Anda di halaman 1dari 66

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:

Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis i


ii Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Membangun Semangat,
Menumbuhkan Harapan:
Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis i
Tim Penulis:
Vitria Lazzarini
Nirmala Ika Kusumaningrum
Penyunting:
Vincentia I. Widyasari

Yayasan Pulih
Untuk Pemulihan dari Trauma dan Penanganan Psikososial
Kantor Pusat:
Jl. Teluk Peleng No. 63 A Komp. AL Rawa Bambu Pasar Minggu
Jakarta Selatan – 12520
Tel: 021-788 42 580
Fax: 021-782 30 21
Hotline: 0888 181 68 60 / 021-982 86 398
Layanan Tatap Muka: Senin-Jumat (dengan perjanjian)
Jam: 09.00-15.00
e-counseling: counseling@pulih.or.id
www.pulih.or.id
Kantor Area Aceh:
Jl. Tgk. Menara VIII
Lr. Cempaka No.31 Ds. Melati Desa Garot
Aceh Besar.
Telp: 0651-7407951
Foto Sampul: Dokumentasi Pulih
Tata Letak: Sulistiyono
Didukung oleh
Yayasan TIFA
Dicetak ulang oleh
ICCO
Cetakan Pertama, Agustus 2009
Cetakan Kedua, Desember 2010

Penerbitan buku ini sebagian didukung oleh Yayasan Tifa


Pesan yang disampaikan sepenuhnya tanggung jawab Yayasan Pulih
dan tidak merefleksikan pandangan Yayasan TIFA

ii Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Daftar Isi

Daftar Isi ............................................................................................... ........iii

Pengantar ...................................................................................................... v

Pendahuluan ............................................................................................... vii

Bab I Stres dan Trauma Pascaperistiwa Traumatis


- Stres ...........................................................................................3
- Trauma .......................................................................................4

Bab II Mengatasi Dampak Psikologis


- Perasaan Berduka dan Kehilangan ...........................................11
- Perasaan Bersalah ....................................................................22
- Perasaan Marah .......................................................................27
- Perasaan Takut .........................................................................31
- Pikiran yang Mengganggu ........................................................33
- Kelelahan dan Frustrasi ........................................................... 39

Bab III Menata Masa Depan


- Berdamai dengan Diri Sendiri ..................................................45
- Membantu Orang Lain yang Mengalami
Peristiwa Traumatis..................................................................48
- Menyampaikan Peristiwa Traumatis
pada Anak dan Remaja ............................................................50

Daftar Pustaka .............................................................................................53

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis iii
iv Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Pengantar
Kondisi penegakan hukum untuk kasus kekerasan dan pelanggaran HAM
di Indonesia masih jauh dari keadaan yang diharapkan. Perangkat maupun
penerapannya masih belum sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan
hukum yang sudah ada. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus
pelanggaran HAM yang tidak dapat maju ke proses hukum. Seandainya maju
pun, kerap kali pelaku kekerasan bebas atau hanya dijatuhi hukuman yang tidak
sebanding dengan kejahatan yang dilakukan. Keharusan untuk menyediakan
bukti positif supaya kasus dapat diproses seringkali mempersulit. Semua
faktor penghambat ini tidak hanya membuat frustrasi para penyintas tapi
juga para pejuang HAM, pendamping, dan keluarga penyintas sebagai pihak
yang mengalami dampak terbesar akibat pelanggaran HAM yang terjadi.
Situasi yang serba tidak menentu membuat kondisi psikologis penyintas
mengalami fluktuasi yang tajam, sehingga berdampak terhadap ketahanan
mereka dalam memperjuangkan kasusnya. Ini pun membuat pejuang
HAM menjadi tambah frustrasi karena mereka melihat ini sebagai suatu
kemunduran, bukan sebagai suatu proses. Penyintas harus disiapkan terlebih
dahulu secara psikologis sehingga bisa lebih siap untuk memperjuangkan
kasusnya, begitu pun dengan pendampingnya.
Oleh karena itu diperlukan penguatan tidak hanya bagi penyintas, namun
juga dari orang-orang disekelilingnya, agar mereka bisa saling menguatkan.
Penting pula bagi pendamping dan pekerja HAM untuk memperhatikan
kesejahteraan psikososial diri mereka sendiri sebagai pekerja HAM yang
melakukan pendampingan bagi penyintas dan keluarga penyintas pelanggaran
HAM.
Buku ”Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan” merupakan salah
satu upaya berkesinambungan yang dilakukan oleh YAYASAN PULIH dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan psikososial bagi penyintas, keluarga
penyintas, pekerja HAM, maupun pendamping. Buku ini berusaha untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seringkali muncul seputar masalah
stress dan trauma, memahami dampak atau perubahan yang muncul
kemudian, serta bagaimana cara-cara pemulihan yang bisa dilakukan secara
mandiri.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis v
Yayasan Pulih percaya, bahwa masing-masing individu memiliki potensi dan
kemampuan untuk bangkit dan menghadapi masalahnya. Oleh karenanya
buku ini dibuat dan dikemas dengan bahasa yang sederhana dalam bentuk
yang sistematis dengan tujuan agar semakin banyak masyarakat yang bisa
membaca dan memahami tentang pemulihan diri sendiri pascaperistiwa
traumatis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
serta membantu dalam penerbitan buku ini. Terutama kepada Yayasan TIFA
yang telah mendukung kerja PULIH dalam program Dukungan Psikososial bagi
Pendamping Korban/Penyintas Pelanggaran HAM dan Pekerja HAM, yang
mendukung untuk pelaksanaan pelatihan, support group, serta penerbitan
buku ini untuk masyarakat yang lebih luas.
Kami berharap buku ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang ingin
mengetahui tentang stress dan trauma dan bagaimana caranya mendapatkan
kembali semangat untuk hidup ke depannya. Semoga buku ini membawa
manfaat bagi seluruh kelompok masyarakat yang membutuhkannya.
Selamat Membaca!

Salam Hormat,
Irma S. Martam

vi Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Pendahuluan
Sebagai lembaga pemberi layanan untuk pemulihan trauma dan
penanganan psikososial, Yayasan PULIH menaruh perhatian mendalam
atas tragedi kemanusiaan seperti pelanggaran HAM berat yang terjadi
pada tahun ’65, Peristiwa Tanjung Priok, Kerusuhan Mei ’98 dan Tragedi
Semanggi, juga peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya. Begitu pula
dengan peristiwa pemboman di Bali dan Jakarta, pemberlakuan Daerah
Operasi Militer di Aceh dan Papua, konflik sosial di Ambon, serta bencana
alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan beberapa daerah lain di
Indonesia.
Salah satu fokus kepedulian Yayasan PULIH dalam peristiwa-peristiwa
tersebut adalah minimnya informasi seputar dampak psikologis yang
muncul, maupun cara-cara praktis untuk mengatasinya. Padahal, tidak
semua penyintas memiliki akses langsung ke lembaga penyedia layanan
atau secara sukarela mau mengikuti kegiatan pemulihan. Akibatnya,
penyintas, keluarga, maupun masyarakat di sekitarnya, seringkali memiliki
anggapan keliru tentang peristiwa traumatis serta dampaknya. Hal ini
tentunya mempengaruhi upaya pemulihan yang dilakukan penyintas
maupun keluarganya.
Untuk itu Yayasan PULIH bekerja sama dengan Yayasan TIFA telah
menerbitkan Buku “Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis” pada bulan
Agustus 2009. Buku Panduan ini diharapkan dapat memberikan informasi
dan manfaat bagi penyintas, keluarganya dan para pekerja kemanusiaan
yang bertugas mendampingi mereka.
Harapan kami, buku ini turut berperan dalam proses pemulihan
penyintas dan keluarganya. Kami juga berharap, buku ini dapat memberikan
pemahaman bagi masyarakat luas mengenai dampak peristiwa traumatis,
serta langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk upaya pemulihan.
Salam.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis vii
viii Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Bagian I:

Stres &
Trauma Pasca
Peristiwa
Traumatis

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 1
2 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Stres
Istilah stres bukan istilah yang asing bagi kita. Seringkali, istilah ini digunakan
kurang tepat. Stres biasanya diartikan negatif atau kurang baik. Kita sering
menggunakan istilah stres pada orang-orang yang kita anggap tidak waras
atau miring.
Stres sebetulnya merupakan istilah yang sangat netral karena stres
selalu dialami oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Secara
sederhana, stres dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketika kita merasa
keseimbangan diri terganggu. Maksudnya, kita yang tadinya merasa
nyaman, kemudian menjadi tidak nyaman karena adanya gangguan.
Gangguan atau sumber stres bisa berasal dari dalam diri kita, maupun
dari luar diri. Sumber stres dari dalam diri, misalnya, adalah terbatasnya
kemampuan yang dimiliki. Contohnya adalah seorang pelajar yang merasa
cemas karena kesulitan mengerjakan soal matematika saat ujian, padahal
ia ingin memasuki fakultas teknik.
Sedangkan sumber stres dari luar diri, misalnya, jalan raya yang macet
padahal kita terburu-buru untuk menghadiri suatu acara. Kemacetan
merupakan gangguan (sumber stres) yang muncul dari luar yang
menyebabkan kita merasa tidak nyaman (gelisah, kuatir, takut terlambat,
dll).
Stres tidak bisa kita pisahkan dari kehidupan sehari-hari. Banyak kejadian
atau peristiwa dalam hidup yang dapat memunculkan stres, misalnya
kehabisan uang padahal tanggal gajian masih lama, bergegas harus bangun
pagi, banyak pekerjaan rumah atau kantor, lari mengejar kendaraan umum,
kemacetan. Bahkan bayi sekalipun bisa mengalami stres, misalnya ketika ia
lapar atau popoknya basah.
Meski dirasa mengganggu, stres tidak perlu dilihat sebagai hal yang selalu
buruk. Dalam hal-hal tertentu, stres berdampak positif dan menguntungkan.
Misalnya karena merasa prestasinya tertinggal, seseorang menyemangati
dirinya sendiri, berusaha lebih keras dan berprestasi baik. Ada pula orang-

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 3
orang yang saat terdesak menjadi lebih kreatif. Stres yang berdampak
positif ini dikenal dengan istilah Eustress.
Mereka yang mengalami stres mungkin merasa lebih gelisah, tegang,
cemas, mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang
tekanan darah dan detak jantungnya meningkat, sakit kepala, perut mulas,
gatal-gatal atau diare. Stres juga dapat merubah perilaku kita. Misalnya
kita menjadi lebih cepat marah, lebih suka sendirian, menjadi tidak enak
makan, merasa tidak berdaya, tidak bersemangat, frustrasi, atau merasa
tidak percaya diri.

Trauma
Lalu apa yang dimaksud dengan trauma? Apa bedanya dengan stres? Secara
sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock).
Trauma disebabkan oleh peristiwa yang terjadi tiba-tiba dan di luar
kendali, sangat menekan, menyakitkan, bahkan seringkali membahayakan
kehidupan atau mengancam jiwa. Peristiwa tersebut dinamakan peristiwa
traumatis.
Ciri-ciri peristiwa traumatis adalah :
1. Terjadi secara tiba-tiba.
2. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
3. Mengancam keutuhan fisik maupun mental.
4. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku
yang amat membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang
menyaksikan.
Kejadian-kejadian seperti perkosaan, penyiksaan, penembakan, kehilangan
anggota keluarga secara paksa, ledakan bom, atau bencana alam, jelas
merupakan peristiwa traumatis. Peristiwa kematian anggota keluarga
secara mendadak, keguguran, kecelakaan dan kebakaran, juga dapat
menjadi peristiwa traumatis.

