Anda di halaman 1dari 12

DAMPAK KOMODIFIKASI TERHADAP TERCIPTANYA DUALISME DI DUNIA

PENDIDIKAN

(Studi Analisis Komodifikasi dan Dualisme Pendidikan dalam Pemenuhan HAM di


Indonesia)

Abstract

Education is the path to permanent human liberation. Education and knowledge in it are used
by humans as an effort to continue to survive. For the sake of survival and also the order of
Indonesian society, every Indonesian human being is obliged to get a good and proper
education such as being free and easy to get learning resources at any time and using
sufficient and qualified facilities. The author explains that the purpose of this research is to
find out the problems that unite like parasites in the world of Indonesian education: dualism
and commodification, for how we see this mechanism is actually one of the principles of
privatization and neoliberalism which clearly contradicts the foundation of the state and also
Law No. 20 of 2003 concerning National Education System. The research method used in this
research is the literature study method, in which this method collects library data through
several journals and laws that have been selected as a literature review and empirical
databased research by authors which is used as a comparison to find alternative solutions to
problems that will be discussed. After knowing the complex problems in the education
dimension, this research is expected to be able to serve as reference material to read the
context and substance of educational dualism-critically evaluate educational mechanisms that
create commercialization-commodification of education.

Keywords: Dualism, Commodification, Indonesian Education


PENDAHULUAN

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membuat para peserta didiknya merasa
senang serta berhadapan langsung dengan realitas sosial untuk menjawab persoalan-persoalan
kehidupan dan tantangan kemajuan peradaban manusia. Di samping itu, untuk dapat melihat
maju tidaknya suatu negara maka akan selalu dikaitkan dengan kualitas yang baik dalam
sektor ekonomi dan pendidikan.

Ivan Illich dalam bukunya yang bertajuk Deschooling Society1 dan Paulo Freire dalam
bukunya yang bertajuk Pedagogy of the Oppressed2 mengemukakan pendapat yang tegas:
pendidikan tidak mungkin netral. Pendidikan dapat digunakan atau berfungsi sebagai sebuah
alat atau instrumen untuk mempermudah generasi muda agar mampu untuk mengikuti logika
sistem (pembelajaran yang terbatas) atau dipakai untuk ‘praktik kebebasan’— alat yang
digunakan untuk berurusan dengan realitas secara kritis dan kreatif untuk menciptakan
tatanan kehidupan yang lebih maju dan berkembang secara mandiri.

Mekanisme pembelajaran dan generasi yang dicetak oleh pendidikan Indonesia hingga
saat ini masih juga terpaku untuk memenuhi kebutuhan pasar yang mana hal ini tentu saja
selaras dengan prinsip neoliberalisme: siapa yang tak dapat berkompetisi maka mereka akan
mati atau tergerus oleh kepentingan lainnya. Selayaknya kapitalisme di Indonesia, pendidikan
pun tumbuh dengan tidak semestinya3. Kapitalisme, seharusnya dilahirkan oleh mekanisme
produksi pribumi yang mengikuti kebutuhan dan kemauan alam, tetapi justru ia adalah
perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak
sistem produksi pribumi. Apabila dilakukan komparasi antara pertumbuhan kapitalisme dan
pendidikan di Indonesia, terdapat beberapa kesamaan: untuk memenuhi kepentingan borjuis
melalui sistem kepatuhan yang akhirnya menjadi keterbelakangan intelektual.

