Anda di halaman 1dari 17

Regulasi Konten Digital yang Bertanggung Jawab:

Harmonisasi Hukum dan Etika

Disusun Oleh:

NO Nama NIM Keterangan Tugas

1. Ilham Sadesra Penanggungjawab dan merangkum


12240311308
materi
2. Febian Penanggung jawab 2 dan mencari
12240311699
referensi
Arya Restu Wirya
3. 12240313070 Mencari Referensi dan Teori
Sentana
4. Bayu Suwito 12240314457 Merangkum materi dan parafrase
Feza Akdayori
5. 12240311133 Mengetik dan Merangkum materi
Putra
Gibran Wahyu
6. 12240310322 Mengetik/menyusun, mencari judul
Nirwana dan menerjemahkan

7. Harits Puja Alif 12240313109 Mengetik, membantu mencari


referensi
Muhammad
8. 12240313681 Mengetik dan menyusun
Aldiansyah
Muhammad Rizky
9. 12240311200 Mencari teori dan merangkum materi
Brilliant
Muhammad Rizky
10. 12240311117 Mencari referensi dan parafrase
Rizaldy
11. Rizky Ramadhan 12240311214 Merangkum materi dan Parafrase

12. Yusup Ibrahim 12240311769 Mencari referensi dan merangkum


materi
Kelas 3 PR-D Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

2023
Regulasi Konten Digital yang Bertanggung Jawab: Harmonisasi
Hukum dan Etika

Responsible Digital Content Regulation: Harmonizing Law and Ethics

(Kelompok Laki-Laki)
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, Pekanbaru, Indonesia

Abstract

This research explores legal and ethical challenges in the context of social
engineering in the digital world with a focus on aspects of the spread of false
information and child protection. Using normative and descriptive analytical
research methods, secondary data is used as a source of information to
investigate the impact of social engineering on digital communication ethics. The
research results show that digital communication norms are disrupted by the
practice of spreading false information and strengthening filter bubbles.
Communication law and ethics theory provides a foundation for identifying risks
and formulating protective approaches, with digital ethics education a key
element in addressing these challenges.

Keyword: Communication, Digital, Law. Ethic

Abstrak

Penelitian ini mengeksplorasi tantangan hukum dan etika dalam konteks rekayasa
sosial di dunia digital dengan fokus pada aspek penyebaran informasi palsu dan
perlindungan anak. Dengan menggunakan metode penelitian normatif dan
deskriptif analitis, data sekunder digunakan sebagai sumber informasi untuk
menyelidiki dampak rekayasa sosial terhadap etika komunikasi digital. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa norma-norma komunikasi digital terganggu oleh
praktek menyebarkan informasi palsu dan memperkuat filter bubble. Teori hukum
dan etika komunikasi memberikan landasan untuk mengidentifikasi risiko dan
merumuskan pendekatan perlindungan, dengan pendidikan etika digital sebagai
elemen kunci dalam mengatasi tantangan ini.

Kata Kunci: Komunikasi, Digital, Hukum, etika


Pendahuluan

Di era revolusi digital yang tengah bergemuruh, terjadi perubahan besar


dalam cara manusia berkomunikasi dan mengungkapkan pandangan mereka.
Cyberspace merupakan produk digital terkini yang memiliki kemampuan unik
untuk melintasi batas-batas tradisional ruang dan waktu1. Salah satu karakteristik
utama dari cyberspace adalah kemampuannya untuk mengatasi pembatasan
wilayah teritorial yang biasa membatasi posisi negara dalam konteks fisik. Dalam
era ini, dimana informasi dan interaksi berbasis digital menjadi semakin dominan,
cyberspace memungkinkan akses dan komunikasi tanpa terikat oleh batasan
geografis.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang menjadi pondasi demokrasi,


kini terlibat dalam dinamika rekayasa sosial yang kompleks di dunia digital 2.
Semakin meluasnya penetrasi teknologi informasi muncul sejumlah tantangan
serius yang menyertainya. Fenomena seperti cyberbullying, penyebaran berita
palsu (hoax), Hoax merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
informasi palsu, fitnah, atau jenis berita tidak benar lainnya. Keberadaan hoax telah
menyebabkan ketidaknyamanan di masyarakat dan bahkan dapat merusak
kesatuan3. Hoax banyak terjadi di media social, Media sosial berfungsi sebagai
platform yang bermanfaat untuk mempermudah interaksi sosial antarindividu4.

kebocoran data pribadi yang sering terjadi, dan tindakan diskriminatif yang
dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, semuanya merupakan situasi
nyata yang terkait erat dengan pelanggaran hukum. Keberadaan permasalahan ini
menyoroti kompleksitas dan dampak negatif yang dapat timbul akibat kemajuan
pesat dalam teknologi komunikasi 5.