4 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Peristiwa traumatis dapat bersifat sesaat maupun berkelanjutan. Peristiwa
traumatis sesaat terjadi satu kali saja, namun mengakibatkan dampak
psikologis yang berkepanjangan. Misalnya: bencana alam, kecelakaan
lalu lintas, perkosaan, ledakan bom atau tawuran. Sementara peristiwa
traumatis berkelanjutan terjadi berulang kali atau terus menerus, sehingga
mengakibatkan dampak psikologis yang berkelanjutan atau berlapis.
Contohnya: kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan bersenjata dalam
perang, teror berkelanjutan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, peristiwa traumatis adalah peristiwa
yang sangat mengagetkan, menyakitkan, bahkan mengancam keselamatan
jiwa. Oleh karenanya, amatlah wajar jika segera atau beberapa lama setelah
mengalami peristiwa tersebut kita mengalami sulit tidur, selalu terbayang
peristiwa tersebut, sangat takut, atau menghindari tempat kejadian. Kondisi
inilah yang disebut stres traumatis, atau biasa kita kenal sebagai trauma.
Siapapun orangnya, sekuat dan sehebat apapun dia, biasanya akan
menunjukkan respon tertentu setelah mengalami peristiwa traumatis.
Bahkan, orang yang tidak mengalami langsung peristiwa traumatis juga dapat
menunjukkan respon serupa. Misalnya, seseorang yang mendengarkan
cerita tentang penghilangan paksa dan penyiksaan. Ia kemudian menjadi
sulit tidur, merasa takut dan waspada berlebihan. Hal semacam ini disebut
trauma sekunder, yaitu stres traumatis yang dialami oleh orang yang tidak
mengalami secara langsung.
Respon yang muncul setelah peristiwa traumatis mungkin berbeda bagi
tiap orang, namun umumnya respon yang muncul adalah:
1. Memiliki ingatan kuat atau bayangan yang sulit dilupakan, atau
ingatan lainnya tentang traumanya.
2. Merasakan peristiwa seperti terjadi lagi (flashback).
3. Merasa terganggu bila diingatkan, atau teringat peristiwa
traumatis karena sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan, atau
diciumnya.
4. Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 5
5. Kesulitan mengendalikan perasaan karena tidak mampu
mengendalikan ingatan tentang peristiwa traumatis.
Selain respon-respon tersebut, kita mungkin akan mengalami
perubahan perasaan ataupun perilaku.
Perubahan perasaan yang mungkin dialami antara lain:
1. Cepat sedih.
2. Cepat marah.
3. Ingin menangis.
4. Merasa bersalah.
5. Merasa tidak berdaya.
6. Suasana hati tidak menentu atau mudah berubah.
7. Merasa tidak dipahami oleh orang-orang di sekitarnya.
Sementara perubahan perilaku yang mungkin terjadi antara lain:
1. Lebih banyak menyendiri.
2. Gemetar.
3. Tidak mau keluar rumah.
4. Mudah tersinggung.
5. Mengalami gangguan tidur, seperti: sering mimpi buruk, susah
tidur atau justru terlalu banyak tidur.
6. Gelisah.
7. Kewaspadaan berlebih, sangat ingin menjaga dan melindungi
diri.
8. Mengalami gangguan makan, seperti: mual, muntah, tidak mau
makan, atau justru terlalu banyak makan.
9. Mudah merasa was-was.
10. Tiba-tiba dicekam bayangan menakutkan.
11. Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih.
12. Badan sering terasa lemas dan keluar keringat dingin.
13. Sesak napas.
Biasanya perubahan perilaku maupun perasaan tersebut akan berkurang
seiring dengan berjalannya waktu. Kita, manusia, memang memiliki

6 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
kemampuan alamiah untuk mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap
masalah, termasuk untuk peristiwa traumatis.
Akan tetapi, mengatasi trauma berbeda dengan mengatasi stres sehari-
sehari. Trauma umumnya lebih sulit diatasi daripada stres sehari-hari dan
perlu ditangani segera agar tidak sangat mengganggu kehidupan sehari-
hari.
Kita perlu mewaspadai apabila perubahan perilaku dan perasaan terjadi
lebih dari 6-8 minggu dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Dampak
yang kita alami mungkin lebih besar daripada yang kita bayangkan.
Jika memungkinkan, segeralah mencari bantuan ke ahli (psikolog atau
psikiater). Apabila tidak tersedia, kita bisa bercerita kepada pendamping,
keluarga atau teman. Yang perlu diingat, trauma bukanlah miring atau tidak
waras. Gejala trauma wajar dan bisa dialami oleh siapapun, segera atau
beberapa lama setelah mengalami peristiwa sulit.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 7
8 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Bagian II:

Mengatasi
Dampak
Psikologis

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 9
10 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Perasaan Berduka dan
Kehilangan
Seringkali perasaan berduka dan kehilangan dikaitkan dengan meninggalnya
orang yang kita cintai. Sebenarnya, banyak hal yang bisa menyebabkan
kita merasa berduka dan kehilangan. Misalnya: selesainya hubungan
perkawinan, kondisi kesehatan yang memburuk, PHK, kondisi keuangan
yang memburuk, kehilangan cita-cita atau harapan, orang yang dicintai
menderita penyakit serius, hilangnya rasa percaya dan rasa aman setelah
mengalami situasi sulit atau traumatis.
Wajar saja bila kita merasa berduka dan kehilangan setelah sesuatu yang
berharga atau seseorang yang dicintai pergi meninggalkan; terlebih bila
kepergian/kehilangan itu terjadi dalam peristiwa traumatis. Semakin
penting hal yang hilang, semakin kuat perasaan berduka yang kita alami.

Berduka adalah perasaan yang sangat pribadi. Masing-masing orang


memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan perasaan tersebut. Tidak
ada cara yang ‘seharusnya’ atau ‘sebaiknya’ dilakukan ketika kita sedang
berduka.

Demikian pula dengan pemulihannya. Tidak ada jangka waktu pasti yang
bisa mengatakan berapa lama sebaiknya kita berduka. Pemulihan dari
perasaan berduka dan kehilangan terjadi secara bertahap dan tidak bisa
dipaksakan. Ada orang yang merasa lebih baik setelah beberapa minggu
atau bulan, ada pula yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 11
Mitos dan Fakta Seputar Perasaan
Berduka dan Kehilangan

Mitos: ‘Luka’ yang dirasakan akan cepat hilang jika kita mengabaikannya/
tidak memikirkannya.

Fakta: Mencoba mengacuhkan atau menutupi ‘luka’ yang dirasakan justru


akan memperburuk keadaan. ‘Luka’ itu justru akan semakin kuat bertahan.
Akan jauh lebih baik jika kita mencoba menghadapi dan mengatasinya.

Mitos: Penting jika kita terlihat ‘kuat’.

Fakta: Wajar jika kita merasa sedih, takut atau kesepian, setelah kehilangan
sesuatu atau seseorang yang berarti bagi kita. Jika kita menangis,
bukan berarti kita lemah. Berusaha tampil seolah-olah tegar atau kuat
untuk menjaga perasaan keluarga dan teman, justru memperburuk
keadaan. Keadaan akan menjadi lebih baik, jika kita menunjukkan
perasaan sebenarnya. Dengan demikian, orang lain pun tahu bahwa kita
membutuhkan mereka.

Mitos: Jika tidak menangis, berarti seseorang tidak merasa berduka atau
kehilangan.

Fakta: Umumnya, kita akan menangis saat merasa sedih. Tetapi, menangis
bukanlah satu-satunya cara untuk menunjukkan kesedihan. Mereka yang
tidak menangis bisa jadi merasakan ‘luka’ yang sama dalamnya dengan
mereka yang menangis. Perbedaannya hanya pada cara mengekspresikan
kesedihan.

Mitos: Perasaan berduka dan kehilangan sebaiknya tidak lebih dari satu
tahun.

Fakta: Sekali lagi, tidak ada jangka waktu yang pasti, yang benar atau yang
salah. Masing-masing orang berbeda satu dengan yang lain.

12 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Tahapan Berduka dan Kehilangan

Pemulihan dari perasaan berduka dan kehilangan adalah proses yang sangat
pribadi. Dengan caranya masing-masing, setiap orang mengatasi perasaan
berduka dan kehilangan secara bertahap.
Ada delapan tahapan yang mungkin dilalui saat kita mengalami perasaan
berduka dan kehilangan. Tahapan-tahapan ini dapat dialami secara
berurutan, tidak berurutan, atau malah ada tahapan yang tidak dialami.
Perbedaan tahapan tersebut wajar terjadi karena proses pemulihan setiap
orang berbeda. Tidak ada yang dapat menentukan berapa lama dan berapa
banyak tahapan yang akan dilalui seseorang dalam proses pemulihan.

Kedelapan tahap yang mungkin terjadi adalah:

1. Mati rasa/terguncang.
Biasanya, ini merupakan reaksi pertama kita saat mengetahui sesuatu
yang berharga atau orang yang dikasihi ‘hilang’. Kita biasanya tidak
sepenuhnya menyadari apa yang telah terjadi. Kadangkala reaksi
ini dapat membantu kita melewati masa-masa yang menyakitkan,
misalnya pada saat pemakaman. Ada baiknya jika kita tidak berlarut-
larut dalam situasi mati rasa atau terguncang.

2. Menyangkal.
Kita mungkin merasa tidak percaya dengan apa yang telah menimpa
orang yang kita kasihi. Biasanya kita berkata “Rasanya seperti mimpi,
benar-benar tidak bisa dipercaya…” atau “ Enggak mungkin, enggak
mungkin dia” dan lain-lain.

3. Perasaan sakit dan kesedihan yang mendalam.


Saat tenggelam dalam rasa duka, biasanya kita merasakan kesedihan
atau kepedihan yang amat mendalam. Bukan tidak mungkin, kita lalu
merasakan munculnya gangguan pada tubuh. Kram di bagian perut,
kesulitan bernafas, jantung terasa berhenti berdetak atau justru

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 13
berdebar-debar kencang, perasaan kalut, seolah-olah kita merasa
akan mati atau tidak utuh lagi. Beberapa orang bahkan hingga jatuh
pingsan.

4. Kemarahan.
Kita mungkin akan marah pada orang yang menyampaikan kabar
buruk. Orang-orang tersebut bisa saja dokter, orang yang mengetahui
kejadian, orang yang menyebabkan kejadian atau siapapun yang
kita anggap bertanggung jawab atas hilangnya orang yang dikasihi.
Mungkin saja, kita juga mempertanyakan kehendak Tuhan.

5. Tawar menawar.
Tahap ini adalah tahap dimana kita berusaha membuat ‘perjanjian’
dengan Tuhan, dokter atau orang lain yang kita anggap dapat
mengembalikan keadaan seperti semula. “Beri saya satu kesempatan
lagi, saya berjanji akan berubah, tolonglah...” Atau “Jika keadaan
berubah, saya janji saya akan...” dan sebagainya.

6. Suasana hati yang sangat sedih (depresi).


Saat menyadari bahwa kita benar-benar kehilangan orang yang sangat
dikasihi dan situasi tersebut tidak dapat diubah, kita mungkin akan
mengalami kesedihan, penyesalan dan kehilangan yang mendalam.
Perasaan-perasaan tersebut mungkin amat kuat dan berlarut-berlarut,
bahkan sulit dikendalikan.