Terdapat permasalahan yang serius yang menempel layaknya parasit di pendidikan


Indonesia: dualisme dan komodifikasinya. Hal ini dapat terjadi karena pendidikan
‘bersetubuh’ dengan privatisasi neoliberal. Dan tampaknya, privatisasi neoliberal itu
memakan anakanaknya sendiri4. Ada suatu paradoks negara yang kaya akan sumber daya tapi
masyarakatnya miskin. Secara singkat, dualisme dan komodifikasi ini berangkat dari prinsip
neoliberalisme
1 Illich, I. (1983). Deschooling society (1st Harper Colophon ed). Harper Colophon.
2 Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3S.
3 Malaka, T. (2010). Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Yogyakarta: Narasi.
4 Tiwon, S. (2022). Pekerja Akademis pun Rentan. Karena itu, Kami Juga Mogok Kerja. IndoProgress.
https://indoprogress.com/2022/12/pekerja-akademis-mogok-kerja/. Diakses pada 22 April 2024.
yang pada akhirnya menjadi topik yang menarik: kemiskinan adalah suatu produk utama dari
proses kejahatan yang terstruktur. Sekarang kita juga mengenal ironi negara-negara kaya:
perekonomian besar yang menelantarkan pendidikan dan juga memakan anak-anaknya
sendiri5.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi literatur,
yang di mana metode ini melakukan pengumpulan data pustaka melalui beberapa jurnal dan
undang-undang yang telah dipilih sebagai tinjauan literatur dan penelitian berbasis data
empiris penulis yang dijadikan komparasi perbandingan untuk mencari alternatif solusi dari
permasalahan yang akan dibahas.

PEMBAHASAN

PERMASALAHAN DUALISME DI DUNIA PENDIDIKAN

Dualisme pendidikan merujuk pada keadaan di mana terdapat dua sistem atau lebih
dalam pendidikan yang berbeda-beda dalam satu negara atau wilayah yang sama. Pada
umumnya, dualisme pendidikan terjadi karena adanya perbedaan dalam sumber daya,
kualitas, tujuan, maupun filosofi dari dua sistem pendidikan tersebut.

Contoh dualisme pendidikan yang paling umum adalah perbedaan antara sistem
pendidikan formal dan nonformal. Sistem pendidikan formal biasanya mencakup pendidikan
dasar, menengah, dan tinggi, sedangkan pendidikan nonformal mencakup berbagai macam
kegiatan pendidikan, seperti kursus dan pelatihan, yang diadakan di luar lingkungan sekolah
atau perguruan tinggi. Dalam beberapa kasus, pendidikan nonformal dapat diakui secara
resmi dan dapat memberikan sertifikat atau ijazah kepada peserta yang berhasil
menyelesaikan program pelatihan.

Selain itu, dualisme pendidikan juga dapat terjadi antara sistem pendidikan negeri dan
swasta. Pada umumnya, sistem pendidikan negeri dikelola oleh pemerintah, sedangkan sistem
pendidikan swasta dikelola oleh pihak swasta. Perbedaan utama antara keduanya terletak
pada sumber daya dan kualitas pendidikan yang tersedia. Sistem pendidikan negeri biasanya
memiliki sumber daya yang lebih besar dan lebih banyak dibandingkan dengan sistem

5 Ibid.
pendidikan swasta, sehingga siswa yang bersekolah di sekolah negeri memiliki akses yang
lebih baik terhadap fasilitas dan sumber daya pendidikan.

Namun, hal ini tidak selalu berarti bahwa sistem pendidikan negeri selalu lebih baik
dibandingkan dengan sistem pendidikan swasta. Ada beberapa sekolah swasta yang memiliki
kualitas pendidikan yang sangat baik dan menyediakan program pendidikan yang lebih
spesifik sesuai dengan kebutuhan siswa. Di balik itu, biaya pendidikan di sekolah swasta juga
dapat menjadi lebih mahal dibandingkan dengan biaya pendidikan di sekolah negeri. Sekolah
negeri dapat lebih murah dibandingkan sekolah swasta karena biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD6.

Dualisme pendidikan juga dapat terjadi dalam hal bahasa pengantar. Di beberapa
negara, terdapat dua bahasa pengantar yang digunakan dalam sistem pendidikan, yaitu bahasa
nasional dan bahasa asing. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas dan akses pendidikan bagi
siswa yang tidak terbiasa dengan bahasa pengantar yang digunakan di sekolah.

Dalam menghadapi dualisme pendidikan, pemerintah dan masyarakat dapat


melakukan berbagai upaya untuk mengurangi kesenjangan antara dua sistem pendidikan.
Salah satunya adalah dengan memberlakukan upaya untuk meningkatkan kualitas dan
aksesibilitas pendidikan di seluruh sistem pendidikan, sehingga setiap siswa memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas7.

PERMASALAHAN KOMODIFIKASI DI DUNIA PENDIDIKAN

Komodifikasi adalah sebuah istilah yang berakar dari dua kata yaitu komoditas dan
modifikasi. Komoditas merupakan barang dagangan utama dan modifikasi adalah sebuah
pengubahan atau perubahan dalam suatu hal. Dengan demikian, komodifikasi dapat diartikan
sebagai pengubahan sesuatu baik berupa barang ataupun jasa yang menjadi sebuah kebutuhan
yang dapat dijual ke pasar. Menurut Karl Marx dalam Manifesto Komunis 7, ia menjelaskan
bahwasanya komodifikasi adalah bagaimana sekelompok borjuis melakukan sebuah ekspansi
kapital melalui relasi-relasi eksploitasi, hubungan yang benar-benar erat relasinya dengan
kepentingan akumulasi kapital. Menurut Historical Tendency of Capitalist Accumulation
menjelaskan bahwasanya kekuatan komodifikasi ternyara terletak pada manfaat pembagian

6 Fironika, R. K. (2017). Pembiayaan Pendidikan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar. Hlm. 43-64. 7
Soedijarto. (2006). Memahami Makna yang Tersurat dan Tersirat dari Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 Tentang
Anggaran Pendidikan. Jakarta: ISPI.
7 Marx, K. & Engels, F. (2002). Manifesto Partai Komunis. Penguin. Hlm. 15-17.
kerjanya. Komodifikasi pada dasarnya merupakan sebuah sosialisasi, namun dapat diambil
alih oleh seorang kapital karena posisinya terlalu dominan8.

Pendidikan adalah suatu proses Panjang yang tak pernah putus sampai akhir hayat
yang memiliki esensial bagi perkembangan individu dan masyarakat secara holistik. Akan
tetapi di era dewasa ini ada sebuah fenomena yang dikenal sebagai “komodifikasi” yang
mana hal ini dapat mengancam banyak sektor dalam pendidikan, salah sataunya adalah
mengenai kualitas. Komodifikasi merujuk kepada proses mengubah pendidikan menjadi
sebuah layanan publik yang berorientasi kepada kepentingan para pemodal dan menjadi
sebuah pasar yang menghasilkan keuntungan finansial ataupun materi. Berdirinya sebuah
sekolah tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan akan pendidikan guna mencerdaskan kehidupan
bangsa, namun secara intensional mengarah pada komersialisasi. Hal ini terjadi karena
kapitalisme sudah masuk pada ranah pendidikan yang mana para pemilik modal banyak yang
menjadikan pendidikan sebagai ladang invenstasi kekayaan jangka Panjang. Hal ini terjadi
karena pendidikan sudah dipandang sebagai sebuah komoditas yang dapat dibeli dan dijual,
pendidikan dapat diukur dengan cara mengukur tingkat keberhasilannya dalam menghasilkan
sebuah nilai finansial.

Salah satu dampak utama dari komodifikasi di dunia pendidikan adalah pemusatan
pada profit daripada pada kualitas dan nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh,
institusi pendidikan kini bersaing dalam hal menarik peserta didik atau mahasiswa dengan
bayaran yang tergolong mahal, dengan menawarkan paket keuntungan seperti sertifikat
prestisius atau kemudahan dalam memperoleh pekerjaan. Padahal, pendidikan seharusnya
bertujuan untuk memajukan pengetahuan dan keterampilan, dan membantu masyarakat
mencapai tujuan-tujuan sosial9. Salah satu bentuk dari komodifikasi pendidikan adalah
semakin marak sebuah instansi pendidikan, terlebih swasta. Dibalik penampilan secara fisik
yang menarik dan juga penggunaan teknologi yang tinggi, terdapat logika komodifikasi yang
sedang berlangsung yang menjadi sebuah motivasi dasar para kapitalis (pemilik modal).
Ujung-ujungnya hal ini membuat kualitas pendidikan semakin merosot karena kualitas
pendidikan harus sebanding dengan biaya pendidikan yang harus dikeluarkan, semakin mahal
biaya pendidikannya maka akan semakin bagus pula kualitas pendidikannya (setidaknya

