PARADIGMA POSTMODERNISME
beberapa abad terbuaikan oleh modernisme yang membius melalui ciptaan sains dan
teknologinya.
Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf
Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala
nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an
menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari
modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam
“A Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan
istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur. Pada akhirnya istilah postmodernisme
menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus.
Hidayat (2019) menjelaskan dalam perkembanganya postmodernism dibagi
menjadi 2 bentuk:
1) Postmodernisme sebagai paradigma pemikiran yang meliputi 3 aspek yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Tokoh-tokohnya diantaranya Lyotard,
Derrida, dan Foucault.
2) Postmodernisme sebagai metode analisis kebudayaan masyarakat kontemporer.
Tokoh-tokohnya adalah Rortry dan Baudrillard.
B. Diri Akuntan
Melihat begitu besarnya pengaruh akuntansi dalam membentuk realitas, Morgan
(1988) dalam (Triyuwono, Akuntansi Syariah : Perspektif, Metodologi dan Teori 2015)
secara kritis memberikan pandangan bahwa sebaiknya akuntan tidak melihat sendiri
sebagai agen yang pasif (a passive agent) yang cuma mempraktikkan bentuk teknik
(technical craft) akuntansi, tetapi hendaknya menganggap dirinya sebagai agen yang
merupakan bagian dari, atau secart aktif terlibat dalam proses pembentukan realitas
sosial, yang mampu menginterpretasikan akuntansi sebagai realitas di mana maknanya
(the meanings of the reality) akan menjadi sumber bagi pembentukan (kembali) realitas
sosial. Namun, pandangan apakah akuntan adalah agen yang aktif atau pasif sangat
bergantung pada persepsi akuntan itu sendiri tentang hakikat dirinya (human nature) dan
bagaimana dia melihat realitas.
Pada posisi yang sama, yaitu dengan melihat penting pengaruh informasi
akuntansi terhadap pembentukan realitas, Francis dalam Triyuwono akhirnya juga
mengklaim bahwa akuntansi adalah sebuah praktik moral. Hal ini demikian, karena
akuntan dapat mengubah dunia dan memengaruhi pengalaman hidup orang lain dengan
cara yang menyebabkan pengalaman hidup seseorang menjadi berbeda dengan tidak
adanya (absence) akuntansi atau adanya (presence) bentuk alternatif akuntansi.
Dari pernyataan Francis (1990) dan Morgan (1988) di atas, kita juga semakin
memahami bahwa "diri" akuntan adalah faktor terpenting dalam menentukan warna dan
bentuk akuntansi (dan realitas sosial yang akan dibentuknya). "Diri" akuntan, dalam
paradigma modernisme, selalu dituntut untuk berpikir "rasional" dalam membuat
asumsi-asumsi, konvensi-konvensi, dan teoriteori akuntansi, atau perangkat-perangkat
lainnya dalam akuntansi. "Berpikir rasional" atau "rasio" merupakan jargon utama yang
digunakan sejak zaman Pencerahan. Rasio dapat dipandang sebagai alat yang digunakan
untuk mencapai kedewasaan, yaitu situasi kemandirian “diri” atau pembebasan “diri”
dari otoritas yang berada di luar dirinya.
Dari semuanya ini menandakan bahwa penggunaan rasio dalam wacana
kemodernan merupakan elemen sentral dan salah satu bentuk logo-sentrisme yang tidak
dapat ditinggalkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam aspek keilmuan.
Ini juga merupakan suatu indikator bahwa konstruksi, bentuk, dan praktik akuntansi
merupakan perwujudan dari gerak rasionalitas menuju pencapaian totalitas dan
kesempurnaan hidup manusia. Rasio, dalam wacana kemodernan, sudah menjadi mitos
bahwa rasio adalah alat tunggal dan hanya dengan rasiolah manusia akan mampu
mencapai kesempurnaan hidup. Penggunaan “sang lain” sebagai alternatif atau sebagai
pelengkap rasio tidak akan pernah eksis, karena dengan gerak dialektis, seperti yang
dikemukakan oleh Hegel, “sang lain” akan lebur ke dalam, atau bahkan, tersingkir dari
orbit rasio yang memiliki kuasa yang sangat kuat.
“Diri” akuntan yang posmodern adalah “diri” yang memiliki api etika, yang
dengan api ini ia mampu menginteraksikannya dengan rasio. Sehingga dengan interaksi
ini (interaksi antara hati nurani dan rasio) akhirnya akan diperoleh “wujud konkret
etika” yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Wujud konkret etika di sini
tidak lain adalah ilmu pengetahuan, apapun wujud dari ilmu pengetahuan tersebut,
termasuk akuntansi. Tegasnya, hati nurani adalah bersemayam dalam diri seseorang,
yang dengan ketajaman dan kepekaannya selalu berusaha untuk berinteraksi dengan,
dan memberikan pegangan etis kepada rasio dalam mengarahkan setiap aksi konkret
(tindakan nyata) maupun abstrak (yaitu, mengonstruk ilmu pengetahuan). Sedangkan
ilmu pengetahuan, sebagai produk dari interaksi internal antara hati nurani dan rasio,
adalah bentuk "konkret" nilai etika (Triyuwono, 2000).
