Anda di halaman 1dari 66

HASIL PENELITIAN

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN ALPUKAT (Persea americana


Mill) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS
PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)
YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN

THE EFFECT OF AVOCADO (Persea americana Mill) LEAVES


ETHANOLIC EXTRACT ON THE KIDNEY HISTOPATHOLOGY OF
STREPTOZOTOCIN INDUCED WHITE RATS (Rattus norvegicus)

OLEH :
HELEN RENALDY
16 18 024

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
STIFA-PELITA MAS
PALU
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pola gaya hidup berdampak terhadap perubahan jenis penyakit

yang terjadi di masyarakat. Gaya hidup modern dengan banyak

pilihan menu makanan dan cara hidup yang kurang sehat yang

semakin menyebar keseluruh lapisan masyarakat, sehingga

menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penyakit degeneratif.

Peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi pada diabetes melitus

menyebabkan auto oksidasi glukosa, glikasi protein dan aktivasi jalur

metabolisme poliol yang selanjutnya mempercepat pembentukan

Reactive Oxygen Species (ROS) yang merupakan salah satu

penyebab terjadi diabetes mellitus dan penyakit lainya (Siti, 2017).

Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2021

menepatkan Indonesia sebagai negara peringkat ke-6 dalam jumlah

penderita DM yang mencapai 10,3 juta. Prediksi dari IDF menyatakan

akan terjadi peningkatan pada tahun 2019 - 2030 terdapat kenaikan

jumlah pasien DM dari 10,3 juta menjadi 13,7 juta pada tahun 2030.

Prevalensi DM akan meningkat hingga menjadi 3 kali lipat pada tahun

2030, peningkatan ini diprediksi word health organization (WHO)

bahwa pada tahun 2030 akan mencapi 21,3 juta dan dari International

Diabetes Federation (IDF) ditahun 2045 akan mencapai 16,7 juta

(Perkeni,2021).
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit metabolit kronis

yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh untuk

memproduksi hormon insulin sesuai dengan kebutuhan tubuh.

Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah atau

hiperglikemia. Hiperglikemia menyebabkan produksi radikal

bebas berlebihan atau biasanya yang dikenal dengan Reactive

Oxygen Species (ROS). ROS akan memicu terjadinya stress

oksidatif karena radikal bebas dalam tubuh lebih banyak dari

antioksidan, radikal bebas memiliki kemampuan untuk berdifusi

ke dalam membrane sel yang selanjutnya bereaksi dengan

membrane lipid menghasilkan malondialdehyde (MDA).

MDA ( malondialdehde) merupakan salah satu produk akhir

dari peroksidasi lipid membran sel oleh radikal bebas yang

berlebih sehingga MDA digunakan sebagai indeks pengukuran

aktivitas radikal bebas dalam tubuh. Sasaran oksidasi ROS

(Reactive Oxygen Species) selain lipid adalah Deoxyribonucleic

Acid (DNA), pada oksidasi DNA nukleotida guanin rawan terhadap

reaksi oksidasi ROS. Senyawa yang dihasilkan dari oksidasi

guanin adalah 8-hidroksi-deoksiguanosin (8-OHdG).

Teroksidasinya guanin dalam untaian DNA, mengakibatkan DNA

kehilangan nukleotida guanine. Reaksi berkelanjutan

mengakibatkan kerusakan DNA dan ginjal (Tandi, J 2018).


Nefropatik Diabetik atau Penyakit Gagal Ginjal (PGD)

merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada

penderita DM. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada filter

ginjal atau yang dikenal glomerulus, karena terjadi kerusakan

glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan kedalam

urin secara abnormal. Pada keadaan normal glomerulus tidak

dapat dilalui oleh protein yang bermolekul besar, tetapi pada

keadaan patologis protein tersebut dapat lolos. Nefropatik

diabetes merupakan komplikasi mikrovaskuler tersering yang

terjadi pada penderita DM dan menimbulkan beberapa kelainan

struktur histologis ginjal (Tandi J, 2017).

Pengobatan diabetes melitus yang sering dilakukan oleh

masyarakat adalah terapi non farmakologi, terapi ini meliputi diet

dan olahraga. Untuk pengobatan DM terdapat juga terapi

farmakologi, terapi ini meliputi pengobatan menggunakan obat-

obatan. Selain itu dapat juga digunakan terapi pengobatan

tradisional yaitu seperti penggunaan tanaman herbal. Tanaman

herbal merupakan tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai

upaya penyembuhan baik daun, batang maupun akarnya. Salah

satu tanaman yang dapat digunakan adalah daun alpukat. Daun

alpukat juga memiliki potensi untuk mengobati berbagai jenis penyakit

seperti batu ginjal, antihipertensi, anti radang, anti bakteri dan anti

hipoglikemia (Yulianto, 2017).


Penelitian sebelumnya mengenai daun alpukat yang telah

dilakukan oleh Patala tahun 2020 menyatakan bahwa ekstrak etanol

biji alpukat (Persea americana Mill) mampu menurunkan kadar

glukosa darah pada tikus putih jantan yang diinduksi streptozotocin

dengan dosis 350 mg/kg BB dengan nilai rata-rata penurunan 99,8

mg/dL. Penelitian daun alpukat yang dilakukan oleh Sintowati tahun

2017 pemberian ekstrak metanol 70% daun alpukat pada dosis 200

mg/kg BB dapat menurunkan kadar gula darah pada tikus putih jantan

dan penelitian oleh Anggraini tahun 2018 pemberian kombinasi

ekstrak etanol daun alpukat dan rimpang temulawak memiliki efek

antidiabetes pada tikus putih jantan pada dosis 200 mg/kg BB.

Penelitian terdahulu tentang nefropati diabetik menyatakan

bahwa ekstrak etanol daun nangka (Artocarpus camasi Blanco) pada

dosis 175 mg/kg BB sudah memiliki pengaruh terhadap regenerasi

jaringan ginjal dengan skoring rata-rata 0,6 (Tandi J, 2020). Penelitian

lain ekstrak etanol daun pandan wangi (Pandanus ammaryllifolius)

pada dosis 600 mg/kg BB memiliki efek terbaik dalam memperbaiki

kerusakan ginjal dengan rata-rata skoring nilai 0,6 (Tandi J, 2022).

Penelitian lain juga menyatakan ekstrak etanol daun jeruk nipis (Citrus

aurantifolia) dosis 250 mg/kg BB memiliki efek terbaik dalam

memperbaiki kerusakan ginjal dengan rata-rata skoring nilai 1,2 (Tandi

J, 2022).
Berdasarkan penelitian diatas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji efek ekstrak etanol

daun alpukat (Persea americana Mill) terhadap gambaran

histopatologi ginjal pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) yang

diinduksi streptozotocin dengan dosis bertingkat ekstrak etanol daun

alpukat yaitu 250 mg/kg BB, 350 mg/kg BB, dan 450 mg/kg BB.

Penelitian ini diperbaharui dari penelitian sebelumnya yang dimana

dosis dan bagian tanaman yang digunakan berbeda dari penelitian

sebelumnya, daun alpukat yang digunakan berbeda letak

geografisnya, dan pada penelitian ini dilakukan untuk melihat efek

perbaikan terhadap histopatologi ginjal tikus putih jantan yang

diinduksi streptozotocin.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam

ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana Mill) ?

2. Apakah pemberian ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana

Mill) memberikan efek perbaikan terhadap cedera tubulus ginjal

tikus putih jantan yang diinduksi streptozotocin?

3. Berapakah dosis ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana

Mill) yang efektif terhadap perbaikan cedera tubulus ginjal tikus

putih jantan yang di induksi streptozotocin?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui senyawa metabolit sekunder pada ekstrak etanol daun

alpukat (Persea americana Mill).

2. Mengetahui ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana Mill)

memiliki efek terhadap perbaikan cedera tubulus ginjal tikus putih

jantan yang diinduksi streptozotocin.

3. Mengetahui dosis ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana

Mill) yang efektif terhadap perbaikan cedera tubulus ginjal tikus

putih jantan yang diinduksi streptozotocin.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi dunia pendidikan diharapkan dapat digunakan sebagai

referensi bagi kementerian pendidikan untuk dapat menambah

wawasan tentang manfaat dan pentingnya tanaman tradisional.

2. Bagi dunia kesehatan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan

dan digunakan untuk menggali dan mengembangkan pegetahuan

tentang obat tradisional bahkan dapat mendukung pemerintah

dalam pelayanan kesehatan.

3. Bagi masyarakat diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan tentang tanaman pepaya, karena tanaman papaya

dapat berguna sebagai alternatif tumbuhan yang digunakan

sebagai obat dan bermanfaat untuk kesehatan tubuh manusia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Alpukat (Persea americana Mill)

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Laurales

Famili : Lauraceae

Genus : Persea Mill

Spesies : Persea americana Mill (UPT. Sumber


Daya Hayati Sulawesi)
2.1.2 Nama Daerah

Persea americana Mill dikenal dengan nama daerah,

(alpuket) Jawa Barat, (alpokat) Jawa Timur atau Jawa Tengah

(boah pokat, jamboo pokat) Batak, (advokat, jamboomentega,

jamboopooan, pookat) Lampung (Tandi J, 2018).

2.1.3 Morfologi Tanaman

Tanaman alpukat tumbuh tegak dan tinggi antara 9 sampai

18 m dengan diameter batang mulai dari 30 sampai 60 cm.

Bentuk daun lanset, elips dan oval. Warna daun hijau gelap,

mengkilap permukaan atas dan agak putih pada bagian bawah.

