Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TANGGUNG JAWAB PIDANA DALAM KORUPSI ANALISIS ATAS


KERUGIAN KEUANGAN NEGARA, SUAP MENYUAP,
PENGGELAPAN JABATAN, DAN GRATIFIKASI

OLEH KELOMPOK : I

NAMA-NAMA ANGGOTA KELOMOK

1. JONDRI UNWAWIRKA
2. LUCKY PITKAEM
3. MONALISA LENGAM
4. WIWIN SANDOPA
5. YOLISA UNITLY
6. GRACE BOGER
7. SARAH GALANDJINDJINAI
8. ARIANCE DJILARPOIN
9. RAHEL LODAR

UNIVERSITAS PATTIMURA
FAKULTAS HUKUM PSDKU ARU
2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan Malakah ini dengan judul TANGGUNG
JAWAB PIDANA DALAM KORUPSI ANALISIS ATAS KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA, SUAP MENYUAP, PENGGELAPAN JABATAN,
DAN GRATIFIKASI.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pengampuh mata kuliah
Hukum Pidana Korupsi yang karena bimbingan serta arahan dari Ibu sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini, dengan segala teori yang ibu ajarkan.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu kami sangat mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian
guna penyempurnaan makalah ini selanjutnya.

Harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaan bagi pembaca sekalian terlebih
khusus bagi mahasiswa Fakultas Hukum sebagai bahan referensi dalam pembuatan
makalah hukum yang lain.

.Penulis

Kelompok I
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian


Seiring dengan dinamika dan kompleksitas hubungan antar manusia dalam
kehidupan sosial, maka semakin besar pula peran dan tanggung jawab negara
terhadap kehidupan warganegaranya. Dalam negara kesejahteraan (welfare state),
tugas negara tidak hanya terbatas untuk menjaga tata tertib dan keamanan
melainkan juga bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
Pada era globalisasi seperti yang terjadi saat ini, konsep welfare state
dimaknai sebagai kemampuan negara mereduksi jurang pemisah antara berbagai
kelompok sekaligus mampu memberdayakan jurang pemisah antara berbagai
kelompok sekaligus mampu memberdayakan potensi warganya dalam
menghadapi persaingan global.1
Tanggung jawab pidana dalam kasus korupsi yang terkait kerugian
keuangan negara, suap menyuap, penggelapan jabatan, dan gratifikasi adalah
bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan pemberian
hukuman sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Dalam hal
ini, tanggung jawab pidana berada pada pihak pemerintah, polisi, dan instansi lain
yang terlibat dalam pengawasan dan pemberian hukuman.Kasus korupsi yang
terkait kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan jabatan, dan
gratifikasi dapat dikeluarkan oleh berbagai macam instansi, seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Polisi, dan Pengadilan Tinggi.
Masalah terkait tanggung jawab pidana dalam korupsi, seperti kerugian
keuangan negara, suap menyuap, penggelapan jabatan, dan gratifikasi, merupakan
masalah yang sangat penting dan sering terjadi di berbagai bidang, mulai dari
pemerintah hingga sektor privat. Masalah ini memerlukan perhatian khusus dan
tindakan yang efektif untuk mencegah dan mengatasi korupsi yang berpengaruh

