlakunya data

terdistribusi bebas (distribution free) tidak memerlukan asumsi distribusi normal,

serta tidak memerlukan sampel yang besar (direkomendasikan sampel minimum

30) (Ghozali, 2008).


116

Hubungan antara variabel sekaligus hasil pengujiannya disajikan pada

Gambar 5.1 dan Tabel 5.17.

Gambar 5.1
Diagram Jalur Model Struktural dalam PLS

5.6. Hasil Pengujian Pengaruh Langsung

Pengujian hipotesis dalam SEM-PLS dilakukan dengan menggunakan

resampling Bootstrap. Uji Statistik yang digunakan adalah uji-t dengan angka

kritis t-statistik lebih besar dari t-tabel (1,96) dengan tingkat signifikansi 0,05,

maka pengujian hipotesis diterima, sebaliknya t-statistik lebih kecil dari t-tabel

(1,96) pengujian hipotesis tidak diterima. Hasil analisis secara lengkap terdapat
117

dalam hasil analisis PLS. Berikut ini adalah tabel hasil pengujian pengaruh

langsung.

Tabel 5.17

Hasil Analisis Pengaruh Langsung


Variabel Variabel Koefisien Statistik
p-value Keterangan
Eksogen Endogen Jalur T
Tekanan Budaya 0,337 4,656 0,001 Didukung
Kompetensi Budaya 0,457 6,291 0,001 Didukung
Tekanan Penerapan 0,201 2,772 0,001 Didukung
Kompetensi Penerapan 0,296 4,355 0,001 Didukung
Budaya Penerapan 0,236 3,738 0,001 Didukung
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Berdasarkan tabel 5.17 dan gambar 5.1, maka dapat dijelaskan hasil

pengujian pengaruh langsung sebagai berikut :

1) Adanya pengaruh signifikan dan positif dari tekanan peraturan terhadap

budaya organisasi. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-statistik sebesar 4,656

(>1,96), p-value 0,001 (<0,05) dan dengan koefisien jalur sebesar 0,337.

2) Adanya pengaruh signifikan dan positif dari kompetensi terhadap budaya

organisasi. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-statistik sebesar 6,291 (>1,96), p-

value 0,001 (<0,05) dan dengan koefisien jalur sebesar 0,457.

3) Adanya pengaruh signifikan dan positif dari tekanan peraturan terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-statistik

sebesar 2,772 (>1,96), p-value 0,001 (<0,05) dan dengan koefisien jalur

sebesar 0,201.

4) Adanya pengaruh signifikan dan positif dari kompetensi terhadap penerapan

akuntansi berbasis akrual. Hal ini dibuktikan dengan nilai t-statistik sebesar

4,355 (>1,96), p-value 0,001 (<0,05) dan dengan koefisien jalur sebesar

0,296.
118

5) Adanya pengaruh signifikan dan positif dari budaya organisasi terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual . Hal ini dibuktikan dengan nilai t-statistik

sebesar 3,738 (>1,96), p-value 0,001 (<0,05) dan dengan koefisien jalur

sebesar 0,236.

5.7. Hasil Pengujian Pengaruh Tidak Langsung

Selain pengaruh langsung, ada pula pengaruh tidak langsung. Pengaruh

tidak langsung diperoleh dengan menggunakan Sobel Test dan perkalian

koefisien jalur pengaruh langsung. Hasil analisis pengaruh variabel tekanan dan

kompetensi melalui variabel budaya sebagai variabel mediasi, dilakukan

menggunakan Sobel Test. Uji Sobel digunakan untuk mengetahui apakah

hubungan yang melalui sebuah variabel mediasi secara signifikan mampu

menjadi mediator dalam hubungan tersebut.

