Anda di halaman 1dari 31

KETIDAKADILAN GENDER DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

KEPENDUDUKAN PADA PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI


STUDI DI KAMPUNG KB, KOTA BATU

Asmaul Khusnah

(eclairvanila@gmail.com / NIM: 201810270211006)

Assc. Dr. Vina Salviana Darvina Soedarwo, M.Si


(vina@umm.ac.id / NIDN: 0721036201)

Assc. Dr. Achmad Habib, M.A


(habib@umm.ac.id / NIDN: 0027124901)

Program Studi Magister Sosiologi


Universitas Muhammadiyah Malang

ABSTRAK

Dalam masyarakat Jawa, berkembang ungkapan “suarga nunut, neraka katut”,


karena di Jawa perempuan menempati posisi subordinat. Nasib istri bergantung pada
suami, maka peran istri dibatasi pada tugas-tugas domestik, seperti ungkapan Jawa
bahwa tugas istri hanyalah “macak, masak, manak”. Peran ini dianggap sebagai suatu hal
yang ideal bagi seorang istri, dan paradigma tersebut masih berakar kuat pada
masyarakat Jawa hingga saat ini, meskipun penolakan-penolakan pada paradigma
tersebut terus berlangsung seiring dengan gerakan emansipasi wanita. Di Indonesia,
khususnya di Jawa menganut hegemoni patriarki, dimana kekuasaan dalam keluarga
dipegang dan dikendalikan oleh seorang laki-laki atau ayah.

Pada dewasa ini dalam sistem patriarki masih banyak ditemui di keluarga-
keluarga yang ada di Jawa, salah satunya di Kampung KB batu. Contoh dari dominasi
laki-laki dalam pengunaan alat kontrasepsi membuat perempuan tidak punya banyak
pilihan akan tubuhnya. Sebagaimana diketahui bahwa pemenuhan hak-hak dasar
kesehatan reproduksi meliputi hak-hak dasar baik pada pasangan maupun individu dalam
memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab terkait permasalahan untuk jumlah,
jarak, maupun waktu memiliki anak. Hal ini berlaku pada setiap orang, baik laki-laki
ataupun perempuan. Demi tercapainya kesehatan reproduksi yang ideal, maka kesehatan
reproduksi harus didukung dengan diakuinya hak-hak reproduksi, dimana keduanya
berhak untuk mendapatkan informasi serta pelayanan kesehatan reproduksi yang
berkualitas, termasuk akses informasi mengenai cara-cara berkontrasepsi, atau metode-
metode pengaturan kontrasepsi yang aman, efektif, terjangkau, serta dapat diterima
sesuai dengan masing-masing sehingga tudak ada paksaan untuk menggunakan alat
kontrasepsi. Dan hak untuk memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang tepat,
memungkinkan perempuan bisa selamat menjalani kehamilan maupun melahirkan anak
yang sehat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketidaksetaraan gender ini


berdampak pada kehidupa perempuan dan bagaimana dominasi patriarki masih kuat
dalam masyarakat Kampung KB di Batu dan mengkaji permasalahan mengenai
ketidakadilan gender dalam penerapan kebijakan kependudukan pada penggunaan alat
kontrasepsi yang ada di Kampung KB Batu. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
institusi masyarat seperti KUA juga menanamkan ideologi patriarki agar para perempuan
selaluh pada suami dalam situasi apapun, dan itu bertolak belakang dengan tujuan dari
BKKBN untuk sosialisasi mengenai KB kepada laki-laki.
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Sistem patriarki dalam gender, merupakan sistem yang menempatkan kekuasaan
laki-laki atas perempuan dalam segala aspek kehidupan. Pola sistem patriarki secara
tradisional, menempatkan istri sebagai pihak yang mengurusi urusan pekerjaan domestik,
seperti masalah dalam lingkup rumah, dan menempatkan suami sebagai pihak yang
mengurusi urusan publik (Fakih, 2008). Fakih (2008) mengatakan bahwa didalam sebuah
sistem keluarga (rumah tangga), perempuan sebagai istri, memberikan semua pelayanan
kepada suami, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya. Sedangkan diluar dari rumah
tangga, aktifitas maupun peran publik perempuan dibatasi dan dikendalikan oleh laki-
laki sebagai suami.
Meskipun program kependudukan sudah berubah sejak adanya reformasi, dari
yang awalnya GID (Gender in Development) dimana perempuan menjadi objek dari
kebijakan pembangunan yaitu sebagai pengguna alat kontrasepsi, berubah menjadi GAD
(Gender and Development) setelah adanya reformasi, dimana laki-laki maupun
perempuan sama-sama menjadi objek dari kebijakan pembangunan. Namun,
implementasinya, hingga saat ini perempuan masih menjadi objek dalam program
kependudukan. Hal ini dilihat dari banyak alat kontrasepsi yang beredar dimasyarakat,
lebih ditujukan kepada perempuan daripada alat kontrasepsi bagi laki-laki. Disamping
sebagai pemilik organ reproduksi (hamil dan melahirkan), perempuan juga diharuskan
untuk menggunakan alat kontrasepsi. Disini, perempuan memiliki beban ganda yaitu
beban produktif dan reproduktif dibandingkan dengan laki-laki. Keadaan inilah yang
menimbulkan kompleksitas permasalahan perempuan yang terkati dengan fungsi
reproduksinya, baik yang bersifat psikis, fisik, maupun sosial.
Selaras dengan salah satu misi dari BKKBN yaitu untuk meningkatkan upaya
pemberdayaan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam
pelaksanaan program KB Nasional. Namun, untuk mewujudkan misi tersebut, BKKBN
terhalang oleh rendahnya keikutsertaan laki-laki dalam penggunaan alat kontrasepsi
terutama pada penggunaan vasektomi (BKKBN, 2018). Berdasarkan dengan observasi
lapangan yang dilakukan oleh peneliti di Kampung KB Dusun Torongrejo, rendahnya
keikutsertaan laki-laki dalam penggunaan KB dikarenakan kekhawatiran laki-laki akan
menurunnya kemampuan seksual dan kemampuan fungsi laki-laki akan terganggu pasca
melakukan vasektomi. Sebab, masyarakat baik laki-laki maupun perempuan di Kampung
KB Dusun Torongrejo masih belum dapat membedakan antara vasektomi dengan kebiri,
yang pada akhirnya menimbulkan anggapan-anggapan bahwa melakukan vasektomi
dapat menghilangkan nafsu seksualitas dari pihak laki-laki.
Seperti yang telah disampaikan diatas, terdapat salah satu dusun yang oleh
BKKBN Batu, dijadikan sebagai Kampung KB, yaitu terletak di Dusun Torongrejo,
Kecamatan Junrejo, Kota Batu. Di Kampung KB terdapat sekitar 100 KK dengan
mayoritas tiap kelurga rata-rata memiliki 3 anak. Berdasarkan dari hasil observasi yang
dilakukan oleh peneliti, hampir tidak ada laki-laki atau suami yang melakukan KB. Hal
ini dikarenakan, banyaknya anggapan-anggapan negatif yang beredar dimasyarakat
tentang laki-laki yang melakukan vasektomi. Dengan beredarnya anggapan-anggapan
tersebut, menjadikan laki-laki di Kampung KB enggan mengikuti program yang sudah
digagas dan dibentuk oleh pemerintah, meskipun dari instalasi kesehatan terdekat sudah
menyediakan KB bagi laki-laki.
Kurangnya pengetahuan laki-laki terhadap vasektomi, rendahnya partisipasi
laki-laki di Kampung KB juga dikarenakan anggapan bahwa KB hanya dilakukan oleh
pihak perempuan saja. Masyarakat Kampung KB terutama laki-laki mengutamakan
istrinya untuk melakukan KB sebab mereka memiliki pemikiran bahwa hanya
perempuan yang bisa hamil dan melahirkan bukan laki-laki, sehingga yang perlu di KB
hanya perempuan saja. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi minimnya laki-laki
yang berpartisipasi dalam KB di Kampung KB adalah tidak adanya pengetahuan tentang
vasektomi bagi laki-laki dan kurangnya sosialisasi dari pihak BKKBN tentang
bagaimana vasektomi tersebut, sehingga mereka khawatir akan efek-efek yang
ditimbulkan apabila mereka memutuskan untuk menggunakan vasektomi.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas tentang pelaksanaan program KB yang
dicanangkan oleh pemerintah guna menekan laju pertumbuhan jumlah penduduk, yang
seiring dengan berjalannya program tersebut, masih banyak dari pihak laki-laki yang
belum melakukan program tersebut dikarenakan adanya sistem patriarki yang
mendominasi, sehingga menimbulkan ketidakadilan gender. Maka dari itu, peneliti
tertarik untuk mengkaji permasalahan mengenai ketidakadilan gender dalam penerapan
kebijakan kependudukan pada penggunaan alat kontrasepsi.
Tinjauan Pustaka dan Kajian Teoritik
2.1 Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini, peneliti akan menjelaskan mengenai beberapa karya ilmiah
terdahulu yang dianggap berkaitan dengan apa yang akan peneliti kaji ini. Karya ilmiah
memang sengaja dijadikan sebagai rujukan atau referensi dalam penulisan laporan ini.
Kajian empiris kali ini diambil dari karya ilmiah yang mengandung beberapa unsur yang
sama dengan penelitian. Penelitian terdahulu tidak hanya di gunakan sebagai pembanding
antara penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan penelitian yang sedang
dilakukan saat ini oleh penulis. Akan tetapi penelitian terdahulu ini bertujuan untuk
mengetahui posisi penelitian yang akan di teliti di antara penilitian yang telah di lakukan
sebelumnya.

