Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak

2.1.1 Definisi Anak

Menurut World Health Organization ( WHO ) seseorang dikatakan anak

ialah dihitung dari dalam kandungan sampai dengan berusia 19 tahun.

Sedangkan menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2002 pasal 1 ayat 1 tentang perlindungan anak, anak adalah seseorang

yang belum genap berusia 18 tahun, didalamnya termasuk juga yang masih

dalam kandungan. Anak adalah aset bangsa yang akan meneruskan perjuangan

suatu bangsa, sehingga perlu diperhatikan pertumbuhan dan

perkembangannya (Departemen Kesehatan RI, 2014).

Anak adalah individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang diawali dari bayi sampai remaja. Dalam proses nya

perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping, dan

perilaku sosial. Setiap anak memiliki ciri fisik yang berbeda-beda, begitu pula

dengan perkembngan kognitif ada yang cepat dan ada pula yang lambat

(Yuliasti & Arnis, 2016)

2.2 Konsep Tumbuh Kembang Anak

2.2.1 Pengertian Tumbuh Kembang

Pertumbuhan (growth) adalah proses peningkatan yang ada pada diri

seseorang yang bersifat kuantitatif, atau terjadinya peningkatan dalam hal

ukuran. Peningkatan karena kesempurnaan dan bukan karena adanya

penambahan bagian yang baru (Sudirjo & Alif, 2018).

7
8

Pertumbuhan terbagi menjadi dua, yaitu pertumbuhan yang bersifat

linear dan pertumbuhan masa jaringan. Pertumbuhan linear digambarkan

sebagai status gizi masa lampau Ukuran linear yang rendah biasanya

menunjukan keadaan gizi yang kurang akibat kekurangan energi dan protein

yang diderita dimasa lampau. Ukuran linear yang sering digunakan adalah

tinggi atau panjang badan. Pertumbuhan massa jaringan menggambarkan

status gizi yang dihubungkan pada masa sekarang atau saat pengukuran.

Contoh dari massa jaringan ialah berat badan, lingkar lengan atas (LILA) dan

juga tebal lemak bawah kulit. Ukuran yang menunjukan rendah atau kecil

menandakan keadaan gizi kurang akibat kekurangan energi dan protein yang

diderita pada waktu pengukuran dilakukan. Ukuran massa jaringan yang

sering diguanakan ialah berat badan (Supariasa et al., 2007).

Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang

lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara, bahasa

dan sosialisasi serta kemandirian (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

Perkembangan juga terjadi dalam bentuk perubahan kuantitatif dan kualitatif.

Perubahan kuantitatif merupakan perubahan yang dapat diukur sedangkan

perubahan kualitatif merupakan perubahan dalam bentuk semakin baik,

semakin lancar yang pada dasarnya tidak dapat diukur (Sudirjo & Alif, 2018).

2.2.2 Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak secara umum terdiri dari

masa prenatal dan postnatal (Hidayat, 2008)

1. Masa Prenatal

Masa prenatal ialah perkembangan awal dari manusia. Perkembangan

prenatal diawali dari pembuahan yang terjadi dari pertemuan sel sperma
9

dengan sel telur. Sel telur yang telah matang akhirnya akan menjadi sel-

sel baru dan membentuk zigot. Pembuahan ini menandakan bahwa

organ reproduksi manusia berfungsi secara baik (Aprilia, 2020)

Perkembangan pada masa prenatal terdiri dari tiga tahapan yaitu geminal,

embrionik dan fetal. Tahapan geminal dimulai dari sejak pembuahan

sampai 2 minggu. Zigot akan membelah diri dan menjadi lebih kompleks

kemudian menempel pada dinding rahim menjadi awal terjadinya masa

kehamilan. Tahapan embrionik dimulai pada 2-8 minggu. Organ dan

sistem tubuh utama mulai berkembang pesat. Tahapan terakhir adalah

fetal tahapan ini dimulai pada usia 8 minggu sampai kelahiran. Pada masa

ini, janin akan tunbuh dengan pesat sekitar 20 kali lebih besar daripada

ukuran panjangnya dan organ sekaligus sistem tubuh menja di lebih

kompleks (Papalia et al., 2009).

2. Masa Postnatal

Masa postnatal ialah masa perkembangan sesudah lahir terdiri dari

beberapa tahapan yaitu, tahapan neonatus dimulai pada 0-28 hari,

masa bayi dimulai pada usia 1 bulan sampai 12 bulan, masa

prasekolah akan dimulai saat anak berusia 2 tahun, masa sekolah atau

masa prapubertas pada anak perempuan terjadi pada usia 6 hingga 10

tahun sedangkan pada anak laki-laki terjadi pada usia 8 hingga 12

tahun, tahapan selanjutnya tahapan adolescent pada anak perempuan

akan terjadi pada usia 10 hingga 18 tahun sedangkan pada anak laki-

laki terjadi pada usia 12 hingga 20 tahun (Tanuwidjaya, 2002)


10

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak diantara nya yaitu faktor yaitu genetik, faktor neuro

endokrin, nutrisi, hubungan interpersonal, tingkat sosial ekonomi, pengaruh

lingkungan, stress anak, mekanisme koping dan pengaruh media massa (M. .

