Anda di halaman 1dari 30

KONVERSI ENERGI FOSIL

Pemanfaatan Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dalam Upaya


Mendukung Produksi Energi yang Berkelanjutan

OLEH

ANGELIA HANNA SIRAIT 03320230017


NASMI NASRIANA 03320230041
HUSNUL KHULUQ 03320230053

TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2024
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Energi Fosil
Bahan bakar fosil atau bahan bakar mineral, adalah sumber daya alam yang
mengandung hidrokarbon seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.
Bahan bakar fosil terbentuk karena adanya proses alamiah berupa
pembusukan dari organisme yang mati ratusan juta tahun lalu. Bahan bakar
fosil seperti minyak bumi dan gas alam berasal dari organisme laut yaitu
jasad renik (mikroba, seperti ganggang, alga, diatom, zooplankton,
fitoplankton, dll) yang mati dan mengendap di lapisan sedimen dasar laut.
Endapan ini lantas terbawa ke dasar kerak bumi melalui gerakan lempeng
yang disebut penunjaman (subduksi). Setelah melalui tekanan dan suhu
ekstrem selama berjuta-juta tahun, fosil mereka akhirnya berubah menjadi
substansi berminyak yang bisa dimanfaatkan. Tidak semua makhluk hidup
atau tumbuhan akan menjadi bahan bakar fosil. Sedangkan bahan bakar fosil
seperti batu bara, berasal dari vegetasi tanaman rawa, dari hutan Periode
Devonian dan Karboniferus yang menjadi gambut, kemudian tertimbun jutaan
tahun hingga menjadi batu bara. Bahan bakar fosil termasuk jenis sumber
daya alam yang tidak dapat diperbaharui (dalam waktu singkat), dikarenakan
bahan bakar fosil terbentuk dari proses endapan dan penguraian makhluk
hidup yang membutuhkan waktu jutaan tahun lamanya. Itulah sebabnya,
pemanfaatan dari bahan bakar ini harus dilakukan secara bijak dan
bertanggung jawab. Selain itu juga sumber bahan bakar fosil yang ada lebih
cepat habis dibandingkan dengan terbentuknya yang baru. Penggunaan bahan
bakar fosil yang telah berlangsung lama, dari dulu hingga sekarang ini
menyebabkan timbulnya masalah-masalah lingkungan. Oleh karena itu,
diperlukan gerakan global menuju pembangkitan energi terbarukan agar
bahan bakar fosil tidak cepat habis. Walaupun penggunaan bahan bakar fosil
pada era sekarang telah menggerakkan pengembangan industri dan
menggantikan kincir angin, tenaga air, dan juga pembakaran kayu atau pelat
untuk panas. (Andriansyah, 2022)
Pengertian energi fosil menurut pendapat beberapa ahli ialah sebagai berikut:
a. Menurut Leonardo da vinci (1452-1519), fosil merupakan suatu bukti
adanya makhluk hidup dan kehidupan di masa lalu.
b. Menurut Charles Darwin, berpendapat bahwa kalau makhluk hidup yang
terdapat pada lapisan bumi yang tua akan mengadakan perubahan bentuk
yang di sesuaikan dengan lapisan bumi yang lebih muda. Oleh karena itu,
pada lapisan bumi yang lebih muda ditemukan fosil yang berbeda dengan
lapisan bumi yang lebih tua. Karena adanya perbedaan iklim, tanah, dan
faktor-faktor lain, maka terjadilah perubahan di permukaan bumi secara
bertahap yang menyebabkan adanya perubahan pula pada makhluk hidup
untuk menyesuaikan diri.
c. Menurut George cuvier (1764-1832), memiliki pendapat bahwa pada masa
tertentu telah diciptakan makhluk hidup yang berbeda dari masa ke masa
lainnya. Makhluk hidup dapat diciptakan khusus pada setiap zaman dan
pada setiap zaman tersebut diakhiri dengan kehancuran alam. Setiap
lapisan bumi akan dihuni oleh makhluk hidup yang berbeda dengan
makhluk hidup pada lapisan bumi sebelumnya.
2.2. Jenis-jenis Energi Fosil
Energi fosil memiliki beberapa jenis, yaitu minyak bumi, gas alam, batu
bara dan sebagainya. (Andriansyah, 2022)
a. Minyak bumi
Minyak bumi yang merupakan cairan kental berwarna cokelat gelap dan
kehijauan yang mudah terbakar. Cairan ini juga sering disebut sebagai
emas hitam yang berada di lapisan atas dari sebagian area yang ada
dikerak bumi. Bahan kimia yang terkandung di dalam minyak bumi
adalah berbagai hidrokarbon, sebagian besar dari seri alkana dengan
berbagai varian penampilan, komposisi, dan kemurnian. Minyak bumi
diambil dari sumur minyak yang terdapat di lokasi sumber minyak
dengan melalui berbagai macam proses, yakni proses studi geologi,
analisis, sedimen, karakter, serta struktur sumber. Lalu minyak bumi
tersebut akan diproses di pengilangan minyak yang dipisah-pisahkan
berdasarkan titik didihnya sehingga menghasilkan beraneka ragam jenis
minyak bumi. Bahan bakar tersebut dipergunakan untuk memproduksi
berbagai material yang dibutuhkan oleh manusia. Beberapa jenis bahan
bakar minyak yang terdapat di Indonesia adalah minyak tanah rumah
tangga, minyak tanah industri, pertamax, pertamax racing, pertamax plus,
premium, bio premium, bio solar, solar transportasi, solar industri,
minyak diesel, minyak bakar, dan pertamina DEX
b. Gas alam
Gas alam sering juga disebut sebagai gas bumi atau gas rawa, adalah
bahan bakar fosil berbentuk gas yang terutama terdiri dari metanaCH4. Ia
dapat ditemukan di ladang minyak, ladang gas Bumi dan juga tambang
batu bara. Ketika gas yang kaya dengan metana diproduksi melalui
pembusukan oleh bakteri anaerobik dari bahan - bahan organik selain
dari fosil, maka ia disebut biogas. Sumber biogas dapat ditemukan di
rawa - rawa, tempat pembuangan akhir sampah, serta penampungan
kotoran manusia dan hewan. Gas alam memiliki beberapa jenis seperti :
1. LPG (liquefied petroleum gas) adalah gas yang saat ini digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Gas LPG didapatkan dari proses
pengolahan minyak bumi yang melalui proses kondensasi. Tujuan gas
bumi yang diolah menjadi LPG adalah untuk meringankan
pengangkutan ke konsumen, hal ini dikarenakan volume gas LPG
yang telah melalui proses pencairan akan menjadi lebih ringan
volumenya. Berdasarkan jenisnya, LPG terbagi atas 3 macam, yaitu
LPG Propana, LPG Butana dan LPG Mix (merupakan campuran dari
LPG Propana dan Butana)
2. CNG (compressed natural gas) merupakan gas bumi yang telah
dipampatkan di tekanan yang tinggi agar volumenya menjadi lebih
rendah dari keadaan standarnya. Di Indonesia istilah CNG lebih
dikenal dengan istilah BBG (bahan bakar gas). Adapun tujuan dari
pemampatan ini adalah supaya menghasilkan lebih banyak gas yang
nantinya dapat ditransportasikan tiap satuan volume vessel-nya. Pada
proses transportasi gas alam yang kemudian terbentuk CNG
membutuhkan setidaknya 3 fasilitas yang di antaranya adalah fasilitas
pengiriman, fasilitas transportasi dan fasilitas penerima. Dalam
kehidupan sehari-hari CNG dimanfaatkan sebagai bahan bakar
pengganti kendaraan ringan hingga menengah
c. Batu bara
Batu bara merupakan batuan yang dapat dibakar karena terbentuk dari
endapan organik sisa tumbuhan yang kemudian dibentuk dengan proses
pembatubaraan. Unsur-unsur kimia yang terdapat dalam batu bara adalah
hidrogen, oksigen, dan karbon. Pembentukan energi fosil ini mengalami
proses yang sangat lama dengan mendapatkan pengaruh dari gesekan
panas bumi dan tekanan udara lainnya. Jenis batu bara pun ada dua
macam, yakni batu bara dengan pertambangan darat dan pertambangan
terbuka. Batu bara juga merupakan bahan bakar yang bisa digunakan
sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga uap dan juga bisa
digunakan dalam teknik peleburan logam dan industri.
Batu bara mempunyai beberapa kategori berdasarkan unsur karbon yang
terkandung di dalam batu bara tersebut. Warna batu bara yang semakin
hitam, maka semakin memiliki banyak unsur karbon. Berdasarkan
kandungan karbon itu pula, batu bara mempunyai beberapa jenis seperti:
1. Antrasit, yakni bau bara yang memiliki kadar karbon 86% hingga 98%
2. Bitu minus, yakni batu bara yang memiliki kadar karbon 68% hingga
86%. Bitu minus, merupakan batu bara yang memiliki kadar karbon
hanya sedikit dan lebih banyak kandungan airnya
3. Lignit, yakni batu bara yang mempunyai kadar karbon sebanyak 35%
hingga 75%. Batu bara jenis ini memiliki warna coklat dan dikenal
lunak serta ringan.
4. Gambut, batu bara jenis ini berpori-pori dan mengandung kadar air
hingga 75%
2.3. Prinsip kerja dari energi fosil
Agar pembahasan tidak melebar, maka untuk prinsip kerja konversi energi
fosil menggunakan contoh PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) karena
menggunakan energi fosil berupa batu bara sebagai bahan bakar.
Menurut Dwitama et al., (2023), PLTU adalah jenis pembangkit listrik yang
menggunakan uap sebagai energi untuk menggerakkan turbin dan generator.
PLTU banyak digunakan karena mempunyai biaya bahan bakar yang lebih
murah dan memiliki kemampuan menghasilkan daya listrik yang besar.
Umumnya sumber energi utama yang digunakan dalam PLTU adalah batu
bara. Bahan bakar tersebut diubah menjadi energi panas yang ditransfer ke
air, sehingga air berubah menjadi uap dan membantu memutar turbin untuk
menghasilkan energi mekanik. Energi mekanik tersebut selanjutnya
digunakan untuk menggerakkan generator sehingga dapat menghasilkan
listrik. Setelah uap telah melewati turbin, uap tadi kemudian dikondensasi
mengalami perubahan menjadi air dan di tampung ke dalam wadah bernama
hotwell, kemudian air tersebut disirkulasikan kembali secara terus menerus.