1
D Andhi Nirwanto, Dikotomi Terminologi Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak
Pidana Korupsi, Aneka Ilmu, Cetakan I, Jakarta, hlm.58.
pada kewangan negara dan masyarakat.Latar belakang masalah terkait tanggung
jawab pidana dalam korupsi adalah bahwa korupsi merupakan kejahatan yang
banyak terjadi dan memiliki dampak yang sangat negatif bagi negara dan
masyarakat. Korupsi dapat berupa berbagai bentuk, seperti suap menyuap,
penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam
pengadaan, dan gratifikasi.
Korupsi ini dapat terjadi di berbagai bidang, mulai dari pemerintah, sektor
privat, hingga masyarakat.Korupsi dapat mempengaruhi kewangan negara dan
masyarakat, seperti meningkatkan biaya produksi, mengurangi daya saing,
meningkatkan harga, dan mengurangi kualitas pelayanan publik. Pihak
pemerintah dan instansi lainnya harus melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan
pemberian hukuman sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku
untuk mencegah dan mengatasi korupsi. Tanggung jawab pidana dalam korupsi
juga memerlukan perhatian khusus dari masyarakat dan pihak pemerintah untuk
mengurangi risiko terjadinya korupsi.
Masyarakat harus membangun aliansi dengan perusahaan dan kelompok
masyarakat lain untuk melawan korupsi, sementara pihak pemerintah harus
melakukan reformasi dan perubahan dalam sistem pemerintah untuk mengurangi
korupsi.Masalah ini memerlukan perhatian dan tindakan yang efektif untuk
mencegah dan mengatasi korupsi yang berpengaruh pada kewangan negara dan
masyarakat. Pihak pemerintah dan instansi lainnya harus melakukan pemeriksaan,
pengawasan, dan pemberian hukuman sesuai dengan undang-undang dan
peraturan yang berlaku untuk mencegah dan mengatasi korupsi. Masyarakat harus
membangun aliansi dengan perusahaan dan kelompok masyarakat lain untuk
melawan korupsi, sementara pihak pemerintah harus melakukan reformasi dan
perubahan dalam sistem pemerintah untuk mengurangi korupsi.
Prinsip tanggung jawab pidana adalah yang berbunyi "siapa yang berbuat
dia yang bertanggung jawab" tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana ("KUHP"). Namun, ada ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang
dapat disimpulkan memiliki arti serupa. Beberapa ketentuan tersebut bisa kita
lihat dalam Pasal 2 sampai Pasal 5 KUHP.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas dapat penulis identifikasikan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaiamanakah pengaturan terhadap pertanggungjawaban pidana
orang dan korporasi dalam tindak pidana korupsi, seperti kerugian
keuangan negara, suap menyuap, penggelapan jabatan, dan gratifikasi?
2. Apakah tanggung jawab pidana dalam penanganan kasus korupsi,
seperti kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan
jabatan, dan gratifikasi sesuai dengan undang-undang yang berlaku?
C. Tujuan penulisan
a. Mengetahui dan memahami pengaturan terhadap pertanggungjawaban pidana
orang dan korporasi dalam tindak pidana korupsi, seperti kerugian keuangan
negara, suap menyuap, penggelapan jabatan, dan gratifikasi.
b. Menganalisi dan memahami tanggung jawab pidana dalam penanganan kasus
korupsi, seperti kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan
jabatan, dan gratifikasi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
D. Metode penulisan
Metode penulisan yang di gunakan untuk menulis makalah ini adalah penelitian
yuridis normative, yang mana dilakukan kajian pustaka serta menganalisi peraturan
perundangan yang berlaku.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi

1. Kerugian Keuangan Negara


a) Undang-Undang yang yang mengatur.

Di Indonesia, misalnya, kerugian keuangan negara sering kali diatur dalam


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU PTPK). Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK secara khusus menyebutkan
mengenai tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Pegawai
Negeri atau Pejabat Publik: Mereka yang terlibat dalam korupsi, seperti menerima
suap atau memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi, dapat dikenai pidana. Ini
bisa berupa hukuman penjara, denda, atau keduanya, tergantung pada hukum yang
berlaku di negara tersebut. Pihak Swasta yang Terlibat: Individu-individu dalam
sektor swasta yang terlibat dalam memberikan atau memberi suap juga dapat dituntut
secara pidana. Mereka bisa dihadapkan pada hukuman yang serupa dengan pegawai
negeri, tergantung pada peran dan tingkat keterlibatannya. 2

Pihak Korporasi: Korporasi dapat dianggap bertanggung jawab secara hukum atas
tindakan korupsi yang dilakukan oleh karyawan atau agennya. Mereka dapat dikenai
sanksi berat, termasuk denda besar, pencabutan izin usaha, atau pembubaran
perusahaan, tergantung pada hukum di negara tersebut. Tanggung Jawab Pemimpin
Perusahaan: Pemimpin perusahaan seperti CEO atau direktur juga bisa dituntut secara
pribadi jika terbukti mereka memiliki peran dalam melakukan atau mengarahkan
praktik korupsi di perusahaan tersebut. Baik individu maupun korporasi yang terbukti
bersalah dalam tindak pidana korupsi sering kali diwajibkan untuk membayar denda
atau melakukan restitusi atas kerugian keuangan yang disebabkan oleh tindakan