7. Penerimaan.
Pada tahap ini kita menyadari bahwa kehilangan yang dialami
merupakan kenyataan yang sudah menjadi bagian dari hidup. Kita
kembali pada situasi nyata dan secara berangsur-angsur berjuang
melawan kesedihan dan perasaan duka. Bukan tidak mungkin, kita
menjadi mampu melanjutkan hidup, mengatasi perasaan sakit dan
penderitaan, serta menemukan kedamaian dalam diri.

14 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
8. Harapan di masa depan.
Penerimaan atas kenyataan pahit yang dialami dapat mengarahkan
kita pada harapan baru untuk masa mendatang. Kita mungkin
justru mempelajari dan menemukan cara mengatasi masalah yang
berbeda dari kebiasaan kita sebelumnya. Pengalaman yang sulit
dapat membangkitkan keyakinan spiritual tentang masa depan, atau
menolong anggota keluarga/kerabat lain untuk dapat menerima masa
depannya.
Tahapan-tahapan ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa, melainkan
juga anak-anak. Hanya saja, biasanya anak-anak lebih cepat mengatasi
perasaan dukanya bila dibandingkan orang dewasa.
Penting untuk kita ingat, proses di setiap tahapan berbeda untuk setiap
orang. Ada orang yang cepat mengatasi perasaan terguncang, ada juga yang
mengalami kesulitan untuk pindah ke tahapan selanjutnya. Ada pula orang
yang tetap berada dalam tahapan depresi, hingga kedukaan mengganggu
fungsinya sehari-hari.

Tips Mengatasi Perasaan Duka dan Kehilangan


1. Terimalah apa yang kita rasakan.
Sikap menghindari perasaan sedih dan berduka hanya akan
memperpanjang proses berduka yang kita rasakan. Kita bisa berusaha
menekan perasaan berduka dan kehilangan, akan tetapi kita tidak bisa
terus-menerus menghindarinya. Ekspresikan apa yang kita rasakan
dengan cara yang sehat. Menulis jurnal, surat dan membuat album
foto adalah cara yang mungkin dilakukan.

2. Carilah dukungan keluarga atau teman.


Kita akan merasa lebih ringan jika mencurahkan apa yang dirasakan
kepada orang lain. Seringkali kita merasa dituntut untuk terlihat kuat
dan tegar sehingga kita berusaha memendam perasaan sendirian.
Hindari merasakan duka dan kehilangan seorang diri. Terimalah
bantuan dan dukungan yang ditawarkan orang sekitar kita. Kadang

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 15
mereka bingung bagaimana harus menolong kita, sampaikan apa yang
kita butuhkan. Misalnya, kita membutuhkan teman berbagi ataupun
bantuan dalam proses yang terkait peristiwa (misalnya pemakaman,
perceraian, proses di kepolisian, dsb).

3. Mengikuti kegiatan kelompok dukungan.


Kadangkala kita tetap merasa kesepian meskipun sudah ditemani
oleh keluarga dan sahabat. Mencurahkan perasaan dengan orang
lain yang mengalami pengalaman yang mirip terkadang membantu
mengurangi perasaaan kesepian tersebut. Dalam kelompok dukungan,
kita melihat orang lain yang mengalami peristiwa serupa dan belajar
cara mengatasinya dari mereka.

4. Membicarakan dengan pendamping, konselor atau psikolog.


Jika kesedihan kita terlalu berat dan mengganggu aktivitas sehari-hari,
kita dapat menghubungi pendamping, konselor ataupun psikolog.
Mereka dapat membantu kita mengatasi perasaaan yang terlalu kuat.

5. Menjalankan ritual keagamaan.


Kegiatan atau ritual keagamaan, seperti berdoa dan beribadah, bagi
sebagian orang dapat menimbulkan perasaan nyaman dan tentram.

6. Memperhatikan diri sendiri.


Tubuh dan pikiran saling berhubungan satu sama lain. Jika fisik kita
sehat, biasanya perasaan kita juga akan terasa ‘sehat’. Lawan stres
dan kelelahan dengan tidur yang cukup, makan dan olahraga. Hindari
penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan.

7. Siapkan diri menghadapi ‘pemicu’.


Hari ulang tahun, hari perayaan sesuatu atau tempat-tempat tertentu
dapat mengingatkan kita kembali pada peristiwa sulit dan kesedihan
yang dialami. Siapkan diri kita untuk menghadapi hal tersebut. Bukan
suatu keanehan jika kita kembali merasa sedih dan teringat peristiwa
sulit yang pernah dialami.

16 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Yang sebaiknya dilakukan jika orang yang kita kenal sedang
berduka:

- Terima.
Biarkan orang tersebut tahu bahwa tidak apa-apa jika mereka
mengekspresikan kesedihannya di depan kita. Hindari mengatakan
bagaimana yang ‘seharusnya’ dirasakan atau dilakukan. Mereka yang
berduka memiliki kebebasan untuk mengekpresikan perasaannya
tanpa merasa takut dinilai, disanggah atau dikritik.

- Hindari sikap memaksa.


Terkadang mereka yang berduka tidak ingin bercerita atau
membicarakan perasaannya. Jika tidak tahu apa yang sebaiknya
dikatakan, kita bisa duduk di sampingnya, menggenggam tangannya
atau memeluknya.

- Dengarkan dengan sabar.


Seringkali mereka yang berduka akan terus-menerus menceritakan
tentang kerabat atau sesuatu yang hilang. Bersikaplah sabar.
Mengulang cerita adalah salah satu cara memproses dan menerima
kehilangan yang mereka alami. Semakin sering mereka cerita, semakin
berkurang perasaan sakit yang dirasakan.

- Berikan kenyamanan tanpa mengabaikan apa yang mereka rasakan.


Sampaikan bahwa apa yang mereka rasakan merupakan perasaan yang
wajar. Jika kita pernah mengalami kehilangan sebelumnya, ceritakanlah
pengalaman tersebut karena mungkin bisa membantu. Tetapi,
hindari menyatakan bahwa kita ‘tahu’ apa yang mereka rasakan dan
membandingkan kedukaan mereka dengan yang pernah kita rasakan.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 17
Ucapan yang sebaiknya dihindari…
• “Saya tahu perasaan Ibu/Bapak.”
Kita tidak pernah tahu dengan pasti apa yang dirasakan orang lain.
Sebaiknya, tanyakan pada orang tersebut apa yang ia rasakan.
• “Ini takdir/kehendak Tuhan.”
Bagi mereka yang belum bisa menerima kehilangan, ucapan ini justru
bisa membangkitkan perasaan marah.
• “Semua pasti ada hikmahnya. Bapak/Ibu seharusnya bersyukur
karena masih hidup/anaknya masih hidup/...”
Saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengatakan hal tersebut.
Mereka juga tahu bahwa ada hal-hal yang patut untuk disyukuri,
namun saat ini hal tersebut bukanlah menjadi prioritas.
• “Arwahnya sekarang tenang di alam sana/surga.”
Mereka yang berduka mungkin saja belum bisa menerima kepergian
dan kehilangan kerabatnya. Ucapan seperti ini dapat menyinggung
perasaan mereka. Hindari mengucapkan kalimat seperti ini, kecuali
jika ditanya.
• “Semuanya sudah berlalu, sekarang saatnya kita melihat ke masa
depan.”
Bagi mereka yang berduka dan kehilangan, menjaga ingatan tentang
sesuatu atau kerabat yang hilang adalah hal yang sangat penting. Oleh
karenanya, seringkali mereka menolak untuk menata masa depan atau
melanjutkan hidup karena tidak ingin ‘melupakan’ kenangan tentang
sesuatu atau kerabat tersebut. Selain itu, bagi mereka yang berduka,
melanjutkan kehidupan tidak semudah mengucapkannya.
• Ucapan yang diawali dengan “Seharusnya Bapak/Ibu…” atau “Bapak/
Ibu akan...”
Ucapan ini berkesan terlalu mengarahkan dan memojokkan. Akan lebih
baik jika kita mengawalinya dengan: “Pernahkah Bapak/Ibu mencoba
...” atau “Mungkin saja Bapak/Ibu…”

18 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Melepaskan yang Telah Pergi
Saat menghadapi peristiwa sulit atau peristiwa traumatis, berbagai perasaan
muncul dalam diri kita. Marah, sedih, takut, atau tegang, berkecamuk.
Perasaan-perasaan ini bisa muncul kembali setelah peristiwa tersebut lama
berlalu.
Kadang, semakin mendekati tanggal peristiwa itu terjadi, perasaan yang
yang muncul semakin kuat. Misalnya menjelang peringatan peristiwa Mei
‘98, mungkin ada beberapa korban atau keluarga korban yang kembali
merasa tegang, kuatir, takut, marah, dan terbayang-bayang peristiwa
tersebut. Mungkin pula, ada yang belum siap untuk mengikuti kegiatan
peringatan peristiwa tersebut.
Bagi mereka yang kehilangan anggota keluarganya, perasaan-perasaan
tersebut juga bisa muncul saat hari ulang tahunnya, hari raya keagamaan,
ulang tahun perkawinan atau hari-hari penting lainnya. Bahkan mungkin, kita
dapat kembali merasakan perasaan-perasaan berduka ketika mendengar
ada orang lain yang juga mengalami kehilangan anggota keluarga atau
peristiwa sulit seperti yang pernah kita alami.
Adalah wajar jika kita mengalami perasaan-perasaan tersebut. Hal ini
menandakan betapa membekasnya peristiwa tersebut pada diri kita. Bagi
mereka yang kehilangan anggota keluarganya, hal ini menandakan betapa
berartinya orang tersebut dan kita masih merindukan kehadirannya.
Meskipun tidak semua orang akan mengalami, penting bagi kita untuk
menyiapkan diri menjelang tanggal-tanggal tersebut. Perlu kita pahami
bahwa ini adalah bagian dari proses pemulihan. Dalam proses pemulihan,
kita membutuhkan waktu, kesiapan fisik, emosional, spiritual. Dukungan
keluarga, teman dan orang-orang dekat lainnya akan sangat membantu.
Hal-hal yang mungkin kita rasakan dan alami menjelang tanggal peristiwa
sulit atau tanggal-tanggal penting lainnya adalah:

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 19
• Kenangan, mimpi, pikiran dan perasaan.
Kita mungkin teringat kembali gambaran atau peristiya yang pernah
dialami tersebut. Reaksi yang muncul pada diri kita bisa sama dengan
saat peristiwa itu berlangsung.
• Berduka dan kesedihan.
Kita merasakan kembali kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan,
rumah dan kampung halaman. Meskipun kita sudah memiliki pekerjaan
atau rumah kembali, perasaan ini muncul karena apa yang sudah hilang
tidak bisa tergantikan.
• Perasaan takut dan kecemasan.
Kita kembali waspada untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
kehilangan lagi. Kewaspadaan kita muncul karena masih merasakan
kehilangan dan kedukaan. Kita takut dan cemas peristiwa sulit akan
terjadi kembali.
• Frustrasi, marah, dan merasa bersalah.
Kita mungkin merasa marah dan frustrasi karena belum dapat mengatasi
kesulitan akibat peristiwa sulit. Kita menilai proses pemulihan dalam
diri terlalu lama. Dalam peristiwa sulit yang menyebabkan hilangnya
anggota keluarga, mungkin saja kita kembali merasa bersalah karena
telah selamat atau tidak bisa melindungi orang tersebut.
• Menghindar.
Bagi beberapa orang, peristiwa sulit yang dialami begitu membekas
sehingga ia sama sekali tidak ingin merasakan atau mengingat kembali
peristiwa yang terjadi. Kita berusaha tidak mempedulikan reaksi yang
muncul menjelang tanggal-tanggal tersebut. Akibatnya, kita mungkin
mengalami reaksi yang tertunda di kemudian hari.
• Mengalami gangguan fisik.
Kita mungkin mengalami gangguan tidur (mimpi buruk, sulit tidur/
insomnia), kehilangan napsu makan, tidak bersemangat, sakit kepala,
sakit perut ataupun keluhan fisik lainnya.

20 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Selain pada tanggal-tanggal tertentu, reaksi di atas juga dapat kita alami
ketika melewati tempat terjadinya peristiwa traumatis, tempat kenangan
kita dengan anggota keluarga/kerabat yang ‘hilang’, mendengar musik
kesukaannya, atau melihat tayangan televisi.

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?

1. Yakin bahwa apa yang kita alami merupakan hal yang wajar terjadi dan
bagian dari proses penyembuhan. Seiring waktu, perasaan sakit dan
kesedihan sedikit demi sedikit berkurang, meskipun tidak akan benar-
benar hilang.
2. Cari tahu kapan saja kita bisa teringat kembali pada peristiwa sulit
dan reaksi berulang apa yang biasanya muncul pada diri kita. Dengan
demikian, kita bisa mengantisipasinya. Lihat kembali hal-hal apa
yang membuat kita bisa melalui masa sulit. Ini adalah saat untuk
menghargai keberanian, ketegaran, daya dan segala usaha yang sudah
kita keluarkan dan diberikan oleh mereka yang dekat dengan kita.
3. Ceritakan kepada keluarga dan orang dekat lainnya mengenai
kemungkinan terjadinya reaksi berulang dan sampaikan apa yang
kita butuhkan. Bila sedang menjalani proses konseling, kita bisa
menemui konselor lebih sering. Kita juga bisa menceritakannya kepada
pendamping, korban atau keluarga korban yang lain. Yang terpenting,
kita tidak sendirian saat reaksi berulang terjadi. Ingat, reaksi berulang
bersifat sementara dan wajar dialami.
4. Bagi mereka yang kehilangan anggota keluarganya, lakukan upaya
untuk mengenang kerabat tersebut. Usahakan untuk fokus pada hal-
hal positif dan waktu yang pernah dihabiskan bersama, bukan pada
kehilangannya. Upaya ini bisa dilakukan antar-anggota keluarga, antar-
tetangga, antar-keluarga korban atau antar-kampung yang memiliki
pengalaman serupa. Dengan begitu, kita bisa saling mendukung dan
lebih kuat menghadapi perasaan sedih dan duka.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 21
5. Cobalah untuk mengalihkan pikiran dengan melakukan kegiatan yang
menyenangkan. Biasanya saat reaksi berulang muncul, kita cenderung
terlarut dalam perasaan-perasaan negatif. Kita bisa mengalihkannya
dengan berbagai cara yang kita anggap menyenangkan. Misalnya
bermain dengan anak atau cucu, mengunjungi kerabat atau teman,
membaca atau berkebun.
6. Jika lokasi-lokasi tertentu atau pemberitaan di media membuat kita
merasa lebih sedih, cemas atau sangat tertekan, ada baiknya kita
menghindari tempat tersebut atau membatasi konsumsi berita untuk
sementara waktu.
7. Beri kesempatan pada diri kita untuk merasa sedih dan kehilangan.
Jika memang ingin menangis, menangislah. Yang perlu diingat, jangan
sampai kita terlarut. Berilah diri kita kesempatan untuk juga merasa
senang dan bahagia.
8. Cara lain yang bisa membantu adalah menghadiri acara peringatan
terjadinya peristiwa sulit tersebut. Kita dapat berkumpul dan berbagi
perasaan dengan sesama korban atau keluarga korban.
9. Jika perasaan yang timbul semakin mendalam dan sulit diatasi, silakan
mencari bantuan ahli seperti psikolog atau psikiater. Para ahli memiliki
informasi tentang cara-cara yang mendorong proses pemulihan.

Perasaan Bersalah
Pengalaman sulit atau traumatis terkadang menimbulkan perasaan bersalah
pada orang yang mengalaminya ataupun orang-orang terdekatnya. Ada
yang merasa bersalah karena tidak dapat menemukan atau menyelamatkan
orang yang disayangi. Ada pula yang merasa bersalah karena dirinya
berhasil selamat, sementara orang lain tewas. Lainnya merasa bersalah
karena tidak sempat menunjukkan kasih sayang kepada orang yang hilang
atau meninggal dunia.

22 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Kita juga dapat merasa bersalah karena memendam perasaan benci atau
ingin membunuh pelaku kekerasan yang menyakiti kita atau orang yang
disayangi. Atau malah, kita merasa bersalah karena merasa tidak kuat
dengan beban hidup dan ingin bunuh diri.
Perasaan bersalah merupakan reaksi yang wajar setelah kita merasa
terguncang akibat mengalami peristiwa traumatis. Sebenarnya, perasaan
bersalah adalah kemarahan yang kita limpahkan kepada diri sendiri.
Peristiwa traumatis yang terjadi secara mendadak menimbulkan frustrasi
dan perasaan sesal karena kita menilai diri kita tidak bertindak sebagaimana
seharusnya; atau malah melakukan tindakan yang justru berakibat buruk.
Frustrasi dan perasaan sesal ini membangkitkan perasaan marah. Akan
tetapi, perasaan-perasaan tersebut tidak bisa dilampiaskan kepada pihak
yang dianggap bertanggung jawab. Akhirnya, kita melampiaskannya kepada
diri sendiri dan menimbulkan perasaan bersalah yang kuat.
Penyebab lain munculnya perasaan bersalah adalah kita menduga orang
lain menyalahkan kita atas terjadinya peristiwa traumatis tersebut. Kita
takut orang lain akan menganggap kita tidak berguna atau pecundang
karena tidak bisa melindungi pasangan, anak atau teman.
Tidak bisa dipungkiri, sebagian kecil orang mungkin menyalahkan tindakan
kita. Tapi sesungguhnya, kebanyakan orang justru akan memaklumi tindakan
kita. Bayangkan seandainya keluarga atau teman berada dalam posisi kita.
Akankah kita memarahi mereka jika mereka mengambil tindakan seperti
yang kita lakukan ?
Kebanyakan dari kita cenderung menghukum diri sendiri dengan berbagai
cara untuk mengurangi perasaan bersalah. Terkadang cara yang digunakan
justru membuat orang-orang di sekitar kita semakin menjauh. Kita
menggunakan cara-cara negatif untuk mengurangi perasaan bersalah,
seperti menyendiri, minum-minuman keras, menggunakan narkoba, makan
berlebih atau tidak mau makan sama sekali. Padahal, untuk mengatasi
perasaan bersalah, dukungan dari orang-orang sekitar sangatlah penting.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 23
Perasaan bersalah yang berlarut-larut akan menghambat kita menyelesaikan
masalah yang dihadapi dan menyebabkan kita seolah hidup di masa lalu.
Bahkan mungkin, aktivitas sehari-hari pun menjadi sulit kita lakukan.
Perasaan bersalah yang berlarut menyebabkan kita mengalami kesulitan
untuk melanjutkan kehidupan kembali.
Jika perasaan bersalah timbul pada diri kita, ingatlah bahwa apa yang
telah terjadi benar-benar di luar kuasa dan kendali kita. Kita tidak dapat
mencegah peristiwa itu. Apa yang kita lakukan saat itu memang satu-
satunya cara yang mungkin dilakukan dalam kondisi tersebut.

Mengatasi Perasaan Bersalah


Untuk mengawali usaha mengatasi perasaan bersalah, cobalah
mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan seseorang
yang dapat membantu.

1. Apa yang terjadi? Coba tuliskan Anggapan yang Keliru


apa yang terjadi. Buatlah daftar
“Kalau saja saat itu saya..., dia pasti
semua fakta yang kita ketahui. masih hidup.”
Apa perbuatan kita saat itu yang Sekali lagi, kita hanya manusia
baik dan yang kita anggap buruk? biasa yang memiliki keterbatasan.
Kita tidak memiliki kekuatan super
Apa hal yang tidak kita lakukan untuk mencegah terjadinya suatu
saat itu yang akibatnya baik dan peristiwa.
yang kita anggap buruk? “Ini salah orangtuanya/suaminya/
istrinya/dokter.”
2. Mengapa hal itu terjadi? Coba Menyalahkan orang lain yang bukan
jelaskan mengapa hal itu bisa pelaku sesungguhnya adalah salah
terjadi pada diri kita. Apakah satu tanda bahwa kita belum bisa
menerima kenyataan. Dengan
kejadian tersebut tidak bisa belajar menerima peristiwa yang
dicegah atau diduga? Apakah telah terjadi, kita dapat memulihkan
itu kehendak Tuhan? Apakah diri dari rasa bersalah, duka dan
kehilangan.
kita melakukan suatu kesalahan

24 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
hingga hal itu bisa terjadi pada
kita?
“Saya tahu mereka menganggap
3. Apa yang kita lakukan pada saya gagal/tidak berguna/
penyebabnya.”
saat itu dan mengapa kita
Tidak bisa dipungkiri, kita sebagai
melakukannya? Coba tempatkan korban seringkali mendapat stigma
diri kita dalam situasi saat itu dari lingkungan. Ketakutan akan
dan renungkan bagaimana adanya stigma tersebut membuat
kita menduga orang lain akan
suasana saat itu membuat kita menganggap buruk diri kita.
melakukan tindakan tersebut. Sesungguhnya, cukup banyak orang
yang bisa memahami dan mendengar
4. Bagaimana pengaruh peristiwa curahan hati kita.
tersebut terhadap kita setelah “Saya tidak akan bisa menikmati
kita mengalaminya ? Pikirkan hidup seperti dulu lagi.”
perubahan apa saja yang terjadi Sesungguhnya kita memiliki
kemampuan alamiah untuk
pada kita sesudahnya. Apakah memulihkan diri sendiri. Hidup kita
perubahan tersebut baik atau mungkin selamanya berubah setelah
buruk? Apa alasan perubahan mengalami peristiwa traumatis, tetapi
bukan berarti kita harus selamanya
yang terjadi pada diri kita? merasakan kepedihan.
5. Kalau kita mengalami peristiwa
itu kembali, tindakan apa yang
akan dilakukan dan berbeda dari dulu, agar kita dapat mengatasinya
lebih baik? Tanyakan pada diri kita dampak dari kejadian itu yang akan
membuat kita mengatasi situasi traumatis dengan lebih baik. Apa saja
kekuatan dan pengetahuan yang sekarang kita miliki yang tidak kita
miliki saat itu?
Langkah-langkah di atas dapat membantu kita memahami penyebab
munculnya perasaan bersalah dalam diri sendiri. Setelah memahaminya,
lakukan langkah-langkah berikut:
1. Hayati apa yang kita rasakan; bedakan perasaan prihatin dengan
perasaan bersalah. Bila kita merasa sedih atas meninggalnya orang
lain atau peristiwa sulit yang dialami oleh orang lain, sadarilah bahwa
kita bukan pelaku dalam peristiwa itu. Sehingga, apa yang kita rasakan

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 25
bukanlah perasaan bersalah melainkan perasaan prihatin.
2. Tulislah pikiran-pikiran yang mengganggu dalam selembar kertas
dan tuliskan akibat positifnya jika kita tidak berpikir seperti itu.
Misalnya: Bapak Andi sudah berbulan-bulan tidak masuk kerja karena
menyalahkan dirinya atas hilangnya seorang rekan kerja akibat
peristiwa penyerangan. Pak Andi tidak tahu bahwa saat itu akan terjadi
musibah dan Pak Andi tidak mampu mengubah masa lalu. Jika beliau
berhenti menyalahkan diri sendiri, Pak Andi mampu melakukan hal-hal
positif untuk menghadapi kehilangan dan kesedihannya.
3. Sadari keterbatasan kita dan ingatlah bahwa kita adalah manusia biasa,
sehingga wajar bila melakukan kesalahan. Kita juga tidak bisa mengatur
segala sesuatu seperti kehendak kita. Saat itu kita melakukan tindakan
dalam situasi kalut dan kondisi diri yang sedang terguncang. Jika
terjadi tembakan, secara naluriah tentunya kita lari menyelamatkan
diri. Begitu pula Pak Andi dalam contoh di atas. Usahakan untuk tidak
menyalahkan diri sendiri. Pada saat itu kita tidak punya waktu dan
kesempatan untuk memikirkan tindakan yang tepat dan rasional.
Belajarlah untuk memaafkan diri sendiri. Menghukum diri sendiri
tidak dapat menghilangkan perasaan bersalah yang muncul, justru
membuat kita semakin terlarut dalam kedukaan.
4. Pisahkan perasaan bersalah yang muncul dengan perasaan rendah diri.
Jika kita tidak mampu berbuat sebaik yang kita harapkan atau yang
orang lain harapkan, bukan berarti kita terus menerus menganggap
diri kita tidak berguna.
5. Daripada terus-menerus menganggap diri buruk, akan jauh lebih baik
jika kita memikirkan kemungkinan perubahan diri. Renungkanlah
bagaimana kejadian itu telah mengubah kita. Pikirkanlah bagaimana
kita bisa menghadapi kejadian serupa nantinya dengan cara yang lebih
baik. Apakah peristiwa itu membuat kita menjadi orang yang lebih
kuat dan lebih bijak? Apakah dengan selamat dari kejadian itu kita
diberi kesempatan untuk berbuat lebih baik dalam hidup kita? Apa

26 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
langkah yang akan kita ambil setelah ini? Pikirkanlah hal tersebut di
atas dengan tenang. Hindari bertindak secara terburu-buru.

Perasaan Marah
Marah merupakan perasaan yang wajar kita alami setelah mengalami
peristiwa sulit atau traumatis. Terlebih, jika kita kehilangan orang yang kita
sayangi atau sesuatu yang berharga setelah peristiwa tersebut.
Mengelola perasaan marah bukanlah hal yang mudah. Kita mungkin terlarut
dalam kemarahan karena kuatnya perasaan tersebut. Melampiaskan
kemarahan memang merupakan bagian proses pemulihan. Akan tetapi,
terus-menerus berada dalam kemarahan justru memperburuk kondisi kita
sendiri dan membuat orang di sekitar menjauh.
Seringkali, pelampiasan perasaan marah yang timbul setelah peristiwa
traumatis justru salah alamat. Kita marah terhadap diri sendiri karena
merasa tidak berdaya saat peristiwa terjadi. Kita marah terhadap orang
lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa dan bukan pelaku
sesungguhnya, misalnya pasangan atau tim medis yang sudah berupaya
membantu.
Hal ini tentu menyulitkan proses pemulihan karena kita tidak hanya
kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, namun juga kepada diri sendiri.
Kita menghukum diri sendiri dan orang-orang sekitar begitu kuatnya hingga
kita seolah-olah terpenjara dalam perasaan tersebut.
Untuk mereka yang kehilangan orang terdekatnya secara paksa atau
mengalami penyiksaan, perasaan marah dapat mengingatkan mereka akan
ketidakadilan yang dialami. Secara tidak sadar, mereka menolak untuk
mengelola perasaan marah karena tidak mau melupakan apa yang telah
terjadi.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 27
Padahal, mengelola perasaan marah bukan berarti kita melupakan apa
yang telah terjadi. Justru dengan mengelola perasaan marah, kita bisa
berpikir lebih rasional, menentukan langkah apa yang akan diambil untuk
memperjuangkan keadilan, serta lebih mampu menyampaikan aspirasi kita.
Jika kita tenang, bukan berarti kita memaafkan begitu saja pelakunya.
Sebagian orang mungkin mengalami kesulitan mengelola perasaan
marahnya. Ada yang menyangkal atau mengabaikan perasaan ini dan
memendamnya dalam-dalam, atau justru malah bersikap agresif dan
meledak-ledak. Cara-cara tersebut bukanlah cara yang sehat.
Menyimpan perasaan marah dalam jangka waktu panjang, dapat membuat
kita kehilangan kontrol diri. Sementara menyalurkan perasaan marah secara
meledak-ledak tidak akan membuat lega, justru membuat perasaan marah
kita semakin kuat.
Kita dapat mengelola perasaan marah dengan merefleksikan diri. Perasaan
marah kadang merupakan bentuk dari perasaan duka, kehilangan atau
perasaan takut. Agar mudah mengelolanya, kita perlu mengenali apa yang
mendasari perasaan marah.
Untuk mengelola perasaan marah, cara-cara berikut dapat dicoba:
1. Akui bahwa kita marah atas apa yang terjadi pada diri sendiri atau
orang dekat.
2. Sadari bahwa marah adalah reaksi yang wajar atas peristiwa yang
luar biasa. Yang membedakan adalah bagaimana kita mengontrol dan
mengelolanya.
3. Kenali akar permasalahannya dan perasaan-perasaan lain yang
mungkin menyulut kemarahan kita. Misalnya perasaan duka, sedih,
atau takut.
4. Cari penyaluran yang tepat. Cobalah berbicara dengan keluarga,
teman, mengikuti konseling untuk mengatasi perasaan duka, terlibat
dalam kegiatan membantu sesama korban, dll.

28 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
5. Kembangkan sikap hidup yang positif. Lakukan kegiatan untuk
membantu orang lain daripada menyakiti orang lain.
6. Hindari cara-cara negatif untuk menyelesaikan masalah.
Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan tidak akan membantu
menyelesaikan masalah, melainkan akan memperburuk kondisi kita.
7. Fokuskan diri pada sensasi tubuh. Ketika kita marah, biasanya
terjadi peningkatan ketegangan pada tubuh kita. Napas memburu
dan pendek-pendek, jantung berdebar, otot-otot menegang, kepala
berdenyut-denyut. Cobalah untuk menenangkan diri saat ketegangan
muncul di bagian tubuh tertentu. Beberapa caranya adalah dengan
memperlambat atau mengatur pernapasan, melemaskan otot-otot
tangan, jalan-jalan sebentar, atau jika memungkinkan minum air putih.
Biasanya secara otomatis, ketegangan di bagian tubuh yang lain akan
turut mereda secara perlahan.
8. Fokuskan diri pada kegiatan. Kita juga bisa mengalihkan kemarahan
yang dirasakan dengan melakukan kegiatan lain yang bisa menenangkan,
misalnya menghitung mundur dari 100, berjalan-jalan, tidur, olah
raga, atau melakukan hobi. Mendengarkan musik, menonton TV dan
melakukan aktivitas rutin harian juga dapat membantu kita mengelola
perasaan marah.
9. Fokuskan diri pada pemikiran. Caranya adalah dengan mengatakan
berkali-kali kepada diri sendiri ”Saya tenang“ atau “Tenang”, ”Saya
bisa mengatasinya”.

Cara-cara di atas memberikan efek yang berbeda untuk setiap orang. Oleh
karenanya, penting untuk mengenali dan mempraktikkan cara yang paling
tepat bagi kita pribadi.
Bagaimana bila yang sulit mengelola kemarahan adalah anggota keluarga/
kerabat?

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 29
Berikut adalah cara-cara yang mungkin kita lakukan untuk menghadapi
anggota keluarga/kerabat tersebut.
1. Dengarkan dan beri ruang untuk mengeluarkan perasaannya. Mereka
akan semakin marah bila kita abaikan perasaannya. Dengan diberi
ruang dan didengarkan, mereka akan merasa diperhatikan.
2. Ciptakan suasana yang aman dan menenangkan. Berikut cara-
caranya:
• Cobalah untuk menggunakan nada suara yang tenang, tidak
terpancing, namun tetap tegas. Nyatakan dengan jelas bahwa kita
tidak ingin membicarakan masalahnya sambil berteriak.
• Minta mereka untuk duduk bersandar agar lebih nyaman. Untuk
kita sendiri, pilih posisi duduk bersisian karena posisi duduk
berhadapan akan dirasa lebih mengancam.
• Pertahankan kontak mata dan sesekali mengangguk untuk
menunjukan bahwa kita berespon.
• Ungkapkan pernyataan-pernyataan peduli, seperti: “Saya tahu
Bapak/Ibu marah”, “Saya turut prihatin dengan apa yang Bapak/
Ibu alami. Sulit memang jika kondisinya seperti itu”, “Frustrasi
memang kalau apa yang Bapak/Ibu pernah alami sepertinya
dianggap tidak pernah terjadi”, “Kalau saya mengalami apa yang
Bapak/Ibu alami, mungkin saya stres juga”, dll.
• Jika memungkinkan, setujui pendapat dan perasaannya dengan
pernyataan yang berefek menenangkan. Misalnya, “Saya
sependapat”, “Dalam hal ini, langkah yang Bapak/Ibu ambil sudah
tepat”, “Saya mengerti maksud Bapak/Ibu”.
• Minta maaflah jika dirasa perlu dan berkaitan langsung dengan
diri kita. “Maaf, selama ini mungkin saya ...”
• Perhatikan bahasa tubuhnya. Jangan mengulangi kata atau
perbuatan yang membuatnya menarik diri atau semakin marah.

30 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
• Apabila cara-cara yang dilakukan tidak berhasil, jika memungkinkan,
minta orang lain untuk menghadapinya.
3. Klarifikasi situasi. Setelah marahnya mereda, ajukan pertanyaan untuk
mencari tahu akar masalahnya. Usahakan pertanyaan tersebut fokus
pada fakta. Biasanya perasaan marah timbul karena seseorang merasa
kecewa dan bingung. Buat kesimpulan berdasarkan fakta tersebut.
“Sebenarnya Bapak/Ibu kecewa karena.....”
4. Diskusikan jalan keluarnya. Setelah situasinya tenang dan jelas,
diskusikan jalan keluarnya bersama-sama. Tunjukan bahwa kita mau
membantunya. Tawarkan bantuan (“Kira-kira apa yang bisa saya
bantu?”). Hindari menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa kita
penuhi.
5. Beri penghargaan. Ucapkan kata penutup yang bersifat positif,
misalnya: “Saya senang sekali Bapak/Ibu mau membahas masalah ini
dengan saya”, “Makasih ya Pak/Bu, sudah mau terbuka dengan saya.”