1
Utomo, “TANTANGAN HUKUM MODERN DI ERA DIGITAL.”
2
Bahram, “TANTANGAN HUKUM DAN ETIKA (REKAYASA SOSIAL TERHADAP KEBEBASAN
BERPENDAPAT DI DUNIA DIGITAL).”
3
Pakpahan, “Analisis Fenomena Hoax Diberbagai Media Sosial Dan Cara Menanggulangi Hoax.”
4
Kurniawati, “Pertanggungjawaban Pidana Atas Penyebaran Berita Bohong Hoax Di Media Sosial.”
5
Hans Karunia H, “Etika Dan Regulasi Industri Komunikasi: Studi Kasus Pada Regulasi Privasi Data
Digital Di Indonesia,” Open Journal Systems, 18.1 (2023)

<http://binapatria.id/index.php/MBI/article/view/458>.
Hal yang sama juga disematkan oleh Udiyo Basuki dkk bahwa
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah memberikan dampak
signifikan pada cara berkomunikasi dan menyebarkan informasi, tetapi sayangnya,
fenomena yang semakin marak adalah penyebaran berita palsu atau hoax, terutama
melalui jejaring media sosial online6. Penyebaran hoax merupakan dampak dari
perilaku mekanis yang muncul sebagai konsekuensi dari masifnya teknologi dan
media sosial. Kemudahan dalam menerima, berbagi, dan memberikan komentar
melalui platform media sosial menjadi pemicu utama terjadinya fenomena ini.7

Pelanggaran ini adalah buah dari buntut sugudang permalasahan yang


hadapi oleh Bangsa Indonesia yang salah satunya adalah kurangnya literasi digital8.

Menurut Institute Management Development (IMD) dalam Antonius


Havik9 temuan surveinya mengenai Global World Digital Competitiveness Index
pada tahun 2020, yang fokus pada literasi digital. Hasil survei tersebut
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-53 dari 63 negara yang menjadi subjek
survei. Pada awal tahun 2022, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo)
menjalin kerja sama dengan Katadata Insight Center (KIC) untuk merilis hasil
survei literasi digital Indonesia pada tahun 2021. Survei ini melibatkan partisipasi
dari 10 ribu responden yang tersebar di 34 provinsi, mencakup 514 kabupaten/kota.
Responden yang terlibat dalam survei ini merupakan anggota rumah tangga dengan
rentang usia 13-70 tahun dan telah mengakses internet dalam kurun waktu 3 bulan
terakhir. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia
berada pada skor 3,49, dengan skala skor indeks berkisar dari 0 hingga 5.
Berdasarkan penilaian tersebut, Indonesia masih terkategori dalam kategori literasi
digital yang berada pada tingkat sedang.

Kebebasan untuk menyuarakan pendapat dan mengungkapkan ide-ide


secara bebas kini ditempatkan dalam konteks yang berbeda, di mana interaksi sosial
tak terelakkan dengan pengaruh teknologi. Dalam kerangka inovasi digital, tatanan

6
Hernowo and Saputra Pratama Erawan, “Divine Tobacco: A Paradox Among Health Fascism.”
7
Basuki and R.Hendradi, “Strategic Measures to Determine Hoax: A Policy and Legal Approach.”
8
Naufal, “Literasi Digital.”
9
Antonius Havik, “Analisis Hukum Terhadap Instrumen Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan
Akselerasi Literasi Digital.”
komunikasi tradisional bercampur aduk dengan platform-platform daring, media
sosial, dan alat-alat komunikasi modern lainnya. Meskipun terjadi pergeseran
fungsi dan peran, terdapat kecenderungan bahwa netizen kini memiliki kendali
penuh terhadap produksi dan distribusi informasi. Mereka memiliki kebebasan
untuk memilih jenis informasi yang ingin mereka akses dan dari sumber mana
informasi tersebut diperoleh. Namun, sayangnya, kebebasan ini tidak selalu
menghasilkan dampak positif. Sebaliknya, telah terjadi pergeseran arah yang
awalnya diharapkan positif menjadi lebih negatif 10. Ruang media yang semestinya
menjadi sarana pembelajaran dan pencerahan bersama justru menjadi tempat untuk
memamerkan sikap acuh-tak-acuh, amarah dan kebencian11, mengelola masalah
ini seringkali lebih menantang dan menghadapi tantangan hukum di negara-negara
di mana undang-undang tidak sepenuh menanganinya12.

