Anda di halaman 1dari 27

SIKAP

SIKAP
(attitude)
MENGAPA SSO/SEKELOMPOK ORG :

▪ Menganut agama, partai, aliran tertentu ?


▪ Membenci suku X, semntara org lain justru “bersimpatit”
kpd suku X ?
▪ Lebih manyukai pasta gigi Y daripada pasta gigi merk Z ?
▪ Orang tetap saja merokok, bagaimana merubah pl mereka
agar tidak merokok ?

BAGAIMANA

▪ Meyakinkan orang agar mau memilih partai X ?


▪ “Mencegah” pendukung kita agar “kebal” thd propaganda
kelompok lain ?
▪ Dsb, dsb ?!
PENGERTIAN

1. AJZEN (1988): An
attitude is a disposition to
respond favourably or unfavourably to
an object, person, institution or event.

2. MYERS (1996) : Attitudeis a favourable or


unfavourable evaluative reaction toward
something or someone, exhibited in one’s
belief, feelings or intended behavior.
BEDA “SIKAP” dengan “SIFAT”
(Ajzen, 1988)

SIKAP (attitude) SIFAT (trait)


▪ Hasil Belajar ▪ Laten
▪ Mengarahkan perilaku ▪ Mengarahkan pl
▪ Ada unsur/arah ▪ Tidak selalu menilai,
penilaian thd objek cenderunng konsisten di
▪ Lebih mungkin untuk berbagai situasi, tak
berubah/menyesuaikan tergantung penilaian
sesaat
▪ Menolak perubahan
Komponen Sikap
(kognisi, afeksi & konasi)
•kognitif : terdiri dari seluruh kognisi yg
dimiliki sso ttg objek sikap tertentu
(fakta, pengetahuan & keyakinan ttg
objek).
•afektif : terdiri dari seluruh perasaan /
emosi sso thd objek, terutama berupa
penilaian (+ / -).
•perilaku : kesiapan sso utk bereaksi /
kecenderungan utk bertindak thd objek.
• Ketiga komponen tsb bisa searah,
namun bisa juga tidak bersesuaian satu
dengan lainnya.

Misalnya :
Pikiran, perasaan, dan perilaku terhadap
rokok, korupsi, pungli, kolusi, nepotisme,
dsb. Dgn demikian dlm sikap terkandung
“kompleksitas kognitif”.
Kaitan Sikap – Perilaku
❑Komponen “perilaku” tdk selalu sejalan dengan
komponen lainnya (kognisi, afeksi) ? Banyak
penelitian psikologi sosial menemukan bhw:
perilaku nyata seringkali tidak sesuai dengan
sikap, dan (nyatanya) banyak orang dapat hidup
cukup nyaman dg ketidaksesuaian tsb. Dkl
komponen perilaku dari sikap seringkali tdk=
komponen kognitif dan komponen afektifnya.
❑Faktor yg mempengaruhi ketidak sesuaian ini
menurut Siers, dkk (1985) adalah “minat”.
Sebaliknya, perilaku nyata (overt behavior)
dalam banyak kasus dapat “mengontrol”
komponen afektif & kognitifnya. Demikianlah
hubungan kausalitas antara sikap (dg 3
komponenennya) dengan perilaku nyata bisa
“mulus” (smooth) , namun juga bisa “terpenggal”;
pun bisa “dikontrol” dengan “perilaku nyata”.
Kesederhanaan Evaluatif dr Sikap

❑Kebanyakan sikap cenderung mjadi “sederhana”


(simplistik) secara evaluatif (vs dari “kompleks”). Sbg
besar evaluasi yg dihasilkan sikap cenderung ekstrim
– atau +, dan menjadi konsisten dalam waktu lama ;
misalnya penilaian thd rokok, thd watak orang lain,
dsb; cenderung ‘menyederhanakan’ (merokok
mengganggu teman, si A menyenangkan / tidak
menyenangkan), bahkan ketika orang cukup memiliki
informasi yg memadai & justru sering terjadi ketika
orang menghadapi situasi ‘genting’.
❑Kesederhanaan evaluatif dapat dilihat dari
meluasnya fenomena “generalisasi” penilaian thd
figur pemimpin, penjahat atau situasi ttt yg
menonjol pengaruhnya dalam kehidupan bersama.
SIKAP BISA BERUBAH ?
PENGULANGAN & PERUBAHAN SIKAP
• Zajone dkk. (1968): keakraban yg didasarkan pd
pengulangan (repetisi) akan meningkatkan rasa suka;
lb lanjut pengulangan tsb akan meningkatkan
perubahan sikap.

• Cacioppo & Petty (1979) : terdapat peningkatan


“persetujuan” sejalan dg peningkatan
pengungkapan sampai titik tertentu, setelah itu
menurun (terdapat titik kejemuan).
Kriterianya belum/tidak diketahui..
Sikap mjadi semakin kuat dgn semakin
lamanya orang menganut sikap tsb.

Tesser (1978) menemukan :


• pemikiran ttg objek sikap cenderung
membuat sikap semakin ekstrim (+ / -);
• orang cenderung meninjau dan
menimbang-nimbang kembali pikiran
mereka, dan tekanan konsistensi
menggerakkannya ke arah penilaian yg lb
konsisten
Komponen kognitif
lebih “mudah” diubah
❑Komponen evaluatif ( biasanya afektif) yg
cenderung “menyederhanakan” dlm
kenyataan seringkali berperan sgt penting
dlm mempengaruhi & membentuk
perilaku.

❑Sementara itu, “komponen kognitif”


relatif “lbh mudah dirubah” dpd
“komponen afektif” (yg bersifat evaluatif)
tsb. Dengan demikian, komponen afektif
lebih dapat “bertahan lama, sulit diubah”,
dan “lebih besar “ peranannya dlm
mempengaruhi terbentuknya perilaku.
KEMANTAPAN PERUBaHAN SIKAP

Selain dipengaruhi oleh karakteristik target,


sebagian (besar )dipengaruhi oleh adanya
asosiasi seputar disampaikannya
argumentasi (utk mengubah sikap).

Mis. kredibilitas sumber, dukungan sosial


& / tekanan lingkungan. Selebihnya
perubahan sikap akan terjadi secara
alamiah.
Teori-teori Sikap
Teori Belajar, Insentif & Kognitif
1. Teori Belajar : asosiasi – reinforcement
-imitasi
❑Pendekatan model belajar ini banyak mendominasi
penelitian sekitar sikap. Pendekatan model ini relatif
sederhana; manusia dipandang sbg mahkluk pasif. Mereka
dihadapkan pd stimulus (S), belajar melalui prinsip-prinsip
sebagaimana berlaku dlm mempelajari hal-hal lain; dan
dari proses tsb terjadilah sikap (attitude).
❑Adalah Hovland dkk. (1953) yg banyak menyokong
pendekatan belajar ini. Dikemukakannya bahwa sikap
dipelajari dengan cara yg sama seperti “kebiasaan” lainnya.
a. Asosiasi

• Org memperolah informasi dan banyak fakta;


mereka mempelajari perasaan2 & nilai2 yg
berkaitan dgn fakta2 tsb.
Mis. So anak belajar bhw serangga ttt disebut
“kalajengking” (scorpio), bahwa kalajengking
adalah ‘musuh’, bahwa kalajengking ‘jahat’;
akhirnya ia belajar untuk “membenci”
kalajengking.

Di sini proses-proses dasar tjadinya belajar dpt


diterapkan pd pembentukan sikap. Individu dpt
memperoleh informasi & perasaan melalui proses
“asosiasi” (pengkait-kaitan).
✓Dalam asosiasi “kalajengking – jahat”
kemudian terjadi “sikap negatif”
(membenci). Amatilah berbagai gejala
sosial lainnya.
✓Dg demikian, Proses asosiasi
menimbulkan sikap thd benda sperti juga
thd manusia/orang lain. Sikap terdiri dari
pengetahuan (kognisi) ditambah
komponen evaluatif yg berkaitan. JADI
faktor yg pling sederhana dlm
pembentukan sikap adalah : asosiasi yang
‘melekat’ pada objek sikap.
b. Reinforcement (peneguhan)
•Belajar juga dpt terjadi melalui
reinforcement Jika so mhs mengambil MK
“X” yg diampu oleh dosen “Y” mendapat
nilai “A” dan merasa puas, maka tindakan
mengambil MK “X” yg diampu dosen “Y”
mendapatkan reinforcement ; mungkin di
masa y.a.d mhs tsb akan mengambil MK-MK
yg diampu oleh dosen “Y”. Pengalaman tsb
bisa membentuk terjadinya, & meneguhkan
adanya sikap positif, baik thd dosen “Y”
maupun MK-MK yg diasosiasikan (krn
diampu dosen “Y”).
c. Imitasi (peniruan)

❑Sikap dpt dipelajari melalui


imitasi thd orang lain/figur yg kuat
dan signifikan. Contoh, banyak
sikap sosial – politik
berlatarbelakang pada kehidupan
keluarga (masa kecil); shg dpt
dikatakan bhw sikap tsb bermula
dari peniruan thd orang tua
(teman, guru, buku-buku, situasi,
dsb.).
2. Teori Insentif

Teori ini memandang


pembentukan sikap sbg proses
menimbang baik-buruknya
berbagai kemungkinan posisi
& kemudian mengambil
alternatif terbaik. Mis. sikap
thd “perilaku mengikuti trend
mode fashion”, dri (+) menjadi
(-).
(1)Teori Respons Kognitif (cognitive
response theory) dari Greenwald, Petty,
Ostrom & Brock ( Sears, 1985).

• Teori ini mengasumsikan bhw sso memberi respons thd


suatu komunikasi dgn beberapa pikiran (+) atau (-)/
respons kognitif, dan pikiran-pikiran tsb sebaliknya juga
menentukan apakah orang ybs akan mengubah / tidak
mengubah sikapnya sebagai akibat dari komunikasi.
• Mis. orang mendengarkan pidato dari pejabat tentang “
perlunya peletakan jabatan sbg ketua partai setelah so
ketua partai diangkat menjadi Presiden”. Ada setidaknya
dua respons kognitif thd pidato itu, (+) atau (-).

Asumsi pokok dr sudut pandang respons kognitif adalah
: bhw orang merupakan pemroses informasi yg aktif, yg
membangkitkan respons kognitif thd pesan, dan bukan
sekedar mjd penerima pasif dari pesan yg diterimanya.
(2)Pendekatan Nilai Ekspektansi(expectancy-
value approach) Edwards (1954)

• Teori ini mengemukakan bhw :

Orang mengambil posisi yg akan membawanya pd


kemungkinan hasil terbaik, dan menolak posisi yg akan
membawanya pada hasil buruk (hasil yg tdk mungkin
mengarahkan pada hasil yg baik).

Pendekatan ini berasumsi bhw dlm mengambil


sikap, orang berusaha memaksimalkan nilai sbg hasil /
akibat yg diharapkan, terutama yg berkaitan dgn manfaat
subjektif. Mis. Orang hendak memutuskan begadang dg
teman2 atau tidak.
3. Teori Kognitif
• Asumsinya : orang mencari keselarasan dan
kesesuaian dalam bersikap, dan juga antara sikap
dengan perilaku. Yang ditekankan adalah
penerimaan sikap yg sesuai dg keseluruhan struktur
kognitif.

Konsistensi Kognitif
• Orang adalah mahkluk yang berupaya menemukan
makna dan hubungan dalam struktur kognitifnya.
Individu yg memiliki keyakinan / nilai yg tidak
konsisten 1 dg lainnya berusaha utk membuat
keyakinan / nilai tsb menjadi lebih konsisten.
Kekonsistenan kognitif dalam perjalanan waktu akan
berhadapan dg kognisi baru yg akan menimbulkan
inkonsistensi, dan orang akan berusaha
meminimalkan ketidakkonsistenan tsb. Motif utama
dari banyak orang adalah mempertahankan atau
memperbaiki konsistensi kognitif itu. Hal ini juga
terjadi dalam hal sikap.
Teori Keseimbangan (Fritz Heider, 1958)
•yaitu tekanan konsistensi di antara akibat-akibat
dalam sistem kognitif yang sederhana. Terdapat
tiga penilaian individu tentang obyek dan
tentang hubungan obyek satu sama lain.
Perasaan seseorang (P) tentang orang lain (O),
dan perasaan mereka tentang obyek (X).
Misalnya perasaan mahasiswa terhadap Dosen
dan perasaan mereka tentang pemerintahan
transisi Habibie.
•Lihat bagan di bawah ini:
Situasi Seimbang Situasi tidak Seimbang
+ +

- -
- +

Pengertian tentang gaya keseimbangan muncul dari teori


Gestalt mengenai organisasi perseptual, yaitu orang akan
berusaha memperoleh gambaran bentuk yang bagus
dalam persepsi mereka terhadap orang, benda, dan+
situasi.
•Hubungan itu sepadan, pantas, masuk
akal, penuh arti. Motif utama yang
mendorong orang ke arah
keseimbangan adalah usaha
memperoleh tentang hubungan sosial
yang selaras, sederhana, logis, penuh
arti. Sistem yang seimbang adalah
hubungan yang menghasilkan
hubungan yang positif, sistem yang
tidak seimbang menghasilkan
hubungan yang negatif.
Konsistensi Kognitif-Afektif
• yaitu bagaimana orang berusaha membuat kognitif
mereka konsisten dengan afeksi. Dengan kata lain,
keyakinan kita, pengetahuan kita ditentukan oleh afeksi
kita, demikian juga sebaliknya. Namun yang sering
terjadi adalah penilaian kita (afektif) mempengaruhi
keyakinan (kognitif). Misalnya kita mengembangkan
perasaan tidak suka (negatif) pada pemerintahan
Habibie karena tidak mampu memberantas KKN dan
mengadili Soeharto, maka kita akan cenderung mencari
informasi yang mendukung perasaan tidak suka
(negatif) tentang pemerintahan Habibie, misalnya
semakin banyak kekacauan di mana-mana, kenaikan
harga tidak dapat ditekan, inflasi tetap tinggi, dsb.
Teori Ketidaksesuaian
(Disonance Theory)
• yaitu bahwa sikap aka berubah demi mempertahankan
konsistensi dengan perilaku nyatanya. Wujud utamanya
adalah teori ketidaksesuaian kognitif yang dikemukakan
pertama kali oleh Leon Festinger (1957), yaitu
difokuskan pada dua sumber yaitu ketidakkonsistenan
sikap – perilaku: akibat pengambilan keputusan dan
akibat perilaku yang saling bertentangan dengan sikap.
Misalnya merasa bosan menjadi mahasiswa, karena
merasa malas belajar, ketidakkonsistenan timbul
karena sebagai hasil ketidaksesuaian kognitif.
Ketidakkonsistenan dapat dikurangi dengan cara
mengubah sikap sehingga konsisten dengan perilaku.

Anda mungkin juga menyukai