Penelitian pertama adalah jurnal internasional dengan judul “Remobilizing the


Gender and Fertility Connection: The Case for Examining the Impact of Fertility Control
and Fertility Declines On Gender Equality” yang ditulis oleh Anju Malhotra, tahun 2012
(Malhotra, 2012). Didalam jurnal ini dibahas ada 4 kondisi yang cenderung menentukan
sejauh mana sistem gender tersebut dapat diubah, yaitu motivasi untuk menaklukkan
perempuan menurun karena melahirkan anak dinilai sebagai hal yang rendah, seksualitas
dibedakan dari prokreasi, perempuan mengalokasikan lebih sedikit waktunya untuk
melahirkan dan mengasuh anak, serta yang terakhir adalah kontrasepsi memberikan
kesempatan bagi perempuan untuk menyeimbangkan tujuan reproduksi maupun non-
reproduksi.

Jurnal ini dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan metodelogi
penelitian, dimana pada jurnal ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan
melakukan observasi dan wawancara mendalam. Penelitian ini berfokus pada implikasi
transformatif dan positif yang terjadi dari pergeseran demografis dalam hubungan gender.
Hasil penelitiannya membahas bahwa kaum feminis mengatakan bila kesejahteraan
perempuan, hak-hak reproduksi, kontrol kelahiran, dan pemberdayaan perempuan,
merupakan inti dari advokasi kebijakan dibidang kependudukan. Berbeda dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan, fokus penelitian Malhotra implikasinya adalah
terhadap penurunan kesuburan, dimana penurunan tersebut malah menjadi sarana penting
untuk melanjutkan kesetaraan gender dan untuk mengatasi tantangan kebijakan di abad
ke-21. Fokus penelitian yang akan dilakukan kali ini adalah pada ketidakadilan gender
yang terjadi akibat penggunaan alat kontrasepsi yang hanya dilakukan oleh pihak
perempuan saja.

Penelitan kedua adalah jurnal internasional dengan judul “Health Care Decision
Making Autonomy of Women from Rural Districts of Southern Ethiopia: A Community
Based Cross-Sectional Study”, yang ditulis oleh Mihiteru Almaheyu dan Mengistu
Meskele, tahun 2017. Jurnal ini, menjelaskan tentang banyaknya perempuan di Afrika
yang memiliki sedikit otonomi untuk mengambil keputusan dalam hidupnya karena
adanya norma maupun aturan di budaya dan sukunya. Wanita Afrika memiliki sedikit
partisipasi dalam keputusan perawatan kesehatan. Namun, sedikit yang telah diselidiki
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap otonomi pengambilan
keputusan. Otonomi perempuan dalam pengambilan keputusan perawatan kesehatan
sangat penting untuk meningkatkan hasil kesehatan ibu dan anak, serta memberdayakan
perempuan (Almaheyu, Mihiteru & Meskele, 2017).

Penelitian tersebut mengatakan bahwa konferensi Internasional PBB tentang


Kependudukan dan Pembangunan 1994, secara luas menegaskan bahwa peningkatan
kesetaraan gender di antara keluarga merupakan syarat untuk mencapai kemajuan dalam
segala hal. Bukti yang ada dari negara-negara berkembang justru menunjukkan bahwa
otonomi perempuan adalah faktor yang berkontribusi besar dalam pemanfaatan pelayanan
kesehatan ibu. Perempuan dengan kebebasan bergerak yang lebih besar lebih mungkin
untuk menerima dan memanfaatkan layanan perawatan sebelum melahirkan dan
persalinan. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi perempuan sama pentingnya dengan
tingkat pendidikan dan ekonomi. Di negara-negara Afrika, telah menunjukkan bahwa
perempuan dengan otonomi yang lebih rendah dalam pengambilan keputusan rumah
tangga berisiko lebih tinggi mengalami kekurangan gizi. Selain itu, juga dinyatakan
bahwa otonomi perempuan merupakan faktor penentu yang paling penting untuk
kelangsungan hidup anak dan kesehatan anak.

Pada penelitian ini juga ditunjukkan bahwa otonomi perempuan yang lebih tinggi
memberikan banyak manfaat, termasuk pengurangan kesuburan total, tingkat
kelangsungan hidup anak yang lebih tinggi, dan alokasi sumber daya yang mendukung
anak-anak didalam rumah tangga, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan,
perempuan tidak memiliki otonomi untuk mengatur keputusan perawatan kesehatan.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu dari segi metodologi
penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan desain dan bidang
studi, teknik pengambilan sampel dan ukuran sampel, instrumen dan alat pengumpulan
data, manajemen dan analisis data, serta kontrol kualitas data.

Penelitian ketiga adalah jurnal ilmiah yang ditulis oleh Sutinah pada tahun 2017,
yang berjudul “Partisipasi Laki-laki di Program Keluarga Berencana di Era Masyarakat
Postmodern”. Permasalahan dalam jurnal ini dilatarbelakangi oleh rendahnya laki-laki
yang menjadi akseptor KB meskipun program ini sudah diadakan sejak tahun 1970-an.
Salah satu upaya yang dikembangkan pemerintah di era postmodern guna meningkatkan
efektivitas pelaksanaan program Keluarga Berencana adalah dengan melibatkan juga
mendorong peran aktif kaum laki-laki dalam mengatur kehamilan demi kesejahteraan
keluarganya. Keterlibatan laki-laki dalam KB bukan hanya sebagai peserta KB pasif yang
mendukung pasangan menggunakan alat kontrasepsi tertentu, namun diharapkan laki-laki
juga ikut berperan dalam kesehatan reproduksi, diantaranya adalah dengan membantu
mempertahankan juga meningkatkan kesehatan ibu hamil, merencanakan persalinan aman
oleh tenaga medis, membantu perawatan ibu pasca melahirkan, menghindari kekerasan
seksual terhadap perempuan, serta tidak bias gender dalam menafsirkan kaidah agama,
termasuk dalam penggunaan alat kontrasepsi bagi laki-laki. (Sutinah, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Sutinah ini berfokus pada penerapan program
Keluarga Berencana yang dilakukan oleh laki-laki dengan menggunakan metode
penelitian campuran yaitu penelitian survey dan studi kualitatif yang mendalam.
Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berfokus pada ketimpangan
gender dalam penggunaan KB di Kampung KB dengan menggunakan metode kualitatif.

Penelitian selanjutnya adalah jurnal nasional yang ditulis oleh Daniel Susilo dan
Abdul Kodir pada tahun 2016 dengan judul “Politik Tubuh Perempuan: Bumi, Kuasa, dan
Perlawanan”. Dalam jurnal ini, membahas tentang upaya politisasi tubuh perempuan,
yaitu pengendalian atas seksualitas perempuan (Susilo, Daniel & Kodir, 2016).

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan politisasi tubuh perempuan dengan


adanya kekuasaan terhadap tubuh perempuan melalui kebijakan reproduksi. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu dengan wawancara mendalam dan kajian
literatur. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa tubuh menjadi suatu entitas tunggal pada
setiap eksistensi manusia, yang berarti sosok tubuh tidak hanya dimaknai sebagai wujud
fisik pada setiap manusia. Hal ini berarti bahwa tubuh tidak hanya dikenali melalui
bentuk tubuh yang dapat kita kenali melalui warna kulit, bentuk badan, dan lain
sebagainya. Tubuh menjadi subyek yang mewakili rasio, pengalaman, pengetahuan, dan
kesadaran. Tubuh kini tidak lagi hanya hadir dalam bentuk subyek, melainkan menjadi
obyek bagi rezim pengetahuan ataupun kekuasaan sekalipun. Obyek sendiri dimaknai
bahwa tubuh perempuan menjadi ranah yang sangat eksploitatif. Dari perspektif wancana
kekuasaan Foucault misalnya, tubuh perempuan menjadi obyek para rezim penguasa
untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pengendalian tersebut tidak dilakukan
dengan represifitas negara akan tetapi melalui kontrol atau pengendalian dan normalisasi.
Sedangkan perspektif ekofeminisme menilai bahwa bumi dianggap sebagai tubuh
perempuan yang keduanya juga mengalami kerentanan.

Sedangkan dalam penelitian yang penulis lakukan dengan judul “Ketidakadilan


Gender dalam Implementasi Program KB dalam pemakaian Alat Kontrasepsi Studi di
Kampung KB, Kota Batu” berfokus pada analisis ketimpangan gender yang terjadi pada
mayarakat Desa Temas atas program Keluarga Berencana (KB) yang dilakukan sebatas
oleh pihak perempuan saja. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai para istri yang
menggunakan alat kontrasepsi dan para suami yang menolak untuk menggunakan alat
kontrasepsi, sehingga menimbulkan ketimpangan gender atas kebijakan kependudukan
yang diagendakan oleh negara. Di Desa Temas sendiri, merupakan salah satu kawasan
yang mayoritas kaum istri menggunakan alat kontrasepsi. Objek penelitian kali ini adalah
para pasangan suami-istri yang salah satunya menggunakan KB, Dinas Kependudukan,
Dinas Kesehatan, dan jugadari pihak-pihak seperti bidan desa, dokter kandungan, serta
pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan penerapan KB di Desa Temas.
Perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah penelitian ini dilakukan di
wilayah kampung KB di Kota Batu, yang dimana daerah ini diprogramkan oleh
pemerintah untuk mengatasi masalah kependudukan dan diharapkan masyarakat agar
lebih teredukasi soal program keluarga berencana, dan dari penelitian sebelumnya masih
belum ada wilayah khusus yang digunakan untuk menjalankan program pemerintah yang
tujuannya hampir serupa.