Gambar 2.1 Proses perubahan energi dari PLTU


Sumber : (Dwitama et al., 2023)
Pada gambar 2.1 terlihat proses konversi energi pada PLTU yang terdiri dari
tiga tahap, yaitu :
1. Pengubahan energi kimia yang terdapat dalam bahan bakar menjadi
energi panas, dan diubah menjadi bentuk uap yang bertekanan dan
temperatur tinggi
2. Proses ekspansi uap di turbin yang mengubahnya menjadi energi
mekanik dalam bentuk putaran turbin.
3. Proses transmisi energi mekanik dalam bentuk putaran turbin ke
generator untuk diubah menjadi energi listrik.
Pada proses konversi energi di PLTU, menggunakan komponen-komponen
seperti boiler, turbin, kondensor, dan generator.
a. Boiler, merupakan komponen utama dalam proses pembangkitan energi
listrik termal. Saat terjadi pembakaran bahan bakar di dalam Boiler,
energi panas akan dihasilkan dan dialirkan ke uap. Secara umum, Boiler
terdiri dari tiga bagian penting. Pertama, economizer yang berfungsi
sebagai pemanas awal pada Boiler. Kedua, evaporator yang bertujuan
mengubah fase air menjadi uap. Terakhir, superheater yang berfungsi
untuk melakukan pemanasan lanjut pada uap hingga mencapai suhu yang
diinginkan sehingga mampu menjaga kestabilan sistem turbin dan
meningkatkan efisiensi dalam pembangkitan energi listrik.
b. Turbin uap, memiliki fungsi utama sebagai alat yang mampu mengubah
energi panas pada uap menjadi energi mekanik berupa putaran. Pada
turbin, terdapat poros yang mencakup turbin dengan generator. Sehingga
ketika turbin berputar, poros tersebut juga akan menimbulkan putaran
pada generator. Hal inilah yang membuat turbin uap sebagai salah satu
komponen kunci dalam proses pembangkitan energi listrik pada
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
c. Kondensor, berfungsi untuk mengkondensasi uap keluaran dari turbin
menjadi air kondensat. Uap keluaran turbin melalui pipa-pipa pendingin
kondensor sehingga fasenya berubah menjadi air kembali. Air hasil
kondensasi akan di tampung pada hotwell yang akan disirkulasi kembali
pada Boiler untuk dipanaskan menjadi uap kembali.
d. Generator, berfungsi mengubah energi mekanik menjadi energi listrik
yang akan digunakan pada pabrik, rumah, dan lain-lain.
Selain penjelasan diatas, prinsip kerja PLTU batu bara menurut Satria, S.T.
(2023), dapat dilihat melalui gambar 2.2. dibawah.