Dalam konteks yang begitu dinamis ini, penelitian menjadi semakin penting
untuk menjelajahi implikasi, tantangan, dan peluang yang muncul dari perubahan
ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki lebih lanjut dampak
revolusi digital terhadap kebebasan berpendapat dan ekspresi, serta bagaimana
dinamika rekayasa sosial di dunia digital memengaruhi proses-proses
demokratisasi. Dalam konteks ini, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki
"Tantangan Harmonisasi Hukum dan Etika: Rekayasa Sosial terhadap Kebebasan
Berpendapat di Dunia Digital.

Kajian Pustaka

Rekayasa Sosial di Era Digital

13
Menurut Cialdini dalam Bahram Rekayasa sosial di dunia digital merujuk pada
usaha yang sengaja dilakukan untuk memanipulasi persepsi, sikap, dan perilaku

10
Maria Herawati, “Penyebaran Hoax Dan Hate Speech Sebagai Representasi Kebebasan
Berpendapat.”
11
Sudibyo, “Media Sosial , Demokrasi Dan Problem Etika.”
12
Bari and Taufik, “Implikasi Hukum Dan Sosial Dari Kriminalisasi Cyberbullying : Tinjauan
Terhadap Perlindungan Korban Dan Tersangka.”
13
Bahram, “TANTANGAN HUKUM DAN ETIKA (REKAYASA SOSIAL TERHADAP KEBEBASAN
BERPENDAPAT DI DUNIA DIGITAL).”
masyarakat melalui berbagai strategi,seperti disinformasi, polarisasi, dan filter
bubble. Teori rekayasa sosial menyatakan bahwa pihak-pihak tertentu dapat
memanfaatkan media sosial dan platform digital untuk memengaruhi opini publik
sesuai dengan tujuan mereka.

Rekayasa sosial di era digital menandai perubahan mendasar dalam


dinamika interaksi sosial, terutama dengan melibatkan media sosial dan platform
digital. Istilah "rekayasa sosial" mengacu pada rangkaian tindakan yang disengaja
dengan tujuan memanipulasi persepsi, sikap, dan perilaku masyarakat
menggunakan berbagai strategi yang canggih. Salah satu elemen kunci dalam
rekayasa sosial di dunia digital melibatkan pemanfaatan disinformasi, polarisasi,
dan konsep filter bubble 14.

Selain disinformasi, polarisasi juga menjadi salah satu strategi umum dalam
rekayasa sosial di dunia digital. Beberapa aktor sengaja memanfaatkan
ketidaksetujuan atau perbedaan pendapat yang sudah ada dalam masyarakat dan
mengamplifikasinya. Dengan memperkuat perpecahan antara kelompok-kelompok,
mereka menciptakan ketegangan sosial yang dapat diarahkan sesuai dengan tujuan
mereka. Teori rekayasa sosial menekankan bahwa polarisasi dapat menjadi alat
yang efektif untuk memperkuat identitas kelompok dan meningkatkan pengaruh
aktor-aktor tersebut di tengah persaingan opini publik yang semakin kompleks 15.

Teori Etika Komunikasi Digital menitikberatkan pada norma-norma moral


yang berlaku dalam ruang digital16. Meskipun kebebasan berpendapat memiliki
peran sentral dalam memberikan hak kepada individu untuk menyampaikan
pandangan mereka, teori ini menyoroti pentingnya adanya norma-norma moral
dalam proses menyampaikan informasi secara daring.

Michael J. Ess, dalam karyanya "Digital Media Ethics" mengulas tentang


adaptasi konsep etika terhadap realitas ruang digital. Etika komunikasi digital
membahas pertimbangan moral dalam penggunaan teknologi, penyebaran
informasi, dan interaksi online. Norma-norma etika ini menjadi dasar bagi individu,

14
ibid.
15
Sunstein, Republic Divided Democracy in the Age of Social Media.
16
McQuail, CQuail’s Mass Communication Theory.
media, dan platform digital dalam menyajikan serta memproses informasi secara
bertanggung jawab 17.

New media, sebagai bentuk media yang menonjolkan karakteristik digitasi,


konvergensi, interaktivitas, dan perkembangan jaringan, membawa transformasi
signifikan dalam proses pembuatan dan penyampaian pesan. Digitasi
mencerminkan peralihan dari bentuk konvensional menuju format digital,
sementara konvergensi menciptakan integrasi berbagai jenis media menjadi satu
platform yang kompleks. Keberadaan interaktivitas menjadi ciri khas yang paling
menonjol, memungkinkan pengguna new media untuk memiliki kontrol penuh
terhadap jenis informasi yang dikonsumsi, sekaligus memanipulasi dan
mengendalikan output informasi yang dihasilkan. Dengan demikian, konsep
interaktivitas menjadi inti dari pemahaman tentang new media.