C. Dekonstruksi Akuntansi
Isu tentang berakhirnya filsafat berkaitan erat dengan populernya istilah
dekonstruksi. Istilah ini awalnya sebetulnya digunakan oleh Heidegger, khususnya
manakala ia berkata bahwa : "konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus
serentak destruksi, yaitu dekonstruksi konsep-konsep tradisional dengan cara justru
kembali ke tradisi". Istilah ini kemudian populer melalui Jaques Derrida, dan
penggunaan metode itulah yang akhirnya mengklaim bahwa filsafat harus diakhiri saja.
(Yuhertiana 2008).
Triyuwono (2015) menyatakan bahwa dekonstruksi merupakan sebuah upaya
yang menyebabkan, dalam bidang filsafat, lumernya batas-batas (pola berpikir oposisi
biner) yang yang selama ini dipertahankan secara keras antara konsep dan metafor,
antara kebenaran dengan fiksi, antara filsafat dengan puisi, antara keseriusan dan
permainan. Lebih lanjut Triyuwono (2015) menyatakan bahwa dekonstruksi di bidang
ilmu ekonomi berarti menghadirkan aspek-aspek lain yang berada diluar narasi besar
(logosentrisme) sistem ekonomi modern semacam produktivitas, maksimalisasi laba dan
akumulasi modal.
Postmodernisme dengan semangat dekonstruksinya berusaha untuk mensejajarkan
kelompok marginal dengan kelompok yang berada pada posisi pusat. Jadi tidak saja
berorientasi untuk kepentingan stockholder sebagai wakil kapitalis tetapi juga
memperhatikan kepentingan pedagang asongan, kaki lima, industri kecil, pengangguran,
gelandangan dan kelompok non elit lainnya. Triyuwono (2015) mencoba untuk
melakukan dekonstruksi pandangan atas realita sosial akuntansi mainstream. Bagaimana
pandangan akuntansi mainstream atas realita sosial, perkembangan ilmu sosial, ekonomi
dan akuntansi sangat dipengaruhi oleh pola pikir yang dibentuk oleh positivistis ilmu
alam. Pendewaan ilmu alam sebagai tolak ukur telah digunakan dalam berbagai ilmu
termasuk ilmu-ilmu lunak seperti ilmu - ilmu sosial, juga ilmu ekonomi.
Burrel dan Morgan mengatakan bahwa dalam wacana ilmu pengetahuan sosial,
seorang nominalis dalam melihat realitas beranggapan bahwa "dunia sosial yang berada
di luar kognisi individu tidak lebih tersusun dari sekedar nama, konsep dan label yang
digunakan untuk membangun realitas dan digunakan sebagai kreasi artifisial yang
kegunaannya didasarkan pada kemudahan untuk menggambarkan, mengartikan dan
menegosiasikan dunia eksternal". Positivis beranggapan bahwa realita adalah tunggal
seperti nampak dalam dunia nyata, mengadopsi ilmu materi dalam ranah fisika.
Sedangkan paradigma postmodern tidak mengakui bentuk-bentuk penunggalan. Realita
menurut pandangan syariah agama Islam adalah majemuk. Jadi berbeda dengan
pandangan positivis yang mengakui bahwa realita adalah dunia nyata maka pandangan
syariah memasukkan unsur-unsur spiritual dalam dunia nyata tersebut. Jadi bisa
dipahami jika Triyuwono selalu mengacu pada kitab suci Al'quran sebagai rujukan
dalam mengidentifikasi realita sosial. Triyuwono berpendapat bahwa pandangan syariah
menganggap realita sosial tidak independen dari para aktor sosialnya ; realitas
diciptakan aktor-aktor sosial seperti yang terlihat dalam al-Qur'an 2 : 170, 275 ; 5:104,
Ini, tentu merupakan hakikat manusia yang pada dasarnya berkehendak bebas
(Triyuwono, University of Wollongong Thesis Collections 1995).
Bagaimana realita sosial dalam perspektif Akuntansi? Sama seperti bidang ilmu
lainnya, perspektif mainstream dalam akuntasipun beranggapan bahwa sebuah obyek
berada di luar sana (out there) dan diasumsikan tidak tergantung pada dan terpisah dari
subyek ; dan obyek (realitas) itu sendiri hanya dikenal sebagai teori jika subyek
(peneliti) dapat dengan benar mencerminkan dan menemukannya (Chua dalam
Triyuwono, 2000, 30).
Triyuwono tidak sependapat dengan pola pikir mainstream tersebut tercermin
dalam 3 hal:
1) Akuntasi sebagai realita tidak dapat dipandang sebagai obyek yang terpisah dari
subyeknya, yakni akuntan atau masyarakatnya; atau sebagai obyek yang eksis
diluar sana. Bagaimanapun juga akuntansi merupakan hasil dari interaksi sosial
yang didalamnya terkandung nilai-nilai sosial masyarakat.
REFERENSI