Anda di halaman 1dari 15

Biografi Ismail Marzuki

Ismail Marzuki lahir pada 11 Mei 1914 dari orang tua berkecukupan yang tinggal di Jakarta.
Marzuki, ayahnya, tidak ingin Ismail menjadi musisi dan berharap ia bekerja sebagai pegawai
kantoran.

Menurut buku Seabad Ismail Marzuki yang ditulis oleh Ninok Leksono, Marzuki selalu
berupaya agar anaknya mendapatkan kualitas pendidikan terbaik agar kelak bisa memiliki
karier yang gemilang. Ismail melalui jenjang pendidikan dasar dan menengah di HIS dan
MULO, institusi pendidikan yang hanya bisa dimasuki oleh golongan elit pribumi.

Di samping itu, Marzuki pun mengikutsertakan Ismail dalam komunitas yang memungkinkan
dia untuk bergaul dengan anak-anak dari etnis lain seperti Tionghoa dan Belanda. Marzuki
juga mementingkan pendidikan agama untuk Bang Maing (panggilan Ismail Marzuki).
Karena itu, ia mengikutsertakan anaknya dalam institusi pendidikan Madrasah.

Namun, sebagaimana keras orangtua berusaha, bakat dan minat anak tidak bisa terus
direpresi. Usai sekolah, Marzuki memilihkan pekerjaan pekerjaan pertama untuk putranya
sebagai kasir, tapi, Ismail yang tidak betah justru terus beralih profesi sebagai penjual alat
musik dan piringan hitam.

Sebagaimana keras orangtua berusaha, bakat dan minat anak tidak bisa terus direpresi.
Bisa dikatakan, Ismail menjalani pekerjaan yang sesuai hobinya. Mendengar piringan hitam
sudah jadi kebiasaan Ismail sejak kanak-kanak. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya
diturunkan oleh Marzuki, seorang kolektor piringan hitam dan penggemar musik gambus.

Sebetulnya, kesukaan Ismail terhadap musik menurun dari ayahnya sendiri. Marzuki
menjadikan musik sebagai ranah untuk bersenang-senang di luar pekerjaan, sehingga ia ingin
anaknya juga demikian. Ternyata, jalan hidup berkata lain.

Ismail jadi penjual piringan hitam yang sukses. Dengan pengetahuan yang luas soal musik
dan dipadu dengan keterampilan berkomunikasi dan penampilan yang mumpuni, Ismail
berhasil memikat para konsumen. Mereka nyaman bicara dengannya soal musik sehingga
proses transaksi tidak hanya sebatas jual-beli yang dilakukan dalam waktu singkat, tetapi
terjadi pula obrolan-obrolan dan diskusi yang menarik.

Selain sukses menjual piringan hitam, Ismail juga kerap mendapat komisi dari penjualan alat
musik seperti piano. Lagi-lagi kedekatan Ismail dengan alat musik juga bersumber dari
rumah. Selain mengoleksi piringan hitam, Marzuki juga memiliki beberapa alat musik di
rumah. Sejak anak-anak, Ismail sudah begitu dekat dengan berbagai bentuk instrumen.

Lantas, lingkup pekerjaan Ismail mempertemukannya dengan Hugo Dumas, pemimpin orkes
Lief Java. Pada masa itu, Lief Java adalah grup musik populer yang biasa membawakan
keroncong dan dianggap punya peran penting dalam perkembangan musik keroncong di
Indonesia. Lief Java populer di ranah perfilman, pertunjukan, dan penyiaran radio. ―Lief Java
adalah ‗ibu‘ seni suara dan seni musik Indonesia,‖ demikian yang tertulis dalam Krontjong
Orkest ―Lief Java‖ dalam Pedoman Radio No.59.

Dalam orkes tersebut, Ismail memiliki beberapa peran. Ada kalanya, ia bermain alat musik
banyo. Ada waktunya juga dia menyanyi. Dari semua peran itu, Ismail paling aktif membuat
aransemen ulang dari lagu barat, keroncong, dan langgam Melayu.

Lambat laun, Ismail rasanya lebih nyaman mencipta lagu. Bisa dibilang, Ismail sudah
menciptakan lagu sejak tahun 1930an. Namun, periode paling produktif Ismail dapat
dikatakan berlangsung pada 1945-1949. Pada itu, jenis musik yang sedang populer di
Indonesia adalah beguin, cha cha, foxtrot, dan berbagai jenis musik asal Amerika Latin
lainnya.