Tabel 5.18
Hasil Sobel Test
Jalur A B SEA SEB p-value Keterangan
Tekanan – Budaya –
0,337 0,236 0,072 0,063 0,003 Didukung
Penerapan
Kompetensi – Budaya
0,457 0,236 0,073 0,063 0,001 Didukung
– Penerapan
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Tabel 5.19
Hasil Pengaruh Variabel Mediasi
Pengaruh Variabel Mediasi Koefisien Jalur
Sifat
Eksogen -> Mediasi -> Eksogen -> Keterangan
Eksogen Mediasi Endogen Mediasi
Mediasi Endogen Endogen
0,337 0,236 0,201
Tekanan Budaya Penerapan Partial Didukung
(signifikan) (signifikan) (signifikan)
0,457 0,236 0,296
Kompetensi Budaya Penerapan Partial Didukung
(signifikan) (signifikan) (signifikan)
Sumber: Data primer diolah, 2018.
119

Gambar 5.2
Hasil Mediasi Budaya Organisasi pada Pengaruh Tekanan Peraturan
Terhadap Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual

A: 0.337

B: 0.236

SEA: 0.072

SEB: 0.063

Calculate!

Sobel test statistic:2,92467546


One-tailed probability:0,00172408
Two-tailed probability:0,00344816

Gambar 5.3
Hasil Mediasi Budaya Organisasi pada Pengaruh Kompetensi Terhadap
Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual

A: 0.457

B: 0.236

SEA: 0.073

SEB: 0.063

Calculate!

Sobel test statistic:3,21448882


One-tailed probability:0.00065339
Two-tailed probability:0,00130677

Berdasarkan tabel 5.18, gambar 5.2 dan gambar 5.3, berikut ini akan

dijelaskan hasil Sobel Test dan penjelasannya.


120

1. Pada pengaruh tidak langsung tekanan peraturan terhadap penerapan

akuntansi berbasis akrual melalui budaya organisasi, nilai koefisien jalur

tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual adalah

0,337 dan nilai koefisien jalur budaya organisasi terhadap penerapan

akuntansi berbasis akrual adalah 0,236. Nilai SEa sebesar 0,072 dan nilai SEb

sebesar 0,063. Nilai Sobel Test statistic sebesar 2,924 (> 1,96) dan nilai p-

value sebesar 0,003. Dengan demikian, budaya organisasi adalah variabel

yang memediasi pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual.

2. Pada pengaruh tidak langsung kompetensi terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual melalui budaya organisasi, nilai koefisien jalur kompetensi

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual adalah 0,457 dan nilai

koefisien jalur budaya organisasi terhadap penerapan akuntansi berbasis

akrual adalah 0,236. Nilai SEa sebesar 0,073 dan nilai SEb sebesar 0,063.

Nilai Sobel Test statistic sebesar 3,214 (> 1,96) dan nilai p-value sebesar

0,001. Dengan demikian, budaya organisasi adalah variabel yang memediasi

pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual.

Tabel 5.20
Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung

Hubungan Variabel Pengaruh Langsung Pengaruh Tidak Langsung


Tekanan -> Budaya 0,337
Kompetensi -> Budaya 0,457
Tekanan -> Penerapan 0,201
Kompetensi ->Penerapan 0,296
Budaya -> Penerapan 0,236
Tekanan -> Penerapan melalui 0,201 (0,337)(0,236) = 0,079
Budaya
Kompetensi ->Penerapan 0,296 (0,457)(0,236) = 0,107
melalui budaya
Sumber: Data primer diolah, 2018.
121

5.8. Hasil Pengujian Sifat Mediasi

Berdasarkan uraian pengaruh variabel mediasi di atas, maka berikut ini

akan dijelaskan sifat mediasi, apakah berperan sebagai variabel mediasi

sempurna (complete mediation) atau sebagai mediasi parsial (partial mediation)

dan bukan sebagai variabel mediasi.

Gambar 5.4
Hasil Mediasi Budaya Organisasi pada Pengaruh Tekanan
PeraturanTerhadap Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual

Model tanpa mediasi

Tekanan Penerapan
Peraturan (X1) Akrual (Y3)

Model dengan mediasi

Budaya
Organisasi
(Y1)

Tekanan Penerapan
Peraturan (X1) Akrual (Y3)

Sumber : Data primer diolah, 2018

Mediasi budaya organisasi pada hubungan tekanan peraturan dan

penerapan akuntansi berbasis akrual. Berdasarkan hasil pengujian, tekanan

peraturan berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual, tekanan

peraturan berpengaruh terhadap budaya organisasi dan budaya organisasi

berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Sifat mediasi ini


122

adalah mediasi parsial (partial mediation). Dengan demikian, variabel budaya

organisasi memediasi parsial pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan

akuntansi berbasis akrual.