2
Rose-Ackerman, Susan. "Ekonomi Politik Korupsi." Perspectives on Politics, vol. 4, no. 1, 2006,
hal. 21-34.
mereka.3 Hal ini dapat mencakup pengembalian uang yang diperoleh melalui korupsi
atau penggantian kerugian negara akibat tindakan korupsi tersebut.
Pertanggungjawaban pidana biasanya ditentukan melalui proses peradilan pidana, di
mana bukti-bukti diajukan dan hakim memutuskan apakah terdakwa bersalah atau
tidak. Semua individu, termasuk mereka dari korporasi, memiliki hak untuk
pembelaan yang adil dan proses hukum yang transparan.

b) Pertanggungjawaban Pidana:
1. Individu: Seseorang yang terlibat dalam tindak pidana korupsi yang
mengakibatkan kerugian keuangan negara dapat dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam UU PTPK, seperti penjara dan denda.
2. Korporasi: UU PTPK juga memberikan ketentuan mengenai
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang terlibat dalam tindak pidana
korupsi yang merugikan keuangan negara. Korporasi dapat dikenai sanksi
berupa denda yang besar atau pencabutan izin usaha.

2. Suap Menyuap
a) Undang-Undang yang yang mengatur

Di Indonesia, suap menyuap diatur dalam UU PTPK dan juga Undang-Undang


Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pasal 5 UU Tipikor secara khusus mengatur mengenai larangan memberi atau
menerima suap.

Penghukuman Pidana: Individu yang memberi suap dapat dihukum dengan


pidana penjara, denda, atau keduanya, tergantung pada hukum yang berlaku di negara
tersebut. Pelanggaran Etika Profesional: Di banyak negara, pemberian suap juga bisa
berarti pelanggaran etika profesional, seperti dalam kasus pegawai negeri atau pejabat
publik. Hal ini dapat mengakibatkan sanksi administratif, seperti pemecatan dari

3
Svensson, Jakob. "Delapan Pertanyaan tentang Korupsi." Journal of Economic Perspectives, vol.
19, no. 3, 2005, hal. 19-42.
jabatan atau larangan untuk bekerja di sektor publik di masa depan. Penghukuman
Pidana: Individu yang menerima suap juga dapat dihukum dengan pidana penjara,
denda, atau keduanya.

Mereka yang memanfaatkan jabatan atau kekuasaan publik untuk keuntungan


pribadi dapat dianggap melakukan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Penghancuran Karier: Selain sanksi pidana, penerima suap juga mungkin kehilangan
pekerjaan atau reputasi yang baik, terutama jika mereka merupakan pegawai negeri
atau pejabat public. Pertanggungjawaban Hukum: Korporasi juga bisa dikenakan
pertanggungjawaban hukum atas tindakan suap yang dilakukan oleh karyawannya
atau agennya. Ini dapat mengakibatkan denda besar, pencabutan izin usaha, atau
bahkan pembubaran perusahaan, tergantung pada hukum yang berlaku di negara
tersebut. Tindakan Perbaikan dan Pencegahan: Korporasi juga dapat diwajibkan
untuk mengambil tindakan perbaikan internal dan menerapkan kebijakan anti-korupsi
yang lebih ketat untuk mencegah terulangnya tindakan serupa di masa depan.4

Baik individu maupun korporasi yang terlibat dalam suap mungkin diwajibkan
untuk membayar denda dan melakukan restitusi atas kerugian keuangan yang
disebabkan oleh tindakan mereka. Ini bisa berupa pengembalian uang yang diperoleh
melalui suap atau penggantian kerugian negara atau pihak yang dirugikan lainnya.

b) Pertanggungjawaban Pidana:
1. Individu: Orang yang terlibat dalam memberi atau menerima suap dapat
dituntut sesuai dengan UU Tipikor, yang memberikan sanksi pidana berupa
penjara dan denda.
2. Korporasi: UU Tipikor juga memberikan ketentuan mengenai
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang terlibat dalam praktik suap.
Korporasi dapat dikenai sanksi berupa denda.5

4
Olken, Benjamin A. "Persepsi Korupsi vs. Realitas Korupsi." Journal of Public Economics, vol.
92, no. 5-6, 2008, hal. 998-1006.
5
Mungiu-Pippidi, Alina, dan Michael Johnston. "Transparansi: Obat Universal?." Global Crime,
vol. 9, no. 2, 2008, hal. 121-141.
3. Penggelapan dalam Jabatan
a) Undang-Undang yang mengatur

Penggelapan dalam jabatan diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana) di Indonesia, terutama dalam Pasal 374 sampai dengan Pasal 377
KUHP.Penghukuman Pidana: Individu yang melakukan penggelapan dalam jabatan,
misalnya dengan menyalahgunakan dana atau aset yang menjadi tanggung jawabnya,
dapat dihukum dengan pidana penjara, denda, atau keduanya, sesuai dengan hukum
yang berlaku di negara tersebut. Pencabutan Hak dan Karier: Selain hukuman pidana,
pelaku penggelapan dalam jabatan juga mungkin kehilangan hak-hak tertentu, seperti
hak untuk menjabat di sektor publik atau dalam organisasi profesi tertentu. Hal ini
juga dapat merusak karier mereka di masa depan.6

Pertanggungjawaban Hukum: Korporasi yang terlibat dalam praktik penggelapan


dalam jabatan, misalnya melalui tindakan karyawan atau manajemennya, dapat
dikenakan pertanggungjawaban hukum. Ini bisa berarti denda, pencabutan izin usaha,
atau pembubaran perusahaan, tergantung pada hukum yang berlaku di negara
tersebut. Perbaikan Tata Kelola Perusahaan: Korporasi yang terlibat dalam
penggelapan dalam jabatan mungkin diharuskan untuk melakukan perbaikan dalam
tata kelola perusahaan mereka. Ini bisa berupa peningkatan kontrol internal, audit
yang lebih ketat, atau peningkatan transparansi dalam pengelolaan keuangan dan aset.
Baik individu maupun korporasi yang terlibat dalam penggelapan dalam jabatan
dapat diwajibkan untuk membayar denda dan melakukan restitusi atas kerugian
keuangan yang disebabkan oleh tindakan mereka. Ini bisa berupa pengembalian uang
atau aset yang diambil secara tidak sah, serta penggantian kerugian yang diderita oleh
pihak yang dirugikan.

b) Pertanggungjawaban Pidana:
1. Individu: Pejabat yang terlibat dalam penggelapan dalam jabatan dapat
dituntut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHP, yang

6
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Cet. I,
Yogyakarta: Liberty, hlm. 166-167.
memberikan sanksi pidana berupa penjara dan denda, serta larangan untuk
menjabat di posisi publik di masa mendatang.
2. Korporasi: Meskipun penggelapan dalam jabatan lebih terfokus pada individu,
korporasi yang terlibat dalam praktik ini juga dapat dikenai sanksi pidana
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut.

4. Gratifikasi
a) Undang-Undang yang mengatur

Gratifikasi diatur dalam UU Tipikor dan UU PTPK di Indonesia, antara lain


dalam Pasal 5 UU Tipikor dan Pasal 12 UU PTPK. Penghukuman Pidana: Individu
yang memberi atau menerima gratifikasi dapat dikenai sanksi pidana, seperti pidana
penjara, denda, atau keduanya, sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Hal ini bertujuan untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap praktik korupsi dan
memberikan efek jera kepada pelaku. Pelanggaran Etika Profesional: Selain sanksi
pidana, tindakan pemberian atau penerimaan gratifikasi juga dapat dianggap sebagai
pelanggaran terhadap etika profesional, terutama dalam konteks pegawai negeri atau
pejabat publik. Hal ini bisa berujung pada sanksi administratif, seperti pemecatan dari
jabatan atau larangan untuk bekerja di sektor publik di masa depan.

Pertanggungjawaban Hukum: Korporasi yang terlibat dalam praktik pemberian


atau penerimaan gratifikasi juga dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum. Ini
bisa berarti denda yang besar, pencabutan izin usaha, atau bahkan pembubaran
perusahaan, tergantung pada hukum yang berlaku di negara tersebut. Implementasi
Kebijakan Anti-Korupsi: Korporasi biasanya diharuskan untuk memiliki kebijakan
anti-korupsi yang kuat dan mengimplementasikannya secara efektif. Ini termasuk
tindakan pencegahan gratifikasi serta pelaporan dan penanganan tindakan korupsi
secara internal. Individu atau korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi
terkait gratifikasi juga mungkin diwajibkan untuk membayar denda dan melakukan
restitusi atas kerugian keuangan yang disebabkan oleh tindakan mereka. Hal ini bisa
berupa pengembalian uang atau aset yang diperoleh secara tidak sah, serta
penggantian kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan.