Gambar 2.2 Ilustrasi cara kerja PLTU


(Sumber: Satria S.T., 2023)
Keterangan Gambar:
1. Cooling tower
2. Cooling water pump
3. Transmission line 3 phase
4. Transformer 3 phase
5. Generator listrik 3 phase
6. Low-pressure turbine
7. Boiler feed pump
8. Condenser
9. Intermediate pressure turbine
10. Steam governor valve
11. High-pressure turbine
12. Deaerator
13. Feed heater
14. Conveyor batu bara
15. Penampung batu bara
16. Pemecah batu bara
17. Tabung boiler
18. Penampung abu batu bara
19. Pemanas
20. Forced draught fan
21. Preheater
22. Combustion air intake
23. Economizer
24. Air preheater
25. Precipitator
26. Induced air fan
27. Cerobong
Dari gambar diatas, prinsip atau cara kerja dari PLTU batu bara dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Batu bara dari luar dialirkan ke penampung batu bara dengan conveyor
(14) lalu dihancurkan dengan the pulverized fuel mill atau pemecah batu
bara (16) untuk menjadi tepung batu bara
b. Kemudian batu bara halus ini dicampur dengan udara panas (24) oleh
forced draught fan (20) sehingga menjadi campuran udara panas dan
bahan bakar (batu bara).
c. Dengan tekanan yang tinggi, campuran udara panas dan batu bara
disemprotkan kedalam Boiler sehingga akan terbakar dengan cepat
seperti semburan api.
d. Selanjutnya air dialirkan ke atas melalui pipa yang ada dinding Boiler, air
ini akan dimasak dan menjadi uap untuk kemudian dialirkan ke tabung
boiler (17) guna memisahkan uap dari air yang terbawa.
e. Kemudian uap akan dialirkan ke super heater (19) untuk melipat
gandakan suhu dan tekanan uap sampai mencapai suhu 570°C dan
tekanan sekitar 200 bar yang menyebabkan pipa juga berpijar merah.
f. Uap dengan tekanan dan suhu yang tinggi inilah yang menjadi sumber
tenaga turbin tekanan tinggi (11) yang merupakan turbin tingkat pertama
dari 3 tingkatan.
g. Untuk mengatur turbin agar mencapai set point, petugas akan menset
steam governor valve (10) secara manual ataupun otomatis.
h. Suhu dan tekanan uap yang keluar dari turbin tekanan tinggi (11) akan
sangat berkurang drastis, untuk itu uap ini dialirkan lagi ke boiler re-
heater (21) untuk meningkatkan suhu dan tekanan lagi.
i. Uap tersebut akan digunakan sebagai penggerak turbin tingkat kedua atau
disebut turbin tekanan sedang (9) kemudian keluarannya langsung
digunakan untuk menggerakkan turbin tingkat 3 atau yang bertekanan
rendah (6).
j. Uap keluaran dari turbin tingkat 3 mempunyai suhu sedikit diatas titik
didih, sehingga perlu dialirkan ke condensor (8) agar menjadi air untuk
dimasak ulang.
k. Air tersebut akan dialirkan melalui deaerator (12) oleh feed pump (7)
untuk dimasak ulang. Mulanya dipanaskan di feed heater (13) yang
panasnya bersumber dari high pressure set, kemudian ke economiser (23)
sebelum dikembalikan ke tabung boiler (17).
l. Sedangkan air pendingin dari condensor akan disemprotkan kedalam
cooling tower (1) dan inilah yang menyebabkan timbulnya asap air pada
cooling tower. Selanjutnya air yang sudah agak dingin ini dipompa balik
ke condensor sebagai air pendingin ulang.
m. Ketiga turbin digabung dengan shaft yang sama dengan generator 3
phase (5), generator ini selanjutnya membangkitkan listrik tegangan
menengah (20-25 kV).
n. Dengan menggunakan transformer 3 phase (4), tegangan dinaikkan
menjadi tegangan tinggi berkisar 250-500 kV yang kemudian dialirkan
ke sistem transmisi 3 phase.
o. Sedangkan gas buang dari boiler dihisap oleh kipas pengisap (26) agar
melewati electrostatic preipitator (25) untuk mengurangi polusi dan
kemudian gas yang sudah disaring akan dibuang melalui cerobong (27)
2.4. Perhitungan dengan rumus
Dalam pengujian kualitas batubara terdapat beberapa cara dalam melakukan
analisa kualitas batubara. Spesifikasi umum yang diperlukan dalam
pengujian parameter kualitas untuk menspesifikasikan batubara yaitu
parameter total moisture, inherent moisture, ash content, volatile matter,
fixed carbon, dan calorific value. Apabila dikaitkan dengan pemanfaatannya
sebagai bahan bakar, parameter kualitas batubara dapat ditambah dengan
penyebaran ukuran batubara. Hasil analisis dari pengujian parameter
kualitas batubara akan digunakan sebagai dasar dari pengendalian mutu
(quality control). Pengendalian mutu adalah teknik operasional dan kegiatan
yang dilakukan untuk memenuhi persyaratan kualitas. Dengan kata lain,
pengendalian mutu adalah suatu tahapan dalam prosedur yang dilakukan
untuk mengevaluasi suatu aspek teknis pengujian. Perusahaan dalam
menjalankan pengendalian mutu bertujuan untuk memonitor, mengelola,
dan mengevaluasi kualitas batu bara yang diproduksi, dengan tujuan
mencapai spesifikasi batu bara yang telah ditentukan.
(Febryanti & Yulhendra, 2022)
.
Menurut Febryanti & Yulhendra, (2022), penilaian kualitas batu bara
berdasarkan parameter-parameter yang didapatkan berdasarkan analisis
proksimat dan pengujian calorific value. Untuk lebih jelasnya sebagai
berikut:
a. Analisis Proksimat
Analisis proksimat memberikan gambaran jumlah relatif senyawa
organik ringan (volatile), batubara dalam bentuk padat (fixed coal),
kadar air dan anorganik (abu) yang meliputi seluruh komponen batubara
yaitu batubara bersih dan pengotor
b. Kadar Air Total (Total Moisture)
Kadae air totsl adalah banyaknya air yang terkandung dalam batubara
sesuai dengan kondisi lapangan. Kandungan air total sangat dipengaruhi
oleh ukuran butir dan faktor iklim. Kandungan air total dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:
1) Kadar Air Bebas (Free Moisture) adalah kadar air permukaan dan
retakan batubara. Jumlah air bebas dipengaruhi oleh kelembaban
batubara, transportasi, penyimpanan dan distribusi ukuran partikel.
Karena sebagian besar uap air ini berada di permukaan batubara,
semakin besar luas permukaan batubara, semakin besar pula kadar air
bebasnya. Kadar air bebas dapat dihilangkan dengan aerasi atau
pemanasan hingga suhu maksimal 40˚.
2) Kandungan Air Bawaan (Inherent Moisture) Kandungan air bawaan
terdapat pada saat proses pembentukan batubara. Kandungan air bawaan
adalah kandungan air yang terikat secara fisik dalam batubara, pada
struktur pori-pori bagian dalam. Inherent moisture juga disebut moisture
yang dianggap terdapat dalam ronggarongga kapiler dan pori-pori
batubara yang relatif kecil. Secara teori dinyatakan bahwa inherent
