Anda di halaman 1dari 3

PERNYATAAAN SIKAP

AKADEMI ILMUWAN MUDA INDONESIA


No. 032/PS-ALMI/IV/2024

tentang

PENEGAKAN INTEGRITAS ILMIAH

Praktik kecurangan dan pelanggaran akademik oleh akademisi yang muncul di publik
dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan adanya persoalan serius dalam
komunitas akademik Indonesia. Kritik banyak ditujukan pada para pelaku, namun
bangsa Indonesia menghadapi pertanyaan besar. Apakah praktik kecurangan
akademik karena dorongan atau tekanan dari sistem merit berbasis kuantitas luaran,
ataukah persoalan moralitas akademik yang berakar pada lemahnya budaya dan
perangai ilmiah komunitas akademik di Indonesia?

Eksistensi seorang akademisi, ilmuwan atau periset, tidak dapat dipungkiri terletak
pada tanggung jawab intelektual pada komunitas epistemik yang dibangun
berdasarkan etika ilmiah, tanggung jawab moral, dan integritas ilmiah. Kejujuran
menjadi kunci integritas ilmiah. Seorang akademia bisa salah, tapi tidak boleh
berbohong telah menjadi adagium yang dipegang secara umum sebagai salah satu
panduan utama dalam integritas akademik.

Lalu, mengapa seorang akademisi dalam level jenjang jabatan akademik tertinggi di
universitas atau lembaga riset masih terjebak dalam praktik penelitian dan publikasi
yang tidak etis? Praktik tersebut meliputi publikasi di jurnal yang tidak memiliki
reputasi, pelanggaran etika kepengarangan—termasuk menggunakan nama sesama
akademisi dalam kepengarangan tanpa ijin—plagiarisme, mengabaikan aspek konflik
kepentingan, hingga abuse of power terhadap sesama penulis yang memiliki daya
tawar lebih rendah. Berbagai kasus ini menjelaskan bahwa akar masalah tidak semata
karena tuntutan kinerja dengan meniktikberatkan pada jumlah publikasi ilmiah
internasional sebagai syarat pemenuhan kinerja. Di dalamnya termaktub persoalan
moralitas dan integritas akademik yang lemah.

Namun, perilaku individu tidak akan muncul apabila sistem dibuat dengan baik. Sistem
yang ada saat ini menciptakan perverse incentives untuk akademisi mengejar jumlah
namun menempatkan kualitas menjadi penumpang. Obsesi pada kuantitas publikasi,
sitasi, dan metrifikasi telah mengaburkan proses penilaian karya ilmiah yang
seharusnya berorientasi pada kualitas karya ilmiah itu sendiri. Metriks dan indeks telah
menjadi ukuran mutlak kualitas karya ilmiah dan berdampak pada penilaian kinerja
dosen yang naif dan simplistik. Tidak sedikit dosen berlomba menerbitkan karyanya
di jurnal dengan kuartil tinggi padahal proses telaah sejawat tak selalu baik. Dosen
yang berkolaborasi dengan co-authors justru mendapatkan penalti angka kredit yang
terkadang sesederhana karena huruf pertama dalam nama belakangnya. Di sisi lain,
kolaborasi dengan co-authorship bisa saja dilakukan semata untuk menggugurkan
syarat wajib dosen dengan jabatan fungsional tertentu.

Secara umum, sistem penilaian kinerja akademik masih berbasis pada kuantifikasi
luaran (output) berupa publikasi, bukan pada proses penelitian atau kualitas dari
proses dan publikasi tersebut. Sistem menciptakan perverse incentives akibat
kebijakan menilai kinerja dan kepakaran akademia hanya semata dari kuantifikasi
luaran publikasi ilmiah.

Para Ilmuwan Muda tergabung dalam Akademi Ilmuwan Muda Indonesia atau ALMI
percaya bahwa praktik kecurangan akademik tidak muncul di ruang hampa. Ada
konteks dan struktur yang melahirkannya. Indonesia belum memiliki sistem insentif
yang komprehensif—baik yang mengatur insentif moneter maupun jenjang karir
akademik—yang mendorong produktivitas. Praktek kecurangan, pelanggaran,
bahkan kejahatan akademik tidak dapat diisolasi menjadi persoalan integritas individu,
melainkan kritik terhadap kebijakan pemeringkatan, kebijakan penilaian kinerja
akademisi, manajemen lembaga akademik, universitas, dan lembaga riset di
Indonesia.

Kami mengajak ilmuwan Indonesia, akademisi, dosen, peneliti, mahasiswa untuk


secara tegas menyuarakan perlawanan terhadap segala bentuk pelanggaran,
kecurangan, kejahatan etika atas kerja-kerja akademik.

Bahwa semua bentuk kecurangan atau pelanggaran akademik harus diberi sanksi
secara sistemik, maupun oleh komunitas epistemik, alih-alih dinormalisasi, sehingga
menciptakan deterrent effect (efek gentar) dan memberikan ruang introspeksi bagi
komunitas epistemik lainnya.

Bahwa universitas, lembaga riset dan kementerian terkait perlu sesegera mungkin
memberikan panduan integritas akademik, menciptakan skema sanksi tegas, dan
mengubah pandangan yang mengedepankan kuantitas keluaran akademik sebagai
basis penilaian.

Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), tengah merumuskan dan finalisasi Kode
Etik yang harapannya dapat menjadi salah satu panduan bagi komunitas akademik di
Indonesia. Sudah selayaknya institusi negara yang berwenang, dalam hal ini
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Tinggi (KemendikbudDikti)
dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan untuk segera menyusun panduan
Integritas Akademik dan kelembagaan minimal yang dapat menjaga pelaksanaan
etika ilmiah pada kalangan akademisi di universitas dan peneliti pada lembaga riset
pemerintah.
ALMI mendorong komunitas ilmiah di Indonesia: dosen, peneliti, pengkaji, mahasiswa,
siswa, masyarakat pada umumnya untuk dapat ikut bergerak dalam membangun dan
menguatkan diterapkannya etika dan integritas ilmiah bagi praktek-praktek akademia
sebagaimana telah disepakati komunitas akademik global.

Jakarta, 22 April 2024

Prof. Dr. Gunadi


Ketua ALMI

Narahubung: Dr. Gumilang Aryo Sahadewo


Email: gasahadewo@ugm.ac.id

Tentang: Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)


Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) merupakan wadah bagi ilmuwan muda terkemuka
Indonesia. ALMI didirikan untuk mendorong peran ilmuwan muda dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan budaya ilmiah unggul di Indonesia, dengan tujuan meningkatkan daya saing
bangsa.

Email: info@almi.or.id
Website: www.almi.or.id
Instagram: @almi_indonesia
Twitter(X): @ALMI_Indonesia

Anda mungkin juga menyukai