Gambar 5.5
Hasil Mediasi Budaya Organisasi pada Pengaruh Kompetensi Terhadap
Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual

Model tanpa mediasi

Kompetensi (X2) Penerapan


Akrual (Y3)

Model dengan mediasi

Budaya
Organisasi
(Y1)

Kompetensi (X2) Penerapan


Akrual (Y3)

Sumber : Data primer diolah, 2018

Mediasi budaya organisasi pada hubungan kompetensi dan penerapan

akuntansi berbasis akrual. Berdasarkan hasil pengujian, kompetensi

berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual, kompetensi

berpengaruh terhadap budaya organisasi dan budaya organisasi berpengaruh

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Sifat mediasi ini adalah mediasi

parsial (partial mediation). Dengan demikian, variabel budaya organisasi

memediasi parsial pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis

akrual.
123

5.9. Hasil Pengujian Pengaruh Variabel Moderasi

Tabel 5.21
Hasil Pengaruh Variabel Moderasi

Koefisien
Eksogen Moderator Endogen Statistik T Keterangan
Jalur
Tekanan Komitmen Penerapan 0,048 0,808 Tidak didukung
Kompetensi Komitmen Penerapan 0,090 1,312 Tidak didukung
Sumber: Data primer diolah, 2018.

Moderasi komitmen organisasi pada hubungan tekanan peraturan,

kompetensi dan penerapan akuntansi berbasis akrual. Berdasarkan hasil

pengujian, tekanan peraturan, kompetensi berpengaruh terhadap penerapan

akuntansi berbasis akrual, akan tetapi ketika dimoderasi oleh komitmen

organisasi terbukti tidak berpengaruh. Dengan demikian, variabel komitmen

organisasi tidak memperkuat pengaruh tekanan peraturan dan kompetensi

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Pengaruh moderasi bersifat

moderasi prediktif atau moderasi penjelas.

5.10. Ikthisar Pengujian Hipotesis

Penjabaran dari hasil pengujian hipotesis adalah sebagai berikut:

H1 : Tekanan Peraturan berpengaruh terhadap penerapan akuntansi


berbasis akrual

Berdasarkan tabel 5.17 dapat diketahui bahwa tekanan peraturan

berpengaruh positif terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual, dengan nilai

koefisien sebesar 0,201, nilai t-statistik sebesar 2,772 (>1,96) dan p-value 0,001

(<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya tekanan peraturan

meningkatkan penerapan akuntansi berbasis akrual. Dengan demikian, hipotesis

tekanan peraturan berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual

dapat diterima.
124

H2 : Kompetensi berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis


akrual

Berdasarkan tabel 5.17 dapat diketahui bahwa kompetensi berpengaruh

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual, dengan nilai koefisien sebesar

0,296, nilai t-statistik sebesar 4,355 (>1,96) dan p-value 0,001 (<0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa dengan kompetensi yang memadai meningkatkan

penerapan akuntansi berbasis akrual. Dengan demikian, hipotesis kompetensi

berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual dapat diterima.

H3 : Budaya organisasi berpengaruh terhadap penerapan akuntansi


berbasis akrual

Berdasarkan tabel 5.17 dapat diketahui bahwa budaya organisasi

berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual dengan nilai

koefisien sebesar 0,236, nilai t-statistik sebesar 3,738 (>1,96) dan p-value 0,001

(<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dengan terciptanya budaya organisasi yang

baik meningkatkan penerapan akuntansi berbasis akrual. Dengan demikian,

hipotesis budaya organisasi berpengaruh terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual dapat diterima.

H4 : Budaya organisasi memediasi pengaruh tekanan peraturan terhadap


penerapan akuntansi berbasis akrual

Berdasarkan tabel 5.17 dapat diketahui bahwa tekanan peraturan

berpengaruh positif terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual yang

dimediasi budaya organisasi dengan nilai koefisien sebesar 0,079, nilai Sobel

Test statistic sebesar 2,924 (>1,96) dan p-value 0,003 (<0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa apabila budaya organisasi meningkat, maka pengaruh

tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual akan


125

meningkat pula. Dengan demikian, hipotesis budaya organisasi memediasi

pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual

dapat diterima.