―Keroncong itu jenis musik mainstream pada saat itu. Selain itu, juga ada musik irama lautan
teduh atau musik hawai. Dan musik kolonial atau musik-musik dari Belanda,‖ ujar Ninok
dalam wawancara dengan redaksi Indonesia Kaya.

Karya Ismail Marzuki adalah perpaduan dari berbagai jenis musik yang populer pada masa
itu. Ciptaan-ciptaan Ismail tidak lepas dari kritik. Kritik terbesar yang pernah dilayangkan
kepada Ismail dari sesama budayawan dalam negeri adalah perihal hak cipta. Beberapa karya
Ismail seperti Halo Halo Bandung dan Panon Hideung dianggap tidak orisinil dan meniru
lagu barat.

Ciptaan-ciptaan Ismail tidak lepas dari kritik. Kritik terbesar yang pernah dilayangkan kepada
Ismail dari sesama budayawan dalam negeri adalah perihal hak cipta. Beberapa karya Ismail
seperti Halo Halo Bandung dan Panon Hideung dianggap tidak orisinil dan meniru lagu
barat.

Hal tersebut mungkin terjadi karena pada masa itu, regulasi hak cipta belum terlalu ketat.
Sehingga hal seperti pengalihbahasaan lagu kerap terjadi.

Sementara itu, musisi-musisi luar mengkritik karya Ismail yang dinilai tidak sesuai pakem
musik lantaran si pencipta tidak pernah mengenyam pendidikan musik. Meski demikian,
berbagai kritik itu tidak membuat publik memandang Ismail sebelah mata.

Ismail di Mata Anak Semata Wayangnya

Rachmi Marzuki memang tidak punya banyak waktu untuk menghabiskan hari-hari bersama
Ismail Marzuki, bapaknya. Ismail meninggal saat usia Rachmi masih 8 tahun pada 25 Mei
1958 di Jakarta. Tapi dari waktu yang singkat itu, masih ada beberapa hal yang membekas di
ingatan Rachmi.

Ismail adalah orang yang disiplin. Setiap malam, ayahnya selalu duduk di meja kerja sambil
menciptakan lagu dengan bantuan alat musik gitar dan akordeon. ―Suka denger kalau tengah
malam,‖ kata Rachmi.
Setiap selesai menciptakan lagu, Ismail selalu meminta istrinya, Euis Zuraidah, untuk
menyanyikan karya ciptanya, sambil mengetes apakah masih ada komposisi yang kurang
enak didengar.

Rumah tinggal Ismail di Kampung Bali, Kebon Sirih, Jakarta Pusat; selalu dipenuhi musik.
Tetapi hal itu tidak membuat Ismail tergerak untuk mengajari putri semata wayangnya
bermain musik.

―Bapak hanya rutin mengajarkan mengaji. Dia enggak mau saya jadi musisi,‖ lanjut Rachmi.
Ia tidak sempat bertanya alasan ayahnya, dan juga tidak pernah meminta diajari cara
menggunakan alat musik.

Akhirnya, yang lebih membekas di ingatan Rachmi adalah ayahnya yang sakit-sakitan dan
meninggalkan beberapa lagu yang belum selesai diciptakan.

Seingat Rachmi, Ismail terserang penyakit paru-paru setelah menggunakan saksofon milik
kawannya. Ismail tidak tahu bahwa si kawan mengidap penyakit paru. Kuman penyakit yang
masih menempel di saksofon terhirup dan membuat Ismail jatuh sakit. ―Padahal saksofonnya
sudah dibersihkan.‖

Sesaat sebelum meninggal, Ismail sedang menciptakan lagu Inikah Bahagia. ―Biasa,
diciptakan tengah malam di rumah. Tapi ya jadi belum diapa-apain. Bapak keburu
meninggal.‖

Sesaat sebelum meninggal, Ismail sedang menciptakan lagu Inikah Bahagia. ―Biasa,
diciptakan tengah malam di rumah. Tapi ya jadi belum diapa-apain. Bapak keburu
meninggal.‖

Sebelum itu, Ismail sempat menciptakan lagu Kasih Putus di Tengah Jalan. ―Ibu bilang,
‗Kok nyiptain lagu kayak gini? Kamu mau ninggalin saya?‖. Rachmi bercerita bahwa saat itu
ayahnya hanya menjawab, ―Itu kan cuma lagu.‖ Tapi hati Euis tetap merasa tidak enak.