Hockenberry & Wilson, 2009)

Menurut (Darmawan, 2019) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan adalah :

1. Faktor internal

a. Ras atau etnik

Anak yang terlahir dari ras/bangsa Amerika ia tidak memiliki

faktor herediter sedangkan ras/bangsa Indonesia sebaliknya.

b. Keluarga

Ada kecenderungan keluarga yang mempunyai postur tubuh tinggi,

pendek, gemuk, atau kurus.

c. Umur

Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah saat masa prenatal,

tahun pertama kehidupan, dan saat masa remaja.

d. Jenis Kelamin

Fungsi reproduksi pada anak perempuan berkembang lebih cepat

dibandingkan anak laki-laki. Namun, setelah melewati masa pubertas

pertumbuhan anak laki-laki akan lebih cepat dibandingkan anak

perempuan.
11

e. Genetik

Genetik ( heredokonstitusional ) ialah bawaan lahir anak, yaitu potensi

anak yang akan menjadi ciri khasnya nanti. Ada beberapa kelainan

genetik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

anak diantaranya yaitu kerdil.

f. Kelainan Kromosom

Kelainan kromosom biasanya disertai dengan kegagalan

pertumbuhan, seperti pada sindroma Down’s dan sindroma Turner’s.

2. Faktor Ekternal

Menurut (Adriana, 2013) faktor ekstrnal yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak ada tiga yaitu faktor prenatal,

faktor persalinan dan faktor setelah persalinan.

1. Faktor Prenatal

a. Gizi

Nutrisi yang didapat ibu saat masa kehamlan terutama saat

trimester akhir kehamilan akan mempengaruhi pertumbuhan

janin.

b. Mekanis

Posisi fetus yang abnormal dapat menyebabkan kelainan

kongenital seperti club food .

c. Toksin atau Zat Kimia

Obat-obatan seperti aminopterin atau thalidomid bisa menyebabkan

kelainan kongenital seperti palatoskisis.


12

d. Endokrin

Diabetes melitus bisa meyebabkan makrosomia, kardiomegali,

dan hyperplasia adrenal.

e. Radiasi

Paparan radiasi dan sinar rontgen dapat menyebabkan kelainan

pada janin seperti mikosefali, spina bifida, retardasi mental,

deformitas anggota gerak, kelainan kongenital mata, dan kelainan

jantung.

f. Infeksi

Infeksi yang dialami pada trimester pertama dan kedua oleh

TORCH (Toksoplasma, Rubella, Citomegali virus, Herpes

simpleks) dapat mengakibatkan kelainan pada janin seperti

katarak, bisu, tuli, mikrosefali, retardasi mental dan kelainan

jantung kongenital.

g. Kelainan Imunologi

Eritoblastosis fetalis tismul karena perbedaan golongan darah

antara janin dan ibu sehingga ibu membentuk antibodi

terhadap sel darah merah janin dan akan menyebabkan

hemolisis yang akan mengakibatkan hiperbilirubinemia dan

kerniktus yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan otak.

h. Anoksia Embrio

Anoksia embrio yang disebabkan oleh adanya gangguan fungsi

plasenta dapat mengakibatkan pertumbuhan janin terganggu.


13

i. Psikologi Ibu

Kehamilan yang tidak diinginkan serta perlakuan salah atau

kekerasan mental pada saat ibu sedang mengandung.

2. Faktor Persalinan

Komplikasi yang terjadi saat proses persalinan yang terjadi pada bayi

seperti trauma kepala, dan asfiksia dapat mengakibatkan kerusakan

jaringan otak.

3. Faktor Pasca Persalinan

a. Gizi

Asupan zat makan yang adekuat sangat diperlukan untuk tumbuh

kembang bayi.

b. Penyakit Kronis atau Kelainan Kongenital

Anemia, tuberculosis dan kelainan jantung bawaan menyebabkan

retardasi pertumbuhan jasmani.

c. Lingkungan Fisik dan Kimia

Sanitasi lingkungan yang buruk seperti kurangnya sinar matahari,

paparan sinar radioaktif dan zat tertentu ( Pb, merkuri, rokok,

dan lain-lain ).

d. Psikologis

Seorang anak yang tidak diinginkan hadir didunia oleh orang

tuanya atau anak yang selalu merasa tertekan, akan mengalami

hambatan dalam pertumbuhan dan perekembangan.

e. Endokrin

Gangguan hormon, misalnya pada penyakit hipotiroid akan

mengakibatkan anak mengalami hambatan pertumbuhan.