H5 : Budaya organisasi memediasi pengaruh kompetensi terhadap


penerapan akuntansi berbasis akrual

Berdasarkan tabel 5.17 dapat diketahui bahwa kompetensi berpengaruh

positif terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual yang dimediasi budaya

organisasi dengan nilai koefisien sebesar 0,107, nilai Sobel Test statistic sebesar

3,214 (> 1,96) dan p-value 0,001 (<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa apabila

budaya organisasi meningkat, maka pengaruh kompetensi terhadap penerapan

akuntansi berbasis akrual akan meningkat. Dengan demikian, hipotesis budaya

organisasi memediasi pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual dapat diterima.

H6 : Komitmen organisasi memperkuat pengaruh tekanan peraturan


terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual

Berdasarkan tabel 5.17 dapat diketahui bahwa komitmen organisasi tidak

memperkuat pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual, dengan nilai koefisien sebesar 0,048 dan nilai t-statistik sebesar

0,808 (<1,96). Dengan demikian, hipotesis komitmen organisasi memperkuat

pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual tidak

dapat diterima.

H7 : Komitmen organisasi memperkuat pengaruh kompetensi terhadap


penerapan akuntansi berbasis akrual

Berdasarkan tabel 5.17 dapat diketahui bahwa komitmen organisasi tidak

memperkuat pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis


126

akrual, dengan nilai koefisien sebesar 0,090 dan nilai t-statistik sebesar 1,312

(<1,96). Dengan demikian, hipotesis komitmen organisasi memperkuat pengaruh

kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual tidak dapat diterima.

5.11. Pembahasan

5.11.1. Pengaruh Tekanan Peraturan terhadap Penerapan Akuntansi


Berbasis Akrual

Hasil pengujian menunjukkan bahwa tekanan peraturan berpengaruh

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Hal ini berarti bahwa responden

menerapkan akuntansi berbasis akrual akibat adanya tekanan PP No 71 Tahun

2010. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa temuan mendukung hipotesis

pertama.

Temuan yang diperoleh mendukung teori institusional oleh Meyer dan

Rowan (1977) yang menyatakan bahwa organisasi mengalami perubahan

struktur dan perilaku kurang didorong oleh keinginan untuk meningkatkan

efisiensi atau menciptakan keunggulan kompetitif, melainkan oleh kebutuhan

legitimasi. Organisasi perangkat daerah di Maluku karena kebutuhan akan

legitimasi dipaksa untuk menerapkan peraturan tentang penerapan akuntansi

berbasis akrual. Sikap ini bukan didorong oleh kemauan dari dalam diri masing-

masing pegawai melainkan semata-mata karena tekanan yang diterima.

Kekuatan peraturan yang ada memaksa organisasi untuk menerapkan peraturan

tersebut.

Temuan ini memperkuat penelitian sebelumnya, yaitu Adhikari dan

Mellemvik (2011), Stamatiadis, et al. (2011), Yudi (2017). Penelitian yang

dilakukan di Nepal oleh Adhikari dan Mellemvik (2011) menyatakan bahwa

pemerintah Nepal mengalami tekanan akibat dipaksa (coercive pressure) oleh

lembaga donor internasional untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual,


127

walaupun pemerintah Nepal belum siap untuk menerapkannya. Hal ini

menyebabkan penerapan akuntansi berbasis akrual berjalan dengan sangat

lambat. Sejalan dengan itu, Stamatiadis, et al. (2011) dalam penelitiannya di

Yunani menemukan bukti adanya tekanan peraturan untuk menerapkan

akuntansi berbasis akrual. Selanjutnya Yudi (2016) yang meneliti penerapan

akuntansi akrual di pemerintah Kota Jambi mendapati penerapan akuntansi

berbasis akrual yang terjadi akibat adanya tekanan peraturan baik yang bersifat

eksternal maupun internal. Tekanan eksternal berupa tekanan paksaan (coercive

pressure) untuk melakukan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan

pemerintah, sementara tekanan internal berupa tekanan mimetic (mimetic

pressure), tekanan normatif (normatif pressure) untuk kebutuhan institusi dalam

melaksanakan peraturan dan kebijakan pemerintah seperti kuantitas dan kualitas

SDM yang baik, sistem akuntansi yang memadai, dan struktur organisasi yang

tepat.

