Memulihkan Trauma
Memulihkan Trauma
Yayasan Pulih
Untuk Pemulihan dari Trauma dan Penanganan Psikososial
Kantor Pusat:
Jl. Teluk Peleng No. 63 A Komp. AL Rawa Bambu Pasar Minggu
Jakarta Selatan – 12520
Tel: 021-788 42 580
Fax: 021-782 30 21
Hotline: 0888 181 68 60 / 021-982 86 398
Layanan Tatap Muka: Senin-Jumat (dengan perjanjian)
Jam: 09.00-15.00
e-counseling: counseling@pulih.or.id
www.pulih.or.id
Kantor Area Aceh:
Jl. Tgk. Menara VIII
Lr. Cempaka No.31 Ds. Melati Desa Garot
Aceh Besar.
Telp: 0651-7407951
Foto Sampul: Dokumentasi Pulih
Tata Letak: Sulistiyono
Didukung oleh
Yayasan TIFA
Dicetak ulang oleh
ICCO
Cetakan Pertama, Agustus 2009
Cetakan Kedua, Desember 2010
Pengantar ...................................................................................................... v
Salam Hormat,
Irma S. Martam
Stres &
Trauma Pasca
Peristiwa
Traumatis
Trauma
Lalu apa yang dimaksud dengan trauma? Apa bedanya dengan stres? Secara
sederhana, trauma berarti luka atau kekagetan (syok/shock).
Trauma disebabkan oleh peristiwa yang terjadi tiba-tiba dan di luar
kendali, sangat menekan, menyakitkan, bahkan seringkali membahayakan
kehidupan atau mengancam jiwa. Peristiwa tersebut dinamakan peristiwa
traumatis.
Ciri-ciri peristiwa traumatis adalah :
1. Terjadi secara tiba-tiba.
2. Mengerikan, menimbulkan perasaan takut yang amat sangat.
3. Mengancam keutuhan fisik maupun mental.
4. Dapat menimbulkan dampak fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku
yang amat membekas bagi mereka yang mengalami ataupun yang
menyaksikan.
Kejadian-kejadian seperti perkosaan, penyiksaan, penembakan, kehilangan
anggota keluarga secara paksa, ledakan bom, atau bencana alam, jelas
merupakan peristiwa traumatis. Peristiwa kematian anggota keluarga
secara mendadak, keguguran, kecelakaan dan kebakaran, juga dapat
menjadi peristiwa traumatis.
Mengatasi
Dampak
Psikologis
Demikian pula dengan pemulihannya. Tidak ada jangka waktu pasti yang
bisa mengatakan berapa lama sebaiknya kita berduka. Pemulihan dari
perasaan berduka dan kehilangan terjadi secara bertahap dan tidak bisa
dipaksakan. Ada orang yang merasa lebih baik setelah beberapa minggu
atau bulan, ada pula yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Mitos: ‘Luka’ yang dirasakan akan cepat hilang jika kita mengabaikannya/
tidak memikirkannya.
Fakta: Wajar jika kita merasa sedih, takut atau kesepian, setelah kehilangan
sesuatu atau seseorang yang berarti bagi kita. Jika kita menangis,
bukan berarti kita lemah. Berusaha tampil seolah-olah tegar atau kuat
untuk menjaga perasaan keluarga dan teman, justru memperburuk
keadaan. Keadaan akan menjadi lebih baik, jika kita menunjukkan
perasaan sebenarnya. Dengan demikian, orang lain pun tahu bahwa kita
membutuhkan mereka.
Mitos: Jika tidak menangis, berarti seseorang tidak merasa berduka atau
kehilangan.
Fakta: Umumnya, kita akan menangis saat merasa sedih. Tetapi, menangis
bukanlah satu-satunya cara untuk menunjukkan kesedihan. Mereka yang
tidak menangis bisa jadi merasakan ‘luka’ yang sama dalamnya dengan
mereka yang menangis. Perbedaannya hanya pada cara mengekspresikan
kesedihan.
Mitos: Perasaan berduka dan kehilangan sebaiknya tidak lebih dari satu
tahun.
Fakta: Sekali lagi, tidak ada jangka waktu yang pasti, yang benar atau yang
salah. Masing-masing orang berbeda satu dengan yang lain.
Pemulihan dari perasaan berduka dan kehilangan adalah proses yang sangat
pribadi. Dengan caranya masing-masing, setiap orang mengatasi perasaan
berduka dan kehilangan secara bertahap.
Ada delapan tahapan yang mungkin dilalui saat kita mengalami perasaan
berduka dan kehilangan. Tahapan-tahapan ini dapat dialami secara
berurutan, tidak berurutan, atau malah ada tahapan yang tidak dialami.
Perbedaan tahapan tersebut wajar terjadi karena proses pemulihan setiap
orang berbeda. Tidak ada yang dapat menentukan berapa lama dan berapa
banyak tahapan yang akan dilalui seseorang dalam proses pemulihan.