Perasaan Takut
Seringkali kita menganggap diri sendiri lemah jika memiliki perasaan takut,
terlebih jika kita menilai ketakutan tersebut berlebihan. Sesungguhnya
wajar jika kita merasa takut setelah mengalami peristiwa traumatis.
Umumnya perasaan takut muncul jika kita menghadapi sesuatu yang
berkaitan langsung atau mengingatkan kita dengan peristiwa traumatis.
Misalnya seseorang yang mengalami tindak kekerasan saat berdemonstrasi.
Ia mungkin merasa takut untuk berdemonstrasi kembali atau ketika melihat
kerumunan massa yang sedang berunjuk rasa.
Kita juga mungkin mengalami ketakutan luar biasa pada hal-hal yang tidak
berhubungan langsung dengan peristiwa yang dialami. Misalnya, pada
contoh di atas, setelah mengalami kekerasan saat demonstrasi, orang

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 31
tersebut menjadi ketakutan tiap mendengar suara keras atau teriakan.
Ternyata suara tersebut mengingatkannya pada suara orang-orang yang
menyerang dirinya saat berunjuk rasa.
Perasaan takut cenderung membuat kita menghindari hal yang bisa
menimbulkan ketakutan. Selanjutnya, ketakutan bisa membuat kita
menghindari berbagai hal yang kita anggap akan membuat peristiwa
serupa terjadi lagi. Jika sudah sangat berlebihan, perasaan takut ini dapat
mengganggu fungsi sehari-hari. Misalnya seseorang yang pernah mengalami
kerusuhan massa. Ia menjadi takut keluar rumah dan takut melihat tempat
yang suasananya mirip. Ketakutan seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut
akan sangat mengganggu dan harus dihentikan agar kita dapat kembali
beraktivitas.
Cara yang paling baik untuk menghentikan ketakutan adalah dengan cara
menghadapinya. Tentunya hal ini tidaklah mudah. Butuh waktu, tekad dan
keberanian luar biasa untuk dapat melakukannya. Akan lebih baik jika kita
melakukannya setahap demi setahap, agar kita terhindar dari frustrasi jika
belum mencapai kemajuan yang diharapkan.
Berikut adalah beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk mengurangi
perasaan takut.
1. Pikirkan kondisi yang membuat kita merasa takut. Tuliskan pada sebuah
buku catatan. Urutkan hal-hal apa yang menimbulkan ketakutan paling
besar, berturut-turut ke yang lebih ringan hingga akhirnya ketakutan
yang paling minimal. Misalnya pada contoh demonstrasi tadi, yang
paling besar adalah ketika ia harus berorasi saat unjuk rasa. Sedangkan
yang sedang adalah jika ia hanya menjadi peserta unjuk rasa damai.
Sedangkan yang paling minimal adalah menyiapkan poster untuk
demonstrasi.
2. Mulailah mencoba membiasakan diri untuk melakukan hal yang
takutnya paling minimal, berangsur-angsur ke yang lebih tinggi tingkat
ketakutannya. Minta bantuan rekan atau keluarga untuk mendukung

32 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
kita. Jika belum bisa melakukannya sendiri, kita meminta mereka
menemani untuk sementara waktu hingga kemudian berangsur-angsur
kita melakukannya sendiri.
Untuk contoh di atas, mulailah dengan membiasakan diri menyiapkan
poster atau spanduk untuk unjuk rasa. Jika sudah bisa melakukannya
tanpa merasa takut, langkah selanjutnya adalah mengikuti aksi-aksi
damai, misalnya membagikan selebaran atau stiker tentang menjaga
kebersihan lingkungan. Kemudian baru mencoba melakukan unjuk
rasa dengan isu-isu politik dan keadilan, demikian seterusnya.
3. Tetapkan target yang sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
diri. Hindari membuat target yang berlebihan dan mengharuskan diri
untuk kembali pulih dalam waktu singkat. Misalnya kita mentargetkan
minggu depan sudah kembali berorasi saat unjuk rasa, padahal kita
masih lemas dan gemetar saat melihat kerumunan massa. Kita harus
menyadari bahwa proses ini memerlukan waktu.
4. Catat keberhasilan yang sudah kita raih. Gunakan sebagai tolok ukur
yang dapat mendorong kita untuk berusaha lebih baik lagi. Bandingkan
kemajuan yang diperoleh saat ini dengan kondisi kita setelah
mengalami peristiwa traumatis. Dengan begitu, kita dapat melihat
bahwa sebelumnya kita tidak dapat melakukan sesuatu, namun kini
berangsur-angsur mengalami kemajuan.

Pikiran yang mengganggu


“Kenapa saya sulit melupakan peristiwa itu?”
“Kok saya selalu teringat kejadian itu tiap kali melewati
tempat ini?”
“Sepertinya saya jadi enggak waras…..normal enggak sih saya
ini? Kemana pun pasti selalu terbayang-bayang… seperti film
rasanya.”

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 33
Keluhan-keluhan di atas seringkali dialami mereka yang pernah mengalami
peristiwa traumatis. Pikiran dan bayangan tertentu memang umumnya
muncul dan terjadi berulangkali selama beberapa hari atau beberapa
minggu setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis.
Pada beberapa orang, setelah beberapa minggu, pikiran atau bayangan
tersebut mungkin tidak begitu dirasakan atau malah tidak muncul sama
sekali. Namun bagi orang lain, pikiran atau bayangan tersebut dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bekerja, konsentrasi, dan kegiatannya
sehari-hari, seperti pola makan dan tidur. Pada beberapa orang, pikiran atau
bayangan tersebut menimbulkan respon emosi tubuh yang kuat, misalnya
perasaan panik, takut atau marah.
Mimpi buruk, ingatan yang selalu muncul dan kilas balik adalah bentuk-
bentuk dari pikiran mengganggu yang mungkin kita alami.

Mimpi Buruk
Ini merupakan jenis gangguan yang sering terjadi dan merupakan rekasi
alami manusia terhadap peristiwa traumatis. Kadang mimpi buruk yang
dialami berkaitan dengan satu aspek dari peristiwa traumatis atau malah
tidak berhubungan sama sekali.

Ingatan yang Selalu Muncul


Setelah mengalami peristiwa traumatis, mungkin saja muncul bayangan
atau imajinasi tertentu di saat yang tidak terduga atau saat ada sesuatu
yang mengingatkan kita pada peristiwa itu. Bayangan atau imajinasi ini bisa
muncul secara berulang-ulang. Gangguan ini sangat tidak menyenangkan
dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.

Kilas Balik (Flashback)


Hampir sama dengan bayangan atau imajinasi, hanya saja kilas balik lebih
sering terjadi dan terasa lebih nyata. Orang yang mengalami hal ini merasa
mereka kembali lagi pada situasi traumatis tersebut. Mereka dapat melihat,

34 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
mendengar atau bahkan mencium hal yang sangat spesifik seperti ketika
peristiwa itu terjadi.
Kilas balik biasanya diikuti dengan perasaan tegang, detak jantung dan
pernapasan yang semakin cepat, perasaan panik, marah, takut, dll. Kilas
balik lebih sulit utuk dikendalikan sehingga beberapa orang mungkin
membutuhkan bantuan khusus. Meskipun demikian, kilas balik dapat
berkurang dengan sendirinya seiring waktu.
Selain ketiga hal di atas, pada anak-anak, pikiran yang mengganggu bisa
saja muncul dalam bentuk permainan. Anak secara berulang-ulang akan
melakukan permainan dengan tema seputar peristiwa traumatis yang
dialaminya. Mereka memerankan peran atau memilih cerita yang sama
berulangkali. Misalnya setelah mengalami kecelakaan, tiap kali bermain,
Budi selalu membuat mobil-mobilannya saling bertabrakan. Sementara Adi,
selalu bermain tembak-tembakan setelah melihat kejadian penembakan.
Berikut adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengelola pikiran
yang mengganggu:
1. Menghindari hal-hal yang tidak perlu dan dapat mengingatkan kembali.
Ini merupakan cara yang paling sederhana. Cara yang dipakai termasuk
menghindari tempat, orang atau benda yang bisa mengingatkan kita
pada peristiwa traumatis. Untuk jangka pendek, cara ini memang
mungkin dilakukan. Akan tetapi jika hal yang membangkitkan ingatan
ada di rumah, tentunya hal ini tidak bisa dilakukan. Selain itu, jika
terus-menerus menghindar dalam jangka waktu lama, bukan tidak
mungkin aktivitas kita sehari-hari akan terhambat.
2. Melakukan kegiatan tertentu untuk mengalihkan pikiran. Pengalihan
merupakan cara yang efektif untuk mengatasi pikiran mengganggu yang
muncul. Bersiul, menghitung cepat hingga sepuluh, memperhatikan
warna-warna barang dalam ruangan, menghitung mundur atau berdoa,
adalah kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengalihkan
perhatian.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 35
3. Melakukan metode penghentian pikiran. Metode lain yang juga efektif
mengatasi pikiran yang mengganggu adalah dengan berupaya berhenti
memikirkan hal tersebut. Ketika pikiran yang mengganggu muncul, kita
bisa mengetukkan jari atau berteriak (katakan dalam hati jika berada di
tengah keramaian) “STOP!” atau “CUKUP!”. Kemudian lakukan sesuatu
untuk menenangkan diri.
4. Melakukan kegiatan-kegiatan yang menenangkan. Orang menenangkan
diri melalui berbagai cara, mulai dari menyanyi, membaca buku,
menonton TV, olah raga atau berkebun. Tidak setiap teknik sesuai
untuk semua orang, tapi kebanyakan orang dapat menemukan satu
teknik yang dapat menenangkan dan menyenangkan. Jika cara yang
biasa dilakukan tidak berhasil, mungkin kita memerlukan cara yang
berbeda.
5. Bertanya pada diri sendiri:
o Apakah yang saya pikirkan memang sungguh-sungguh benar?
Dimana letak kebenarannya? Berapa besar kebenarannya?
o Apakah pikiran ini membuat perasaan saya menjadi lebih baik
atau justru lebih buruk?
o Apakah pikiran ini bermanfaat untuk dipertahankan?
o Apakah cara berpikir saya ini merupakan cara berpikir satu-
satunya? Bagaimana tanggapan orang lain dalam situasi serupa?
o Adakah cara berpikir lain yang lebih baik dan perlu saya
kembangkan agar saya bisa merasa lebih baik?

6. Tuliskan pikiran-pikiran yang mengganggu, lalu tuliskan pikiran yang


lebih masuk akal dan positif mengenai hal yang sama.
Contoh:
Pikiran yang tiba-tiba muncul dan belum tentu benar
_________________________________________________________
_________________________________________________________

36 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Cara mengubahnya menjadi pikiran yang lebih masuk akal dan positif
_________________________________________________________
_________________________________________________________

Penting untuk diingat, bahwa untuk mengelola pikiran yang mengganggu:


- Cara yang berhasil bagi satu orang, belum tentu berhasil untuk
orang lain.
- Cara yang berhasil pada suatu waktu tertentu, belum tentu
berhasil di waktu yang lain.
- Laki-laki dan perempuan memiliki cara yang berbeda dalam
mengatasi tekanan yang dialami.
- Kenali dan praktikkan cara yang dianggap efektif yang bisa
mengalihkan pikiran kita dari pikiran yang mengganggu.

Relaksasi
Relaksasi adalah suatu proses yang dilakukan dengan sengaja untuk
melepaskan ketegangan yang dimiliki. Dengan berelaksasi, kita dapat lebih
mengendalikan diri meskipun sedang menghadapi situasi penuh tekanan,
merasa gelisah, marah dan takut.

Relaksasi merupakan teknik yang membutuhkan keterampilan. Diperlukan


waktu dan latihan teratur untuk mendapatkan hasil yang optimal. Jika
dilakukan teratur, relaksasi membantu kita:
- Mengurangi perasaan cemas yang sering timbul.
- Mengurangi sakit kepala dan tekanan darah tinggi.
- Mengatasi gangguan sulit tidur.
- Mencegah sesak nafas.
- Mengatasi serangan panik.
- Menurunkan stres.
- Merasa lebih tenang.
- Meningkatkan kreativitas.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 37
Sebelum melakukan relaksasi, penting untuk:
- Menyiapkan suasana atau lingkungan yang tenang. Jika
memungkinkan tanpa gangguan sedikit pun.
- Menyediakan alat bantu yang bisa digunakan untuk membuat kita
merasa tenang. Misalnya kata-kata yang menenangkan, musik
yang lembut, aroma tertentu atau gambar pemandangan yang
indah.
- Menyiapkan diri kita untuk istirahat dan rileks.
- Memilih posisi yang menurut kita paling nyaman. Bisa duduk atau
berbaring, melepas sepatu atau mengendurkan ikat pinggang.
Salah satu teknik relaksasi yang umum digunakan adalah Latihan
Pernapasan. Latihan ini mengutamakan pada pengaturan pola pernapasan.
Teknik ini dapat mengembalikan pola pernapasan kita yang berubah saat
merasa panik, gelisah, tidak nyaman, takut, marah atau gugup.
Langkah-langkahnya adalah:
1. Berbaringlah di atas tikar atau karpet. Renggangkan kaki dan tekuk
kedua lutut. Usahakan punggung kita berada dalam posisi selurus atau
setegap mungkin.
2. Letakkkan satu tangan di atas perut dan tangan lainnya di atas dada.
3. Tarik napas melalui hidung dalam-dalam sampai dada kita sedikit
bergerak dan perut naik.
4. Tahan napas selama lima hitungan. Pada hitungan yang ke-lima,
hembuskan napas perlahan-lahan sambil mendesis.
5. Cobalah bernapas dengan menggunakan siklus 6, yaitu menghirup
udara selama 3 hitungan dan menghembuskannya juga selama 3
hitungan. Keluarkan suara mendesis tiap kali menghembuskan napas.
6. Ulangi siklus 6 sebanyak sepuluh kali, kemudian tahan napas selama
lima hitungan, lalu kembali bernapas dengan menggunakan siklus 6.
7. Teruskan latihan pernapasan ini sampai perasaan tidak nyaman yang
kita miliki menghilang.

38 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
8. Setelah terbiasa, desisan bisa diganti dengan mengatakan r-i-l-e-k-s
secara perlahan. Setelah terbiasa, coba ucapkan kata ‘rileks’ ini dalam
hati, sehingga kita bisa melakukan latihan ini meskipun berada di
tengah keramaian.
9. Cobalah berlatih dalam posisi duduk maupun berdiri, agar kita tetap
dapat menggunakan teknik ini meskipun sedang berada di luar
rumah.

Kelelahan dan Frustrasi


Kelelahan dan frustrasi mungkin dialami mereka yang mengalami peristiwa
traumatis, terutama jika mereka merasa tidak memperoleh keadilan.
Buntunya proses hukum pada kasus pelanggaran HAM berat dan konflik
bersenjata, adalah salah satu contoh yang menyebabkan timbulnya
kelelahan dan frustrasi yang dialami oleh para korban dan keluarganya.
Frustrasi muncul karena hasil yang diharapkan tidak sesuai dengan usaha
dan tindakan yang telah dilakukan. Para pengungsi dan korban pelanggaran
HAM berat tersebut merasa frustrasi karena upaya keras mereka untuk
memperoleh kejelasan, keadilan dan pengakuan, seolah tidak membawa
hasil yang berarti. Pelaku kejahatan HAM bisa bebas begitu saja. Belum lagi
ada upaya impunitas dan melupakan begitu saja peristiwa traumatis yang
mereka alami.
Frustrasi sangat menguras energi. Mengapa demikian? Ketika kita merasa
hasil yang dicapai tidak sesuai dengan tindakan atau usaha yang dilakukan,

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 39
secara otomatis otak kita akan berusaha lebih keras. Hal ini menyebabkan
tenaga kita, fisik maupun mental, akan terkuras untuk segera memecahkan
masalah tersebut.
Oleh karenanya, penting bagi kita untuk memperhatikan kondisi diri.
Jangan sampai kita berjuang dengan ‘tangki’ yang kosong. Jika ini terjadi,
kita akan merasa sangat lelah, mudah tersinggung dan tertekan, hingga
membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih. Akibatnya, upaya kita
memperjuangkan keadilan dapat terganggu.
Berikut adalah cara-cara yang dapat digunakan untuk mengelola kelelahan
dan frustrasi.
1. Cobalah untuk beristirahat. Mencurahkan seluruh tenaga
sekaligus untuk menyelesaikan masalah akibat peristiwa traumatis
akan membuat kita merasa sangat tertekan dan cepat lelah. Jika
merasa seperti kehabisan tenaga, segeralah beristirahat. Lakukan
aktivitas yang menyenangkan atau aktivitas lain yang dapat
mengalihkan perhatian kita.
2. Hargai setiap usaha dan tindakan yang telah kita lakukan. Selama
ini kita menilai perjuangan dari hasil, bukan dari usaha yang
dilakukan. Hal inilah yang menimbulkan kelelahan dan frustrasi.
Ketika kita tidak berhasil menyeret pelaku pelanggaran HAM
berat, kita merasa gagal. Padahal jika ditinjau lebih lanjut, saat ini
sudah ada aturan yang lebih berpihak pada korban pelanggaran
HAM berat. Selain itu, semakin banyak masyarakat yang peduli
tentang isu pelanggaran HAM berat dibanding masa Orde Baru. Ini
adalah suatu kemajuan! Oleh karenanya penting bagi kita untuk
menghargai usaha yang kita lakukan, meski belum membuahkan
hasil seperti yang diharapkan.
3. Ubah cara pandang. Biasanya frustrasi terjadi ketika kita memiliki
cara pandang yang kaku dan sempit. Ketika fokus kita tidak lagi
pada hasil, kita bisa tetap memiliki tenaga dan menjaga semangat
kita untuk tetap berjuang.

40 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
4. Ekspresikan perasaan dengan cara yang sehat. Bicarakan apa
yang dirasakan dan yang mengganggu kepada orang yang kita
percaya. Melakukan aktivitas fisik seperti olah raga, jalan pagi
atau lari, juga dapat membantu kita menyalurkan perasaan kita.
5. Buat rencana dan target capaian yang realistis. Dengan begitu, kita
terhindar dari perasaan kecewa dan tertekan yang berlebihan.
6. Buat catatan hal-hal positif yang telah dicapai. Tuliskan
‘keberhasilan’ yang telah diraih. Tuliskan bagaimana kita akhirnya
bisa kembali beraktivitas, tahu lembaga dampingan, mampu
menyuarakan pendapat di muka umum, dan lain-lain. Hal tersebut
adalah keberhasilan yang mungkin selama ini tidak pernah kita
perhatikan. Perbaharui catatan tiap kali kita melakukan aktivitas
yang berkaitan dengan upaya pemecahan masalah.
7. Tetap berpikiran positif dan melakukan hal yang positif. Mengeluh
dan berpikiran negatif tidak akan menyelesaikan permasalahan.
Hal tersebut justru akan membuat kita merasa tidak berdaya dan
sedih.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 41
42 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Bagian III:

Menata Masa
Depan

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 43
44 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
K
ita membutuhkan proses dan waktu untuk mengelola diri setelah
peristiwa traumatis terjadi. Hidup kita mungkin tidak akan pernah
sama seperti sebelumnya. Banyak perubahan yang mempengaruhi
aktivitas keseharian, hubungan, cara kita melihat masa depan dan tanggung
jawab. Hidup seolah terasa asing dan tidak bisa diprediksi.

Berdamai dengan Diri Sendiri


Menerima dan memaafkan diri sendiri adalah kunci utama untuk
memulihkan diri dari peristiwa traumatis yang dialami. Akan tetapi,
keduanya merupakan hal yang paling sulit dilakukan. Mengapa demikian?
Kita sendiri mungkin masih menyangkal bahwa peristiwa traumatis telah
menimpa kita. Kita belum bisa menerima bahwa kita kehilangan orang yang
dicintai, kehilangan sesuatu yang berharga dan kehilangan kontrol atas
hidup kita sendiri secara mendadak dan tiba-tiba. Kita diliputi perasaan
bersalah yang sangat kuat karena merasa ‘tidak mampu’ melakukan sesuatu
saat peristiwa terjadi.
Apapun yang kita lakukan saat peristiwa traumatis terjadi merupakan
tindakan terbaik dan termungkin yang bisa kita lakukan dalam situasi
penuh tekanan.
Menerima dan memaafkan bukan berarti melupakan. Menerima dan
memaafkan artinya tidak membenci diri sendiri. Menerima bukan sekadar
mengakui terjadinya peristiwa traumatis, tetapi juga menerima segala
dampak yang muncul sesudahnya.
Berdamai dengan diri sendiri sulit dilakukan jika kita tidak merasa siap
melakukannya. Oleh karenanya, kenali dan atasi terlebih dahulu dampak
peristiwa traumatis yang muncul pada diri kita, apakah itu perasaan
marah, duka, bersalah, frustrasi atau takut. Jika mengabaikannya, kita akan
kesulitan untuk berdamai dengan diri sendiri dan melangkah ke depan.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 45
Siap atau tidak, hidup terus berjalan. Banyak peristiwa baru yang terjadi.
Banyak wajah baru yang masuk dalam kehidupan kita. Seiring berjalannya
waktu dan usaha kita untuk memulihkan diri, berangsur-angsur kita semakin
mampu untuk menata masa depan dan berdamai dengan diri sendiri.
Berikut ini beberapa hal yang mungkin bermanfaat dalam proses berdamai
dengan diri sendiri.
- Sadarilah bahwa kita semua memiliki kemampuan dan daya tahan
untuk menghadapi situasi-situasi sulit, termasuk trauma.
- Akui dan terimalah perasaan-perasaan yang sedang kita alami, karena
perasaan tersebut merupakan hal yang wajar. Tidaklah aneh bila kita
merasa marah, sedih, kecewa atau takut. Cobalah untuk menerima dan
mengekspresikan perasaan tersebut dengan tepat dan sewajarnya.
- Menangislah jika merasa membutuhkannya. Terkadang menangis
dapat membantu untuk melepaskan emosi. Berbagi perasaan dengan
orang yang kita percaya juga dapat membantu untuk mengurangi
beban, sehingga kita merasa lebih baik.
- Tuliskan apa yang kita rasakan pada sehelai kertas atau buku harian.
Hal ini membantu saat kita belum siap membuka diri pada orang lain.
Kita juga bisa menulis surat kepada orang yang dekat dengan kita,
tanpa harus mengirimnya.
- Berikan waktu untuk menyendiri jika kita merasa membutuhkannya.
Mungkin kita ingin merefleksikan apa yang telah dialami dan apa yang
akan dilakukan selanjutnya, atau kita hanya ingin menenangkan diri.
Lakukanlah sesuai dengan kebutuhan karena terlalu banyak menyendiri
dapat merugikan.
- Belajarlah membuka diri dan menerima dukungan yang diberikan oleh
keluarga, teman atau orang-orang di sekitar kita. Kita dapat mencoba
membicarakan apa yang kita alami atau rasakan dengan mereka,
sehingga mereka akan lebih memahami bahkan mungkin membantu
meringankan beban kita.

46 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
- Berbagi dengan orang lain yang pernah mengalami peristiwa serupa
juga akan sangat membantu. Kita bisa berbagi pengalaman dan belajar
dari mereka bagaimana mengatasi situasi sulit seperti yang sedang kita
alami.
- Lakukan kegiatan-kegiatan positif yang dapat membuat kita merasa
nyaman dan rileks. Jenis kegiatan ini bisa bermacam-macam,
tergantung apa yang kita minati. Misalnya dengan latihan relaksasi,
mendengarkan musik, pijat, berkebun, beribadah menurut keyakinan,
menjalankan hobi seperti olah raga, melukis, menulis, dan lain-lain.
- Sadarilah bahwa memulihkan diri seringkali membutuhkan waktu
yang tidak singkat dan proses yang tidak mudah. Karenanya, kita perlu
bersabar terhadap diri sendiri dalam menjalaninya.
- Hargai kemajuan yang berhasil kita capai, sekecil apapun itu.
Bandingkanlah kemajuan diri kita sekarang dengan apa yang tidak
dapat dilakukan sesaat setelah peristiwa traumatis terjadi. Misalnya,
setelah peristiwa traumatis kita sama sekali tidak berani keluar
rumah, sekarang kita mulai berjalan-jalan di kompleks perumahan.
Sebelumnya kita harus didorong orang lain untuk menghubungi
lembaga dampingan, sekarang kita sudah bisa menghubungi dan
mengatur jadwal sendiri, dan sebagainya.
- Jagalah kesehatan dengan makan makanan yang bergizi, istirahat yang
cukup dan olahraga teratur. Ada kalanya kita malas makan atau malah
nafsu makan bertambah secara berlebihan. Sebaiknya cobalah untuk
mempertahankan pola makan yang teratur, misalnya tiga kali sehari
dalam porsi biasa, atau empat sampai lima kali sehari dalam porsi yang
lebih sedikit.
- Bersantailah. Jika mengalami sulit tidur, meminum minuman hangat
sambil mendengarkan musik yang menenangkan atau menonton
film yang kita sukai mungkin membantu. Sebaiknya hindari minuman
berkafein, alkohol atau obat tidur yang justru dapat membahayakan
kesehatan kita.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 47
- Carilah sisi-sisi positif dari kehidupan kita sehari-hari. Misalnya,
bersyukur bahwa kita masih diberi kesempatan untuk bangun pagi,
menghirup udara segar, bisa berkumpul dengan anggota keluarga
lainnya atau hidup rukun.
- Memasrahkan kehidupan kita pada Yang Maha Kuasa juga bisa
membantu pemulihan.

Membantu Orang Lain yang


Mengalami Peristiwa Traumatis
Setiap orang pasti tidak pernah mengharapkan peristiwa traumatis
menimpa dirinya atau orang-orang di sekelilingnya. Apabila peristiwa
tersebut menimpa orang-orang yang dekat dengan kita, mungkin kita-lah
yang dapat membantu mereka. Jika ingin mendampingi mereka, beberapa
hal berikut perlu kita pertimbangkan.

Yang dapat dilakukan…


- Menyediakan waktu untuk mendengar keluhannya.
- Menerima apa adanya, misalnya ia mungkin akan mengalami cacat
tubuh, lebih mudah tersinggung, dll.
- Bersabar dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi
padanya.
- Menunjukkan pengertian bahwa ia membutuhkan waktu untuk pulih.
- Membantu meringankan bebannya, sehingga ia dapat memiliki waktu
untuk beristirahat atau menenangkan diri sendiri. Misalnya jika ia
ibu rumah tangga, tidak ada salahnya suami membantu melakukan
pekerjaan sehari-hari atau mengasuh anak-anak. Jika ia adalah
rekan kerja, tidak ada salahnya kita membantu untuk menyelesaikan
pekerjaan yang belum sanggup dikerjakannya. Sebelum menawarkan
memberikan bantuan, tanyakan terlebih dahulu kesanggupan mereka

48 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
mengerjakannya. Tawarkan apa yang bisa kita bantu untuk mereka.
Hati-hati agar tidak terkesan mengasihani sehingga membuat orang
tersebut merasa tersinggung.
- Apabila diperlukan, berikan pelukan atau sentuhan yang menenangkan.
Misalnya, ketika ia gemetar atau ketakutan.
- Perhatikan kebutuhan orang tersebut. Mungkin ia tidak sekadar butuh
dorongan semangat, namun juga dukungan konkrit. Misalnya, jika ia
kehilangan keluarganya, kita bisa menemaninya ke rumah sakit untuk
mencari keluarganya.

Yang sebaiknya tidak dilakukan…


- Terlalu banyak bicara dan menasehati.
- Terlalu banyak menanyakan fakta dan kurang bertanya apa yang
dirasakannya saat itu. Misalnya, berkali-kali memintanya menceritakan
peristiwa traumatis yang dialaminya. Hal ini dapat sangat melelahkan
dan semakin mengingatkannya pada peristiwa tersebut.
- Memberikan harapan palsu atau yang tidak realistis. Misalnya,
mengatakan dirinya baik-baik saja, padahal ia kehilangan kaki dan
tangannya seumur hidup.
- Mempermasalahkan karena ia berubah atau membandingkan dengan
kerabat, rekan atau orang lain yang memiliki pengalaman yang sama
dan sudah beraktivitas kembali dengan normal.
- Tidak sabar karena korban membutuhkan waktu lama untuk kembali
berperilaku atau beraktivitas seperti biasa.
- Menunjukkan perilaku yang terlalu mengasihani. Misalnya, selalu
melayani dan tidak memberikannya kesempatan untuk mencoba
melakukan aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan.
- Menjauhi atau menolak karena ia telah berubah.
Penting bagi kita untuk tetap memperhatikan kondisi dan kesehatan
pribadi saat mendampingi keluarga atau rekan yang mengalami peristiwa

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 49
traumatis. Usahakan makan dan istirahat yang cukup, atau berolahraga
dengan teratur. Hanya dalam kondisi sehat, kita mampu menolong orang
yang kita sayangi dengan maksimal.

Menyampaikan Peristiwa
Traumatis kepada Anak dan
Remaja
Reaksi anak terhadap peristiwa traumatis berbeda-beda satu dengan
lainnya. Beberapa anak langsung menunjukkan adanya perubahan perilaku
segera setelah peristiwa traumatis terjadi. Beberapa anak lainnya akan
terlihat baik-baik, namun menunjukkan perubahan perilaku setelah
beberapa minggu atau bulan kemudian.
Dengan mengetahui tanda umum pada setiap tahap usia perkembangan
anak, kita dapat mengenali tanda-tanda munculnya masalah dan bisa
mengatasinya secara lebih tepat.

Usia Pra Sekolah


Anak usia 1-5 tahun umumnya sulit menyesuaikan diri jika terjadi
perubahan atau kehilangan mendadak. Para balita belum mengembangkan
keterampilan menghadapi dan menyelesaikan masalah. Untuk dapat
melewati situasi sulit, mereka sangat membutuhkan bantuan dari orangtua,
anggota keluarga lain dan orang dewasa lain di sekitar mereka.
Setelah mengalami peristiwa traumatis, balita mungkin memunculkan
kemunduran perilaku. Mereka kembali menghisap jari, mengompol, takut
tempat gelap, takut orang asing, takut binatang atau ‘monster’. Mereka
akan terus-menerus menempel pada kita dan tidak mau meninggalkan
tempat yang mereka anggap aman.
Mereka juga mungkin mengalami perubahan pola makan dan tidur, serta

50 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
mengeluhkan sakit dan nyeri pada tubuh. Gejala lain yang perlu diwaspadai
adalah perilaku membangkang, hiperaktivitas, kesulitan bicara, agresif
dan menyendiri. Anak usia pra-sekolah mungkin akan terus menerus
menceritakan tentang peristiwa traumatis yang mereka alami, bahkan
dalam bermain sekalipun.

Usia Sekolah
Anak usia 5-11 tahun kemungkinan bereaksi mirip dengan anak usia pra
sekolah. Mereka menyendiri, mencari perhatian, takut, prestasi belajarnya
menurun, menjadi agresif, serta kesulitan konsentrasi. Mereka juga
mungkin menunjukkan kemunduran perilaku seperti masa balita, misalnya
minta disuapi saat makan atau dikenakan pakaian.

Usia Remaja
Dalam kondisi penuh tekanan, remaja cenderung mengeluhkan gangguan
fisik dan mengabaikan tugas di rumah, sekolah atau tanggung jawab lainnya.
Mungkin juga mereka akan mencari perhatian, menyendiri, membangkang
di sekolah atau di rumah, dan mencoba perilaku berisiko (penyalahgunaan
alkohol atau obat-obatan). Mereka juga mungkin merasa bersalah, tidak
berdaya dan tidak bisa menerima kenyataan.

Bagaimana Membantu Mereka?


Menenangkan anak adalah kunci membantu anak melalui masa sulit.
Berikut adalah cara-cara sederhana yang mungkin bisa membantu anak
melalui masa sulit.
1. Anak-anak usia pra-sekolah membutuhkan banyak pelukan dan
ucapan-ucapan yang menenangkan.
2. Katakan dengan jujur apa yang terjadi tanpa menceritakan peristiwa
yang menakutkan terlalu detil.

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 51
3. Dorong mereka untuk mengekspresikan perasaannnya dengan
bercerita, menulis, membuat prakarya atau justru dengan menolong
orang lain.
4. Dengarkan dan hargai cerita serta ungkapan perasaan mereka. Berikan
pengertian bahwa apa yang mereka rasakan adalah normal dan biasa
dialami oleh siapa saja, bahkan orang dewasa sekalipun.
5. Awasi dan dampingi anak ketika mereka menonton televisi.
6. Usahakan tetap melakukan aktivitas rutin harian dan dorong anak
untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan.
7. Hindari membuat harapan terlalu tinggi. Anak mungkin menunjukkan
penurunan dalam prestasi belajar di sekolah.
8. Usahakan untuk tidak menyalahkan orang atau kelompok tertentu.
9. Jangan lupa untuk memperhatikan kondisi diri kita sendiri.

52 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Daftar Pustaka

Djakababa, Nelden dkk. 2005. Panduan bagi Jurnalis dalam Meliput


Peristiwa Traumatik. Jakarta: USAID & Yayasan Pulih.
Jackson, Jeffrey. ______. SOS: A Handbook for Survivors of Suicide.
American Association of Suicidology.
Yayasan Pulih & ICMC. 2003. Menata Hidup Setelah Trauma; Panduan bagi
Korban dan Pendamping. Jakarta: USAID, Yayasan Pulih & ICMC.
Yayasan Pulih. ______. Mengatasi Pikiran yang Mengganggu: Berdamai
dengan Trauma Kehilangan. Jakarta: Yayasan Pulih.
http://www.entirearticle.com/Article/Dealing-With-Frustration---Practical-
Information/63636
http://www.nasponline.org/resources/crisis_safety/angermgmt_general.
aspx
http://www.nativeremedies.com/ailment/dealing-with-frustration-and-
discouragement.html
http://www.samsha.gov/mental-health
http://www.scotthyoung.com/blog/2006/06/10/dealing-with-frustration/
http://www.webmd.com/balance/features/learning-to-forgive-yourself?

Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 53
Catatan :

54 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:


Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis
Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis 55
56 Membangun Semangat, Menumbuhkan Harapan:
Cara Menanggulangi Dampak Psikologis Pascaperistiwa Traumatis

Anda mungkin juga menyukai