Anda di halaman 1dari 8

Nama : Feni Ika Hilvina

Nim : 210202137

Tugas Hukum Pidana Asas Kesalahan

Dalam hukum pidana, kesalahan adalah dasar pencelaan terhadap sikap batin
seseorang. Asas kesalahan (culpabilitas) sebagai salah satu asas fundamental dalam hukum
pidana yang pada prinsipnya menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana tanpa adanya
kesalahan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki kesalahan apabila sikap batinnya dapat
dicela atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (sikap batin yang jahat/tercela).
Kesalahan sebagai salah satu syarat pemidanaan merupakan kesalahan dalam pengertian yuridis,
bukan kesalahan dalam pengertian moral atau sosial.
Menurut Robert Cooter dan Thomas Ullen mengenai skala kesalahan (culpability
scale), dapat dikatakan bahwa pelanggaran administratif berada pada posisi antara carefull-
blameless dan negligent – reckless. Merujuk pada culpability scale, ketentuan pidana dalam UU
Kearsipan seharusnya tetap membedakan secara tegas perbuatan administratif yang merupakan
kesengajaan (dolus) dan yang merupakan kelalaian (culpa). Menurut Wirjono
Prodjodikoro, kesengajaan (dolus) terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:
Kesengajaan yang bersifat tujuan (opzet als oogmerk). Dalam kesengajaan yang bersifat
tujuan, dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang
menjadi pokok alasan diadakan ancaman pidana.
Kesengajaan secara keinsafan kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzijn). Kesengajaan
semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat
yang menjadi dasar dari delict, tapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatan itu.
Kesengajaan keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn). Kesengajaan
ini dianggap terjadi apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka,
bahwa akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju.
Sedangkan kelalaian (culpa) adalah “kesalahan pada umumnya”. Tetapi dalam ilmu
pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana
yang tidak seberat kesengajaan, namun karena kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak
disengaja terjadi. Terkait kelalaian (culpa), Andi Hamzah menerangkan bahwa siapa karena
salahnya melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang seharusnya
dipergunakan. Jika merujuk pada pendapat Wirjono Prodjodikoro mengenai kesengajaan (dolus)
dan kelalaian (culpa) dan dihubungkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam UU Kearsipan
maka akan menghasilkan gambaran sebagai berikut:
PASAL NORMA SANKSI DOLUS CULPA
81 menguasai dan/atau pidana penjara paling lama √ ×
memiliki arsip negara 5 (lima) tahun atau denda
sebagaimana dimaksud paling banyak
dalam Pasal 33 untuk Rp250.000.000,00 (dua
kepentingan sendiri atau ratus lima puluh juta
orang lain yang tidak rupiah).
berhak

82 menyediakan arsip pidana penjara paling lama √ ×


dinamis kepada 3 (tiga) tahun atau denda
pengguna arsip yang paling banyak
tidak berhak Rp125.000.000,00 (seratus
sebagaimana dimaksud dua puluh lima juta rupiah)
dalam Pasal 42 ayat (1)

83 tidak menjaga keutuhan, dipidana dengan pidana √ ×


keamanan dan penjara paling lama 1 (satu)
keselamatan arsip negara tahun atau denda paling
yang terjaga untuk banyak Rp25.000.000,00
kepentingan negara (dua puluh lima juta rupiah)
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (3)

84 tidak melaksanakan pidana penjara paling lama √ ×


pemberkasan dan 10 (sepuluh) tahun dan
pelaporan sebagaimana denda paling banyak
dimaksud dalam Pasal 43 Rp500.000.000,00 (lima
ayat (1) ratus juta rupiah)

85 tidak menjaga pidana penjara paling lama √ ×


kerahasiaan arsip tertutup 5 (lima) tahun atau denda
sebagaimana dimaksud paling banyak
dalam Pasal 44 ayat (2) Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah)
PASAL NORMA SANKSI DOLUS CULPA

86 memusnahkan arsip di pidana penjara paling lama √ ×


luar prosedur yang benar 10 (sepuluh) tahun dan
sebagaimana dimaksud denda paling banyak
dalam Pasal 51 ayat (2) Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah)

87 memperjualbelikan atau pidana penjara paling lama × ×


menyerahkan arsip yang 10 (sepuluh) tahun dan
memiliki nilai guna denda paling banyak
kesejarahan kepada pihak Rp500.000.000,00 (lima
lain di luar yang telah ratus juta rupiah)
ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53

88 Pihak ketiga yang tidak pidana penjara paling lama × ×


menyerahkan arsip yang 5 (lima) tahun atau denda
tercipta dari kegiatan paling banyak
yang dibiayai dengan Rp250.000.000,00 (dua
anggaran negara ratus lima puluh juta
sebagaimana dimaksud rupiah).
dalam Pasal 58 ayat (3)

Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa rumusan ketentuan pidana dalam UU Kearsipan
hanya berfokus pada perbuatan dengan sengaja untuk 6 (enam) tindak pidana pertama,
sedangkan 2 (dua) tindak pidana lain dalam Pasal 87 dan Pasal 88 tidak jelas
unsur mens rea (kesalahan) pelaku. Dari rumusan ketentuan pidana dalam UU Kearsipan,
terdapat beberapa pasal yang selayaknya dipertimbangkan kemungkinan unsur kelalaian (culpa)
sebagai berikut:
Dalam rumusan Pasal 81 terkait menguasai dan/atau memiliki arsip negara untuk
kepentingan sendiri atau orang lain yang tidak berhak, selayaknya dipertimbangkan
kemungkinan unsur kelalaian merujuk dimana terdapat beberapa pejabat pemerintah atau
pegawai negeri sipil yang memasuki masa purna tugas karena ketidaktahuannya membawa serta
beberapa arsip milik negara di luar personal file miliknya.
Dalam rumusan Pasal 86 terkait dengan pemusnahan arsip di luar prosedur yang benar,
juga layak untuk dipertimbangkan kemungkinan unsur kelalaian. Seperti halnya pada kasus arsip
surat keterangan KTP sementara Ibu Susi Pudjiastuti yang menjadi bungkus gorengan, banyak
pegawai pemerintah yang tidak memahami bagaimana mekanisme pemusnahan arsip sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Banyak pemahaman bahwa arsip milik negara
yang sudah tidak terpakai dapat langsung dibuang atau dibakar.
Dalam Pasal 87 dan Pasal 88 layak untuk dipertimbangkan kemungkinan unsur kelalaian
karena kurangnya pengetahuan dan perbuatan yang lebih bersifat administratif.
Dalam sistem birokrasi di Indonesia, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Bab VIII Undang-Undang tersebut tidak ada
satu pun ketentuan yang bersifat represif kecuali hanya bersifat rehabilitatif-administratif dan
korektif. Kekeliruan dalam menentukan unsur kesalahan dalam rumusan ketentuan pidana dapat
mengakibatkan ketentuan dalam UU Kearsipan menjadi UU Pidana
Administratif yang cenderung lebih represif daripada seharusnya (bersifat preventif,
rehabilitatif dan korektif). Tujuan pemidanaan klasik yaitu penghukuman untuk membuat efek
jera tanpa diimbangi tujuan rehabiltatif dan korektif sesungguhnya telah lama ditinggalkan
karena dalam kenyataan bersifat kontra produktif kecuali terhadap perbuatan pelanggaran serius
yang berdampak luas terhadap keamanan dan perlindungan negara. Dengan kata lain bahwa UU
Kearsipan telah menyimpang dari maksud dan tujuan awal diperlukannya Undang-
Undang ini yaitu menjamin pelindungan kepentingan negara dan hak-hak keperdataan
rakyat serta peningkatan kualitas pelayanan publik.
Seperti dikenal dalam ilmu hukum pidana, bahwa hukum pidana didasarkan pada dua