Mungkin perasaan tidak enak itu muncul karena apa yang diciptakan Ismail biasanya
berangkat dari kenyataan yang ia alami di sekitarnya.
―Pernah waktu kami lagi jalan-jalan ke Pasar Gambir. Kita duduk-duduk terus
bapak ngeluarin kertas, bolpen, dan nyiptain lagu yang sekarang judulnya Kr. Pasar
Gambir (populer setelah dinyanyikan kembali oleh Chrisye).‖

Rachmi menganggap lagu-lagu ciptaan Ismail jadi populer setelah ia wafat. Setelah kepergian
Ismail, begitu banyak orang yang mendatangi Euis dan Rachmi untuk memberi penghargaan
kepada Ismail.

―Paling enggak tiga bulan sekali lah ada aja yang datang. Ada yang ngasih piagam. Yang
terbaru nih undangan untuk penggantian patung pak Ismail di TIM dari Gubernur Jakarta.‖
Biografi Steve Jobs

Pada tahun 1976, Steve Jobs mendirikan Apple Computer Inc. bersama Steve Wozniak.
Di bawah bimbingan Jobs, perusahaan ini memelopori serangkaian teknologi
revolusioner, termasuk iPhone dan iPad.

Steve Jobs adalah seorang penemu, perancang, dan pengusaha Amerika yang merupakan
salah satu pendiri, kepala eksekutif, dan ketua Apple Inc. Lahir pada tahun 1955 dari dua
mahasiswa pascasarjana Universitas Wisconsin yang menyerahkannya untuk diadopsi, Jobs
cerdas namun tidak memiliki arah, putus sekolah kuliah dan bereksperimen dengan berbagai
bidang sebelum mendirikan Apple bersama Steve Wozniak pada tahun 1976. Jobs
meninggalkan perusahaan tersebut pada tahun 1985, meluncurkan Pixar Animation Studios,
lalu kembali ke Apple lebih dari satu dekade kemudian. Produk revolusioner raksasa
teknologi ini, termasuk iPhone, iPad, dan iPod, telah menentukan evolusi teknologi modern.
Jobs meninggal pada tahun 2011 setelah perjuangan panjang melawan kanker pankreas.

Orang Tua dan Adopsi Steve Jobs

Steve Jobs lahir pada tanggal 24 Februari 1955, di San Francisco dari pasangan Joanne
Schieble (kemudian menjadi Joanne Simpson) dan Abdulfattah ―John‖ Jandali, dua
mahasiswa pascasarjana Universitas Wisconsin. Pasangan itu menyerahkan putra mereka
yang tidak disebutkan namanya untuk diadopsi. Saat masih bayi, Jobs diadopsi oleh Clara
dan Paul Jobs dan diberi nama Steven Paul Jobs. Clara bekerja sebagai akuntan, dan Paul
adalah seorang veteran dan masinis Penjaga Pantai.

Ayah kandung Jobs, Jandali, adalah seorang profesor ilmu politik Suriah. Ibu kandungnya,
Schieble, bekerja sebagai ahli terapi wicara. Tak lama setelah Jobs diadopsi, orang tua
kandungnya menikah dan memiliki anak lagi, Mona Simpson. Baru pada usia 27 tahun, Jobs
baru bisa mengungkap informasi tentang orang tua kandungnya.

Kehidupan Awal dan Pendidikan

Jobs tinggal bersama keluarga angkatnya di Mountain View, California, di wilayah yang
kemudian dikenal sebagai Silicon Valley. Dia penasaran sejak kecil, terkadang
merugikannya. Menurut majalah Science Focus BBC , Jobs dibawa ke ruang gawat darurat
dua kali saat masih balita—satu kali setelah memasukkan pin ke stopkontak listrik dan
tangannya terbakar, dan satu kali lagi karena ia menelan racun. Ibunya, Clara, telah
mengajarinya membaca saat dia mulai masuk taman kanak-kanak.

Saat masih kecil, Jobs dan ayahnya bekerja di bidang elektronik di garasi keluarga. Paul
menunjukkan kepada putranya cara membongkar dan merekonstruksi barang elektronik,
sebuah hobi yang menanamkan kepercayaan diri, keuletan, dan kecakapan mekanik pada Jobs
muda.

Meskipun Jobs selalu menjadi pemikir yang cerdas dan inovatif, masa mudanya penuh
dengan rasa frustrasi terhadap pendidikan formal. Jobs adalah orang yang suka iseng di
sekolah dasar karena bosan, dan guru kelas empatnya perlu menyuapnya untuk belajar.
Namun, Jobs diuji dengan sangat baik sehingga para administrator ingin membolosnya ke
sekolah menengah atas—sebuah usulan yang ditolak orang tuanya.

Saat bersekolah di Homestead High School, Jobs bergabung dengan Explorer's Club di
Hewlett-Packard. Di sanalah dia pertama kali melihat komputer. Dia bahkan mengambil
pekerjaan musim panas di HP setelah menelepon salah satu pendiri perusahaan, Bill Hewlett,
untuk meminta suku cadang penghitung frekuensi yang sedang dia bangun. Di HP itulah Jobs
yang masih remaja bertemu, dia bertemu dengan calon rekannya dan salah satu pendiri Apple
Computer Steve Wozniak , yang kuliah di University of California, Berkeley.

Setelah lulus SMA, Jobs mendaftar di Reed College di Portland, Oregon. Karena kurangnya
arahan, dia mengundurkan diri dari perguruan tinggi setelah enam bulan dan menghabiskan
satu setengah tahun berikutnya mengikuti kelas kreatif di sekolah tersebut. Jobs kemudian
menceritakan bagaimana salah satu mata kuliah kaligrafi mengembangkan kecintaannya pada
tipografi.

Pada tahun 1974, Jobs mengambil posisi sebagai desainer video game di Atari. Beberapa
bulan kemudian, dia keluar dari perusahaan untuk mencari pencerahan spiritual di India,
melakukan perjalanan lebih jauh dan bereksperimen dengan obat-obatan psikedelik.

Mendirikan dan Meninggalkan Apple Computer Inc.

Pada tahun 1976, ketika Jobs baru berusia 21 tahun, dia dan Wozniak mendirikan Apple
Computer Inc. di garasi keluarga Jobs. Jobs menjual bus Volkswagen miliknya dan Wozniak
menjual kalkulator ilmiah kesayangannya untuk mendanai usaha wirausaha mereka. Melalui
Apple, para pria ini berjasa merevolusi industri komputer dengan mendemokratisasi
teknologi dan menjadikan mesin lebih kecil, lebih murah, intuitif, dan dapat diakses oleh
konsumen sehari-hari.

Wozniak merancang serangkaian komputer pribadi yang mudah digunakan, dan—dengan


Jobs sebagai penanggung jawab pemasaran—Apple awalnya memasarkan komputer tersebut
dengan harga $666,66 per komputer. Apple I menghasilkan perusahaan sekitar $774.000.
Tiga tahun setelah peluncuran model kedua Apple, Apple II, penjualan perusahaan meningkat
secara eksponensial menjadi $139 juta.

Pada tahun 1980, Apple Computer menjadi perusahaan publik, dengan nilai pasar $1,2 miliar
pada akhir hari pertama perdagangannya. Namun, beberapa produk Apple berikutnya
mengalami cacat desain yang signifikan, sehingga mengakibatkan penarikan kembali dan
kekecewaan konsumen. IBM tiba-tiba melampaui Apple dalam penjualan, dan Apple harus
bersaing dengan dunia bisnis yang didominasi IBM/PC.

Steve Jobs, CEO Apple John Sculley, dan salah satu pendiri Apple Steve Wozniak
memperkenalkan komputer baru pada tahun 1984.

Jobs meminta pakar pemasaran John Sculley dari Pepsi-Cola untuk mengambil alih peran
CEO Apple pada tahun 1983. Tahun berikutnya, Apple merilis Macintosh, memasarkan
komputer sebagai bagian dari gaya hidup tandingan: romantis, berjiwa muda, kreatif. Namun
meskipun penjualannya positif dan kinerjanya lebih unggul dibandingkan PC IBM,
Macintosh masih belum kompatibel dengan IBM.

Sculley yakin Jobs merugikan Apple, dan para eksekutif perusahaan mulai mengeluarkannya
dari jabatannya. Karena tidak memiliki jabatan resmi di perusahaan yang ia dirikan, Jobs
terdesak ke posisi yang lebih terpinggirkan dan meninggalkan Apple pada tahun 1985.

