Anda di halaman 1dari 33

PROYEK AKHIR

KAJIAN ANTROPOLOGI TERHADAP PERAN GURU KRISTEN SEBAGAI FASILITATOR DALAM

PENERAPAN COLLABORATIVE LEARNING

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik


guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:
NAMA : CAROLIS SYLVESTER LAMANY
NPM : 01405180016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
JAKARTA
2021
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TUGAS

AKHIR

Saya mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Kristen , Fakultas Ilmu

Pendidikan, Universitas Pelita Harapan,

Nama : Carolis Sylvester Lamany


Nomor Pokok Mahasiswa : 01405180016
Program Studi : Pendidikan Agama Kristen

Dengan ini menyatakan bahwa karya tugas akhir yang saya buat dengan judul

KAJIAN ANTROPOLOGI
KRISTEN TERHADAPDALAM
SEBAGAI FASILITATOR PERAN GURU KRISTEN SEBAGAI
PENERAPAN

” adalah :

1. Dibuat dan diselesaikan sendiri dengan menggunakan hasil kuliah,


tinjauan lapangan, buku–buku dan jurnal acuan yang tertera di dalam
referensi pada karya tugas akhir saya.
2. Bukan merupakan duplikasi karya tulis yang sudah dipublikasikan atau
yang pernah dipakai untuk mendapatkan gelar sarjana di universitas lain,
kecuali pada bagian-bagian sumber informasi yang dicantumkan dengan
cara referensi yang semestinya.
3. Bukan merupakan karya terjemahan dari kumpulan buku atau jurnal acuan
yang tertera di dalam referensi pada tugas akhir saya.

Kalau terbukti saya tidak memenuhi apa yang dinyatakan di atas, maka karya
tugas akhir ini dianggap batal.
Jakarta, 12 Juli 2021

Carolis Sylvester Lamany


UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR

KAJIAN ANTROPOLOGI TERHADAP PERAN GURU KRISTEN SEBAGAI FASILITATOR DALAM

PENERAPAN COLLABORATIVE LEARNING

Oleh:
Nama : Carolis Sylvester Lamany
NPM : 01405180016
Program Studi : Pendidikan Agama Kristen

telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dan dipertahankan dalam Sidang

Tugas Akhir guna mencapai gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi
Pendidikan Agama Kristen
, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pelita

Harapan, Jakarta

Jakarta, 12 Juli 2021

Menyetujui:

Pembimbing

( Suparman, S.Pd., S.Th., M.Th(K))

Ketua Program Studi (


Oh Yen Nie, S.E., M.Ed.
)
(Lindawati, S.H., M.Div., M.Th.K..)

Dekan
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

Fakultas Ilmu pendidikan

PERSETUJUAN TIM PENILAI TUGAS AKHIR

Pada Selasa, 19 Oktober 2021 telah diselenggarakan Sidang Tugas Akhir untuk

memenuhi sebagian persyaratan akademik guna mencapai gelar Sarjana


Pendidikan Agama Kristen
Pendidikan pada Program Studi , Fakultas Ilmu

Pendidikan, Universitas Pelita Harapan, atas nama:

Nama : Carolis Sylvester Lamany


NPM : 01405180016
Program Studi : Pendidikan Agama Kristen
Fakultas : Ilmu Pendidikan

termasuk ujian Tugas Akhir yang berjudul “

KAJIAN ANTROPOLOGI TERHADAP PERAN GURU KRISTEN

” oleh tim penguji yang terdiri dari:

Nama Penguji Jabatan dalam Tim Penilai Tanda tangan

1. Click here to enter text. , sebagai Ketua

2. Click here to enter text. , sebagai Anggota

3. Click here to enter text. , sebagai Anggota

Jakarta, Click here to enter text.


ABSTRAK

Carolis Sylvester Lamany ( 01405180016)

KAJIAN ANTROPOLOGI TERHADAP PERAN GURU KRISTEN SEBAGAI FASILITATOR DALAM

PENERAPAN COLLABORATIVE LEARNING

( viii + 20 halaman: - gambar; - tabel; - lampiran)

Penerapan collaborative learning merupakan model pembelajaran yang menekankan pada kerja
sama antar siswa. Dalam penerapannya, guru memainkan peran penting sebagai fasilitator dalam
membantu siswa untuk ada dalam kerja sama. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi adalah guru
tidak menjalankan sebagai fasilitator sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, guru harus memiliki
pemahaman yang tepat terhadap perannya sebagai fasilitator melalui kerangka antropologi,
sehingga hal tersebut membantu guru untuk menjalankan perannya. Bertemali dengan hal itu
penulisan ini bertujuan untuk mengkaji peranan guru Kristen sebagai fasilitator dalam penerapan
collaborative learning berdasarkan kerangka antropologi. Metode penelitian yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan kajian literatur. Antropologi Kristen memandang
manusia dipandang sebagai Imago Dei. Akan tetapi, keberdosaan manusia membuat relasi
manusia dengan Allah, sesama dan ciptaan menjadi rusak. Untuk itu, peran guru Kristen sangat
dibutuhkan untuk mengembalikan gambar dan rupa Allah yang telah rusak dalam diri siswa. Saran
dalam penulisan ini yaitu agar penelitian ini menjadi lebih objektif, maka diperlukan penelitian
yang lebih lanjut. Mengingat makalah ini dikaji melalui metode kualitatatif, maka penelitian
selanjutnya diharapkan dapat menggunakan sumber-sumber yang kredibel.

Referensi: 65 ( 2000-2021).

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Tritunggal atas segala berkat yang telah

diberikan-Nya, sehingga Proyek Akhir ini dapat diselesaikan.

Proyek Akhir dengan judul “

KAJIAN ANTROPOLOGI TERHADAP PE

” ini ditujukan

untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana

Pendidikan, Universitas Pelita Harapan, Jakarta.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai

pihak, Proyek Akhir ini tidak akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada

semua pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan Proyek Akhir ini,

yaitu kepada:

1. Oh Yen Nie, S.E., M.Ed., selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan.

2. Lindawati, S.H., M.Div., M.Th.K. , selaku Ketua Program Studi


Pendidikan Agama Kristen
.

3. Suparman, S.Pd., S.Th., M.Th(K) ., selaku Dosen Pembimbing yang

telah memberikan bimbingan dan banyak memberikan masukan kepada

penulis.

4.
Semua orang yang sudah membantu dan memotivasi penulis selama pembuatan Tugas Akh
.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan

dalam Proyek Akhir ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan
vi
sangat bermanfaat bagi penulis. Semoga Proyek Akhir ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 12 Juli 2021

Carolis Sylvester Lamany

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TUGAS AKHIR

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR

PERSETUJUAN TIM PENGUJI TUGAS AKHIR

ABSTRAK..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
LATAR BELAKANG............................................................................................2
Kajian Teori............................................................................................................5
Antropologi Kristen...........................................................................................5
Collaborative Learning.......................................................................................7
Guru sebagai Fasilitator..................................................................................12
PEMBAHASAN...................................................................................................15
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................21
KESIMPULAN.................................................................................................21
SARAN..............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

viii
KAJIAN ANTROPOLOGI TERHADAP PERAN GURU KRISTEN
SEBAGAI FASILITATOR DALAM PENERAPAN COLLABORATIVE
LEARNING

Carolis Sylvester Lamany


Cl80016@student.uph.edu
Program Studi Pendidikan Agama Kristen
Fakultas Ilmu Pendidikan

ABSTRAK
Penerapan collaborative learning merupakan model pembelajaran yang menekankan pada kerja
sama antar siswa. Dalam penerapannya, guru memainkan peran penting sebagai fasilitator dalam
membantu siswa untuk ada dalam kerja sama. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi adalah guru
tidak menjalankan sebagai fasilitator sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, guru harus memiliki
pemahaman yang tepat terhadap perannya sebagai fasilitator melalui kerangka antropologi,
sehingga hal tersebut membantu guru untuk menjalankan perannya. Bertemali dengan hal itu
penulisan ini bertujuan untuk mengkaji peranan guru Kristen sebagai fasilitator dalam penerapan
collaborative learning berdasarkan kerangka antropologi. Metode penelitian yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan kajian literatur. Antropologi Kristen memandang
manusia dipandang sebagai Imago Dei. Akan tetapi, keberdosaan manusia membuat relasi
manusia dengan Allah, sesama dan ciptaan menjadi rusak. Untuk itu, peran guru Kristen sangat
dibutuhkan untuk mengembalikan gambar dan rupa Allah yang telah rusak dalam diri siswa. Saran
dalam penulisan ini yaitu agar penelitian ini menjadi lebih objektif, maka diperlukan penelitian
yang lebih lanjut. Mengingat makalah ini dikaji melalui metode kualitatatif, maka penelitian
selanjutnya diharapkan dapat menggunakan sumber-sumber yang kredibel.

Kata Kunci: Collaborative Learning, Guru sebagai Fasilitator, Antropologi.

ABSTRACT
The application of collaborative learning is a learning model that emphasizes cooperation
between students. In practice, the teacher plays an important role as a facilitator in helping
students to work together. However, the reality is that teacher do not act as facilitator as they
should. Therefore, teachers must have the right understanding of their role as facilitator through
an anthropological framework, so that it helps teacher to carry out their roles. With that in mind,
this paper aims to examine the role of Christian teacher as facilitators in the application of
collaborative learning based on an anthropological framework. The research method used is
descriptive qualitative by using a literature review. Christian anthropology views humans as
Imago Dei. However, the sinfulness of humans makes human relations with God, others and
creation damaged. For this reason, the role of Christian teacher is urgently needed to restore the
image and likeness of God that has been damaged in students. Suggestions in this paper is that this
research becomes more objective, so further research is needed. Considering that this paper was
reviewed through a qualitative method, it is hoped that further research can use credible sources.

Keywords: Collaborative Learning,Teacher as Facilitator, Antropology.

1
LATAR BELAKANG

Guru memiliki peranan penting sebagai fasilitator dalam penerapan

collaborative learning. Collaborative learning merupakan salah satu model

digunakan dalam proses pembelajaran. Barkley et al., (2014) menjelaskan

bahwa collaborative learning adalah istilah yang mencakup kepelbagaian

pendekatan sistem pendidikan yang melibatkan pengetahuan siswa ataupun

siswa dan juga guru. Umohoibhi & Guralnick (2017) mengatakan bahwa

model collaborative learning digunakan dalam mendorong siswa untuk

bekerja sama dalam mencari sebuah solusi untuk memecahkan sebuah

permasalahan. Ciri khas dari model ini adalah tidak ada pengelompokkan

khusus bagi siswa yang memiliki kompetensi lebih tinggi dan yang tidak lebih

rendah (Wibowo and Pardede, 2019). Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa collaborative learning adalah model yang melibatkan kerja sama antara

siswa dengan siswa maupun guru, tanpa membedakan kompetensi yang

dimiliki.

Peran guru sebagai fasilitator sangatlah penting di dalam dunia

pendidikan. Sebagai fasilitator, guru berperan untuk memfasilitasi seluruh

proses pembelajaran. Van Brummelen (2009) mengatakan bahwa Guru

sebagai fasilitator artinya memberikan lingkungan dan motivasi yang tepat,

yang diwujudkan saat mendorong dan memberikan pertanyaan-pertanyaan

yang membawa siswa kepada sebuah penemuan atau solusi. Guru sebagai

fasilitator menuntut adanya sikap kreatif dan inovatif (Wardan, 2019). Guru

juga harus mewujudkan sikap inovatif dan kreatif penggunaan media

pembelajaran dan juga metode yang dipakai (Safitri, 2019).

2
Guru dan siswa adalah ciptaan yang serupa dan segambar dengan Allah,

yang telah jatuh ke dalam dosa. Kejadian 1:27 dijelaskan bahwa Allah

menciptakan manusia seturut gambar dan rupa-Nya. Segambar dan serupa

dalam secara sifat dan struktur. Akan tetapi, Keberdosaan manusia

mengakibatkan adanya keterpisahan dengan diri Allah. Simanjuntak (2020)

mengatakan bahwa dosa membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah, dosa

membuat manusia menjadi seteru Allah. Dosa juga membuat manusia tidak

dapat melakukan kebaikan yang sempurna di hadapan Allah (Sproul, 2014).

Oleh karena itu, manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri, kecuali

Allah yang berintervensi langsung. Kejatuhan manusia ke dalam dosa

membuat gambar dan rupa Allah dalam diri manusia menjadi rusak. Gambar

dan rupa Allah yaitu sifat dan struktur manusia tidak lagi cenderung kepada

Allah (Fennema, 2009). Secara struktur, esensi manusia adalah ciptaan yang

religius bukan hanya dalam tingkah laku agama, tetapi dalam roh dan pikiran.

Selain itu, manusia adalah makhluk relasional. Sebagai makhluk relasional,

manusia menggambarkan Tuhan dari relasi yang dimiliki.

Akibat dosa tentunya berpengaruh dalam dunia pendidikan, khususnya

dalam pribadi guru dan siswa sebagai imago Dei. Penerapan collaborative

learning, harus menjadi sebuah solusi untuk mengembangkan kemampuan

siswa dalam berelasi dan mengemukakan pendapat, akan tetapi yang terjadi

sebaliknya. Faktanya, dalam penerapan collaborative learning, guru tidak

melakukan monitoring, sehingga siswa dengan bebas dapat melakukan sesuatu

diluar instruksi yang diberikan (Gunawan, 2007). Akibat yang kedua adalah

guru tidak peduli saat hanya beberapa siswa yang aktif dan yang lain memiliki

3
sibuk bermain (Haqqi, 2017). Kedua hal inilah yang menunjukkan bahwa dosa

merusak gambar dan rupa Allah sebagai makhluk relasional. Seharusnya,

collaborative learning siswa dan guru diharapkan untuk mencerminkan relasi

melalui kerja sama, akan tetapi yang terjadi sebaliknya.

Melalui hal tersebut perlu disadari bahwa, tanpa dasar antropologi yang

kuat, guru akan keliru dalam menjalankan peranannya sebagai fasilitator.

Banyak guru yang mengerti perannya sebagai seorang fasilitator, tetapi

mereka tidak memiliki dasar yang kuat untuk menjalankan peran tersebut.