Interaktivitas yang dimiliki oleh new media memberikan pengguna


kemampuan untuk tidak hanya menerima informasi, tetapi juga berpartisipasi aktif
dalam proses pertukaran informasi. Pengguna memiliki kebebasan untuk memilih
informasi yang diminati dan bahkan memengaruhi jenis konten yang dihasilkan
oleh media tersebut. Hal ini menciptakan dinamika komunikasi yang lebih
demokratis, di mana peran pengguna tidak lagi bersifat pasif, melainkan aktif dalam
pembentukan narasi dan arah komunikasi. Pilihan informasi dan kontrol atas
produksi informasi merupakan elemen kunci dalam membentuk karakteristik
interaktif dari new media.

Kemampuan interaktif new media juga menciptakan hubungan dua arah


antara produsen dan konsumen informasi. Pengguna memiliki peran dalam
memberikan umpan balik, mengomentari, dan berpartisipasi dalam diskusi secara
online18. Oleh karena itu, new media bukan hanya sebagai sarana penyampaian
informasi, tetapi juga sebagai platform tempat terjadinya dialog dan interaksi sosial
yang dinamis. Pemanfaatan interaktivitas ini tidak hanya meningkatkan

17
Ess, Digital Media Ethics.
18
Watie, “Komunikasi Dan Media Sosial (Communications and Social Media).”
pengalaman pengguna, tetapi juga membuka ruang untuk beragam bentuk
partisipasi dalam ranah digital.

Konsep interaktivitas di dalam new media juga berkaitan erat dengan


perkembangan jaringan. Melalui konektivitas yang luas, informasi dapat dengan
cepat dan mudah diakses, serta disebarluaskan ke berbagai lapisan masyarakat.
Jaringan digital memungkinkan terciptanya komunitas-komunitas online, di mana
interaksi antarindividu dapat berlangsung tanpa terbatas oleh ruang dan waktu.
Dengan adanya jaringan yang berkembang, new media menjadi sarana yang efektif
untuk bertukar informasi, ide, dan pengalaman secara global.

Sebagai platform yang mendukung interaktivitas, new media memiliki


dampak besar terhadap dinamika informasi dan komunikasi dalam masyarakat
modern. Pengguna memiliki kontrol yang lebih besar terhadap konsumsi dan
produksi informasi, menciptakan dinamika komunikasi yang lebih demokratis dan
partisipatif. Sejalan dengan perkembangan teknologi, new media terus memainkan
peran sentral dalam membentuk cara kita berinteraksi dengan informasi dan satu
sama lain di era digital ini.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat normative dan dengan
pendekatan deskriptif analitis. Pengumpulan data pada penelitian ini diambil dari
data sekunder sebagai sumber informasi. Dalam kerangka studi ini menyelidiki
tantangan harmonisasi hukum dan etika yang menjadi fenomena dalam praktik
rekayasa social di digital

Pembahasan
Tidak dapat disangkal bahwa migrasi ke dalam ranah digital menjadi suatu
keharusan pada zaman ini. Perubahan ini membawa dampak signifikan terhadap
kebutuhan untuk bijaksana dalam mengelola ekosistem digital19. Semakin
banyaknya interaksi dan transaksi yang terjadi secara online menuntut kesadaran

19
Hidayah, Simatupang, and Belladonna, “Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Konsep Etika
Ruang Digital Di Era Post-Pandemi.”
akan pentingnya pengelolaan yang cerdas dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan digital.

Dalam setiap kebebasan, selalu terdapat dampak ikutan yang menyertai.


Kebebasan individu untuk bertindak dan berpendapat, misalnya, membawa
tanggung jawab atas konsekuensi dari pilihan yang diambil. Meskipun kebebasan
memiliki nilai yang penting dalam memajukan masyarakat, penggunaannya yang
tidak bijaksana atau melampaui batas dapat memunculkan dampak negatif. Oleh
karena itu, kesadaran akan tanggung jawab pribadi dalam mengelola kebebasan
menjadi suatu aspek yang esensial untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut
tidak merugikan diri sendiri atau orang lain.