2.2 Kerangka Teori dan Defenisi Konsep


2.2.1 Gender
Kata gender dalam istilah Indonesia sebenarnya diambil dari bahasa Inggris
yaitu “gender” yang mana artinya tidak dapat dibedakan secara jelas mengenai seks dan
gender. Banyak masyarakat yang mengidentikan gender dengan seks. Untuk memahami
konsep gender, harus dapat dibedakan terlebih dahulu mengenai arti kata seks dan
gender itu sendiri. Pengertian dari kata seks sendiri adalah suatu pembagian jenis
kelamin ke dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan, di mana setiap jenis kelamin
tersebut memiliki ciri-ciri fisik yang melekat pada setiap individu, di mana masing-
masing ciri tersebut tidak dapat digantikan atau dipertukarkan satu sama lain.
Ketentuan- ketentuan tersebut sudah merupakan kodrat atau ketentuan dari Tuhan
(Mansour, 2010).

Konsep gender juga termasuk ciri dan karakteristik yang diciptakan oleh
keluarga, ataupun masyarakat setempat sesuai nilai nilai budaya yang dianut oleh
masyarakat tersebut. Misalnya pada umumnya pekerjaan memasak, mencuci atau
mengasuh anak adalah pekerjaan perempuan disatu masyarakat tertentu, tetapi tidak
demikian di masyarakat yang lain. Perempuan dikenal lemah lembut, emosional
sedangkan laki laki dikenal perkasa, kuat dan sangat rasional atau dikenal istilah
feminin dan maskulin.

2.2.2 Ketidakadilan Gender


Engels menjelaskan ada empat yang menandai teori ketidakadilan gender, yaitu
pertama, laki-laki dan wanita diletakkan dalam masyarakat tak hanya secara berbeda,
namun juga timpang. Secara spesifik, wanita memperoleh sumberdaya material, status
sosial, kekuasaan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri lebih sedikit daripada
yang diperolah laki-laki yang membagi posisi sosial mereka berdasarkan kelas, ras,
pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan, atau berdasarkan faktor sosial lainnya.
Kedua, ketimpangan ini berasal dari organisasi masyarakat, bukan dari perbedaan
biologis atau kepribadian penting antara laki-laki dan wanita. Ketiga, tidak ada pola
perbedaan alamiah signifikan yang membedakan antara laki-laki dan wanita. Keempat,
semua teori ketimpangan menganggap laki-laki maupun wanita akan menanggapi situasi
dan struktur sosial yang semakin mengarah ke persamaan derajat (egalitarian) dengan
mudah dan secara alamiah (Ritzer, 2014).

2.2.3 Sistem Patriarki


Masyarakat memandang perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
sebagai status yang tidak setara, inilah awal dari pembentukan budaya patriarki. Tubuh
biologis perempuan yang tidak memiliki otot adalah alasan mengapa masyarakat dalam
budaya patriarki meletakkan perempuan di posisi lemah. Namun, muscular weakness
tidak dapat digunakan sebagai alasan mengapa perempuan diletakkan dalam posisi
lemah dan laki-laki diletakkan dalam posisi kuat karena tubuh biologisnya memilliki
otot (Miller, 2005).

Menurut Miller, keluarga merupakan sebuah landasan dasar dalam pembentukan


budaya patriarki, dimana ideologi patriarki terpelihara dengan baik dalam keluarga
tradisional maupun keluarga modern. Setiap anggota keluarga, didorong untuk berpikir
dan berperilaku sesuai dengan aturan budaya patriarki dalam masyarakat. Idelogi
patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Perilaku
yang diajarkan kepada anak dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-
laki dan perempuan.

Ideologi patriarki disosialisasikan kedalam tiga kategori, yang pertama yaituu


temprament. Temprament merupakan komponen psikologi yang mengelompokkan
kepribadian seseorang berdasarkan kepada kebutuhan serta nilai-nilai dari kelompok
yang dominan. Hal ini berpengaruh kepada pemberian steorotip laki-laki dan
perempuan, seperti steorotipe kuat, cerdas, dan agresif adalah sifat yang melekat pda
laki-laki. Sedangkan steorotip perempuan lebih kepada sifat yang berlainan dengan sifat
laki-laki, seperti bodoh, tunduk, dan pasif. Kategori kedua adalah sex role, yaitu
komponen sosiologis yang membedakan tingkah laku dan sikap pada kedua jenis
kelamin. Sehingga, terjadi steorotip bahwa perempuan adalah pekerja domestik dan laki-
laki sebagai pencari nafkah. Dan kategori terakhir adalah status, yang merupakan
komponen politis dimana laki-laki memiliki status superior (kuat), sedangkan
perempuan memiliki status inferior (lemah) (Miller, 2005).

2.3 Kajian Teori


2.3.1 Teori The Second Sex Simone de Beauvoir
Eksistensi perempuan dalam praktik pelayanan kesehatan reproduksi dalam
penelitian ini akan dianalisis menggunakan pemikiran dari Simone de Beauvoir.
Analisis permasalahannya dimulai dari realitas tentang kebijakan dan praktik
pelayanan kesehatan yang menempatkan perempuan dalam konteks tubuh secara
biologis. Yang mana hal ini tidak dapat dilepaskan dari permasalahan-permasalahan
diantaranya yaitu otonomi, kebebasan, individualisasai, rasionalisasi, kependudukan,
dan kekuasaan. Permasalahan-permasalahan tersebut sejalan dengan pemikiran
Foucault tentang kekuasaan pada tubuh. Foucault mengatakan bahwa tubuh adalah
ajang untuk memperebutkan dominasi kekuasaan. Tubuh yang notabenenya
merupakan bagian private dalam hidup seseorang, termasuk perempuan kini telah
bergerak menjadi tubuh milik publik.

Dalam buku The Second Sex (Beauvoir, 2016), Beauvoir mengemukakan


bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang Diri, karena tubuh laki-laki dianggap dapat
memahami dirinya sendiri, sedangkan perempuan adalah the other atau sosok yang
lain, karena tubuh perempuan dianggap menginginkan signifikasi terhadap dirinya
sendiri. Laki-laki dianggap oleh mayoritas masyarakat, mampu berfikir tentang
dirinya sendiri tanpa perempuan. Sementara perempuan, tidak dapat memikirkan
dirinya sendiri tanpa adanya laki-laki. Perempuan dianggap tidak lebih dari apa yang
dikatakan oleh laki-laki, oleh karenanya, perempuan disebut sebagai “seks”, yang
secara esensial berarti perempuan datang kepada laki-laki sebagai makhluk seksual.
Perempuan dinilai sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, makhluk tidak
esensial yang berlawanan dengan makhluk esensial. Laki-laki adalah sang subjek dan
absolut, sedangkan perempuan adalah sosok yang lain.

Beauvoir menjelaskan dalam bukunya, bahwa perempuan memiliki dua aspek


sisi yang berbeda yaitu tubuh dan bukan tubuh. Tubuh perempuan ditujukan pada
aspek biologis dari tubuh perempuan, sedangkan bukan tubuh digunakan untuk
mengidentifikasi bagian dari perempuan yang telah diubah secara sosial, kultural,
maupun sejarah. Dalam membahas identitas perempuan dalam budaya patriarki,
Beauvoir mengatakan bahwa perempuan tidak lagi memiliki identitasnya sebagai
seorang individu yang bebas. Dikarenakan, dalam budaya patriarki, tubuh oerempuan
didefinisikan sebagai suatu situasi, hambatan, dan sebuat kekuatan persepsi.
Perempuan selalu menjadi jenis kelamin kedua didalam budaya patriarki. Seperti
pada penelitian ini, dimana perempuan masih dalam kuasa patriarki, karena
perempuan merupakan objek dalam program KB yang dibuat oleh pemerintah, tidak
hanya itu dalam salah satu instansi masyarakat di Kota Batu perempuan diberi paham
bahwa perempuan jika sudah menikah harus sepenuhnya patuh pada suaminya, dan
apapun yang suami katakan perempuan harus setuju.

2.3.2 Teori Kekuasaan Michael Foucault


Karya-karya Foucault menunjukkan bahwa persoalan kekuasaan telah menjadi
pokok perhatiannya sepanjang karier intelektualnya. Foucault selama ini dikenal
sebagai seorang filsuf, juga sebagai sejarawan. Namun, pemikirannya memiliki
pengaruh yang luas terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya termasuk antropologi dan
sosiologi. Foucault tidak mengkaji sejarah untuk mengetahui bagaimana riwayat hidup
orang-orang besar atau siapa yang berkuasa pada suatu jaman tertentu, melainkan kajian
sejarah yang dilakukannya adalah sejarah tentang masa kini (history of the present).

Kekuasaan tidak dipandang secara negatif, melainkan positif dan produktif.


Kekuasaan bukan merupakan institusi atau stuktur, bukan kekuatan yang dimiliki, tetapi
kekuasaan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut situasi strategis
kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan menurut Foucault dipandang sebagai relasi-
relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup
strategis. Dalam genealogi kekuasaan, Foucault mengatakan bahwa ada hubungan
antara pengetahuan, kekuasaan, dan wacana (Ritzer, 2014).

Foucault mengatakan bahwa wacana berkaitan erat dengan konsep kekuasaan,


dimana konsep kekuasaan bukanlah struktur politis pemerintah ataupun kelompok-
kelompok dominan. Foucault melihat konsep kekuasaan sebagaimana kekuasaan itu
dilihat dan diterima sebagai suatu kebenaran. Dimana kekuasaan membahas bagaimana
orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui proses produksi pengetahuan,
misalnya pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang lain menjadi
sebuah subjek, kemudian memerintah subjek tersebut dengan menggunakan
pengetahuan.