Wawancara secara personal dengan beberapa pimpinan OPD diperoleh

hasil bahwa mereka terpaksa menerapkan PP N0 71 Tahun 2010, walaupun

mereka menyadari bahwa keterbatasan yang mereka miliki dalam menerapkan

akuntansi berbasis akrual. Selain itu, pegawai ditingkat bawah juga mengeluhkan

hal yang sama yakni paksaan yang mereka terima untuk melakukan PP N0 71

Tahun 2010. Keterpaksaan yang mereka alami akibat adanya kekuasaan yang

lebih tinggi yang menekan mereka.

5.11.2. Pengaruh Kompetensi Terhadap Penerapan Akuntansi Berbasis


Akrual

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kompetensi berpengaruh terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual. Hal ini berarti seseorang yang mempunyai

kompetensi yang memadai dapat menerapkan akuntansi berbasis akrual dengan


128

baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa temuan ini mendukung hipotesis

kedua.

Temuan yang diperoleh mendukung teori Human Capital oleh Becker

(1964) yang menyatakan bahwa manusia bukan sekedar sumber daya namun

merupakan modal (capital). Organisasi perangkat daerah di Maluku mesti melihat

sumber daya manusia yang ada sebagai modal untuk mencapai tujuan

organisasi. Pimpinan organisasi perangkat daerah mesti memperhatikan

pendidikan dan pengalaman pegawai dalam menerapkan akuntansi berbasis

akrual. Seringkali aparat pemerintah yang menduduki jabatan-jabatan strategis

pada bagian keuangan justru berlatar belakang pendidikan non keuangan.

Mereka juga belum memiliki pengalaman yang memadai. Pendidikan dan

pengalaman harus ditunjang dengan pelatihan-pelatihan.

Temuan ini memperkuat penelitian sebelumnya, yaitu Ouda (2004), Saleh

dan Pendlebury (2006), Oluseyi (2010), Tickell (2010), (Tikk, 2010), Stefanescu

dan Turlea (2011), Stamatiadis, et al (2011) yang menyatakan bahwa

kompetensi yang diperoleh lewat pendidikan, pengalaman, dan pelatihan

berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Saleh dan

Pendlebury (2006) menyoroti lemahnya kompetensi sumber daya manusia

khusus tenaga akuntan sektor publik di Malaysia. Hal ini menjadi penyebab

utama lambatnya penerapan akuntansi berbasis akrual secara maksimal. Oluseyi

(2010) melakukan penelitian di Inggris dan New Zealand menjelaskan

pentingnya kompetensi dari para birokrat dan akuntan pemerintah dalam

penerapan akuntansi berbasis akrual.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Inspektorat di Kabupaten

Buru Selatan diperoleh informasi bahwa pendidikan menjadi masalah utama

pengelolaan keuangan. Selain itu, karena Kabupaten Buru Selatan masih relatif

baru sehingga pengalaman tenaga keuangan masih minim. Beberapa pegawai


129

yang diwawancarai mengeluhkan kurangnya mereka diikutsertakan dalam

pelatihan-pelatihan penerapan akuntansi berbasis akrual. Hal ini berbeda dengan

OPD pada pemerintah Provinsi Maluku dan kota Ambon yang pegawainya sudah

memiliki pendidikan yang baik serta pengalaman yang cukup. Selain itu,

seringnya para pegawai diikutsertakan dalam pelatihan-pelatihan sehingga

penerapan akuntansi berbasis akrual berjalan dengan baik.

Pentingnya kebutuhan akan pengetahuan aparat pemerintah terhadap

akuntansi berbasis akrual menyebabkan pelatihan-pelatihan terkait akuntansi

berbasis akrual menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Organisasi perangkat

daerah perlu mengikutsertakan aparat yang ada dalam pelatihan-pelatihan

akuntansi akrual secara kontinu.

