Anda di halaman 1dari 5

Budaya

1. Budaya Akademik

Pengertian Budaya Akademik adalah budaya yang dihasilkan oleh suatu


komunitas yang tindakannya didasari atas hasil ilmiah teknis dan mampu menjelaskan
tindakannya itu atas dasar logika dan ilmu pengetahuan. Warga dari suatu akademik adalah
insan-insan yang memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu, masyarakat
akademik sentiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari
aktivitas akademik.
Dunia akademik memiliki budaya tersendiri yang disebut budaya akademik
(Academic culture), dimana semua nilai dalam akademik termuat dalam etika akademik.
Dalam dunia akademik peran pikiran (rasio) lebih dominan dibandingkan peran emosi. Ini
berbeda dengan dunia pergaulan sehari-hari. Dalam hal ini terdapat sejumlah ciri-ciri
masyarakat ilmiah dalam budaya akademik. Ciri-ciri budaya akademik, antara lain :

1. Kejujuran adalah syarat utama dalam budaya akademik

2 Kritis, sentiasa mengembankan sikap ingin tahu segala sesuatu untuk selanjutnya

diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan ilmiah penelitian.

3. Kreatif, sentiasa mengembangkan sikap onovatif, berupaya untuk menentukan suatu

yang baru dan bermanfaat bagi masyarakat.

4. Objektif, kegiatan ilmiah dilakukan benar-benar berdasarkan pada suatu kebenaran

ilmiah buka kekuasaan uang atau ambisi pribadi.

5. Analitis, suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode ilmiah yang

merupakan suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran ilmiah.

6. Konstruktif, harus benar-benar mewujudkan suatu karya baru yang memberikan asas

kemanfaatan bagi masyarakat.

7. Dinamis, ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan terus menerus.

8. Dialogis, dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik

harus memberikan ruang pada peserta didik untuk mengembangkan diri, melakukan

kritik serta mendiskusikannya.

9. Menerima Kritik, sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu setiap insan

akademik sentiasa bersifat terbuka terhadap politik,

10. Menghargai prestasi ilmiah akademik, masyarakat intelektual akademik harus


menghargai prestasi akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan ilmiah.

11. Bebas dari prasangka, budaya akademik harus mengembangkan moralitas ilmiah,

yaitu berdasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah.

12. Argumentasi benar sesuai dengan fakta, semua pernyataan memiliki argumentasi

yang dapat dinilai benar dan salahnya, karema setiap argumentasi harus benar

ditelusuri fakta-fakta yang mendukungnya.

Tradisi Akademik
Tradisi Akademik adalah tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat
akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa,
menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan
cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik.
Tradisi menyelenggarakan proses belajar-mengajar adalah tradisi yang sudah
mengakar sejak dari dahulu, melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan dan
pesantren. Tradisi-tradisi lain seperti menyelenggarakan penelitian adalah tradisi baru.
Demikian pula, tradisi berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif adalah kemewahan
yang tidak terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan pembaharuan sikap mental dan tingkah
laku yang harus terus-menerus diinternalisasikan dan disosialisasikan dengan menggerus
sikap mental paternalistik yang berlebih-lebihan pada sebagian masyarakat akademik yang
mengidap tradisi lama, terutama dalam paradigma patron-client relationship yang mendarah
daging.

Kebebasan Akademik 
Kebebasan Akademik adalah kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota
sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab dan mandiri yang
berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang mendukung
pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti,
menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan
bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis.
Kebebasan akademik mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik, tetapi
kehidupan dan kebijakan politik sering kali mempengaruhi dinamika dan perkembangan-
nya. Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan
kebebasan berpendapat telah mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun
diwarnai oleh pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era Orde Baru.
Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran
pemerintahan dari Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada
pemerintahan Abdurrahman Wahid, era Megawati, SBY, bahkan hampir tak terbatas dan tak
bertanggungjawab, sampai pada pemerintahan Joko Widodo, yang makin sulit mengendalikan
perkembangan kebebasan berpendapat.
Selain itu, kebebasan akademik kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam
kehidupan beragama yang pada era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan
hambatan dalam perkembangan kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat.
Dapat dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu masyarakat atau bangsa sangat tergantung
dan berkaitan dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para
penguasa.
Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat
perkembangan kebebasan akademik pada lazimnya meliputi :
1. Penerbitan buku tertentu

2. Pengembangan studi tentang ideologi tertentu, dan

3. Pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan

dengan ideologi dan kebijakan pemerintah atau Negara.