14

f. Sosioekonomi

Kondisi ekonomi yang buruk berkaitan erat dengan

kekurangan makanan, lingkungan yang buruk dan kurangnya

pengetahuan dapat menghambat pertumbuhan anak.

g. Lingkungan Pengasuhan

Lingkungan pengasuhan serta interaksi ibu dan anak sangat

mempengaruhi tumbuh kembang anak.

h. Stimulasi

Perkembangan membutuhkan rangsangan atau stimulasi,

terutama dari keluarga, seperti penyediaan mainan, sosialisasi

anak, keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain dalam kegiatan

anak.

i. Obat-Obatan

Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang panjang

akan menghambat pertumbuhan, demikian juga dengan

penggunaan obat perangsang terhadap susunan saraf yang

menyebabkan terhambatnya produksi hormon pertumbuhan.

2.2.4 Aspek Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Aspek dalam pertumbuhan dan perkembangan anak meliputi gerak kasar

atau motorik kasar, gerak halus atau motorik halus, kemampuan bicara dan

bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian (Darmawan, 2019)

1. Gerak Kasar atau Motorik Kasar

Gerak kasar atau motorik kasar merupakan aspek yang berhubungan

dengan kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang

meliputi otot-otot besar, seperti duduk, berdiri, dan lainnya.


15

2. Gerak halus atau Motorik Halus

Gerak halus atau motorik halus merupakan aspek yang berkaitan dengan

kemampuan anak dalam melakukan gerakan yang melibatkan bagian

tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, namun

membutuhkan koordinasi yang cermat, seperti mengamati sesuatu,

menjepit, menulis, dan lainnya.

3. Kemampuan Bicara dan Bahasa

Kemampuan bicara dan bahasa merupakan aspek yang berhubungan

dengan kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara,

berbicara, berkomunukasi, mengikuti perintah, dan lainnya.

4. Sosialisasi dan kemandirian

Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berkaitan dengan

kemampuan mandiri anak seperti makan sendiri, membereskan mainan

sendiri setelah selesai menggunakan, berpisah dengan ibu atau

pengasuhanak, bersosialisasi serta berinteraksi dengan lingkunganny, dan

lainnya.

2.3 Kecemasan Hospitalisasi

2.3.1 Definisi Kecemasan Hospitalisasi

Hospitalisasi merupakan suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit

dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi akibat anak berusaha untuk

beradaptasi dengan lingkungan baru yaitu rumah sakit. Hospitalisasi (rawat

inap) pada pasien anak akan menyebabkan kecemasan dan stres pada

semua tingkatan usia. Bagi anak usia 3 sampai 6 tahun (prasekolah),

hospitalisasi merupakan stresor buruk yang dapat mempengaruhi tumbuh

kembang anak (D. L. Wong, 2008).


16

Hospitalisai memiliki dampak pada perkembangan anak. Anak yang

menjalani perawatan dirumah sakit akan mengalami kecemasan dan juga

ketakutan. Dampak jangka pendek dari kecemasan dan ketakutan apabila

tidak segera ditindak lanjuti alan membuat anak melakukan penolakan

terhadap tindakan keperawatan dan pengobatan sehingga dapat

memperlambat hari rawat, memperberat kondisi anak dan juga menyebabkan

kematian. Sedangkan dampak jangka panjang akan menyebabkan kesulitan,

kemampuan membaca yang menurun, memburuknya kemampuan intelektual,

dan mengalami ganguan bahasa serta perkembangan kognitif (Saputro et al.,

2017).

Kecemasan sendiri merupakan perasaan takut yang tidak jelas. Saat

seorang individu merasa cemas, individu tesebut akan merasa takut, tidak

nyaman dan memiliki firasat akan terjadinya hal buruk kepada dirinya (Amir,

2013). Kondisi cemas pada anak yang menjalani hospitalisasi merupakan

masalah yang serius dan harus mendapat perhatian khusus. Anak usia

prasekolah sering mengalami kehilangan kontrol pada dirinya dan rasa cemas

ini muncul akibat adanya pembatasan aktivitas yang menganggap bahwa

tindakan dan prosedur perawatan dapat mengancam integritas tubuhnya

selama hospitalisasi (Parulian & Astarani, 2018).

2.3.2 Penyebab Kecemasan Anak

Menurut (M. Hockenberry & Wilson, 2011) ada beberapa faktor

penyebab kecemasan anak selama menjalani hospitalisasi :

a. Kecemasan akibat perpisahan

Anak usia prasekolah mempunyai koping yang lebih baik dibandingkan

anak usia toddler. Anak usia prasekolah mampu mentolerir saat mereka
17

harus terpisah dari orang tuanya walaupun anak prasekolah bisa

mentolerir perpisahan dalam wak tu sebentar dan anak prasekolah

mulai untuk belajar mempercayai orang lain selain orang yang dikenal

mereka. Biasanya mereka akan bereaksi menolak untuk makan, menangis

pelan, marah, susah tidur, tidak kooperatif dan merusak mainan

(Nursalam et al., 2008).