moisture terdapat pada kondisi dengan tingkat kelembaban 100% serta
suhu 30º. Moisture yang terkandung dalam batubara dan tidak menguap
atau hilang dengan pengeringan udara pada suhu lingkungan walaupun
batubara tersebut telah digerus sampai ukuran 200 mikron. Untuk
menghilangkannya dengan cara pemanasan dalam oven dengan suhu
105º -110º. Banyaknya jumlah kandungan air bawaan pada batubara
berhubungan dalam penentuan peringkat batubara. Seiring dengan
naiknya peringkat batubara maka kandungan air bawaan pada batubara
akan semakin kecil.
3) Kandungan Abu (Ash Content) Kandungan batubara terdiri dari 3
unsur yaitu air, bahan organik (karbon), dan bahan anorganik (mineral).
Mineral matter terdiri dari dua jenis yang berbeda yaitu bahan anorganik
(mineral asli) dan mineral dari luar batubara (mineral eksternal). Bahan
mineral yang melekat (IMM) yang terkait dengan tanaman rawa, yang
sulit dipisahkan dari karbon, biasanya 0,5-1,0%. Mineral asing (EMM)
dibuat selama penambangan dan ketika dibuat, air diangkut ke dalam
lapisan batubara. EMM dapat dipisahkan dari karbon dengan proses
pencucian.
c. Zat Terbang (Volatile Matter)
Zat terbang adalah jumlah materi yang hilang ketika sampel batubara
dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah proses
penghilangan kadar air). Zat yang mudah menguap terdiri dari gas yang
mudah terbakar (combustible gas) seperti hidrogen, CO dan 𝐶𝐻4 dan
gas yang dapat terkondensasi seperti tar dengan sejumlah kecil gas yang
tidak mudah terbakar seperti 𝐶𝑂2 dan air yang dihasilkan dari dehidrasi
dan kalsinasi. Kelembaban mempengaruhi hasil penentuan VM sehingga
sampel kering oven memberikan hasil yang berbeda dengan sampel
kering udara. Faktor lain yang mempengaruhi penentuan VM adalah
suhu, waktu, distribusi butir dan ukuran butir. Zat-zat yang mudah
menguap berhubungan erat dengan nilai karbon, semakin tinggi
kandungan VM, semakin rendah nilainya. Saat membakar batubara
dengan VM tinggi, ini mempercepat pembakaran fixed carbon (FC).
Sebaliknya, VM rendah mempersulit proses pembakaran. Berdasarkan
National Coal Board (NCB), dibagi empat jenis batubara berdasarkan
parameter VM, yaitu:
1) Volatile dibawah 9,1% dmmmf dengan coal rank 100 yaitu Antrasit.
2) Volatile diantara 9,1-19,5% dmmmf dengan coal rank 200 yaitu Low
Volatile/ Steam Coal.
3) Volatile diantara 19,5-32% dmmmf dengan coal rank 300 yaitu
Medium Volatile Coal.
4) Volatile diantara 32% dmmmf dengan coal rank 400-900 yaitu High
Volatile Coal.
d. Fixed Carbon Karbon tetap (FC) menggambarkan jumlah karbon yang
terkandung dalam bahan sisa setelah komponen volatil dihilangkan. FC
ini mewakili dekomposisi konstituen organik batubara dan senyawa
nitrogen, sulfur, hidrogen dan oksigen yang terserap atau terikat secara
kimia. Setelah dikoreksi untuk abu dan mineral, kandungan FC dapat
digunakan sebagai indeks peringkat batubara dan parameter untuk
mengklasifikasikan batubara. Sebagai bagian dari analisis perkiraan,
Karbon Tetap dihitung dari:
FC = 100 – (A + VM + IM) %..............................(1)
Keterangan:
FC = Fixed Carbon (%)
A = kandungan abu (%)
VM = volatile matter (%)
IM = Inherent moisture (%)
Rasio FC dengan volatile matter (zat terbang) disebut dengan FR
(Fuel Ratio). FR juga dapat digunakan sebagai pegangan untuk
menentukan peringkat batubara dengan rumus:
FR = FC : VM........................................................(2)
Untuk anthracite = (10-60); semi anthracite = (6 -10); subituminous =
(3-7); bituminous = (0,5-3). Semakin tinggi nilai fuel ratio, karbon yang
tidak terbakar semakin banyak.
e. Nilai Kalor Kalor (Calorific Value) adalah jumlah panas yang dihasilkan
ketika sejumlah batubara dibakar. Panas ini merupakan reaksi
eksotermik yang melibatkan senyawa hidrokarbon dan oksigen. Nilai
kalor ditentukan oleh kenaikan suhu selama pembakaran sejumlah
batubara. Nilai kalor batubara dihitung dari selisih suhu pembakaran
awal dan akhir. Nilai kalor adalah jumlah panas yang dihasilkan saat
pembakaran batubara dalam Kcal/kg. Nilai kalori dibagi menjadi dua,
yaitu:
f. 1) Gross Calorific Value (GCV) adalah nilai kalori kotor sebagai nilai
kalor hasil dari pembakaran batubara dengan semua air dihitung dalam
keadaan wujud.
g. 2) Net Calorific Value (NCV) adalah nilai kalori bersih hasil
pembakaran batubara dimana kalori yang dihasilkan merupakan nilai
kalor. Harga nilai kalori bersih ini dapat dicari setelah nilai kalori kotor
batubara diketahui.
2.5. Keuntungan dan kelemahan energi fosil
Menurut Setiawan et al., (2019) , penggunaan energi fosil (batu bara)
memiliki keuntungan sebagai salah satu faktor produksi yanng sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan PDB (produk domestik bruto)
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,83
yang artinya kekuatan hubungan antara keduanya sangat erat. Konsumsi
bahan bakar fosil memberikan pengaruh sebesar 68,41% terhadap PDB
yang artinya setiap kenaikan satu unit satuan pada KBBF memberikan
pengaruh sebesar 68,41%.
Menurut K.S. Ibnu, (2023) , penggunaan dari energi fosil memiliki
keuntungan dan kelemahan. Beberapa keuntungan dan kelemahan dari
energi fosil ialah sebagai berikut:
a. Keuntungan energi fosil
- Ketersediaan dan aksesibilitas tinggi
Energi fosil adalah energi yang sering dikenal karena ketersediaan dan
aksesibilitasnya yang tinggi. Sumber-sumber ini tersebar di seluruh
dunia, memungkinkan banyak negara untuk memenuhi kebutuhan
energi mereka. Hal ini membuat energi fosil menjadi pilihan yang dapat
diandalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan
energi sehari-hari.
- Efisiensi teknologi yang tinggi
Teknologi pembangkit listrik berbasis energi fosil adalah energi yang
telah berkembang pesat, memberikan efisiensi tinggi dalam
mengonversi energi tersebut menjadi listrik. Pembangkit listrik tenaga
batu bara dan pembangkit listrik nuklir, misalnya, memiliki kapasitas
besar dan mampu menyediakan daya listrik secara kontinyu.
- Harga yang relatif terjangkau
Harga relatif terjangkau dari energi fosil menjadi faktor penting dalam
mendukung keberlanjutan ekonomi dan memenuhi kebutuhan energi
masyarakat. Meskipun fluktuasi harga dapat terjadi, energi fosil masih
dianggap sebagai pilihan ekonomis dalam banyak kasus.