8 Marx, K. (1976). Capital: A Critique of Political Economy, jilid ke-1. Historical tendency of capitalist
accumulation. Hlm. 541–542.
9 Amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
secara konsep dan teknis), hal ini teradi karena pada akhirnya sekolah hanya mementingkan
profit dalam melaksanakan roda

pendidikan10. Kita bisa membedakan kualitas sekolah negeri dan swasta, itupun dapat dilihat
pula dari, akreditasi, dan juga indeks kemahalan wilayah. Komodifikasi pendidikan ini juga
memiliki dua mata pisau yang bersifat negative, pertama komodifikasi pendidikan ini dapat
mengurangi akses pendidikan yang berkualitas bagi mereka yang memiliki keterbatasan
secara finansial, Ketika sebuah pendidikan dipandang sebagai sebuah investasi maka hanya
orangorang yang mampu berinvestasi saja yang dapat menikmati pendidikan yang
berkualitas, hal ini dapat memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi dan mengancam
pembangunan sosial. Kedua karena pendidikan sudah dijadikan sebagai komoditas maka
investasi dalam bidang pendidikan pun tak bisa terbendung secara jumlah, ada yang
menyelenggarakan program pendidikan dengan biaya murah meriah dengan kualitas yang
seadanya, dan sebaliknya. Memang semakin banyak orang yang mengakses pendidikan akan
semakin bagus karena semakin banyak orang yang setidaknya terbuka secara mindset, namun
jika tidak diimbangi dengan kualitas pendidikan yang memadai maka hal ini akan menjadi
boomerang yang akan mendegradasikan kualitas dari sebuah pendidikan yang dijalani
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya legitimasi pemerintah atas pendirian gedung-gedung
sebuah instansi pendidikan tersebut yang dilihat sebagai pembiaran roda kapitalisme terus
berjalan.

Dalam logika kapitalisme nilai yang dihasilkan oleh peserta pasar hanyalah pada nilai
tukar, bukan nilai pakai11. Dengan logika seperti ini pendidikan yang dikomersialisasikan
tidak dipandang lagi sebagai institusi pemberdaya manusia, namun sebagai institusi pencari
keuntungan orang yang menanam modal. Komodifikasi juga dapat berdampak negatif
terhadap pendidikan dalam aspek lain, seperti hilangnya kemandirian institusi pendidikan,
serta berkurangnya kualitas tenaga pengajar dan kurikulum yang disajikan. Hal ini dapat
terjadi pula karena guru atau tenaga pendidik dijadikan sebagai sebuah profesi atau ladang
mencari nafkah, bukan dijadikan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat untuk
menciptakan pembangunan sosial yang berkualitas.

Komodifikasi pendidikan masih menjadi sebuah isu yang seksi untuk didiskusikan
pada era pendidikan modern ini. Karena Ketika pendidikan yang dahulu dianggap sebagai hak

10 Anyon, J. (2011). Marx and education. Routledge.


11 Ibid.
asasi yang melekat pada manusia12, diubah menjadi sebuah barang yang diperjualbelikan dan
wajib dibeli untuk mengikuti standar hidup yang dinamis. Untuk mengatasi komodifikasi di
dunia pendidikan, maka pemerintah dan masyarakat harus memahami bahwa pendidikan
adalah hak

yang harus diakses oleh semua orang tanpa terkecuali. Pendidikan harus dilihat sebagai
sebuah layanan publik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, bukan
sebagai sebuah produk yang dapat dijual dan dibeli. Institusi pendidikan harus dikelola secara
independen dari kepentingan profit, sehingga mereka dapat lebih berfokus pada
meningkatkan kualitas pendidikan dan mengejar tujuan-tujuan sosial13.