Standar Suasana Akademik Yang  Kondusif, yaitu :

a. Prinsip kebebasan berfikir (kebebasan dalam ilmiah)

b. Prinsip kebebasan berpendapat Prinsip kebebasan mimbar akademik yang dinamis,

terbuka dan ilmiah, sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU No. 20/2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, maka implementasinya harus dibangun suasana akademik


dengan prinsip :

1. Interaksi mahasiswa dengan dosen harus dalam bentuk mitra bukan dalam bentuk in-

loco parentis (Dosen otoritas, superior, Mahasiswa kerdil dan tidak ada apa-apa).

2. Secara bersama-sama dosen dan mahasiswa punya hak yang sama dalam keilmuan

dan penelitian, diciptakan secara terencana, sistematis, kontinu, terbuka, objektif,

ilmiah.

3. Harus diciptakan suasana Perguruan Tinggi yang kondusif yang dapat memberikan

ketenangan, kenyamanan, keamanan dalam proses belajar mengajar (kegiatan

akademik).

2. ETOS KERJA, SIKAP TERBUKA DAN ADIL

Pengertian Etos Kerja

Pengertian kamus bagi perkataan “etos” menyebutkan bahwa ia berasal dari bahasa Yunani
(ethos) yang bermakna watak atau karakter. Secara lengkapnya, pengertian etos ialah
karakteristik dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus
tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dari perkataan “etos” terambil pula
perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”,
yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Juga dikatakan
bahwa “etos” berarti jiwa khas suatu kelompok manusia,3 yang dari jiwa khas itu berkembang
pandangan bangsa tersebut tentang yang baik dan yang buruk, yakni,etikanya.
Secara sederhana, etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu masyarakat.
Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat itu. Sebagai watak
dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan perilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya,
yang terpancar dalam kehidupan masyarakat. Karena etos menjadi landasan bagi kehidupan
manusia, maka etos juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam
kehidupan masyarakat. Weber mendefinisikan etos sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai
panduan tingkah laku seseorang, sekelompok atau sebuah institusi (guiding beliefs of a
person, group or institution). Jadi etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja
yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai hal yang baik dan benar dan
mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.
Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan
seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh
perkenan Allah Swt. Berkaitan dengan ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya,
Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati
dan berusaha memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan
sikap penyembahan hanya kepada-Nya.
Sementara itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa bagi orang yang beretos kerja
islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan atau aqidah islami berkenaan dengan
kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem keimanan itu,
menurutnya, identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber motivasi
dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami. Etos kerja Islami di sini digali dan
dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal shaleh. Tanpa landasan iman dan amal shaleh,
etos kerja apa pun tidak dapat menjadi islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman
akan merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh. Kesemuanya itu
mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu rangkaian yang terkait erat,
bahkan tidak terpisahkan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam
Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah
tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk
melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka memahami,
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai alQur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk
bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam. Untuk dapat meningkatkan etos kerja
seorang muslim harus terlebih dahulu memahami tugasnya sebagai manusia yaitu sebagai
khalifah Allah SWT di muka bumi dan sebagai hamba yang berkewajiban untuk beribadah
kepada Allah SWT. Beberapa petunjuk Al-Qur’an agar dapat meningkatkan etos kerja antara
lain;

a. Mengatur waktu dengan sebaik-baiknya.

b. Bekerja harus sesuai dengan bidangnya dan ini harus diberi catatan bahwa etos kerja

yang tinggi tidak boleh menjadikan orang tersebut lupa kepada Allah SWT.