Diagnosis Kanker Pankreas dan Tantangan Kesehatan

Pada tahun 2003, Jobs mengetahui bahwa ia mengidap tumor neuroendokrin, suatu bentuk
kanker pankreas yang jarang namun dapat dioperasi. Daripada langsung memilih operasi,
Jobs memilih untuk mengubah pola makan pesco-vegetarian sambil mempertimbangkan
pilihan pengobatan Timur.

Selama sembilan bulan, Jobs menunda operasi, membuat dewan direksi Apple gelisah. Para
eksekutif khawatir pemegang saham akan menarik saham mereka jika tersiar kabar bahwa
CEO sakit. Namun pada akhirnya, kerahasiaan Jobs lebih diutamakan daripada
pengungkapan kepada pemegang saham.

Iklan - Lanjutkan Membaca Di Bawah

Pada tahun 2004, Jobs berhasil menjalani operasi untuk mengangkat tumor pankreas. Sesuai
dengan bentuknya, Jobs tidak banyak mengungkapkan tentang kesehatannya pada tahun-
tahun berikutnya.

Awal tahun 2009, beredar laporan tentang penurunan berat badan Jobs, beberapa
memperkirakan masalah kesehatannya telah kembali, termasuk transplantasi hati. Jobs
menanggapi kekhawatiran ini dengan menyatakan bahwa dia sedang menghadapi
ketidakseimbangan hormon. Beberapa hari kemudian, dia mengambil cuti selama enam
bulan.

Dalam pesan email kepada para karyawannya, Jobs mengatakan bahwa ―masalah yang
berhubungan dengan kesehatan ternyata lebih kompleks‖ daripada yang ia kira, dan
kemudian menunjuk Tim Cook , yang saat itu menjabat sebagai chief operating officer
Apple, sebagai ―yang bertanggung jawab atas operasional Apple sehari-hari.‖

Setelah hampir setahun keluar dari sorotan, Jobs menyampaikan pidato utama di acara Apple
khusus undangan pada tanggal 9 September 2009. Ia terus menjabat sebagai pembawa acara,
termasuk peluncuran iPad, sepanjang tahun 2010.
Pada bulan Januari 2011, Jobs mengumumkan bahwa dia akan mengambil cuti medis. Pada
bulan Agustus, ia mengundurkan diri sebagai CEO Apple dan menyerahkan kendali kepada
Cook.

Kematian dan Kata-kata Terakhir

Jobs meninggal pada usia 56 tahun di rumahnya di Palo Alto, California, pada tanggal 5
Oktober 2011. Penyebab resmi kematiannya tercatat sebagai gangguan pernapasan terkait
perjuangannya selama bertahun-tahun melawan kanker pankreas.

The New York Times melaporkan bahwa di minggu-minggu terakhirnya, Jobs menjadi
sangat lemah sehingga dia kesulitan menaiki tangga di rumahnya. Meski begitu, dia masih
bisa mengucapkan selamat tinggal kepada beberapa rekan lamanya, termasuk CEO Disney
Bob Iger; berbicara dengan penulis biografinya; dan menawarkan saran kepada para eksekutif
Apple tentang peluncuran iPhone 4S.

Dalam pidatonya untuk Jobs , saudari Mona Simpson menulis bahwa sebelum meninggal,
Jobs lama sekali menatap adiknya, Patty, lalu istri dan anak-anaknya, lalu melewati mereka,
dan mengucapkan kata-kata terakhirnya: ―Oh wow. Oh wow. Oh wow."

Keluarga dan teman-teman terdekat Jobs mengenangnya dalam sebuah pertemuan kecil,
kemudian pada tanggal 16 Oktober, pemakaman Jobs diadakan di kampus Universitas
Stanford. Peserta terkemuka termasuk salah satu pendiri Microsoft, Bill Gates ;
penyanyi Joan Baez , yang pernah berkencan dengan Jobs; mantan Wakil Presiden Al Gore ;
aktor Tim Allen; dan ketua News Corporation Rupert Murdoch .