b. Kelemahan energi fosil


- Dampak lingkungan
Salah satu tantangan utama dari penggunaan energi fosil adalah
dampaknya terhadap lingkungan. Pembakaran batu bara dan minyak
bumi menghasilkan emisi gas rumah kaca, yang berkontribusi pada
perubahan iklim global. Penggalian dan pengolahan energi fosil juga
dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk pencemaran air
dan kehilangan habitat.
- Ketergantungan pada sumber daya terbatas
Energi fosil bersifat terbatas dan tidak dapat diperbaharui dalam skala
waktu manusia. Ketergantungan berlebihan pada sumber daya ini dapat
mengarah pada kehabisan stok, meningkatkan ketidakpastian pasokan
energi, dan memicu persaingan global untuk sumber daya.
- Peningkatan harga dan ketidakstabilan pasokan
Harga energi fosil dapat sangat fluktuatif karena dipengaruhi oleh
faktor-faktor geopolitik dan ekonomi. Persaingan untuk mendapatkan
akses ke sumber daya dapat menciptakan ketidakstabilan dan konflik di
tingkat internasional.
2.6. Dampak dan efek samping
Penggunaan energi fosil yang dilakukan secara terus-menerus tentunya akan
memiliki dampak dan efek samping. Menurut Andistiara, (2018), dampak
dan efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan energi fosil bisa
berupa dampak terhadap lingkungan dan manusia, beberapa diantaranya
sebagai berikut:
a. Dampak pertambangan batu baru terhadap lingkungan dan Masyarakat
Kebutuhan masyarakat akan penggunaan sumber energi sangat
diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka. Manusia tidak akan bisa
lepas dari penggunaan sumber energi itu sendiri. Saat ini kebutuhan
manusia akan sumber energi semakin besar, maka manusia membuat
berbagai energi alternatif untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Salah satu contoh energi alternatif yang digunakan manusia saat ini
adalah energi yang berasal dari batu bara. Untuk pemanfaatannya batu
bara dapat diolah sebagai Sumber Energi Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU). Porsi dalam penggunaan batu bara masih sangat besar karena
tidak semahal menggunakan energi dari minyak bumi dan gas. Hadirnya
PLTU juga berdampak bagi masyarakat setempat, baik dalam hal
ekonomi maupun kesehatan. Dampak yang terimbas pada lingkungan
sekitar membuat para petani maupun pelaut yang berada di daerah sekitar
industri tersebut marah dan berkurangnya pendapatan mereka
dikarenakan limbah ataupun polusi yang dihasilkan oleh industri tersebut.
Bukan hanya itu, bahkan untuk daerah Kalimantan sendiri terdapat
beberapa lubang galian yang belum direklamasi. Di laut juga
menimbulkan pengrusakan terumbu karang dan menyebabkan biota laut
mati dikarenakan polusi yang dihasilkan. Dengan alasan itulah kemudian
lahir gelombang protes yang dilakukan masyarakat untuk menuntut hal
tersebut. Kalimantan Timur merupakan salah satu penghasil tambang
terbesar di Indonesia, dan menjadi potensi sumber daya alam yang
melimpah. Batu bara adalah salah satu hasil tambang yang berskala besar
setiap tahunnya, dan menjadi produk andalan di Kalimantan Timur.
Namun batu bara adalah sumber daya alam yang tidak dapat di
perbaharui, sehingga keberadaannya terus dijaga dan berusaha di kelola
dengan baik agar sumber daya alam ini tetap ada.
Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan tanah yang kaya akan hasil
bumi yang berupa minyak, gas, dan batu bara. Luas Kutai Kartanegara
mencapai 27.000 kilo meter persegi dan 77% di antaranya saat ini
menjadi wilayah lahan konsensi migas dan batu bara. Luasnya lahan
pertambangan di Kutai Kartanegara nyatanya juga berdampak bagi
mereka yang hidup di sekitar tambang. Saat ini ada tiga dusun yang
hilang akibat aktivitas pertambangan di wilayah Kutai Kartanegara.
Bahkan saat ini ada satu desa yang seakan terancam hilang di telan oleh
pertambangan di sekitar desa mereka, yakni desa mulawarman. Desa
Mulawarman di buka oleh pemerintah pada tahun 1981 untuk para
transmigran, awalnya desa mulawarman memiliki luas 2000 hektar, 500
hektar untuk tambang dan 1500 hektar untuk persawahan dan ladang
warga. Namun kini luas desa telah menurun drastis dan hanya tersisa 87
hektar saja, karena di akibatkan oleh pertambangan yang semakin meluas
dan mengancam ketahanan pangan, serta akan berdampak pada
kerusakan rumah-rumah yang bersebelahan langsung dengan area
pertambangan yang ada di desa mulawarman, yang memiliki dampak
yang luar biasa bagi warganya. Kini hanya ada 7 hektar saja lahan sawah
yang bisa di garap warga karena di akibatkan oleh aktivitas
pertambangan . Kalimantan sekarang ibarat pulau kotor yang banyak
menyimpan kekesalan karena ulah manusia, tanahnya tandus dan airnya
beracun. Hidup di sini pun seperti sudah hilang harapan untuk menikmati
alamnya yang banyak didambakan banyak orang seperti dulu. Selain
mencemari lingkungan mulai dari pencemaran udara, pencemaran air,
tanah dan sebagainya, dari lokasi bekas pertambangan batu bara juga
terus memakan lebih banyak tumbal serta korban jiwa. Tidak hanya itu
dampak lain pun kerap terjadi akibat dari pertambangan yakni:
- Air, penambangan batu bara secara langsung menyebabkan pencemaran
air, yaitu dari limbah pencucian batu bara tersebut dalam hal memisahkan
batu bara dengan sulfur. Limbah pencucian tersebut mencemari air
sungai sehingga warna air sungai menjadi keruh, asam, dan
menyebabkan pendangkalan sungai akibat endapan pencucian batu bara.
- Tanah, tidak hanya air yang tercemar, tanah juga mengalami
pencemaran akibat pertambangan batu bara ini, yaitu terdapatnya lubang-
lubang besar yang tidak mungkin ditutup kembali yang menyebabkan
terjadinya kubangan air dengan kandungan asam yang sangat tinggi. dan
tingkat kesuburan tanah akan semakin tercemar akibat pencemaran tanah
tersebut maka tumbuhan yang ada di atasnya akan mati.
- Udara, penambangan batu bara menyebabkan polusi udara, hal ini
diakibatkan dari pembakaran batu bara. Menghasilkan gas nitrogen
oksida yang terlihat cokelat dan juga sebagai polusi yang membentuk
hujan asam dan tipe lain dari polusi yang dapat membuat kotor udara.
Selain itu debu-debu hasil pengangkatan batu bara juga sangat berbahaya
bagi kesehatan, yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit infeksi
saluran pernafasan , dan dalam jangka panjang jika udara tersebut terus
dihirup akan menyebabkan kanker, dan kemungkinan bayi lahir cacat.
- Hutan, penambangan batu bara dapat menghancurkan sumber-sumber
kehidupan rakyat karena lahan pertanian yaitu hutan dan lahan. Hal ini
disebabkan adanya perluasan tambang sehingga mempersempit lahan
usaha masyarakat, akibat perluasan ini juga bisa menyebabkan terjadinya
banjir dan longsor karena hutan di wilayah hulu yang semestinya menjadi
daerah resapan air telah dibabat habis.
- Laut, pencemaran air laut akibat penambangan batu bara terjadi pada
saat aktivitas bongkar muat dan tongkang angkut batu bara. Selain itu,
pencemaran juga dapat mengganggu kehidupan hutan Mangrove dan
biota yang ada di sekitar laut tersebut.
b. Dampak pengunaan minyak bumi secara terus menerus
Penggunaan minyak bumi secara terus menerus memiliki dampak dan
efek samping berupa :
- Efek pada Kesehatan
Karbon monoksida (CO) yang dihasilkan dari pembakaran tidak
sempurna akan sangat berbahaya jika gas tersebut masuk ke dalam
darah melalui pernafasan. Karbon monoksida (CO) akan bereaksi
dengan hemoglobin dan membentuk karboksihemoglobin (COHb),
yang mana seharusnya hemoglobin mengikat oksigen untuk keperluan
sel-sel pada jaringan tubuh. Namun gas karbon monoksida (CO) bahkan
dapat menyerang hemoglobin yang telah mengikat oksigen, sehingga
menyebabkan tubuh kekurangan oksigen yang akan diangkut oleh
hemoglobin. Kekurangan oksigen dalam darah ini dapat menyebabkan
gangguan syaraf, refleks yang lambat dan masih banyak lagi.