b. Kehilangan kontrol ( Loss of Control )

Adanyan pembatasan aktifitas anak saat menjalani hospitalisasi membuat

anak kehilangan kontrol sehingga membuat anak tergantung kepada

orang lain. Respon yang biasa terjadi ialah rasa bersalah, malu, dan rasa

takut (Nursalam et al., 2008).

c. Luka pada tubuh dan nyeri

Saat menjalani hospitalisasi anak akan mendapatkan tindakan yang

menyebabkan nyeri. Sehingga biasanya respon yang munculyaitu

menangis, menyeringaikan wajah, mengatupkan gigi, menggigit bibir,

membuka mata lebar, melakukan tindakan agresif seperti menendang,

memukul dan menggigit (Nursalam et al., 2008).

2.3.3 Reaksi Anak terhadap Hospitalisasi

Menurut Ball & Binder (2003), anak yang dirawat di rumah sakit berada

pada lingkungan asing yang tidak diketahuinya, dikelilingi orang-orang asing,

peralatan, dan pemandangan sekitar menakutkan; sehingga menimbulkan

reaksi hospitalisasi seperti rewel, tidak mau didekati oleh petugas kesehatan,

ketakutan, tampak cemas, tidak kooperatif, bahkan tamper tantrum (Solikhah,

2013). Anak yang dirawat di rumah sakit menunjukkan reaksi menangis

karena kesakitan dan hospitalisasi. Penyebab penurunan mood antara lain


18

perubahan status kesehatan dan lingkungan yang jauh dari rutinitasnya sehari

hari serta keterbatasan koping mekanisme anak dalam memecahkan masalah.

Reaksi anak terhadap hospitalisasi dipengaruhi oleh

faktor usia, pengalaman sakit, perpisahan, pengalaman dirawat di rumah sakit,

pembawaan anak dan keterampilan koping, kegawatan diagnosa, dan support

system (M. . Hockenberry & Wilson, 2009)

Reaksi hospitalisasi yang ditunjukkan pada anak usia sekolah lebih ringan

dibandingkan dengan anak usia toddler dan pra sekolah. Anak yang pernah

merasakan sakit sebelumnya akan merespon sakitnya saat ini dengan lebih

positif. Perpisahan dengan rutinitas sehari-hari bagi anak usia sekolah menjadi

faktor penting penyebab munculnya reaksi negatif hospitalisasi. Anak yang

pernah dirawat di rumah sakit yang sama akan merasa lebih terbiasa

dibandingkan dengan yang baru pertama kali di rawat. Pembawaan anak yang

tenang dan kemampuan ketrampilan koping yang baik akan lebih

menunjukkan reaksi positif. Kegawatan diagnose menjadi sumber ketakutan

anak dan orang tua. Support system yang cukup dari keluarga, sekolah, dan

lingkungan social terutama dari teman sebaya (Solikhah, 2013).

2.3.4 Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Anak Akibat

Hopitalisasi

Anak akan menganggap hospitalisasi sebagai hukuman dan pengalaman

yang mengerikan (Supartini, 2004). Anak yang menjalani hospitalisasi

memiliki reaksi kecemasan yang berbeda pada setiap individunya (M.

Hockenberry & Wilson, 2011). Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi

kecemasan anak selama hospitalisasi :


19

a. Usia Anak

Semakin muda usia anak saat menjalani hospitalisasi maka akan susah

untuk anak beradaptasi dengan segala tindakan yang akan dialami selama

menjalani hospitalisasi untuk pertama kalinya (G. Stuart & Laraia, 2005).

b. Jenis Kelamin

Anak perempuan cenderung mudah mengalami kecemasana. Ini terjadi

adanya pengaruh hormon estrogen yang saat berinteraksi dengan

serotonin akan menimbulkan kecemasan (Purwandari, 2009).

c. Riwayat sebelumnya

Anak yang pernah menjalani hospitalisasi sebelumnya menjalani salah

satu faktor yang dapat menyebabkan kecemasan anak. Anak yang

mendapatkan pengalaman baik selama menjalani hospitalisasi akan

menjalani semua tindakan secara kooperatif sedangkan anak yang

mempunyai pengalaman buruk akan trauma dan takut (Supartini, 2004).

2.3.5 Tahapan Respon Penerimaan Hospitalisasi Pada Anak

Ada 3 tahapan dalam proses penerimaan hospitalisasi, yaitu :

1. Tahap Protes (Phase of protes)

Tahap ini ditandai dengan anak menangis kuat, menjerit, memanggil

orang terdekatnya misalnya orang tuanya. Secara verbal anak akan

menyerang dengan rasa marah, seperti anak akan mengatakan “pergi”.