Dampak ikutan dari kebebasan juga dapat melibatkan keseimbangan antara


hak individu dan kepentingan kolektif. Misalnya, kebebasan berekspresi dapat
berpotensi memunculkan ketegangan antara hak individu untuk menyampaikan
pendapat dan kebutuhan masyarakat untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Oleh
karena itu, dalam menerapkan kebebasan, penting untuk mempertimbangkan
dampaknya terhadap lingkungan sosial secara keseluruhan, dan memastikan adanya
mekanisme pengaturan yang meminimalkan risiko dampak negatif20.

Mengelola ekosistem digital dengan bijak mengharuskan individu dan


organisasi untuk memahami risiko dan tanggung jawab yang terkait dengan
aktivitas online21. Kesadaran akan privasi dan keamanan data menjadi kunci dalam
menjaga integritas informasi pribadi. Selain itu, pemahaman terhadap dampak
sosial dan etika digital juga menjadi hal yang krusial. Adanya sikap bijak dalam
berinteraksi online menciptakan lingkungan digital yang positif, aman, dan
bermanfaat bagi semua pihak.

Selain aspek individual, pengelolaan ekosistem digital secara bijak juga


melibatkan peran aktif dari pemerintah, lembaga, dan perusahaan dalam
membentuk kebijakan dan praktik yang mendukung keberlanjutan dan keadilan
digital. Diperlukan upaya bersama untuk menciptakan regulasi yang dapat
melindungi konsumen, mendorong

20
Malik, “Jurnalisme Kuning, ‘Lampu Kuning’ Etika Komunikasi Massa.”
21
Hidayah, Simatupang, and Belladonna, “Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Konsep Etika
Ruang Digital Di Era Post-Pandemi.”
inovasi, dan mengatasi tantangan yang muncul seiring dengan perkembangan
teknologi digital.
Dalam analisis komunikasi digital, Penelitian ini menelisik bahwa rekayasa
social dapat merusak etika dengan mendesiminasi informasi yang tidak benar dan
memperkuat algoritma filter buble. Penelusuran ini menganalisis proses bagaimana
sebuah teori hukum dan etika komunikasi dapat mengarahkan definisi dan
penegakan norma-norma tersebut. dengan transparansi dan akuntabilitas sebagai
kunci mengatasi tantangan etika dalam rekayasa social.

Dari beberapa penelitian menyoroti pentingnya transparansi dan


akuntabilitas dalam menjawab tantangan hukum dan etika. Masyarakat memiliki
hak untuk mengetahui penggunaan data dan implementasi rekayasa social. Teori
hukm dan etika komunikasi mendukung sebuah keterbukaan untuk membina
kepercayaan dan memberikan kendali kepada setiap individu

Tantangan perlindungan anak dalam ruang digital menjadi fokus penelitian


ini. Temuan menunjukkan bahwa teori hukum dan etika komunikasi berperan dalam
merumuskan regulasi untuk melindungi hak privasi anak dan mencegah eksposur
konten berbahaya. Pentingnya kerjasama lintas-sektor, termasuk pihak platform,
pemerintah, dan lembaga pendidikan, juga ditekankan untuk menciptakan
lingkungan digital yang aman bagi anak-anak.

Dalam bingkai komunikasi digital, rekayasa sosial memberikan efek


pelemahan etika dengan memberikan penyebaran informasi palsu dan
memperkokoh buble filter. Analisis etika ini mengevaluasi bagaimana sebuah teori
dan komunikasi hukum dapat menjadi landasan untuk menelisik sebagi upaya
mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko terhadap anak di dunia digital, serta
merumuskan pendekatan perlindungan.

Pendidikan terhadap literasi etika digital telah memainkan peran yang


sangat signifikan dalam menghadapi tantangan hukum dan etika dalam ranah
rekayasa sosial di era digital. Peningkatan aktivitas online dan interaksi digital
memunculkan kompleksitas dalam hal norma dan nilai yang mengatur perilaku
dalam dunia maya. Oleh karena itu, membangun pemahaman yang kuat tentang
etika digital menjadi suatu keharusan agar individu mampu beroperasi secara
bertanggung jawab dalam lingkungan digital yang terus berkembang.

Teori hukum dan etika komunikasi mendukung integrasi pendidikan etika


digital ke dalam kurikulum pendidikan, baik yang formal maupun informal.
Pendidikan etika digital membekali individu dengan pemahaman mendalam
tentang prinsip-prinsip moral dan etika yang relevan dalam konteks digital. Ini
mencakup pengenalan terhadap hak privasi, tanggung jawab berbagi informasi, dan
pentingnya berpartisipasi secara positif dalam komunitas online22.