Pertama-tama, komodifikasi pendidikan dapat menyebabkan penurunan kualitas.


Kualitas pendidikan yang bagus tidak dapat diperoleh secara instan dan memerlukan waktu,
dedikasi, dan investasi yang besar. Namun, ketika pendidikan diperlakukan sebagai barang
dagangan, hal ini dapat menyebabkan lemahnya standar akademik dan kurikulum yang
menurunkan kualitas pendidikan. Kepentingan finansial dan profitabilitas dapat
menggantikan kebutuhan siswa dan mutu pendidikan. Kedua, komodifikasi pendidikan dapat
menciptakan ketidakadilan sosial. Pendidikan yang dibeli oleh kelompok-kelompok kaya dan
elit mendorong ketidaksetaraan sosial dan kesenjangan antara kelas-kelas sosial. Hal ini
berdampak pada kesempatan akses untuk anak-anak yang kurang mampu secara finansial atau
yang berasal dari latar belakang yang kurang menguntungkan. Ketiga, komodifikasi
pendidikan juga dapat mengancam karakter peserta didik dari marwahnya sebagai manusia
dan makhluk komunal. Pendidikan yang berorientasi pada profit sering kali lebih fokus pada
menghasilkan uang daripada membentuk karakter dan moralitas siswa. Ini dapat
mempengaruhi perilaku siswa yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keuntungan
material dibandingkan dengan moral dan sosial. Keempat, komodifikasi pendidikan juga
dapat menekan kebebasan akademik dan kreativitas. Ketika keuntungan dan kepentingan
bisnis menjadi prioritas utama, hal ini dapat menghalangi pengembangan ide-ide inovatif dan
kreatif. Hal ini dapat menyebabkan pendidikan yang konservatif dan kurang responsif
terhadap perkembangan sosial dan ekonomi. Kelima, komodifikasi pendidikan juga dapat
mempengaruhi independensi lembaga pendidikan dan tenaga pendidik. Ketika lembaga
pendidikan dan tenaga pendidik bergantung pada pendanaan dari sektor swasta atau

12 Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


13 Anyon, J. (2011). Marx and education. Routledge.
korporasi, hal ini dapat membatasi independensi akademik dan mengurangi otonomi lembaga
pendidikan dan dosen dalam menentukan tujuan dan arah pendidikan.

MANIFESTASI DUALISME DI DUNIA PENDIDIKAN

Dalam penerapannya, cara belajar dan cara berpikir para peserta didik telah
didisiplinkan berdasarkan moralitas kapitalisme, akibatnya adalah kreativitas peserta didik

yang terbelenggu dan bahkan mati karena pendidikan itu sendiri. Indoktrinasi, peserta didik
yang berpotensi untuk dijustifikasi oleh tenaga pendidik serta lembaga/institusi pendidikan
apabila mempertanyakan sesuatu secara kritis. Dalam pendidikan, sentralitas pembelajaran
dan perkembangan peserta didik adalah prinsip dialogika, yang di mana prinsip ini
menitikberatkan kepada unsur ‘belajar’ dan ingin tahu secara epistemologis— pengetahuan
yang tidak dibatasi, bahasa yang tidak diperhalus atau harus dilakukan sejujur-jujurnya sesuai
dengan realita yang ada14. Sehingga, para pembaca dapat melihat postulat penulis terhadap
perkembangan pendidikan di Indonesia, bahwa pendidikan hari ini hanya menjadi alat
kepentingan untuk mencetak tenaga kerja yang akan diupah murah. Hingga pada akhirnya
pendidikan pun dapat menciptakan ‘kelas’ baru dalam kehidupan masyarakat yang berpotensi
menimbulkan disparitas sosial yang lebih kompleks.