5.11.3. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Penerapan Akuntansi Akrual

Hasil pengujian menunjukkan bahwa budaya organisasi berpengaruh

terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Hal ini berarti penerapan

akuntansi berbasis akrual dapat berlangsung dengan sukses bila didukung oleh

iklim budaya organisasi yang baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

temuan ini mendukung hipotesis ketiga.

Temuan ini memperkuat penelitian sebelumnya yaitu Ouda (2004), Jorge

et al (2007), Pessina dan Steccolini (2007) yang menyatakan bahwa budaya

organisasi berpengaruh terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Jorge et

al (2007) dalam penelitiannya di Portugal menjelaskan bahwa penerapan

akuntansi akrual mengalami guncangan budaya. Hal ini disebabkan karena

pemerintah Portugal khusus para pegawai organisasi pemerintah tidak terbiasa

dengan sistem akuntansi akrual yang masih merupakan sistem yang baru.

Pemerintah Portugal masih terbiasa dengan budaya organisasi yang lama

sehingga menyulitkan penerapan akuntansi berbasis akrual. Selain itu, Pessina


130

dan Steccolini (2007) dalam penelitiannya di Italia menemukan bukti empiris

bahwa kuatnya tradisi dalam budaya pemerintah serta kurangnya partisipasi aktif

dari para personel pemerintah dalam proses reformasi menuju akrual

menghambat penerapan akuntansi berbasis akrual.

Berdasarkan hasil pengujian deskripsi variabel budaya organisasi terlihat

nilai rata-rata jawaban dari responden dan nilai loading factor adalah baik. Hal ini

membuktikan bahwa pimpinan dan bawahan dapat bekerjasama dan

berkoordinasi dengan baik. Pimpinan selalu mendorong bawahan untuk

mengembangkan diri melalui pelatihan-pelatihan yang terkait akuntansi berbasis

akrual. Selain itu, perubahan-perubahan yang terjadi diantisipasi dengan bijak

sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.

Budaya organisasi dapat dikatakan sudah cukup baik walaupun masih

perlu ditingkatkan lagi. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa Kepala

Dinas di Kota Ambon, diperoleh informasi bahwa mereka selalu berkoordinasi

dengan stafnya untuk bagaimana dapat meningkatkan kemampuan mereka

khususnya dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual.

5.11.4. Pengaruh Tekanan Peraturan Terhadap Penerapan Akuntansi


Berbasis Akrual Dimediasi Budaya Organisasi

Hasil pengujian menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat memediasi

pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Hal

ini berarti meningkatnya tekanan peraturan dapat meningkatkan penerapan

akuntansi berbasis akrual dengan dipicu iklim budaya organisasi yang semakin

baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa temuan ini mendukung hipotesis

keempat.
131

Hasil penelitian membuktikan pengujian secara langsung pengaruh

tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual signifikan,

pengaruh tekanan peraturan terhadap budaya organisasi dan pengaruh budaya

organisasi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual juga signifikan maka

pengaruh mediasi yang terjadi adalah mediasi parsial.

Temuan ini mendukung teori kontinjensi, pendekatan teori kontinjensi

dengan tipe kongruen (congruence type) (Gerdin dan Greve, 2008) digunakan

untuk menjelaskan bahwa kesesuaian kontinjensi akan dianalisis dengan

menempatkan faktor-faktor kontinjensi baik sebagai variabel mediator maupun

moderator. Budaya organisasi sebagai faktor kontinjensi digunakan sebagai

variabel mediator.

Temuan ini mendukung penelitian Ouda (2004), Jorge et al (2007), Pessina

dan Steccolini (2007). Budaya organisasi dalam Pemerintahan Portugal

berpengaruh besar dalam penerapan akuntansi akrual (Jorge, 2007). Selain itu,

pengaruh budaya organisasi juga sangat terasa dalam penerapan akuntansi

akrual di Italy (Pessina dan Steccolini, 2007).

