Anda di halaman 1dari 7

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PEMIKIRAN AKUNTANSI

PARADIGMA POSTMODERNISME

A. Sejarah dan Konsep Paradigma Postmodernisme


Lahirnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari adanya paham modernisme.
Pandangan modernisme menganggap bahwa kebenaran ilmu pengetahuan bersifat
mutlak dan objektif, artinya tidak adanya nilai dari manusia (Setiawan, 2018).
Postmodernisme adalah paham yang lahir dari sebuah kegagalan para filsuf
Modernisme untuk memajukan sosial manusia. Karena kegagalan tersebut dalam
menjalani misinya untuk menjadikan generasi manusia mendatang lebih maju dalam
perkembangan pengetahuan dan sosial juga. Menganggap bahwa kebenaran ilmu
pengetahuan haruslah konkrit serta objektif, tidak adanya nilai dari manusia, maka
beberapa filsuf melahirkan sebuah paham yang lebih baik dari sebelumnya dan lebih
memantapkan tujuan yang akan dicapai yaitu paham Postmodernisme. Dalam hal ini
postmodernisme memiliki sebuah pengetahuan yang bersifat subjektif dan interpretasi
yang merupakan kebalikan dari Modernisme.
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme.
Sementara itu modernisme itu sendiri diartikan oleh Lyotard (Berstens, 1996) sebagai
proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari kesatuan di
bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan dimana “Aufklarung”
(masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek besar ini. Modernisme
menciptakan penyebaran hegemoni peradaban barat, industrialisasi, urbanisasi,
teknologi dan konsumerisme. Modernisme juga menimbulkan adanya rasisme,
perbedaan kaya dan miskin, diskriminasi, pengangguran dan stagnasi. Dalam pemikiran
postmodernisme, modernisme merupakan simbol atau logosentrisme dalam dunia
akuntansi (Safriliana 2020).
Sebagai gerakan pemikiran, postmodernisme ‘berhasil’ menawarkan opini,
melontarkan apresiasi dan menikamkan kritik yang tajam terhadap wacana modernitas
dan kapitalisme (global) mutakhir. Di tengah kemapanan dan pesona yang ditawarkan
oleh proyek modernisasi dengan rasionalitasnya, postmodernisme justru ditampilkan
dengan sejumlah evaluasi kritis dan tajam terhadap impian-impian masyarakat modern.
Kritik tersebut, tidak saja mengagetkan dunia publik intelektualitas Barat yang sejak

Sri Wahyuni Nur – A023231007 1


MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PEMIKIRAN AKUNTANSI

beberapa abad terbuaikan oleh modernisme yang membius melalui ciptaan sains dan
teknologinya.
Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf
Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala
nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an
menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari
modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam
“A Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan
istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur. Pada akhirnya istilah postmodernisme
menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus.
Hidayat (2019) menjelaskan dalam perkembanganya postmodernism dibagi
menjadi 2 bentuk:
1) Postmodernisme sebagai paradigma pemikiran yang meliputi 3 aspek yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Tokoh-tokohnya diantaranya Lyotard,
Derrida, dan Foucault.
2) Postmodernisme sebagai metode analisis kebudayaan masyarakat kontemporer.
Tokoh-tokohnya adalah Rortry dan Baudrillard.
B. Diri Akuntan
Melihat begitu besarnya pengaruh akuntansi dalam membentuk realitas, Morgan
(1988) dalam (Triyuwono, Akuntansi Syariah : Perspektif, Metodologi dan Teori 2015)
secara kritis memberikan pandangan bahwa sebaiknya akuntan tidak melihat sendiri
sebagai agen yang pasif (a passive agent) yang cuma mempraktikkan bentuk teknik
(technical craft) akuntansi, tetapi hendaknya menganggap dirinya sebagai agen yang
merupakan bagian dari, atau secart aktif terlibat dalam proses pembentukan realitas
sosial, yang mampu menginterpretasikan akuntansi sebagai realitas di mana maknanya
(the meanings of the reality) akan menjadi sumber bagi pembentukan (kembali) realitas
sosial. Namun, pandangan apakah akuntan adalah agen yang aktif atau pasif sangat
bergantung pada persepsi akuntan itu sendiri tentang hakikat dirinya (human nature) dan
bagaimana dia melihat realitas.
Pada posisi yang sama, yaitu dengan melihat penting pengaruh informasi
akuntansi terhadap pembentukan realitas, Francis dalam Triyuwono akhirnya juga