Panjang daun antara 7,5-40 cm sedangkan buahnya berbentuk

buah pir, berleher, oval atau hampir bulat dengan panjang 7,5-33

cm serta lebar 15 cm (Dani dkk, 2017). Gambar daun alpukat

dapat dilihat pada gambar 2.1

Daun

Bunga

Buah

Gambar 2.1 Bagian Tanaman Alpukat (Persea americana Mill)

Tabel 2.1 Perbandingan dosis efektif penelitian sebelumnya


NO Peneliti Sampel Dosis Hasil (Skoring
Kerusakan)
1. (Tandi J, Daun Nangka 175 mg/kg 0,6
2020) BB
2. (Tandi J, Daun Jeruk 250 mg/kg 1,2
2022) Nipis BB
3. (Tandi J, Daun Pandan 600 mg/kg 0,6
2022) Wangi BB

Tabel 2.2 Dosis efektif penelitian


Hasil(Skoring
No Peneliti Sampel Dosis
kerusakan)
450 mg/kg
1. Helen Renaldy Daun alpukat 0,8
BB

2.1.4 Manfaat Daun Alpukat


Daun alpukat memiliki beberapa manfaat dan digunakan
dalam pengobatan penyakit seperti penyakit batu ginjal,
hipertensi, kencing manis, sakit pinggang, meredahkan
bengkak, sariawan. Selain itu dun alpukat juga dapat digunakan
untuk kecantikan seperti menghaluskan kulit, menghitamkan
rambut (Tandi J, 2018).

Tabel 2.2 Kandungan Senyawa Kimia Hanafiah et al., 2017).

NO KOMPONEN STRUKTUR KIMIA

1
α-pinene

2 Coumarins

3 Monoterpenoids
4 Polyphenols

5 Polysaccharides

6 Phytol

7 Sesquiterpenoids

2.1.5 Kandungan Senyawa Kimia Daun Alpukat

Alpukat mengandung asam folat, asam pantotenat, niasin,

vitamin B1, vitamin B6, vitamin C, vitamin E, fosfor, zat besi,

kalium,magnesium dan glutation, juga kaya akan serat dan

asam lemak tak jenuh tunggal dan juga mengandung senyawa

metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, saponin dan

tanin (Tandi J, 2018).

2.1.6 Uraian Metabolit Sekunder Daun Alpukat

1. Alkaloid

Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik yang

paling banyak ditemukan dialam. Sebagian senyawa alkaloid


berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis

tumbuhan. Alkaloid ditemukan pada bagian tumbuhan meliputi

biji, daun, ranting dan kulit batang. Alkaloid ditemukan dalam

kadar yang kecil dan harus dipisahkan dari campuran senyawa

rumit yang berasal dari jaringan tumbuhan. Alkaloid bekerja

yaitu dengan menstimulasi hipotalamus agar meningkatkan

sekresi Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH),

sehingga sekresi Growth Hormone(GH)akan meningkat dengan

baik kadar GrowthHormone (GH) yang tinggi akan

menstimulasi hasil untuk mensekresikan Insulin Growth Factor-

1 ( IGF-1). IGF-1 dapat berefek menginduksi pada kondisi

hipoglikemia serta menurunkan glukoneogenesis sehingga

kadar glukosa dalam tubuh dan kebutuhan insulin menurun

(Hanani, 2017).

Alkaloid bersifat basa atau alkali dan sifat basa tersebut

disebabkan karena adanya satu atau lebih atom N (nitrogen)

dalam molekul senyawa tersebut dengan bentuk struktur lingkar

heterosiklik.

Gambar 2.2 Struktur Kimia Alkaloid (Hanani, 2017).

2. Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol terbesar

yang di temukan dalam jaringan tanaman. Struktur dasar terdiri

dari 15 atom karbon dalam 3 cincin (C6-C3-C6),kerangka

flavonoid terdiri dari satu cincin aromatik A,satu cincin aromatik

B dan cincin tengah berupa herterosiklik yang mengandung

oksigen dan bentuknya teroksidasi cincin ini di jadikan dasar

pembagian flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya.

Fungsi flavonoid bekerja dengan meningkatkan sekresi

insulin, meningkatkan glukosa di jaringan perifer serta

menghambat glukogenesis. Flavonoid telah memperkuat

memiliki efek biologis tertentu berkaitan dengan sifat

antioksidatifnya. Flavonoid sangat berperan bagi tumbuhan

yaitu menarik serangga dalam proses penyerbukan dan

penyebaran biji (Hanani, 2017).

Gambar 2.3 Struktur kimia Flavonoid (Hanani, 2017).

3. Saponin

Saponin merupakan glikosida yang terdiri dari gugus gula

yang berikatan dengan aglikon triterpen atau steroid yang

banyak ditemukan dialam. Saponin dapat larut dalam air, tetapi

tidak larut dalam eter dan memiliki rasa pahit (Hanani, 2017).

Karena kemampuannya dalam membentuk busa, sehingga


saponin mudah dideteksi setelah dikocok dan akan membentuk

senyawa koloid. Saponin memiliki aktivitas farmakologi yang

cukup luas meliputi immunomodulator, anti tumor, anti inflamsi,

anti virus, anti jamur, hipoglikemik serta efek hipokolesterol.

Saponin adalah senyawa fitokimia yang dapat mengambat

peningkatan kadar glukosa darah dengan cara menghambat

pengosongan lambung. Menghambatnya pengosongan

lambung, maka absorbsi makanan akan semakin lama dan

kadar glukosa darah akan mengalami kebaikan (Hanani, 2017)

Gambar 2.4 Struktur Kimia Saponin (Hanani, 2017)

4. Tanin

Tanin adalah senyawa polifenol yang memiliki rasa pahit

dan terdiri dari asam galat sebagai penyusunnya (Hanani,

2017). Tanin terdiri dari dua jenis yaitu tanin terkondensasi dan

tanin terhidrolisis. Kedua jenis tanin ini terdapat dalam

tumbuhan, tetapi yang paling dominan terdapat dalam tanaman

adalah tanin terkondensasi. Ekstrak tanin terdiri dari campuran

senyawa polifenol sangat kompleks.


Tanin mempunyai aktivitas antioksidan dan menghambat

pertumbuhan tumor. Tanin juga mempunyai aktivitas

hipoglikemik yaitu dengan meningkatkan glikogenesis (Tandi

J, 2018). Selain itu, tanin juga dapat berfungsi sebagai astrigen

atau pengkelat yang dapat mengerutkan membran epitel usus

halus sehingga mengurangi penyerapan sel makanan dan

mengakibatkan penghambatan asupan gula dan laju

peningkatan gula darah tidak terlalu tinggi (Hanani, 2017).

Gambar 2.5Struktur Kimia Tanin (Hanani, 2017).

2.2 Simplisia

2.2.1 Definisi

Simplisia merupakan bahan kering dari alam yang dapat

digunakan sebagai obat. Simplisia dikelompokkan menjadi 3

jenis, yaitu simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia

mineral. Simplisia nabati berupa tanaman utuh, bagian tanaman

dan eksudat tanaman sedangkan simplisia hewani merupakan

bahan dari hewan yang dapat digunakan sebagai obat dan

simplisia mineral merupakan simplisia yang berasal dari bumi

(Tandi J. , 2018).
2.2.2 Pembuatan Simplisia

1. Pengambilan bahan baku

Pengambilan bahan baku simplisia merupakan tahap awal

dari pembuatan simplisia. Pada tahap ini dilakukan untuk

mengumpulkan bahan yang akan digunakan, biasanya

dilakukan pada pagi hari (Tandi J. , 2018).

2. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan bahan-bahan

asing yang tidak digunakan seperti daun kering dan serangga

(Tandi J. , 2018).

3. Pencucian

Pencucian dilakukan pada air yang mengalir bertujuan untuk

menghilangkan kotoran yang menempel pada bahan (Tandi J. ,

2018).

4. Perajangan

Perajangan dilakukan untuk memperluas permukaan bahan

sehingga bahan mudah kering dan mempercepat proses

ekstraksi (Tandi J. , 2018).

5. Pengeringan

Pengeringan bahan dilakukan dengan cara diangin-anginkan

sampai simplisia menjadi kering, dimana tujuan pengeringan

yaitu untuk menjaga agar bahan simplisia tidak mudah rusak


dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama

(Tandi J. , 2018).

6. Sortasi Kering

Sortasi kering merupakan tahap akhir pembuatan simplisia

yang bertujuan untuk memisahkan benda asing, seperti bagian-

bagian yang tidak diinginkan dan kotoran–kotoran lain yang

masih tertinggal pada simplisia (Tandi J. , 2018).

7. Pengemasan dan penyimpanan

Simplisia dikemas dengan menggunakan bahan yang tidak

beracun atau tidak bereaksi dengan bahan yang akan disimpan.

Tujuannya melindungi simplisia sehingga tidak rusak atau

berubah mutunya. Simplisia disimpan ditempat yang kering,

tidak lembab dan terhindar dari sinar matahari langsung (Tandi

J. , 2018).

2.3 Proses Pembuatan Ekstrak

2.3.1 Pengertian Ekstraksi dan Ekstrak

Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari

suatu padatan atau cairan juga dapat diartikan sebagai proses

pengambilan sari senyawa kimia yang terkandung di dalam

bahan alami atau yang berasal dari dalam sel dengan

menggunakan pelarut dan metode yang tepat. Pada prinsipnya,

ekstraksi merupakan kegiatan untuk melarutkan dan menarik


senyawa dengan menggunakan pelarut yang tepat. Hasil proses

ekstraksi disebut dengan ekstrak (Emelda, 2019). Terdapat

beberapa metode ekstraksi yang dapat dilakukan dengan

menggunakan pelarut, yaitu:

a. Cara dingin

1. Maserasi adalah metode yang dilakukan dengan cara

merendam serbuk simplisia dalam pelarut disimpan

dalam ruangan dan terlindung dari cahaya. Metode ini

beberapa kali dilakukan pengocokan atau pengadukan.

Keuntungan dari metode ini adalah menggunakan

peralatan yang sederhana, sedangkan kerugiannya

adalah memerlukan waktu yang cukup lama dan

pelarut yang digunakan cukup banyak dan tidak dapat

digunakan untuk bahan yang bertekstur keras (Tandi J,

2017).

2. Perkolasi adalah metode mengalirkan atau melewatkan

pelarut keserbuk simplisia yang telah dibasahi

sebelumnya. Cairan pelarut dialirkan dari atas sehingga

selama perjalanannya, pelarut tersebut akan

melarutkan berbagai kandungan aktif simplisia (Tandi J,

2017).

b. Cara panas
1. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada

temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan

jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik. Proses ini dilakukan secara

berulang hingga 3 atau 5 kali. Hasil akhir dari proses ini

adalah berupa filtrat lalu kemudian dilakukan proses

pengumpulan dan pemekatan.

2. Soxhletasi, yaitu proses ekstraksi yang dilakukan

dengan prinsip pengaliran pelarut yang dilakukan

secara berulang. Pelarut pada mulanya dipanaskan

hingga menghasilkan uap panas dan dialirkan ke atas

melalui bagian samping yang berbentuk pipa.

3. Digesti, yaitu maserasi kinetik (dengan pengadukan

kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi. Teknik

digesti dilakukan terutama untuk bahan-bahan simplisia

dengan kandungan zat aktif yang relatif tahan terhadap

panas.

4. Destilasi, yaitu cara destilasi yang dilakukan terhadap

simplisia yang mengandung minyak mudah menguap

(misalnya minyak atsiri) yang tidak bisa dilakukan

dengan mekanisme ekstraksi pada umumnya.

5. Infudasi, meliputi:
a) Infusa, yaitu proses ekstraksi yang dilakukan

dengan penyarian menggunakan air pada suhu

90° selama 15 menit.

b) Dekokta, yaitu mekanisme ekstraksi yang

dilakukan dengan prinsip sebagaimana pada

metode infus namun dengan waktu yang lebih

lama (bisa selama 30 menit) dan temperatur

sampai pada titik didih.

2.4 Diabetes Melitus

2.4.1 Definisi

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik ditandai

dengan meningkatnya kadar glukosa darah yang disebabkan

oleh gangguan kerja insulin, berkurangnya aktivitas fungsi

biologis insulin atau adanya resistensi insulin menunjukkan

bahwa terjadi gangguan pada sel-sel β pankreas (Patala dkk,

2020).

Gejala awal diabetes berhubungan dengan efek langsung

dari kadar gula darah yang tinggi. Ginjal akan membuang air

lebih banyak untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang

hilang sehingga penderita diabetes menjadi lebih sering

berkemih dengan urine yang lebih banyak, penderita juga akan


merasa haus dan lapar yang berlebih dikarenakan ketika ginjal

menarik banyak cairan dari tubuh, maka secara otomatis tubuh

akan merasa kehausan dan gula darah tidak masuk kedalam sel

sehingga sel-sel akan mengirim sinyal lapar ke otak sehingga

penderita sering merasa lapar (Tandi J, 2017).

2.5 Nefropatik Diabetik

Nefropati Diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada

pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap >300

mg/24 jam atau >200 μg/menit pada minimal 2 kali pemeriksaan

dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan atau penurunan kecepatan

filtrasi glomerulus dan peningkatan darah arterial tetapi tanpa

penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskular,

(Sulistyoningrum, 2014).

Nefropatik diabetik terjadi karena beberapa faktor yang

mendasar seperti faktor genetik, kelainan hemodinamik, hipertensi

sistemik kurang terkendalinya kadar gula darah (>140-160 mg/dL),

peradangan, perubahan permeabilitas pembuluh darah, asupan

protein berlebihan, gangguan metabolik (kelainan metabolisme

polyol, pembentukan AGEs dan peningkatan produksi sitokin),

pelepasan faktor pertumbuhan,kelainan metabolisme (karohidarat,

lipid, atau protein), gangguan pompa ion, hyperlipidemia kelainan

struktural (hipertensi glumerulus, ekspansi mesangium dan

penebalan membrana basalis glumerulus), aktivitas protein kinase


C (PKC), dan sindrom resistensi insulin (sindrom metabolik)

(Choirunnisa dkk, 2019).

Nefropati diabetik menimbulkan beberapa kelainan pada

struktur histologis ginjal. Karakteristik histologis nefropati diabetik

adalah perubahan struktur pada glomerulus. Glomerulus pada

keadaan nefropati diabetik mengalami penambahan volume

(hipertrofi) yang disebabkan karena adanya penumpukan matriks

ekstraseluler, penebalan membran basalis glomerulus dan

glomerulosklerosis. Gambaran awal dari perubahan struktur

ginjal diabetik adalah hipertrofi glomerular dan renal. Perubahan

ini akan diikuti dengan peningkatan ketebalan membrana basalis

glomerulus, ekspansi mesangial dengan akumulasi protein

matriks ektraselular seperti kolagen fibronektin dan laminin

disertai proliferasi sel mesangial infraglomerular. Terjadinya

glomerulossklerosis mengakibatkan ginjal tidak dapat bekerja

sesuai fungsinya, karena jaringan sklerosis ini akan menekan

kapiler yang pada keadaan normal kapiler ini berfungsi untuk

filtrasi darah menjadi urin sehingga dapat menyebabkan laju

filtrasinya sangat menurun (Sulistyoningrum, 2014).

2.6 Ginjal

Ginjal merupakan organ tubuh manusia yang berfungsi

dalam sistem ekskresi atau pembuangan. Ginjal merupakan salah

satu organ yang harus selalu dijaga agar tetap berfungsi dengan
normal. Mengalami gangguan ginjal berarti berpotensi untuk

terkena penyakit lainnya. Penyakit ginjal dapat terjadi karna

adanyagangguan pada sistem penyaringan organ ginjal, di mana

ginjal sudah tidak berfungsi sebagai organ penyaring racun

sehingga terjadi penumpukan racun pada glomerulus.

Penumpukan inilah yang akhirnya mengakibatkan kerusan pada

ginjal (Ariani, 2016).

2.6.1 Anatomi Ginjal

Gambar 2.6 Anatomi ginjal (Ariani, 2016).

Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas,

di belakang peritoneum, di depan dua iga terakhir, dan

tiga otot besar transversus abdominis, kuadratus

lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam

posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kelenjar

adrenal terletak di atas kutub masing-masing ginjal.


Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung di

sebelah posterior dilindungi oleh iga dan otot-otot yang

meliputi iga, sedangkan di anterior dilindungi oleh

bantalan usus yang tebal. Pada orang dewasa, panjang

ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1

inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci)

dan beratnya sekitar 150 gram, ukurannya tidak berbeda

menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang

dari kutub ke kutub kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm

(0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang

penting karena sebagian besar manifestasi penyakit

ginjal adalah perubahan struktur (Ariani, 2016).

Secara umum, anatomi ginjal manusia dibagi

menjadi tiga bagian dari yang paling luar ke paling dalam,

yaitu korteks ginjal, medula ginjal, dan pelvis ginjal.

1. Korteks (Cortex)

Korteks ginjal adalah bagian ginjal paling luar.

Bagian luar korteks ginjal dibugkus kapsul berupa jaringan

lemak sebagai pelindung bagian dalam ginjal.

2. Medula (Medulla)

Medula ginjal mempuyai bentuk halus halus dan

dalam. Medula memiliki lengkung Henle bentuk piramida

ginjal. Bagian ini terdiri dari nefron dan tubulus.


3. Tubulus

Tubulus bekerja mengangkut cairan ke ginjal

bergerak menjauh dari nefron kemudian mengumpulkan

dan mengangkut keluar urine dari ginjal.

4. Pelvis ginjal (Renal pelvis)

Pelvis berbentuk corong merupakan bagian paling

dalam. Berfungsi sebagai jalur cairan menuju ke

kandung kemih. Bagian pertama pelvis mengandung

calyces. Bagian ini berbentuk cangkir kecil berfungsi

mengumpulkan cairan mengirim ke kandung kemih

(Julisawaty dkk, 2020).

2.6.2 Fungsi Ginjal

Ginjal memiliki banyak fungsi penting bagi tubuh,

fungsi tersebut antara lain yaitu:

a. Pengeluaran zat sisa organik. Ginjal mengekskresi urea,

asam urat, kreatinin, dan produk penguraian hemoglobin

dan hormon.

b. Pengaturan konsentrasi ion-ion penting. Ginjal

mengekskresi ion natrium, kalium, kalsium, magnesium,

sulfat dan fosfat. Ekskresi ion-ion ini seimbang dengan

asupan dan ekskresinya melalui rute lain seperti pada

saluran gastrointestinal atau kulit.


c. Pengaturan keseimbangan asam basah tubuh. Ginjal

mengendalikan ekskresi ion hidrogen (H+), bikarbonat

(HCO3-), dan ammonium (NH4+) serta memproduksi urin

asam atau basa, bergantung pada kebutuhan tubuh.

d. Pengaturan produksi sel darah merah. Ginjal melepas

hormon eritropoetin yang mengatur produksi sel darah

merah dalam sum-sum tulang. Eritropoetin merupakan

glikoprotein yang disekresi oleh ginjal , hormon ini

bekerja pada sel sum-sum tulang untuk menstimulasi

produksi sel darah merah.

e. Pengaturan tekanan darah. Ginjal mengatur volume

cairan yang esensial bagi pengaturan tekanan darah dan

juga memproduksi enzim renin yang mengatur tekanan

darah untuk mempertahankan tekanan filtrasi yang

sesuai di glomeruli ginjal.

f. Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa

darah dan asam amino berlebih dan bertanggung jawab

atas konsentrasi nutrien dalam darah.

g. Pengeluaran zat beracun. Ginjal mengeluarkan zat-zat

polutan, zat tambahan makanan, obat-obatan atau zat

kimia asing lain yang masuk dalam tubuh (Robbins dkk,

1999).

2.6.3 Hormon pada Ginjal


Ginjal merupakan alat ekskresi untuk membuang

urin melalui saluran khusus mulai dari nefron sampai uretra,

selain pembuangan urin melalui saluran khusus ginjal juga

mensekresi zat langsung masuk darah yang tidak melalui

saluran khusus, zat tersebut termasuk hormon. Ada dua

macam hormon yang disekresikan oleh ginjal yaitu :

a. Hormon renin sangat penting dalam sistem kardiovosa

yang berhubungan dengan tekanan darah. Renin

disekresi oleh sel-sel ginjal (arteriol aferen) yang

diaktifkan melalui sinyal (pelepasan prostaglandin) dari

makula densa, yang menanggapi laju aliran fluida

melalui tubulus distal, dengan penurunan tekanan perfusi

ginjal (melalui peregangan reseptor di dinding pembuluh

darah) dan oleh stimulasi saraf, terutama melalui β-1

aktivasi reseptor. Mekanisme yang bertanggung jawab

dalam mempertahankan tekanan darah dan perfusi

jaringan dengan mengatur homeostasis ion Na (Kartiko

& Siswanto, 2015).

b. Hormon eritrogenin atau renal eritropoitin yang berperan

dalam proses pembentukkan eritrosit atau eritropoitin

merupakan substansi normal yang diproduksi oleh ginjal

menstimulasi sum-sum tulang belakang untuk

menghasilkan sel darah merah. Eritropoietin adalah


hormon glikoprotein yang mengontrol proses

eritropoiesis atau produksi sel darah merah. Hormon ini

dihasilkan oleh fibroblat peritubular korteks ginjal.

Peranan eritroproietin adalah mengubah flobulin yang

dihasilkan menjadi eritropoetin, dimana eritropoetin akan

merangsang eritropoetin sensitive sten cells pada

sumsum tulang untuk membentuk proeritroblas yang

merupakan cikal bakal sel eritrosit. Sekresinya

dirangsang oleh hipoksia, garam kobalt, katekolamin,

hormon androgen, selain kedua hormon yang disekresi

oleh ginjal tersebut, ada 2 jenis hormon penting yang

berhubungan dengan ginjal dan efek samping yang

ditimbulkan dari gangguan ginjal. Kedua hormon tersebut

adalah :

1) Hormon dopamine diproduksi di ginjal dan

hipotalamus. Dopamine merupakan suatu

neurotransmiter yang dibentuk oleh tubuh melalui

asam amino tirosin yang banyak ditemukan pada

berbagai makanan kaya protein seperti daging dan

keju. Dopamine merupakan molekul penting untuk

membentuk epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin

(noradrenalin). Hormon ini berfungsi untuk

meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah,


menghambat pelepasan prolaktin dan TRH dari

hipofisis anterior (Kartiko & Siswanto, 2015).

2) Hormon melatonin adalah hormon golongan indole

dengan nama kimia N-asetil-methoxytryptamine.

Melatonin merupakan turunan serotonin. Salah satu

mekanisme feedback regulasi melatonin adalah

hormon norepinefrin yang berperan dalam

mengaktifkan N-asetiltransferase dan beta-reseptor

blocker yang akan menekan sekresi melatonin.

Pelepasan melatonin mengikuti irama sirkadian yang

dihasilkan oleh suprachiasmatic nucleus dalam

menanggapi perubahan siang dan malam hari.

Melalui sekresi melatonin, kelenjar pineal

mempertahankan irama sirkadian internal tubuh yang

mengatur ritme alami fungsi tubuh. Melatonin

melakukan banyak fungsi fisiologisnya dengan

bekerja pada reseptor membran dan nukleus.

Melatonin memiliki dua reseptor yaitu MT1 dan MT2

yang merupakan reseptor – reseptor membran yang

memiliki tujuh domain membran dan termasuk dalam

keluarga besar dari reseptor – reseptor G protein-

coupled. Melatonin dikenal luas karena


kegunaannya sebagai zat aktif untuk membantu

gangguan tidur.

Melatonin banyak digunakan pada pada kasus

jet lag dan delayed sleep phase syndrome.

Sebelumnya, telah diketahui bersama efek

melatonin pada gangguan tidur dan dampak

gangguan tidur pada kesehatan dan percepatan

penuaan Selain itu melatonin juga dapat

menghambat penuaan karena melatonin merupakan

sebuah antioksidan yang sangat poten. Bahkan

dalam dosis kecil, melatonin mampu menetralisir

radikal bebas dan menghambat terjadinya stres

oksidatif. Efek antioksidan melatonin dilakukan oleh

melatonin itu sendiri dan melalui metabolit-

metabolitnya (Kartiko & Siswanto, 2015).

2.7 Streptozotocin

Streptozotocin (STZ) dihasilkan oleh streptomyces

achoromogenes. Streptozotocin digunakan secara luas untuk

menginduksi hewan uji pada penelitian DM karena selektif merusak

sel β pankreas. Streptozotocin bekerja langsung pada sel β

pankreas dan aksi sitoktoksiknya diperantarai oleh senyawa oksigen

reaktif (ROS). ROS meningkatkan konsentrasi kalsium sitosol secara


simultan yang menyebabkan kerusakan sel β pankreas dengan

cepat (Tandi J, 2017).

Efek toksik STZ bersifat lebih selektif terhadap sel β pankreas

karena berdasarkan struktur kimia STZ yang memiliki gugus glukosa

sehingga mempermudah masuknya STZ ke sel β karena sel β

pankreas lebih aktif mengambil glukosa dibanding sel lainnya. Sel

lain yang mengekspresikan GLUT-2 seperti hepatosit dan sel tubulus

ginjal juga rentan terhadap induksi dengan STZ. Hal ini yang

menjelaskan tentang efek nefrotoksik dan hepatotoksik STZ (Husna

dkk, 2019).

Selain pankreas, GLUT-2 juga ditemukan di membran sel hati

dan ginjal. Hal ini menjelaskan mengapa hewan coba yang diinduksi

STZ juga cenderung mengalami kerusakan hati dan ginjal.

Sementara itu sel α dan δ serta parenkim ekstra pankreas tetap intak

setelah pemberian STZ, hal ini membuktikan selektivitas STZ

terhadap sel yang memiliki GLUT-2 (Husna dkk, 2019).

Secara umum dosis pemberian STZ sangat bervariatif seperti

pada pembuatan hewan model DM tipe 1 dapat digunakan injeksi

sekali dengan dosis tinggi 50-100 mg/kgBB pada tikus, ataupun

dengan dosis berulang dengan dosis rendah yaitu 20 mg/kgBB

selama 5 hari berturut-turut dilakukan dengan rute intraperitonial.

Sedangkan untuk model DM tipe 2 hewan coba diberikan pemberian


nicotinamide dan diinduksi STZ dengan dosis rendah 25-45 mg/kg

untuk tikus pada periode neonatus (Putra, 2017).

Gambar 2.7 Struktur kimia Streptozotocin(Tandi J, 2018).

2.8 Gambaran histologi jaringan ginjal yang diberikan ekstrak


daun nangka pada tikus putih jantan

A B
Gambar 2.8 Gambaran histopatologi sel glomerulus dan
tubulus ginjal tikus putih jantan perbesaran 400x dengan
pewarnaan H&E (Skor 0).
A B
Gambar 2.3 Gambaran histopatologi sel glomerulus dan sel
tubulus ginjal tikus putih jantan perbesaran 400x dengan
pewarnaan H&E (Skor 1).

A B
Gambar 2.4 Gambaran histopatologi sel tubulus ginjal tikus
putih jantan perbesaran 400x dengan pewarnaan H&E (Skor 2).

2.9 Hewan Uji

Tikus putih jantan dikenal juga sebagai tikus albino, lebih

banyak dipilih dalam penelitian karena tikus yang dilahirkan dari

perkawinan antara tikus albino jantan dan betina memiliki tingkat

kemiripan genetis 98%, meskipun sudah lebih dari 20 generasi

(Tandi J, 2018).

Lebih dari 90% hewan uji yang digunakan dalam berbagai

penelitian adalah binatang pengerat, terutama mencit (Mus

musculus L) dan tikus (Rattus norvegicus), karena kedua hewan uji


tersebut memiliki banyak sekali kemiripan dengan manusia secara

genetik. Dua sifat yang membedakan tikus putih jantan (Rattus

norvegicus) dari hewan percobaan lain adalah tikus putih jantan ini

tidak mudah muntah karena struktur anatomi esofagus bermuara

ke dalam lambung dan tidak memiliki kantong empedu. Tikus putih

jantan (Rattus norvegicus) dapat memberikan hasil penelitian yang

lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh siklus menstruasi dan

kehamilan seperti pada tikus putih betina.Tikus putih jantan juga

memiliki kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi

biologis tubuh yang stabil dibandingkan tikus betina (Tandi J,

2018).

Klasifikasi Tikus Putih Jantan dalam sistematika hewan

percobaan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Myomorpha

Superfamili : Muroidae

Famili : Muridae

Subfamili : Murinae
Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Gambar 2.9 Tikus putih (Rattus norvegicus)

2.10 Peranan ekstrak etanol daun alpukat dalam mencegah

nefropati diabetik

Nefropatik diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular

yang paling sering terjadi pada penderita DM. Tatalaksana

nefropatik diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah

masih normal albuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau

makroalbuminuria, pada prinsipnya pendekatan utama

tatalaksana nefropatik diabetik adalah melalui pengendalian gula

darah. Tatalaksana dalam mengendalikan gula darah dapat

dilakukan secara farmakologi maupun nonfarmakologi, terapi

farmakologi dapat dilakukan dengan penggunaan obat

antidiabetes. Akan tetapi dengan mahalnya harga obat-obatan

yang sulit dijangkau masyarakat serta efek samping karena

penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu masyarakat selalu

mencari obat alternatif yang mudah didapat, mempunyai harga


yang relatif lebih terjangkau dan mempunyai efek samping yang

lebih kecil seperti obat dengan bahan dasar alami seperti obat

tradisional (Serang & Bani, 2017).

Pemanfaatan obat tradisional di indonesia sendiri sudah

banyak dilakukan salah satunya tanaman daun alpukat yang

sering digunakan masyarakat dalam pengobatan tradisional

sebagai antidiabetes serta untuk mencegah nefropatik diabetik.

Daun alpukat merupakan salah satu bagian tanaman yang dapat

digunakan untuk pengobatan alternatif karena mempunyai

banyak kandungan metabolit sekunder seperti alkaloid,

flavonoid, saponin dan tanin, memiliki potensi dalam mengatasi

inflamasi dan kerusakan yang diakibatkan oleh DM (Serang &

Bani, 2017).

2.11 Histopatologi

Histopatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang histologi

dan hubungannya dengan penyakit, yang dimana istilah histologi

berasal dari bahasa yunani “histos” artinya jaringan dan “logos”

artinya ilmu. Histologi adalah studi tentang jaringan tubuh dan

bagaimana jaringan ini diatur untuk membentuk organ tubuh

dengan melibatkan semua aspek biologi jaringan, dengan

mempelajari jaringan penyusun tubuh, kimia jaringan dan sel


dipelajari dengan metode analitik mikroskopik dan kimia

(Mescher, 2016)

Umumnya jaringan tidak berwarna sehingga sulit untuk

memeriksa jaringan yang tidak diwarnai dibawah mikroskop.

Oleh karena itu telah dilakukan metode-metode pewarnaan

jaringan yang memungkinkan dapat diidentifikasi komponen-

komponennya. Pewarnaan hematoksilin dan eosin atau biasa

disebut H&E adalah jenis pewarnaan rutin yang paling umum

digunakan dalam proses pembuatan preparat histopatologi

(Mescher, 2016)

Sebagian besar jaringan secara histologisdipersiapkan

dengan urutan langkah yaitu, potongan kecil jaringanditempatkan

dalam larutan bahan kimia yang bekerja denganmenghubungkan

protein dan menonaktifkan degradatif enzim, yang menjaga

struktur sel dan jaringan (fiksasi), lalu larutan alkohol dalam

konsentrasi 100 % menghilangkan semua air (dehidrasi),

selanjutnya alkohol dikeluarkan dalam pelarut organik yang

dimana baik alkohol maupun parafin tercampur (clearing),

kemudian jaringan ditempatkan pada parafin meleleh sampai

benar-benar menyatu dengan zat ini (infiltrasi) dan setelah itu

jaringan parafin yang sudah menyatu ditempatkan dalam ukuran

kecil, cetakan dengan parafin meleleh dan dibiarkan mengeras


(embedding), serta tahapan terakhir yaitu blok parafin yang

dihasilkan dipangkas/dipotong pada mikrotom (Mescher, 2016).

Pengamatan menggunakan mikroskop cahaya, didasarkan

pada sistem optik yang memiliki tiga set lensa antara lain,

kondensor yang berfungsi mengumpulkan dan memfokuskan

kerucut cahaya yang menyala diatas jaringan, lensa obyektif

berfungsi memperbesar dan memproyeksikan gambar obyek

yang diterangi kearah lensa mata. Biasa digunakan perbesaran

yang berbeda secara rutin dalam histologi meliputi 4X untuk

mengamati area yang luas (lapang pandang), pada perbesaran

rendah 10X untuk mengamati bidang yang lebih kecil, dan 40X

untuk mengamati bidang daerah yang rinci, dan oculars yang

berfungsi memperbesar gambar yang lain 10X dan

memproyeksikannya ke hasil, dengan pembesaran total dari

40X, 100X atau 400X (Mescher, 2016).

2.12 Kerusakan Ginjal

Kerusakan ginjal terjadi akibat dari berbagai macam penyakit

yang merusak massa nefron ginjal, diabetes melitus merupakan

penyebab paling umum dari gagal ginjal terutama apabila

penderitanya tidak mengelola masuknya kadar gula darah. Bila

proses perjalanan penyakit ini tidak dihambat, maka hampir

seluruh nefron akhirnya hancur dan diganti dengan jaringan


parut. Pada keadaan ini, ginjal kehilangan kemampuannya untuk

mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam

keadaan asupan makanan normal. Kerusakan ginjal juga dapat

diakibatkan oleh penggunaan obat dan bahan kimia lainnya.

Salah satu indeks fungsi ginjal yang terpenting adalah laju filtrasi

glomerulus (GFR), cara yang paling teliti untuk mengukur GFR

adalah dengan uji bersihan insulin, namun uji ini jarang

digunakan karena melibatkan proses infus intravena dengan

kecepatan yang konstan dan pengumpulan urin pada saat-saat

tertentu menggunakan kateter. Secara klinis sederhana GFR

dapat diukur dengan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan level serum

kreatinin (Habibi, 2018).

Jenis-jenis kerusakan jaringan ginjal antara lain yaitu :


No Jenis Definisi
Nekrosis adalah kematian sel karena
1. Nekrosis
adanya kerusakan sistem membran
Degeneratif adalah kondisi dimana
2. Degeneratif menurunnya fungsi dan jaringan sel dalam
tubuh
Apoptosis adalah kematian sel melalui
3. Apoptosis mekanisme genetik (kerusakan atau
fragmentasi kromosom atau DNA)
4. Piknosis Piknosis adalah proses kerusakan pada inti
sel yang ditandai dengan larutnya
kromosom dan proses kondensasi pada inti
sel
Atrofi adalah pengecilan atau penyusutan
5. Atrofi
jaringan otot atau jaringan saraf
Kariorhexis adalah menggambarkan
fragmentasi kromatin menjadi butiran
6. Kariorhexis
basophilic kecil akibat pecahnya membran
inti
Kariolysis adalah pembubaran atau lisisnya
kromatin inti oleh pelepasan nucleus yang
7. Kariolysis
berasal dari kebocoran lisosom dari sel-sel
mati
Onkosis adalah kematian sel karena
8. Onkosis
adanya faktor iskemia (kekurangan oksigen)
Nekrotik adalah kematian sel karena
9. Nekrotik
penyakit atau cedera
Degenerasi merupakan suatu perubahan
10. Degenerasi keadaan secara fisika dan kimia dalam sel
(penuaan dan penyakit)
Regenerasi adalah proses pertumbuhan
11. Regenerasi kembali jaringan atau organ yang rusak
atau koyak setelah mengalami cedera
Lisis merupakan peristiwa pecah atau
12. Lisis rusaknya integritas membran sel dan
menyebabkan keluarnya organel sel

2.13 Skoring Kerusakan

Adanya kerusakan pada ginjal dapat dideteksi dengan

melakukan pemeriksaan biokimia dan pemeriksaan histopatologi.

Pemeriksaan histopatologi merupakan salah satu golden

standard untuk diagnosis, penilaian prognostik, dan panduan

terapi berbagai penyakit yang menyerang ginjal. Sistem skoring

histopatologi ginjal dapat digunakan untuk mempermudah dalam


menghitung perubahan histopatologi yang terjadi. Skoring

histopatologi ginjal yang dapat digunakan adalah, sistem skoring

Anggraini dengan cara penilaian yaitu membaca tiap preparat

jaringan ginjal dalam 5 lapang pandang dengan menggunakan

perbesaran 400 kali. Pada setiap lapang pandang, dicari

kerusakan (jenis lesi) sesuai kriteria yang ditentukan kemudian

dimasukkan kedalam kategori (Qodar, 2018). Kriteria kerusakan

jaringan ginjal (jenis lesi) dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.2 Skoring Histopatologi Klasifikasi Anggraini


Skor Tingkat Kerusakan

Skor 1 Tidak terjadi kerusakan jaringan ginjal (pelebaran lumen


tubulus, akumulasi sel-sel debris dalam lumen,
vakuolisasi lumen tubulus, pelebaran ruang bowman,
degenerasi, hiperplasia, kariomegali, dan benda-benda
inklusi)
Skor 2 Bila ditemukan 1-2 kriteria di atas

Skor 3 Bila ditemukan 3-5 kriteria di atas

Skor 4 Bila ditemukan 6-8 kriteria di atas

Cara penilaian skoring menurut Suhita adalah dengan

membaca tiap preparat jaringan ginjal dalam 5 lapang pandang

dengan menggunakan perbesaran 400 kali. Kemudian setiap

lapang pandang dicari perubahan histopatologi sesuai kriteria yang

ditentukan (Qodar, 2020). Untuk mendapatkan data kuantitatifnya

skoring dilakukan pada setiap perubahan yang ditemukan pada

tabel 2.3
Tabel 2.3 Skoring Kerusakan Klasifikasi Suhita
Skor Tingkat Kerusakan
Skor 0 Tidak terjadi nekrosis inti, degenerasi tubulus, dilatasi
tubulus proksimal tiap lapang pandang.
Skor 1 Ditemukan lesi fokal seperti nekrosis inti, degenerasi
tubulus, dilatasi tubulud proksimal tiap lapang pandang.
Skor 2 Ditemukan lesi difusi/merata seperti nekrosis inti,
degenerasi tubulus, dilatasi tubulus proksimal tiap lapang
pandang.

Penilaian skoring kerusakaan ginjal menurut klasifikasi

Venient,yaitu dengan cara menghitung persentase sel abnormal,

kemudian diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan

perbesaran 400 kali dalam ±5 lapang pandang sejumlah 100 sel

(Qodar, 2018). Sistem skoring Venient dapat dilihat pada tabel 2.4

Tabel 2.4 persentase rasio abnormal Venient


Skor Persentase Kerusakan

1 Lesi <25% total lapang pandang


2 Lesi 25 - <50% total lapang pandang
3 Lesi 50 - <75% total lapang pandang
4 Lesi >75% total lapnag pandang

2.14 Kerangka Teori Pembentukan Model Hewan Uji

Induksi Streptozotocin

Kerusakan sel β
pankreas

Gangguan sekresi insulin

Hiperglikemia

Produksi ROS meningakat


Gambar 2.14 Kerangka Teori Pembentukan Model Hewan Uji (Tandi,
2018)

2.15 Kerangka Konsep Etanol Daun Alpukat

Ekstrak etanol daun alpukat

Alkaloid Flavonoid Saponin Tanin

Memacu Menghambat Menghambat Meregenerasi


metabolisme Senyawa Oksigen aktivitas enzim sel β pankreas
glukosa Reaktif (ROS) α-glukosidase

Menghambat Menghambat
stress oksidatif penyerapan
glukosa

Meningkatkan
sensitivitas reseptor
Keterangan :

= Variabel bebas

= Variabel terikat

Gambar 2.15. Kerangka Konsep Etanol Daun Alpukat (Tandi, 2018)

2.16 Kerangka Konsep Penelitian


Streptozotocin

Kerusakan sel β pankreas

Gangguan sekresi insulin

Hiperglikemia

Meningkatnya ROS

Alkaloid
Stres oksidatif

Flavonoid
Ekstrak etanol Kerusakan komponen
daun alpukat lipid membran sel
Saponin

Tanin Kadar malondialdehid


meningkat
Gambar 2.16. Kerangka Konsep Penelitian (Tandi, 2018)

2.17 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka

beberapa hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :

1. Ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana Mill)

mengandung senyawa metabolit sekunder alkaloid,

flavonoid, saponin dan tanin.


2. Ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana Mill) memiliki

efek dalam memperbaiki cedera tubulus ginjal tikus putih

jantan yang diinduksi streptozotocin.

3. Ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana Mill) pada

salah satu dosis efektif dalam memperbaiki cedera tubulus

ginjal pada tikus putih jantan yang diinduksi streptozotocin.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini mengunakan metode eksperimental dengan

rancangan modifikasi post test randomized controlled group design,

yang terdiri dari dua kelompok perlakuan yaitu: Kelompok kontrol

(kelompok I : kontrol normal, kelompok II kontrol negatif dan kelompok

III: kontrol positif) dan kelompok perlakuan (kelompok IV, V, VI)

dimana kelompok perlakuan diberikan ekstrak sedang kelompok

kontrol tidak diberikan ekstrak.

Kelompok I T
E
R
Kelompok II M
I
N
Kelompok III A
Kriteria Inklusi S
Tikus Randomisasi I
Kelompok IV

A B C Kelompok V

Kelompok VI

D E

-14 0 7 14 21 28 Hari

3.1 Skema Rancangan Penelitian (Tandi J, 2018).


Keterangan :

A = Tikus diadaptasikan selama 14 hari di laboratorium

B = Tikus yang memenuhi kriteria inklusi

C = Pada hari ke-0 tikus diukur kadar glukosa darah awal. Dibagi secara

acak menjadi 6 kelompok, lalu diinduksi streptozotocin dengan dosis

40 mg/kg BB kecuali kelompok I sebagai kontrol normal yang tidak

diinduksi.

D = Pada hari ke-7diukur kadar glukosa darah setelah induksi. Tikus

hiperglikemik diberi perlakuan sesuai kelompok.

1. Kelompok I (K1) sebagai kelompok normal diberi suspensi Na

CMC 0,5%.

2. Kelompok II (K2) diinduksi streptozotocin dan diberikan larutan

suspensi Na CMC 0,5% secara per oral setiap hari selama 21

hari sebagai kontrol negatif dan kadar glukosa darah tikus diukur

setiap 7 hari (hari ke 14, 21 dan 28).

3. Kelompok III (K3) diinduksi streptozotocin dan diberikan suspen

si glibenklamid secara per oral setiap hari selama 21 hari sebaga

i kontrol positif dan kadar glukosa darah tikus diukur setiap 7 hari

(hari ke 14, 21 dan 28).

4. Kelompok IV (K4) diinduksi dan diberikan ekstrak etanol daun al

pukat dengan dosis 250 mg/kg BB secara per oral setiap hari sel

ama 21 hari dan kadar glukosa darah tikus diukur setiap 7 hari

(hari ke 14, 21 dan 28).


5. Kelompok V (K5) diinduksi streptozotocin dan diberikan ekstrak

etanol daun alpukat dengan dosis 350 mg/kg BB secara per oral

setiap hari selama 21 hari sebagai kelompok perlakuan.

6. Kelompok VI (K6) diinduksi streptozotocin dan diberikan ekstrak

etanol daun alpukat dengan dosis 450 mg/kg BB secara peroral

setiap hari selama 21 hari sebagai kelompok perlakuan. Dilakuka

n pengukuran kadar glukosa darah pada hari ke 14, 21, 28.

E = Pada hari ke 28 dilakukan terminasi dan pembedahan untuk dilakuka

n nekropsi pada ginjal kanan kemudian dilakukan pemeriksaan histo

patologi.

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan september - november

2021. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia, Laboratorium

Farmakognosi dan Laboratorium Biofarmasetika STIFA Pelita Mas

Palu. Pembuatan preparat histologi ginjal dilakukan Balai Besar

Veteriner Maros Sulawesi Selatan.

3.3 Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : ekstrak etanol daun alpukat.

2. Variabel terikat : gambaran histopatologi ginjal tikus model DM

3.4 Definisi Operasional

1. Ekstrak etanol daun alpukat adalah hasil ekstraksi daun alpukat

yang dibuat melalui metode eksperimental dengan pelarut etanol


yang diberi pada hewan uji dengan dosis 250 mg/kgBB, 350

mg/kgBB dan 350 mg/kgBB.

2. Hewan model DM adalah tikus yang dibuat model DM dengan cara

dilakukan induksi STZ dengan dosis 40 mg/kgBB secara

intraperitonial dan dievaluasi pada hari ke 7 setelah induksi.

3. Kadar glukosa darah puasa adalah hasil pengukuran kadar glukosa

darah tikus model DM yang diukur dengan metode eksperimental

laboratorium dengan menggunakan satuan mg/dl dan diukur setiap

minggu.

4. Berat badan (BB) adalah hasil pengukuran berat badan tikus model

diabetes dengan menggunakan timbangan digital dengan satuan

gram dan diukur setiap minggu

5. Gambaran histopatologi ginjal tikus adalah hasil pemeriksaan

histopatologi hasil nekropsi ginjal tikus dengan menggunakan

pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) pemeriksaan dilakukan

menggunakan mikroskop cahaya Leica DM150 dengan perbesaran

400 kali dengan numericalaparture (NA) 1,25

6. Skor cedera tubulus pada jaringan ginjal adalah penghitungan

kuantitatif berdasarkan penilaian terhadap gambaran histopatologi

ginjal berdasarkan pada adanya area inflamasi, atrofi tubulus,

hilangnya brush border pada tubulus proksimal ginjal, serta dilatasi

tubulus dan pembentukan castinterluminal, yang telah diwarnai

dengan HE. Pengamatan dilakukan pada daerah cortex dan


medulla, yang diamati dalam 5 lapang pandang yang dipilih secara

acak dan tidak tumpang tindih dengan perbesaran 400 kali.

Penilaian skor cedera tubulus digolongkan berdasarkan skoring

venient dari 0 sampai 4 sebagai berikut:

0 = normal.

1 = cedera tubulus<25% lapang pandang

2 = cedera tubulus melibatkan 25%-50% lapang pandang.

3 = cedera tubulus melibatkan 51%-75% lapang pandang.

4 = cedera tubulus melibatkan >75% lapang pandang

3.5 Alat dan Bahan penelitian

3.5.1 Alat yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ayakan

no 40 mesh, Batang pengaduk, Bejana maserasi, Blender,

Cawan porselin, Gelas kimia (Pyrex), Gelas ukur (Pyrex),


R
Gunting bedah (Smics), Glukotest strip test (Accu-Chek ),

Kandang hewan uji, Labu ukur (Pyrex), Mortir dan stamper,

Penangas air (Thermostatic Wather Bath), Pipet tetes, Rak

tabung, Rotary Vaccum Evaporator (Hedolph), Sonde oral (One

Health Med Care), Spoit injeksi (One Med Health Care),

Tabung reaksi (Pyrex), Timbangan Analitik (Ohaus),

Timbangan gram.
3.5.2 Bahan yang digunakan

Air suling, aluminium foil, alkohol, aluminium klorida, asam

klorida 2N, citrate buffer saline, dragendrof LP, daun alpukat

(Persea americana Mill), etanol 96%, etanol 95%, FeCl 3 1%,

tissue, kertas label, kertas saring, Natrium Klorida (NaCl),

natrium asetat, natrium karbonat, NaOH, serbuk magnesium P,

streptozotocin dan pakan standar.

3.6 Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan (Rattus

norvegicus). Kriteria inklusinya adalah berumur kurang lebih 3-4

bulan, berat badan 150-200 gram, jenis kelamin jantan, warna bulu

putih, kondisi badan sehat (aktif dan tidak cacat), sedangkan kriteria

eksklusinya adalah tikus sakit, berat badan menurun hingga

kurang dari 150 gram dan tikus mati selama penelitian

berlangsung.

3.7 Cara Kerja

3.7.1 Identifikasi Tanaman

Identifikasi tanaman pada penelitian ini bertujuan untuk

memastikan agar tanaman yang diambil benar dari spesies

yang akan digunakan dalam penelitian ini. Bagian tanaman

daun alpukat diambil untuk digunakan pada identifikasi di UPT.

Sumber Daya Hayati Sulawesi Universitas Tadulako.


3.7.2 Penyiapan Bahan Uji

Bahan yang digunakan adalah daun alpukat (Persea

americana Mill) yang diperoleh di jalan Asam, Kecamatan Palu

Barat, Provinsi Sulawesi Tengah. Bahan yang diambil,

dikumpulkan kemudian disortasi basah dan dicuci dengan air

yang mengalir sampai bersih. Selanjutnya dilakukan

perajangan dan dikeringkan dengan cara dikering anginkan

tanpa terkena sinar matahari langsung sampai bahan tersebut

mengering. Bahan yang telah kering dihaluskan dan diayak

dengan ayakan nomor 40.

3.7.3 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Alpukat

Pembuatan ekstrak etanol daun alpukat dilakukan dengan

metode maserasi, yaitu serbuk simplisia daun alpukat yang

telah diayak ditimbang sebanyak 1200 gram dimasukkan

kedalam 3 bejana maserasi, masing-masing berisi 400 gram.

Serbuk kemudian dilarutkan dengan menggunakan pelarut

etanol 96% sebanyak 2 liter tiap bejana hingga seluruh

simplisia terendam. Maserasi dilakukan selama 3 x 24 jam

dalam ruangan yang terlindung dari cahaya matahari dan

sesekali dilakukan pengadukan untuk mencegah terjadinya

kejenuhan. Filtrat yang diperoleh disaring menggunakan kertas

saring, lalu dipekatkan menggunakan rotavapor (suhu 40oC-


60oC) dan diuapkan di waterbath hingga diperoleh ekstrak

kental etanol daun alpukat kemudian dihitung rendemennya.

Berat ekstrak yang didapat (g)


% Ekstrak = x 100%
Berat bahan yang diekstrak (g)

3.7.4 Uji Penapisan Fitokimia

Uji pendahuluan digunakan untuk mendeteksi komposisi

kimia tumbuhan berdasarkan golongannya sebagai informasi

awal untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang

mempunyai aktivitas biologi dari suatu tanaman.

1. Uji Alkaloid

Ekstrak daun alpukat ditimbang sebanyak 0,5 gram

lalu ditambahkan 5 ml asam klorida 2 N dan dipanaskan

di atas penangas air selama 2 menit lalu ditambahkan 3

tetes pereaksi Dragendrof LP. Jika hasil memberikan

endapan kuning oranye sampai merah bata maka

sampel mengandung alkaloid (Handayani dkk, 2020).

2. Uji Flavonoid

Ekstrak daun alpukat ditimbang sebanyak 0,5 gram

lalu dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml

aquadest, 5 ml larutan amonia dan 1 ml asam sulfat.

Perubahan warna menjadi warna kuning menunjukkan

adanya flavonoid (Handayani dkk, 2020).


3. Uji Saponin

Ekstrak daun alpukat ditimbang sebanyak 0,5 gram

dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10

ml air panas, dinginkan kemudian dikocok dengan kuat

selama 10 detik. Jika terbentuk buih yang menetap

selama tidak kurang dari 1 menit setinggi 10 cm atau

pada penambahan 1 tetes asam klorida 2N buih tidak

hilang maka menunjukkan adanya saponin (Handayani

dkk, 2020).

4. Uji Tanin

Ekstrak daun alpukat ditimbang sebanyak 0,5 gram

dimasukkan ke dalam cawan lalu ditambahkan dengan

20 ml air panas dan larutan NaCl 10% sebanyak 3 tetes.

Kemudian ditambahkan larutan FeCl3, bila terbentuk

warna biru hitam menunjukkan adanya tanin (Handayani

dkk, 2020).

3.7.5 Pembuatan Larutan Koloidal Na-CMC 0,5%

Natrium carboxy methyl cellulose sebanyak 0,5 gram

dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam lumpang yang berisi

10 mL aquades panas sambil digerus hingga homogen, lalu

diencerkan dengan sedikit aquades, selanjutnya dimasukkan ke

dalam labu ukur 100 mL. Volume dicukupkan hingga 100 mL

dengan aquades (Handayani dkk, 2020).


3.7.6 Pembuatan Suspensi Sampel

Ekstrak etanol daun alpukat ditimbang 0,5 gram )dosis 250

mg/kgBB), 0,7 gram (dosis 350 mg/kgBB) dan 0,9 gram (dosis 450

mg/kgBB). Selanjutnya pada masing-masing sampel dimasukkan

dalam suspensi Na CMC 0,5 % sedikit demi sedikit dan dicukupkan

volumenya hingga 25 ml kemudian dikocok hingga homogen.

3.7.7 Pembuatan Suspensi Glibenklamid 0,45 mg/kgBB

Dosis Glibenklamid pada manusia dewasa adalah 5 mg per

hari, jika dikonversi pada tikus dengan berat 200 gram adalah

0,018 maka dosis glibenklamid untuk tikus adalah 0,45 mg/kgBB.

Ditimbang serbuk tablet glibenklamid yang setara dengan 0,036 mg

dan suspensi dalam Na-CMC 0,5% hingga 50 ml kemudian

dikocok hingga homogen.

3.7.8 Pembuatan Larutan Induksi Streptozotocin

Streptozotocin ditimbang sebanyak 0,32 gram lalu dilarutkan

menggunakan citrate-buffer saline dengan pH 4,5 lalu diinduksikan

pada tikus secara intraperitoneal dengan dosis yaitu 40 mg/kg BB.

3.7.9 Penyiapan Hewan Uji

Tikus putih jantan sebanyak 30 ekor ditimbang bobot

badannya terlebih dahulu, lalu diadaptasikan selama dua

minggu di laboratorium dan diberi pakan standar dan minum

air. Adaptasi ini bertujuan agar hewan uji menyesuaikan diri


terhadap lingkungan yang baru dan mengurangi tingkat stres

yang dapat mengganggu hasil penelitian (Tandi J, 2017).

3.8 Perlakuan Hewan Uji

Perlakuan pada hewan uji dilakukan di Laboratorium Biofarmasetika

STIFA Pelita Mas Palu. Hewan uji yang digunakan sebanyak 30 ekor

dengan dikandangkan secara tercukupi dengan menggunakan kandang

berkelompok dari bahan plastik dan diberikan pakan standar serta air

minum setiap hari selama 28 hari.

3.7 Pembedahan Hewan Uji dan Pembuatan Preparat Histopatologi

Ginjal

Pembedahan tikus dilakukan untuk menekropsi organ ginjal

setelah perlakuan pada hari ke-28 dengan tahap sebagai berikut:

1. Pembiusan

Proses pembiusan dilakukan untuk menghilangkan

kesadaran hewan uji yang diambil organ ginjalnya sebagai

sampel penelitian. Hewan uji disuntikan ketamin sebanyak 0,5 cc

dan diencerkan dalam aquadest sampai 1cc. Tunggu hingga

tikus kehilangan kesadaran dengan cara memberikan rangsang

nyeri pada telapak kaki tikus, bila tidak memberi respon maka

efek anastesi sudah bekerja.

2. Pembedahan

Proses pembedahan dilakukan dengan melakukan sayatan

pada bagian abdominothoracal dan dilakukan nekropsi organ


ginjal, organ tersebut kemudiandibilas dengan cairan fisiologis

NaCl 0,9 % untuk memisahkan dari darah atau lemak-lemak

yang menempel pada organ.

3. Fiksasi

Proses fiksasi dilakukan untuk mengawetkan organ dan

menghambat proses autolisis. Sampel organ ginjal difiksasi

menggunakan formalin-PBS 10 % waktu yang diperlukan untuk

proses fiksasi sempurna adalah 48 jam.

Proses pembuatan preparat histopatologi ginjal hewan uji

dilakukan dengan beberapa tahap sebagai berikut:

1. Pemotongan spesimen

a. Spesimen yang dipilih untuk pemeriksaan, dipotong setebal

0,5-1 cm.

b. Potongan spesimen dimasukan dalam keranjang

pemprosesan dengan disertai label nomor spesimen yang

ditulis dengan pensil.

c. Sisa spesimen dengan formalin-PBS 10 % disimpan dalam

botol tertutup rapat.

2. Prossesing dan Embeding

Prossesing dilakukan mulai dari proses fiksasi untuk

mengawetkan dan mengeraskan organ, proses dehidrasi untuk

mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam jaringan yang

telah difikasi, proses clearing untuk mengeluarkan alkohol dari


organ dan proses impegmentasi untuk mengeluarkan toluen

pada organ dan diganti dengan parafin cair untuk proses

pembenaman. Embeding cassette dikeluarkan dari tissue

processor. Prosesembeding atau impegmentasi dilakukan untuk

mengeraskan organ agar mudah dipotong menggunakan

mikrotom. Cetakkan diberi nomor beserta label agar tidak

tertukar. Setelah beku (parafinnya telah mengeras) pisahkan

cetakan dengan keranjang.

3. Pemotongan

Proses pemotongan dilakukan untuk memperoleh irisan yang

tipis dengan menggunakan mikrotom. Proses pemotongan blok

jaringan adalah sebagai berikut:

a. Blok jaringan difiksir menggunakan mikrotom. Blok jaringan

kemudian dipotong dengan mikrotom sehingga didapatkan

permukaan yang rata.

b. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan pisau

mikrotom dengan ketebalan potongan 5-6 mikron.

c. Potongan yang terpilih direntangkan pada floating out yang

bersuhu sekitar 40oC. Suhu yang ideal akan mengakibatkan

potongan jaringan merentang sempurna dan tidak berkerut.

d. Taburkan gelatin powder sebanyak 5 gram untuk 100 cc

aquades dan biarkan larut sempurna.


e. Potongan yang bagus, tidak tergores, tidak mengkerut dipilih

dan diambil dengan gelas slide yang sudah bernomor sesuai

dengan nomor.

f. Slide yang berisi tempelan potongan jaringan ditempatkan

diatas pelat pemanas slide minimal 2 jam.

4. Pewarnaan

Sebelum melakukan pewarnaan, preparat histopatologi

dideparafinisasi dengan larutan xylol (I dan II) selama 2 menit.

Kemudian dilakukan proses rehidrasi dengan cara mencelupkan

sediaan kedalam alkohol bertingkat (alkohol absolut, alkohol

95%, alkohol 80%). Perendaman dalam alkohol 95% dilakukan

selama 1 menit. Kemudiaan sediaan dicuci dengan air yang

mengalir (air kran) selama 1 menit. Sediaan diwarnai dengan

pewarna Hematoxyllin-Eosin dengan tahapan sebagai berikut:

a. Preparat direndam dalam larutan Hematoxyllin selama 8

menit.

b. Dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30 detik.

c. Dicelupkan kedalam larutan lithium carbonat selama 15-30

detik.

d. Dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 2 menit.

e. Preparat direndam dalam larutan Eosin selama 2-3 menit.

f. Cuci dengan air mengalir (air kran) selama 30-60 detik.


g. Preparat dicelupkan kedalam larutan alkohol 95% dan

alkohol absolut sebanyak 10 kali celupan, absolut II selama 2

menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2

menit.Setelah tahapan pewarnaan, sediaan ditetesi perekat

dan ditutupi dengan cover glass. Setelah selesai pewarnaan

dilakukan cover glass, siapkan cover glass secukupnya

sesuai dengan jumlah preparat yang baru saja diwarnai lalu

teteskan 1-2 tetes “entellan” pada tiap cover glass. Balik dan

tutupkan pada slide preparat yang baru saja diwarnai, cegah

jangan sampai terbentuk gelembung udara, biarkan preparat

yang sudah tertutup dengan cover glass lalu dibiarkan

sampai mengering sempurna. Bersihkan slide glass dengan

xylol lalu berilah nomor sesuai dengan nomor yang ada

dietiket slide glass tersebut dan siap untuk diperiksa di

bawah mikroskop cahaya.

h. Pengamatan Ginjal Secara Mikroskopis.

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan mengamati

perubahan struktur pada ginjal dengan menggunakan

mikroskop cahaya Leica DM 150 perbesaran 400 kali

dengan NA 1,25.

3.8 Pengumpulan dan Analis Data

Data hasil pemeriksaan mikroskopis yang diperoleh berupa

data skoring kerusakan ginjal yang diamati menggunakan mikroskop


cahaya, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.

Jika hasilnya tidak terdistribusi normal dan tidak homogen,

selanjutnya dilakukan analisis menggunakan statistik non parametrik

uji Kruskall Wallis untuk mengetahui perbedaan yang signifikan

antara kelompok kontrol dengan nilai p<0,05 dipilih sebagai tingkat

signifikannya. Jika terdapat perbedaan yang signifikan maka

dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan yang

bermakna setiap kelompok perlakuan, pengolahan data dilakukan

menggunakan program software SPSS.


DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, M. D., Anas, Y., & Sumantri, S. (2018). Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik.
Uji Aktivitas Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Etanol Daun Alpukat Dan Rimpang
Temulawak Pada Tikus DM Tipe-2 Yang Mengalami Resistensi Insulin , 1-9.

Ariani, S. (2016). Stop Gagal Ginjal. Yogjakarta: Istana Media.

Choirunnisa, H., Waluyo, R., & Sutarto. (2019). Pengaruh Asupan Tinggi Fruktosa
Terhadap Komplikasi Nefropati Diabetik Pada Penderita Diabetes Mellitus. Medula , 314-
322.

Dani, S., Nurul, & Hasbi, T. R. (2017). Aktivitas Antidiabetes Dan Kandungan Senyawa
Kimia Dari Berbagai Bagian Tanaman Alpukat (Persea americana). Jurnal Review .

Dasar, T. R. (2018a). RISKESDAS. Jakarta: 2018.

Dasar, T. R. (2018b). RISKESDAS. Sulawesi Tengah: 2018.

Dewoto, H. R. (2007). Majalah Kedokteran Indonesia. Pengembangan Obat Tradisional


Indonesia Menjadi Fitofarmaka , 205-211.

Emelda. (2019). Farmakognosi. Yogyakarta: PT. Pustaka Baru.

Emni, P., & Zulfadly. (2017). Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Metabolite Sekunder
Ekstrak Biji Kelor (Moringa oleifera Lam) Dengan Metode Spektofotometri UV-VIS , 14-
21.

Habibi, N. I. (2018). Hubungan Perilaku Spiritual Dengan Mekanisme Koping Pasien


Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisadi Rumah Sakit Perkebunan Jember
Klinik (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Jember).

Hanani, E. (2017). Analisis Fitokimia. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Handayani, T. W., Yusuf, Y., & Tandi, J. (2020). Kovalen : Jurnal Riset Kimia. Analisis
Kualitatif Dan Kuantitatif Metabolit Sekunder Ekstrak Biji Kelor (Moringa oleifera Lam)
Dengan Metode Spektofotometri UV-VIS , 230-238.

Husna, F., Suyatana, F. D., Arozal, W., & Purwaningsih, E. H. (2019). Pharmaceutical
Sciences & Research. Model Hewan Coba Pada Penelitian Diabetes , 1.

Julisawaty, E. A., Hurnaningsih, & Ekasari, M. H. (2020). Prosiding SenTik. Aplikasi


Augmented Reality Tentang Fungsi Organ Ginjal Manusia Dan Cara Menjaga
Kesehatannya , 159-166.
Kartiko, B. H., & Siswanto, F. M. (2015). Jurnal Virgin. Hormon Dalam Konsep Anti Aging
Medicine , 108-122.

Lathifah, N. L. (2017). Jurnal Berkala Epidemiologi. Hubungan Durasi Penyakit Dan Kadar
Gula Darah Dengan Keluhan Subjektif Penderita Diabetes Melitus , 31-39.

Mescher, A. (2016). Junguiera's Basic Histologi Text and Atlas. New York: McGraw-Hill
Education.

Patala, R., Dewi, N. P., & Pasaribu, M. H. (2020). Jurnal Farmasi Galenika. Efektivitas
Ekstrak Etanol Biji Alpukat (Persea americana Mill) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus
Putih Jantan (Rattus norvegicus) Model Hiperkolesterolemia-diabetes , 7-13.

Putra, A. H. (2017). Pengaruh Latihan Fisik (Treadmill) Terhadap Kadar Malondialdehid


(MDA) dan Aktivitas Superoksida Dimutase (SOD) Pada Organ Lambung Tikus (Rattus
norvegicus) Model Diabetes Mellitus Tipe 2 .

Qodar, T. S. (2018). Efek Pemberian Tepung Kedelai (Glycine Max (L) Merr.) Sebagai
Nefroprotektor Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Wistar Jantan Yang
Diinduksi Diazinon .

Rahayuningsih, N. P. (2020). Jurnal Ilmu-ilmu Keperawatan, Analisis Kesehatan dan


Farmasi. Aktivitas Antidiabetika Beberapa Fraksi Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea
americana Mill) Pada Tikus Putih Jantan Dengan Induksi Aloksan , 43-51.

Robbins, S. L., Cotran, R. S., & Kumar, V. (1999). Buku Saku Dasar Patologi Penyakit. In A.
S. Tjarta, Himawan, & N. Kurniawan, Pocket Companion To Pathologic Basis Of Disease
(p. 1103). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Serang, Y., & Bani, F. (2017). Uji Aktivitas Anti-Hiperglikemik Dan Penghambatan Stress
Oksidatif Ekstrak Etanol Daun Jeruk Nipis .

Setiati, S. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: 2015.

Sintowati, R., Handayani, A. P., & Aisyah, R. (2017). Biomedika. The Effectiveness Of 70%
Methanolic Extract Of Avocado Leaf (Persea americana Mill) In Decreasing Blood Sugar
Levels In Male Rats (Rattus norvegicus) Wistar Strain Induced Alloxan , 15-22.

Sulistyoningrum, E. (2014). MANDALA Of Health. Perubahan Seluler Dan Molekuler Pada


Nefropati Diabetik , 514-520.

Tandi, J. (2018). Analisis Daun Gedi Merah (Abelmoschus manihot (L) medik) Sebagai
Obat Diabetes Mellitus. Palu: Buku Kedokteran EGC.

Tandi, J. (2018). Buku Ajar Obat Tradisional STIFA PM Palu. Palu.


Tandi, J. (2017). Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Jambu Air (Syzygium aqueum (Burm f.)
Alston) Terhadap Glukosa Darah, Ureum Dan Kreatinin Tikus Putih (Rattus norvegicus).
Journal of Tropical Pharmacy and Chemistry , 43-51.

Tandi, J., Dewi, N. P., & Wirawan, R. C. (2020b). Jurnal Farmasi Galenika. Potensi Rumput
Laut (Eucheuma cottonii J. Agardh) Terhadap Nefropati Diabetik Tikus Putih Jantan
(Rattus norvegicus) .

Tandi, J., Handayani, T. W., & Purwasih, N. W. (2020). Test Of The Potential Of Ethanol
Extracts, Simplician Medium and Forest Umbi Juice (Eleutherine Bulbosa (Factory) Urb)
Againt Blood Glucose Levels Of Rats, and Histopatology Ratkreas Rat (Rattus norvegicus)
Hypercholesterolemia Model Diabetic. Journal Of Tropical Pharmacy And Chemistry , 67.

Tandi, J., Lalu, R., Kenta, Y. S., & Nobertson, R. (2020). Uji Potensi Nefropati Diabetes
Daun Sirih Merah (Piper croatum Ruiz & Pav) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus
norvegicus). KOVALEN : Jurnal Riset Kimia , 239-251.

Tandi, J., Mauruh, D. N., Dewi, N. P., & Yusriadi. (2019). Pengaruh Ekstrak Etanol Daun
Kacang Panjang Terhadap Kadar Ureum Kreatinin Tikus Putih Yang Diinduksi
Streptozotocin. Farmakologi Jurnal Farmasi , 145-152.

Tandi, J., Muathi'ah, H. Z., & Yusriadi. (2016). Efektivitas Ekstrak Daun Gedi Merah
Terhadap Glukoa Darah, Malondehid, 8-hidroksi deoksiguanosin, Insulin Tikus Diabetes.
Journal Of Tropical and Chemistry .

Tandi, J., Nugraha, F. R., & Afandi, W. N. (2020a). Potensi Nefroterapi Daun Nangka
(Artocarpus heterophyllus Lamk) Terhadap Tikus Putih Diabetes Melitus .

Tandi, J., Roem, M., & Yuliet, Y. (2017). Efek Nefroprotektif Kombinasi Ekstrak Daun Gedi
Merah dan Daun Kumis Kucing Pada Tikus Induksi Etilen Glikol. Journal Of Tropical
Chemistry , 27-34.

Tandi, J., Sutrisna, I. N., Pratiwi, M., & Handayani, T. W. (2020). Potential Test Of
Nefropathy Sonchus arvensis L. Leaves On Male Rats (Rattus norvegicus) Diabetes
Mellitus. Pharmacognosy Journal .

Tandi, J., Wulandari, A., & Asrifa. (2017). Jurnal Farmasi Galenika. Efek Ekstrak Etanol
Daun Gendola Merah (Basella alba L) Terhadap Kadar Kreatinin, Ureum Dan Deskripsi
Histologi Tubulus Ginjal Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus) Diabetes Yang Diinduksi
Streptozotocin , 93-102.

Yulianto, S. (2017). Jurnal Kebidanan Dan Kesehatan Tradisional. Penggunaan Tanaman


Herbal Untuk Kesehatan , 1-59.
UPT. Sumber Daya Hayati Sulawesi Tengah. 2019. Kementrian Riset
Teknologi Dan Pendidikan Tinggi. Universitas Tadulako

Anda mungkin juga menyukai