Simulasi bukan lagi wilayah, sebuah wujud, atau subtansi refernsial. Ia adalah
penciptaan lewat model-model suatu yang real, yang tanpa asal-usul realitas:
sebuah hipereal. Wilayah tidak lagi mendahului peta yang mendahului
wilayahprecession of simulacra. (Jean Baudrillard: Simulation,
Semiotext<e>).
1
Nathanologi.Modernitas Juggernaut
Dimensi filsafat yang membentuk ruang postmodernisme melawan
kontradiktif modernisme, modernisme sebagai bentuk masyarakat yang berasal
dari kesadaran esensial diri. Kesadaran yang dapat membentuk suatu masyarakat
post-modernisme antara realitas subyektif. Unsur-unsur subyektivitas yang
mendasari modernisme, masyarakat yang merupakan unsur subyektif memiliki
tujuan interaktif dalam masyarakat. Gerakan modernisme berawal dari gerakan
masyarakat struktur fundamental yang menginginkan bentuk suatu kemapanan
pada masyarakat yang melebihi segala realitas.
2
Nathanologi.Modernitas Juggernaut
dan imajinasi memiliki sebuah makna dalam suatu tradisi idenitas filsafat, yang
memiliki ruang yang sama (Tedjoworo: 2001).
Realitas dalam ruang yang terdapat simbol-simbol kultural terdapat dalam
masyarakat postmodernis, realitas yang memiliki bentuk imaji suatu individu
masyarakat kontemporer. Bentuk imaji yang terdiri dari realitas antara realitas
simbol yang memiliki manisfestasi kultural obyektif realitas. Persoalan realitas
tidak serumit dalam tradisi postmodernisme, realitas memiliki makna teks
diskursif yang dikembangkan. Persoalan diskursif memiliki relasi-relasi kuasa
dalam bentuk imajiner. Kekuatan imajinasi dalam setiap manusia memiliki
bentuk-bentuk diskursif yang memberikan ruang gerak dalam tradisi wacana
[diskursif], dengan memiliki tujuan esensi pemetaan realitas. Apakah realitas
selama ini dapat dipercaya dalam suatu tradisi. Filsafat realitas yang memiliki
hubungan paradoks antara tradisi dan modernitas. Modernitas dalam memetakan
sebuah konsep yang merupakan pendefenisian dari bentuk struktur antar
hubungan dialogis yang bersifat inheren. Persoalan imaji dalam bentuk realitas
postmodernis, gambaran atau bayangan dari suatu bentuk esensi yang memiliki
nilai-nilai plus dalam suatu massa.
Persoalan Postmodernisme
Setiap masyarakat dapat menentukan pembentukan atas suatu realitas,
dalam hal tersebut mungkin memiliki bentuk suatu esensi atas setiap tindakan.
Tindakan dalam suatu postmodernisme menentukan citra dalam bentuk diri.
Sebagai istilah-payung memang postmodernisme dalam arti luas ini bisa terasa
kosong, bisa diisi apapun juga. Akan tetapi barangkali ia mesti dilihat ibarat
keranjang besar, kosong, meskipun keranjangnya ada. Dan itu sebetulnya sama
saja dengan istilah modern sendiri, yang juga bisa diisi apapun juga.
Orang bisa menyebut teknologi modern, pola pikir modern, pesantren
modern, bahkan gaya cukuran modern atau gudeg modern,dst. Dan orang bahkan
bisa menyebut berbagai aliran filsafat yang satu sama lain saling bertentangan
macam rasionalisme, empirisme, materialisme dan idealisme, semua sebagai
3
Nathanologi.Modernitas Juggernaut
filsafat modern, alias berada dalam satu keranjang yang sama. Artinya,
keranjangnya toh ada. Ada kecenderungan-kecenderungan dasar yang sama.
Beberapa kecenderungan dasar umum postmodernisme yang bisa
dianggap sebagai kerangka keranjang, misalnya, (1) kecenderungan menganggap
segala klaim tentang realitas (diri subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dsb.) sebagai
konstruksi semiotis, artifisial dan ideologis, (2) skeptis terhadap segala bentuk
keyakinan tentang substansi objektif (meski tidak selalu menentang konsep
tentang universalitas), (3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara
dan sistem (pluralisme), (4) paham tentang sistem sendiri dengan konotasi
otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan
jaringan, relasionalitas ataupun proses yang senantiasa saling-silang dan
bergerak dinamis, (5) dengan begitu cara pandang yang melihat segala sesuatu
dan sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan; segala
unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah
postmodernisme sendiri pun mesti dimengerti dalam interelasinya dengan
modernisme, alih-alih melihatnya sebagai oposisi), (6) melihat secara holistik
berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya, emosi,
imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb., serta (7) menghargai segala hal lain
(otherness),yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan
dipinggirkan oleh wacana modern (misal, kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal,
paranormal, agama, sehingga segala hal dan pengalaman yang selalu mengelak
dan pola rumusan kita).