Jobs dimakamkan di kuburan tak bertanda di Alta Mesa Memorial Park di Palo Alto. Setelah
film Steve Jobs tahun 2015 dirilis , para penggemar pergi ke pemakaman untuk menemukan
situs tersebut. Karena pihak pemakaman tidak diperbolehkan mengungkapkan lokasi
kuburannya, banyak yang meninggalkan pesan untuk Jobs di buku peringatan.
Biografi Putu Wijaya

Putu Wijaya, who we know as a writer, has a quite long name, namely I Gusti Ngurah Putu
Wijaya. From his name it can be seen that he comes from Bali. Putu was born in Puri Anom,
Tabanan, Bali on April 11, 1944. As a teenager, he showed his passion for the world of
literature. While still in junior high school in Bali, he started writing short stories and some of
them were published in the daily Suluh Indonesia, Bali. When he was in high school, he
broadened his horizons by getting involved in theatrical activities. After finishing high
school, he continued his studies in Yogyakarta, the city of arts and culture.

In Yogyakarta, apart from studying at the Faculty of Law, UGM, he also studied painting at
the Indonesian Academy of Fine Arts (ASRI), drama at the Academy of Dramatic Arts and
Film (Asdrafi), and increased his literary activities. From the Faculty of Law, UGM, he
earned a law degree (1969), from Asdrafi he failed in writing a thesis, and from artistic
activities he gained his identity as an artist.

After approximately seven years living in Yogyakarta, Putu moved to Jakarta. In Jakarta he
joined the Little Theater and Popular Theater. Apart from that, he also worked as an editor for
Ekspres magazine. After the magazine died, he became editor of Tempo magazine (1971–
1979). Together with his colleagues at Tempo magazine, Putu founded Theater Mandiri
(1974).

While still working at Tempo magazine, he received a scholarship to study drama in Japan
(1973) for one year. However, because he did not feel at home with his environment, he
studied for only ten months. After that, he returned to being active in Tempo magazine. In
1975 he attended the International Writing Program in Iowa, United States. After that, he was
also the editor of Zaman magazine (1979-1985).

He also has experience playing dramas abroad, including at the World Theater Festival in
Nancy, France (1974) and at the Horizonte III Festival in West Berlin, Germany (1985). He
also brought the Mandiri Theater touring America in the play Yel and performing in Japan
(2001). Apart from that, he also taught in the United States (1985–1988).
Apart from that, Putu is also a film and soap opera director and writes soap opera
screenplays. The films he directed were Cas Cis Cus, Zig Zag, and Plong. The soap operas he
directed were Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, and Jari-Jari. The scenarios he wrote were
Village Virgin, Kembang Kertas, and Ramadhan and Ramona. All three scenarios won the
Citra Cup.

While living in Yogyakarta, his literary activities focused more on theater. He has appeared
with the Theater Workshop led by WS Rendra in several performances, including Bip-Bop
(1968) and Waiting for Godot (1969). He has also performed with the Sanggar Bambu group.
Apart from that, he also (had the courage) to appear in his own work entitled Lautan Singing
(1969). He is the scriptwriter and director of the play. His drama script became the third
winner of the Play Writing Competition organized by the Indonesian National Theater
Advisory Board.
Because his literary activities were more prominent in the field of theater, Putu Wijaya was
better known as a playwright. In fact, apart from doing theater, he also wrote quite a lot of
short stories and novels, as well as writing essays on literature. A number of his works,
including dramas, short stories and novels, have been translated into foreign languages,
including English, Dutch, French, German, Japanese, Arabic and Thai.
Putu's style of writing novels is not much different from his style of writing dramas. As in his
drama works, in his novels he tends to use an objective style at the center of the narrative and
a stream of consciousness style in its expression.
Regarding Putu's works, Rachmat Djoko Pradopo (in Understanding Putu Wijaya's Drama:
Ouch, 1985) commented that Putu dared to reveal the realities of life because of instincts
hidden in the subconscious, especially sexual libido which existed in areas of darkness.

a. Drama

1. In Moonlight (1966)

2. The Singing Ocean (1967)

3. When the Night Grows Night (1970)

4. Invalid (1974)

5. Less Than Three Months (1974)

6. Anu (1974)

7. Ouch (1975)

8. Dag-Dig-Dug (1976)

9. Gerr (1986)

10. Crazy

His essays are in the essay collections Burden, Fart, Vague, Clearing, Cliché, New Tradition,
Mental Terror, and Starting from What Is.
The awards he has received are as follows:
1. 1967 Third winner of the Indonesian National Theater Advisory Board's Play Writing
Competition (drama Lautan Bernyanyi)
2. 1971 Winner of the DKJ Romance Writing Competition (Telegram novel)
3. 1975 Winner of the DKJ Romance Writing Competition (Station novel) )
4. 1980 Recipient of SEA Write Award from the Kingdom of Thailand
5. 1991-1992 Recipient of Professional Fellowship from The Japan Foundation, Kyoto, Japan
Biografi Eka Kurniawan