Dalam genealogi kekuasaan, dibahas bagaimana seseorang mengatur diri sendiri


dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Foucault mengkritik penyusunan
pengetahuan secara bertingkat, karena bentuk tingkatan tertinggi pada ilmu
pengetahuan memiliki kekuasaan terbesar, maka ilmu pengetahuan dikhususkan untuk
dikritik lebih keras. Foucault juga memperhatikan tekonologi yang berasal dari
pengetahuan, terutama yang berasal dari ilmu pengetahuan ilmiah, sebab teknologi
digunakan oleh berbagai institusi untuk memaksakan kekuasaan terhadap manusia
(Foucault, 2000).

Meskipun Foucault melihat korelasi antara pengetahuan dengan kekuasaan,


namun beliau tidak melihat permasalahan dalam anggota elite masyarakat.
Persengkongkolan secara tidak langsung menyatakan kesengajaan aktor, sedangkan
Foucault lebih cenderung melihat hubungan struktural, terutama hubungan antara
pengetahuan dengan kekuasaan. Setelah melihat jalannya sejarah, Foucault
menyimpulkan bahwa tidak terjadi kemajuan dari kebrutalan primitif manusia kearah
manusia yang lebih manusiawi secara lebih modern berdasarkan pengetahuan yang
lebih canggih.

Foucault melihat bahwa sejarah bergerak maju dengan tiba-tiba dari suatu
sistem dominasi berdasarkan pengetahuan, ke sistem dominasi yang lain. Sisi
positifnya, Foucault yakin bahwa pengetahuan dan kekuasaan selalu bersaing, diantara
keduanya selalu terjadi resistensi. Pada masyarakat umun, posisi perempuan
dikonstruksikan sebagai pasangan yang berlawanan dengan laki-laki. Laki-laki
dikonstruksikan sebagai pihak atas, tinggi, dan kuat, sedangkan perempuan
dikonstruksikan sebagai pihak bawah, dan lemah. Pengkonstruksian tersebut
membentuk wacana perempuan sebagai pihak subordinat yang berpengaruh signifikan
terhadap kehidupan sosial, termasuk pada kebijakan Keluarga Berencana yang menjadi
alat negara untuk menguasai tubuh perempuan

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yang dikembangkan dengan


menggunakan bukti ketidakadilan sebagai awal telaah, dilanjutkan dengan mengganti
struktur atau sistem ketidakadilan, kemudian membangun kontruksi baru yang
menamppilkan sistem yang adil. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Lokasi penelitian berada di
Kampung KB, Dusun Torongrejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Proses analisis
data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data model Miles dan
Huberman, yaitu bahwa aktivitas dalam menganalisis data penelitian meliputi reduksi
data, penyajian data, serta kesimpulan.

Pembahasan
4.2.2 Masyarakat dan Kontrasepsi

Menurut Bu Fitri respon masyarakat terhadap adanya kampung KB ini cukup


positif, guna mengendalikan angka kelahiran, terlebih lagi di kondisi pandemi seperti
saat ini, yang membuat perekonomian menjadi cukup sulit, karena untuk menambah
satu anggota keluarga baru harus diperhitungkan dan direncanakan pengeluarannya.
Tenaga medis dan perangkat desa dalam mensosialisasikan program KB ini kepada
masyarakat cukup bagus. Melalui kegiatan Posyandu yang rutin dilaksanakan setiap
sebulan sekali, yang dimana rutin disosialisasikan kepada masyarakat untuk
menggunakan KB baik bagi para istri maupun suami. Terdapat program KB yang
dihimbaukan kepada masyarakat seperti KB “implant” yang dipasangkan di lengan
perempuan, atau yang lebih dikenal dengan KB susuk di masyarakat, disini untuk
melakukan pemasangan KB jenis ini masyarakat tidak dikenakan biaya sedikitpun
atau dibilang gratis, tetapi masih banyak masyarakat yang masih takut dan masih
belum memahami betul KB jenis implant ini.
Bagi Bu Fitri pribadi sangat setuju dengan program KB dari pemerintah,
karena untuk membesarkan anak butuh biaya yang tidak murah, belum ditambah juga
dengan pendidikan. Bagi Bu Fitri program KB ini sangat cocok di kondisi pandemi
seperti saat ini yang dimana ekonomi masih dalam kondisi lesu. Bu Fitri dalam
mengambil keputusan kontrasepsi mana yang akan dipilih tidak pernah berkonsultasi
dengan suami. Suami Bu Fitri membebaskan kontrasepsi apa yang dipilih, meskipun
tidak memakai kontrasepsipun juga diperbolehkan dengan suaminya. Jadi keputusan
untuk memilih kontrasepsi mana yang akan dipilih sepenuhnya berada pada Bu Fitri.
“Dalam kondisi pandemi gini ya cukup sulit
mbak untu bertahan hidup, apalagi kalok anaknya
banyak, jadi saya setuju sama program KB. Tanpa ada
pandemi sudah cukup susah apa lagi ada pandemi
gini.”
Bu Fitri tidak pernah secara langsung mengajak untuk berkonsultasi, tetapi
hanya menyampaikan kepada suaminya, Bu Fitri menggunakan jenis kontrasepsi apa,
karena bagi Bu Fitri yang biasa melakukan program KB itu perempuan bukan laki-
laki. Bu Fitri merasa tidak masalah jika suami juga ikut peran dalam program KB,
tetapi dia beranggapan bahwa KB itu sebagian besar dilakukan oleh pihak peremuan
bukan laki-laki, karena yang umum di masyarakat seperti itu. Bu Fitri beranggapan
karena pihak istrilah yang melakuan program KB sendiri, karena pada umumnya
hanya perempuan yang melakukan program KB, karena suami sudah sibuk dengan
urusan pekerjaan, sedangan istri bias bekerja dari rumah yang memiliki waktu luang
lebih banyak jadi beranggapan tidak mau merepotkan suaminya dengan urusan
pemilihan alat kontrasepsi.
Bu Fitri masih aktif menjalankan program KB, saat ini Bu Fitri memiliki anak
kecil yang berumur 7 tahun. Bu Fitri pada awalnya memilih kontrasepsi jenis pil yang
rutin diminum, secara berkala, tetapi kemudian ketika Bu Fitri sudah hamil anaknya
dua bulan, Bu Fitri tidak menyadari akan kehamilannya tersebut. Setelah anaknya
lahir Bu Fitri pindah jenis kontrasepsi jenis suntik, dan masih rutin setiap tiga bulan
sekali. Untuk konsultasi mengenai program KB dengan suami, suaminya
membebaskan Bu Fitri untuk tidak melakukan program KB atau alat kontrasepsi apa
yang dilakukan, jadi Bu Fitri tidak pernah berbicara secara mendalam dengan
suaminya perihal kontrasepsi apa yang digunakan dalam program KB di keluarga Bu
Fitri.
Bu Fitri mengikuti program KB semenjak setelah dia menikah dengan
suaminya, karena pada saat menikah Bu Fitri masih berumur 16 tahun. Bu Fitri rutin
mengkonsumsi pil KB untuk menunda kehamilannya, tetapi kemudian Bu Fitri
mengalami kehamilan saat menggunakan pil KB, hingga dua bulan kehamilan Bu
Fitri tidak menyadarinya. Setelah kelahiran anak pertama Bu Fitri menggunakan
kontrasepsi jenis suntik, yang rutin dilakukan selama tiga bulan sekali.
Pada penggunaan pil KB pertama kali Bu Fitri masih belum mengalami
perubahan yang signifikan, masih rutin menstruasi setiap bulan sekali, tetapi semenjak
berpindah ke metode alat kontrasepsi suntik yang dilakukan setiap tiga bulan sekali,
setelah setiap melakukan suntik berat badan Bu Fitri bertambah satu hingga tiga
kilogram. Bu Fitri merasa takut karena pertambahan berat badan tersebut setiap kali
dia suntik, tetapi dia juga merasa takut untuk berhenti melakukan program KB atau
mengganti kontrasepsi metode lain seperti memasang IUD atau implant. Untuk
perubahan mood Bu Fitri tidak mengalami perubahan mood secara drastis, hanya berat
badan saja yang membuat dia merasa khwatir, tetapi di sisi lain dia juga takut untuk
merubah metode alat kontrasepsi yang lain.
Menurut Bu Yayuk meskipun kampung KB ini didirikan masih tergolong
baru, respon masyarakat terhadap dijadikannya kampung KB ini cukup positif, karena
dalam mengontrol angka kelahiran perlu adanya program dari pemerintah seperti
kampung KB ini. Sejak tahun 1990-an sudah banyak orang sudah paham mengenai
KB, tetapi tidak di semua daerah, terutama di desa-desa, maka dari itu penting
diadakan kampung KB ini guna melancarkan program pemerintah.
Tenaga medis dan perangkat desa sudah cukup bagus melaksanakan
penyuluhan ke masyarakat pentingnya program KB ini, tetapi bagi Bu Yayuk pribadi
jika seseorang sudah menikah pasti akan menjalankan program KB untuk
merencanakan kelahiran anak agar lebih bias direncanakan dan dipersiapkan semua
yang diperlukan oleh anak. Menurut Bu Yayuk ada hal yang jauh lebih penting dan
lebih mendesak daripada sekedar disosialisasikan mengenai program KB, yaitu
dampak dari pernikahan dini dan pendidikan seks dikalangan remaja dan anak muda,
agar mereka lebih paham dan lebih mengetahui kesehatan organ reproduksi mereka,
dan angka hamil diluar nikah dan pernikahan dini yang tidak dipersiapankan bisa
dikontrol.
Berhubung kampung KB di Batu ini masih tergolong masih baru kurang lebih
satu tahun penyuluhan yang dilakukan pada waktu Posyandu seharusnya bisa lebih
digiatkan, beberapa program KB gratis sudah digalakan kepada masyarakat seperti
jenis KB implant, tetapi masyarakat masih belum bisa memakai alat kontrasepsi jenis
ini, karena masih takut dan kurangnya informasi yang tersedia dengan benar. Ada
juga program KB menggunakan jenis kontrasepsi steril yang juga gratis, meskipun
angka anggota keluarga yang menggunakan jenis KB steril ini masih terbilang sedikit
tetapi pandangan di masyarakat sudah mulai terbuka, berbeda jika KB steril ini
dilakukan oleh pihak laki-laki, masih ada mitos-mitos dan hal tabu dimasyarakat, jadi
sangat sulit sekali bagi laki-laki untuk memilih jenis kontrapsi ini, maka dari itu perlu
penyuluhan yang lebih giat agar pihak bapak juga mau dalam berpartisipasi di
program KB ini.
Bu Yayuk sangat menyetujui program KB dari pemerintah, karena program
KB pada dewasa ini berbeda dengan program KB pada beberapa tahun yang lalu.
Pada beberapa tahun lalu program KB masih ditekankan pada jumlah anak, yaitu dua
anak cukup, mungkin bagi sebagian besar masyarakat kampung KB di Batu ini juga
masih beranggapan demikian hingga saat ini. Pada saat ini program KB lebih
menekankan kepada kehamilan yang direncanakan, jadi untuk masa depan anak
seperti biaya pendidikan, dan biaya lain-lain semuanya bisa lebih direncanakan,
karena membesarkan anak butuh anggaran yang harus dipersiapkan.
Jika pada Program KB yang dulu yang dibatasi jumlah anak hanya 2, banyak
beberapa pihak yang kurang menyetujui, tetapi karena sekarang lebih difokuskan
kepada perencanaan kehamilan, jadi banyak masyarakat yang lebih menerima. Bu
Yayuk sendiri juga bagian dari aggota Posyandu di wilayahnya. Menurut Bu Yayuk
selain penyuluhan soal program KB ini penyuluhan kepada remaja mengani
pendidikan seks amat penting, karena tingkat kehamilan di luar nikah yang cukup
tinggi dan pernikahan dini yang cukup tinggi diimbangi juga dengan peningkatan
perceraian yang cukup di tinggi di pasangan muda.
Menurut Bu Yayuk dalam keluarga semua keputusan diambil melalui
kesepakatan bersama, apapun persoalannya termasuk dalam program KB ini Bu
Yayuk selalu membicarakannya bersama dengan suaminya termasuk konsultasi
bersama ke tenaga medis perihal jenis KB apa yang akan dipilih. Respon dari suami
Bu Yayuk ketika diajak konsultasi bersama perihal jenis KB apa yang akan dipakai,
sangat terbuka dan mendukung keputusan Bu Yayuk, karena bagi bu Yayuk program
KB demi keberlangsungan keluarga bukan untuk diri sendiri.
Bu Yayuk sangat berharap suami mau bergantian untuk memakai alat
kontrasepsi, Bu Yayuk merasa sudah cukup capek jika terus menggunakan alat
kontrasepsi, tetapi sayangnya suami dari Bu Yayuk masih takut untuk menggunakan
alat kontrasepsi yang jenis steril untuk pria karena masih ada stigma di masyarakat
jika pria menggunakan KB jenis tersebut maka pria tersebut tidak akan bisa
beraktifitas secara normal, kehilangan stamina dan lain sebagainya. Untuk kontrasepsi
jenis lainnya seperti kondom, suami Bu Yayuk merasa terganggu jika melakukan
hubungan.
Suami Bu Yayuk tidak berpartisipasi dalam program KB karena adanya
stigma dan mitos-mitos yang ada pada masyarakat perihal jika pria berpartisipasi
dalam program KB maka akan mempengaruhi stamina dan “kejantanan” pria tersebut
dan juga hal ini masih tabu, karena sebagian besar masyarakat di kampung KB Batu
masih berpikir jika urusan dalam KB hanya dilakukan di pihak perempuan, padahal
tidak seperti itu. Terdapat beberapa jenis alat kontrasepsi yang dikhususkan untuk
laki-laki, tetapi masih kurangnya informasi benar yang beredar di masyarakat, maka
dari itu Bu Yayuk berpendapat bahwa perlu adanya sosialisasi yang lebih giat agar
peran laki-laki dan perempuan seimbang dalam program KB ini, karena selama ini
sebagian besar penyuluhan mengenai program KB masih difokuskan kepada para
perempuan. Selain itu PKK bagi Bu Yayuk harus berperan aktif dalam program KB,
karena PKK di daerah kampung bu Yayuk dirasa kurang maksimal karena tidak
memiliki visi dan misi yang spesifik, hanya menjalankan program kerja yang secara
formalitas saja, padahal kegiatan PKK bisa diisi dengan hal yang bermanfaat, seperti
sosialisasi mengenai KB pada pihak bapak dan juga penyuluhan yang dilakukan
secara giat mengenai pendidikan seks pada remaja.
Menurut Bu Yayuk memang ketidaksetaraan dalam program KB memang
nyata adanya, bahwa untuk saat ini masih fokus kepada perempuan, yang pria masih
belum dimaksimalkan, tetapi ada kebutuhan hal mendesak lagi daripada sekedar
ketimpangan soal gender tersebut, yaitu pernikahan dini yang tidak dipersiapkan dan
juga pergaulan bebas para remaja. Seperti yang dilansir di malangtimes.com Kota
Batu sempat menduduki posisi ketiga pernikah dini se-Jawa Timur, dari data Dinas
Pemberdayaan dan Desa, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,
Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Kota Batu tahun 2019 lalu ada 243
pengajuan pernikahan, dan dari 243 pengajuan tersebut 93 pengajuan merupakan
pernikahan di bawah umur. Kriteria pernikahan muda tersebut sudah diatur dalam UU
Perkawinan Tahun 1974. Untuk perempuan, usia minimum menikah 16 tahun dan
untuk laki-laki minimum 18 tahun (Richa, 2020).
“Ya emang ketidakadilan gender itu ada di kasus
KB ini, tapi mbak ada yang lebih urgent daripada hanya
sekedar ketidakadilan gender, yaitu kasus nikah muda di
Kampung ini sangat tinggi. Lha nanti kalok sudah punya
anak, dia nya belum siap anaknya terlantar, gimana kita
mau menghasilkan generasi yang unggul kalok orang tua
saja tidak dibekali kesiapan untuk kehidupan rumah
tangga yang baik.”