Akan tetapi, keluasan memang berarti juga kekaburan. inilah memang
masalahnya, kekaburan istilah postmodern sebagian besar adalah karena
kekaburan istilah modern itu sendiri. modern dalam arti mana yang dikritik
postmodernisme itu. Berbagai kekisruhan dalam menempatkan situasi mana
dijalur mana berakar pada persoalan itu. Artinya, kendati postmodernisme bisa
dicanangkan prinsip-prinsip dasarnya yang sama, membuatnya bisa mencakup
demikian banyak aliran, toh selalu bisa juga dilihat perbedaan-perbedaannya pada
tingkat rincian-rincian.
4
Nathanologi.Modernitas Juggernaut
Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme dari postmodernitas.
Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk
menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri
adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke
ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral.
Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena, negara-bangsa pecah
menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar, partai-
partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial, kelas
sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang
memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi seksual, serta prinsip
kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang
menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual.
Sementara itu postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru
yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-
konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya
representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier (Adian: 2001).
Sama dengan Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan
postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernisme, jika sungguh-sungguh
ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam
sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-
aspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu postmodernitas
dimengertinya sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi-institusi
modernitas. Namun, alih-alih menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih
suka menggunakan istilah modernitas yang teradikalisasi (radicalized
modernity) untuk menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat
dan sedang melaju kencang bak Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu
dunia yang mrucut (runaway world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas yang
mewartakan berakhirnya epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang
terjadi sekarang ini adalah modernitas yang sadar diri” (Giddens: 2001).
Sementara itu tulisan, Bambang Sugiharto mengatakan bahwa
postmodernisme memang merupakan istilah yang kontroversial sekaligus
5
Nathanologi.Modernitas Juggernaut
ambigu. Postmodernisme itu bagaikan rimba belantara yang dihuni oleh aneka
satwa--suatu istilah yang memayungi segala aliran pemikiran yang satu sama
lain seringkali tak persis saling berkaitan. Namun kiranya cukup jelas, katanya,
bahwa dalam postmodernisme gagasan-gagasan seperti filsafat, rasionalitas ,
dan epistemologi dipertanyakan kembali secara radikal. Problem
postmodernisme menurut dia adalah problem keterbatasan bahasa, khususnya
keterbatasan fungsi deskriptif bahasa. Dia mengusulkan agar bahasa dilihat fungsi
transformatifnya. Muncullah metafor mula-mula diperkenalkan oleh Ricoeur—
yang dapat menjadi titik terang untuk melihat persoalan-persoalan yang diajukan
oleh postmodernisme. Metafor tidak menunjukkan suatu kebenaran absolut,
melainkan suatu kebenaran yang bertegangan (tensional truth) (Bambang
Sugiharto: 2000).
Lain lagi dengan, Terry Eagleton, mengungkapkan dalam The Illusions of
Postmodernism bahwa biasanya memang dibedakan antara postmodernisme dan
postmodernitas. Pembedaan ini cukup berguna baginya. Akan tetapi, dia sendiri
lebih senang menggunakan istilah postmodernisme, sebab istilah ini dapat
mencakup keduanya. Postmodernitas biasanya dimengerti sebagai gaya berpikir
yang curiga terhadap pengertian klasik tentang kebenaran, rasionalitas, identitas,
obyektivitas, curiga terhadap ide kemajuan universal atau emansipasi, curiga akan
satu kerangka kerja, grand narrative atau dasar-dasar terdalam dalam penjelasan.
Berlawanan dengan norma-norma pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia
sebagai yang kontigen, tak berdasar, tak seragam, tak stabil, tak dapat ditentukan,
seperangkat kebudayaan yang plural atau penafsiran yang melahirkan skeptisisme
terhadap obyektivitas kebenaran, sejarah dan norma-norma, kodrat yang
terberikan serta koherensi identitas. Sementara itu postmodernisme dimengerti
sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan jaman ini
ke dalam suatu seni yang diwarnai oleh ketakmendalaman, ketakterpusatan,
ketakberdasaran; seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta
pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya tinggi dan
budaya pop, antara seni dan hidup harian (Terry: 1996).
6
Nathanologi.Modernitas Juggernaut