Tentu, undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi merupakan landasan hukum yang penting dalam menangani kasus-
kasus korupsi di Indonesia. Dalam undang-undang tersebut, ada beberapa pasal yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana oleh orang dan korporasi terkait
kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

b) Pertanggungjawaban Pidana:
1. Individu: Orang yang memberikan atau menerima gratifikasi dapat dituntut
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Tipikor dan UU PTPK,
dengan sanksi pidana berupa penjara dan denda.
2. Korporasi: Perusahaan yang terlibat dalam pemberian atau penerimaan
gratifikasi juga dapat dikenai sanksi pidana, seperti denda yang besar atau
pencabutan izin usaha, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.7

B. ANALISI KASUS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM


TINDAK PIDANA KORUPSI

Kerugian keuangan negara adalah tindakan merugikan keuangan negara atau


masyarakat secara umum, biasanya dilakukan melalui manipulasi dana publik atau
penggunaan yang tidak sah atas aset negara. Individu: Seseorang yang terlibat dalam
penyelewengan dana publik atau manipulasi keuangan negara dapat dikenai sanksi
pidana sesuai dengan undang-undang anti-korupsi yang berlaku di negara tersebut.
Korporasi: Perusahaan atau organisasi yang terlibat dalam tindakan korupsi yang
merugikan keuangan negara dapat dikenai sanksi pidana, seperti denda yang besar
atau pencabutan izin usaha.8

Suap menyuap adalah tindakan memberi atau menerima hadiah, uang, atau
manfaat lainnya dengan maksud mempengaruhi keputusan seseorang dalam
7
Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Op.Cit., hlm 1.
8
Ibid.,
jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Individu: Orang yang
terlibat dalam memberi atau menerima suap dapat dituntut secara pidana sesuai
dengan hukum yang berlaku, dengan sanksi yang meliputi penjara, denda, atau
keduanya. Korporasi: Perusahaan yang terlibat dalam praktik suap dapat dikenai
sanksi pidana, seperti denda yang signifikan atau pencabutan izin usaha.

Penggelapan dalam jabatan terjadi ketika seorang pejabat memanfaatkan


posisinya untuk tujuan pribadi dengan cara yang merugikan kepentingan publik atau
organisasi yang dipercayakan kepadanya. Individu: Pejabat yang terlibat dalam
penggelapan dalam jabatan dapat dikenai sanksi pidana, seperti penjara atau denda,
dan juga dilarang untuk menjabat di posisi publik di masa mendatang. Korporasi:
Perusahaan yang terlibat dalam praktik penggelapan dalam jabatan dapat dikenai
sanksi pidana, seperti denda yang besar atau pencabutan izin usaha.

Gratifikasi adalah pemberian hadiah, uang, atau manfaat lainnya kepada


seseorang dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau tindakan mereka dalam posisi
resmi. Individu: Orang yang memberikan atau menerima gratifikasi dapat dikenai
sanksi pidana, seperti penjara atau denda, tergantung pada hukum yang berlaku di
negara tersebut. Korporasi: Perusahaan yang terlibat dalam pemberian atau
penerimaan gratifikasi dapat dikenai sanksi pidana, seperti denda yang besar atau
pencabutan izin usaha.

1) Contoh kasus
A. KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Sebuah proyek infrastruktur besar ditemukan memiliki kelebihan biaya yang


signifikan tanpa penjelasan yang memadai. Setelah dilakukan penyelidikan lebih
lanjut, ternyata sejumlah kontraktor dan pejabat pemerintah terlibat dalam manipulasi
anggaran dan pembebasan lahan yang tidak sah. Akibatnya, ditemukan kerugian
keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar.

1. Analisis dari Teori Hukum (Berdasarkan Teori John Rawls)


Menurut John Rawls, sebuah masyarakat yang adil adalah masyarakat yang
memperlakukan setiap anggota dengan cara yang sama dan memberikan keuntungan
terbesar kepada yang paling tidak beruntung. Dalam konteks kerugian keuangan
negara akibat korupsi, tindakan korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap prinsip keadilan sosial. Hal ini
karena tindakan korupsi merugikan masyarakat secara keseluruhan dan memberikan
keuntungan terbesar kepada pihak yang melakukan korupsi, tanpa
mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih luas.