Dualisme dalam pendidikan merujuk pada suatu dikotomi yang jelas antara dua atau
lebih jenis pendidikan atau sistem pendidikan yang berbeda, seperti pendidikan formal dan
non-formal, pendidikan perkotaan dan pedesaan, atau pendidikan berbasis teknologi dan
tradisional. Sekolah agama yang dinaungi Kemenag, sekolah negeri yang dinaungi oleh
Kemendikbud; hal-hal di atas adalah simplifikasi dari prinsip dualisme yang terjadi di dunia
pendidikan Indonesia hari ini. Sistem pendidikan yang seperti ini telah menimbulkan
segregasi yang jelas: sekolah swasta menjadi lebih ekslusif dan hanya terjangkau oleh orang
kaya, sementara yang miskin ditinggal di sekolah negeri yang bahkan kualitasnya pun masih
banyak yang dapat diperdebatkan. Ketika dualisme tersebut telah berkontribusi dalam dunia
pendidikan, maka hal ini dapat disebabkan berdasarkan beberapa faktor yang mampu memicu
lahirnya kultur pendidikan yang terkomodifikasi. Seperti yang dijelaskan pada bagian
pendahuluan, dualisme berangkat dari prinsip privatisasi neoliberalisme. Hal pasti ketika
pendidikan Indonesia telah ‘bersetubuh’ dengan prinsip tersebut adalah: aset publik diakuisisi
oleh perusahaan besar/kelompok kaya, sedangkan masyarakat umum dan kelompok miskin

14 Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3S.


kehilangan akses terhadap sumber daya yang pada awalnya milik bersama. Privatisasi
neoliberalisme yang menitikberatkan swasta untuk mengelola aset publik dengan dalih untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi secara efisien, dualisme dan komodifikasi menyebabkan
penurunan kualitas layanan publik dan peningkatan harga bagi konsumen, karena swasta
cenderung lebih fokus pada keuntungan daripada kualitas layanan.
Di sisi lain, komodifikasi pendidikan merujuk pada pergeseran makna pendidikan dari
suatu hak menjadi suatu komoditas yang diperjualbelikan di pasar sehingga tujuan dari
pendidikan pun telah meleset jauh dari trahnya, di mana pendidikan pada akhirnya
diperlakukan sebagai komoditas yang dapat diperoleh dan dijual dengan nilai ekonomi.
Komodifikasi pendidikan: uang kuliah/sekolah seperti Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan uang
pangkal, uang registrasi secara cepat, riset penelitian yang diteliti oleh tenaga pendidik,
peserta didik, hingga profesor ilmuwan juga pada akhirnya dapat menciptakan komoditas
yang bersifat immaterial. Riset penelitian dianggap sebagai suatu komoditas yang memiliki
nilai komersil yang tinggi dan dianggap sebagai aset penting bagi institusi dan negara 15.
Dalam konteks dualisme, pendidikan formal sering kali dianggap lebih bernilai dan
diakui secara resmi, sementara pendidikan non-formal atau pendidikan alternatif sering kali
dianggap kurang bernilai atau dianggap sebagai pilihan sekunder. Hal ini dapat menyebabkan
komodifikasi pendidikan, di mana pendidikan formal menjadi komoditas yang dihargai tinggi
dan diperjualbelikan di pasar, sementara pendidikan non-formal atau alternatif menjadi
komoditas yang kurang bernilai atau dikesampingkan.

Dalam konteks komodifikasi pendidikan, logika pasar yang mendasari komodifikasi


dapat memperkuat dualisme dalam pendidikan. Ketika pendidikan diperlakukan sebagai
barang dagangan, dapat terjadi komersialisasi pendidikan di mana pendidikan formal yang
dianggap bernilai tinggi menjadi pasar yang menguntungkan, sementara pendidikan
nonformal atau alternatif cenderung diabaikan atau dihadapkan pada tekanan komersial yang
mengganggu tujuan pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini, komodifikasi pendidikan dapat
memperkuat dualisme antara pendidikan formal dan non-formal atau pendidikan yang
dianggap bernilai tinggi dan rendah.