- Efek pada Lingkungan


Dampak atau efek samping bagi lingkungan dari penggunaan minyak
bumi secara terus-menerus ialah menimbulkan efek rumah kaca dan
hujan asam.
Efek rumah kaca merupakan suatu gambaran dimana panas matahari
terperangkap di dalam atmosfer bumi. Rumah kaca merupakan suatu
bangunan yang biasanya digunakan untuk bercocok tanam. Bangunan
ini memiliki kemampuan menangkap panas matahari sehingga dapat
menghangatkan bagian dalam rumah kaca tersebut saat musim dingin.
Dengan demikian kaca tersebut dapat disamakan dengan gas-gas yang
ada di atmosfer dan rumah kaca disamakan dengna gambaran bumi.
Oleh sebab itu rumah kaca digunakan sebagai istilah untuk mewakili
peristiwa ini. Sinar matahari yang masuk ke permukaan bumi sebagian
akan diserap dan sebagiannya lagi dipantulkan. Karbon dioksida yang
dihasilkanoleh pembakaran kendaraan, pabrik dan lain sebagainya
disebut gas rumah kaca yang membentuk lapisan tak berwarna yang
kemudian menyelimuti bumi. Lapisan yang mengandung gas rumah
kaca tersebut memiliki sifat dapat ditembus oleh sinar matahari tetapi
tidak dapat memantulkannya kembali ke udara, sehingga sinar matahari
tersebut terperangkap. Sinar matahari yang terperangkap akan
menyebabkan kenaikan suhu pada bumi. Jika hal ini terus menerus
terjadi maka suhu bumi akan mengalami peningkatan suhu setiap
tahunnya. Peningkatan suhu ini akan mengakibatkan perubahan iklim,
mencairkan es di kutub, perubahan siklus hidup flora dan fauna dan
masih banyak lagi.
Hujan asam merupakan peristiwa hujan yang memiliki pH dibawah 7,
umumnya pH 5,6. Peristiwa ini terjadi karena adanya pencampuran gas
sulfur dioksida dengan gas nitrogen dioksida yang bereaksi dengan uap
air di atmosfer. Hujan ini umumnya bersifat alami da nada juga yang
disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti hasil dari pembakaran
kendaraan, industri dan lain-lain. Rusaknya tumbuhan, kadar asam yang
tinggi dapat merusak daun yang terdapat pada tumbuhan sehingga
tumbuhan akan kesulitan melakukan fotosintesis. Dapat meningkatkan
keasaman laut, jika hal ini terus menerus terjadi maka akan berdampak
pada pH laut, sehingga ekosistem di laut menjadi terganggu, juga
rusaknya bangunan, khususnya yang berbahan besi akan lebih cepat
mengalami korosi.
c. Pencemaran udara
(Andistiara, 2018)Menurut PP Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999
dalam Bab 1 Pasal 1 tentang Pengendalian Pencemaran Udara,
menyebutkan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara
ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien sampai
tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi
fungsinya. Sedangkan menurut Mukono (2005), pencemaran udara
adalah adanya bahan polutan di atmosfer dalam konsentrasi tertentu.
Sehingga bahan polutan tersebut dapat dideteksi oleh manusia serta
memberikan efek kepada makhluk hidup dan material. Pencemar udara
dibedakan menjadi pencemar primer dan pencemar sekunder. Pencemar
primer adalah pencemar yang berada di udara dalam bentuk hampir sama
seperti saat dibebaskan ke udara. Sedangkan pencemar sekunder
merupakan pencemar yang sudah mengalami perubahan bentuk karena
hasil reaksi tertentu antar pencemar atau dengan kontaminan di udara.
Pencemaran udara dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu
pergesekan permukaan, penguapan, dan pembakaran. Pergesekan
permukaan adalah penyebab utama pencemaran partikel padat diudara
dan ukurannya dapat bermacam-macam. Sedangkan penguapan adalah
perubahan fase cairan menjadi gas. Polusi udara banyak disebabkan oleh
zat-zat yang mudah menguap, seperti pelarut cat dan perekat.
Pencemaran udara ditandai dengan terjadinya penurunan kualitas udara
yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Menurut Kusminingrum et
al. (2008), gas-gas pencemar udara juga dapat menimbulkan efek
terhadap pemansan global. Salah satu gas pencemar udara yang
berkontribusi terhadap pemanasan global adalah NOx. (Andistiara, 2018)
2.7. Project Carbon Capture Storage (CCS)
Menurut Prasetyo & Windarta, 2022, CCS merupakan cara dalam mencegah
CO2 dalam jumlah banyak yang terlepas ke dalam atmosfer yang dihasilkan
dari berbagai industri, terutama industri migas. Penangkapan CO 2 di
atmosfer, mengompresinya untuk transportasi dan kemudian dimasukkan ke
dalam formasi batuan yang sangat dalam dan juga dapat digunakan untuk
meningkatkan produksi migas dan mengurangi polusi di Indonesia.
Penelitian dan pengembangan CCS di Indonesia harus dikembangkan
dengan baik agar dalam kerangka kerja penerapan CCS dapat lebih efisien
untuk mendukung adanya produksi energi berkelanjutan dalam negeri.
Tantangan dalam pengembangan CCS di Indonesia adalah regulasi
pemerintah yang kurang jelas, biaya yang diperlukan dalam pengembangan,
infrastruktur dan lingkungan sekitar yang akan dijadikan tempat
penyimpanan CO2.
Kesempatan untuk mengembangkan CCS di Indonesia cukup besar jika
dilihat dari lokasi penyimpanan pada sumur tua yang sudah lama
ditinggalkan. Namun, diperlukan sosialisasi mengenai keselamatan dan
keamanan operasi CCS terhadap masyarakat Indonesia. Manfaat CCS dalam
produksi energi berkelanjutan di antaranya membantu meningkatkan akses
energi dengan harga terjangkau, handal, berkelanjutan, dan modern bagi
semua masyarakat, memastikan bahwa kesejahteraan dirasakan semua
lapisan masyarakat, dapat menciptakan lapangan pekerjaan, memperpanjang
umur infrastruktur yang ada, berkurangnya biaya operasional penyediaan
listrik, dan memberikan pengetahuan untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi berbasis inovasi.