Perilaku protes anak tersebut akan terus berlanjut dan hanya berhenti jika

anak merasa lelah dan orang terdekatnya mendampinginya (Nursalam et

al., 2008)
20

2. Tahap Putus Asa (Phase of Despair)

Pada tahap ini anak tampak tegang, menangis berkurang, anak kurang

aktif, kurang minat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik

diri, tidak kooperatif, perilaku regresi seperti mengompol atau menghisap

jari (Nursalam et al., 2008)

3. Tahap Menolak (Phase of Dennial)

Pada tahap ini anak akan mulai menerima perpisahan, mulai tertarik

dengan lingkungan sekitar, mulai membina hubungan dengan orang lain

(Nursalam et al., 2008).

2.3.6 Respon Fisiologis dan Psikologis Kecemasan

Menurut (G. W. Stuart, 2012) berikut respon fisiologis dan psikologis

yang terjadi saat terjadi kecemasan :

1. Respon Fisiologis

a. Sistem Pernafasan

Nafas akan menjadi lebih cepat dan pendek, nafas dangkal, tekanan

pada dada, adanya sensasi seperti tercekik, dan terengah-engah.

b. Sistem Kardiovaskuler

Jantung berdebar, palpitasi jantung, tekanan darah menurun, tekanan

darah meninggi, denyut nadi menurun dan rasa ingin pingsan.

c. Sistem Gastrointestinal

Seseorang akan menolak untuk makan, kehilangan nafsu makan,

merasa tidak nyaman pada abdomen, diare, mual dan muntah.

d. Sistem Neuromuskular

Insomnia, gelisah, tremor, rigiditas, wajah tegang, kaki goyah,

kelemahan umum, reflek meningkat dan mata berkedip-kedip.


21

e. Sistem Integumen

Biasanyan seseorang yang mengalami kecemasan akan mebuat wajah

mereka memerah, pucat, gatal, berkeringat seluruh tubuh, rasa dingin

dan panas pada kulit.

f. Sistem Traktus Urinarus

Seseorang yang mengalami kecemasan cenderung akan sering

berkemih dan tidak dapat menahan rasa ingin kencing.

2. Respon Psikologis

a. Sistem Afektif

Seseorang akan menjadi tisak sabar, mudah terganggu, tegang, gelisah,

gugup dan ketakutan.

b. Sistem Perilaku

Ketegangan fisik, gelisah, gugup, kurang koordinasi, bicara cepat,

tremor, menghindar, menarik diri dari hubungan interpersonal,

cenderung mendapat diri dan melarikan diri dari masalah.

c. Sistem Kognitif

Kecemasan dapat memperburuk konsentrasi, kreativitas menurun,

bingung, pelupa, hambatan berfikir dan salah dalam memberikan

penilaian.

2.4 Atraumatic Care

2.4.1 Definisi Atraumatic Care

Atraumatic care merupakan tindakan perawatan yang tidak menimbulkan

adanya trauma pada anak dan keluarga. Tindakan tersebut difokuskan

untuk pencegahan trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan

anak.Perhatian khusus pada anak sebagai individu yang masih dalam usia
22

tumbuh kembang, sangat penting karena masa anak merupakan proses

menuju kematangan (Supartini, 2017)

Penerapan atraumatic care baik karena anak sangat baik-baik saja jika

dilakukan tindakan keperawatan yang mengurangi di stress fisik ataupun di

stress psikologi yang dialami anak. Sedangkan penerapan atraumatic care kurang

karena anak ini sangat cemas jika keadaan perasaan efektif yang tidak

menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik memperingatkan anak yang

bahaya yang akan dialami anak (Feny et al., 2020).

2.4.2 Prinsip Atraumatic Care

Prinsip penerapan atraumatic care menurut (Alimul Hidayat, 2008) ada

lima yaitu :

1. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan anak dari keluarga.

Perpisahan anak dengan keluarga yang terjadi selama proses hospitalisasi

dapat menyebabkan anak mengalami gangguan psikologis seperti ketakutan

yang dapat menghambat penyembuhan, cemas dan proses tumbuh

kembang anak terganggu (Hidayat, 2008). Pendekatan pada keluarga

menggunakan family centered care dapat digunakan untuk menurunkan atau

mencegah dampak yang akan timbul dari perpisahan anak dengan keluarga

(Supartini, 2012). Berikut tindakan yang dapat dilakukan keluargan untuk

mencegah dampak perpisahan anak :

a. Orang tua berperan aktif dalam proses hospitalisasi, salah

satunya dengan mengijinkan orang tua mendampingi anak selama

24 jam ( rooming in ).
23

b. Apabila rooming in tidak dapat dilakukakan izinkan orang tua untuk

memantau anak setiap waktu untuk mempertahankan kontak

antara ibu dan anak.

c. Fasilitasi pertemuan anak dengan teman sekolah dan guru yang

anak inginkan guna mempertahankan kontak dengan kegiatan

sekolah selama mengalami proses hospitalisasi.

2. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan pada

anak.

Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengawasi perawatan

anaknya, sehingga diharapkan anak akan lebih mandiri. Kemandirian

anak dapat dilihat dalam kegiatan sehari-hari anak akan bersikap lebih

hati-hati dan waspada (Hidayat, 2008). Untuk meningkatkan kemampuan

orang tua dalam mengawasi perawatan anak dapat dilakukan dengan

memberikan edukasi tentang perawatan anak (Supartini, 2012). Berikut

beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

kemampuan orang tua dalam mengawasi perawatan anak :

a. Apabila selama menjalani proses hospitalisasi anak bersikap

kooperatif dengan perawat, maka pembatasan fisik dapat

dilakukan. Jika anak harus melakukan isolasi, modifikasi

lingkungan dapat dilakukan agar mengurangi stress pada anak dan

orang tua.

b. Aturlah jadwal kegiatan untuk setiap prosedur yang akan dilakukan,

therapeutic play dan aktivitas lainnya untuk menangani perubahan

yang akan terjadi pada anak.


24

c. Beri kesempatan anak untuk mengambil keputusan dari setiap

tindakan keperawatan yang akan dilakukan. Orang tua juga harus

dilibatkan sehingga ketergantungan terhadap perawat dapat

diminimalisir.

d. Orang tua diperbolehkan untuk mengetahui kondisi kesehatan

anaknya.

e. Pertahankan kegiatan anak seperti saat berada dirumah.

f. Libatkan anak dan orang tua dalam proses asuhan keperawatan

yang akan dilakukan mulai dari proses perencanaan sampai

evaluasi.

3. Mencegah atau mengurangi cidera (injury) dan nyeri (dampak psikologis).

Dalam melakukan asuhan keperawatan pada anak, manajemen nyeri

sehingga tidak menganggu perkembangan dan pertumbuhan anak selama

hospitalisasi. Manajemen nyeri yang biasa dilakukan berupa teknik

relaksasi, ditrsaksi dan guided imajinary (Hidayat, 2008). Berikut bebrapa

hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi cidera pada anak yang

mengalami hospitalisasi :

a. Memberikan penjelasan setiap akan melakukan tindakan

keperawatan yang dapat membuat anak merasakan nyeri dan

berikan dukungan psikologis terhadap orang tua.

b. Menerapkan therapeutic play saat akan melakukan tindakan

keperawatan yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada anak.

c. Libatkan selalu orang tua saat akan melakukan tindakan

keperawatan yang menimbulkan nyeri.


25

d. Sikap empati yang ditunjukan perawat dibutuhkan sebagai

pendekatan untuk mengurangi nyeri.

e. Melakukan orientasi kamar bedah, menjelaskan tindakan yang akan

dilakukan, perawat yang ditugaskan melakukan therapeutic play

dapat dilakukan sebagai persiapan anank yang akan melakukan

tindakan pembedahan.

f. Meminamalisir dan mencegah dampak yang akan ditimbulkan dari

tindakan yang menyebabkan nyeri.

g. Meminamalisir dan mencegah strees fisik yang dirasakan anak

selama menjalani proses hospitalisasi.

h. Teknik anastesi dapat dilakukan saat melakukan prosedur tindakan

keperawatan yang menyebabkan nyeri.

i. Penggunaan restrain dapat digantikan dengan tindakan alternatif

therapeutic hugging.

j. Saat anak akan menjalani prosedur operasi, hal yang harus

disiapkan yaitu melatih anak melakukan teknik relaksasi.

4. Tidak melakukan kekerasan pada anak.

Tindakan kekerasan yang terjadi kepada anak saat menjalani proses

hositalisasi biasanya berupa membuat stress anak seperti melakukan

restrain, memaksa minum obat dan makan. Tindakan tersebut akan

membuat anak menjadi tidak kooperatif saat dilakukan tindakan

keperawatan serta akan membuat anak tidak akan mau berhenti unuk

menangis (Rahmah & Agustina, 2016). Tindakan kekerasan yang terjadi

kepada anak selama proses hospitalisasi dapat menyebabkan anak

mengalami gangguan psikologis. Kekerasan pada anak juga dapat


26

menggangu proses tumbuh kembang anak sehingga menyebabkan

keterlambatan pencapaian kematangan anak (Hidayat, 2008).

5. Serta modifikasi lingkungan fisik

Modifikasi yang dilakukan diruang rawat anak akan membuat anak

merasa aman dan nyaman selama menjalani proses hospitalisasi dan

dapat mengurangi stress pada anak (Hidayat, 2008).

Berikut beberapa tindakan modifikasi lingkungan yang dapat dilakukan :

a. Ruang rawat anak dan ruang tindakan dibuat semenarik

mungkin dengan memberikan dekorasi seperti menempelkan

stiker di dinding.

b. Mewarnai dinding dengan warna yang cerah dan tangga dicat

warna-warni.

c. Membuat ruang rawat anak dan ruang tindakan selalu dalam

kondisi bersih, aman untuk anak, rapi, tidak berisik, terdapat

jendela dan ventilasi udara, serta menyesuaikan suhu ruangan

sesuai dengan keadaan anak.

d. Tempat tidur, lemari, kursi, dan meja didalam ruang rawat anak

dan diruang tindakan harus tersusun rapi.

e. Adanya fasilitas tempat bermain untuk anak di setiap bangsal ruang

rawat anak dan ruang tindakan.

f. Perawat menggunakan pakaian multi warna non konvensional yang

lebih disukai anak dan orang tua saat menjalani rawat inap di

rumah sakit (Mansur, 2019).