Masih banyaknya nikah dini itu lantaran dirasa masyarakat masih kurang
memahami bahaya nikah muda. Padahal dalam kebijakan BKKBN, idealnya
perempuan yang umumnya di bawah 20 tahun diharapkan tidak memiliki anak
terlebih dahulu karena bisa mengalami eklamsia atau keracunan kehamilan hingga
kematian ibu dan bayi. Adanya pernikahan dini bisa berdampak negatif pada
permasalahan sosial ainnya, seperti menambah jumlah angka putus sekolah. Untuk
menekan jumlah pernikahan dini menurut Forkan, adalah dengan melalui optimalisasi
program Kampung KB di tahun 2020. Data dari kantor Kementerian Agama Kota
Batu 2018 lalu, terdapat 300 pernikahan dini dari 1.678 perkawinan di Kota Batu
(Richa, 2020).
Karena di daerah kampung KB ini yang juga tempat tinggal Bu Yayuk banyak
sekali kasus-kasus yang berkaitan dengan pergaulan bebas remaja dan pernikahan
dini, seperti adanya pernikahan di bawah umur menurut aturan undang-undang, secara
hukum pasangan suami istri tersebut tidak bisa melaporkan diri mereka ke dinas yang
bersangkutan karena umur minimal masih belum memenuhi syarat untuk menikah,
tetapi mereka masih bisa melangsukngkan pernikahan secara agama atau yang disebut
juga dengan “nikah siri”. Untuk surat kelahiran anak, orang tua dari pasangan suami
istri muda itu yang akan menjadi orang tua kandung di dalam dokumen negara perihal
orang tua anak tersebut, bagi Bu Yayuk hal ini meruapakan hal yang sangat salah dan
perlu diluruskan, karena orang tua begitu melindungi anaknya sampai cucunya di
dokumen negara diatas namakan dirinya.
Banyak anak-anak di kampung KB Batu ini yang baru menginjak usia
pubertas, yang masih belum mendapatkan edukasi yang baik perihal kesehatan organ
reproduksi dan mudah sekali termakan rayuan pacarnya yang juga seusia ketika diajak
untuk melakukan hubungan seksual. Maka dari itu penting sekali adanya penyuluhan
perihal efek yang ditimbulkan jika alat reproduksi terlalu dini mengalami kehamilan,
karena jika tidak memiliki pemahaman yang baik maka yang dirugikan pasti dari
pihak perempuan, dan laki-laki hampir tidak dirugikan sama sekali. Ditambah lagi
orang tua di sini tidak menyadari adanya fenomena ini karena dianggap masih tabu
dan mereka enggan berbicara soal pendidikan seks kepada anak mereka, berbeda
dengan di kota, yang dimana orang di kota lebih berpendidikan dan untuk pendidikan
seks kepada anak mereka tidak bersifat tabu seperti di desa. Menurut Bu Yayuk
terlebih lagi di Batu banyak tempat-tempat yang mudah digunakan anak muda untuk
melakukan kegiatan asusila, dan lebih parahnya lagi pemerintah memberikan izin
untuk tempat-tempat seperti itu.
Banyak anak usia SMP sudah hamil diluar nikah, dan orang tua mengambil
jalan pintas dengan menikahkan mereka, dan ketika umur mereka masih belum cukup
stabil untuk mengambil keputusan yang besar, dan hal ini yang membuat usia
pernikahan anak remaja tidak bertahan lama, yang mengakbatkan perceraian, dimana
akhirnya anak dari pasangan muda tersebut dirawat oleh keluarga istri, dan pihak
perempuan tidak bisa melanjutkan Pendidikan yang tinggi untuk bisa mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik. Jika alat kontrasepsi untuk program KB ini tidak diberikan
edukasi yang benar terhadap para remaja, mereka akan menyalahgunakan alat
kontrasepsi ini, karena beberapa alat kontrasepsi bisa didapatkan dengan mudah di
mana saja seperti kondom dan pil KB.
Menurut Bu Yayuk Posyandu harus menjelaskan pentingnya hal ini pada
remaja dan juga orang tua, karena jika diberi tahu secara personal masyarakat masih
tabu dan akan mudah untuk tersinggung, beda jika masyarakat sudah memiliki pikiran
yang terbuka makan akan mudah untuk diedukasi secara personal. Pernikahan dini
merupakan jalan keluar termudah yang diambil oleh oran tua yang dimana anaknya
memiliki anak di luar pernikahan, persentase perceraian dari kasus semacam ini cukup
tinggi. Menikah dini yang tidak dipersiapkan akan menghasilkan generasi yang tidak
baik bagi kemajuan bangsa ini, memang tidak semua, tetapi sebagian besar akan
seperti itu, tidak perlu memajukan negara, untuk memajukan kampung saja pasti
susah jika anak-anak tidak mendapat pola asuh yang benar dari orang tuanya,
ditambah lagi fenomena semacam ini dianggap masyarakat merupakan hal yang
lumrah padahal untuk jangka panjang akan sangat berbahaya bagi kelangsungan
bangsa ini, maka dari itu sangat penting diangkat, agar masyarakat jadi lebih tau dan
mawas diri soal pendidikan seks.
Bu Yayuk masih rutin menjalankan program KB hingga saat ini, dan cukup
sering berganti alat kontrasepsi dari jenis pil ke jenis suntik. Kontrasepsi jenis pil
dirasa lebih praktis, karena hanya tinggal minum dan mudah didapatkan di mana saja
dan menstruasi masih rutin sebulan sekali, berbeda dengan kb suntik yang membuat
siklus menstruasi tidak berjalan secara normal yang membuat beribadah bagi Bu
Yayuk cukup susah, tetapi efektifitas KB suntik lebih baik jika dibandingkan dengan
KB pil. Masih belum ada perbedaan yang cukup besar dan signifikan karena kampung
KB ini masih terbilang cukup baru dan masih perlu digalakan lagi penyuluhan perihal
KB di pihak bapak.
Menurut Pak Budi masayarakat sangat mendukung program KB untuk
menekan angka kelahiran, karena menurut Pak Budi tingginya angka kelahiran cukup
tinggi, terutama di desa di Batu, karena angka kelahira yang cukup tinggi jika tidak
diimbangi dengan kualitas pendidikan dan kesehatan untuk tumbuh kembang anak
tersebut akan menghasilkan masalah yang lebih kompleks. Perangkat desa sangat
mendukung program KB ini, program KB merupakan program dari pemerintah yang
dimana ada peran dari perangkat desa dan kader PKK desa untuk melakukan
sosialisasi terutama pada ibu-ibu, dan acara tersebut sudah dijadwalkan rutin setiap
sebulan sekali.
Menurut pak Budi dalam mengambil segala macam keputusan termasuk
keputusan untuk program KB wajib bagi suami istri untuk membicarakannya dan
berkonsultasi bersama dengan tenaga kesehatan, karena program KB ini bukan untuk
salah satu pihak saja, pihak suami saja atau pihak istri saja, tetapi untuk keluaraga
kedepannya bagaimana, jadi keputusan diambil berdasar hasil komunikasi dan
keputusan bersama.
“Saya memutuskan tidak butuh waktu
lama mbak, karena saya sayang sama istri dan
kasian juga dengan kondisi istri, dan memang
banyak mitos-mitos yang beredar, tapi tidak
mempengaruhi keputusan saya, ditambah istri
sangat mendukung.”