Gambar 2.3. Emisi GRK sektor industri


(Sumber : Prasetyo & Windarta, 2022)
Dari gambar 2.3 diatas, meningkatnya emisi karbon yang berasal dari bahan
bakar fosil menyebabkan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk
mengurangi emisi gas karbon dioksida (CO 2) dari konsumsi bahan bakar
fosil sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Ada dua kemungkinan
skenario energi yang diharapkan dapat membantu merealisasikan komitmen
yang dibentuk, yaitu skenario “business as usual” dan kebijakan energi
nasional. Skenario kebijakan energi nasional ini, berdasarkan hasil
kesepakatan Indonesia dalam Paris Agreement tahun 2016, dimana
pengurangan emisi CO2 hingga 26% melalui peningkatan bauran energi,
pengurangan ketergantungan bahan bakar berbasis karbon, dan penyebaran
sumber energi terbarukan dari tahun 2020 hingga 2050. Namun, hal tersebut
tidak mencukupi untuk mengurangi emisi CO 2 lebih lanjut, sehingga
pemerintah menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).
Pengaplikasian mengenai CCS di Indonesia belum ada, namun dari
beberapa penelitian sudah melakukan pengumpulan data-dqata yang di
mana bertujuan untuk melihat peluang, tantangan, efek terhadap lingkungan,
serta pengaruh CCS terhadap proses produksi energi berkelanjutan di sektor
industri Indonesia. Teknologi CCS bertujuan untuk menangkap sebanyak
85% emisi CO2 dari pembangkit listrik dan industri lain sebelum di transport
melalui pipa atau kapal dan disimpan sedalam 700m di bawah permukaan
bumi.
2.7.1. Teknologi Carbon Capture Storage
Menurut Prasetyo & Windarta, (2022), carbon capture storage yang mana sering
disebut sebagai carbon capture and sequestration, ialah suatu cara untuk
mencegah CO₂ dalam jumlah banyak terlepas ke dalam atmosfer. Teknologi
ini mencakup penangkapan CO₂ yang diproduksi oleh pabrik industri yang
besar, mengompresinya untuk transportasi dan kemudian memasukkannya ke
dalam formasi batuan yang sangat dalam dengan hati-hati, dimana itu adalah
penyimpanan permanen

Gambar 2.4 Ilustrasi CCS


Ada tiga jenis cara capture yaitu pre-combustion, post combustion dan oxyfuel
combustion.
1) Pre-Combustion
Sistem Pre-combustion adalah proses penangkapan CO₂ dari bahan bakar
fosil yang terjadi sebelum proses pembakaran. Sistem Pre-combustion ini
memproses bahan bakar utama dengan uap dan udara ataupun dengan
oksigen dalam reaktor untuk menghasilkan campuran yang terdiri dari
karbon monoksida (CO) dan H₂ (gas sintesis) sebagai komponen utamanya
(IEA, 2013, IPCC, 2005).
2) Post Combustion
Sistem Post-combustion adalah memisahkan CO₂ dari gas buang yang
dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar utama di udara. Sistem ini
biasanya menggunakan pelarut cair untuk menangkap sebagian kecil dari
CO₂ (biasanya 3% – 15% volume) yang ada dalam aliran gas buang di
mana konstituen utamanya adalah nitrogen (dari udara) (IEA, 2013, IPCC,
2005).
3) Oxyfuel Combustion
Pada sistem ini menggunakan oksigen murni untuk menghasilkan gas
buang yang berupa uap air dan CO₂ dengan konsentrasi CO₂ yang lebih
tinggi daripada uap airnya (lebih dari 80% volume). Dalam sistem ini uap
air hasil dari gas buang, kemudian dihilangkan dengan cara mendinginkan
dan mengompresi aliran gas. Oxyfuel combustion memerlukan pemisahan
oksigen dari udara dengan kemurnian 95-99% sedangkan untuk
menghilangkan polutan udara dan gas non-terkondensasi (seperti nitrogen)
dari gas buang CO₂, diperlukan penanganan lebih lanjut sebelum dikirim
ke penyimpanan. Secara teori, teknologi ini lebih sederhana dan lebih
murah daripada proses absorbsi, namun salah satu kelemahannya adalah
untuk dapat menghasilkan aliran oksigen murni dibutuhkan biaya yang
lebih tinggi.
Cara ini dinamakan CO₂ Capture dan dapat menangkap sekitar 90% dari emisi
CO₂. Kemudian CO₂ dikompresi dan diangkut ke sebuah lapangan penyimpanan
yang sesuai. Transportasi umumnya dilakukan di pipa. Transportasi kapal juga
merupakan pilihan untuk transportasi CO₂ lepas pantai. CO₂ yang disuntikkan ke
dalam lapangan penyimpanan yang sesuai jauh di bawah tanah. Lapangan
penyimpanan harus memenuhi formasi geologi yang menjamin penyimpanan
yang aman dan permanen. Penyimpanan dapat mengambil tempat di bekas ladang
minyak & gas (depleted) atau formasi garam dalam (deep saline).