Pentingnya melibatkan institusi pendidikan, platform digital, dan


masyarakat dalam meningkatkan kesadaran holistik tentang konsekuensi etis dari
tindakan di dunia digital juga menjadi sorotan. Institusi pendidikan memiliki peran
utama dalam menyediakan kurikulum yang memasukkan aspek literasi etika digital,
sedangkan platform digital dapat mendukung upaya ini dengan menyediakan
pedoman dan fitur keamanan yang mempromosikan perilaku etis. Sementara itu,
masyarakat secara keseluruhan perlu terlibat dalam upaya ini, menggali
pengetahuan dan pengalaman kolektif untuk membentuk lingkungan online yang
lebih etis dan beradab.

Penyuluhan dan pelatihan etika digital perlu diperkuat sebagai bagian


integral dari proses pendidikan, memastikan bahwa individu mampu
mengidentifikasi, memahami, dan merespons dengan bijak terhadap tantangan etis
di dunia digital. Upaya bersama dari berbagai pihak untuk meningkatkan literasi
etika digital akan memberikan kontribusi besar dalam menciptakan lingkungan
online yang lebih aman, terpercaya, dan beretika. Dalam menyelesaikan
tantangan hukum dan etika dalam konteks globalisasi, teori hukum dan etika
komunikasi memberikan dasar yang jelas untuk memahami dinamika yang
kompleks tersebut. Pengaruh fenomena globalisasi dalam konteks rekayasa sosial
memerlukan koordinasi dan alur kerja sama pada banyak lintas budaya untuk
menetapkan standarisasi secara global yang dapat mengakomodir keragaman

22
Dinata, “Literasi Digital Dalam Pembelajaran Daring.”
norma etika dan hukum. Pembahasannya mencakup penyesuaian kebijakan hukum
dan etika terhadap perkembangan global.

Analisis hasil penelusuran menyoroti fenomena antara inovasi dan hukum


konvensional sebagai tantangan yang signifikan. Hukum konvensional kerap kali
mengadapi kesulitan dalam mengadaptasi perubahan teknologi sehingga
menciptakan ketimpangan hukum. Teori komunikasi hukum dan etika memberikan
pengetahuan akan perlunya kreativitas dan adaptasi dalam merancang kerangka
hukum yang seimbang sebagai landasan dengan inovasi teknologi. Pembahasannya
menganalisis respon regulasi terhadap perkembangan teknologi tanpa
mengorbankan prinsip etika dan keadilan.

Hasil penelitian tersebut menekankan kompleksitas penegakan hukum


internasional terkait rekayasa sosial di dunia digital. kerja sama antar lintas negara
dalam menanggapi pelanggaran hukum dan etika digital seringkali menghadapi
kesulitan karena adanya kesenjangan aturan antar negara. Teori komunikasi hukum
dan etika menekankan pentingnya kerja sama internasional untuk memperkuat
penegakan hukum global. Diskusi ini membicarakan mengenai sebuah tantangan
dan peluang dalam menciptakan mekanisme penegakan hukum yang efektif di
tingkat internasional.

Penekanan pada rehabilitasi dalam konsep pertanggungjawaban pidana


memunculkan perhatian yang signifikan dalam diskusi seputar sistem hukum.
Lebih dari sekadar memberikan hukuman kepada pelaku, pentingnya mengalihkan
fokus ke upaya membantu mereka memperbaiki perilaku dan mengintegrasikan diri
kembali ke dalam masyarakat menjadi semakin diakui. Dalam konteks ini, tujuan
hukuman bukan hanya untuk menindak, melainkan untuk memberikan peluang
konkrit bagi pelaku kejahatan untuk mengubah perilaku mereka, meningkatkan
kesadaran atas kesalahan yang telah dilakukan, dan kembali berkontribusi secara
positif.

Rehabilitasi dianggap sebagai pijakan yang krusial untuk memastikan


bahwa sistem hukum tidak hanya bersifat punitif, tetapi juga memberikan dukungan
konstruktif untuk proses perbaikan diri. Melalui berbagai program rehabilitasi,
pelaku kejahatan dapat menerima bimbingan, pendidikan, dan dukungan psikologis
yang diperlukan untuk mengatasi akar permasalahan yang mendasari perilaku
kriminal mereka. Pendekatan rehabilitatif menekankan bahwa setiap individu
memiliki potensi untuk berubah dan memberikan kontribusi positif, asalkan
diberikan kesempatan dan dukungan yang memadai.