27

2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Atraumatic Care

Beberapa faktor yang mempengaruhi penerapan atraumatic care dirumah

sakit. Menurut (Notoadmojo, 2010) ada dua faktor yang mempengaruhi

penerapan atraumatic care dirumah sakit yaitu, faktor internal dan faktor

eksternal.

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang,

terdiri dari persepsi, keyakinan, pengetahuan, niat, motivasi, dan sikap.

a. Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Sebelum

seseorang mengadopsi perilaku, ia harus tahu terlebih dahulu apa

arti atau manfaat perilaku tersebut. Perawat akan melaksanakan

atraumatic care apabila ia tahu apa definisi, tujuan, manfaat, prinsip

dan intervensi atraumatic care tersebut.

b. Sikap

Sikap membutuhkan penilaian, ada penilaian positif, negatif atau

netral tanpa reaksi afektif apapun. Sikap positif merupakan sikap yang

menunjukkan atau mempertahankan, menerima, mengakui,

menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana

individu itu berada. Sikap negatif merupakan sikap yang

menunjukkan, memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui

terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.


28

2. Faktor Eksternal

Faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari luar diri seseorang yang

mendukung seseorang untuk bertindak (berperilaku) atau mencapai

tujuan yang diinginkan, seperti fasilitas, sosiobudaya dan pengalaman

(Notoadmojo, 2010). Sarana dan fasilitas di rumah sakit sangat

diperlukan, seperti tersedianya ruang bermain atau alat-alat permainan

untuk melakukan intervensi bermain pada anak, tersedianya tirai

bergambar bunga atau binatang lucu, hiasan dinding bergambar dunia

binatang atau fauna, papan nama pasien bergambar lucu, dan tersedianya

pakaian berwarna warni untuk perawat di ruang anak (Yupi, 2014).

2.4.4 Jenis Intervensi Atraumatic Care

Berikut beberapa metode yang dapat dilakukakan dalam melaksanakan

atraumatic care (Swearingen, 2018) :

1. Selama melakukan prosedur invasif atau tindakan yang menimbulakan

rasa nyeri pada anak, jangan menahan anak terlalu kuat. Lakukan

tindakan seperti memberika pelukan atau memangku anak. Jika posisi

tersebut tidak bisa dilakukan, maka anjurkan orang tua untuk berdiri

didekat kepala anak guna memberikan kenyamanan.

2. Lakukan metode distraksi seperti mengengam tangan sendri atau tangan

orang tua, menghitung dengan suara keras, membaca buku, bercerita,

menunjuk gambar dilangit-langit, membiarkan anak meniup gelembung,

dan memutar musik yang dipilih oleh anak.

3. Gunakan theree way canule apabila anak mendapat lebih dari satu injeksi.
29

4. Menganjurkan untuk meminamilisir proses pemeriksaan laboratorium,

pengambilan darah, dan mengurangi injeksi SC atau IM di ruangan

peditrik.

5. Melakukan management nyeri yang tepat seperti penggunaan es and

anestesi lokal.

2.5 Konsep Terapi Bermain

2.5.1 Penegertian Bermain

Bermain adalah kegiatan yang dapat membantu merangsang perkembangan

dan pertumbuhan anak baik secara psikologis maupun secara fisik. Bermain pada

anak dapat meningkatkan keceerdasan anak dan perkembangan mental. Anak akan

terus bermain sepanjang aktivitas tersebut membuat nya senang dan saat bosan

mereka akan berhenti bermain. Bermain memberikan kesempatan latihan anak

agar mengenal norma, mematuhi aturan dan larangan secara jujur dan setia (Diani,

2013).

Tujuan bermain sediri ialah, mengekspresikan keinginan, fantasi dan

perasaaan. Bermain juga dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah

dan membangun kreatifitas anak. selain itu bermain bisa membantu melanjutkan

perkembangan dan pertumbuhan yang normal pada saat anak menderita gangguan

perkembangan dan pertumbuhannya. Bermain juga membantuanak secara efektif

menghindari stress rumah sakit saat mereka menjalani hospitalisasi (Supartini, 2012).

2.5.2 Fungsi Bermain

Menurut (L. Wong, 2009) berikut beberapa fungsi bermain :

1. Perkembangan intelektual

Bermain dapat dijadikan sumber belajar bagi anak. Anak mampu

mengekplorasi bentuk, ukuran, warna, tekstur dan fungsi objek.