2. Upaya penyelesaian

Berdasarkan teori John Rawls tentang keadilan sosial, penyelesaian dari kasus
kerugian keuangan negara akibat korupsi harus memperhatikan keadilan distributif.
Upaya penyelesaiannya dapat melibatkan:

a) Pemberlakuan Hukuman yang Tegas: Pemerintah harus memberlakukan


hukuman yang tegas terhadap pelaku korupsi yang terlibat dalam manipulasi
dana publik atau penggunaan yang tidak sah atas aset negara.
b) Pemulihan Aset: Pemerintah harus melakukan upaya pemulihan aset yang
telah dirampok atau disalahgunakan, serta memastikan bahwa dana tersebut
digunakan kembali untuk kepentingan masyarakat.9

B. SUAP MENYUAP

Seorang pejabat tinggi dalam suatu lembaga pemerintah menerima suap dari seorang
pengusaha untuk memastikan bahwa perusahaan tersebut memenangkan tender
proyek konstruksi yang besar. Sebagai imbalannya, pejabat tersebut akan
memberikan informasi dan dukungan yang dibutuhkan untuk memastikan kesuksesan
perusahaan tersebut dalam tender tersebut.

1. Analisis dari Teori Hukum (Berdasarkan Teori Immanuel Kant):

9
Umar Sholehudin, Hukum Dan Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi Hukum,
Setara press, Malang, 2011, hlm 183.
Menurut Immanuel Kant, tindakan yang etis adalah tindakan yang berdasarkan
pada kewajiban moral dan prinsip universalitas. Dalam konteks suap menyuap,
tindakan tersebut dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap kewajiban moral dan
prinsip universalitas karena melanggar prinsip integritas dan keadilan. Tindakan suap
menyuap memperlakukan orang dengan cara yang tidak adil dan merusak prinsip
keadilan dalam pengambilan keputusan.

2. Upaya Penyelesaiannya

Berdasarkan teori Immanuel Kant tentang kewajiban moral, penyelesaian dari


kasus suap menyuap harus mencerminkan prinsip universalitas dan integritas moral.
Upaya penyelesaiannya dapat melibatkan:

a) Penegakan Hukum yang Tegas: Pemerintah harus menegakkan hukum dan


menuntut secara tegas pelaku suap dan penerima suap.
b) Penguatan Sistem Pengawasan dan Transparansi: Pemerintah harus
meningkatkan sistem pengawasan dan transparansi dalam proses pengadaan
dan pembuatan keputusan pemerintah untuk mencegah terjadinya praktik
suap.10

C. PENGGELAPAN DALAM JABATAN

Seorang kepala dinas keuangan dalam suatu pemerintahan daerah menggunakan


wewenangnya untuk mengalihkan dana pembangunan infrastruktur ke rekening
pribadinya. Dia kemudian menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadi
tanpa izin resmi atau kepentingan publik yang sah.

1. Analisis dari Teori Hukum (Berdasarkan Teori Lon Fuller)

Menurut Lon Fuller, sebuah hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi
kriteria kejelasan, kohesivitas, dan penerapan yang konsisten. Dalam konteks
penggelapan dalam jabatan, tindakan tersebut dapat dipandang sebagai pelanggaran

10
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Citra aditya
bakti, Bandung, 2003, hlm 58
terhadap kriteria kejelasan dan penerapan yang konsisten. Pejabat yang terlibat dalam
penggelapan dalam jabatan menggunakan wewenang mereka dengan cara yang tidak
jelas dan tidak konsisten dengan tujuan hukum yang lebih luas, yang mengakibatkan
kerugian bagi kepentingan publik.