Pentingnya rehabilitasi juga melibatkan pemahaman bahwa hukuman yang


hanya bersifat punitive cenderung kurang efektif dalam mencegah kekambuhan
pelaku kejahatan. Dengan fokus pada perbaikan perilaku, sistem hukum dapat
memainkan peran yang lebih proaktif dalam mengurangi tingkat kriminalitas dan
meningkatkan keberlanjutan keamanan masyarakat. Oleh karena itu, mendukung
rehabilitasi dalam konsep pertanggungjawaban pidana mencerminkan evolusi
pandangan terhadap tujuan hukuman, menggeser dari sifat pembenaran hukuman
semata menuju pendekatan yang lebih holistik dan berorientasi pada perbaikan
sosial..

konsep pertanggung jawaban pidana perlu terus berkembang seiring


dengan pesatnya perkembangan teknologi. Penyesuaian dengan dinamika teknologi
adalah suatu keharusan untuk menghadapi kejahatan di dunia maya dan memahami
peran teknologi dalam pelanggaran hukum. Dalam mengatasi tantangan ini, perlu
diterapkan pendekatan yang proaktif dan adaptif untuk memastikan relevansi
hukum pidana dalam konteks teknologi yang terus berkembang.

Penekanan pada rehabilitasi dalam konsep pertanggungjawaban pidana


mendapat sorotan yang signifikan. Lebih dari sekadar memberikan hukuman
23
kepada pelaku , perlu difokuskan upaya untuk membantu mereka memperbaiki
perilaku dan reintegrasi positif dalam masyarakat. Tujuan hukuman seharusnya
tidak hanya sekadar menindak, melainkan memberikan peluang bagi pelaku untuk
mengubah perilaku mereka, menyadari kesalahan, dan kembali berkontribusi secara
positif. Rehabilitasi menjadi pijakan penting untuk memastikan bahwa hukuman
tidak hanya bersifat punitif, melainkan juga mendukung proses perbaikan diri.

Selain itu, konsep pertanggungjawaban pidana perlu terus berkembang


seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi. Penyesuaian dengan dinamika

23
Dippu et al., “Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Nasional Yang Akan
Datang Program Studi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial.”
teknologi adalah suatu keharusan untuk menghadapi kejahatan di dunia maya
dan memahami peran teknologi dalam pelanggaran hukum. Dalam mengatasi
tantangan ini, perlu diterapkan pendekatan yang proaktif dan adaptif untuk
memastikan relevansi hukum pidana dalam konteks teknologi yang terus
berkembang.
Masyarakat juga sebaiknya dilibatkan secara aktif dalam konsep
pertanggungjawaban pidana. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan
penerapan hukum dapat meningkatkan efektivitasnya. Pendidikan masyarakat
tentang norma-norma hukum dan tanggung jawab bersama dalam menjaga
keamanan dapat menjadi komponen penting dari pendekatan ini. Melibatkan
masyarakat secara langsung membuka ruang bagi kerjasama yang lebih baik
antara lembaga hukum dan warga, memperkuat pemahaman bersama terhadap
nilai-nilai hukum, dan mendorong partisipasi aktif dalam menjaga ketertiban
sosial.

Penutup
Hasil penelitian menyoroti kompleksitas tantangan hukum dan etika
dalam dunia rekayasa sosial digital. Teori hukum dan etika komunikasi menjadi
pemandu esensial dalam mengenali risiko dan merumuskan strategi
perlindungan, terutama terkait dengan penyebaran informasi palsu dan
perlindungan anak di ranah digital. Peran utama pendidikan etika digital
tampaknya vital dalam menanggulangi isu-isu ini dan perlu disematkan secara
efisien dalam kurikulum pendidikan. Menghadapi dinamika globalisasi dan
kemajuan teknologi, kerjasama internasional menjadi mutlak untuk memperkuat
penegakan hukum dan etika di tingkat global. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ketidaksetaraan dalam regulasi antarnegara dan tantangan penegakan
hukum di tingkat internasional memerlukan perhatian lebih lanjut. Walaupun
teori hukum dan etika komunikasi memberikan fondasi, keberlanjutan dalam
diskusi, penelitian, dan partisipasi aktif masyarakat sipil menjadi kunci untuk
menjaga relevansi dan efektivitas kerangka hukum dan etika menghadapi evolusi
terus-menerus dalam teknologi dan dinamika rekayasa sosial.
Daftar Pustaka

Antonius Havik, Indradi & Yeremia Dwi Hendryanto. “Analisis Hukum


Terhadap Instrumen Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan
Akselerasi Literasi

Digital.” Prosiding Seminar Nasional Program Studi Ilmu


Pemerintahan. Universitas Galuh 13, no. 1 (2022): 104–16.