Gambar 2.5 Diagram alur skematik CCS sederhana


(Sumber : (Prasetyo & Windarta, 2022)
CO₂ akan diangkut terutama di pipa dalam bentuk cair. Hal ini membuat
transportasi yang lebih efisien dan membutuhkan pipa yang lebih kecil
daripada jika diangkut sebagai gas. Di Inggris, CO₂ akan diangkut melalui
jaringan pipa yang dibangun (baik on dan offshore) atau bekas jaringan pipa
gas alam, untuk penyimpanan yang aman jauh di bawah dasar laut. Setelah
melewati proses penangkapan CO₂, kemudian CO₂ dapat disimpan dalam
reservoir geologi yang sesuai, seperti saline acquifers, reservoir gas dan
minyak bumi, dan lapisan batubara yang tidak dapat diakses.
(GLOBAL CCS INSTITUTE, 2011)

2.7.2. Pemanfaatan CCS di Indonesia


Gambar 2.6 Konsumsi Bahan Bakar Fosil sesuai Skenario NEP
(Sumber : Prasetyo & Windarta, 2022)
Dari gambar 2.6 diatas, menunjukkan tren konsumsi bahan bakar fosil dan
kaitannya dengan emisi CO₂ di Indonesia. Konsumsi bahan bakar fosil
mengalami peningkatan dari 53,4 MTOE pada tahun 1990 menjadi 154,93
MTOE pada tahun 2013, ketika pangsa minyak sekitar 50–60%. Skenario NEP
akan berkurang pangsa minyak menjadi 25% – 30%, tetapi konsumsi bahan
bakar fosil secara keseluruhan seharusnya meningkat menjadi 690 MTOE pada
tahun 2050. Peningkatan konsumsi bahan bakar fosil ini akan disertai dengan
timbulnya emisi CO₂. Pada tahun 1990, emisi CO₂ adalah 133,9 MTOE, yang
meningkat menjadi 133,9 MTOE pada tahun 2013. Pada tahun 2030 dan 2050
diperkirakan masing-masing akan mencapai 1000,6 MTOE dan 2065,98
MTOE.
Meskipun skenario NEP bertujuan untuk meningkatkan pangsa sumber energi
terbarukan, itu tidak akan cukup untuk mencapai pengurangan emisi CO₂
secara keseluruhan sebesar 26% pada tahun 2020. Hasilnya, CCS harus
diterapkan sebagai alat untuk mengurangi emisi CO₂ secara signifikan,
khususnya emisi CO₂ dari minyak dan gas, listrik, dan sektor industri. Pada
Gambar diatas menunjukkan prediksi bagaimana emisi CO ₂ dapat berubah jika
CCS diterapkan di masa depan.
Prediksi emisi CO₂ akan berubah secara signifikan dengan peningkatan
pengurangan emisi dari 6% pada tahun 2025 menjadi 37% pada tahun 2050
jika aplikasi CCS telah diterapkan. Estimasi ini didasarkan pada asumsi
teknologi penangkapan karbon yang akan diterapkan pada sumber titik-titik
CO₂ (fasilitas industri, listrik pabrik, dan manufaktur) dan mempertimbangkan
kapasitas CCS dan efisiensi (UCL Energy Institute, 2013) termasuk potensi
penerapan CCS di Indonesia. Penerapan CCS tidak hanya mengurangi emisi
CO₂ tetapi juga berpotensi untuk memisahkan pertumbuhan ekonomi dari
CO₂. Namun, pengembangan mengenai CCS belum berkembang dengan baik.
Menurut penelitian Best, dkk. (2011) yang bekerja sama dengan LEMIGAS,
melakukan penelitian mengenai status perkembangan CCS di Indonesia. Hasil
penelitian mengungkapkan bawah peraturan dan aspek hukum mengenai
pengoperasian dan pengelolaan proyek CCS dalam jangka panjang harus
dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia. Pemanfaatan teknologi CCS di
Indonesia, hanya berfokus untuk meningkatkan produksi di sumur – sumur tua
minyak dan gas yang tersebar di beberapa lokasi di Indonesia. Sehingga,
potensi penyebaran CCS di Indonesia terbukti ada, khususnya dalam hal
penyimpanan CO₂ yang berkaitan dengan enhanced oil recovery. Namun,
untuk mewujudkan potensi ini, dibutuhkan dana yang besar dan membuat
regulasi dari pemerintah untuk CCS. (Prasetyo & Windarta, 2022)
DAFTAR PUSTAKA
Andistiara, N. (2018). Kajian Dampak Proses Eksplorasi dan Produksi Gas Alam terhadap
Lingkungan dengan menggunakan Metode Life Cycle Assessment (LCA).
https://www.academia.edu/82837600/Kajian_Dampak_Proses_Eksplorasi_dan_Produks
i_Gas_Alam_terhadap_Lingkungan_dengan_menggunakan_Metode_Life_Cycle_Assess
ment_LCA_
Andriansyah, R. (2022). Makalah Energi Fosil. Makalah Energi Fosil.
https://www.academia.edu/75661483/Makalah_Energi_Fosil
DWITAMA, A., Widayat, W., & Utomo, M. S. K. T. S. (2023). PENGARUH
JUMLAH PLUGGING TUBE HIGH PRESSURE FEEDWATER HEATER
TERHADAP EFISIENSI PLTU 400 MW.
Febryanti, J., & Yulhendra, D. (2022). Analisis Penentuan Kualitas Batubara
Berdasarkan Uji Proksimat di PT. Pelabuhan Universal Sumatera Kabupaten
Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Journals Mining Engineering : Bina Tambang,
7(3), 143–150. https://doi.org/10.24036/BT.V7I3.120574
GLOBAL CCS INSTITUTE. (2011). Accelerating the uptake of CCS: industrial use of
captured carbon dioxide - Global CCS Institute.
https://www.globalccsinstitute.com/resources/publications-reports-research/
accelerating-the-uptake-of-ccs-industrial-use-of-captured-carbon-dioxide/
K.S. Ibnu. (2023). Energi Fosil Adalah: 3 Keuntungan dan Tantangan dalam Era
Modern - Belajar Energi. https://belajarenergi.com/energi-fosil-adalah-3-
keuntungan-dan-tantangan/
Prasetyo, A. W., & Windarta, J. (2022). Pemanfaatan Teknologi Carbon Capture
Storage (CCS) dalam Upaya Mendukung Produksi Energi yang Berkelanjutan.
Jurnal Energi Baru Dan Terbarukan, 3(3), 231–238.
https://doi.org/10.14710/JEBT.2022.14509
Satria S.T., U. (2023). Cara Kerja Sistem PLTU Bahan Bakar Batu Bara - AMG.
https://andalasmitraglobal.com/cara-kerja-sistem-pltu-batu-bara/
Setiawan, A., Tua, D. P., & Husin, M. K. E. (2019). Pengaruh konsumsi bahan bakar
fosil terhadap produk domestik bruto Indonesia dan hubungan timbal balik di
antara keduanya. Jurnal Teknologi Mineral Dan Batubara, 15(3), 213–223.
https://doi.org/10.30556/JTMB.VOL15.NO3.2019.931

Anda mungkin juga menyukai