Sri Wahyuni Nur – A023231007 2


MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PEMIKIRAN AKUNTANSI

mengklaim bahwa akuntansi adalah sebuah praktik moral. Hal ini demikian, karena
akuntan dapat mengubah dunia dan memengaruhi pengalaman hidup orang lain dengan
cara yang menyebabkan pengalaman hidup seseorang menjadi berbeda dengan tidak
adanya (absence) akuntansi atau adanya (presence) bentuk alternatif akuntansi.
Dari pernyataan Francis (1990) dan Morgan (1988) di atas, kita juga semakin
memahami bahwa "diri" akuntan adalah faktor terpenting dalam menentukan warna dan
bentuk akuntansi (dan realitas sosial yang akan dibentuknya). "Diri" akuntan, dalam
paradigma modernisme, selalu dituntut untuk berpikir "rasional" dalam membuat
asumsi-asumsi, konvensi-konvensi, dan teoriteori akuntansi, atau perangkat-perangkat
lainnya dalam akuntansi. "Berpikir rasional" atau "rasio" merupakan jargon utama yang
digunakan sejak zaman Pencerahan. Rasio dapat dipandang sebagai alat yang digunakan
untuk mencapai kedewasaan, yaitu situasi kemandirian “diri” atau pembebasan “diri”
dari otoritas yang berada di luar dirinya.
Dari semuanya ini menandakan bahwa penggunaan rasio dalam wacana
kemodernan merupakan elemen sentral dan salah satu bentuk logo-sentrisme yang tidak
dapat ditinggalkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam aspek keilmuan.
Ini juga merupakan suatu indikator bahwa konstruksi, bentuk, dan praktik akuntansi
merupakan perwujudan dari gerak rasionalitas menuju pencapaian totalitas dan
kesempurnaan hidup manusia. Rasio, dalam wacana kemodernan, sudah menjadi mitos
bahwa rasio adalah alat tunggal dan hanya dengan rasiolah manusia akan mampu
mencapai kesempurnaan hidup. Penggunaan “sang lain” sebagai alternatif atau sebagai
pelengkap rasio tidak akan pernah eksis, karena dengan gerak dialektis, seperti yang
dikemukakan oleh Hegel, “sang lain” akan lebur ke dalam, atau bahkan, tersingkir dari
orbit rasio yang memiliki kuasa yang sangat kuat.
“Diri” akuntan yang posmodern adalah “diri” yang memiliki api etika, yang
dengan api ini ia mampu menginteraksikannya dengan rasio. Sehingga dengan interaksi
ini (interaksi antara hati nurani dan rasio) akhirnya akan diperoleh “wujud konkret
etika” yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Wujud konkret etika di sini
tidak lain adalah ilmu pengetahuan, apapun wujud dari ilmu pengetahuan tersebut,
termasuk akuntansi. Tegasnya, hati nurani adalah bersemayam dalam diri seseorang,
yang dengan ketajaman dan kepekaannya selalu berusaha untuk berinteraksi dengan,

Sri Wahyuni Nur – A023231007 3


MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PEMIKIRAN AKUNTANSI

dan memberikan pegangan etis kepada rasio dalam mengarahkan setiap aksi konkret
(tindakan nyata) maupun abstrak (yaitu, mengonstruk ilmu pengetahuan). Sedangkan
ilmu pengetahuan, sebagai produk dari interaksi internal antara hati nurani dan rasio,
adalah bentuk "konkret" nilai etika (Triyuwono, 2000).
C. Dekonstruksi Akuntansi
Isu tentang berakhirnya filsafat berkaitan erat dengan populernya istilah
dekonstruksi. Istilah ini awalnya sebetulnya digunakan oleh Heidegger, khususnya
manakala ia berkata bahwa : "konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus
serentak destruksi, yaitu dekonstruksi konsep-konsep tradisional dengan cara justru
kembali ke tradisi". Istilah ini kemudian populer melalui Jaques Derrida, dan
penggunaan metode itulah yang akhirnya mengklaim bahwa filsafat harus diakhiri saja.
(Yuhertiana 2008).
Triyuwono (2015) menyatakan bahwa dekonstruksi merupakan sebuah upaya
yang menyebabkan, dalam bidang filsafat, lumernya batas-batas (pola berpikir oposisi
biner) yang yang selama ini dipertahankan secara keras antara konsep dan metafor,
antara kebenaran dengan fiksi, antara filsafat dengan puisi, antara keseriusan dan
permainan. Lebih lanjut Triyuwono (2015) menyatakan bahwa dekonstruksi di bidang
ilmu ekonomi berarti menghadirkan aspek-aspek lain yang berada diluar narasi besar
(logosentrisme) sistem ekonomi modern semacam produktivitas, maksimalisasi laba dan
akumulasi modal.
Postmodernisme dengan semangat dekonstruksinya berusaha untuk mensejajarkan
kelompok marginal dengan kelompok yang berada pada posisi pusat. Jadi tidak saja
berorientasi untuk kepentingan stockholder sebagai wakil kapitalis tetapi juga
memperhatikan kepentingan pedagang asongan, kaki lima, industri kecil, pengangguran,
gelandangan dan kelompok non elit lainnya. Triyuwono (2015) mencoba untuk
melakukan dekonstruksi pandangan atas realita sosial akuntansi mainstream. Bagaimana
pandangan akuntansi mainstream atas realita sosial, perkembangan ilmu sosial, ekonomi
dan akuntansi sangat dipengaruhi oleh pola pikir yang dibentuk oleh positivistis ilmu
alam. Pendewaan ilmu alam sebagai tolak ukur telah digunakan dalam berbagai ilmu
termasuk ilmu-ilmu lunak seperti ilmu - ilmu sosial, juga ilmu ekonomi.