2. Upaya Penyelesaiannya:

Berdasarkan teori Lon Fuller tentang keadilan hukum, penyelesaian dari kasus
penggelapan dalam jabatan harus memperhatikan kriteria kejelasan, kohesivitas, dan
penerapan yang konsisten dalam hukum. Upaya penyelesaiannya dapat melibatkan:

a) Penegakan Hukum yang Adil: Pemerintah harus memastikan bahwa pelaku


penggelapan dalam jabatan dituntut secara adil dan sesuai dengan hukum
yang berlaku.
b) Peningkatan Kesadaran Hukum: Masyarakat harus diberikan edukasi dan
kesadaran tentang konsekuensi dari praktik korupsi, serta pentingnya
kepatuhan terhadap hukum.11

D. GRATIFIKASI

Seorang pegawai negeri menerima hadiah-hadiah dari pihak swasta yang sedang
melakukan negosiasi bisnis dengan pemerintah. Hadiah-hadiah ini diberikan dengan
harapan bahwa pegawai tersebut akan memberikan keuntungan dalam proses
negosiasi dan keputusan pemerintah yang berhubungan dengan bisnis tersebut.

1. Analisis dari Teori Hukum (Berdasarkan Teori Utilitarianisme oleh John


Stuart Mill)

Menurut John Stuart Mill, sebuah tindakan yang etis adalah tindakan yang
memberikan konsekuensi terbaik bagi sebagian besar orang. Dalam konteks
penerimaan gratifikasi, tindakan tersebut dapat dipandang sebagai pelanggaran

11
Mungiu-Pippidi, Alina, dan Michael Johnston. "Transparansi: Obat Universal?." Global Crime,
vol. 9, no. 2, 2008, hal. 121-141.
terhadap prinsip utilitarianisme karena menghasilkan konsekuensi yang merugikan
bagi masyarakat secara keseluruhan. Penerimaan gratifikasi mempengaruhi proses
pengambilan keputusan secara tidak adil dan mengakibatkan kerugian bagi
kepentingan umum.

2. Upaya Penyelesaiannya

Berdasarkan teori Utilitarianisme oleh John Stuart Mill tentang


konsekuensialisme, penyelesaian dari kasus penerimaan gratifikasi harus
memperhatikan konsekuensi yang memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat
secara keseluruhan. Upaya penyelesaiannya dapat melibatkan:

a) Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Ketat: Pemerintah harus


meningkatkan pengawasan terhadap penerimaan gratifikasi dan menegakkan
hukum secara tegas terhadap pelaku korupsi.
b) Pengembangan Kebijakan Anti-Korupsi: Pemerintah harus mengembangkan
kebijakan anti-korupsi yang efektif dan mengedepankan prinsip transparansi,
integritas, dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan.12

BAB III

PENUTUP

12
Treisman, Daniel. "Penyebab Korupsi: Studi Lintas Negara." Journal of Public Economics, vol.
76, no. 3, 2000, hal. 399-457.
A. Kesimpulan
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan KUHP merupakan landasan hukum yang penting dalam
menangani kasus-kasus korupsi di Indonesia. Dalam kedua undang-undang
tersebut, ada beberapa pasal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana
oleh orang dan korporasi terkait kerugian keuangan negara akibat tindak pidana
korupsi terkait jenis-jenisnya seperti kerugian, keuangan negara, suap menyuap,
penggelapan dalam jabatan, dan gratifikasi.
2. Penegakan tanggung jawab dalam upaya penyelesaian harus sesuai dengan
peraturan yang berlaku untuk memastikan proses hokum yang adil dan efektif.
Ketidakjelasan atau inkonsistensi dalam penerapan undang-undang dapat
menghambat proses penyelesaian kasus korupsi dan mengurangi efektivitas
hokum dalam memberantas praktik korupsi.
B. Saran-saran
1. Menguatkan kerangka hokum yang mengatur tanggung jawab orang dan
korporasi dalam tindak pidana korupsi dengan memberlakukan sanksi yang
tegas dan efektif. Hal ini daoat melalui revisi atau penambahan pasal-pasal
dalam undang-undang yang khusus mengatur pidana korupsi.
2. Meningkatkan koordinasi antar lembaga penegak hokum, institusi pemerintah
dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa proses penyelesaian kasus
korupsi berjalan sesuai dengan hokum yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Bambang Poernomo. (2018). Hukum Pidana Khusus. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Budiono Kusumohamidjojo. (2017). Hukum Pidana Korupsi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Jimly Asshiddiqie. (2019). Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
Mochtar Kusumaatmadja. (2016). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Saldi Isra. (2019). Hukum Pidana: Pendekatan Teori dan Praktik. Jakarta: PT.
Prenada Media Group.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai