Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Landasan Teori

II.1.1 Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang dilakukan seseorang dalam mengamati

suatu objek maupun orang lain. Pemahaman seseorang terhadap suatu informasi yang

disampaikan oleh orang lain yang sedang berkomunikasi, berhubungan atau bekerja

sama dapat menimbulkan persepsi. Persepsi juga disebut sebagai inti komunikasi

yang dapat membuat suatu komunikasi menjadi efektif (Shambodo, 2020).

Berdasarkan Walgito dalam (Shambodo, 2020) proses pembentukan persepsi terjadi

melalui tahap-tahap sebagai berikut :

1. Tahap Pertama : Disebut sebagai proses kealaman atau proses fisik,

dimana proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera manusia terjadi.

2. Tahap Kedua : Disebut proses fisiologis dimana stimulus yang

diterima akan diteruskan ke reseptor melalui saraf-saraf sensori.

3. Tahap ketiga : Merupakan tahap proses psikologi dimana timbul

kesadaran individu terhadap stimulus yang diterima reseptor.

4. Tahap keempat : Hasil dari tahap persepsi sebelumnya yang

menimbulkan tanggapan dan perilaku.

Dalam membentuk suatu persepsi pada seseorang ada beberapa faktor yang

mempengaruhi, diantaranya (Shambodo, 2020) :


a) Faktor fungsional

Faktor ini bersifat personal yang berkaitan dengan kebutuhan individu, usia,

pengalaman masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan hal lain.

b) Faktor personal

Berkaitan dengan pengalaman individu dalam komunikasi interpersonal.

Faktor ini meliputi pengalaman, motivasi dan kepribadian.

c) Faktor situasional

Faktor ini terjadi berkaitan dengan bagaimana sifat seseorang atau kesan

seseorang pertama kali saat berkomunikasi.

d) Faktor struktural

Berasal dari sifat stimulus fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada

sistem saraf individu.

II.1.1.1.1 Persepsi Calon pengantin terhadap Kesehatan

Sebagai calon pengantin pentingnya sadar akan kesehatan merupakan salah

satu faktor yang dapat mengurangi risiko penyakit yang timbul setelah menikah baik

terhadap orangtua maupun pada bayi. Salah satu perawatan kesehatan sebelum

menikah disebut Prakonsepsi. Perawatan ini mengacu pada intervensi biomedis,

perilaku, dan preventif sosial yang dapat meningkatkan kemungkinan memiliki bayi

sehat. Pemerintah telah melakukan upaya untuk melakukan skrining terhadap wanita

usia subur untuk mempersiapkan menjalani kehamilan dan persalinan (Yulivantina et

al, 2021). Dalam skrining prakonsepsi dilakukan pemeriksaan fisik dan psikologis

calon pengantin, pemeriksaan psikologis tidak kalah penting untuk calon pengantin,

karena seorang individu dengan kondisi psikologis yang mengalami gangguan akan
beresiko melakukan kekerasan dalam rumah tangga karena kondisi emosional yang

tidak stabil (Yulivantina et al, 2021).

Dalam penelitian (Yulivantina et al, 2021) dapat diketahui bahwa kesadaran

calon pengantin wanita dalam melakukan skrining kesehatan sebelum menikah

menyebabkan rendahnya partisipasi calon pengantin pria juga. Banyak calon

pengantin yang masih kekurangan informasi mengenai pentingnya melakukan

skrining prakonsepsi sebelum menikah. Sehingga pentingnya bagi calon pengantin

untuk lebih menggali informasi sebelum menikah mengenai apa yang harus dilakukan

guna mengurangi risiko dan menanggulangi lebih awal terhadap penyakit keturunan

seperti diabetes, tekanan darah tinggi, dan stunting (Agrifa Winda et al., n.d.)..

II.1.2 Stunting

II.1.2.1 Definisi

Stunting merupakan manifestasi kegagalan pertumbuhan (growth faltering)

yang dapat terjadi sejak dalam kandungan sampai anak usia dua tahun (Ayu, 2019).

Stunting disebabkan oleh kurang gizi kronis sehingga proses pertumbuhan anak

terhambat dan mengakibatkan anak tumbuh pendek (Prakhasita, 2018). Kasus

Stunting dapat disebabkan saat masa kehamilan, melahrkan, menyusui atau saat masa

nifas hal ini disebabkan oleh MPASI yang tidak mencukupi nutrisi balita (Prasetiya et

al., 2020). Anak yang mengalami stunting akan tumbuh lebih pendek dibandingan

dengan anak-anak seusianya, hal ini diukur dari panjang dan tinggi badan standar

pertumbuhan anak World Health Organization (WHO) (Nurrahima, 2021).


Pada kasus stunting anak akan tumbuh dengan ukuran panjang atau tinggi yang

tidak sesuai dengan umurnya, hal ini sangat dipengaruhi oleh asupan gizi ibu sejak

anak didalam kandungan. Kurangnya asupan gizi pada ibu saat hamil dapat

menyebabkan kurang gizi kronis pada anak dimana anak membutuhkan asupan gizi

yang cukup terutama pada usia 1000 hari pertama yang merupakan periode kritis

terhadap pertumbuhan anak, stunting merupakan salah satu indikasi bahwa seorang

anak mengalami kurang gizi kronik (Khasanah, 2018).

Berdasarkan tugas akhir (Khasanah, 2018) menyatakan bahwa :

“Dampak buruk yang ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode

tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,

kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme dalam

tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang ditimbulkan adalah

menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, kekebalan tubuh menurun

sehingga jadi mudah sakit, berisiko tinggi terhadap penyakit diabetes,

kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke dan kualitas kerja

yang tidak kompetitif.”

II.1.2.2 Dampak Stunting

Beberapa dampak stunting bagi anak adalah sebagai berikut (Nurjanah, 2018) :

1. Anak yang mengalami stunting sebelum usia 6 bulan akan mengalami kejadian

stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Sehingga akan mempengaruhi

kondisi fisik dan mental anak tersebut yang menyebabkan proses belajar tidak

optimal seperti anak-anak dengan tinggi badan normal.


2. Anak-anak yang memiliki masalah stunting akan sulit untuk beraktifitas normal

karena memiliki masalah gizi yang tidak baik sehingga akan berpengaruh

terhadap kesehatannya.

3. Stunting pada anak akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan

kognitifnya hal ini berpengaruh pula pada saat anak menginjak masa remaja,

stunting akan mempengaruhi kesehatan dan produktivitas yang akan

menyebabkan anak tersebut berpotensi melahirkan anak dengan resiko BBLR

serta beresiko meninggal saat melahirkan.

Peristiwa stunting sangat mempengaruhi kehidupan balita, WHO

mengklasifikasikan dampak jangka pendek dan jangka panjang dari stunting

(Nurjanah, 2018) :

1. Dampak jangka pendek (Concurrent problems&short term)

Sisi kesehatan : meningkatkan angka kesakitan dan kematian

Sisi perkembangan : penurunan fungsi kognitif, motorik, dan perkembangan

bahasa

Sisi ekonomi : peningkatan biaya untuk pengobatan anak dengan stunting

2. Jangka panjang (Long term consequences)

Sisi kesehatan : perawakan yang pendek, peningkatan resiko obesitas, dan

penurunan kesehatan reproduksi.

Sisi perekembangan : penurunan prestasi belajar, menurunkan kapasitas belajar

anak

Sisi ekonomi : penurunan kapasitas kerja dan produktivitas kerja.


II.1.3 Konsep Tumbuh Kembang Balita

II.1.3.1.1 Pengertian

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya jumlah sel didalam tubuh,

bertambahnya jumlah sel akan diiringi dengan bertambahnya ukuran fisik (anatomi)

dan struktur tubuh. Pertumbuhan identik dengan perubahan ukuran fisik (Pambudi,

2019). Tumbuh kembang anak pada usia balita yaitu 1-3 tahun merupakan usia yang

membutuhkan gizi yang cukup untuk seorang anak bertumbuh karena pada usia ini

balita akan membutuhkan banyak energi untuk aktivitas fisik dengan intensitas tinggi

pada masa belajarnya pertumbuhan balita dipengaruhi oleh hereditas/keturunan dan

lingkungan. Faktor hereditas/keturunan mencakup bentuk fisik, panjang tulang, dan

penyakit genetik sedangkan faktor lingkungan merupakan faktor yang mencakup

kecukupan gizi, pemeliharaan kesehatan dan pendidikan (Prakhasita, 2018). Terdapat

dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak yaitu faktor internal dan eksternal :

1. Faktor Internal

- Perbedaan ras atau bangsa

- Keluarga

- Umur

- Jenis kelamin

- Kelainan genetika

- Kelainan kromosom

2. Faktor Eksternal

Ada beberapa jenis faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan anak :


1. Gizi

Janin tumbuh dengan mengambil zat-zat gizi dari dalam tubuh ibunya

sehingga selama kehamilan sang ibu harus memenuhi kebutuhan gizi yang lebih

banyak dibandingkan dengan ibu yang tidak hamil. Selain itu gizi yang cukup

juga diperlukan ibu untuk memproduksi asi saat bayi sudah lahir. Apabila ibu

hamil tidak cukup mengkonsumsi gizi yang dibutuhkan maka janin akan

mengambil persediaan yang ada didalam tubuh ibunya seperti sel lemak dan zat

besi yang akan membahayakan kesehatan ibu hamil (Ernawati et al., 2017).

2. Mekanis

Posisi fetus yang abnormal dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti club

foot.

3. Zat kimia/toksin

Aminopterin menyebabkan kelainan kongenital seperti palatoskiss

4. Endokrin

5. Radiasi

Pada ibu hamil paparan radiasi yang melebihi ambang batas aman dapat

menyebabkan keguguran, gangguan pertumbuhan bayi yang berpotensi

menyebabkan kecacatan, dan dapat berpotensi mengakibatkan kematian pada

janin (Alfira, 2014)

6. Infeksi

Pada usia kehamilan trimester pertama dan kedua dapat terjadi infeksi

TORCH ( Toksoplasma, rubella, sitomegalo virus, herpes simpleks) infeksi ini


dapat menyebabkan kelainan pada janin seperti katarak, retardasi mental dan

kelainan jantung kongenital.

7. Kelainan imunologi

8. Anoreksia embrio

9. Psikologis ibu

Kondisi mental ibu hamil sangat mempengaruhi keadaan janin yang sedang

dikandungnya, peristiwa seperti kehamilan yang tdiak diinginkan, perlakuan

salah dan kekerasan mental pada ibu hamil dapat mempengaruhi kondisi janin

(Prakhasita, 2018).

II.1.3.2 Kebutuhan Gizi Balita

Untuk menunjang pertumbuhan balita dibutuhkan gizi yang cukup dan seimbang

diantaranya adalah (Prakhasita, 2018):

1. Energi

Balita membutuhkan energi sebanyak 100-200 kkal/kg BB setiap harinya,

kebutuhan energi bertambah sebesar 10 kkal/kg BB setiap tiga tahun pertambahan

umur balita. Jumlah energi yang digunakan sebesar 50% untuk metabolisme tubuh, 5-

10% untuk Specific Dynamic Action. 12% untuk aktivitas fisik dan 10% terbuang

melalui feses. Sumber energi dapat berasal dari karbohidrat, lemak dan protein.

2. Protein

Protein mengandung asam amino yang dibutuhkan dalam pertumbuhan anak.

Pemberian protein disarankan sebanyak 2-3g/kg BB bagi bayi dan 1,5-2g/kg bB bagi

anak. Protein hewani dapat dipilih sebagai alterntif jenis protein berkualitas tinggi.
3. Air

Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air, tubuh sangat membutuhkan air

sebagai zat gizi yang penting untuk metabolisme.

4. Lemak

Kebutuhan lemak dianjurkan sebesar 15-20% dari jumlah energi yang dibutuhkan

oleh tubuh. Pemberian lemak pada balita harus dengan jumlah yang cukup.

5. Hidrat arang

Hidrat dapat ditemukan pada ASI maupun susu formula, jumlah hidrat arang yang

dibutuhkn balita sebesar 60-70 energi total basal.

6. Vitamin dan Mineral

Agar balita tidak mengalami kekurangan vitamin maka dianjurkan mengkonsumsi

buah dan sayur sebanyak 1-1,5 mangkuk untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan

mineral.

7. Gizi Mikro

Kebutuhan gizi mikro meliputi zat besi yang berfungsi untuk reaksi oksidasi dalam

tubuh, Yodium yang berfungsi untuk mengatur perkembangan dan pertumbuhan dan

Zink yang berfungsi untuk metabolisme penglihatan, kekebalan sel dll.

II.1.4 Indeks Tinggi Badan Menurut umur

Berdasarkan standar tinggi badan World Health Organization dibuat standar yang

berbeda untuk balita laki-laki dan perempuan. Berikut standar tinggi badan anak

berdasarkan WHO :

1. Balita Laki-laki
Balita laki-laki dengan usia 0-11 bulan rata-rata memiliki tinggi badan 44,2 cm -

67,6cm, untuk usia 12-23 bulan memiliki tinggi badan 78,0 cm – 88,1 cm, balita

dengan usia 36-47 bulan memiliki rata-rata tinggi badan 85,0 cm – 90,3 cm.

Berdasarkan standart tersebut anak dengan usia yang sama akan memiliki tinggi

badan dibawah batas rendah.

2. Balita Perempuan

Standar tinggi badan balita perempuan dengan usia 0-11 bulan adalah 45,4 cm – 65,2

cm, untuk 12-23 bulan 66,3 cm – 76,0 cm, 24-35 cm adalah 76,6-83,1 cm maka balita

perempuan yang memiliki tinggi badan dibawah batas normal termasuk balita yang

mengalami kondisi stunting.

II.1.5 Faktor risiko stunting

1. Berat badan lahir rendah (BBLR)

Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram termasuk dalam

kategori ringan memiliki persentil dibawah 10. Selain berat badan kategori BBLR

juga bisa terlihat dari panjang kurang dari 45cm, umur kehamilan kurang dari 37

minggu dan lingkar dada kurang dari 30cm (Ebtanasari, 2018). Berat badan

merupakan ukuran terpenting dalam pemeriksaan kesehatan anak, karena berat badan

merupakan keseluruhan jaringan-jaringan tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan

lainnya sehingga menjadi indikator keadaan gizi pada masa pertumbuhan anak. Bayi

dengan BBLR berisiko mengalami stunting dibandingkan anak yang lahir dengan

berat badan normal (Nurjanah, 2018).

2. Jenis kelamin
Kebutuhan gizi untuk bayi jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda, begitu

pula saat menjadi dewasa. Pria membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan

dengan wanita. Berdasarkan penelitian di beberapa negara bayi laki-laki beresiko

mengalami stunting lebih tinggi dibandingkan dengan bayi perempuan (Larasati,

2018).

3. Tinggi ibu

Peristiwa stunting pada balita dengan usia 6-12 bulan dan usia 3-4 tahun sangat

berhubungan dengan tinggi ayah dan ibunya. Ibu yang memiliki tubuh pendek akan

beresiko melahirkan bayi pendek. Tinggi badan ibu berpengaruh besar terhadap tinggi

badan anak yang dikandungnya, karena kromosom pendek yang dibawa oleh sang

ibu. Ibu yang memiliki tinggi badan (<150cm) cenderung beresiko dua kali lipat

memiliki anak yang stunting secara genetik ibu yang pendek akan menurunkan sifat

pendek kepada anaknya (Agrifa Winda et al., n.d.).

4. Pemberian Asi Eksklusif

Asi ekslusif diberikan pada bayi minimal dalam jangka waktu enam bulan tanpa

campuran cairan lain dapat memenuhi kebutuhan bayi. Beberapa manfaat asi yang

dapat dirasakan bayi maupun ibunya adalah (Nurjanah, 2018):

- Sumber gizi paling ideal dan terbaik dengan komposisi seimbang dan sesuai

dengan kebutuhan bayi pada masa pertumbuhan pertamanya.

- ASI dapat meningkatkan sistem imun bayi sehingga meminimalisir resiko

diare, sakit telinga dan infeksi saluran pernafasan.


- ASI mengandung asam lemak yang diperlukan untuk pertumbuhan otak bayi,

sehingga bayi yang diberi ASI ekslusif berpotensi memiliki kecerdansan yang

baik.

ASI ekslusif dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi sehingga pemberian ASI

ekslusif akan menurunkan resiko stunting yang terjadi pada anak karena gizi sudah

dapat terpenuhi (Larasati, 2018).

5. Faktor Ekonomi

Stunting disebabkan oleh kurangnya gizi secara kronis, pada keluarga dengan

jumlah pendapatan rendah akan beresiko tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi anak

terutama pada usia masa pertumbuhan. Faktor penyebab masalah gizi adalah

kemiskinan. Kemiskinan dapat menjadi penyebab utama kekurangan gizi pada anak,

sedangkan anak atau individu dengan masalah kurang gizi akan memperlambat

produktifitas kerja karena kekurangan fisik dan menurunnya fungsi kognitif sehingga

kemiskinan akan terus terjadi. Seseorang dengan kondisi stunting akan sulit produktif

seperti orang-orang dengan tinggi badan normal pada umunya, terutama banyaknya

pekerjaan yang menjadikan tinggi badan sebagai salah satu syarat dalam pekerjaan.

Sehingga individu-individu dengan kondisi stunting akan sulit memenuhi kebutuhan

keluarganya yang menyebabkan masalah kemiskinan tidak teratasi dan kondisi

stunting berpotensi besar akan terjadi di keturunannya (Larasati, 2018).

6. Tingkat pendidikan
Anak-anak yang lahir dari orangtua dengan tingkat pendidikan rendah akan

berpotensi memiliki anak dengan kondisi stunting, sebab mereka tidak memiliki

pengetahuan untuk memberikan gizi seimbang pada anaknya, sedangkan anak yang

lahir dari orangtua dengan pendidikan tinggi cenderung beresiko lebih rendah

memiliki anak dengan kondisi stunting sebab mereka lebih mengerti gizi yang

dibutuhkan oleh anak serta mereka tahu untuk selalu mencari informasi terkait

kesehatan anak ke berbagai pihak yang bersangkutan (Larasati, 2018) .

7. Usia Ibu

Usia ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada anak.

Ibu yang masih tergolong remaja (<20 tahun) memiliki resiko yang lebih tinggi

memiliki keturunan stunting dibandingkan dengan ibu dengan usia produktif (20-34

tahun). Hal ini disebabkan oleh pertubuhan fisik pada ibu dengan usia remaja masih

berlangsung sehingga akan terjadi kompetisi memperoleh nutrisi yang cukup bagi ibu

dan janin, akibatnya janin akan beresiko mengalami kejadian stunting karena

kurangnya nutrisi sejak dalam kandungan (Wanimbo & Wartiningsih, n.d.).

8. Pola asuh ibu

Peran keluarga khususnya seorang ibu sangat penting dalam menghadapi kejadian

stunting pada anak dalam satu keluarga, pola asuh dari ibu harus dapat memperbaiki

gizi anak untuk mencegah atau menanggulangi kejadian stunting. Beberapa pola asuh

ibu yang dapat memperbaiki kondisi stunting pada anak adalah (Noorhasanah, 2021) :

- Memberikan ASI
- Memberikan makanan pendamping ASI sesuai usianya

- Mengajarkan tatacara makan yang benar

- Memberikan makanan yang mengandung gizi seimbang

- Mengontrol jumlah makanan yang dikonsumsi anak

- Menyiapkan makanan yang higienis

- Membuat pola makan yang benar untuk anak

II.1.6 Kesiapan Pasangan terhadap antisipasi kasus Stunting

Untuk meminimalisir kejadian stunting yang terjadi pada anak, calon pengantin

harus melakukan upaya pencegahan terutama saat salah satu atau kedua calon

pengatin memiliki riwayat keturunan yang berpotensi menyebabkan stunting pada

anak. Calon pengantin wanita yang merupakan calon ibu sangat berperan penting

dalam upaya pencegahan stunting. Stunting tidak hanya disebabkan oleh kurangnya

gizi dalam asupan makanan tetapi tempat maknaan, jumlah anggota keluarga, peran

keluarga juga mempengaruhi terjadinya stunting (Arsyad et al., 2022) .

II.1.6.1 Program Pendampingan Keluarga

Pendampingan keluarga merupakan salah satu program pemerintah yang dilakukan

untuk mencegah terjadinya stunting pada anak, dalam program ini dilakukan proses

penyuluhan, fasilitas pelayanan rujukan, dan fasilitasi pemerian bantuan sosial.

Program ini ditujukan kepada (BKKBN, 2021):

a) Remaja

b) Calon pengantin
c) Ibu hamil dan pasca persalinan

d) Ibu menyusui

e) Anak berusia 0-59 bulan

Langkah Kerja tim Pendamping Keluarga (bkkbn) :

1. Koordinasi : Tim pemdampig berkoordinasi dengan TPPS

berkaitan dengan rencana kerja, sumber daya, pemecahan kendala

pelaksanaan pendampingan keluarga di lapangan

2. Pelaksanaan : Meliputi penyuluhan, fasilitas pelayanan dan

fasilitas bantuan sosial kepada sasaran program pendamping keluarga.

3. Pencatatan dan pelaporan : Tim pendamping melakukan pencatatan dan

pelaporan hasil pendampingan serta melakukan pemantauan keluarga berisiko

stunting

4. Pembagian tugas : Membagi tugas untuk tim pendamping

keluarga sesuai dengan bagian dan urgensi masing-masing.

II.1.7 Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan sebelumnya, maka disusun

kerangka teori mengenai persepsi individu serta faktor-faktor pada kejadian stunting

terutama pada calon pengantin. Kerangka ini menggunakan teori Health Belief Model

yang dikembangkan oleh sekelompok psikolog sosial di US, yang menjelaskan

kegagalan orang berpastisipasi dalam program pencegahan atau pendeteksian

penyakit. Teori ini menjelaskan sikap dan kepercayaan individu dalam perilaku

kesehatan, adanya persepsi yang baik atau tidak baik dapat berasal dari pengetahuan,
pengalaman, dan informasi yang diperoleh suatu individu sehingga terjadi tindakan

dalam memandang sesuatu (Irwan, 2017). Dalam teori Health Belief Model

menekankan pada persepsi yang kuat terhadap suatu penyakit dan bagaiman tindakan

yang akan dilakukan untuk mencegah hal tersebut, maka kerangka teori akan dibuat

sebagai berikut :
Kemungkinan Stunting pada bayi

Faktor-faktor Modifikasi Persepsi Terhadap


Pada kasus Stunting Kejadian Stunting

1. Berat Badan lahir Rendah 1. Persepsi Manfaat Pencegahan


2. Tinggi badan dan Usia Ibu 2. Persepsi Hambatan Pencegahan
3. Pemberian ASI Eksklusif 3. Persepsi Kerentanan
4. Tingkat Pendidikan dan Faktor 4. Persepsi Keseriusan Calon
Ekonomi Pengantin terhadap Kejadian
Stunting

Program Pendampingan
Keluarga Pedoman Tindakan
Kemungkinan Tindakan
1. Pendidikan
2. Gejala-gejala
3. Media

Program Pendampingan Keluarga

Gambar 2.1 Health Belief Model


Sumber : Victoria L. Champion & Celette Sugg Skinner (2008) dalam Buku Etika dan Perilaku Kesehatan
(2017)
II.1.8 DAFTAR PUSTAKA

Agrifa Winda, S., Fauzan, S., Fitriangga, A., Studi Keperawatan, P., & Kedokteran,

F. (n.d.). Tinggi Badan Ibu Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita: Jurnal

Kesehatan 6(1).

Alfira, S. N. (2014). Pengaruh Sinar-X Terhadap Kesehatan Janin Ibu Hamil

Trimester Pertama.Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Hasanuddin.

Makassar.

Arsyad, J. F., Setiawaty, Y., & Yusnidar, Y. (2022). Pengaruh Pengetahuan Calon

Pengantin Sebelum dan Setelah diberikan Pendidikan Gizi 1000 HPK Melalui

Media Presentasi dan Booklet. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 11(1),

282–287. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.742

Ayu, R. (2019). Studi Kasus Pada Bayi Stunting Usia 6-12 Bulan Di Desa Singaparna

Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna Tahun 2019. Jurnal Kesehatan 2(11),

297.

BKKBN. (2021). Panduan-Pelaksanaan-Pendampingan-Keluarga_BKKBN.

Irwan (2017). Etika dan Perilaku Kesehatan. Yogyakarta. CV Absolute Media. 144-

145.

Ernawati, A., Perencanaan, B., Daerah, P., & Pati, K. (2017). Masalah Gizi Pada Ibu

Hamil Nutritional Issues Among Pregnant Mothers. In Jurnal Litbang: Vol. XIII

(Issue 1).
Khasanah, N. (2018). Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan

Dipuskesmas Bulakamba Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Fakultas

Ilmu Keperawatan dan Kesehatan. Universitas Muhammadiyah. Semarang.

Larasati, N. N. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting

Pada Balita Usia 25-59 Bulan Di Posyandu Wilayah Puskesmas Wonosari Ii

Tahun 2017. Kebidanan. Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan.

Yogyakarta.

Nurjanah, L. O. (2018). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting

di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Klecorejo Kabupaten Madiun Tahun 2018.

Kesehatan Masyarakat. STIKES Bhakti Husada Mulia. Madiun .

Nurrahima, F. E. (2021). Fenomena Stunting Pada Anak Balita Di Desa Jambu Ilir

Kecamatan Tanjung Lubuk Kabupaten Ogan Komering Ilir. Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sriwijaya. Palembang.

Pambudi, E. B. (2019). Hubungan Pemberian MP-ASI Dengan Pertumbuhan Anak

Usia 6-24 Bulan di Desa Sukorejo Kecamatan Saradan Kabupaten Madiun.

Keperawatan. STIKES Bhakti Husada Mulia. Madiun.

Prakhasita, R. C. (2018). Hubungan Pola Pemberian Makan Dengan Kejadian

Stuntingpada Balita Usia 12-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Tambak

Wedi Surabaya. Fakultas Keperawatan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Prasetiya, T., Ali, I., Rohmat, C. L., & Nurdiawan, O. (2020). Klasifikasi Status

Stunting Balita Di Desa Slangit Menggunakan Metode K-Nearest Neighbor.


Informatics For Educators And Professionals, 4(2), 93–104

Shambodo Y. (2020). Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Khalayak Mahasiswa

Terhadap Pendatang UGM Terhadap Siaran Pawartos Ngayogyakarta Jogja TV.

Jurnal Ilmu Sosial 1(2).

Yulivantina E.V., Gunarmi., Maimunah S. (2021). Persepsi Calon Pengantin

Terhadap Skrining Prakonsepsi di Kota Yogyakarta. Jurnal Ilmu Kesehatan 2(2).

Wanimbo, E., & Wartiningsih, M. (n.d.). Hubungan Karakteristik Ibu Dengan

Kejadian Stunting Baduta (7-24 Bulan). Jurnal Manajemen Kesehatan 6(1).

Anda mungkin juga menyukai