Bahram, Muhammad. “TANTANGAN HUKUM DAN ETIKA


(REKAYASA SOSIAL TERHADAP KEBEBASAN
BERPENDAPAT DI DUNIA DIGITAL).” SENTRI: Jurnal Riset
Ilmiah 2, no. 12 (2023): 1275--1289.
Bari, Abdul, and Achmad Taufik. “Implikasi Hukum Dan Sosial Dari
Kriminalisasi Cyberbullying : Tinjauan Terhadap Perlindungan
Korban Dan Tersangka” 7 (2023): 25074–83.
Basuki, Udiyo, and R.Hendradi. “Strategic Measures to Determine Hoax: A
Policy and Legal Approach.” Jurnal Hukum Caraka Justitia 2, no. 1
(2022): 1–94.
Dinata, Karsoni Berta. “Literasi Digital Dalam Pembelajaran Daring.”
Eksponen
11, no. 1 (2021): 20–27. https://doi.org/10.47637/eksponen.v11i1.368.
Dippu, Boy, Tua Simbolon, Kezia Thasa, Emteta Karina, Reh Bungana, Br
Pa, and Maulana Ibrahim. “Konsep Pertanggungjawaban Pidana
Dalam Hukum Pidana Nasional Yang Akan Datang Program Studi
Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial” 1,
no. 4 (2023).
Ess, Charles. Digital Media Ethics. Polity Press, 2009.

Hans Karunia H. “ETIKA DAN REGULASI INDUSTRI KOMUNIKASI:


STUDI KASUS PADA REGULASI PRIVASI DATA DIGITAL DI
INDONESIA.”
Open Journal Systems 18, no. 1 (2023).

http://binapatria.id/index.php/MBI/article/view/458.

Hernowo, Wempy Setyabudi, and M. Aufar Saputra Pratama Erawan.


“Divine Tobacco: A Paradox Among Health Fascism.” Sosietas 11,
no. 2 (2021): 173–
82. https://doi.org/10.17509/sosietas.v11i2.41615.
Hidayah, Yayuk, Ernawati Simatupang, and Aprillio Poppy Belladonna.
“Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Konsep Etika Ruang
Digital Di Era Post-Pandemi.” Pancasila: Jurnal Keindonesiaan 2,
no. 2 (2022): 208–
15. https://doi.org/10.52738/pjk.v2i2.91.
Kurniawati, Yunita Rahayu. “Pertanggungjawaban Pidana Atas
Penyebaran Berita Bohong Hoax Di Media Sosial.” Jurnal Ilmiah
Ilmu Hukum 26 (2020): 422–
37. https://dailysocial.id/post/laporan-dailysocial-distribusi-hoax-di-
media- sosial-2018,.
Malik, Abdul. “Jurnalisme Kuning, „Lampu Kuning‟ Etika Komunikasi
Massa.” Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 2 (2018): 1–14.
https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v1i2.492.
Maria Herawati, Dewi. “Penyebaran Hoax Dan Hate Speech Sebagai
Representasi Kebebasan Berpendapat.” Promedia II, no. 2 (2016): 2–
2.
McQuail, Dennis. CQuail’s Mass Communication Theory. New Delhi:
Sage Publications, Ltd, 2000.

https://doi.org/10.53947/perspekt.v1i2.32.
Pakpahan, Roida. “Analisis Fenomena Hoax Diberbagai Media Sosial Dan
Cara Menanggulangi Hoax.” Konferensi Nasional Ilmu Sosial &
Teknologi (KNiST) 1, no. 1
(2017): 479–84.

Pakpahan, Roida. “Analisis Fenomena Hoax Diberbagai Media Sosial Dan


Cara Menanggulangi Hoax.” Konferensi Nasional Ilmu Sosial &
Teknologi (KNiST) 1, no. 1 (2017): 479–84.

http://seminar.bsi.ac.id/knist/index.php/UnivBSI/article/view/184.
Sudibyo, Agus. “Media Sosial , Demokrasi Dan Problem Etika.” Jurnal
Visioner
02 (2018): 1–13.
Sunstein, Cass. Republic Divided Democracy in the Age of Social Media.
New Jersey: Princeton University Press., 2017.

Utomo, Setyo. “TANTANGAN HUKUM MODERN DI ERA DIGITAL.”


Jurnal
Komunikasi 11, no. 3 (2021): 1–7.

Watie, Errika Dwi Setya. “Komunikasi Dan Media Sosial


(Communications and Social Media).” Jurnal The Messenger 3, no. 2
(2016): 69. https://doi.org/10.26623/themessenger.v3i2

Anda mungkin juga menyukai