Oleh karena itu, guru harus memiliki dasar yang kuat untuk hal ini. Dasar

yang tepat dan solid adalah pengenalan akan diri Allah melalui Alkitab, agar

mampu menjalankan tugasnya dengan rasa tanggung jawab (Calvin, 2000).

Guru Kristen harus menyadari bahwa peranan sebagai fasilitator adalah

sebuah ketaatan dan respon terhadap keselamatan yang Allah berikan (Wijaya,

2015). Van Brummelen (2009) mengatakan bahwa guru juga harus menyadari

bahwa peran sebagai fasilitator adalah sebuah panggilan Allah untuk

melayani.

Oleh karena itu, makalah dibuat bertujuan untuk meninjau secara

antropologis peran guru Kristen sebagai Fasilitator dalam penerapan

collaborative learning. Penulisan makalah ini akan menggunakan kajian

literatur yang sesuai dengan topik yang diangkat. Dengan demikian

kesimpulannya adalah peran guru Kristen sebagai fasilitator harus disertai

dengan landasan teologi yang kuat. Penulis berharap agar setiap tulisan yang

4
dalam makalah sesuai dengan Firman Allah, agar hanya Allah yang

dipermuliakan melalui tulisan ini.

KAJIAN TEORI

Antropologi Kristen

Antropologi secara etimologi berarti ilmu tentang manusia (Imron and

Aka, 2018). Suharta (2020) mengatakan bahwa antropologi berasal dari bahasa

yunani yaitu, antrophos yang berarti manusia dan logos yang berarti ilmu. Dengan

demikian, antropologi menurut Suharta adalah studi yang berbicara tentang

manusia. Menurut Wiranata (2011) antropologi adalah studi tentang manusia

melalui, bentuk fisik, asal usul dan kebudayaan. Eriksen (2017) juga mengatakan

bahwa antropologi merupakan studi tentang manusia, yang mencakup

perbandingan dan keragaman hakekat, lingkungan dan budaya. Dengan demikian,

dapat dipahami bahwa antropologi adalah sebuah studi tentang perbandingan dan

kesamaan hakikat, lingkungan dan budaya dari manusia. Kekristenan memiliki

pandangan yang unik terhadap antropologi sendiri.

Antropologi Kristen berbeda dengan antropologi pada umumnya.

Saroengoe (2012) mengatakan bahwa antropologi Kristen adalah sebuah studi

yang berbicara tentang hakikat, struktur tubuh, tujuan dan asal manusia. Hal yang

sama juga ditekankan oleh Eriksen (2017) bahwa penekanan antropologi Kristen

yaitu asal-usul manusia dan struktur pembentuknya. Berdasarkan pendapat para

ahli maka dapat kita simpulkan bahwa, antropologi Kristen memberikan

penekanan pada tiga hal penting yaitu, 1) asal-usul, 2) struktur pembentuk dan 3)

tujuan manusia diciptakan.

5
Dalam kaitannya dengan ketiga hal tersebut, melalui fokus kajian ini kita

akan melihat tujuan manusia diciptakan. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia

diciptakan untuk memuliakan Tuhan serta menjalankan mandat budaya, amanat

agung dan perintah agung. Pranoto (2016) mengatakan bahwa Allah menciptakan

manusia dengan tujuan untuk melayani, melakukan kehendak Allah dan

memuliakanNya. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Hwang (2016) bahwa Rasul

Yohanes dalam Wahyu 4:11; 5:13 bahwa Allah layak dimuliakan oleh seluruh

ciptaan-Nya. Yesaya 43:6-7 juga mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk

memuliakan Allah. Baginya tujuan penciptaan merupakan dasar bagi keberadaan

semua makhluk. Meski demikian, semua orang telah melupakan tujuan penciptaan

dan hidup di dalam kepuasan diri sendiri.

Perlu kita sadari bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang

berelasi. Relasi yang dibangun oleh manusia, merepresentasikan Allah Tritunggal

yang berelasi. Graham (2009) mengatakan bahwa Allah Tritunggal merupakan

Allah yang berelasi, oleh karena itu manusia diciptakan untuk hidup di dalam

relasi denganNya dan sesama. Manusia harus menyadari bahwa dasar dari relasi

yang dibangun adalah kasih. Seperti yang tertulis dalam Matius 22:34-40

Kasihilah Tuhan Allahmu, kemudian kasihilah sesamamu. Dengan melandaskan

relasi yang dibangun atas kasih kepada Allah dan sesama, maka manusia akan

dibawa kepada pertumbuhan dan kedewasaan iman (Caliguire, 2019).

Sehubungan dengan itu, kita dapat melihat hal ini dalam penerapan collaborative

learning. Melalui penerapan collaborative learning, siswa diharapkan untuk

bekerja sama dan membangun relasi dengan sesamanya. Dengan demikian,

6
melalui kerja sama tersebut, siswa akan sama bertumbuh di dalam iman kepada

Kristus.

Tentunya untuk mencapai pertumbuhan dalam penerapan collaborative

learning, peran guru sangat dibutuhkan. Guru berperan untuk menguatkan dan

menghargai siswa sebagai gambar dan rupa Allah (Suparno, 2019). Melalui relasi

yang terjalin antara guru diharapkan mampu untuk memotivasi siswa di dalam

proses pembelajaran (Kristiyanti, 2020). Bagi Estep et al., (2008) peran guru

dalam hal ini adalah memfasilitasi siswa dalm mentransformasikan sikap,

tindakan serta menghargai perbedaan.

Guru Kristen harus memiliki pemahaman yang benar mengenai tentang

antropologi Kristen. Pemahaman yang keliru tentang antropologi akan berdampak

kepada praktiknya dalam proses pembelajaran. Darmadi et al., (2017) dalam

penelitiannya menjelaskan bahwa pengetahuan yang baik akan melahirkan

tindakan yang baik pula. Estep et al., (2008) juga menyatakan bahwa krisis yang

terjadi dalam pendidikan Kristen disebabkan oleh pemahaman yang keliru dan

dasar pengajaran yang salah dari para pendidik Kristen.

Collaborative Learning

Dewasa ini teori tentang collaborative learning telah banyak berkembang,

hal ini dibuktikan dengan banyak teori yang mendefinisikan tentang hal tersebut.

Webster’s New World Dictionary dalam Diana et al., (2019) mengatakan bahwa,

collaborative learning berasal dari dua kata yaitu Collaborative yang berarti to

work together dan learning yang berarti to get knowledge atau skill by study.

Merujuk pada pernyataan sebelumnya, collaborative learning merupakan model

7
yang menekankan pada kerja sama antar siswa. Menurut Thobroni (2016)

collaborative learning adalah model pencarian makna melalui interaksi sosial.

Sehubungan dengan itu, Athiatul (2017) mengatakan bahwa collaborative

learning merupakan sebuah model pembelajaran yang pengetahuannya dibangun

dalam suatu populasi melalui interaksi bersama. Menurut Inah &Pertiwi (2017)

collaborative learning merupakan sebuah metode yang melibatkan seluruh siswa

aktif dan akan saling berkomunikasi alami dalam memecahkan masalah.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa collaborative learning

adalah sebuah model yang menekankan pada kerja sama siswa yang di dalamnya

siswa akan saling bertukar pikiran, berkomunikasi alami dan memecahkan sebuah

masalah. Sehubungan dengan itu, tentunya collaborative learning diperlukan

dalam lingkup pendidikan masa kini.

Penerapan collaborative learning sangat penting dalam dunia pendidikan.

Pentingnya collaborative learning dapat dibuktikan melalui pendapat beberapa

ahli: 1) Menurut Isotani et al., (2019) penerapan collaborative learning sangat

penting, karena membantu siswa untuk bekerja sama dalam penyelesaian masalah,

namun siswa dapat mendalami berbagai pengetahuan; 2) Barckley et al., (2014)

mengatakan bahwa collaborative learning diterapkan agar siswa dapat menggali

lebih dalam dan mengeksplorasi yang ia pikirkan; 3) Mustadi (2014) yaitu,

collaborative learning sangat penting diterapkan dalam pendidikan karena:

Menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa; mendorong kerja keras dan rasa ingin

tahu siswa; kreatif dalam membangun dan menambah pengetahuan;

menumbuhkan semangat kerja sama antar siswa; menambah kepercayaan diri

siswa untuk menyampaikan pendapat; dan menumbuhkan rasa peduli dan

8
toleransi terhadap sesama. Dengan demikian, penerapan collaborative learning

menjadi penting, karena model ini membantu siswa untuk menemukan

pemahaman yang baru, melatih siswa dalam meningkatkan kualitas team work,

menumbuhkan sikap toleransi, peduli, setia dan juga menumbuhkan rasa tanggung

jawab siswa.

Melihat pentingnya penerapan collaborative learning, maka metode ini

perlu untuk dikembangkan. Menurut Reid dalam Damayanti et al., (2017)

tahapan-tahapan dalam mengembangkan collaborative learning adalah

engagement, exploration, transformation, presentation dan reflection. Fase

engagement, guru akan membagikan siswa dengan tingkat kecerdasan yang

berbeda-beda ke dalam kelompok; Fase exploration, guru akan memberikan tugas

kepada masing-masing kelompok. Pada tahap ini, seluruh siswa akan memberikan

pendapatnya tentang tugas yang diberikan; Fase transformation, siswa dengan

kecerdasan yang berbeda-beda, akan memiliki pemahaman yang sama. Artinya,

melalui proses diskusi, eksplorasi siswa akan memiliki pemahaman yang sama.

Siswa yang awalnya tidak mengerti dengan materi tersebut, dapat mengerti; Fase

presentation, pada tahap ini siswa akan mempresentasikan hasil diskusi kelompok

dan kelompok lain akan mencermati; Fase reflection, pada tahap ini kelompok

akan melakukan sesi tanya jawab. Pada tahap ini, kelompok akan bekerja sama

untuk menjawab setiap pertanyaan yang diberikan. Tahapan-tahapan inilah yang

diterapkan di dalam collaborative learning, agar siswa dapat meningkatkan

kemampuan berpikir serta berelasi.

Istilah collaborative learning secara eksplisit tidak dapat kita temukan di

dalam Alkitab, namun dapat kita temukan dalam beberapa bagian Alkitab, baik

9
dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, salah satu contohnya adalah

kisah Daniel dan kawan-kawan. Daniel 1-3 mengisahkan bagaimana Daniel dan

kawan-kawannya berjuang di dalam pembuangan. Daniel 3:1-30 mengisahkan

peristiwa Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang setia kepada Tuhan dengan tidak

menyembah patung. Komunitas Daniel dan kawan-kawan merupakan komunitas

yang bijaksana. Komunitas bijaksana merupakan mereka yang terpelajar untuk

menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang diluar logika manusia. Meski

demikian, pengetahuan yang dimiliki oleh Daniel dan kawan-kawan adalah bukti

campur tangan Tuhan atas hidup mereka (Siahaan and Peterson, 2007).

Komunitas yang dibangun oleh Sadrakh, Mesakh dan Abednego memberikan kita

gambaran komunitas yang bertumbuh dalam ketaatan akan Tuhan (Dockery,

2010). Hal dibuktikan pada Daniel 4: 12, 16, yang menyatakan bahwa mereka

tidak menyembah patung yang didirikan Raja Nebukadnezar. Hasil dari ketaatan

akan Firman Allah adalah nama Tuhan yang dipermuliakan. Penerapan lainnya

dapat kita lihat dalam Perjanjian Baru, yaitu pada jemaat mula-mula. Jemaat

mula-mula merupakan jemaat yang heterogen baik dari suku, ras, bahasa dan

kebudayaan. Akan tetapi, melalui perbedaan itu mereka saling melengkapi satu

dengan yang lain, sehingga tidak yang lebih tinggi dan lebih rendah (Zaluchu,

2018). Kisah Para Rasul 2:42 berbunyi “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-

rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan

roti dan berdoa.” Ayat ini menjelaskan bagaimana jemaat mula-mula hidup

menggumuli dan mendalami firman Allah yang diajarkan para Rasul dalam

sebuah persekutuan (Stott, 2012). Tentunya hal ini dilakukan untuk mengetahui

dan melakukan ketetapan Tuhan, mengasihi Allah serta mengasihi sesama sebagai

10
anggota tubuh Kristus (Siburian and Wicaksono, 2019). Sehubungan dengan hal

itu, pendalaman Alkitab dan kebiasaan yang dilakukan oleh jemaat mula-mula

mencerminkan sikap hidup yang mau tolong menolong dan berbagi sebagai suatu

komunitas belajar (Lee, 2020).

Kehidupan Daniel dan kawan-kawan serta kehidupan jemaat mula-mula

merupakan implementasi dari collaborative learning. Collaborative learning

bukan hanya menolong siswa untuk memiliki pemahaman yang luas, tetapi juga

menolong siswa untuk hidup dalam relasi yang bertumbuh berdasarkan

pengenalan akan Allah yang sejati. Dalam kaitannya dengan relasi, Rosita &

Leonard (2015) mengatakan bahwa collaborative learning merupakan salah satu

sarana untuk saling berbagi sebagai makhluk relasional. Makhluk relasional yang

dimaksud adalah manusia yang diciptakan untuk berelasi dan bergantung dengan

orang lain (Chand and Beuving, 2017). Sehubungan dengan itu, Gulo (2020) juga

menekankan bahwa sebagai makhluk relasional siswa harus menghilangkan sikap

individualisme di dalam dirinya.

Collaborative learning menjadi a way of life dalam kehidupan manusia.

Setiap manusia perlu untuk melakukan kolaborasi dengan orang lain. Menurut

Husin & Sawitri (2021) kurangnya kolaborasi antar siswa dalam pembelajaran

menimbulkan stres belajar, bersikap individualis dan lebih menuntut. Hal ini

dikarenakan, kehidupan sosial yang terbatas dalam lingkup social distancing,

sehingga ruang gerak siswa dibatasi. Dampak tersebut membuktikan bahwa

manusia memiliki kebutuhan untuk kolaborasi. Secara khusus dalam kekristenan,

manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar-Nya. Gambar dan rupa Allah di

dalam artian manusia sebagai makhluk yang berelasi. Akan tetapi, kejatuhan
11
manusia di dalam dosa (Kejadian 3), membuat manusia gagal untuk menjalankan

tugasnya. Oleh karena itu, collaborative learning merupakan salah satu sarana

untuk mengembalikan gambar dan rupa Allah yang telah rusak dalam diri siswa.

Sehubungan dengan itu, siswa akan difasilitasi oleh guru melalui pemahaman

yang sesuai dengan Firman Tuhan agar dapat membantu siswa untuk melihat

dirinya secara utuh.

Guru sebagai Fasilitator

Fasilitator merupakan salah satu peranan guru dalam proses pembelajaran.

Andrianti (2018) mengatakan bahwa sebagai fasilitator guru merupakan sosok

yang memfasilitasi atau memberi fasilitas. Fasilitas yang dimaksud adalah guru

yang memancing pengetahuan murid untuk fokus dalam proses belajar bersama.

Sehubungan dengan itu, menurut Darmadi (2019) guru sebagai fasilitator artinya

guru bertugas untuk memfasilitasi siswa dalam menemukan dan mengembangkan

bakatnya. Menurut Rahmawati & Suryadi (2019) sebagai guru sebagai fasilitator

artinya guru yang mengizinkan siswa untuk menemukan kebutuhannya dan tujuan

pembelajarannya sendiri, sehingga siswa akan berperan aktif dalam proses

pembelajaran. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa,

sebagai fasilitator guru bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan, akan tetapi

bertugas untuk memfasilitasi siswa melalui monitoring dan bimbingan.

Sebagai fasilitator, guru memainkan peranan penting dalam proses

pembelajaran. Pandangan tentang pentingnya peranan guru dalam proses

pembelajaran banyak dikemukakan oleh beberapa ahli, seperti: Sebagai fasilitator,

guru harus paham kebutuhan dan keperluan siswa dalam proses pembelajaran

(Andrianti, 2018); guru juga harus menyediakan media dan sumber belajar yang
12
cocok dan beragam, agar pembelajaran dapat berjalan tidak monoton (Amik,

Nuraini, and Sugiarti, 2016); guru bukan hanya menyediakan hal-hal fisik, tetapi

fasilitasi agar siswa dapat melakukan kegiatan dan pengalaman belajar dan

memperoleh keterampilan hidup (Alif and Maemunawati, 2020); Guru harus

membantu siswa untuk belajar dan punya keterampilan dalam berbagai bidang

untuk mencapai tujuan belajar (Ahmad, Helsa, and Ariani, 2020). Oleh karena itu,

guru akan memberikan kemudahan belajar, sehingga siswa dapat dengan terbuka

memberikan tanggapan tentang materi yang disampaikan.

Melihat pentingnya peran guru sebagai fasilitator, maka terdapat indikator

tertentu untuk menjadi fasilitator. Sehubungan dengan hal itu, Silitonga et al.,

(2021) mengatakan terdapat tiga indikator untuk menjadi guru sebagai fasilitator

yang efektif. Pertama, tindakan guru dalam membantu siswa dalam proses

pembelajaran. Tindakan yang dimaksud adalah guru yang memiliki sikap yang

baik. Sikap baik yang dimiliki oleh guru akan memberikan dampak bagi siswa

dan juga menjadi salah satu penentu tercapai tujuan pembelajaran. Kedua,

pemahaman terhadap peserta didik, melalui kegiatan selama pembelajaran. Guru

harus memahami apa yang menjadi kebutuhan siswa selama proses pembelajaran.

Guru melakukan hal ini agar dapat menentukan tindakan apakah yang akan

dilakukan kepada siswa. Ketiga, guru juga harus mengupayakan agar memiliki

kompetensi yang baik dalam menyikapi perbedaan individual peserta didik.

Kemampuan guru dalam menyikapi perbedaan setiap siswa merupakan hal yang

penting. Kemampuan ini akan membantu guru dalam menentukan apa yang siswa

butuhkan, sehingga setiap siswa akan difasilitasi sesuai dengan minatnya.

13
Peranan guru sebagai Fasilitator dapat kita temukan dalam beberapa kisah

Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, kisah Elia dan Elisa menjadi salah satu

gambaran sebagai fasilitator. Elia adalah nabi yang setia dan dipenuhi oleh kuasa

Tuhan. Dalam akhir hidupnya, ia tahu bahwa ia akan terangkat ke sorga tanpa

harus mati. Oleh karena itu, ia memilih Elisa untuk menggantikan tugasnya dalam

memberitakan kebenaran. Kitab 2 Raja-raja 2:1-12 mengisahkan bagaimana Elisa

dipersiapkan untuk menggantikan Elia dalam pelayanannya. Elia menguji

kesetiaan Elisa sebanyak tiga kali, Elia memotivasi Elisa yang tersirat ketika Elisa

mengharapkan dua roh sama seperti Elia (Soeliasih, 2019). Kisah lainnya dapat

kita temukan dalam PB pada kisah Paulus dan Timotius.

Kisah Paulus dan Timotius yang diceritakan kitab PB, menunjukkan

bagaimana Paulus memfasilitasi Timotius. Paulus memfasilitasi Paulus dengan

pengajaran-pengajaran yang benar dan nasihat-nasihat bagi Timotius (2 Tim 1:2-

10). Paulus dengan tekun dan sabar dalam memfasilitasi Timotius, dalam

mengembangkan karunia dan pembinaan karakter Timotius yang terkesan pemalu

(1Kor 16:10-11; 2 Tim 7:8) (Wan and Sianipar, 2020). Paulus bukan hanya

sekadar memfasilitasi Timotius dengan pengajaran dan memberikan nasihat,

akan tetapi Paulus juga menjadi contoh dan teladan bagi Timotius seperti

pelayanan dan berbagai peri kehidupan.

Tokoh Paulus dan Elia yang diceritakan Alkitab merupakan gambaran

guru sebagai fasilitator. Guru sebagai fasilitator, bukan hanya memfasilitasi siswa

dengan metode pembelajaran dan media yang sesuai, akan tetapi guru harus

menjadi contoh dan teladan seperti Paulus dan Elia. Berkaitan dengan hal tersebut,

Van Brummelen (2009) mengatakan bahwa guru harus lebih dari sekadar

14
memfasilitasi, artinya bahwa guru harus menjadi contoh dan teladan dalam proses

pembelajaran tersebut. Contohnya dapat dilihat melalui pribadi Yesus yang

memberikan pertanyaan-pertanyaan, berkhotbah di bukit dan mengabarkan berita

tentang kerajaan Allah bersama kelompok kecil-Nya. Guru sebagai fasilitator juga

harus memfasilitasi siswa untuk dapat menemukan dan mengembangkan karunia-

karunia yang Allah berikan. Sehubungan dengan hal tersebut, Silitonga et al.,

(2021) mengatakan bahwa sebagai fasilitator guru harus memampukan siswa

secara mandiri untuk mengembangkan kemampuan dan bakat yang dimilikinya.

Lebih dari itu, sebagai fasilitator guru harus membawa siswa untuk sadar akan

iman dan mendasari hidup di dalam ajaran yang benar.

PEMBAHASAN

Dewasa ini, banyak terjadi kasus yang menyoroti tentang guru dalam dunia

pendidikan. Hal ini akan menjadi lebih serius apabila guru melakukannya secara

berulang, maka siswa tidak mengerti tentang tujuan yang ingin dicapai melalui

tugas yang diberikan. Hal serupa juga dikatakan oleh Makarim dalam Hakim

(2020) dalam bahwa fakta yang terjadi di lapangan, guru hanya memberikan

banyak tugas namun tidak memberikan bimbingan kepada siswa. Permasalahan-

permasalahan dalam dunia pendidikan juga mencakup hal esensial yaitu, guru

lebih banyak fokus kepada ilmu yang ditransfer kepada siswa, hingga melupakan

bahwa pentingnya menanamkan nilai-nilai sosial di dalam diri siswa. Hal ini

disampaikan oleh Sugianto dalam Ainun (2019) menyatakan bahwa permasalahan

saat ini adalah fokus guru hanya pada transfer pengetahuan, tetapi lupa untuk

menanamkan nilai-nilai karakter dalam diri siswa.

15
Menyadari realita yang tengah terjadi, guru tidak dapat menutup mata dan

mengelak bahwa hal itu muncul akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Sejak

penciptaan, manusia merupakan makhluk yang Allah ciptakan serupa dan

segambar dengan Allah. Bavinck (2008) mengatakan bahwa manusia merupakan

ciptaan yang diciptakan serupa dan segambar dengan-Nya di dalam kebenaran dan

kekudusan-Nya. Oleh karena itu, manusia merupakan mahkota ciptaan atau

ciptaan yang paling mulia. Akan tetapi, kejatuhan manusia ke dalam dosa,

membuat gambar dan rupa Allah dalam diri manusia menjadi rusak. Grudem

(2000) menjelaskan bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat manusia

gagal menghidupi hukum moral dan juga kehilangan kebaikan di hadapan Allah.

Di dalam keberdosaan manusia, Allah beranugerah untuk menyelamatkan

manusia melalui penebusan Kristus di kayu salib. Hal ini dikemukakan oleh

Hoekema (2006) bahwa manusia diselamatkan dari dosa, oleh karena anugerah

Allah melalui Yesus Kristus. karya keselamatan yang dilakukan oleh Kristus,

membuat manusia dibenarkan dihadapan Allah, sehingga manusia mampu untuk

mengerjakan perbuatan baik. Selain itu, melalui penebusan Kristus, gambar dan

rupa Allah yang telah rusak dalam diri manusia dipulihkan. Cara pandang inilah

yang harus guru miliki, untuk menghadapi setiap permasalahan yang terjadi dalam

dunia pendidikan.

Guru Kristen akan dibantu untuk mengerti esensi manusia atau yang

dikenal dengan antropologi Kristen melalui kerangka Grand Narrative. Esensi

antropologi Kristen adalah manusia dipandang sebagai gambar dan rupa Allah

yang telah jatuh, namun telah ditebus oleh Yesus Kristus. Hal ini disebutkan oleh

Calvin (2000) dalam buku Institutio menyatakan bahwa manusia adalah gambar

16
Allah yang memiliki kesadaran atas ketergantungan pada Allah. Kesadaran yang

dimaksud adalah kesadaran akan sesuatu yang ilahi, kuasa dan karya Allah yang

mana manusia dapat menyangkalnya, namun tidak meniadakannya.

Pemahaman tentang antropologi tentunya memiliki implikasi dalam dunia

pendidikan, khususnya dari cara pandang guru melihat siswa. Estep et al., (2008)

juga mengatakan bahwa dengan memahami hakikat sejati dari siswa, maka guru

akan menyadari bahwa siswa adalah pribadi yang berharga di hadapan Allah.

Pandangan yang sama dijelaskan juga oleh Fennema (2009) bahwa guru harus

melihat siswa sebagai jiwa-jiwa yang perlu untuk dilahirkan kembali untuk masuk

ke dalam kerajaan Allah.

Pemahaman antropologi harus diimplementasikan ketika guru

menjalankan tugasnya sebagai fasilitator. Bagi Telaumbanua (2018) menjadi

fasilitator berarti guru harus memahami kebutuhan atau keperluan peserta didik

dalam proses belajar melalui fasilitator pendidik. Lebih dari itu, Van Brummelen

(2009) mengatakan bahwa setiap pendidik Kristen harus mengenali setiap potensi

yang dimiliki siswa dan menjadi pemicu bagi siswa untuk mengembangkan

potensi yang dimiliki. Dengan demikian, murid akan menghargai setiap potensi

yang dimiliki, serta dapat bertanggung jawab dengan potensi yang Allah berikan

untuk melayani sesama (Matius 25:21).

Manusia diciptakan sebagai mahkluk sosial, yang mana perlu dikaji dalam

antropologi. Bagi Nirankara (2019) manusia merupakan makhluk yang diciptakan

untuk hidup di dalam sebuah relasi dengan sesama. Hal ini juga dijelaskan oleh

Hisyam (2021) bahwa sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk hidup di

17
dalam interaksi satu sama lain dalam memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan hal

tersebut, dapat kita lihat pada naturnya manusia diciptakan untuk membangun

interaksi dengan sesamanya. Interaksi yang dibangun dengan sesama tersebut,

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Implementasi manusia sebagai makhluk sosial dapat ditemukan dalam

pendidikan, melalui penerapan collaborative learning. Penerapan collaborative

learning memberi ruang bagi siswa untuk menunjang dan menolong satu dengan

yang lain. Hal ini diwujudnyatakan ketika siswa bekerja sama untuk

menyelesaikan tugas yang diberikan. Sehubungan dengan hal itu, Irnaningsih et

al., (2021) mengatakan bahwa pengelompokkan siswa dalam collaborative

learning memungkinkan siswa untuk saling bekerja sama demi mencapai tujuan.

Selain itu, Hamalik (2005) juga mengatakan bahwa melalui collaborative

learning, siswa akan diajarkan untuk bertanggung jawab dengan tugas yang

diberikan. Sehubungan dengan hal itu, Damayanti et al (2017) mengatakan bahwa

hasil dari kerja sama siswa dalam memecahkan masalah adalah setiap siswa

memiliki pemahaman yang setara. Artinya, siswa yang memiliki kognitif rendah

akan memperoleh pengetahuan yang baru dan siswa yang memiliki kognitif yang

tinggi, akan semakin dipertajam. Akan tetapi, segala sesuatu yang dikemukakan

oleh beberapa ahli diatas, hanya dapat dicapai jika siswa berada di dalam relasi

sebagai orang percaya.

Relasi sebagai orang percaya adalah relasi yang saling membangun dan

bertumbuh. Amsal 27:17 menyatakan bahwa Besi menajamkan besi, orang

menajamkan sesamanya. Kristanto (2020) mengatakan bahwa Amsal 27:17

memberikan gambaran tentang seseorang dapat bertumbuh serupa dengan Allah

18
melalui berelasi. Sehubungan dengan hal tersebut, Saputra (2018) melanjutkan

bahwa relasi yang dibangun atas dasar kasih harus berbuah kepada tindakan nyata

untuk memuliakan Allah. Oleh karena itu, melalui relasi yang dibangun dalam

penerapan collaborative learning, merupakan relasi yang berlandaskan pada kasih

akan Allah dan sesama, yang menghasilkan pertumbuhan dari dalam diri setiap

siswa.

Guru memiliki peran besar sebagai fasilitator dalam membawa siswa

kepada relasi yang bertumbuh melalui penerapan collaborative learning. Eka Sri

Astutik & Amrullah (2020) mengatakan bahwa melalui kerja sama dalam

kelompok, guru akan membimbing siswa untuk menumbuhkan rasa tanggung

jawab siswa melalui mengerjakan setiap tugas-tugas yang diberikan. Bimbingan

yang guru berikan dinyatakan melalui memberikan teguran, masukan dan nasehat.

Paulus dalam 2 Timotius 4:2, yaitu Allah memanggil guru memberi teguran dan

menasehati dengan kesabaran dan penuh pengajaran. Peran guru sebagai

fasilitator yang lain adalah mendorong siswa. Van Brummelen (2009) mengatakan

bahwa guru Kristen sebagai fasilitator bertugas untuk mendorong siswa agar

mereka dapat menciptakan dan menemukan penafsiran serta pemahaman mereka

masing-masing terkait tugas yang diberikan. Guru bukan hanya memfasilitasi

siswa dengan memberikan dorongan, nasihat dan masukan, akan tetapi membantu

siswa untuk mengenal setiap potensi yang dimiliki.

19
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Pada hakekatnya, collaborative learning digunakan sebagai model yang

membantu siswa untuk membangun kerja sama, melakukan transfer pengetahuan

kepada sesama, menemukan dan mengembangkan potensi dalam diri siswa, serta

membawa siswa di dalam relasi yang bertumbuh dan dewasa di dalam iman.

Untuk memaksimalkan hal ini, maka guru berperan untuk memfasilitasi siswa

baik melalui memberikan bimbingan, dorongan, motivasi dan juga materi-materi

yang disampaikan. Melihat pentingnya peran guru sebagai fasilitator, maka guru

harus memiliki pemahaman antropologi Kristen. Dengan memiliki pandangan

antropologi Kristen, maka guru akan maksimal dalam menjalankan perannya

sebagai fasilitator. Peran guru sebagai fasilitator dapat kita lihat melalui penerapan

collaborative learning. Tugas guru yang telah disebutkan di atas akan sia-sia,

apabila guru tidak mengalami kelahiran baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus.

Guru harus memahami bahwa siswa adalah gambaran Allah yang telah

rusak, yang perlu untuk dituntun. Oleh karena itu, guru harus membantu siswa

untuk memulihkan gambaran Allah yang telah rusak. Guru juga harus mengalami

transformasi agar dapat membantu siswa untuk mengalami transformasi yang

dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam diri siswa.

SARAN

Penulis memiliki beberapa saran bagi penelitian selanjutnya. Pertama,

penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut dengan menggunakan sumber-sumber yang

lebih kredibel dan relevan.; Kedua, guru harus telah lahir baru untuk menjadi

20
fasilitator, sehingga dapat mengimplementasikan setiap tugas dan tanggung

jawabnya sesuai dengan kehendak Allah.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S., Helsa, Y., and Ariani, Y. (2020). Pendekatan Realistik dan Teori Van
Hiele. Yogyakarta: Deepublish.
Ainun, Y. (2019). Guru di Era Disrupsi.
Alif, M., and Maemunawati, S. (2020). Peran Guru, Orang Tua, Metode dan
Media Pembelajaran: Strategi KBM di Masa Pandemi Covid-19. Banten:
3M Media Karya Serang.
Amik, F., Nuraini, E., and Sugiarti, A. (2016). Menuju Guru dan Siswa Cerdas.
Yogyakarta: Leutikaprio.
Andrianti, S. (2018). Peran Guru Pendidikan Agama Kristen Sebagai Fasilitator
Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Literasi. FIDEI: Jurnal Teologi
Sistematika Dan Praktika, 1(2), 232–249.
https://doi.org/10.34081/fidei.v1i2.13
Barckley, E., Major, C., and Cross, P. (2014). Collaborative Learning Techniques
(Second Edi). California: John Willey and Sons.
Barkley, E., Cross, P., and Major, C. H. (2014). Collaborative Learning
Techniques. Bandung: Nusa Media Publisher.
Bavinck, H. (2008). Reformed Dogmatics (Volume.4; J. Bolt, Ed.). Michigan:
Baker Books.
Caliguire, M. (2019). Transformasi Rohani dalam Relasi. Yogyakarta: Katalis
Media dan Literatur- Yayasan Gloria.
Calvin, Y. (2000). Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Chand, F., and Beuving, M. (2017). Multiply (Melipatganda) Menjadi Murid yang
Menjadikan Murid. Yogyakarta: Katalis Media dan Literatur- Yayasan
Gloria.
Damayanti, N. K., Suarsana, I. M., and Suryawan, I. P. (2017). Peningkatan
Kemampuan Literasi Matematika Siswa Melalui Penerapan Collaborative
Learning Model. Wahana Matematika Dan Sains: Jurnal Matematika, Sains
Dan Pembelajarannya, 11.
Darmadi, Bahruddin, Suwondo, and Syahza, A. (2017). Prosiding Seminar
Nasional. Pekanbaru: LPPM Universitas Riau.
Darmadi, H. (2019). Pengantar Pendidikan Era Globalisasi. Animage Team.
Dockery, D. (2010). Concise Bible Commentary. Nashville: B & H Publishing
Group.
Eka Sri Astutik, and Amrullah, M. (2020). The Role of Teachers in Implementing
Responsibility Characters in Grade IV Students at SD Negeri Kedungboto:
Peran Guru dalam Mengimplementasikan Karakter Tanggung Jawab pada
Siswa Kelas IV di SD Negeri Kedungboto Eka. 8, 2–6.
Eriksen, T. H. (2017). What Is Antropology. London: Pluto Press.
Estep, J., Anthony, M., and Allison, G. (2008). A theology for education.
Nashville: B & H Publishing Group.
https://doi.org/10.1080/0034408590540602
Fennema, J. (2009). Memandang Murid melalui Kerangka Konseptual
Penciptaan-Kejatuahan-Penebusan.
Graham, D. (2009). Teaching Redemtively: Bringing Grace and Truth into Your

22
Classroom. Association of Christian Schools International.
Grudem, W. (2000). Systematic Theology. Michigan: Inter-Varsity Press.
Gulo, F. (2020). Tinjauan Teologis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
(Team Games Tournament) [A Theological Review of the TGT Type
Cooperative Learning Model]. Diligentia: Journal of Theology and Christian
Education, 2(2), 31. https://doi.org/10.19166/dil.v2i2.2048
Gunawan, A. W. (2007). Genius Learning Strategy. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Hakim, R. N. (2020). Mendikbud Singgung Guru yang Hanya Beri Tugas tanpa
Bimbingan.
Hamalik, O. (2005). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Haqqi, A. (2017). COLLABORATIVE LEARNING : Model Pembelajaran Dalam
Upaya Meningkatkan Literasi Informasi Mahasiswa Jurusan Ilmu
Perpustakaan dan Informasi Melalui Belajar secara Kolaboratif Athiatul-
haqqi@Yahoo.co.id A . Pendahuluan Proses pembelajaran di perguruan
tinggi. Jurnal Ilmu Perpustakaan Dan Informasi, 1, 1–22.
Hisyam, C. J. (2021). Sistem Sosial Budaya. Jakarta Timur: PT Bumi Aksara.
Hoekema, A. (2006). Diselamatkan oleh Anugerah. Surabaya: Momentum.
Husin, and Sawitri. (2021). Covid-19: Tingkat Stress Belajar Anak-anak di
Daerah Terpencil. Jurnal Ilmiah Pendidikan Madrasah Ibtidayah, 5.
https://doi.org/10.35931/am.v5i2.542
Hwang, T. (2016). Apa Tujuan dari Penciptaan. Gyeonggi-do: AMI Publication.
Imron, I. F., and Aka, K. A. (2018). Pembelajaran Fenomena Sosial.
Banyuwangi: LPPM IAI Ibrahimy Genteng Press & Erisy Syawiril Ammah,
M.Pd.
Inah, E., and Pertiwi, U. (2017). PENERAPAN COLLABORATIVE LEARNING
MELALUI PERMAINAN MENCARI GAMBAR UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA KELAS V DI SDN
TABANGGELE KECAMATAN ANGGALOMOARE KABUPATEN
KONAWE. Jurnal Al-Ta’dib, 10.
Irnaningsih, S., Kusmawan, U., and Fatmasari, R. (2021). Pengaruh Collaborative
Skills dan Kompetensi Pedagogik Guru Terhadap Kinerja Siswa Sekolah
Dasar di Gugus 10 Kecamatan Pamulang. Aksara: Jurnal Ilmu Pendidikan
Nonformal, 7(2), 523. https://doi.org/10.37905/aksara.7.2.523-536.2021
Isotani, S., Millan, E., Ogan, A., Hastings, P., McLaren, B., and Luckin, R.
(2019). Artifical Intelligence in Education. Chicago: Springer International.
Kristanto. (2020). Pengaruh Disiplin Kerohanian Orang Tua Terhadap Formasi
Kerohanian Anak. Jurnal KIP, (III).
Kristiyanti, T. (2020). Self-Regulated Learning: Konsep Implikasi dan
Tantangannya bagi Siswa di Indonesia. Yogyakarta: Sanatha Dharma
University Press.
Lee, W. (2020). Pelajaran Hayat Kisah Para Rasul. Jakarta: Yasperin.
Mustadi, A. (2014). Lesson Study Berbasis Collaborative Learning Sebagai
Model Pemantapan Kualitas Pendidikan di Sekolah Dasar. Prosiding
ISBN.978-602-96172-6-9 Seminar Nasional “Pemantapan Implementasi
Kurikulum 2103 Dalam Pendidikan Sekolah Dasar 12 Maret 2014.
Nirankara, H. (2019). Hanno Nakshatra. Jawa Barat: CV Jejak.
Pranoto, D. S. (2016). Pelayanan Penyebaran Injil Berdasarkan 2 Korintus 6:1-10.

23
Manna Rafflesia, 3.
Rahmawati, M., and Suryadi, E. (2019). Guru sebagai fasilitator dan efektivitas
belajar siswa. Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran, 4(1), 49.
https://doi.org/10.17509/jpm.v4i1.14954
Rosita, I., and Leonard, L. (2015). Meningkatkan Kerja Sama Siswa Melalui
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share. Formatif: Jurnal Ilmiah
Pendidikan MIPA, 3(1), 1–10. https://doi.org/10.30998/formatif.v3i1.108
Safitri, D. (2019). Menjadi Guru Profesional. Riau: PT. Indragiri.
Saputra, B. (2018). Yesus Sahabat Pemungut Cukai dan Orang Berdosa. Jurnal
Aletheia, 20.
Saroengoe, D. (2012). Antropologi Budaya. Semarang: Pesat Sumbagut.
Siahaan, S. M., and Peterson, R. (2007). Tafsiran Alkitab. Kitab Daniel. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Siburian, H. H., and Wicaksono, A. (2019). Makna Belajar Dalam Perjanjian
Lama dan Implementasinya Bagi PAK Masa Kini. FIDEI: Jurnal Teologi
Sistematika Dan Praktika, 2(2), 207–226.
https://doi.org/10.34081/fidei.v2i2.75
Silitonga, B., Saputro, A., Damayanti, W., Tanjung, R., Nababan, E., Musyadad,
V., … Fauzi, A. (2021). Profesi Keguruan: Kompetensi dan Permasalahan.
Medan: Yayasan Kita Menulis.
Simanjuntak, F. (2020). Konsep Dosa Menurut Pandangan Paulus. Real Didache
(Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen), 3(2), 17–28.
https://doi.org/10.31219/osf.io/7vr8d
Soeliasih, S. (2019). Penerapan Prinsip Pemuridan Elia dalam Pendidikan Agama
Kristen. Jurnal Teologi Berita Hidup, 2(1), 1–10.
https://doi.org/10.38189/jtbh.v2i1.23
Sproul, R. C. (2014). Kaum Pilihan Allah (Volum.7). Malang: Literatur SAAT.
Stott, J. (2012). The Living Church. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Suharta. (2020). ANTROPOLOGI BUDAYA. Klaten: Lakeisha Publisher.
Suparno, P. (2019). Spiritualitas Guru. Yogyakarta: Kanisius.
Telaumbanua, A. (2018). Peranan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam
Membentuk Karakter Siswa. Jurnal Fidei, 1(2).
Thobroni, M. (2016). Belajar dan Pembelajaran Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Umohoibhi, J., and Guralnick, D. (2017). Interactive Collaborative Learning.
New York: Springer International.
Van Brummelen, H. (2009). Berjalan dengan Tuhan dalam Kelas. Jakarta: UPH.
Wan, J., and Sianipar, R. (2020). Teologia Paulus di Era Postmodern.
Yogyakarta: Stiletto Indie Book.
Wardan, K. (2019). Guru sebagai Profesi. Yogyakarta: Deepublish.
Wibowo, L. A., and Pardede, L. R. (2019). Peran Guru dalam Menggunakan
Model Pembelajaran Collaborative Learning terhadap Keaktifan Siswa
Dalam Belajar. Diskusi Panel Nasional Pendidikan Matematika, 5(1), 201–
208.
Wijaya, H. (2015). Etika Mengajar Pendidkan Agama Kristen. Jurnal Jaffray,
(October), 1–23. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.4260.5523
Wiranata, I. G. A. (2011). Antropologi Budaya. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Zaluchu, S. (2018). Eksegesis Kisah Para Rasul 2:42-47 untuk Merumuskan Ciri

24
Kehidupan Rohani Jemaat Mula-mula di Yerusalem Sonny. EPIGRAPHE:
Jurnal Teologi Dan Pelayanan Kristiani, 2(2), 136.
https://doi.org/10.30648/dun.v2i2.172
Zisca Diana, P., Sulistiyono, R., and Abri Pradan, R. (2019). Implementasi Model
Pembelajaran Kolaboratif pada Mata Kuliah Bahasa Indonesia di Perguruan
Tinggi. Bahasa: Jurnal Keilmuan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia,
1(1), 60–70. https://doi.org/10.26499/bahasa.v1i1.27

25

Anda mungkin juga menyukai