Istri pak Budi sangat mendukung keputusan Pak Budi untuk mengikuti
program KB dengan prosedur MOP. Tidak membutuhkan waktu yang cukup lama
bagi Pak Budi untuk memutuskan memilih KB prosedur MOP, karena bagi Pak Budi
ini merupakan panggilan hati, karena Pak Budi merasa kasihan dengan istrinya.
Sebelumnya istri Pak Budi rutin untuk melakukan suntik KB atau meminum pil KB,
dan itu cukup mempengaruhi hormonal istrinya, dan sekarang karena istri Pak Budi
sudah tidak menggunakan alat kontrasepsi apaun jadi hormonalnya sudah tidak
terganggu dan membuat rumah tangga menjadi lebih harmonis. Pak Budi tidak
mempermasalahkan mitos-mitos yang beredar di masyarakat terkait dengan MOP,
karena menurut Pak Budi semua tergantung niatnya, karena untuk kebaikan dan
kesehatan istri maka tidak butuh waktu lama untuk memutuskan memilih prosedur
MOP.

4.2.3 Pemerintah dan Kontrasepesi

Di Batu pertama kali ada kampung KB di Bumiaji, kemudian di


Pesanggrahan, dan pada tahun 2017 di Torongrejo juga di buat kampung KB.
Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa kampung KB hanya berfokus untuk
menangani maslah jumlah angka kelahiran, tetapi tidak hanya itu kampung KB
berupaya untuk merangkul lintas sektor, tidak hanya di sektor KB saja, tetapi juga di
sektor kesehatan, kependudukan, pendidika, pertanian, dan lain-lain. Banyak orang
yang menduga dan tidak mengira bahwa kampung KB bisa mencakup banyak hal.
Kampung KB diinisiasi berawal dari daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, terusir,
kepulauan, kumuh, dan miskin, yang dimana kondisi tersebut merupakan dari
program pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan wilayah tersebut dan
memperbaiki konidi di daerah tersebut menjadi lebih baik, tetapi karena adanya
stigma yang berkembang di masyarakat mengenai hal itu, banyak masyarakat yang
tidak terima jika daerah yang mereka tempati selama ini merupakan daerah
“terbelakang” dan identik dengan wilayah yang tidak maju. Pada tahun 2016, 2017,
hingga 2018 pada awalnya daerah yang dituju hanya satu RW atau dusun di salah satu
wilayah, kemudian setelah tahun 2018 wilayah cakupan kampung KB meluas hingga
menjadi satu desa di Torongrejo, pada awalnya di wilayah Ngukir di satu RW yaitu
RW 7.
Pada tahun 2017 instrumen pendataan melakukan pendataan mengenai isu apa
yang penting yang perlu diangkat dan mencoba untuk menyeselaikan permasalahan
tersebut, kemudian di tahun 2019 dan 2020 ditemukan data mengenai pernikah dini
yang terjadi di kampung KB, angka pernikahan dini cukup tinggi, bahkan usia remaja
SMP banyak yang sudah melakukan pernikahan dini, kemudian anak-anak kecil yang
baru lahir banyak yang belum memiliki akta kelahiran. BKKBN dalam menangani
masalah tersebut dan juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah
tersebut BKKBN mengajak beberapa instansi untuk berkolaborasi. Untuk persoalan
pernikahan dini BKKBN berkolaborasi dengan KUA untuk mengatasi persoalan
pernikahan dini, dan untuk persoalan pernikahan di kalangan siswa SMP, BKKBN
berkolaborasi dengan Diknas, kemudian untuk permasalah anak-anak yang belum
memiliki akta kelahiran BKKBN berkerja sama degan Dispendukcapil.
Hasil yang diharapkan agar kampung KB bisa mencapai tujuannya itu
membutuhkan waktu dan tidak bisa instan, membutuhkan proses yang cukup lama.
Saat ini BKKBN di Batu memiliki jumlah anggota sebanyak empat orang, tugas dan
program tahunan dari BKKBN adalah melakukan penyuluhan mengenai masalah KB
di masyarakat dan hal tersebut berfokus pada kegiatan di lapangan, untuk masalah
kebijakan agar program-program berjalan lebih baik perlu kerja sama yang baik
bersama dinas setempat. BKKBN tidak memiliki ranah soal menentukan kebijakan,
dinas pemberdayaanlah yang memiliki wewenang untuk persoalan kebijakan, karena
tanpa adanya kebijakan program dari BKKB kurang bisa terlaksana secara maksimal.
Kampung KB agar bisa berjalan secara maksimal harus ada campur tangan
dari dinas setempat, karena segala hal yang dilaksanakan oleh BKKBN harus ada
surat perintah dari dinas, karena BKKBN tidak bisa bergerak sendiri karena tidak
memiliki kewenangan untuk menggerakan kampung KB, dan dari dinas
pemberdayaan sendiri masih belum ada giat untuk “mencolek” dinas-dinas lain untuk
memaksimalkan kampung KB.
Untuk bisa berjalan dinas membutuhkan advokasi yang usulnya tersebut akan
disampaikan kepada Sekretaris Daerah, kemudian disampaikan kepada Wali Kota,
yang kemudian disampaikan kepada DPRD. Tetapi faktanya yang ada semua hal yang
diajukan belum sampai ke tahap-tahap tersebut. Kampung KB di Batu masih belum
maksimal pelaksanannya karena belum ada campur tangan dari dinas secara serius.
Selama ini program yang dilaksanakan di kampung KB oleh BKKB belum
secara maksimal dilakukan karena BKKBN sebagai penyuluh KB harus melalui dinas
untuk bisa bersurat kepada masyarakat di kampung KB, dan adanya kendala untuk
bisa bersurat tersebut harus melalui dinas karena BKKBN tidak memiliki kop surat
dan stempel untuk masalah legalitas, dan di sisi lain dinas masih belum bisa advokasi
sampai ke level atas.
Sebelum dan sesudah ada kampung KB pihak BKKBN terus melakukan
penyuluhan kepada masyarakat agar sadar soal program KB apa lagi di masa pandemi
seperti saat ini. Di masing-masing wilayah terdapat kader PPKDP dan Sub-PPKDP
yang juga berperan untuk memberikan penyuluhan kepada Posyandu, pertemuan
warga, pengajian, dan dari beberapa pertemuan masyarakat mulai memahami
pentingnya untuk menjalankan program KB. Karena dengan adanya PSBB
(Pembatasan Sosial Berskala Besar) selama pandemi berlangsung, di masyarakat
terdapat cukup banyak fenomena “baby boom”.
Beberapa penyebab adanya fenomena “baby boom” adalah beberapa
perempuan sudah waktunya untuk mengganti atau memasang alat kontrasepsi, tetapi
karena adanya pandemi dan mereka berusaha sebisa mungkin untuk tidak pergi
fasilitas kesehatan yang membuat mereka untuk takut pergi ke bidan, dan ditambah
lagi banyak para pasangan suami istri yang “Work From Home” dan hal tersebut yang
menyebabkan terdapat beberapa fenomena “baby boom” di masyrakat, maka dari itu
BKKBN menyarankan untuk tidak takut mengunjungi faskes unuk konsultasi dan
pemasangan alat kontrasepsi, jika dirasa masih takut untuk mengunjungi faskes,
disarankan untuk menggunakan alat kontrasepsi yang bisa dipasang secara mandiri
seperti kondom dan pil KB, “pokok selalu menggunakan KB”.
Dengan adanya fenomena “baby boom” angka kelahiran jadi meledak, dan ini
merupakan suatu permasalahan baru yang perlu untuk segera ditangani. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut BKKBN bekerja sama dengan tenaga kesehatan
setempat untuk meningkatkan kesadaran akan adanya fenomena baby boom tersebut,
agar kesadaran masyarakat meningkat dan juga secara rutin untuk melakukan
konsultasi dengan tenaga kesehatan, jika diminta untuk melakukan konsultasi dengan
kunjungan ke rumah-rumah tenaga kesehatan dan BKKBN siap untuk melakukan
kunjungan ke rumah-rumah, atau bisa juga mengadakan pertemuan kecil di BKKBN.
Tantangan yang dihadapi di lapangan salah satunya adalah susahnya mengajak
para bapak-bapak untuk menjadi akseptor KB. Salah satu cara untuk meningkatkan
tingkat partisipasi bapak dalam program KB ini adalah dengan cara persuasif yang
dilakukan dari pihak ibu kepada bapak, disisi lain pihak ibu juga di edukasi agar bisa
meyakinkan bapak dengan baik. Bapak Andi ditugaskan di BBKBN Junrejo Batu
masih baru 6 bulan, sebelumnya ditugaskan di Ngukir Batu.
Masih tingginya tingkat ibu yang menjadi akseptor KB membuat pandangan
di lingkungan tersebut bahwa KB hanya urusan perempuan. BKKBN sudah mencoba
untuk menjelaskan kondisi ibu yang sudah sangat tidak memungkinkan untuk menjadi
akseptor KB, seperti kondisi yang pernah mengalami keguguran, usia yang sudah
cukup tua, dan juga sudah memiliki anak yang cukup “banyak”. Setiap tahun BKKBN
selalu ditarget sebanyak 10 orang bagi pihak bapak untuk melakukan program KB
MOP (Metode Operasi Pria) atau yang disebut juga dengan vasektomi. Menurut Pak
Andi pihak BKKBN berusaha secara maksimal untuk melakukan penyuluhan kepada
pihak bapak untuk berpartisipasi dalam program KB dengan menjasi akseptor.
“Bapak karena kondisi ibu seperti ini apa tidak kasihan,
karena ibu sudah seperti ini kondisinya mbok ya gentian,
dan selalu bapak selalu jawab dengan nanti saja deh pak,
saya masih sibuk, ibunya saja deh pak, dan banyak
alasan lainnya”.