Eka Kurniawan adalah salah satu sastrawan Indonesia yang mulai menggemparkan kancah
internasional atas novel yang telah ditulisnya. Novel itu berjudul Cantik Itu Luka. Atas ide
dan keseriusan mengemas cerita, novel tersebut berhasil menembus penghargaan World
Reader’s Award 2016 yang diselenggarakan di Hongkong. Penghargaan itu pun
menjembatani buku-bukunya untuk diterbitkan di tiga negara Eropa, yaitu Jerman, Polandia,
dan Norwegia. Tidak hanya itu, 30 negara lainnya ikut menerjemahkan novel yang dirilis
pada tahun 2002 itu.

Kini Eka Kurniawan menginjak usia 47 tahun. Pria ini lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat pada
28 November 1975. Ia menikah dengan tambatan hatinya yang bernama Ratih Kumala,
penulis buku Gadis Kretek pada tahun 2006 dan dikaruniai anak yang bernama Kidung
Kinanti Kurniawan. Selanjutnya, sumber yang dihimpun oleh kompas.com menyebutkan
bahwa Eka menghabiskan masa kecil dan remajanya di Pangandaran, Jawa Barat.

Eka menamatkan pendidikan terakhirnya di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada


dengan skripsi yang berjudul Pramedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosial. Skripsi itu
pun akhirnya menjadi buku nonfiksi yang ditulis oleh Eka Kurniawan, diterbitkan oleh
Yayasan Aksara Indonesia pada tahun 1999, dan beberapa kali dicetak.

Melalui latar belakang keilmuannya dari bidang filsafat itulah, banyak gagasan penceritaan
yang dibangun oleh Eka Kurniawan mempunyai filosofi tertentu dalam menyikapi realitas
kehidupan. Selain itu, kritik-kritik sosial pun ia utarakan dalam pengemasan penceritaannya.

Perjalanan sepanjang itu telah menghasilkan sejumlah karya, prestasi, dan penghargaan
selama menggeluti dunia kesusastraan. Berikut beberapa karya, prestasi, dan penghargaan
yang telah diraih Eka Kurniawan.

Karya-Karya
1. Cantik Itu Luka, 2002, Gramedia;
2. Lelaki Harimau, 2004, Gramedia;
3. Seperti Dendam, Rindu Hraus dibayar Tuntas, 2014, Gramedia;
4. Kitchen Curse: Stories;
5. Corat-coret di Toilet;
6. O: Tentang Seekor Monyet yang Ingin Menikah dengan Kaisar Dangdut;
7. Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta melalui Mimpi;
8. Kumpulan Budak Setan;
9. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis;
10. Cinta Tak Ada Mati;
11. Gelak sedih dan Cerita-Cerita Lainnya; dan
12. Usaha Menulis Silsilah Bacaan: Blog 2008—2011, 2015—2019.

Prestasi

1. Jurnal Foreign Policy pada tahun 2006 menobatkan Eka sebagai salah satu dari 100 pemikir
paling berpengaruh di dunia; dan
2. Lelaki Harimau menjadi salah satu buku pertama dari Indonesia yang dinominasikan pada
penghargaan sastra ―The Man Booker International Prize‖;

Penghargaan

1. Penghargaan Prince Claus Awards 2018 kategori Sastra/Literatur di Belanda atas kontribusi
di bidang kebudayaan;
2. Penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk antologi cerpen Cinta
Tak Ada Mati pada kategori kumpulan cerpen pada tahun 2018;
3. The S.E.A Write Award dari Kerajaan Thailand pada tahun 2019 untuk novel O: Tentang
Seekor Monyet yang Ingin Menikah dengan Kaisar Dangdut; dan
4. Pemenang penghargaan FT/Oppenheimer Funds Emerging Voices Awards di New York atas
buku yang berjudul Lelaki Harimau (Man Tiger) pada tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai