Dalam mencapai sesuatu yang diinginkan atau ketika berada dalam keadaan yang sulit,
selama ini manusia selalu berusaha keras untuk mencari cara bagaimanapun itu agar dapat
menemukan jalan keluar dari suatu permasalahan yang sedang dihadapinya. Baik dari segi
kehidupan sosial, urusan ekonomi, politik, dan sebagainya. Maka dari itu, untuk memastikan
agar rencana berjalan sukses, dibutuhkan suatu strategi yang baik. Terutama dalam hal urusan
yang mungkin sudah menjadi tidak asing lagi bagi sejarah kehidupan manusia selama ini,
yakni perang. Penggunaan strategi dalam urusan perang sudah menjadi hal yang perlu
diperhatikan atau penting bagi siapapun yang ingin memenangkan perang tersebut, dan
penggunaan strategi ini tidak hanya mencakup perang saja, melainkan kemudian terhadap
berbagai aspek kehidupan manusia lainnya. Semua ini terbukti salah satunya bahwa dalam
perjalanannya, sudah terdapat studi mengenai strategi, baik itu mengenai perang maupun
aspek kehidupan lainnya, melalui berbagai kisah-kisah sejarah klasik maupun tulisan-tulisan
yang telah dibuat oleh para ahli strategi pada zaman dahulu (Freedman 2013). Sehingga
dengan adanya studi strategi serta penerapan strategi yang baik dalam kehidupan manusia,
kemudian nantinya diharapkan dapat mencapai hasil yang lebih efektif. Salah satunya juga
dapat dilihat melalui tulisan-tulisan Robert Greene, seorang penulis kelahiran asal Amerika.
Dimana dalam tulisan ini, selanjutnya penulis ingin membahas mengenai dua strategi yang
menurut pandangan oleh Robert Greene dalam salah satu bukunya yang berjudul “The 33
Strategies of War”, dan bagaimana saja praktiknya dalam kehidupan nyata.
Dalam bukunya tersebut, salah satunya terdapat strategi yang bernama “Defeat
Them in Detail”. Interpretasi dari konsep strategi ini adalah terdapat dua pihak dengan
kekuatan yang asimetris, dimana jika dipikir secara logis tidak mungkin bagi pihak yang
lemah untuk unggul terhadap pihak lawan dengan kekuatan yang lebih besar. Sehingga,
berdasarkan hal ini, Greene (2007) menyebutkan bahwa ketika bertemu dengan musuh,
jangan terintimidasi oleh penampilannya, sebaliknya, lihatlah bagian-bagian yang
membentuk itu secara keseluruhan, kemudian, dengan memisahkan bagian-bagian tersebut,
menabur pertikaian, dan perpecahan dari dalam, yang mana dapat melemahkan dan
menjatuhkan musuh yang tangguh sekalipun. Meskipun normalnya tidak dimungkinkan bagi
pihak yang lemah untuk memenangkan pertarungan dengan pihak yang lebih kuat atau
bahkan lepas dari kepungannya, Greene disini menyarankan bahwa pihak lemah tadi dapat
mengalahkan lawannya yang kuat dengan cara membagi satu persatu kekuatan musuhnya
menjadi beberapa bagian. Kemudian dengan mengerahkan berbagai pasukan terbaik, senjata
terbaik, dan sebagainya, mulai menyerang satu persatu bagian tersebut, dimulai dari bagian
satu, dua, hingga seterusnya sampai pasukan lawan habis dan memenangkan pertempuran.
Penerapannya sendiri, seperti yang dijelaskan oleh Greene (2007) salah satunya dapat dilihat
pada peristiwa besar seperti peperangan bangsa Perancis dibawah pimpinan Napoleon
melawan berbagai musuh dan sekutunya yang membentuk aliansi. Dimana dalam
menghadapi berbagai musuh tersebut, Greene menjelaskan bahwa dalam interpretasinya,
Napoleon menggunakan strategi tersebut dengan dua pengertian yang perlu diketahui dalam
mekanismenya, yakni yang pertama Napoleon memerintahkan beberapa prajuritnya untuk
mengawasi dan mengintai berbagai keadaan yang sedang terjadi pada kondisi pasukan lawan.
Lebih jelasnya, dapat dilihat pada saat peristiwa yang dialami oleh Mao Tse-tung
sebagai tokoh terkenal Partai Komunis dalam perselisihannya dengan Partai Nasionalis di
Tiongkok. Sebuah perang saudara antara Partai Komunis dengan Partai Nasionalis, dimana
Mao memimpin Partai Komunis untuk melawan Partai Nasionalis. Cara yang digunakannya
adalah taktik serangan gerilya. Namun, beberapa waktu kemudian, muncul pembentukan
kekuatan baru atau semacam pemberontakan internal Partai Komunis dan membentuk
sekelompok yang bernama “28 Bolsheviks”, yang mana kelompok tersebut menentang
pemikiran Mao karena menganggap taktik serangan gerilya selama ini dianggap lemah.
Setelah itu, kelompok tersebut mengasingkan Mao, kemudian mengambil alih pasukan dan
mencoba untuk melancarkan serangan secara terang-terangan. Menguasai berbagai kota-kota,
wilayah, dan sebagainya. Namun, dikarenakan kalah jumlah melawan pasukan bersenjata dari
Partai Nasionalis, kelompok tersebut akhirnya terdesak dan dipukul mundur. Di saat
mundurnya pasukan yang tersisa, Mao dalam perjalanannya juga ikut bergabung. Akhirnya
kelompok tersebut sadar dan mulai mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mao. Dalam
perjalanannya untuk mundur hingga ke tempat yang aman, pasukan yang tersisa mulai
melakukan berbagai hal seperti bergerak hanya pada saat malam, mengumpulkan berbagai
sekutu atau simpatisan dari kalangan kaum petani, dan sebagainya. Singkatnya, setelah
mereka mencapai tempat yang aman, yakni Provinsi Shan-hsi, dengan waktu yang diberikan
untuk berpikir dan menyusun strategi, telah memulihkan pasukan tersebut dan mulai
menyebarkan pahamnya secara luas. Pada tahun 1949, Komunis akhirnya mengalahkan
Nasionalis untuk selamanya dan mengasingkan mereka dari daratan Tiongkok (Greene 2007).
Referensi: