Pendapat Ulama Yang Menghalalkan Bank
Pendapat Ulama Yang Menghalalkan Bank
Daftar Isi:
Daftar nama para ulama yang sepakat tidak memandang bunga bank sebagai
riba yang haram cukup banyak kalau mau dibeberkan semua. Berikut sebagian
kecil saya antara lain adalah :
Dr. Abdurrahman Al-‘Adawi
Dr. Muhammad Ar-Rawi
Dr. Nashr Farid Washil
Dr. Yasin Suwailim
Dr. Abdul Azhim Barakah
Dr. Muhammad Salam Madkur
Dr. Muhammad Asy-Syahat Al-Jundi
Dr. Ismail Ad-Daftar
Selain itu menurut Umar Chapra, ada Muhammad Asad dan juga Abdullah
Yusuf Ali yang juga berpendapat bahwa bunga bank itu bukan termasuk riba
yang diharamkan.
1. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba
hukumnya halal
2. Bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para
nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang
selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
Dari membaca sekilas apa yang difatwakan, kita menemukan ada sedikit
pembedaan perlakuan hukum antara bank swasta dan bank negeri. Bank
negeri itu kalau pun memungut bunga, maka tidak dianggap riba. Berbeda
dengan bank swasta yang dianggap riba.
keharaman bunga bank, maka hingga di level ulama lokal nusantara pun
terjadi juga perbedaan pendapat.
Di masa tahun 80-an, MUI atau khususnya pimpinan Komisi Fatwa saat itu,
yaitu Dr. Ibarhim Hosen cenderung membolehkan bunga bank dan tidak
diharamkan.
Alasannya sangat ushul fiqih sekali, yaitu bahwa bank adalah sebuah badan
hukum dan bukan individu. Karena bukan individu, maka bank tidak mendapat
beban (taklif) seperti halal atau haram dari Allah. Bank tidak akil, baligh dan
tamyiz, dengan kata lain bank itu bukan mukallaf.
Sehingga praktek bunga bank kalau pun dianggap riba, namun bank sendiri
tidak bisa dikatakan berdosa, karena yang dapat berdosa adalah individu.
Ketika ayat riba turun di jazirah arabia, belum ada bank atau lembaga
keuangan.
Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Dr. Ibrahim Hosen dalam
Workshop On Bank And Banking Interest, disponsori oleh Majelis Ulama
Indonesia pada tahun 1990.
Lalu di masa yang lebih kekinian, yaitu tahun 2004 muncul fatwa yang
cenderung menjadikan bunga bank itu haram. Boleh jadi hal ini terjadi
lantaran memang di berbagai belahan dunia para ulama tidak sepaham dalam
masalah keharaman bunga bank
Dalil Yang Menghalalkan Bank
TIM HUMAS 23 JUNI 2021 ARTIKEL
Bunga bank itu bunga yang kecil yang tidak akan sampai mencekik
peminjamnya. Sebaliknya para peminjam justru akan semakin dipacu untuk
bisa berbisnis lebih luas lagi.
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَمُنوا اَل َتْأ ُكُلوا الِّر َبا َأْض َعاًفا ُمَض اَع َفًة َو اَّتُقوا الَّلَه َلَع َّلُك ْم ُتْف ِلُح وَن
Mereka berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat
ganda dan tidak termasuk riba yang kadarnya rendah. Mereka memahami
sesuai dengan konteks ayat.
Kalau tidak ada dalil atau kesepakatan atas haramnya suatu praktek
muamalah, maka hukumnya harus kembali kepada kebolehan alias halal.
Dan karena ada banyak akad di dalam praktek perbankan, maka setidak-
tidaknya harus dipilah mana yang memang benar-benar haram. Kalau tidak
terbukti keharamannya, maka pada dasarnya semua adalah halal.
Di antara bentuk praktek ribawi yang sering dijalankan oleh koperasi adalah
produk simpan pinjam. Biasanya koperasi punya uang yang merupakan
tabungan dari para anggotanya. Lalu tabungan itu dipinjamkan kepada siapa
saja dari anggota yang membutuhkan uang, baik terkait dengan kebutuhan
konsumtif ataupun produktif.
Lalu yang menjadi titik masalah adalah pada akadnya, yaitu keharusan
memberikan ‘uang jasa’ atas pinjaman. Sudah pasti uang jasa ini tidak akan
dinamakan bunga, namun sering diberi istilah lain, yang sekiranya orang tidak
menyangkanya sebagai riba. Misalnya diberi-nama uang administrasi, atau fee
keanggotaan, atau fee pencairan dan seterusnya.
Namun bila prinsip riba terlaksana, sebenarnya apapun istilah yang digunakan,
tetap saja termasuk akad ribawi yang hukumnya haram. Dan prinsip riba
sederhana saja, yaitu pinjam uang yang ada kewajiban untuk memberikan
tambahan pada saat pengembaliannya.
Namun kadang banyak orang yang berasalan bahwa fee atau uang jasa itu
bukan termasuk riba, dengan alasan-alasan berikut ini :
Padahal ‘illat haramnya riba bukan pada faktor keridhaan atau keikhlasan.
Sebab dosa riba dan laknat Allah juga terkena kepada mereka yang
diuntungkan dari praktek riba. Sementara orang yang diuntungkan dari
praktek riba tentu saja ridha dan ikhlas.
2. Tidak Memberatkan
Banyak juga orang mengira bahwa ‘illat haramnya riba itu semata-mata karena
riba itu memberatkan peminjam, sehingga dianggap sebagai perbuatan zalim
dan menindas. Lalu bila tidak ada unsur pemberatan bagi peminjam, lantas
riba menjadi halal.
ََي أي َها اَّلِذ يَن آَمنوْا َال ََْت ُكلوْا الرَِب أْض َعافاا مَض اَع َف اة
Padahal ayat ini masih harus disempurnakan lagi dengan ayat lainnya, yang
secara tegas mengharamkan sisa-sisa riba.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.(Al-Baqarah : 278-279)
Alasan ini punya kelemahan, yaitu ketika uang itu bukan 100% milik sendiri.
Misalnya A sebagai anggota koperasi punya uang tabungan di koperasi 10
juta. Lalu dia pinjam kepada koperasi 20 juta. Memang benar sebagian dari
uang itu adalah hak miliknya sendiri, namun sisanya tetap saja milik orang lain.
Oleh karena itu praktek ini tetap termasuk riba yang diharamkan. Karena tetap
saja ada unsur pinjam uang orang lain dan ada kewajiban mengembalikan
dengan kelebihan.
Lain halnya bila seseorang punya tabungan sendiri sebesar 10 juta. Lalu dia
‘meminjam’ dari uang pribadinya itu sebesar 5 juta. Dan ketika
mengembalikannya, ditambahkanlah 2 juta lagi sehingga menjadi 7 juta.
Praktek ini bukan riba karena tidak ada pihak kedua yang dipinjam uangnya.
Dia hanya pinjam uangnya sendiri, yang sebenarnya secara akad tidak
termasuk kategori pinjam. Sebab tidak ada istilah pinjam kalau harta itu
miliknya sendiri.
Koperasi sebagai sebuah istilah yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia
dari kata ‘Cooperation’ (Inggris). Secara semantic koperasi berarti kerja sama.
Kata koperasi mempunyai padanan makna dengan kata syirkah dalam bahasa
Arab.[1][3] Syirkah ini merupakan wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan,
kebersamaan usaha yang sehat baik dan halal yang sangat terpuji dalam islam.
Praktek ribawi yang paling klasik dan paling tua umurnya tidak lain adalah
praktek peminjaman uang oleh para rentenir yang banyak beroperasi di
tengah masyarakat umum.
Dan lebih banyak lagi kita temukan mereka di pasar-pasar tradisional. Sebab
di dalam pasar itu banyak sekali pedagang yang butuh modal kilat, kemudian
setelah mereka berdagang seharian, sebagian dari keuntungannya digunakan
buat membayar bunga renten.
Para rentenir itu menyediakan jasa peminjaman uang tunai yang bisa dicairkan
dalam waktu cepat, sehingga menjadi rujukan buat mereka yang butuh dana
segar secara cepat.
Tentu saja jasa itu bukan jasa gratisan, tetapi ada konsekuensi berat, yaitu
kewajiban membayar bunga yang amat tinggi dalam waktu yang amat singkat.
Dengan ketentuan seperti itu, hutang yang pokoknya tidak seberapa, akan
segera menggelembung menjadi keuntungan puluhan kali lipat dalam waktu
amat singkat.
Maka praktek bisnis meminjamkan uang dengan cara mudah dengan bunga
tinggi cukup dikenal masyarakat bawah. Bahkan kadang disebut dengan
‘koperasi berjalan’, walaupun sebenarnya tidak lain hanyalah rentenir.
Meski jaman sudah maju, bank berdiri di setiap kota dan lorong, tapi rentenir
tetap ada. Pelanggannya tetap banyak, terutama kalangan masyarakat
menengah ke bawah. Meskipun mencekik, mereka yang terjerat tetap merasa
berterima kasih karena tertolong. Namun mengaku lebih memilih rentenir
karena urusan dengan mereka tidak ribet, dan cepat. Sedangkan untuk
meminjam uang ke bank perlu mekanisme yang panjang, dan lama.
Peminjam langsung mendapatkan uang begitu saja dari rentenir. Hari ini
pinjam, hari ini langsung cair. Berbeda dengan bank yang harus survei dan
melihat kelayakan peminjam. Memang, uang yang diterima tidak utuh, karena
dipotong biaya administrasi. Tapi umumnya peminjam lebih memilih rentenir
karena kemudahan pencairan meski harus bayar lebih.
Namun untuk bisa dianggap sebagai riba nasi’ah secar benar dan akurat,
setidaknya harus ada lima ketentuan yang terpenuhi.
Hutang
Tidaklah disebut riba nasi’ah kalau akadnya bukan hutang piutang. Misalnya A
pinjam uang dari B, lalu B harus membayar lebih dari jumlah yang dia pinjam.
Namun kalau yang terjadi bukan pinjam melainkan titip uang, kasusnya sudah
keluar dari riba. Misalnya A titip uang 10 juta kepada B. Jelas sekali akadnya
bukan hutang melainkan titipan.
Berupa Uang
Hutang yang dimaksud di atas hanya sebatas pada hutang dalam wujud uang,
baik emas perak di masa lalu atau pun uang kertas di masa sekarang.
Pendeknya harus berupa benda yang berfungsi sebagai alat pembayaran
dalam jual-beli.
Seandainya tambahan itu tidak disyaratkan di awal dan terjadi begitu saja, ini
pun juga bukan termasuk riba yang diharamkan.
Dasarnya adalah kasus yang terjadi pada Rasulullah SAW, ketika beliau
meminjam seekor unta yang masih muda (kecil) dari seseorang. Giliran harus
mengembalikan, ternyata Beliau tidak punya unta yang muda. Maka
diberikanlah unta yang lebih tua (besar).
Di tahun 1970 uang 10 juta bisa beli rumah lumayan besar. Tapi uang segitu di
2020 cuma cukup buat beli pintu gerbangnya saja.
Maka hal ini membuat para ulama berbeda pendapat. Ada yang keukeuh
hanya boleh dibayar 10 juta saja. Tapi ada juga yang lebih realistis dan
membolehkan pengembaliannya disesuaikan dengan nilai yang setara di hari
ini.