Sikap positif selanjutnya adalah sikap terbuka dan jujur, seseorang tidak mungkin
meraih keberhasilan dengan cara mempunyai etos kerja yang tinggi, lalu tidak memiliki sikap
terbuka dan jujur. Karena orang yang tidak terbuka maka akan cenderung menutup diri
sehingga tidak dapat bekerjasama dengan orang lain. Apalagi kalu tidak jujur maka energinya
akan tersita untuk menutupi ketidakjujuran yang dilakukan. Maka Al-Qur’an dan Hadis
memberi apresiasi yang tinggi tehadap orang yang terbuka dan jujur.
Buah dari keterbukaan seseorang maka akan melahirkan sikap adil. Makna yang
diperkenalkan Al-Qur’an buka hanya dalam aspek hukum melainkan dalam spektrum yang
luas. Dari segi kepada siapa  sikap adil itu harus ditujukan Al-Qur’an memberi petunjuk
bahwa sikap adil disamping kepada Allah SWT dan orang lain atau sesama makhluk juga
kepada diri sendiri.
Sikap adil dalam syariah Islam dapat kita lihat dalam setiap sendi ajarannya, baik
secara teoritis maupun aplikatif, tarbawiy (pendidikan) maupun tasyri’iy(peraturan). Islam
sangat moderat dalam bidang akidah, pemahaman, ibadah, ritual, akhlaq, adab, hukum dan
peraturan (tasyri’). Sikap terbuka mencorak tingkah laku kita dalam mencari ilmu, dan sikap
terbuka juga, menjadikan skop pencarian ilmu kita lebih luas. Ini kemudiannya menjadikan
seseorang yang mempunyai ilmu yang luas dan mendalam, untuk pemikiran yang jauh dan
condong pula untuk bersikpa hormat pada yang lain. Karena ia tahu bahwa yang lain juga ada
kebaikan dan menghargai pula kebaikan yang pernah ia temui dari yang lain. Sebaliknya,
sikap tertutup menyebabkan ilmu seseorang terbatas pada sumber tertentu saja yang boleh
menyebabkan kedangkalan dalam berfikir. Lebih buruk lagi, ia menyebabkan sikap buruk dan
negatif terhadap yang lain kerana sangkaan bahawa hanya sumber ilmunya sahaja yang baik
atau betul.

Buku Bacan

Abdullah, Taufik, Agama, Etos Kerja dan Pengembangan Ekonomi, (Jakarta:LP3ES, 1982).
Al-Faruqi, Ismail, Al-Tawhid: Its Implication for Thought and Life (Herndon,Virginia: IIIT,
1995).
Al-Mundziry, Al-Hafidh, Mukhtashar Shahih Muslim, 2 Jilid (Kuwait: Wazarat
al-Awqaf wa al-Syu‟un al-Islamiyyah, 1388 H/1969 M), jil. 2.
Al-Thahthawi, Al-Sayyid „Abd al-Rahim „Anbar, Hidayat al-Bari ila Tartib alAhadits al-
Bukhary, 2 Jilid (Kairo: al-Maktabat al-Tijariyah al-Kubra,1353 H), jil. 1.
Bellah, Robert N., “Islamic Tradition and the Problem of Modernization” dalam
Robert N. Bellah, ed., Beyond Belief (New York: Harper and Raw, 1970).
Caco, Rahmawati, “Etos Kerja” (Sorotan Pemikiran Islam),” dalam Farabi Jurnal
Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, (terbitan Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah IAIN Sultan Anai Gorontalo, Vol. 3, No. 2,2006).
Echols, John M. dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, (terbitan Gramedia, 1977).
Ensiklopedia Nasional Indonesia, (1989).
Geertz, C., The Interpretation of Culture, (New York: Basic Book, 1973).
Madjid, Nurcholish, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta:Paramadina, 1999).
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992).
Manshur, Fadlil Munawwar, “Profesionalisme dalam Perspektif Islam,” dalam
Edy Suandi Hamid, dkk (peny), Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta:
LPTP PP Muhammadiyah-UAD Press,2003).
Myrdal, Gunnard, An Approach to the Asian Drama, (New York: Vintage Books,1970).
Rahardjo, Dawam, M, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1999)

Anda mungkin juga menyukai