30

2. Perkembangan motorik dan sensorik

Aktivitas motorik dan sensori merupakan komponen utama bermain

pada semua tingkat usia. Permainainan aktif berperan penting dalam

perkembngan otot dan melepas kelebihan energi. Anak akan suka

mengekplotasi segala hal diruangan dan menyukai gerak tubuh.

3. Kreatifitas

Anak akan mencoba ide yang mereka miliki dan berekperimen dalam

bermain, mereka akan merasa puas apabila menciptakan sesuatu hal

yang baru dan berbeda dari yang lain.

4. Sosialisasi

Bermain akan membantu anak untuk membentuk hubungan sosial,

belajar saling memberi serta menerima, menyelesaikan masalah,

menerima kritikan,serta beljar pola perilaku dan sikap yang bisa

diterima dimasyarakat. Anak juga akan belajar mengenai benar dan

salah dan bertanggung jawab atas semua tindakan yang mereka lakukan.

5. Nilai Moral

Anak mempelajari nilai salah dan benar dari lingkngan nya terutama

dari orang yang lebih dewasa seperti guru dan orang tua dirumah.

Dengan bermain, anak akan mendapatkan kesempatan untuk

mengaplikasikan nilai tersebut sehingga dapat diterima di

lingkungannya.

6. Kesadaran Diri

Melalui bermain anak akan mengembangkan kemamuan dalam

mengatur tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuan

diri dan membandingkan dengan orang lain, kemudian menguji


31

kemampuan yang dimiliki dengan berbagai peran serta mempelajari

dampak dari perilaku mereka pada orang lain.

7. Manfaat Terapeutik

Bermain memiliki efek terapeutik bagi berbagai tingkatan usia. Bermain

bisa memberikan sarana untuk melepaskan diri dari ketegangan dan

stress yang dialami di lingkungan. Dengan bermain anak akan

memperlihatkan emosi dan melepaskan implus yang tidak dapat

diterima dilingkungan. Saat bermain anak mampu mengkomunikasikan

keperluan, keinginan dan rasa takut mereka kepada pengamat yang

tidak dapat mereka katakan karena ketebatasan ketrampilan bahasa

mereka.

2.5.3 Jenis-Jenis Bermain

Bermain ada 2 jenis yaitu :

1. Bermain aktif

Bermain aktif yaitu jika anak ikut berperan aktif dalam permainnya.

Beberapa kegiatan bermain aktif antara lain, anak ikut menyelidki (

ecploratory ) dimana perhatian anak akan tertuju pada alat bermain yang

telah disediakan, anak akan meraba, mencium, meperhatikan, mengocok-

ngocok apakah akan timbul bunyi dan kadang mereka akan

membongkar. Bermain drama peran dengan berbagai macam tokoh

idola mereka seperti polisi, dokter, bermain boneka, dan bermain

masak-masakan. Bermain kontruktif ( constructiion play ) (Alimul

Hidayat, 2008).
32

2. Bermain Pasif

Bermain pasif ialah anak hanya akan melihat gambar dimajalah atau

buku, mendengarkan musik atau cerita dan menonton televisi

(Alimul Hidayat, 2008).

2.6 Pengaruh Penerapan Atraumatic Care Terhadap Kecemasan Anak


Guna mengatasi kecemasan anak selama menjalani hosptalisasi perlu

dilakukan penerapan atraumaic care guna menghindari dampak fisik dan

psiklogis. Konsep atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang

diberikan oleh tenaga kesehatan dalam tatanan kesehatan anak. Atraumatic

care bukan satu bentuk intervensi yang nyata terlihat, melainkan memberi

perhatian pada apa, siapa, dimana, mengapa, dan bagaimana prosedur

dilakukan pada anak dengan tujuan mencegah serta mengurangi stress fisik

dan psikologis (Senja et al., 2020). Dalam penelitian Apriza (2017)

menyatakan bahwa terdapat pengaruh biblioterapi dengan buku cerita

bergambar terhadap tingkat kecemasan efek hospitalisasi pada anak

prasekolah diruangan anak di RSUD Bangkinang. Hal ini karena teknik cerita

bergambar yang disampaikan membuat anak tidak bosan mendengarnya dan

dapat ditambah dengan kelucuan dan hiburan dalam cerita tersebut.

Teknik autraumatic care lainnya yang dapat diberikan pada anak yaitu

teknik distraksi. Hal ini sesuai dengan penelitian (Andayani, 2019) yaitu

teknik distraksi yang dapat digunakan sebagai atraumatic care adalah audio visual.

Implementasi audio visual dengan portabel DVD dapat mengurangi dan

menghilangkan kecemasan pada anak. Teknik distraksi dengan audio visual

efektif karena anak memiliki rasa ingin tahu dengan menggunakan


33

pendengaran, penglihatan, taktil dan efektif meminimalkan distress terkait

dengan tindakan yang menyakitkan.

Anda mungkin juga menyukai