Peran budaya birokrasi dalam organisasi perangkat daerah di Maluku

cukup sangat tinggi. Hal ini terlihat ketika pimpinan memaksa bawahan untuk

menerapkan PP No 71 Tahun 2010. Sebagai bawahan, paksaan tersebut harus

diikuti mengingat kekuasaan yang lebih besar dari pimpinan. Bawahan tidak

punya kekuatan untuk menolak perintah dari pimpinan. Pejabat birokrasi lebih

berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan. Struktur birokrasi yang

hierarkis mendorong adanya pemusatan kekuasaan dan wewenang pada atasan

sehingga pejabat birokrasi yang langsung berhubungan dengan para pengguna

jasa sering tidak memiliki wewenang yang memadai untuk merespons dinamika

yang berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan.


132

5.11.5. Pengaruh Kompetensi Terhadap Penerapan Akuntansi Berbasis


Akrual Dimediasi Budaya Organisasi

Hasil pengujian menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat memediasi

pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual. Hal ini

berarti meningkatnya kompetensi dapat meningkatkan penerapan akuntansi

berbasis akrual dengan dipicu iklim budaya organisasi yang semakin baik.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa temuan ini mendukung hipotesis

kelima.

Hasil penelitian membuktikan pengujian secara langsung pengaruh

kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual signifikan kemudian

pengaruh kompetensi terhadap budaya organisasi dan pengaruh budaya

organisasi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual juga signifikan maka

pengaruh mediasi yang terjadi adalah mediasi parsial.

Temuan ini mendukung teori kontinjensi, pendekatan teori kontinjensi

dengan tipe kongruen (congruence type) (Gerdin dan Greve, 2008) digunakan

untuk menjelaskan bahwa kesesuaian kontinjensi akan dianalisis dengan

menempatkan faktor-faktor kontinjensi baik sebagai variabel mediasi maupun

moderasi. Budaya organisasi sebagai faktor kontinjensi digunakan sebagai

variabel mediasi.

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa budaya organisasi perangkat

daerah di Provinsi Maluku telah tercipta dengan baik sehingga tujuan penerapan

akuntansi berbasis akrual dapat tercapai. Kompetensi memang sangat

diperlukan tetapi jika didukung oleh budaya organisasi yang baik maka tujuan

yang diinginkan tidak akan tercapai. Pembicaraan dengan beberapa Kepala

Dinas diperoleh informasi bahwa mereka berusaha menciptakan iklim budaya

organisasi yang baik karena menurut mereka sebaik apapun kompetensi yang

dimiliki jika tidak dibarengi budaya organisasi yang baik pula, maka tidak akan
133

tercapainya tujuan yang diinginkan. Hal ini membuktikan bahwa budaya

organisasi mampu menjembatani kompetensi aparatur Pemerintah Provinsi

Maluku dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual.

Berdasarkan hasil pengujian deskripsi terlihat nilai rata-rata jawaban dari

responden dan nilai loading factor adalah baik. Pimpinan dan bawahan terbukti

mampu bekerjasama dan berkoordinasi dengan baik. Kompetensi yang dimiliki

dimanfaatkan untuk menerapkan akuntansi akrual. Pimpinan selalu mendorong

bawahan meningkatkan kompetensi diri melalui pelatihan-pelatihan yang terkait

akuntansi berbasis akrual. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa budaya

organisasi menjadi faktor penting keberhasilan penerapan akuntansi berbasis

akrual.

5.11.6. Pengaruh Tekanan Peraturan Terhadap Penerapan Akuntansi


Berbasis Akrual yang Diperkuat Komitmen Organisasi

Hasil pengujian menunjukkan bahwa komitmen organisasi tidak dapat

memperkuat pengaruh tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual. Hal ini berarti peningkatan penerapan akuntansi berbasis akrual

akibat pengaruh tekanan peraturan tidak selalu semakin tinggi jika komitmen

setiap pegawai dalam organisasi rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa temuan ini tidak mendukung hipotesis keenam.