Salah satu lain faktor yang membuat KB pria sulit adalah karena banyak
anggapan di masyarakat terutama pria bahwa program KB hanya urusan pada
perempuan saja, dan selesai hanya sampai perempuan, tidak perlu pria ikut
berpartisipasi. Tidak dikenakan biaya untuk prosedur pemasangan KB pria MOP atau
vasektomi, bahkan diberi uang sejumlah satu juta rupiah dan dikasih obat untuk paska
operasi dan juga hal lain yang mendukung untuk pemulihan paskah operasi.
BKKBN pada tahun 2015 pernah mengadakan pertemuan khusus untuk para
bapak yang isinya khusus untuk melakukan penyuluhan mengenai KB pria.
Penyuluhan ini diadakan di terminal Batu, dibagi menjadi dua shift, dan BKKBN
sudah menyiapkan beberapa para akseptor KB MOP dan juga para istri-istri dari
bapak yang menjadi akseptor tersebut, mereka dihadirkan untuk menyampaikan
testimoni terkait pengalaman mereka dan juga untuk menjelaskan ke masyarakat
terkait mitos yang beredar di masyarakat itu tidak benar. Shift pertama di pagi hari
tedapat 50 orang bapak yang berprofesi sebagai tukang parkir, dan shift kedua
terdapat 50 orang bapak yang berprofesi sebagai supir angkot. Pada awalnya sudah
dipastikan terdapat 6 orang yang akan hadir di penyuluhan tersebut, tetapi akhirnya
tidak ada satu orang pun yang hadir sama sekali. Padahal di hari sebelumnya sudah
dikasih sejumlah uang, kaos untuk datang ke penyuluhan tersebut, tetapi di keesokan
harinya tidak ada yang datang sama sekali. Berbeda dengan di Situbondo dan
Bojonegoro, di dua kota tersebut para bapak datang dengan sendirinya untuk
melakukan prosedur KB MOP layaknya suntik KB.
Untuk melakukan prosedur MOP pada pria, tidak dikenakan biaya sama sekali
bahkan akan mendapatkan uang satu juta rupiah, dan beberapa obat gratis untuk
pemulihan paska operasi. Sering disampaikan juga kepada pihak suami, jika sayang
sama istri diharapkan percaya, karena laki-laki yang sudah menjalankan prosedur
MOP bisa saja bebas melakukan hubungan intim dengan siapa saja, maka dari itu
harus ada dukungan dari istri untuk bisa saling percaya, tidak saling mencurigai atau
menuduh yang tidak-tidak. Dijelaskan bahwa prosedur KB MOP ini untuk
membangun kesadaran masyarkat akan masa depan mereka dengan pasangan mereka.
Meskipun setelah menjalani prosedur MOP, para pria jika masih ingin mengubah
keputusannya masih bisa dilakukan operasi penyambungan ulang, tetapi dilakukan di
rumah sakit di Surabaya, di RS. dr. Soetomo, biaya prosedur operasi pemasangan
kembali biaya hampir sama dengan prosedur operasi Caesar.
Semisal ada suatu kasus anak-anak sudah tumbuh besar dan menikah, bapak
sudah disteril dan kemudian istri meninggal, kemudian bapak menikah lagi dan ingin
punya anak lagi, dan kemudian bapak bisa untuk melakukan prosedur operasi
penyambungan lagi. Tetapi terdapat beberapa pertimbangan yaitu pertama
kemungkinan sangat kecil untuk bisa berfungsi secara normal seperti sebelumnya,
yang kedua lokasi rumah sakit cukup jauh di Surabaya, yang juga ongkosnya cukup
mahal dan biaya operasi tidak ditanggung BPJS. Hal tersebut tetap disampaikan oleh
BKKBN, karena disini BKKBN tidak hanya untuk mencari orang dan kejar target,
tetapi juga disampaikan bahwa hal ini merupakan bagian dari usaha manusia, jidak
masih ada peluang untuk istri hamil meskipun sangat kecil. Jika hal tersebut terjadi
dijelaskan kepada pihak bapak untuk tidak langsung mencurigai istri, karena ada suatu
kasus dimana pria memiliki 3 saluran, dan waktu proses operasi terdapat satu saluran
yang tidak terlihat, dan hal tersebut yang menjadikan hubungan seksual masih
berpotensi terjadi kehamilan.
Banyak orang yang salah paham ketika sudah melaukan prosedur MOP, para
pria sudah tidak memiliki gairah seksual dan tidak bisa ereksi atau bahkan melakukan
penetrasi, tetapi dijelaskan oleh Pak Andi bahwa itu mitos saja yang beredar di
masyarakat, dan adanya kasus yang masih tetap hamil setelah melakukan prosedur
MOP, pihak BKKBN berharap tidak ada pihak yang menuntut, karena pada tahun
2019 terdapat seorang ibu yang gagal dengan program KB implantnya kemudian
pihak suami istri tersebut menuntut, jadi program KB ini merupakan program yang
gampang-gampang susah untuk cari orang-orang, terutama pihak bapak yang mau
bersedia menjadi akseptor.

Penyajian Pembahasan dan Analisis


4.3.1 Gender dalam Realitas Kehidupan
Menurut Shaines Squire teori gender diciptakan oleh laki-laki, dan
dikembangkan berdasarkan norma dan sudut pandang laki-laki yang terkadang salah
menginterpretasikan perempuan sehingga menimbulkan diskriminasi atau kerugian di
pihak perempuan (Setiadi, Elly M & Kolip, 2011). Menurut Maccoby, perbedaan
perilaku bagi perempuan dan laki-laki sebenarnya timbul bukan karena faktor bawaan
sejak lahir tetapi lebih disebabkan karena sosial-budaya masyarakat yang membedakan
perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki sejak awal masa perkembangan. Di
samping faktor biologis, bentuk tatanan masyarakat yang pada umumnya patriarchal
juga membuat laki-laki lebih dominan dalam sistem keluarga dan masyarakat, dan hal
tersebut sangat merugikan kedudukan perempuan (Setiadi, Elly M & Kolip, 2011).