Dualisme dalam pendidikan dapat mempengaruhi aksesibilitas dan kualitas


pendidikan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi komodifikasi pendidikan. Ketika
terdapat kesenjangan dalam aksesibilitas dan kualitas antara pendidikan formal dan non-

15 Analisis penulis melalui penelitian Paok, VT. (2012). Komodifikasi Dalam Program Pengembangan Seni
Budaya Di Jogja Tv. Skripsi, UAJY.
formal, atau pendidikan perkotaan dan pedesaan, hal ini dapat mempengaruhi harga dan
permintaan pendidikan formal yang dianggap lebih baik, dan pada akhirnya memperkuat
komodifikasi pendidikan formal sebagai komoditas bernilai tinggi di pasar.
Dalam kultur pendidikan yang terkomodifikasi, pendidikan seringkali dianggap
sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Tujuan utama pendidikan menjadi terdistorsi,
dengan penekanan pada profitabilitas dan pemasaran, sementara kualitas dan nilai intrinsik
pendidikan terabaikan. Hal ini dapat mengakibatkan pengurangan nilai pendidikan sebagai
alat pembebasan, transformasi sosial, atau pengembangan pribadi, serta menimbulkan
ketimpangan akses pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu secara finansial16.

KESIMPULAN

Melalui amanat UU Sisdiknas Republik Indonesia, pendidikan merupakan hak yang


dapat diperoleh oleh seluruh warga negara. Tetapi kompleksitas dari konflik yang terjadi di
dalam Indonesia, terkhusus dalam sektor pendidikan, juga justru makin diperparah dengan
adanya komodifikasi dan dualisme yang disebabkan oleh kelompok yang tidak bertanggung
jawab atas kualitas pendidikan yang secara esensi harusnya digunakan untuk merubah tatanan
sosial dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

16 Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3S.


Prinsip privatisasi pendidikan menjadikan keuntungan atau profit menjadi prioritas
tertinggi dibandingkan pemenuhan dan peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini karena pada
era modern seperti sekarang, sesuatu yang immaterial dan murni secara esensial—
maksudnya adalah pendidikan— dianggap sebagai suatu komoditi yang juga bersifat
immaterial, sehingga menyebabkan merosotnya kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan
yang tidak diberikan atensi secara lebih hanya akan menyebabkan kemunduran kognitif dan
juga merawat kemiskinan dan menjadikan kemiskinan tersebut menjadi suatu hal yang
terstruktur dan menjalar.

DAFTAR PUSTAKA

Illich, I. (1983). Deschooling society (1st Harper Colophon ed). Harper Colophon.

Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3S.

Malaka, T. (2010). Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Yogyakarta: Narasi.

Tiwon, S. (2022). Pekerja Akademis pun Rentan. Karena itu, Kami Juga Mogok Kerja.
IndoProgress. https://indoprogress.com/2022/12/pekerja-akademis-mogok-kerja/.
Diakses pada 22 April 2024.

Fironika, R. K. (2017). Pembiayaan Pendidikan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan


Dasar. Hlm. 43-64.

Soedijarto. (2006). Memahami Makna yang Tersurat dan Tersirat dari Pasal 31 Ayat (4) UUD
1945 Tentang Anggaran Pendidikan. Jakarta: ISPI.

Marx, K. & Engels, F. (2002). Manifesto Partai Komunis. Penguin. Hlm. 15-17.

Marx, K. (1976). Capital: A Critique of Political Economy, jilid ke-1. Historical tendency of
capitalist accumulation. Hlm. 541–542.

Amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta.

Anyon, J. (2011). Marx and education. Routledge.

Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Paok, VT. (2012). Komodifikasi Dalam Program Pengembangan Seni Budaya Di Jogja Tv.
Skripsi, UAJY.

Anda mungkin juga menyukai