asas utama: asas legalitas dan asas culpabilitas. Asas yg pertama menyatakan bahwa tidak
dipidana seseorang tanpa didahului oleh peraturan yang mengatur sebelumnya, dan asas yang
kedua, menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa kesalahan (karena adalah tidak adil
menghukum/pidana seseorang yang tidak melakukan kesalahan). Asas yg pertama bersifat
memberikan perlindungan terhadap kesewenang2an yg mungkin dilakukan pemegang kekuasaan
thdp rakyat, sementara yang kedua, melindungi hukum utk menjatuhkan pidana thdp orang yang
tidak melakukan kesalahan.
Konsep 'kesalahan' dalam asas kesalahan (culpabilitas) boleh dibilang adalah merupakan
jantung dari ilmu hukum pidana, demikian menurut Schaffmeiser dalam bukunya yang berjudul
Hukum Pidana. Masalahnya adalah, konsep kesalahan dalam hukum pidana termasuk konsep
yang rumit, dan tidak semua mahasiswa hukum mampu memahaminya dengan baik. Asas
kesalahan merupakan konsep dasar, bahkan sangat dasar namun terlampau sering diabaikan
karena ketidakpahaman sebagian pihak.
Sisi rumit konsep 'kesalahan' terletak pertama, dari kerancuan asal kata nya. Dalam
bahasa Belanda nya sendiri, yakni Schuld, memilik makna ganda pertama sebagai lawan dari
dolus (kesengajaan) yakni culpa (kesembronoan, kekuaranghati2an), dan kedua dalam makna yg
luas sebagaimana dia hadir dalam asas 'tiada pidana tanpa kesalahan', dimana disini dia
bermakna kesalahan dalam arti luas dan umum.
Kerumitan kedua, adalah karena konsep 'kesalahan' ini mengalami perubahan dan
perkembangan, pergeseran-pergeseran makna. Masing-masing ahli hukum memberikan
penafsiran yang tidak seragam. Simons menyebutnya sebagai 'etik sosial'. Ada yg menyebutnya
sebagai hubungan antara tindakan dan sikap batin. Kemudian yang terbaru menurut Amrani,
adalah penilaian normatif hakim terhadap sikap batin terdakwa.
Apa yang dimaksudkan oleh Simon sebagai etik sosial, adalah bagaimana masyarakat
memandang suatu sikap batin seseorang yang melakukan perbuatan pidana. Misalnya, kasus
Fidelis seorang suami yang menanam ganja utk mengobati istrinya. Ini sy akan berandai-andai
saja karena sy tdk memiliki mendapatkan putusan kasus tsb (sudah sy cari di internet belom
ketemu). Nah, hakim akan menilai apakah sikap batin si suami ini sehubungan dgn perbuatan
pidana (menanam ganja) bisa dibenarkan oleh masyarakat?
Bisa saja hakim menemukan bahwa ternyata menurut pandangan masyarakat perbuatan
menanam ganja utk menolong istri yang sedang terancam nyawanya, dan tidak ada pilihan lain
karena sudah mencoba semua cara yang tersedia, ditambah siapapun orangnya akan memilih utk
melakukan hal yg sama, maka hakim bisa memutuskan tidak ada unsur kesalahan dalam
perbuatan terdakwa sehingga tidak dijatuhi pidana.
Dalam hal spt ini, kesalahan disini berfungsi sebagai alasan penghapus pidana, lebih
khususnya sebagai alasan pemaaf, yakni bahwa perbuatan tersebut terpenuhi unsur-unsur delik
formalnya (bersifat melawan hukum formal), namun bisa dimaafkan karena dipandang tidak
terdapat kesalahan. Artinya tetap sebagai perbuatan pidana, namun hapus unsur kesalahan nya.
Disinilah letak pentingnya konsep kesalahan dalam hukum pidana.
Kemudian kita masuk ke dalam kasus utama tulisan ini, yakni kasus suap 'selamatkan
ibu'. Apakah unsur kesalahan terpenuhi atau tidak terpenuhi dalam hal ini? tentu saja ini
sepenuhnya wilayah hakim untuk menilai dan kemudian memutuskan. Yang perlu diingat adalah
bahwa konsep kesalahan ini baru digunakan ketika rumusan delik formal semuanya telah
terpenuhi. Sehingga, penggunaannya di dalam hukum pidana, memang berada di ujung
pemeriksaan pengadilan.
Bagaimana hakim menilai unsur kesalahan (dalam arti luas) inilah letak kerumitannya,
dan tidak banyak buku hukum pidana yang bisa membahasnya dengan baik, karena apa yang
tertuang di buku-buku klasik hukum pidana menurut saya kebanyakan sudah tidak mencakup
perkembangan terbaru konsep tersebut. Apakah membantu seorang ibu yang terancam hukuman
pidana dengan jalan menyogok hakim itu bisa dimaafkan? hemat saya tidak bisa. Membantu
seorang ibu kandung yang terancam pidana adalah perbuatan mulia, namun tidak boleh
menggunakan cara-cara yang melanggar hukum.
Nah kemudian tentu saja pertanyaan kuncinya adalah, apa bedanya perbuatan menanam
ganja (yg jelas melanggar hukum) untuk menyelamatkan nyawa istrinya, dengan perbuatan
menyuap (yang juga sangat jelas melanggar hukum) untuk menyelamatkan ibunya dari hukuman
pidana? Disinilah menurut sy letak konsep 'kesalahan' perlu dipahami dengan hati-hati.
Kesalahan merupakan wilayah kebatinan, dimana untuk membacanya diperlukan ketajaman mata
hati (nurani). Hemat saya, menyelamatkan nyawa nilainya lebih tinggi daripada menyelamatkan
ibunya dari pidana.
Menyelamatkan nyawa adalah masalah kemanusiaan. Jatuhnya hukuman pidana thdp si
ibu adalah konsekuensi logis dari perbuatan pidana si ibu (kecuali ada unsur rekayasa). Di dalam
ilmu hukum pidana, terdapat konsep yang disebut 'noodtoestand', dimana terdapat situasi dimana
seseorang terjepit diantara dua hal, yakni kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Disitulah
kedua orang tersebut posisinya berada (terjepit) dengan dua hasil pilihan yang tidak sama.
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, mengenai dapat atau tidak dapatnya seseorang
dipidana yang mana hal tersebut berhubungan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan.
Menurut konsepnya pertanggungjawaban pidana mempunyai 2 (dua) unsur yaitu unsur kesalahan
dan bentuk kesalahan. Unsur kesalahan terdiri dari beberapa hal antara lain: melakukan tindak
pidana, kemampuan untuk bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf. Sedangkan
unsur bentuk kesalahan meliputi kesengajaan atau kealpaan.
Salah satu yang harus dipenuhi dalam tindak pidana adalah unsur subjektifnya, yaitu
tentang adanya kesalahan. Ada dua macam kesalahan dalam kajian hukum pidana yaitu
kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).
Kesengajaan (Dolus)
Menurut Memorie van Toelichting, kata “dengan sengaja” (opzettlijk) yang banyak
dijumpai dalam pasal-pasal KUHP diartikan sama dengan willens en wetens yaitu sesuatu yang
dikehendaki dan diketahui. Ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
Kesengajaan sebagai maksud yaitu bentuk kesengajaan yang menghendaki pelaku untuk
mewujudkan suatu perbuatan, menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan suatu kewajiban
hukum, dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu. Sehingga pada saat seseorang
melakukan tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dikehendakinya, menyadari bahwa
akibat tersebut pasti atau mungkin dapat timbul karena tindakan yang telah dilakukan, orang
dapat mengatakan bahwa orang tersebut mempunyai kesengajaan sebagai maksud.
Contoh kasus: seseorang ingin membunuh temannya, kemudian ia menembaknya menggunakan
pistol di bagian kepala.
2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet als zekerheldsbewustzijn)
Kesengajaan sebagai kepastian yaitu bentuk kesengajaan yang berupa kesadaran seseorang
terhadap suatu akibat yang menurut akal manusia pada umumnya pasti terjadi dikarenakan
dilakukannya suatu perbuatan tertentu dan terjadinya akibat tersebut tidak dapat dihindarkan.
Akibat yang timbul merupakan akibat lain dari tindakan yang dilakukannya bukan merupakan
akibat yang dikehendaki.
Contoh kasus: Saat melakukan perampokan pelaku menggorok kasir supermarket dengan
menggunakan kapak tajam, akibatnya kasir tersebut mati. Meskipun kematian ini tidak
diinginkan, namun siapapun pasti tahu menggorok orang dengan kapak tajam dapat
menyebabkan seseorang mati.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis)
Kesengajaan sebagai kemungkinan yaitu suatu kesadaran untuk melakukan perbuatan yang telah
diketahuinya bahwa akibat lain yang mungkin akan timbul dari perbuatan itu yang tidak ia
inginkan dari perbuatannya, namun si pembuat tidak membatalkan niat untuk melakukannya.
Dalam dolus ini dikenal teori “apa boleh buat” bahwa sesungguhnya akibat dari keadaan yang
diketahui kemungkinan akan terjadi, tidak disetujui tetapi meskipun demikian, untuk mencapai
apa yang dimaksud resiko akan timbulnya akibat atau disamping maksud itupun diterima.
Contoh kasus: Seorang Terdakwa mengatakan bahwa ia tidak bermaksud untuk membunuh
korban. Tapi semestinya ia menyadari apabila sebilah pedang ditebaskan pada bagian badan
manusia akan menyebabkan pendarahan yang hebat, dan kemungkinan besar si korban akan
kehabisan darah, yang akan mengakibatkan kematian.
Kealpaan (Culpa)
Menurut pendapat para ahli kealpaan ini disamakan dengan kelalaian dan kekuranghati-
hatian. Menurut Wirjono Prodjodikoro culpa didefinisikan sebagai kesalahan pada umumnya,
namun dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan
pelaku tindak pidana yang tidak seberat kesengajaan yang disebabkan dari kurang berhati-hati
sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.
Culpa dibedakan menjadikan dua yaitu culpa levissima dan culpa lata. Culpa levissima,
adalah kealpaan yang ringan. Sedangkan culpa lata adalah kealpaan berat. Menurut para ahli
hukum culpa levissima dijumpai di dalam jenis kejahatan, oleh karena sifatnya yang ringan.
Namun dapat pula dijumpai di dalam pelanggaran dari buku III KUHP. Sebaliknya ada
pandangan bahwa culpa levissima oleh Undang-Undang tidak diperhatikan sehingga tidak
diancam pidana. Sedangkan bagi culpa lata dipandang sebagai suatu kejahatan karena kealpaan.
Persamaan dan Perbedaan Dolus dan Culpa
Adapun persamaan dan perbedaan antara dolus dan culpa sebagai
berikut, dolus mengandung kesalahan yang mempunyai jenis yang berbeda dengan culpa. Akan
tetapi mempunyai dasar yang sama, yaitu: adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana; adanya kemampuan bertanggungjawab; dan tidak adanya alasan pemaaf.
Dilihat dari perbedannya dolus dan culpa memiliki perbedaan dalam hal bentuknya.
Dalam dolus, sikap batin orang yang melakukannya adalah berbeda. Sikap batin orang yang
melakukannya adalah menentang larangan. Sedangkan dalam culpa, orang yang melakukannya
kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan
yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.
.

Anda mungkin juga menyukai