Sri Wahyuni Nur – A023231007 4


MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PEMIKIRAN AKUNTANSI

Burrel dan Morgan mengatakan bahwa dalam wacana ilmu pengetahuan sosial,
seorang nominalis dalam melihat realitas beranggapan bahwa "dunia sosial yang berada
di luar kognisi individu tidak lebih tersusun dari sekedar nama, konsep dan label yang
digunakan untuk membangun realitas dan digunakan sebagai kreasi artifisial yang
kegunaannya didasarkan pada kemudahan untuk menggambarkan, mengartikan dan
menegosiasikan dunia eksternal". Positivis beranggapan bahwa realita adalah tunggal
seperti nampak dalam dunia nyata, mengadopsi ilmu materi dalam ranah fisika.
Sedangkan paradigma postmodern tidak mengakui bentuk-bentuk penunggalan. Realita
menurut pandangan syariah agama Islam adalah majemuk. Jadi berbeda dengan
pandangan positivis yang mengakui bahwa realita adalah dunia nyata maka pandangan
syariah memasukkan unsur-unsur spiritual dalam dunia nyata tersebut. Jadi bisa
dipahami jika Triyuwono selalu mengacu pada kitab suci Al'quran sebagai rujukan
dalam mengidentifikasi realita sosial. Triyuwono berpendapat bahwa pandangan syariah
menganggap realita sosial tidak independen dari para aktor sosialnya ; realitas
diciptakan aktor-aktor sosial seperti yang terlihat dalam al-Qur'an 2 : 170, 275 ; 5:104,
Ini, tentu merupakan hakikat manusia yang pada dasarnya berkehendak bebas
(Triyuwono, University of Wollongong Thesis Collections 1995).
Bagaimana realita sosial dalam perspektif Akuntansi? Sama seperti bidang ilmu
lainnya, perspektif mainstream dalam akuntasipun beranggapan bahwa sebuah obyek
berada di luar sana (out there) dan diasumsikan tidak tergantung pada dan terpisah dari
subyek ; dan obyek (realitas) itu sendiri hanya dikenal sebagai teori jika subyek
(peneliti) dapat dengan benar mencerminkan dan menemukannya (Chua dalam
Triyuwono, 2000, 30).
Triyuwono tidak sependapat dengan pola pikir mainstream tersebut tercermin
dalam 3 hal:
1) Akuntasi sebagai realita tidak dapat dipandang sebagai obyek yang terpisah dari
subyeknya, yakni akuntan atau masyarakatnya; atau sebagai obyek yang eksis
diluar sana. Bagaimanapun juga akuntansi merupakan hasil dari interaksi sosial
yang didalamnya terkandung nilai-nilai sosial masyarakat.

Sri Wahyuni Nur – A023231007 5


MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PEMIKIRAN AKUNTANSI

2) Akuntansi tidak dapat dipaksakan dan diimplementasikan pada setiap masyarakat


tanpa pertimbangan atas lingkungan sosialnya. Akuntansi secara sosial diilhami
oleh lingkungannya seperti budaya, politik, sosial, ekonomi dan hukum.
3) Selama ini sangat sulit menemukan penelitian penelitian akuntansi yang ditujukan
pada konstruksi sosial sebagai akibat dari interaksi diantara anggota masyarakat,
organisasi dan praktek-praktek akuntasi dengan menggunakan interaksionisme
simbolik.
Lebih lanjut destruksi yang ditimbulkan oleh akuntansi mainstream menurut
Triyuwono dapat dieliminasi dengan memasukkan nilai cinta. Cinta adalah karakter
Tuhan yang membawa kedamaian. Dengan demikian diharapkan dapat
menyeimbangkan dominasi maskuliitas Yang dengan memasukkan unsur-unsur intuitif
feminitas. Dalam melakukan dekonstruksi atas akuntansi mainstream yang berorientasi
pada tujuan dan tidak pada nilai, Triyuwono menyimpulkan bahwa yang terpenting
adalah mengurangi egoisme akuntansi mainstream.
Egoisme akuntansi mainstream tercermin dalam beberapa bentuk konsep yang
dianut, yaitu:
1) Konsep income
Menurut pandangan entity theory maka perusahaan akan eksis bila mampu
menciptakan profit/income. Income semata-mata diperuntukkan pada pemegang
saham, yang sangat sarat dengan nilai-nilai egoisme Yang. Dominasi Yang dapat
diperhalus oleh Yin melalui perspektif Islam yang menghendaki bahwa income
harus didistribusikan kepada stakeholder dan universe. Dimana hal ini hanya bisa
dilakukan oleh sifat-sifat altruistik yaitu sifat yang lebih mementingkan orang lain
daripada diri sendiri.
2) Internalitas akuntansi mainstream
Implikasi lain dari sifat egoistik akuntansi mainstream adalah terletak pada
konsepnya yang hanya mengakui private cost yang dikenal sebagai internalities.
Sementara public cost, externalities, yang terjadi akibat aktivitas perusahaan tetapi
harus ditanggung oleh masyarakat dan alam tidak mendapat perhatian. Upaya
mendudukkan public cost pada posisi yang sejajar dengan private cost merupakan
langkah dekonstruki terhadap akuntansi mainstream.

Sri Wahyuni Nur – A023231007 6


MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PEMIKIRAN AKUNTANSI

3) Power angka-angka akuntansi


Peran angka dalam akuntansi sangat luar biasa dominan. Segala keputusan
finansial perusahaan berpusat pada informasi-informasi kuantitatif. Mitologi
angka-angka akuntansi - yang juga ternyata merupakan maskulinitas sifat Yang
perlu untuk didekonstruksi karena ternyata informasi kuantitatif tidak cukup
memadai untuk memberikan gambaran yang relatif lebih utuh tentang keadaan
perusahaan. Dengan kata lain, informasi kualitatif yang selama ini dimarjinalkan
perlu diangkat dan diposisikan sejajar dengan informasi kuantitatif.
4) Konsep kepemilikan
Akuntansi modern yang berorientasi pada kepemilikan kapitalis hanya
berorientasi pada kemakmuran pemegang saham adalah dominasi sifat-sifat Yang
sehingga perlu didekonstruksi dengan konsep kepemilikan amanah untuk
mengoptimalkan konsep zakat, yang pada dasarnya merupakan simbol yang
mengandung nilai humanis, emansipatoris, transedental dan teleologikal.

REFERENSI

Hidayat, M. A. 2019. Menimbang Teori- Teori Sosial Postmodern: Sejarah, Pemikiran,


Kritik Dan Masa Depan Postmodernisme. Journal of Urban Sociology, 2(1),
42–64.
Johan Setiawan, Ajat Sudrajat. "Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya
Terhadap Ilmu Pengetahuan." Jurnal Filsafat Vol. 28 No. 1, 2018: 25-46.
Safriliana, Retna. "Tinjauan Postmodernisme: Leberalisasi Chartered Accountant dari
Belenggu Kapitalisme." Journal of Public and Business Accounting Vol.i No.
1, 2020: 1-12.
Triyuwono, Iwan. 2015. Akuntansi Syariah : Perspektif, Metodologi dan Teori. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Triyuwono, Iwan. 2000. "Shari'ate Accounting:An Ethical Construction of Accounting
Disipline." Gadjah Mada International Journal of Business.
Triyuwono, Iwan. 2004. "The Islamic Perspective on the Construction of Accounting
Discipiline." Gadjah Mada International Journal of Business.
Yuhertiana, Indrawati. 2008. "Penelitian Akuntansi Non Mainstream dalam Paradigma
Postmodernisme." UPN Jatim Repository.

Sri Wahyuni Nur – A023231007 7

Anda mungkin juga menyukai