1. Mati rasa/terguncang.
Biasanya, ini merupakan reaksi pertama kita saat mengetahui sesuatu
yang berharga atau orang yang dikasihi ‘hilang’. Kita biasanya tidak
sepenuhnya menyadari apa yang telah terjadi. Kadangkala reaksi
ini dapat membantu kita melewati masa-masa yang menyakitkan,
misalnya pada saat pemakaman. Ada baiknya jika kita tidak berlarut-
larut dalam situasi mati rasa atau terguncang.
2. Menyangkal.
Kita mungkin merasa tidak percaya dengan apa yang telah menimpa
orang yang kita kasihi. Biasanya kita berkata “Rasanya seperti mimpi,
benar-benar tidak bisa dipercaya…” atau “ Enggak mungkin, enggak
mungkin dia” dan lain-lain.
4. Kemarahan.
Kita mungkin akan marah pada orang yang menyampaikan kabar
buruk. Orang-orang tersebut bisa saja dokter, orang yang mengetahui
kejadian, orang yang menyebabkan kejadian atau siapapun yang
kita anggap bertanggung jawab atas hilangnya orang yang dikasihi.
Mungkin saja, kita juga mempertanyakan kehendak Tuhan.
5. Tawar menawar.
Tahap ini adalah tahap dimana kita berusaha membuat ‘perjanjian’
dengan Tuhan, dokter atau orang lain yang kita anggap dapat
mengembalikan keadaan seperti semula. “Beri saya satu kesempatan
lagi, saya berjanji akan berubah, tolonglah...” Atau “Jika keadaan
berubah, saya janji saya akan...” dan sebagainya.
7. Penerimaan.
Pada tahap ini kita menyadari bahwa kehilangan yang dialami
merupakan kenyataan yang sudah menjadi bagian dari hidup. Kita
kembali pada situasi nyata dan secara berangsur-angsur berjuang
melawan kesedihan dan perasaan duka. Bukan tidak mungkin, kita
menjadi mampu melanjutkan hidup, mengatasi perasaan sakit dan
penderitaan, serta menemukan kedamaian dalam diri.
- Terima.
Biarkan orang tersebut tahu bahwa tidak apa-apa jika mereka
mengekspresikan kesedihannya di depan kita. Hindari mengatakan
bagaimana yang ‘seharusnya’ dirasakan atau dilakukan. Mereka yang
berduka memiliki kebebasan untuk mengekpresikan perasaannya
tanpa merasa takut dinilai, disanggah atau dikritik.
1. Yakin bahwa apa yang kita alami merupakan hal yang wajar terjadi dan
bagian dari proses penyembuhan. Seiring waktu, perasaan sakit dan
kesedihan sedikit demi sedikit berkurang, meskipun tidak akan benar-
benar hilang.
2. Cari tahu kapan saja kita bisa teringat kembali pada peristiwa sulit
dan reaksi berulang apa yang biasanya muncul pada diri kita. Dengan
demikian, kita bisa mengantisipasinya. Lihat kembali hal-hal apa
yang membuat kita bisa melalui masa sulit. Ini adalah saat untuk
menghargai keberanian, ketegaran, daya dan segala usaha yang sudah
kita keluarkan dan diberikan oleh mereka yang dekat dengan kita.
3. Ceritakan kepada keluarga dan orang dekat lainnya mengenai
kemungkinan terjadinya reaksi berulang dan sampaikan apa yang
kita butuhkan. Bila sedang menjalani proses konseling, kita bisa
menemui konselor lebih sering. Kita juga bisa menceritakannya kepada
pendamping, korban atau keluarga korban yang lain. Yang terpenting,
kita tidak sendirian saat reaksi berulang terjadi. Ingat, reaksi berulang
bersifat sementara dan wajar dialami.
4. Bagi mereka yang kehilangan anggota keluarganya, lakukan upaya
untuk mengenang kerabat tersebut. Usahakan untuk fokus pada hal-
hal positif dan waktu yang pernah dihabiskan bersama, bukan pada
kehilangannya. Upaya ini bisa dilakukan antar-anggota keluarga, antar-
tetangga, antar-keluarga korban atau antar-kampung yang memiliki
pengalaman serupa. Dengan begitu, kita bisa saling mendukung dan
lebih kuat menghadapi perasaan sedih dan duka.
Perasaan Bersalah
Pengalaman sulit atau traumatis terkadang menimbulkan perasaan bersalah
pada orang yang mengalaminya ataupun orang-orang terdekatnya. Ada
yang merasa bersalah karena tidak dapat menemukan atau menyelamatkan
orang yang disayangi. Ada pula yang merasa bersalah karena dirinya
berhasil selamat, sementara orang lain tewas. Lainnya merasa bersalah
karena tidak sempat menunjukkan kasih sayang kepada orang yang hilang
atau meninggal dunia.
Perasaan Marah
Marah merupakan perasaan yang wajar kita alami setelah mengalami
peristiwa sulit atau traumatis. Terlebih, jika kita kehilangan orang yang kita
sayangi atau sesuatu yang berharga setelah peristiwa tersebut.
Mengelola perasaan marah bukanlah hal yang mudah. Kita mungkin terlarut
dalam kemarahan karena kuatnya perasaan tersebut. Melampiaskan
kemarahan memang merupakan bagian proses pemulihan. Akan tetapi,
terus-menerus berada dalam kemarahan justru memperburuk kondisi kita
sendiri dan membuat orang di sekitar menjauh.
Seringkali, pelampiasan perasaan marah yang timbul setelah peristiwa
traumatis justru salah alamat. Kita marah terhadap diri sendiri karena
merasa tidak berdaya saat peristiwa terjadi. Kita marah terhadap orang
lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa dan bukan pelaku
sesungguhnya, misalnya pasangan atau tim medis yang sudah berupaya
membantu.
Hal ini tentu menyulitkan proses pemulihan karena kita tidak hanya
kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, namun juga kepada diri sendiri.
Kita menghukum diri sendiri dan orang-orang sekitar begitu kuatnya hingga
kita seolah-olah terpenjara dalam perasaan tersebut.
Untuk mereka yang kehilangan orang terdekatnya secara paksa atau
mengalami penyiksaan, perasaan marah dapat mengingatkan mereka akan
ketidakadilan yang dialami. Secara tidak sadar, mereka menolak untuk
mengelola perasaan marah karena tidak mau melupakan apa yang telah
terjadi.
Cara-cara di atas memberikan efek yang berbeda untuk setiap orang. Oleh
karenanya, penting untuk mengenali dan mempraktikkan cara yang paling
tepat bagi kita pribadi.
Bagaimana bila yang sulit mengelola kemarahan adalah anggota keluarga/
kerabat?
Perasaan Takut
Seringkali kita menganggap diri sendiri lemah jika memiliki perasaan takut,
terlebih jika kita menilai ketakutan tersebut berlebihan. Sesungguhnya
wajar jika kita merasa takut setelah mengalami peristiwa traumatis.
Umumnya perasaan takut muncul jika kita menghadapi sesuatu yang
berkaitan langsung atau mengingatkan kita dengan peristiwa traumatis.
Misalnya seseorang yang mengalami tindak kekerasan saat berdemonstrasi.
Ia mungkin merasa takut untuk berdemonstrasi kembali atau ketika melihat
kerumunan massa yang sedang berunjuk rasa.
Kita juga mungkin mengalami ketakutan luar biasa pada hal-hal yang tidak
berhubungan langsung dengan peristiwa yang dialami. Misalnya, pada
contoh di atas, setelah mengalami kekerasan saat demonstrasi, orang
Mimpi Buruk
Ini merupakan jenis gangguan yang sering terjadi dan merupakan rekasi
alami manusia terhadap peristiwa traumatis. Kadang mimpi buruk yang
dialami berkaitan dengan satu aspek dari peristiwa traumatis atau malah
tidak berhubungan sama sekali.
Relaksasi
Relaksasi adalah suatu proses yang dilakukan dengan sengaja untuk
melepaskan ketegangan yang dimiliki. Dengan berelaksasi, kita dapat lebih
mengendalikan diri meskipun sedang menghadapi situasi penuh tekanan,
merasa gelisah, marah dan takut.
Menata Masa
Depan
Menyampaikan Peristiwa
Traumatis kepada Anak dan
Remaja
Reaksi anak terhadap peristiwa traumatis berbeda-beda satu dengan
lainnya. Beberapa anak langsung menunjukkan adanya perubahan perilaku
segera setelah peristiwa traumatis terjadi. Beberapa anak lainnya akan
terlihat baik-baik, namun menunjukkan perubahan perilaku setelah
beberapa minggu atau bulan kemudian.
Dengan mengetahui tanda umum pada setiap tahap usia perkembangan
anak, kita dapat mengenali tanda-tanda munculnya masalah dan bisa
mengatasinya secara lebih tepat.
Usia Sekolah
Anak usia 5-11 tahun kemungkinan bereaksi mirip dengan anak usia pra
sekolah. Mereka menyendiri, mencari perhatian, takut, prestasi belajarnya
menurun, menjadi agresif, serta kesulitan konsentrasi. Mereka juga
mungkin menunjukkan kemunduran perilaku seperti masa balita, misalnya
minta disuapi saat makan atau dikenakan pakaian.
Usia Remaja
Dalam kondisi penuh tekanan, remaja cenderung mengeluhkan gangguan
fisik dan mengabaikan tugas di rumah, sekolah atau tanggung jawab lainnya.
Mungkin juga mereka akan mencari perhatian, menyendiri, membangkang
di sekolah atau di rumah, dan mencoba perilaku berisiko (penyalahgunaan
alkohol atau obat-obatan). Mereka juga mungkin merasa bersalah, tidak
berdaya dan tidak bisa menerima kenyataan.