Hasil penelitian membuktikan pengujian secara langsung pengaruh

tekanan peraturan terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual signifikan

kemudian pengaruh komitmen organisasi terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual signifikan akan tetapi pengaruh tekanan peraturan terhadap

penerapan akuntansi berbasis akrual yang diperkuat komitmen organisasi tidak

signifikan maka pengaruh moderasi yang terjadi adalah moderasi prediktor atau

moderasi penjelas.
134

Temuan ini tidak sesuai dengan teori kontinjensi yang menyatakan faktor

kontekstual komitmen organisasi menjadi variabel moderasi. Selain itu, temuan

ini juga tidak mendukung penelitian-penelitian sebelumnya seperti Scott et al

(2003), Ouda (2004), Lye et al (2005), Ellwood dan Newberry (2007), Ahmad

(2016).

Berdasarkan distribusi jawaban responden diketahui jawaban untuk

variabel komitmen organisasi memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan

dengan jawaban responden variabel lainnya. Penerapan akuntansi berbasis

akrual di Provinsi Maluku mengalami kendala terkait komitmen yang dimiliki.

Banyak pegawai yang bekerja tidak dengan sepenuh hati. Penerapan akuntansi

berbasis akrual yang terjadi hanya karena adanya tekanan untuk menerapkan

PP No 71 Tahun 2010. Hasil wawancara dengan beberapa Kepala Dinas di Kota

Ambon diperoleh informasi bahwa sejak keluarnya PP No 71 Tahun 2010,

mereka berusaha menekan para pegawai untuk menerapkan akuntansi berbasis

akrual atau dengan kata lain pegawai menerapkan akuntansi berbasis akrual

bukan karena komitmen dalam diri melainkan karena tekanan peraturan.’

5.11.7. Pengaruh Kompetensi Terhadap Penerapan Akuntansi Berbasis


Akrual yang Diperkuat Komitmen Organisasi

Hasil pengujian menunjukkan bahwa komitmen organisasi tidak dapat

memperkuat pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis

akrual. Hal ini berarti peningkatan penerapan akuntansi berbasis akrual akibat

pengaruh kompetensi tidak selalu semakin tinggi jika komitmen setiap pegawai

dalam organisasi rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa temuan ini

tidak mendukung hipotesis ketujuh.

Hasil penelitian membuktikan pengujian secara langsung pengaruh

kompetensi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual signifikan kemudian


135

pengaruh komitmen organisasi terhadap penerapan akuntansi berbasis akrual

signifikan akan tetapi pengaruh kompetensi terhadap penerapan akuntansi

berbasis akrual yang diperkuat komitmen organisasi tidak signifikan maka

pengaruh moderasi yang terjadi adalah moderasi prediktor atau moderasi

penjelas.

Temuan tidak mendukung teori kontinjensi yang menjelaskan bahwa

komitmen organisasi sebagai faktor kontinjensi yang memperkuat suatu

hubungan. Selain itu, temuan ini juga tidak mendukung penelitian-penelitian

sebelumnya yakni Scott et al (2003), Ouda (2004), Lye et al (2005), Ellwood dan

Newberry (2007), Ahmad (2016). Manajemen puncak dengan komitmen

organisasi yang tinggi terbukti memiliki pengaruh penting terhadap bawahan

dalam penerapan akuntansi akrual pada pemerintah Malaysia (Ahmad 2016).

Berdasarkan distribusi jawaban responden diketahui jawaban untuk

variabel komitmen organisasi memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan

dengan jawaban responden variabel lainnya. Hal tersebut dikarenakan pimpinan

dan bawahan dalam organisasi belum memiliki komitmen yang kuat untuk

bekerja maksimal. Walaupun organisasi telah memiliki sumber daya manusia

dengan kompetensi yang memadai namun kurang ada komitmen dalam diri

masing-masing pegawai. Berdasarkan hasil wawancara dengan pimpinan salah

satu organisasi perangkat daerah di kabupaten Maluku Tengah diperoleh

informasi kompetensi yang dimiliki sudah cukup memadai dari para pegawai. Ini

dapat terlihat dengan kualifikasi pendidikan dan pelatihan-pelatihan yang sudah

sering diikuti, namun karena sikap yang tidak serius dalam menjalankan tugas

membuat penerapan akuntansi berbasis akrual berjalan lambat.

Anda mungkin juga menyukai