Seperti yang diutarakan oleh Maccoby bahwa budaya patriarchal yang


membuat laki-laki lebih dominan dan hal tersebut sangat merugikan kedudukan
perempuan, seperti pada proses pengambilan keputusan pada keluarga mengenai siapa
yang akan menjadi akseptor KB, dalam hal ini perempuan sangat dirugikan karena
banyak perempuan yang mengeluh berat badan mereka bertambah setiap selesai suntik
KB dan beberapa mengalami masalah pada mood, kulit dan juga siklus menstruasi.
Kurangnya literasi terutama pada pihak laki-laki mengenai KB pria di Kampung Batu
merupakan permasalahan yang jika diperbaiki akan mmbutuhkan waktu yang cukup
panjang, karena merubah paradigma berpikir laki-laki agar tidak terlalu mendominasi
tidak bisa dilakukan dengan waktu yang singkat.
Istilah gender tidak akan menjadi permasalahan jika perbedaan kelamin
manusia di dalam struktur sosial itu tidak menimbulkan ketidakadilan seksual.
Ketidakadilan yang muncul dari gejala gender ini berfokus pada kaum perempuan
yang oleh berbagai pihak dikatakan menjadi korban ketidakadilan di dalam struktur
tersebut (Setiadi, Elly M & Kolip, 2011). Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh
Bu Yayuk, bahwa persoalan ketidakadilan gender di dalam KB memang menjadi suatu
isu tersendiri, karena ada isu lain yang jauh lebih penting untuk diatasi, yaitu
kurangnya literasi remaja terhadap kesehatan organ reproduksi dan pernikahan dini. Bu
Yayuk menginginkan perlu digalakan sosialisasi mengenai hal ini, perlu ditekankan
bahwa remaja masih banyak harus belajar untuk bisa memiliki kehidupan yang lebih
baik agar bisa lebih siap dalam membangun rumah tangga dan bisa mencetak generasi
penerus yang bisa memajukan bangsa.

Dalam sudut pandang feminisme terdapat dua hal penting dalam teori The
Second Sex dari Beauvoir yang pertama adalah sex dan gender dan yang kedua adalah
subordinasi atas perempuan tidak dibenarkan secara biologis, perempuan adalah
manusia yang sama seperti laki-laki, dan harus memiliki status setara di semua aspek
kehidupan publik. Beauvoir membedakan antara female (berdasarkan kategori
biologis) dan woman (berdasakan kategori eksistensial). Bagi banyak feminis, hal ini
dipetakan ke dalam perbedaan yang mereka gunakan antara sex dan gender, di mana
sex sebagai kategori biologis dan gender sebagai kategori sosial. Jadi tidak ada tidak
ada hubungan yang perlu antara perbedaan seksual biologis dan norma-norma gender
secara sosial dan budaya. Hal ini juga untuk menyampaikan kesetaraan antara laki-laki

Teori
Wacana
Foucault
Perempuan
merupakan
Golongan
Subordinasi baik
secara sex dan
The Other
gender.
dalam Teori
The Second
Sex Beauvoir

dan perempuan dalam kehidupan sosial (Edkins, Jenny & Williams, 2010).

Gambar 3 Konsep Teori Foucault dan Beauvoir


Dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki seperti yang ada di
Kampung KB di Kota Batu perempuan masih dianggap sebagai jenis kelamin yang
subordinasi, karena perempuan menurut dalam budaya patriarki menurut Foucault
berada dalam dominasi golongan maskulin yang menanamkan wacana-wacana bahwa
laki-laki itu dominan dan perempuan ada untuk melengkapi kebutuhan laki-laki. Jadi
semenjak kecil hingga dewasa dikondisikan pola pikirnya untuk selalu patuh terhadap
laki-laki dan mengikuti keputusan laki-laki, dan hal ini didukung oleh lembaga resmi
setempat yang memiliki wewenang untuk melegalkan pernikahan di daerah setempat,
jadi pihak BKKBN dalam rangka meningkatkan kepedulian akan pentingnya program
KB kepada laki-laki juga mengalami kendala karena banyaknya konsep yang kurang
tepat seputar KB di kalangan laki-laki.
BAB V
Penutup

1.1 Kesimpulan
Dalam budaya patriarki perempuan merupakan golongan subordinasi yang
membuat perempuan tidak memiliki cukup kehendak untuk menentukan pilihannya
sendiri. Perempuan ada untuk melengkapi kebutuhan laki-laki, adanya wacana yang
ditanamkan dalam diri perempuan semenjak kecil yang membuat perempuan merasa
normal berada dalam dominasi kaum maskulin. Di Indonesia sendiri, khususnya dalam
budaya Jawa yang menganut hegomoni patriarki membuat perempuan tidak memiliki
posisi yang cukup untuk mengambil keputusan, salah satu contohnya dalam ranah
domestik.
Mengendalikan kepadatan penduduk dengan program KB menimbulkan
masalah baru bagi perempuan sendiri. Banyaknya alat KB yang membuat tubuh
perempuan tidak bisa berfungsi dengan normal yang kemudian berusaha diselesaikan
dengan mengajak para laki-laki untuk berkontribusi dan mengambil peran dalam
program KB pemerintah agar angka penderita atau efek samping yang ditimbulkan dari
KB pada tubuh perempuan bisa dikurangi. Tetapi untuk menjalankan program tersebut
sangatlah susah karena laki-laki sendiri masih merasa superior dan tidak mau tahu
seputar kesehatan, terutama kesehatan reproduksi.
Lampiran
Daftar Pustaka
Abdullah, I. (2001). Seks, Gender, dan Reproduksi. Tarawang Press.

Abercrombie, Nicholas ; Hilll, Stephen ; Turner, B. S. (2010). Kamus Sosiologi. Pustaka


Pelajar.

Adian, D. G. (2002). Menabur Kuasa Menuai Wacana. BASIS, 01–02.

Almaheyu, Mihiteru & Meskele, M. (2017). Healt Care Decision Making Autonomy of
Women from Rural Districts of Southern Ethiopia: A Company Based Cross -Sectional
Study. International Journal of Women’s Health, 09(213–221).

Atmadja, N. B. (2005). Dekonstruksi Alasan Maknawi Wanita Bali Menjadi Guru dan
Implikasinya terhadap Kesetaraan Gender. Jurnal Kajian Budaya, 2(3).

Basuki, K. (2019). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Batu
Tahun 2017-2022. ISSN 2502-3632 (Online) ISSN 2356-0304 (Paper) Jurnal Online
Internasional & Nasional Vol. 7 No.1, Januari – Juni 2019 Universitas 17 Agustus 1945
Jakarta, 53(9), 1689–1699. www.journal.uta45jakarta.ac.id

Beauvoir, S. (2016). The Second Sex, Fakta dan Mitos. Narasi Pustaka Promethea.

BKKBN. (2018). Bergeser dari Hormonal ke Kontrasepsi Jangka Panjang. Jurnal Keluarga,
7, 16–17.

Creswell, J. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. PT.
Pustaka Pelajar.

Edkins, Jenny & Williams, N. V. (2010). Teori-Teori Kritis. Penerbit BACA!

Fakih, M. (2008). Analisis Gender Transformasi Sosial. INSIST Press.

Foucault, M. (2000). Sejarah Seksualitas, Seks dan Kekuasaan. Gramedia.

Karya, D. C. (2019). Profil Kabupaten / Kota Batu Jawa Timur.


ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/jatim/batu.pdf

Lincoln, N. K. (2009). Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar.

Malhotra, A. (2012). Remobilizing The Gender and Fertility Connection: The Case for
Examinating the Impact of Fertility Declines on Gender Equality. International Center
for Reasearch on Women Fertility and Women Empowerment Work Paper Series, 1(38).

Mansour, F. (2010). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar.

Miller, C. (2005). Developmental Changes in the Assessibility of Gender Stereotypes.


Unpublished Manuscript, Department of Psychology, New York City, 134.

Nasaruddin, U. (1999). Argumen Kesetaraan Jender, Prespektif Al-Quran. Paramadina.

Nations, U. (1995). Repport of the International Conference on Population and Development.


Journals of United Nations.

Richa, I. (2020). Kota Batu Sempat Duduki Posisi Ketiga Pernikahan Dini se-Jawa Timur.
Malangtimes.Com. https://www.malangtimes.com/baca/48044/20200114/195400/kota-
batu-sempat-duduki-posisi-ketiga-pernikahan-dini-se-jawa-timur

Ritzer, G. (2014). Teori Sosiologi Modern Edisi Ketujuh. Prenada Media Group.

RPIJM, K. B. (2003). Gambaran Umum Dan Kondisi Umum Wilayah. Rpijm Kota Batu, 1–
61.

Salim, A. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana.

Saputra, D. (2012). Sistem Pengobatan Tradisional pada Masyarakat Nagari Sikucur


Kecamatan V Koto Kampung Dalam Kab. Padang Pariaman. Universitas Andalas.

Setiadi, Elly M & Kolip, U. (2011). Pengantar Sosiologi. Prenada Media Group.

Spradley, J. P. (2006). Metode Etnografi. Tiara Wacana.

Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Penerbit Alfabeta.

Susilo, Daniel & Kodir, A. (2016). Politik Tubuh Perempuan: Bumi, Kuasa, dan Perlawanan.
E-Journal Politik Universitas Indonesia, 1(2).

Sutinah. (2017). Men’s Partisipation in Family Planning Program in the Postmodern Society
Era. E-Journal UNAIR, Masyarakat, Kebudayaan, Dan Politik, 30(3), 289–299.

Anda mungkin juga menyukai